PENERAPAN “LEARNING BY DOING” DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH MELALUI PENDEKATAN BELAJAR “PROBLEM SOLVING” Penelitian Tindakan Kelas dengan Tema : Perkembangan Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia pada Kelas XI IPA 4 SMA Negeri I Majalengka.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………..…………..………...i
KATA PENGANTAR……….……….ii
UCAPAN TERIMAKASIH……….…..v
DAFTAR ISI………..viii
DAFTAR BAGAN……….………..x
DAFTAR TABEL……….……….……..xi
DAFTAR GAMBAR………xii
BAB I PENDAHULUAN
1
A.
Latar belakang Masalah
1
B.
Fokus dan Rumusan Masalah
13
C.
Klarifikasi Konsep
14
1.
“
Learning by Doing
”
14
2.
Pendekatan Belajar “
Problem Solving
”
16
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
17
BAB II LANDASAN TEORI
19
A.
Pengertian Teori Pendidikan
19
B.
Teori Pendidikan John Dewey (1859-1952)
27
1.
Sumber-sumber Pandangan John Dewey tentang Pendidikan
27
2.
Konsep-konsep Penting dalam Teori Pendidikan John Dewey
32
3.
Teori Belajar “Learning by Doing”
39
C.
Pendekatan Belajar “Problem Solving”
45
1.
Pengertian dan Karakteristik “Problem Solving”
45
2.
Tujuan dan Manfaat Penerapan Belajar “Problem Solving”
51
3.
Sistem Penilaian Pendekatan Belajar “Problem Solving”
53
D.
Hakikat dan Makna Pembelajaran Sejarah
54
1.
Pengertian Belajar Sejarah
54
2.
Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Pembelajaran Sejarah
57
BAB III METODE PENELITIAN
63
A.
Pendekatan Penelitian
63
B.
Metode Penelitian
65
C.
Subyek Formal Penelitian
73
D.
Instrumen Penelitian
74
E.
Prosedur Penelitian
76
F.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
78
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
86
A.
Deskripsi Hasil Penelitian
86
(2)
2.
Setting Sosial Kelas XI IPA 4
92
3.
Tahap Orientasi Pembelajaran Sejarah
95
4.
Refleksi Awal
104
5.
Perencanaan Tindakan Pertama
106
B.
Deskripsi Pelaksanaan Tindakan
108
1.
Pelaksanaan Tindakan Siklus Pertama
108
2.
Pelaksanaan Tindakan Siklus Kedua
116
3.
Pelaksanaan Tindakan Siklus Ketiga
129
4.
Pelaksanaan Tindakan Siklus Keempat
137
5.
Pelaksanaan Tindakan Siklus Kelima
144
6.
Pelaksanaan Tindakan Siklus Keenam
156
C.
Analisis Penelitian Tindakan Kelas
159
1.
Analisis Tindakan Siklus Pertama
161
2.
Analisis Tindakan Siklus Kedua
168
3.
Analisis Tindakan Siklus Ketiga
173
4.
Analisis Tindakan Siklus Keempat
175
5.
Analisis Tindakan Siklus Kelima
180
6.
Analisis Tindakan Siklus Keenam
182
7.
Implikasi Diterapkannya teori “
Learning by doing”
Dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Pendekatan
Belajar “
Problem Solving
”
184
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
191
A.
Kesimpulan
191
B.
Rekomendasi
197
DAFTAR PUSTAKA
202
(3)
BABBIB
PENDAHULUANB
A.
LatarBBelakangBMasalahB
Tantangan yang dihadapi sekolah di Indonesia dalam menunaikan
perannya setidaknya terakumulasi dalam tiga masalah penting, yaitu bagaimana
budaya menjadi akar dan sumber bagi pendidikan, pendidikan bagi
pembangunan, dan pendidikan menghadapi kehidupan global (Tilaar, 2000 :
1-45, Johnson, 1969 : 262-364). Proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena pendidikan sendiri lahir
sebagai refleksi budaya dan secara timbal balik mempengaruhi perkembangan
budaya itu sendiri (Brameld, 1950 : 12). Demikian juga pendidikan berperan
secara dinamis dalam pembangunan. Sutisna (1977 :38-40) berpendapat bahwa
pendidikan berfungsi mengubah sikap mental tradisional dan menggalakkan
inovasi serta penyebaran kebudayaan seluas mungkin. Fungsi ini menjadi faktor
yang sanggup mempengaruhi secara kreatif pola dan perilaku masyarakat ke
arah perubahan positif sebagai bekal pembangunan. Sehingga pendidikan dalam
pembangunan diyakini sebagai lembaga investasi sumber daya manusia
(
Investment of human capital
) (Tilaar : 1995). Konsekuensi dari kehidupan global
bagi pendidikan adalah kemampuan sekolah untuk memberikan kepada anak
didik kesiapan dan kesadaran tentang dunia yang mereka huni. Konsep saling
ketergantungan, wawasan global, dan kerjasama antar bangsa merupakan
keterampilan yang perlu dikembangkan oleh sekolah dalam memasuki era global
(Buchori, 1995 : 140-144).
Ketika pendidikan berhubungan dengan tujuan pembangunan, maka
(4)
khususnya generasi muda sebagai tulang punggung. Generasi muda selayaknya
dibekali dengan pengalaman belajar yang akan mempersiapkan dirinya menjadi
warga negara dengan wawasan dan sikap yang benar terhadap pembangunan.
Pendidikan juga perlu menciptakan kondisi yang kondusif agar
nation and
character building
betul-betul tercapai. Untuk menuju arah ini dalam konsep
pembelajarannya, pendidikan berusaha mengembangkan kompetensi individu
peserta didik sehingga mereka mampu menyelesaikan persoalan-persoalan
pembangunan dan berpartisipasi aktif di dalamnya. Keberhasilan sebagai individu
akan membentuk citra diri yang berkarakter, sumber daya manusia berkualitas,
serta mempunyai pandangan yang luas dalam berbagai ilmu dan teknologi
(Setjoatmodjo : 1983). Keberhasilan sebagai bangsa adalah memberikan citra
positif dalam pembentukan sumber daya manusia seutuhnya serta identitas
bangsa yang cerdas sehingga mampu sejajar dan berkembang dengan
bangsa-bangsa lain (Yoshida : 2003).
Selain itu pendidikan juga berhadapan dengan persoalan-persoalan yang
terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada abad ke-21 kita berhadapan dengan era pasca industri yaitu abad
informasi dan pengetahuan (Trilling & Hood : 1999). Era informasi dan
pengetahuan berpengaruh besar terhadap paradigma pendidikan. Percepatan
dan perkembangan informasi dan teknologi menuntut spesifikasi khusus
terutama dalam lapangan kehidupan dan berimbas pada sikap dunia pendidikan
menjawab tantangan ini. Menurut Ani (2003) perkembangan ini berdampak pada
(5)
perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar
mereka.
Fungsi dan peran sekolah di abad pengetahuan tentunya harus lebih dari
sekedar transmisi budaya atau kebutuhan kekinian. Menurut Count (1978)
sekolah sebagai lembaga formal dalam sistem pendidikan harus menjadi “
agent
of change”
dan dapat menggerakkan aturan sosial baru menuju masyarakat yang
madani. Menurut Buchori (2001) pendidikan saat ini haruslah bersifat
antisipatoris, yaitu mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masa depan.
Pendidikan juga menurut Suryadi (2000) tidak hanya sebagai sektor pelayanan
publik tetapi menuju perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produktif yang
mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang. Pendidikan
harus mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi
dalam lingkungan kehidupan, dan bahkan pendidikan menjadi faktor yang dapat
menggerakkan atau mengarahkan perubahan.
Pembelajaran sejarah sebagai proses tak terpisahkan dari proses
pendidikan perlu melakukan antisipasi untuk mengimbangi tuntutan tersebut.
Pendidikan sejarah menghadapi tantangan yang tidak mudah di tengah-tengah
percepatan teknologi dan informasi terkini. Pendidikan sejarah sebenarnya
memiliki posisi yang sangat penting untuk menangkis setiap persoalan yang
muncul akibat percepatan ini. Jika penulis mencermati posisi pendidikan sejarah
kaitannya dengan hakekat dari tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan
sejarah berada pada posisi dan peran yang strategis. Peran tersebut akan
(6)
karakter dan mampu membentuk siswa menjadi manusia yang peduli pada
pembangunan dan penataan masyarakat yang lebih baik.
Perubahan sosial yang begitu cepat pada abad pengetahuan dan
informasi menjadi perhatian penuh bagi lahirnya inovasi pembelajaran sejarah
yang bermakna. Pembelajaran sejarah harusnya diperbaharui agar mampu
menyiapkan para peserta didik mengantisipasi dan beradaptasi dengan lincah ke
masa depan (Ismaun, 2001 : 97). Menurut Rochiati (2002 : 296), konsekuensi
dari tuntutan tersebut cara-cara belajar sejarah pun perlu didesain sedemikian
rupa agar hidup dan berjiwa.
Namun persepsi yang berkembang dalam masyarakat tidaklah
menggembirakan. Fungsi dan tujuan pendidikan sejarah mulai dipertanyakan.
Pendidikan sejarah dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai
pembelajaran untuk menumbuhkan memori kolektif bangsa dan membentuk
generasi muda kita menjadi warga negara yang baik. Dalam pengertian tertentu,
pendidikan sejarah telah kehilangan “jati dirinya” dan hanya sebagai pelengkap
pembelajaran yang lainnya ( Angkasa : 2003).
Kenyataan di lapangan, pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari
berbagai kritik yang menggugat bahwa studi sejarah tidak cukup tangguh
menghadapi berbagai kepentingan eksternal (politik) sehingga menyebabkan
pelajaran sejarah selalu diakomodasi bukan untuk kemajuan masyarakat tetapi
dimanfaatkan secara instrumental untuk kepentingan ideologi kekuasaan secara
berlebihan (Widja : 2002). Sejumlah fakta tentang pembelajaran sejarah juga
turut menempatkan pendidikan sejarah pada posisi yang tidak menyenangkan.
(7)
berharga yang terjadi pada masa lampau . Kondisi ini terjadi karena beberapa
alasan. Menurut Hasan (1996 : 129-131) selama ini pendidikan sejarah sebagai
bagian dari pendidikan ilmu-ilmu sosial lebih menitikberatkan pada pemahaman
konsep-konsep belaka berdasarkan teori keilmuan.
Pendidikan sejarah sebagai pembentuk pribadi siswa, agar siswa
betul-betul memahami dan mengerti dirinya sebagai manusia, sebagai anggota
masyarakat, dan sebagai bagian dari komunitas sosial dunia, tidak akan cukup
hanya dengan mempelajari sejarah semata-mata dari segi disiplin ilmu.
Pengajaran sejarah yang lebih mementingkan keilmuan saja akan mereduksi
hakekat peristiwa sejarah sebagai masa yang tidak berdiri sendiri. Kesadaran dan
pemahaman siswa tidaklah sebatas peristiwa sejarah dalam arti perubahan,
keberlangsungan, dan kausalitas semata, tetapi bagaimana agar ketiga hal yang
esensial dalam sejarah tersebut menyadarkan siswa sebagai pribadi yang hidup
dalam lingkungannya, mampu menata masyarakat sekarang secara lebih baik
berdasarkan empati dan apresiasinya terhadap pengalaman sejarah (Sjamsuddin,
1999 : 14-16). Perkembangan masyarakat kini membutuhkan generasi muda
yang mampu berpikir kritis, analisis, dan memiliki kepekaan sosial, sikap mandiri
dan bertanggungjawab, serta kemampuan inovatif untuk memperbaiki tatanan
lama dan membentuk tatanan masyarakat baru. Karenanya Hasan (2002)
menjelaskan perlu penerapan filsafat rekonstruksi sosial dalam kurikulum
pembelajaran sejarah agar tercipta harapan untuk merubah masyarakat dan
memenuhi kebutuhan
life skill
dalam diri siswa.
Masalah lain yang menyebabkan sejarah kurang diminati oleh peserta
(8)
berkreasi dan berapresiasi. Menurut Wiriaatmadja (2002 : 158) selama ini
“budaya diam” dan dominasi guru dalam kelas menyebabkan siswa tidak terlatih
dan bergairah untuk mengekspresikan penghayatannya secara vokal. Situasi
belajar yang terpusat pada guru diperparah oleh luasnya cakupan materi belajar,
tumpang tindihnya bahan dengan pengajaran lain yang sejenis, dan ketersediaan
buku teks yang hanya bersifat informatif.
Pandangan bahwa pembelajaran sejarah adalah “
nothing but facts”
menghasilkan kondisi kelas sejarah yang pasif dan membosankan. Kegiatan
siswa hanyalah duduk, mendengarkan dan kemudian mengulang informasi jadi
yang disampaikan guru. Memorisasi sejarah seperti ini dikarenakan materi
sejarah yang dipelajari adalah materi yang sudah jadi. Informasi tentang
fakta-fakta sejarah dan interpretasinya bukanlah merupakan hasil dari aktivitas siswa
tetapi lebih sebagai sesuatu yang “diberikan”.
Namun tantangan utama yang dihadapi dalam pendidikan sejarah adalah
bagaimana agar pembelajaran sejarah dapat menjembatani makna yang terjadi
pada masa lalu untuk kepentingan masa sekarang dan nanti. Menurut Mansilla
(2000, 390-393) hubungan antara masa lalu dengan peristiwa sekarang dalam
pendidikan sejarah seringkali diabaikan. Kesenjangan makna antara masa lalu
sebagai sejarah yang dipelajari oleh siswa dengan persoalan masa kini
menyebabkan “keterasingan” dan “keterpaksaan” siswa belajar sejarah.
Kesadaran sejarah tentang perubahan dan perkembangan dalam garis
waktu yang linier dan berkelanjutan antara masa lalu, sekarang, dan yang akan
(9)
belajar berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam
kehidupan sekarang dengan merujuk pada pemahaman dan wawasan historis.
Lalu bagaimana guru merancang dan mempersiapkan pembelajaran
sejarah yang menyenangkan dan bermakna tersebut ? bagaimana pendidik
membangun pembelajaran sejarah yang berorientasi pada kemampuan siswa
yang aktif dan kritis serta mampu memanfaatkan hakekat dan konsep sejarah
dalam persoalan-persoalan nyata di masyarakat?
Teori pendidikan memberikan peluang bagi guru untuk mencari alternatif
pembelajaran yang representatif bagi tujuan tersebut. Teori pendidikan memberi
arahan dan pedoman terhadap praktek, sehingga tindakan-tindakan guru dalam
mendesain dan melaksanakan pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan.
Karena alasan inilah penulis mencoba menerapkan sebuah alternatif
pembelajaran yang berbasis pada sebuah teori pendidikan khususnya teori
belajar.
Dalam penelitian ini penerapan
learning by doing
sebagai sebuah teori
belajar menjadi pilihan penulis dengan sejumlah asumsi.
Pertama
,
learning by
doing
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam
kegiatan belajar. Konsep dasar
learning by doing
berakar pada persepsi
pembelajaran berpusat pada siswa (
child-centered education
), belajar adalah
berbuat sesuatu dan menghasilkan karya. Pandangan dasar ini menempatkan
siswa sebagai subyek dan pelaku belajar. Sedangkan guru berperan sebagai
fasilitator dan pembimbing belajar.
Kedua
, prinsip-prinsip pembelajaran yang
tersurat dari teori ini memberi peluang bagi siswa mengaktualisasikan
(10)
yang bertanggungjawab berbasis pengalaman. Belajar adalah sesuatu yang
bersifat
real
karena terhubung dengan kebutuhan siswa. Siswa belajar
beradaptasi dengan lingkungan dan belajar menghadapi persoalan-persoalan
yang timbul karenanya . Pada hakekatnya belajar adalah memberi kondisi pada
siswa untuk mengembangkan keingintahuan dan rasa penasaran terhadap
sesuatu sehingga memunculkan keinginan untuk menyelidiki. Guru berkewajiban
menyediakan peluang dan kondisi untuk belajar dan berekspresi, agar siswa
mampu melakukan hal itu.
Ketiga,B
dengan teori ini, maka pembelajaran akan
menuju pembentukan siswa yang berkarakter, mandiri dan bertanggung jawab,
baik sebagai individu, kelompok, maupun anggota masyarakat. Proses
pendidikan yang berlangsung di sekolah merupakan cermin aktivitas masyarakat.
Kelas adalah masyarakat kecil yang mempersiapkan siswa menjadi individu yang
peduli terhadap perkembangan lingkungannya. Segala sesuatu yang penting
terjadi di masyarakat haruslah menjadi bahan belajar bagi siswa. Belajar
ditujukan pada pembekalan siswa menjadi anggota masyarakat yang baik.
Teori belajar
learning by doing
bersumber pada landasan filosofis
pragmatis pendidikan John Dewey (1859-1952). Persepsi utama Dewey tentang
belajar adalah pembelajaran berbasis pengalaman. Sebagai seorang filsuf dan
pendidik, Dewey menolak metode pengajaran yang otoriter dan berpendapat
bahwa pendidikan adalah sesuatu yang terintegrasi dengan pengalaman hidup
(Emand & Fraser : 2000). Dalam karyanya yang terkenal “
Democracy and
Education
(1916)” Dewey mengatakan bahwa “
education is life itself
”. Dewey
memberi arti yang besar pada pengalaman karena pengalaman dianggap penting
(11)
lalu dan masa datang (Iman, 2004 : 66). Demikian juga siswa akan
mendapatkan pembelajaran terbaiknya melalui pengalaman dan aktivitas
daripada kegiatan mengingat. Melalui pendapat inilah Dewey (1907 : 11)
beranggapan bahwa proses belajar haruslah bertumpu pada apa yang
dibutuhkan anak dan masyarakat. Belajar adalah pengalaman tentang hidup dan
bagaimana anak beradaptasi dengan lingkungannya. Karenanya sumber
pembelajaran pun bersumber pada persoalan-persoalan yang berkembang di
masyarakat.
Sekolah menurut Dewey merupakan kehidupan mikrokosmis dari
komunitas sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat (Eakin : 2000). Karenanya
proses pendidikan berlangsung atas dasar pengalaman-pengalaman yang
dicontohkan dan terjadi dalam masyarakat. Dewey menjelaskan bahwa siswa
berkembang ketika dihadapkan pada tantangan untuk memperbaiki atau
menyelesaikan masalah tertentu. Siswa melakukan pengamatan, mencoba
berbagai solusi, dan belajar dari setiap usaha untuk memperbaiki lingkungan.
Sebagai manusia, siswa adalah bagian dari masyarakat, dan keduanya saling
mempengaruhi satu sama lain.
Salah satu pendekatan belajar yang digunakan oleh Dewey dalam rangka
learning by doing
adalah pembelajaran berbasis pemecahan masalah atau
Problem solving learning
(Dewey : 1933). Pendekatan belajar ini berasal dari
konsep metode ilmiah yang kemudian diterapkan untuk tujuan belajar. Dewey
sendiri menyebut pendekatan belajar ini sebagai “
metode reflektif
” (Dewey :
1933). Dalam metode ini, siswa pertama-tama mengenal masalah, dan kemudian
(12)
Setelah itu siswa melakukan investigasi. Melalui refleksi dan eksperimen,
jawaban sementara ini kemudian diuji kebenarannya sehingga akhirnya siswa
dapat membuat kesimpulan.
Pendekatan
problem solving
merupakan cara belajar yang melatih siswa
memiliki kepedulian sosial dengan cara mengembangkan kemampuan berpikir
analitis dan kritis. Metode belajar tersebut melatih siswa bersikap aktif untuk
menggali masalah, mencari solusi, dan melakukan kolaborasi kelompok untuk
membangun kesimpulan dan tindakan. Cara belajar ini membutuhkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi dan melibatkan berbagai kemampuan belajar
lain
seperti
diskusi,
membaca
data,
menulis
laporan,
membuat
ikhtisar/rangkuman, kepekaan terhadap situasi sosial dan kemampuan kolaborasi
(kerjasama kelompok) (Shepherd : 2000).
Pendekatan belajar
problem solving
menurut Shepherd (2000) juga
merupakan antisipasi dalam inovasi proses pendidikan untuk men-
cover
kecenderungan era teknologi informasi. Saat ini ledakan informasi yang begitu
besar dan cepat menuntut kita terampil dan kritis memilih informasi mana yang
layak dan berharga untuk dimanfaatkan. Perkembangan tersebut juga merubah
paradigma pendidikan yang meliputi kurikulum, pembelajaran, dan assesmen.
Dari aspek pembelajaran dan asessmen, model
problem solving
adalah alternatif
pembelajaran yang bersifat inovatif-kreatif dan antisipatif terhadap perubahan
paradigma pendidikan dan diharapkan dapat memfasilitasi siswa untuk
membangun melalui pengalaman belajar. Bagaimanapun
problem solving
merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki peserta didik ketika mereka
(13)
meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas dunia nyata, baik
sebagai individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.
Walaupun berasal dari metode sains, namun pendekatan
problem solving
bisa dikembangkan dalam pembelajaran sejarah. Dalam perkembangan inovasi
pendidikan sejarah di Amerika periode 1920-an, pendekatan pemecahan masalah
mulai digunakan sebagai salah satu pilihan model belajar sejarah berdasarkan
aplikasi teori belajar modern (Osborne : 1989). Kesadaran akan perlunya inovasi
pendidikan sejarah bermula dari kenyataan kualitas pembelajaran sejarah di
kelas. Para pendidik dan sejarawan disudutkan pada posisi pendidikan sejarah
sebagai cabang dari humaniora dan kurangnya sejarah dari aktivitas intelektual.
Pendidikan sejarah karenanya hanya membutuhkan latihan ingatan. Untuk
merubah persepsi tersebut diperlukan usaha membuktikan bahwa studi sejarah
juga menuntut kemampuan ilmiah-akademik dan intelektual, seperti subjek
lainnya, yaitu matematika atau ilmu alam. Seperti yang diungkapkan oleh Martin
(1917 : 225) :
The Student’s task is not merely to know the facts, but understand
them. The study of a series of historical problems throughout a period –
the writing of essay upon them based upon as wide a range of evidence
as posibble – was designed to bring to history the methods long since
taken for granted in scientific subjects. Books are the apparatus; varying
or conflicting views are the reagents; the experiment supplied not by the
awkward manipulation of the students but from the recorded experience
of the past.
Teori Dewey dalam proses belajar yang berorientasi proses dan
pengalaman menjadi salah satu acuan untuk meningkatkan kualitas belajar
sejarah dan pengalaman belajar sejarah siswa. Dewey memberikan solusi untuk
menciptakan pembelajaran sejarah yang aktif dan bermakna dengan cara “
doing
it
”. Implementasinya dalam kelas sejarah adalah bahwa “
new teaching history
”
(14)
harus mampu merubah pembelajaran yang bersifat pasif dan hapalan ke arah
pembelajaran bersifat aktif dengan model
problem solving
(Osborne : 2000).
Melalui cara inilah diharapkan studi sejarah merupakan sebuah proses belajar
yang menantang secara intelektual. Situasi pembelajaran berubah menjadi
spontan, bermakna, dan dipenuhi oleh aktivitas yang bervariasi. Jika
pembelajaran sejarah berawal dari rumusan masalah yang harus diselesaikan,
maka setiap masalah akan menuntun siswa untuk “
berpikir, menghayati, dan
kemudian melakukan”.
Inilah prinsip dasar yang ingin dinyatakan oleh John
Dewey bahwa belajar adalah ketika siswa melakukan sesuatu, maka belajar
sejarah adalah ketika siswa “
doing history
”. Siswa mengubah kelas seperti
layaknya museum sejarah atau laboratorium sejarah yang dipenuhi oleh karya
sejarah. Siswa belajar seperti layaknya seorang peneliti, yaitu menemukan,
merumuskan, mendiskusikan, dan kemudian melaporkan.
Dengan menggunakan pendekatan
problem solving
, siswa belajar
menguasai teknik pemecahan masalah. Mereka akan menyadari bahwa
menyelesaikan masalah merupakan sebuah proses belajar, membutuhkan
keterampilan mengumpulkan dan menyeleksi informasi yang variatif, memahami
fakta-fakta, dan berpikir kreatif. Siswa dapat termotivasi memecahkan masalah,
baik masalah pribadi maupun masalah sosial. Mereka juga belajar menyadari
bahwa bekerja secara kelompok dalam memecahkan masalah adalah sesuatu
yang bermanfaat dan berharga. Pendekatan
problem solving
memberi
kepercayaan kepada siswa untuk memilih dua hal : bersikap pasif dan apatis
terhadap isu-isu sosial yang berpengaruh terhadap dirinya atau terlibat aktif
(15)
1998). Jika siswa mempunyai pengalaman belajar untuk terampil menyelesaikan
masalah, maka dia dapat belajar mengendalikan hidupnya, mampu tegar dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan. Karena dalam pendekatan
problem
solving
ini siswa tidak hanya terampil mencari solusi, tetapi mereka juga belajar
menulis, membaca, memanfaatkan komputer, belajar pengetahuan dasar, dan
mengambil keputusan yang diperlukan di masa datang. Apa sesungguhnya yang
lebih penting yang dapat kita berikan kepada mereka selain kesuksesan,
kepercayaan diri, kemandirian, dan langkah-langkah untuk menyelesaikan
masalah mereka? Karena alasan-alasan inilah maka penulis mencoba
menerapkan “
Learning by Doing dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Pendekatan
Belajar Problem Solving
”.
B.
FokusBdanBRumusanBMasalahB
Fokus dari penelitian ini adalah penerapan “
learning by doing”
dalam
proses pembelajaran sejarah di kelas melalui pendekatan belajar
problem solving
atau pemecahan masalah. Artinya penulis mencoba untuk menggunakan
pendekatan pemecahan masalah berdasar pada teori belajar tersebut. Penerapan
teori belajar
learning by doing
ini akan terlihat dalam kegiatan aktivitas
belajar-mengajar yang didesain sedemikian rupa dengan harapan terjadi peningkatan
kualitas belajar siswa. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah
“ Bagaimana teori belajar “
learning by doing
” diterapkan dalam pembelajaran
sejarah melalui pendekatan belajar
problem solving
?”
Adapun rumusan masalah tersebut diuraikan dalam sejumlah pertanyaan
(16)
1.
Bagaimana penerapan “
learning by doing
” dalam perencanaan belajar sejarah
melalui pendekatan
problem solving
?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran sejarah
“learning by doing”
melalui
pendekatan
problem solving
?
3.
Bagaimanakah hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah
“learning by
doing”
melalui pendekatan
problem solving
?
4.
Apa kesulitan-kesulitan yang dialami oleh guru ketika menerapkan
“learning
by doing
” dalam pembelajaran sejarah melalui pendekatan
problem solving
?
5.
Bagaimana persepsi siswa tentang pengalaman belajar yang mereka peroleh
dalam “
learning by doing
” melalui pendekatan
problem solving
?
6.
Apakah “
learning by doing
” dalam pembelajaran sejarah melalui pendekatan
belajar
problem solving
dapat meningkatkan kualitas belajar sejarah siswa ?
C.
KlarifikasiBKonsepB
Klarifikasi konsep ini digunakan sebagai penjelasan terhadap beberapa
istilah yang dianggap penting. Tujuannya adalah memperjelas pokok-pokok
masalah penelitian sehingga diperoleh pemahaman terhadap pengertian istilah
tersebut.
a.
“LearningBByBDoing”B
“
Learning by doing
” merupakan teori belajar untuk menjawab pertanyaan
mendasar yaitu :
bagaimana cara anak belajar dan bagaimana anak
mendapatkan pengetahuan melalui kegiatan belajarnya
? Teori ini berangkat dari
anggapan dasar tentang hakekat dan peran anak dalam pendidikan dan
(17)
bagaimana sebuah proses pendidikan memberikan tempat terhadap hakekat dan
peran tersebut.
John Dewey adalah peletak dasar
“learning by doing
”. Istilah ini
kemudian berkembang menjadi “
learning through experience
” atau
“experiental
learning
” (Levine & Ornstein, 1985 : 131) yaitu pembelajaran berbasis
pengalaman. Dalam tulisannya “
The Child and Curriculum”
Dewey membangun
sebuah teori belajar dengan menempatkan anak didik sebagai “
socially active
human being
”. Dewey percaya bahwa anak didik kita memiliki keinginan untuk
melakukan eksplorasi terhadap lingkungan dan kemudian mengontrolnya
(Dewey : 1902). Keingintahuan terhadap lingkungannya inilah yang
mengharuskan pembelajaran bersifat aktif dan menantang. Pembelajaran
menurut Dewey haruslah melibatkan kemampuan akal dan mental siswa dan
juga gerak tubuh secara harmonis.
Pembelajaran menurut Dewey akan bermakna jika siswa melakukan
sesuatu ketika dia belajar. Artinya dikatakan belajar jika dia secara langsung
terlibat ke dalam apa yang dia pelajari. Belajar artinya mengalami sesuatu. Anak
menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan,
membangun teori sendiri, melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Siswa bekerja secara bersama-sama, berkelompok, dan bersosialisasi seperti
layaknya sebuah sistem masyarakat yang berhubungan. Dengan cara seperti ini
anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar.
Salah satu proses belajar yang akan membawa siswa secara langsung
bersentuhan dengan pengalaman adalah belajar memecahkan masalah.
(18)
sekaligus juga metode mengajar dan belajar yang dianjurkan (Dewey, 1916 :
89-90). Dewey sendiri mengatakan bahwa metode pemecahan masalah dalam
belajar adalah metode belajar-mengajar yang cerdas.
b.
PendekatanBBelajarB
ProblemBSolving
B
Pembelajaran
problem solving
merupakan sebuah pendekatan belajar
yang berorientasi pada proses belajar. Shepherd (2000) mengemukakan bahwa
problem solving
adalah pendekatan belajar dimana siswa dilatih memiliki
kemampuan merumuskan permasalahan yang kompleks dan membuat sejumlah
solusi untuk kemudian merefleksikan solusi tersebut dari berbagai sudut
pandang. Dalam pengertian lain Burch (1995) menjelaskan bahwa
problem
solving
adalah pendekatan belajar diawali dengan pertanyaan-pertanyaan
sebagai masalah yang ingin dijawab siswa. Siswa dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang kompleks dan kemudian bergabung dalam kelompok untuk
berdiskusi mencari penyelesaiannya. Dalam pengertian yang luas pembelajaran
berbasis masalah dikemukakan oleh Stover (1998) sebagai :
problem-based learning is a curriculum development and
instructional system that simultaneously develops both problem-solving
strategies and diciplinary knowledge bases and skill by placing students
in the active role of problem-solver confronted with an ill structured
problem that mirrors real-world problems.
Pendekatan belajar pemecahan masalah (
problem solving
) dalam
penelitian ini merujuk pada pengertian diatas. Pembelajaran diawali dengan
pertanyaan-pertanyaan sekitar topik-topik sejarah yang sedang dipelajari dan
kemudian dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang muncul dalam
(19)
pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah desain pemecahan
masalah. Secara garis besar proses belajar berlangsung mulai dari mengenal
masalah, perumusan masalah, mencari solusi/penyelesaian, mendiskusikan
solusi, dan evaluasi (pembuatan keputusan) ( diadaptasi dari Beyer, 1987 : 27).
D.
TujuanBdanBManfaatBPenelitianB
Tujuan dari penelitian ini adalah berusaha menerapkan “
learning by
doing
” melalui pendekatan
problem solving
agar terjadi perubahan dan
peningkatan kualitas belajar siswa dalam pembelajaran sejarah. Teori belajar ini
dikaji sebagai kasus utama yang secara teoritis-praktis berguna bagi
pengembangan pembelajaran yang bermakna dalam pendidikan sejarah di
Indonesia.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui bagaimana
merencanakan pembelajaran sejarah sesuai dengan prinsip
learning by doing
dengan menggunakan pendekatan
problem solving
pada siswa kelas XI IPA 4
SMAN I Majalengka (2) mengembangkan proses belajar mengajar sejarah
berdasar pada teori “
learning by doing
” melalui pendekatan
problem solving
. (3)
memantau hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah
“learning by doing”
melalui pendekatan
problem solving.
(4) meningkatkan kualitas pembelajaran
sejarah dengan peningkatan kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar (5)
mengetahui tanggapan dan persepsi siswa tentang pengalaman belajarnya
dengan penerapan “
learning by doing
” melalui pendekatan
Problem Solving.
Manfaat umum dari penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu teoritis dan
(20)
pengembangan teori pendidikan khususnya teori belajar di Indonesia, sehingga
kajian akademis ini merupakan bagian dari rujukan. Pada tataran praktis,
penelitian ini bisa digunakan khususnya oleh guru, dinas pendidikan, dan
pengembang kurikulum sebagai alternatif format atau model pembelajaran
sejarah yang dapat membantu ke arah proses belajar yang berdaya guna dan
tepat guna untuk mengarahkan sekolah sebagai agen perubah sesuai visi misi
pendidikan kontemporer.
Secara khusus manfaat penelitian ini adalah :
1.
Memberikan pengalaman bermakna bagi guru dan siswa dalam proses
pembelajaran sejarah di kelas dengan diperkenalkannya pendekatan belajar
problem solving.
2.
Menjadi bahan acuan dan model bagi guru yang ingin menerapkan teori
“
learning by doing
” melalui pendekatan
problem solving
dalam KBM di kelas.
3.
Menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi kepala sekolah dan pejabat
pendidikan dalam menentukan kebijakan tentang inovasi pembelajaran
sejarah sekarang dan masa depan.
4.
Menjadi sumber rujukan dan pedoman masalah untuk diadakannya penelitian
(21)
BABBIIIB
METODOLOMIBPENELITIANB
B
A.
PENDEKATANBPENELITIANB
Kajian dalam tesis ini berusaha untuk memahami pemikiran John Dewey
khususnya teori pembelajaran
learning by doing dan bagaimana teori tersebut
diterapkan dalam pembelajaran sejarah di kelas melalui pendekatan
problem
solving. Penelitian ini merupakan usaha untuk menerapkan pembelajaran yang
berorientasi pada aktivitas dan kemandirian siswa belajar dengan cara melatih
kemampuan berpikir siswa agar diperoleh kompetensi yang sesuai dengan tujuan
pendidikan sejarah di Indonesia.
Penerapan
learning by doing dalam pembelajaran merupakan penelitian
tindakan yang pelaksanaannya berbentuk observasi langsung terhadap praktek
belajar dengan menggunakan “problem solving approach” untuk “menghidupkan”
teori tersebut dengan harapan terjadi peningkatan kualitas belajar siswa di kelas.
Pendekatan penelitian yang dipilih adalah paradigma kualitatif sebagai kerangka
dasar dalam mengembangkan prosedur penelitian.
Pemilihan kualitatif ini didasarkan pada definisi dan karakteristik
pendekatan penelitiannya. Penelitian kualitatif menitikberatkan pada metode
inkuiri dan analisis non statistik dalam memahami fenomena sosial (Mc Roy :
2002). Penelitian kualitatif juga didefinisikan oleh Denzin dan Lincoln (1994 : 2)
sebagai “Multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic aprroach to
its subject matter”. Multi pendekatan dan metode dalam kualitatif didasarkan
pada asumsi bahwa fenomena sosial yang lahir dari interaksi dan perilaku
manusia dengan lingkungannya seharusnya dipandang secara tidak sama oleh
(22)
berbagai pihak, serta dipahami melalui pendekatan humanistik (Nasution, 2003 :
9-12). Sedangkan istilah naturalistik-kualitatif yang seringkali dipakai dalam
penelitian pendidikan diartikan sebagai penyelidikan terhadap peristiwa-peristiwa
sebagaimana terjadi secara alamiah (natural), dan datanya dikumpulkan secara
wajar oleh peneliti, karena peneliti sendiri terlibat langsung sebagai instrumen
penelitian (Guba :1978).
Penelitian kualitatif menggali tentang makna yang ditimbulkan dari
fenomena sosial. Hal ini dilihat dari karakteristiknya yang secara umum terdiri
dari 3 ciri, yaitu : memaknai dari dalam (meaning from inside), interaksi atau
pengamatan langsung (direct contact), dan analisis bersifat induksi (induction
analytic) (Oka P Shaw : 2000). Kegiatan memaknai dari dalam dilakukan oleh
peneliti sebagai usaha untuk memahami makna yang diekspresikan oleh perilaku
individu atau hubungan individu dengan lingkungan sosial. Dengan kata lain
peneliti melihat individu “dari dalam”. Selain itu peneliti seringkali masuk
langsung dalam lingkungan alamiah individu atau kelompok yang diteliti. Peneliti
melakukan hubungan, misalnya melalui wawancara dengan mereka. Karena
sebab inilah penelitian kualitatif juga dikenal dengan “studi lapangan”.
Salah satu alasan sebuah studi dikatakan kualitatif adalah caranya
melakukan analisis, interpretasi, dan menyusun makna dari data melalui proses
induksi. Metode induksi ini merupakan kecenderungan dari penelitian kualitatif
(Bogdan : 1982). Secara umum proses induksi menggunakan data untuk
menghasilkan gagasan-gagasan (makna/generalisasi/hipotesis). Proses ini
merupakan kebalikan dari cara deduksi yang berangkat dari “Grand Theory” atau
(23)
gagasan umum yang sudah ajeg dan menggunakan data yang terkumpul untuk
menerima atau menolak gagasan umum tersebut (Holloway : 1997).
Penelitian kualitatif memposisikan bahwa pemahaman yang detail-holistik
hanya mungkin dilakukan dengan cara menemukan dan menyusun kembali
makna dari suatu fenomena (Thorne : 2001). Karenanya penelitian kualitatif
lebih mementingkan proses daripada hasil dan kedudukan analisis data sebagai
proses kognitif peneliti terhadap data untuk menemukan pengetahuan baru
sangatlah penting.
B.
METODEBPENELITIANB
Penerapan “learning by doing” dalam penelitian ini didekati dengan
observasi langsung terhadap praktek Pembelajaran. Observasi ini melibatkan
peneliti, guru dan kegiatan belajar siswa dalam sebuah setting pembelajaran
yang ditentukan. Metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah penelitian
tindakan (action Research) (McNIff : 1995), Classroom research (Hopkins,1993 :
1) atau disebut dengan “Classroom Action Research” (Elliot : 1991) . Penelitian
tindakan ini dimaksudkan untuk memperoleh deskripsi yang detail dan mendalam
melalui
proses
reflektif,
partisipatif,
dan
kolaboratif
tentang
upaya
“membumikan” sebuah teori pembelajaran di kelas sehingga dapat membantu
dan meningkatkan kualitas proses pendidikan, khususnya proses belajar di
sekolah.
Penelitian tindakan pada awalnya dikembangkan oleh Kurt Lewin (Hughes
P Seymour : 2000), seorang ilmuwan sosial, pada tahun 1940-an dan 1950-an
sebagai unit siklus pemecahan masalah untuk meningkatkan kinerja sebuah
(24)
organisasi. Pada tahun 1970-an penelitian ini mulai digunakan dan dijadikan alat
penelitian untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan (McTaggart, 1993 : 2).
Penelitian tindakan merupakan proses reflektif dan kolaboratif seperti
dikemukakan oleh McNIFF (2002) karena penelitian ini diawali dengan refleksi
awal atas suatu permasalahan, melibatkan gagasan peneliti dan kemudian
menyusun refleksi kedua untuk tindakan selanjutnya. Studi Carr dan Kemmis
(McNIFF, 1993 : 2) menjelaskan definisi penelitian tindakan sebagai :
Action research is a form of self reflective enquiry undertaken by
participants (teachers, students or principals, for example) in social
(including educational) situations in order to improve the rationality and
justices of (a) their own social or educational practices, (b) their
understanding of these practices, and (c) the situations (and institutions)
in which these practices are carried out.
Menurut Hughes PRolls (2000) penelitian tindakan partisipatoris berarti
metode penelitian yang berusaha membangun perubahan sosial dengan cara
positif sebagai tujuan utamanya. Sebuah penelitian dikatogerikan sebagai
penelitian tindakan jika bersifat kolaboratif, walaupun tetap harus disadari
observasi terhadap perkembangan suatu kelompok diperoleh melalui
pengamatan yang seksama terhadap individu sebagai bagian dari kelompok
tersebut. Penelitian tindakan ini terdiri dari tahap-tahap tindakan yaitu reflection
(Refleksi),
planning (perencanaan),
action
(tindakan) , dan
observation
(pengamatan).
Dari pengertian mengenai penelitian tindakan tersebut bila dihubungkan
dengan penelitian proses pendidikan menunjukkan bahwa PTK berangkat dari
keyakinan akan keharusan para pendidik profesional untuk terlibat dalam situasi
dan kegiatan pemecahan masalah dalam bidang kerjanya. Kegiatan ini akan
(25)
menumbuhkan kepercayaan diri dan semangat profesional yang berpusat pada
inovasi
pendidikan
didalamnya
meliputi
pengembangan
kurikulum,
pengembangan profesi pendidikan, dan penerapan pembelajaran dalam konteks
sosial.
Tujuan utama dari diadakannya penelitian tindakan kelas adalah cara
untuk menolong guru memahami bagaimana guru dapat mempengaruhi
perubahan sosial (dari setting sosial terkecil seperti kelas )(McNIFF : 2000).
Perubahan sosial sekolah ini berlangsung melalui tindakan evaluasi diri (self
reflection) dalam bentuk penelitian untuk pengembangan kinerja (profesional
development) (Wiriatmadja, 2002 : 127).
Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti berfungsi sebagai observer
dan guru kelas yang melakukan tindakan dipilih pada sekolah tertentu sesuai
dengan kebutuhan penelitian. Sedangkan tahap-tahap penelitian mengikuti
prosedur formal PTK dengan menggunakan model tindakan siklus merujuk pada
model yang dibuat oleh Elliot (McNIFF, 1995 :30) yang merupakan hasil
pengembangan dari model penelitian tindakan dari Kemmis PTaggart (Hopkins,
1993 : 81). Kedua model penelitian tindakan ini memiliki prinsip-prinsip dan
langkah-langkah yang hampir sama. Namun demikian model Elliot lebih rinci dan
jelas.
Model Penelitian Tindakan yang dikembangkan oleh Elliot (1991 : 70)
dapat digambarkan sebagai berikut :
(26)
IDENTIFYING INITIAL IDEA
A. RECONNAISSANCEB (fact finding and analysis)
ACTION STEP III ACTION STEP II GENERAL PLAN
ACTION STEP I
MONITOR IMPLEMENTATION AND
EFFECTS
REVISE GENERAL IDEA IMPLEMENT
ACTION STEP I
B. RECONNAISSANCEB (explain any failure to implement
and effect and analysis)
AMENDED PLAN ACTION STEP I ACTION STEP II ACTION STEP III
IMPLEMENT NEXT ACTION STEPS
C. RECONNAISSANCEB (explain any failure to implement
and effects) MONITOR IMPLEMENTATION
AND EFFECTS
REVISE GENERAL IDEA
AMENDED PLAN ACTION STEP I ACTION STEP II
ACTION STEP III IMPLEMENT NEXT ACTION STEPS
MONITOR IMPLEMENTATION AND EFFECTS
D. RECONNAISSANCEB (explain any failure to implement
and effects) C Y C L E I C Y C L E 2 C Y C L E 3
(27)
Siklus tindakan Kemmis P Taggart digambarkan sebagai berikut :
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian tindakan kelas berdasarkan dua
model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
IdentifikasiB masalah
. Tahap ini merupakan tahap orientasi untuk
membangun wacana tentang daftar masalah pembelajaran sejarah secara
umum (refleksi awal). Pada tahap ini data-data dikumpulkan dan dianalisis
(Reconnssiance) sebagai pedoman menyusun rencana perbaikan. Data-data
dikumpulkan sesuai prosedur yang dipilih oleh peneliti yang dapat
merepresentasikan secara aktual masalah pembelajaran sejarah yang dialami
siswa. Tindakan penulis untuk identifikasi masalah dilakukan dengan cara
melakukan kerjasama dengan guru dan siswa berupa : (a) diskusi dan
(28)
wawancara dengan guru sekitar pengalaman mengajar sejarah, (b)
wawancara sekitar persepsi dan pengalaman belajar sejarah dengan siswa,
(c) analisis dokumen, yaitu administrasi guru yang berhubungan dengan
pembelajaran sejarah (silabus guru, nilai siswa, bentuk tes sejarah), (d)
orientasi pembelajaran di kelas, berupa observasi awal proses belajar
mengajar sejarah. Keseluruhan tindakan ini dijadikan indikator untuk
menyusun rencana tindakan yang sesuai dengan teori yang diterapkan
sehingga menghasilkan kajian teoritis yang reliabel dan valid untuk
dilaksanakan.
2.
RencanaBumumBtindakanB(
planning
)
. Pada tahap ini peneliti bekerjasama
dengan guru menyusun rencana pembelajaran yang dapat memperbaiki
pembelajaran berdasarkan pada landasan teori yang telah ditetapkan dan
data-data yang diperoleh pada orientasi. Rencana pembelajaran/tindakan ini
disusun secara hati-hati dan fleksibel dalam arti memberi peluang kepada
pelaksana/guru untuk melakukan tindakan secara lebih terbuka bagi
pengembangan yang lebih baik jika peluang itu ada ketika berlangsungnya
tindakan. Fleksibilitas dalam rencana juga dianggap penting untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan di kelas. Penyusunan rencana tindakan
dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru agar terbentuk
pemahaman yang utuh antara guru dan peneliti. Pemahaman yang sama ini
penting sehingga rencana dapat dilaksanakan secara lebih terarah dan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan.
3.
ImplementasiBtindakan/pelaksanaan
. Tahap ini merupakan pelaksanaan
dari rencana yang telah disusun, yaitu praktek pembelajaran dimana
(29)
langkah-langkah kegiatan belajarnya merujuk pada rencana tindakan. Rencana
tindakan disusun sebagai hasil diskusi antara peneliti dengan guru mitra.
Rencana tindakan dituangkan dalam bentuk rencana/desain pembelajaran
dari mulai kegiatan awal sampai dengan evaluasi. Melalui diskusi juga peneliti
perlu memastikan apakah guru mitra betul-betul memahami desain belajar
yang dibuat. Hal ini penting agar proses belajar benar-benar sejalan dengan
rencana. Tindakan ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran
sejarah dengan pendekatan belajar yang telah ditentukan agar tercapai
pembelajaran sejarah yang bermakna dan sesuai dengan target pendidikan
sejarah.
4.
Monitoring/observasiB tindakan
. Monitoring atau observasi tindakan
adalah langkah yang dilakukan peneliti untuk melakukan proses pengamatan
dan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas. Proses ini
meliputi pencatatan setiap peristiwa yang berlangsung di kelas, yaitu aktivitas
guru, siswa, setting sosial, interaksi guru-siswa, relevansi antara rencana dan
tindakan, dampaknya yang timbul dari aktivitas pembelajaran, pengaruh yang
terjadi dari tindakan terhadap guru dan siswa, hal-hal yang dianggap sesuai
dengan tujuan dan masalah-masalah baru yang mungkin muncul dalam
pembelajaran. Semua proses pengamatan dan pencatatan ini menjadi
pedoman untuk tahap refleksi/reconnaissance selanjutnya.
Sebelum melakukan observasi peneliti menyusun perencanaan mengenai
aspek-aspek
yang
akan
diobservasi.
Kegiatan
pengamatan
harus
dimatangkan pada tahap perencanaan kegiatan dan didiskusikan dengan
guru mitra agar terjalin persepsi dan pemahaman yang sama. Hasil
(30)
pengamatan digunakan oleh peneliti dan guru mitra sebagai umpan balik
sebagai pedoman untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya.
Langkah-langkah observasi digambarkan sebagai berikut :
5.
Refleksi/Reconnaissance/Evaluasi
. Tahap ini merupakan diskusi antara
guru dan peneliti atas hasil yang telah diperoleh. Evaluasi meliputi refleksi
atas sejauh mana rencana dapat diterapkan. Peneliti dan guru menentukan
apa saja yang telah berlangsung sesuai rencana, tindakan apa yang perlu
diperbaiki, dan keputusan tentang perbaikan rencana jika perlu. Setelah
diskusi selesai, maka diputuskan untuk melanjutkan ke siklus berikutnya
dengan penyusunan rencana tindakan yang baru.
Untuk kepentingan penelitian peneliti memilih model yang pertama, yaitu
model Elliot dengan pertimbangan model tersebut lebih lengkap dan memiliki
langkah-langkah siklus yang terperinci dan menempatkan jenis-jenis kegiatan
apa saja yang dilakukan pada setiap siklus atau tahap tindakan. Penjelasan yang
detail ini mempermudah peneliti untuk melaksanakan kegiatan pada tiap siklus
tindakan.
Diskusi umpan balik peneliti dengan guru mitra
Perencanaan Tindakan
Pengamatan terhadap kegiatan belajar
3 2
1
(31)
C.
SUBYEKBFORMALBPENELITIANB
Penerapan “learning by doing” merupakan inti dari model teori
pembelajaran yang ingin diujicobakan dalam praktek pembelajaran di kelas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya untuk mata
pelajaran sejarah. Kemudian teori ini diturunkan dalam pendekatan pembelajaran
pemecahan masalah. Dengan demikian metode belajar yang digunakan untuk
aplikasi teori ini adalah metode pemecahan masalah (problem solving).
Pendekatan belajar “problem solving” merupakan desain belajar utama
yang mengandung aktivitas pembelajaran berbasis masalah sehingga mendorong
siswa untuk melakukan sesuatu dalam belajar sejarah. Siswa mengidentifikasi
masalah dan mencari solusi terhadap masalah tersebut melalui penelitian
(observasi lapangan), diskusi, presentasi, membuat tulisan atau esay sejarah dan
membangun sikap.
Setting sosial dari penelitian ini adalah satu grup siswa yang tergabung
dalam kelas XI IPA 4 di lingkungan Sekolah Menengah Atas Negeri I Majalengka.
Sekolah ini terletak di kabupaten Majalengka dengan alamat Jln K.H. Abdul
Halim. Kelas XI IPA 4 ini berjumlah 43 orang siswa yang heterogen berdasarkan
jenis kelamin, daerah asal, status keluarga, keadaan ekonomi, kemampuan
akademis, hobi, minat, dan agama.
Peneliti dibantu oleh seorang guru sejarah yang sudah berpengalaman.
Guru mitra ini memiliki kedudukan yang penting dalam penelitian karena
berperan sebagai rekan kerja yang mempraktekkan teori serta membantu
peneliti mengembangkan proses pembelajaran sejarah yang lebih baik dan
bermakna. Selain guru mitra “stake holder” sekolah yang lainnya, seperti kepala
(32)
sekolah, staf pembantu kepala sekolah, guru-guru, staf TU, petugas
perpustakaan memberikan sumbangan yang cukup signifikan untuk membangun
lingkungan belajar yang kondusif sebagai salah satu faktor pendorong
berhasilnya pembelajaran di kelas.
Sumber data sekaligus subyek penelitian tindakan yang peneliti amati
adalah manusia, peristiwa, dan situasi. Subyek manusia sebagai sumber data
yaitu guru, siswa, kepala sekolah, dan pihak lainnya di sekolah yang dapat
memberikan data-data untuk kepentingan penelitian. Istilah peristiwa sebagai
sumber data penelitian adalah segala bentuk kegiatan atau kejadian yang
diamati selama proses penelitian. Sedangkan situasi berupa setting atau latar
baik itu latar fisik seperti lingkungan fisik sekolah dan kelas maupun setting sosial
berupa interaksi, keadaan atau kondisi ketika berlangsungnya observasi.
D.
INSTRUMENBPENELITIANB
Dalam penelitian tindakan ini peneliti bertindak sebagai instrumen utama
sebagai “human instrument”. Peneliti langsung masuk dalam situasi sosial
pembelajaran dan melakukan observasi untuk mengumpulkan data-data yang
diperlukan. Sebelumnya peneliti membuat rencana kerja dengan guru mitra yang
bersedia membantu peneliti melakukan penelitian tindakan kelas. Peneliti
bertindak sebagai pengamat sedangkan guru mitra melakukan pembelajaran
sejarah seperti biasa. Pembelajaran sejarah didesain sedemikian rupa sesuai
dengan tujuan penelitian dan disusun secara kerjasama antara peneliti dengan
guru. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan di kelas ketika
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Aspek yang diamati dalam
(33)
pembelajaran berpusat pada proses pembelajaran dan evaluasinya terhadap
kesesuaian antara proses dan tujuan belajar. Sedangkan untuk memperlancar
jalannya observasi dan pengumpulan data, peneliti membuat alat penelitian
(instrumen bantu), yaitu : pedoman/format observasi, format wawancara, jurnal
catatan lapangan (field note), recorder, dan camera foto.
•
FormatB observasi
, adalah lembaran pedoman observasi yang berisi
indikator-indikator pengamatan yang disusun sesuai dengan keperluan.
Format pengamatan ini disusun oleh peneliti dan didiskusikan dengan guru.
Format ini meliputi lembaran untuk guru dan siswa dengan indikator yang
berbeda.
•
FormatB wawancara
, adalah lembaran pedoman wawancara yang berisi
pertanyaan-pertanyaan untuk menggali hal-hal sekitar persepsi dan
pengalaman guru dan siswa. Penyusunan pedoman wawancara ini disusun
oleh peneliti.
•
JurnalB catatanB lapangan
, berupa fasilitas catatan yang berisi segala
pernyataan dan catatan tentang kejadian dan peristiwa. Catatan lapangan ini
merupakan dokumen khusus peneliti untuk dianalisis.
•
Recorder
, sebagai alat bantu untuk memperlancar perolehan data lapangan.
Recorder digunakan ketika wawancara dan pembelajaran berlangsung di
kelas.
•
Camera
, sebagai alat untuk mendokumentasikan peristiwa penting sekitar
aktivitas siswa dan guru atau setting sosial sekolah, seperti gedung sekolah,
lingkungan sekolah, dan lain-lain.
(34)
E.
PROSEDURBPENELITIANB
Prosedur penelitian ini merupakan langkah-langkah penelitian yang
penulis lakukan secara menyeluruh mulai dari pembuatan rancangan penelitian
sampai dengan pelaporan. Penulisan prosedur ini memberi gambaran yang utuh
setiap langkah tindakan yang dilakukan peneliti. Adapun langkah-langkah
tersebut adalah :
TahapBIB
MempersiapkanB&BMenyusunBRancanganBB penelitianB
Rancangan penelitian digunakan secara personal oleh peneliti sebagai dokumen yang memuat keseluruhan tindakan penelitian dari awal sampai akhir. Rancangan ini berupa catatan lapangan penelitian yang disusun oleh penulis berdasarkan tahap-tahap penelitian tindakan kelas
TAHAPBIIB&BIIIB
MenemukanBdanBklarifikasiBmasalahB sebagaiBlangkahBawalBpenelitian
Tahap ini berhubungan dengan mengidentifikasi dan menyusun masalah untuk persiapan penelitian tindakan. Masalah terutama berkaitan dengan pembelajaran sejarah yang dihadapi oleh guru sejarah secara umum. Perumusan masalah pembelajaran juga mengandung arti menemukan sesuatu yang kurang dalam pembelajaran sejarah sehingga harus ada perbaikan. Masalah pembelajaran sejarah penulis dapatkan dari : buku-buku tentang pendidikan sejarah, pengalaman penulis sebagai guru sejarah, diskusi tentang pembelajaran sejarah dalam MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), dan wawancara antara penulis dengan guru sejarah dan sejumlah siswa di SMAN 1 Majalengka. Masalah-masalah belajar sejarah tersebut kemudian penulis susun berupa topik-topik yang kemudian disajikan dalam bab 1. Penjelasan formal masalah pembelajaran sejarah tercantum dalam bagian pertama penulisan penelitian (bab I).
TAHAPBIVB PengumpulanBDataB
Pengumpulan data merupakan tahap yang penting dalam penelitian tindakan. Data-data yang terkumpul digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk rencana tindakan. Pengumpulan data ini diperoleh melalui : penelusuran arsip atau dokumen
(35)
(karakteristik siswa, kurikulum vitae guru dan kepala sekolah, dokumen historis sekolah, dan seterusnya), wawancara
(dilakukan terhadap kepala sekolah, guru dan siswa), observasi ( pengamatan terhadap proses dan dampak pembelajaran sejarah dengan problem solving melalui sejumlah siklus), “visual Images terhadap situasi sosial sekolah (denah sekolah, tata ruang kantor dan kelas, fasilitas sekolah, program sekolah).
TAHAPBVB AnalisisBData
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis sebagai berikut : (1) membaca data : data dibaca untuk memahami situasi dan pengalaman yang tersedia. (2) seleksi/pemilihan data : tahap ini merupakan klasifikasi data (data penting, biasa, tidak penting), beberapa data yang sama dikelompokkan, data yang sederhana dipisahkan dari data yang kompleks dan seterusnya. (3) kategorisasi data : data yang terpilih dipresentasikan ke kelompok kategori/bentuk tertentu untuk memudahkan penafsiran. (4) penafsiran data dan membuat kesimpulan : tahap ini dilakukan dengan cara membuat hubungan antar data dan membangun model praktis yang sesuai dengan situasi yang diteliti.
TAHAPBVIB
MengembangkanBstrategis/modelBB tindakanBdanBmelaksanakannya
Strategi dan model tindakan dipilih setelah menganalisis data atas permasalahan pembelajaran sejarah. Data ini diperoleh dari persepsi dan sikap siswa dalam belajar sejarah dan guru dalam mengajar sejarah. Tindakan penelitian ini melibatkan berbagai pihak yaitu peneliti sendiri, guru, siswa, kepala sekolah, staff tu sekolah, para guru lainnya. Dalam melaksanakan PTK ini pertama-tama penulis menentukan model tindakan yang akan digunakan. Setelah itu mendiskusikan model tindakan dengan guru mitra. Pada intinya peneliti menjelaskan kepada guru mitra sistem siklus yang menjadi model penelitian tindakan yang secara umum terdiri atas tahap : (a) Rencana tindakan (planning); (b) tindakan/pelaksanaan (action); (c) pengamatan terhadap tindakan (observation); (d) refleksi dan analisis (reflection). Penulis memilih model Kemmis dan Taggart yang kemudian
(36)
dilengkapi dengan model Elliot. Dengan menggabungkan dua model ini, penulis memiliki keleluasaan untuk mengembangkan tindakan di kelas dan melakukan refleksi, karena dua model PTK ini saling melengkapi. Penjelasan mengenai langkah-langkah pelaksanaan PTK dengan dua model ini dijelaskan oleh peneliti dalam bab metode penelitian.
TAHAPBVIIB
ValidasiBpenelitianBdanBmenyebarluaskanB hasilBpenelitian
Validasi penelitian dilakukan berdasarkan paradigma kualititatif dengan teknik : (a)
triangulation; (b) member check; (c) peer debriefing; (d) expert opinion.Salah satu hal penting dalam penelitian tindakan kelas adalah berbagi pengalaman dan wawasan/pengetahuan antara peneliti, guru, dengan siswa agar program penelitian menjadi lebih bermanfaat dan dapat menjadi peluang bagi peningkatan program penelitian yang akan datang. Hasil penelitian diformulasikan dalam bentuk laporan penelitian yang dapat dibaca dan dianalisis oleh berbagai pihak.
Tabel 3.1 Langkah-langkah penelitian
F.
TEKNIKBPENMUMPULANBDANBANALISISBDATAB
Merujuk pada studi Schostak (1995) tahap pengumpulan data ini
mengikuti prinsip-prinsip etis sesuai prosedur yang perlu ditaati oleh peneliti,
yaitu :
•
Memenuhi syarat permohonan perijinan
•
Menentukan apakah penelitian bersifat tertutup atau terbuka
•
Penemuan data dilakukan secara netral dan seobyektif mungkin tanpa
menyinggung pihak tertentu
•
Tahap pengumpulan data adalah untuk kepentingan pengembangan dan
inovasi pendidikan karenanya penelitian ini bertujuan positif
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merujuk pada pedoman
dasar pengumpulan data yang biasanya dilakukan dalam penelitian kualitatif,
(37)
yaitu data berupa dokumen, observasi, wawancara dan gambaran visual
(Creswell, 1994 : 149). Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis
adalah :
•
DataB dokumen
. Peneliti mengumpulkan sejumlah informasi yang ada
(tertulis dan non tertulis) yang dapat dipakai sebagai data. Bahan-bahan
dokumen ini bisa berupa dokumen masa lalu yang berhubungan dengan
penelitian. Dokumen tertulis ini perlu sebagai file yang memuat peristiwa
yang telah terjadi ( berhubungan dengan pembelajaran sejarah) dan dapat di
evaluasi untuk dibandingkan dengan pendekatan baru yang akan
dilaksanakan. Contoh dari dokumen ini misalnya : sejarah sekolah, setting
sosial sekolah, data fisik sekolah, tugas-tugas siswa, lembaran kerja siswa,
dokumen rangking siswa, bank soal sejarah yang biasa digunakan guru,
laporan hasil belajar siswa, lembaran silabus, daftar stake holder sekolah.
•
ObservasiB danB pencatatan
. Observasi ini merupakan kontak langsung
dengan obyek penelitian yang dapat menghasilkan data-data yang
dipresentasikan dalam tindakan. Observasi memuat secara keseluruhan
gambaran kejadian dan peristiwa yang berlangsung di kelas khususnya dan
di lingkungan sekolah pada umumnya. Observasi yang dilakukan oleh peneliti
berbentuk observasi terstruktur dan observasi terbuka (Wardani, 2002 :
19-24). Dalam observasi ini peneliti dibantu dengan alat pengumpulan data
berupa format kategori yang telah dibuat sebelumnya.
•
Wawancara
. Wawancara adalah satu teknik pengumpulan data yang
melibatkan komunikasi verbal antara peneliti dengan subyek (Mathers, et.al :
2002). Patton (1990) mengidentifikasikan 3 jenis wawancara yang biasa
(38)
digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu : (1)
informal conversational
interview (wawancara tidak terstruktur/terbuka), (2)
interview guide
approach (semi struktur), (3) standardized open-ended interview (wawancara
terstruktur). Pada penelitian tindakan ini peneliti menggunakan 2 jenis
wawancara yaitu wawancara semi terstruktur, dan wawancara terbuka (untuk
guru dan kepala sekolah). Wawancara semi terstruktur dilakukan terhadap
siswa yang terdiri dari tiga kali kegiatan wawancara, yaitu sebelum
pelaksanaan siklus, ketika siklus tindakan berlangsung (setelah siklus
tindakan ketiga), dan setelah keseluruhan enam siklus tindakan dilaksanakan.
Wawancara terakhir ini untuk memperoleh gambaran tentang persepsi siswa
mengenai desain pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan belajar.
Sedangkan wawancara terbuka dilakukan terhadap guru dan kepala sekolah.
Bentuk wawancara ini dipilih untuk mendapatkan informasi
sebanyak-banyaknya mengenai hal-hal yang diperlukan oleh peneliti sebagai sumber
pendukung bagi kelancaran tindakan siklus.
Pada penelitian ini proses analisis data seringkali bersamaan dengan
pengumpulan data. Artinya, ketika peneliti menganalisis data tertentu, misalnya
dokumen tertentu, biasanya muncul data baru dan kemudian dilakukan lagi
proses analisis. Pada saat penyusunan kajian teoritis dalam dalam mendekati
fenomena (tindakan pembelajaran di kelas), strategi yang dipakai peneliti untuk
mengumpulkan dan membangun data, pemahaman yang dimiliki peneliti tentang
data-data yang relevan dan penting digunakan untuk menjawab masalah
penelitian, semuanya adalah bagian dari proses analisis yang berpengaruh
terhadap data. Namun demikian, kegiatan analisis juga muncul secara eksplisit
(39)
dalam penafsiran konseptual terhadap set data secara keseluruhan dengan
menggunakan strategi analisis tertentu untuk mentransformasikan data mentah
menjadi gambaran baru yang koheren dan menjadi temuan penelitian.
B
Bogdan P Biklen (1982 : 145) mendefinisikan analisis data sebagai
“working with data, organizing it, breaking it into manageable units, synthesizing
it, and deciding what you will tells others”
.B
Karenanya analisis data dalam
penelitian ini membutuhkan kreativitas dari peneliti, tantangannya adalah
bagaimana mengubah data mentah menjadi susunan logis dan akademis, berupa
paparan kategoris yang bermakna, penyusunan sebuah paparan yang holistik,
dan bagaimana mengkomunikasikan penafsiran peneliti kepada pembaca.
Secara filosofis, analisis data dalam PTK melibatkan diskusi tentang
kriteria dan area topik yang berhubungan dengan prilaku (McNiff, 1995 : 85).
Artinya analisis data ini menyangkut pemahaman terhadap apa yang terjadi
dalam kenyataan (real life). Analisis juga perlu memperhatikan kejadian di
lapangan secara total untuk mendapatkan penjelasan mengapa satu aspek
mempengaruhi aspek lain.
Dalam penelitian tindakan ini, analisis data yang dilakukan berdasarkan
pada empat prinsip dasar analisis data kualitatif yang relevan juga digunakan
dalam PTK, yaitu :
•
MembacaBdata
: data dibaca dalam rangka memahami kembali fakta-fakta
dan pengalaman yang diperoleh. Pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan
sebagai pedoman misalnya, apa yang terjadi? Siapa mengatakan apa? Apa
yang telah dilakukan oleh seseorang?
(40)
•
ReduksiBdataB
: tahap ini berupa pencatatan dan seleksi data yang diperoleh
dari lapangan. Data-data disusun apa adanya berbentuk catatan lapangan.
Setelah itu dipilih dan diklasifikasikan dalam kelompok tertentu sesuai
kebutuhan. Data yang bermakna dan mendukung untuk pemecahan masalah
dimasukkan dalam kategori tertentu.
•
ValidasiB data
: data diklasifikasikan berdasarkan kebutuhannya,
data-data yang penting dan tidak dipisahkan, beberapa data-data yang sama
digrupkan, data-data yang kompleks disederhanakan. Dalam tahap ini juga
validasi data penelitian dilakukan. Seperti paradigma kualitatif umumnya,
validasi dalam penelitian ini peneliti lakukan dengan cara sebagai berikut
(Wiriatamdja, 2005 : 168-171) :
-
Triangulation
B
(komparasi dengan data lain); validasi ini dilakukan oleh
peneliti dengan cara membandingkan data, hipotesis, dan analisis yang
diperoleh peneliti dengan data-data yang terdapat pada guru mitra,
siswa, kepala sekolah, sie kurikulum, guru-guru sejarah yang lain.
Misalnya apresiasi guru terhadap pembelajaran sejarah dibandingkan
dengan hasil wawancara peneliti dengan siswa tentang topik yang sama.
Usaha ini bertujuan untuk lebih mempertajam analisis peneliti terhadap
data-data. Kegiatan validasi ini juga dilakukan dengan cara
reflektif-kolaboratif antara guru, peneliti dan
stakeholder sekolah. Hasil dari
triangulasi ini dijabarkan dalam bentuk catatan lapangan.
-
MemberB check
(konfirmasi data); langkah validasi ini dilakukan oleh
peneliti dengan cara berdiskusi dengan guru mitra untuk mencek
kebenaran data yang tersedia terutama validasi sumber data. Tindakan
(1)
Counts, G. S. (1978). DarT thT School Build a NTw Social OrdTr ?. CarbondalT : SouthTrn Illinois UnivTrsity PrTss
CrTmin, L.A. (1969). “John DTwTy and thT ProgrTssivT Education MovTmTnt, 1915-1952”. Dalam RTginald D. Archambault, (Td.). DTwTy On Education. (1969).(3rd printTd). NTw York : Random HousT, inc.
DTnzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (1994) “Introduction : EntTring thT FiTld of QualitativT RTsTarch”. Dalam N.K. DTnzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of QualitativT RTsTarch. (1994). Thousand Oaks, CA : SagT.
DTpartTmTn PTndidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 Mata PTlajaran STjarah SMA dan MA. Jakarta : DTpdiknas
DTpartTmTn PTndidikan Nasional. (2005). Ilmu PTngTtahuan Sosial. MatTri pTlatihan tTrintTgrasi. Buku 4. Jakarta : DTpniknas, DirjTn PTndasmTn, DirTktorat PTndidikan Lanjutan PTrtama.
DTwTy, J. (1907). School and SociTty. BTing thrTT lTcturTs by John DTwTy supplTmTntTd by statTmTnt of thT UnivTrsity ElTmTntary School. Chicago : UnivTrsity of Chicago PrTss.
DTwTy, J. (1913). IntTrTst and Effort in Education. Boston : Houghton Mifflin. DTwTy, J. (1916). DTmocracy and Education. NTw York : Mc Millan
DTwTy, J. (1933). How WT Think; A RTstatTmTnt of thT RTlation of RTflTctivT Thinking to thT EducativT ProcTss. Boston : D.C. HTath
DTwTy, J. (1958). Philosophy of Education; ProblTms of MTn. Iowa : LittlTfiTld, Adams & Co.
DTwTy, J. (1964). DTmocracy in Education. Dalam Tyrus Hillway, AmTrican Education; an Introduction Through RTadings. Boston : Houghton Mifflin Comp.
DTwTy, J. (1972). ExpTriTncT and Education. NTw York : ColliTr Books
Duch, B. J. (1995). “What is ProblTm-BasTd LTarning?” . Jurnal CTE (NTwslTttTr of thT CTntTr for TTaching EffTctivTnTss).
Eakin, Sl. (2000). “Giants of AmTrican Education : John DTwTy, thT Education PhilosophTr”. Jurnal. TTchnos : QuartTly for Education and TTchnology. WintTr.
EckTr, P. (1997). John DTwTy. TTrsTdia OnlinT. Pada alamat situs : http:/isd.ingham.k12.mi,us/~goals2k/links/sslinks.html. 03 MarTt 2004.
(2)
Elliott, J. (1991). Action RTsTarch for Educational ChangT. PhiladTlphia : OpTn UnivTrsity PrTss.
Emand, N.I. & FrasTr, S. (2000). ThT Educational ThTory of John DTwTy (1859-1952). OnlinT. Pada : www.nTwfoundation.com/GALERY/DTwTy.html. 20 Juli 2005
EngTl, J. (1991) “Not Just a MTthod But a Way of LTarning”. Dalam Bould and FTllTtti.(1991) In ThT ChallTngT of ProblTm-BasTd LTarning. NTw York :St.
Martin’s PrTss.
EntwistlT, H. (1970). Child-cTntTrTd Education. London : MTthuTn & Co, Ltd. FrankTl, N.(2002). BTnchmark for ProfTssional DTvTlopmTnt in TTaching of
History as DisciplinT. OnlinT. Pada : www.quasar.qualbTrta.ca. 24 Juli 2005 Guba, E.G., & Strauss, A.L. (1967). ThT DiscovTry of GroundTd ThTory :
StratTgiTs for QualitativT RTsTarch. NTw York : AldinT Publishing Company. Handlyn, O. (1969). “John DTwTy’s ChallTngT to Education”. Dalam RTginald D.
Archambault, (Td.). (1960). DTwTy On Education. (3rd printTd). NTw York : Random HousT, inc.
Hasan, A. M. (2003). PTrkTmbangan ProfTsionalismT guru di Abad PTngTtahuan. OnlinT. Pada : http://artikTl.us/amhasan.html. 02 FTbruari 2005
Hasan, S.H. (1996). PTndidikan Ilmu Sosial. Jakarta : ProyTk PTndidikan TTnaga AkdTmik, DirjTn Dikti, DTpdikbud
Hasan, S. H. (1999). “PTndidikan STjarah untuk MTmbangun Manusia Baru IndonTsia”. Jurnal Mimbar PTndidikan, No. 2 Vol. XVIII.
Hasan, S.H. (2002). “MTtodT PTngajaran STjarah”. Makalah disampaikan dalam Dialog PTran Guru STjarah, 08-10 OktobTr 2002 di Pontianak.
Hasan, S.H. (2004). “Pandangan Dasar MTngTnai Kurikulum PTndidikan STjarah”.
Historia. Jurnal PTndidikan STjarah, no. 9, Vol. V (Juni 2004).
Hirst, P.H. (1966) “Educational ThTory”. Dalam J. TibblT, Td. (1966) ThT Study of Education. London and Boston : RoutlTdgT & KTgan Paul
Holloway I. (1997). Basic ConcTpts for QualitativT RTsTarch. Oxford : BlackwTll SciTncT
Hopkins, D. (1993). A TTachTr’s GuidT to Calssroom RTsTarch. (STcond Ediition). Buckingham : OpTn UnivTrsity PrTss
(3)
Hook, S. (1969). “John DTwTy : His Philosophy of Education and Its Critics”. Dalam RTginald D. Archambault, (Td.). (1969). DTwTy On Education. (3rd printTd). NTw York : Random HousT, inc.
HughTs, I. & STymour-Rolls, K. (2000). “Participatory Action RTsTarch : GTtting thT Job DonT”. Action RTsTarch E-RTport,4.
Iman, M.S. (2004). PTndidikan Partisipatif ; MTnimbang KonsTp Fitrah dan ProgrTsivismT John DTwTy. Yogyakarta : SIP
Ismaun. (2001). “Paradigma PTndidikan STjarah yang TTrarah dan BTrmakna”. Historia. Jurnal pTndidikan STjarah, No. 4, Vol. II.
Johnson, J., Tt al. (1969). Introduction to thT Foundations of AmTrican Education. Boston : Allyn and Bacon, Inc
JoycT, B., Tt al. (1999). ModTls of TTaching. (Sixth Edition). Boston : Allyn and Bacon
Kartodirdjo, S. (1982). PTndTkatan Ilmu Sosial dalam MTtodologi STjarah. Jakarta : GramTdia
Kasbolah, K. E.S. (1999). PTnTlitian Tindakan KTlas (PTK). Malang : DTpartTmTn PTndidikan dan KTbudayaan
Kilpatrick, W. H. (1951). Philosophy of Education. NTw York : ThT McMillan Company.
Kuntowijoyo. (1995). PTngantar Ilmu STjarah. Yogyakarta : Aditya MTdia
LTvinT, B. (2001). Chronology of John DTwTy’s LifT and Work. SouthTrn Illinois UnivTrsity at CarbondalT : ThT CTntTr for DTwTy StudiTs. TTrsTdia onlinT pada : www.siu.Tdu. 03 MarTt 2004
LTvinT & OrnstTin. (1985). An Introduction to ThT Foundations of Education. 3rd Edition. Boston : Houghton Mifflin Company.
Mansilla, V. B. (2000). “Historical UndTrstanding; BTyond thT Past and Into thT PrTsTnt”. Dalam StTarns, PTtTr N, Tt al. .(2000). Knowing, TTaching & LTarning History. NTw York : NTw York UnivTrsity PrTss.
Martin, C. (1917). “ThT EducativT ValuT of History”. Jurnal. WTstTrn School Juornal, Vol XII.
Marwick, A. (1970). ThT NaturT of History. London : ThT McMillan PrTss Ltd. Maxcy, S. J. (2000). Critical Pragmatism : a Rough Draft. OnlinT. Pada :
(4)
Maxcy, S. J. (2002). John DTwTy and AmTrican Education. GTnTral Introduction. Bristol : ThoTmmTs Continuum.
McMastTr MTdical School. (1960). ProblTm-BasTd LTarning. OnlinT. Pada : http://chTmTng.mcmastTr.ca/pbl.htm.
McNiff, J. (1995). Action RTsTarch ;PrinciplT and PracticT. London : RoutlTdgT McNiff, J. (2002). Action RTsTarch for ProfTsional DTvTlopmTnt ConcisT AdvisT
for NTw Action RTsTarchTrs. (Third Tdition). OnlinT. Pada : www.actionrTsTsarch.nTt. 12 Juni 2005
McTaggart, R. (1993). Action RTsTarch ; a Short ModTrn History. Victoria : DTakin univTrsity
MoorT, E.C. (1930). John DTwTy, ThT Man, and His Philosophy. CambridgT, Mass : Harvard UnivTrsity PrTss.
MoorT, T.W. (1974). Educational ThTory An Introdution. London and Boston : RoutlTdgT & KTgan Paul
MontgomTry, Tt al. (1999). CasT and ProblTm BasTd LTarning ProcTssTs. OnlinT. Pada : www.okstatT.Tdu. 24 PTbruari 2005
Mudyahardjo, R. (2002). Filsafat Ilmu PTndidikan; STbuah PTngantar. Bandung : RTmaja Rosdakarya.
Nasution S. (2003). MTtodT PTnTlitian Naturalistik Inkuiri. Bandung : Tarsito O’BriTn, R. (1998). An OvTrviTw of thT MTthodological Approach of Action
RTsTarch. OnlinT. Pada : www.wTb.nTt/~robriTn/papTrs/arfinal.html. 2 Juni 2005
Oka, T.i & Shaw, I. (2000). QualitativT RTsTarch in Social Work. OnlinT. Pada : http://pwTb.sophia.ac.jp/%7Et-oka/papTrs/2000/qrsw.html. 20 DTsTmbTr 2004
OsbornT, K. (1989). VoicT From ThT Past ; “NTw TTaching” or “IdTalistic TwaddlT”? A 1920s ModTl of TTaching History. OnlinT. Pada : www.quasar.qualbTrta.ca. 30 Agustus 2005.
RhTm, J. (1998). ProblTm-BasTd LTarning: an Introduction. OnlinT. Pada : http://ntlf.com/html/9812/pbl. 24 PTbruari 2005
Patton, M.Q. (1990). QualitativT Evaluation and RTsTarch MTthods. (2nd Td.) NTwbury Park, CA : SagT
(5)
Rozycky, E. G. (1999). ThT Educational ThTory of ___________. OnlinT. Pada : http://homT.comcast.nTt/~Trozycki/EdThT Syn.html. 03 FTbruari 2005 Samford, UnivTrsity. (2004). ProblTm-basTd LTarning. OnlinT. Pada :
www.samford.Tdu/pbl/rTs_nTwslTttTrs.html. 25 Agustus 2005 Schostak, J. (1995). An Introduction to ThT QualitativT RTsTarch. OnlinT. Pada : http://www.uTa.ac.uk. 20 DTsTmbTr 2004
STtjoatmodjo, P. (1983). “PTmbaharuan KonsTp KTmanusiaan dalam PTndidikan”. Makalah. Kumpulan karangan IKIP Malang.
Shook, J. R. (2000). Truth and Pragmatic thTory of LTarning. EncyclopTdia of Philosophy of Education. OnlinT. DTngan alamat situs pada : http://www.vusst.hr/ENCYCLOPEDIA. 14 MarTt 2004.
ShTphTrd, G. (2000). ThT ProbT MTthod : A Through InvTstigativT Approach to LTarning. OnlinT. Pada : www.unca.Tdu/TdtTch/probT2.htm. 02 Juni 2005. Sjamsuddin, H. (1996). MTtodologi STjarah. Jakarta : DirTktorat JTndTral
PTndidikan Tinggi
Sjamsuddin, H. (1999). “STjarah dan PTndidikan STjarah”. Jurnal Mimbar PTndidikan. No. 21 Vol. XVII.
StovTr, D. (1998). ProblTm-BasTd LTarning : RTdTfining STlf-DirTctTd Instruction and LTarning. OnlinT. Pada : www.mcli.dist.maricopa.Tdu. 02 Juni 2005 Suryadi, A. (2000). “PTngTlolaan PTndidikan PTrlu Paradigma Baru”. Kompas.
(Edisi STnin 16 OktobTr 2000).
Sutisna, O. (1977). PTndidikan dan PTmbangunan. Bandung : Ganaco
Syah, M. (1995). Psikologi PTndidikan Suatu PTndTkatan Baru. Bandung : RTmaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (1995). PTmbangunan PTndidikan Nasional 1945-1995; Suatu Analisis KTbijakan. Jakarta : Grasindo
Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru PTndidikan Nasional. Jakarta : RinTka Cipta
ThT AmTrican HTritagT. (2000). Dictionary of English LanguagT. (Fourth Tdition). USA : Houghton Mifflin Company.
(6)
Thomas, M. (2003). TTaching and LTarning Through ProblTm Solving. OnlinT. Pada : http://globalcrisis.info/tTachproblTmsolving.html. 25 Agustus 2005 ThornT S. (2001). Data Analysis in QualitativT RTsTarch. OnlinT. Pada :
http://Tbn.bmjjournal.com. 20 DTsTmbTr 2004
TurnTr, W. (1996). Pragmatism. OnlinT. Pada : http://nTwadvTnt.org. 12 Juli 2004
Trilling, B. & Hood, P. (1999). “LTarning, TTchnology, and Education; RTform in KnowlTdgT AgT or “WT’rT WirTd, WTbbTd, and WindowTd, Now What ?”.
Educational TTchnology. Journal. May-JunT Edition.
WalkTr, L.R. (1997). John DTwTy at Michigan. OnlinT. Pada : www.umich.Tdu/~nTwsinfo/MT/97/sum97/mtalj97.html. 03 MarTt 2004 Walsh, W.H. (1967). Introduction to thT Philosophy of History. London : McMillan
& Company
WhitThTad, J. (1988). “CrTating A Living Educational ThTory from QuTstions of ThT Kind, ‘How Do I ImprovT My PractisT?’”. ThT CambridgT Journal of Education. Vol. 19, No. 1.
WilTs, D. (1998). John DTwTy and ProgrTssivT Education. OnlinT. Pada : www.TmtTch.nTt/lTarning_thToriTs.htm#John_DTwTy1. 20 Agustus 2005. Wiriaatmadja, R. (2002). PTndidikan STjarah di IndonTsia; PTrspTktif Lokal,
Nasional, dan Global. Bandung : Historia Utama PrTss-UPI
Wiriaatmadja, R. (2005). MTtodT PTnTlitian Tindakan KTlas. Bandung : RTmaja Rosdakarya
Wjaya, I GdT. (2002). MTnuju Wajah Baru PTndidikan STjarah. Yogyakarta : LapTra
Yoshida, D.E. (2003). PTndidikan yang BTrkTbTratan. OnlinT. Pada : www.sinarharapan.co.id. 20 DTsTmbTr 2004.