Sutanto dan BIN.

._.

-

- -

- -

-

- -

Pikiran Rakyat
o Selasa
4

5
20

o Mar


0

21

0

Apr

0

Rabu
7
8

6

22

0


Kamis 0 Jumat
9
10
11

23

Mei

0

24

Jun

@)

25

0


Jul

0
12

0

27

0

Ags

Sabtu
13

0
28


Sep .Okt

Mlnggu
14
15
29

16
30

0 Nav 0 Des

Sutanto dan BIN
Oleh MURADI

S

ElAIN
ketidakpuasan
dan rasa penasaran publik terkait dengan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB 11),ada yang luput

disyukuri dan menjadi lompatan
besar dalam pengembangan
Badan Intelijen Negara (BIN) ke
depan. Sutanto, Mantan Kapolri
diangkat menjadi Kepala BIN.
Pilihan SBY terhadap Sutanto
menjadi taruhan besar bagi pemerintahan SBYmengingat Sutanto adalah pejabat intelijen
nonmiliter ketiga setelah Amir
Sjarifudin dan Subandrio.
Hams diakui, penempatan Sutanto secara politis kelembagaan
akan memengaruhi dinamika internal dan eksternal BIN. Sama
halnya ketika Amir Sjarifudin
mengawaki Lembaga Pertahanan B yang menggantikan
Badan Rahasia Negara Indonesia (BRAN!) yang dipimpin perwira militer, Zulkifli Lubis, atau
keberadaan Subandrio yang
diplot Sukarno di Badan Pusat
Intelijen (BPI) untuk mengimbangi Badan Informasi Staf
Angkatan Perang (BlSAP) yang
sangat dominan ketika itu.


-

--

Secara kelembagaan selama
ini, BIN sangat didominasi kalangan militer, terutama TNI
AD. Apalagi sejak bernama
BAKIN di awal Orde Barn dan
kemudian BIN' pada era ref ormasi, lembaga intelijen kita dapat dikatakan sangat militaryminded. Hampirtidak ada ruang
bagi sipil ataupun dari Polri untuk berkiprah secara lebih terbuka dan mengendalikan lembaga
tersebut. Hal ini juga teIjadi di
lingkungan Komunitas Intelijen
Daerah (Kominda) yang merupakan "kepanjangan taIigan"
BIN di daerah untuk mengoordinasikan berbagai hal terkait dengan tugas-tugas keintelijenan.
Bisajadi, Sutanto tak merasa
asing dengan dinamika tersebut.
Apalagi dengan bekal keahlian
reserse dan ilmu kepolisian, setidaknya menjadi bekal dalam
memimpin BIN lima tahun ke
depan.

Harus diakui, dari tiga aktor
keamanan TNI, Polri, dan BIN,
BIN lah yang relatif tertinggal
dalam proses reformasi sektor
keamanan. TNI dan Polri relatif
telah jauh melangkah dan
menyesuaikan dengan dinamika
politik demokratis yang menjadi
pilihan bangsa ini. Jika permasalahan TNI dan Polri hanya
seputar upaya bagaimana menjaga, netralitas politik dan pemenuhan anggaran, BIN justru
masih berkutat pada cara-cara
dan pendekatan lama yang cenderung mencederai esensi kemanusiaan. Salah satu contoh
adalah terbunuhnya
aktivis
HAM, Munir.
Sesungguhnya penempatan
Sutanto bukan tanpa tujuan.

Kllplng


Hum as

Un pad

Setelah dianggap sukses membawa Polri dalam memerangijudi dan korupsi. Sutanto dihadapkan pada permasalahan politis
kelembagaan yang cukup pelik.
Selain membangun kultur barn
BIN yang menghapus dikotomi
intel militer dengan intel sipil
dan atau polisi. Sutanto juga dihadapkan pada stigma negatif
publik terkait dengan kineIja
BIN yang dianggap masih
melakukan praktik kekerasan
dan pembungkaman hak-hak
politik sipil. Dua permasalahan
tersebut setidaknya menjadi
bagian dari lima agenda Sutanto
dalam menahkodai BIN.
Pertama, menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUD)
BIN yang secara umum maupun

khusus mengacu kepada niIai-nilai demokrasi. Hal ini untuk
menekankan bahwa sebagai
bagian
dari
pemerintah
demokratis hasil pemilu, BINjuga menjadi bagian dalam berbagai hal terkait dengan berbagai
mekanisme yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah pengawasan efektif oleh DPR
berhubungan dengan kineIja
dan anggaran. Hal inijuga berarti mematahkan anggapan publik
bahwa BIN enggan berubah. Indikatornya adalah ROO Intelijen
yang pernah diajukan BIN semasa
Syamsir
Siregar
memimpin BIN, sangatjauh dari
harapan publik. Legalitas keberadaan BIN hingga saat ini hanya
berupa Keputusan Presiden.
Kedua, menuntaskan kasus
terbunuhnya aktivis HAM, Mu00. Hams digarisbawahi bahwa
langkah ini tidak saja akan melapangkan jalan BIN menjadi lembaga profesional demokratis,
tetapi juga membangun pencitraan positif di mata publik. SBY


2009

31

menyadari, membuka kasus
Munir yang diduga melibatkan
petinggi BIN akan sulit dilakukan apabila BIN dipimpin
mantan petinggi militer.
Ketiga, menertibkan koordinasi antarunitclan lembagaintelijen yang ada. Selama ini ada
kecenderungan, BIN menjadi
lembaga operasional intelijen seomata. Padahal dalam Kepres
tersebut, BIN merupakan metamorfosis dari BAKINyang juga
memiliki fungsi mengoordinasikan unit dan lembaga intelijen lainnya dalam melakukan
berbagai operasi pendeteksian
dini. Hal inijuga berarti mengefektifkan kembali peran dan
fungsi Kominda agar dapat menjawab berbagai harapan publik,
supaya tidak lagi kecolongan
dengan ~i teror clan ancaman
terhadap eksistensi negara.

Keempat, mengefektifkan intelijen pertahanan, khusQsnya .
dengan negara-negara tetangga.
Intelijen pertahanan dimaksuqkan untuk dapat sedini mungkin
mengetahui pergerakan politis
maupun militer negara tetangga
yang menjadi ancaman terhadap
kedaulatan negara. Berbagai kasus perbatasan clan pelanggaran
wilayah perairan clanudara oleh
negara tetangga, semisal kasus
Ambalat, pergeseran patok perbatasan di sepanjang Pulau Kalimantan atau dengan perbatasan
TImor Leste, begitu meresahkan
masyarakat. Keberadaan intelijen pertahanan ini diharapkan akan memosisikan Indonesia lebih waspada terhadap
berbagai pergerakan negara
tetangga, juga pencitraan positif
BIN di mata masyarakat.
Kelima, meningkatkan keterampilan dan keahlian anggota
-intel
-- agar
----lebih mampu memo-

sisikan- perannya secara strategis

di masyarakat. Hal ini juga secara perlahan menghapus stigma "intel melayu" yang berkonotasi negatif terhadap BIN. Diharapkan, secara gradual pola
pendekatan yang digunakan
lebih mengacu pada penghargaan hak-hak sipil dan lebih
mengedepankan pola persuasif.
Hal lainnya tentu saja pemenuhan kesejahteraan anggota
BIN menjadi syarat mutlak
dalam mendorong clan membawa BIN menjadi lembaga profesional dan demokratis. Sebab
tanpa hal tersebut, agaknya Sutanto akan mengalami stagnasi
dalam setiap program clan kebijakannya. Selamat bekeIja Pak
Tanto!***

Penulis, dosenIlmu Pemerintahan, FISIP Unpad, BandUIlg.
---