T1 712010060 Full text

SIKAP GEREJA KRISTEN PROTESTAN JAWA BARAT (GKP JABAR)
TERHADAP FENOMENA KAWIN KONTRAK
DI PUNCAK BOGOR

Oleh,
Franklin Korua
712010060

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

Program Studi Teologi

Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2015
i

ii


iii

iv

MOTTO

v

“Aku berjuang untuk mencapai kesuksesanku.
Dan ketika aku tiba di sana, aku tidak akan
melupakan orang-orang yang pernah
berjuang bersamaku, dan mereka yang selalu
mendukungku, dalam perkataan maupun
doa.”

Semua Firman Allah adalah murni.
Ia adalah perisai bagi orang-orang yang
berlindung pada-Nya. (Ams. 30:5)


vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis naikkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
begitu besar kasih dan rahmat-Nya, sehingga penulis dimampukan untuk menyelesaikan
Tugas Akhir ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kuliah di Fakultas Teologi.
Perjalanan yang panjang, namun dari sini penulis belajar untuk terus berusaha, bangkit dari
segala permasalahan yang terjadi, terus bergegas dan tidak ingin menyerah. Tidak mudah
untuk melewati semua ini, tanpa campur tangan dari orang-orang yang ada di sekitar penulis.
Sungguh indah anugerah Tuhan, menempatkan mereka ada bersama-sama dan turut
membantu dalam berbagai aspek yang tidak dapat penulis lalui sendirian. Penulis hendak
mengucapkan terima kasih kepada mereka:
1. Bapak Dr. David Samiyono, selaku dosen pembimbing satu yang selalu meluangkan
waktu di tengah kesibukannya untuk dapat membaca tulisan saya, dan membimbing
saya untuk terus melangkah. Terima kasih Pak untuk waktu dan bimbingannya. Tuhan
memberkati kehidupan Bapak dan keluarga.
2. Bapak Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo, selaku dosen pembimbing dua yang tidak
pernah bosan melihat wajahku selalu muncul di depan ruangannya, meminta waktu
untuk bimbingan di celah jam istirahat. Mungkin bapak sudah lapar, tapi masih

menyediakan waktu untuk membimbing saya dan teman-teman saya. Terima kasih
untuk bukunya, bimbingannya, dan beberapa nasihat yang menguatkan saya untuk
terus berlari mengejar kesuksesan.
3. Dekan, Kaprogdi, Bapak dan Ibu Dosen, serta staff Tata Usaha Fakultas Teologi.
Terima kasih untuk bapak/ibu semua yang sudah menyediakan waktu dan membantu
saya menyelesaikan perkuliahan saya di sini. Terima kasih untuk ilmu yang dibagi
oleh bapak/ibu dosen sekalian, itu akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi saya
menghadapi masa depan.
4. Untuk Kak Ira Mangililo, selaku wali studi saya di Fakultas Teologi UKSW. Terima
kasih kak untuk semua nasihat dan kesempatan untuk mengembangkan diri yang
diberikan kepada saya. Tanpa kehadiran kak Ira, mungkin saya tidak akan
berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya.
5. Kepada keluarga: Papa, Mama, Kak Fice, Kak Jemi, Jefke, Gracia, dan Nikita. Kalian
adalah semangat dan harapanku. Tidak ada tuntutan lebih yang kalian inginkan, selain
daripada aku berhasil di tempat ini. Terima kasih selalu mendorong dan
memotivasiku.
vii

6. Kepada Jemaat GKI Tegalrejo. Terima kasih telah memberikan kesempatan untuk
melakukan praktik pendidikan lapangan I-IV, sehingga saya boleh mengembangkan

diri menjadi pelayan Tuhan. Terima kasih untuk Ibu Budi dan Pak Suharyadi, Mbak
Kikis, Mas Kris, dan jajaran guru sekolah minggu lainnya. Maafkan saya dan temanteman yang banyak mengeluh, tapi di luar itu, kami bahagia dan bangga pernah
melayani di tempat ini.
7. Buat Panti Asuhan Sion. Terima kasih saya sampaikan kepada ibu Hartiningsih dan
teman-teman dari asrama Sion, untuk kesempatan berkenalan dan berbagi cerita
bersama. Terima kasih untuk teh dan kue di sore hari, aku sangat senang
menghabiskannya.
8. Buat Jemaat GMIT “Kefas” Kampung Baru, Pdt. Bire, Pdt. Marthen Adu, Pdt. Ronny
Runtu, Bpk Pong, Bpk Boboy, Ma Ris, Bang Okto, Bang Jay, Bang Demsi, Kak
Leny, Kak Marda, Kak Anto, Kak Al, dan lainnya. Terima kasih sudah memberikan
kesempatan pada saya untuk menjalankan praktik pendidikan lapangan VI. Saya
diajarkan dan diberi banyak pengalaman lapangan yang nyata, untuk melihat berbagai
persoalan jemaat dan berbagai kerumitan pelayanan serta administrasinya. Terima
kasih untuk semuanya itu. Aku sangat merindukan kalian…
9. Kepada GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua. Pdt Sudrajad Adam dan majelis
yang ada. Saya berterima kasih karena boleh diberi kesempatan untuk melakukan
penelitian tugas akhir ini, sehingga saya boleh memenuhi syarat kelulusan dari
fakultas Teologi UKSW. Terima kasih untuk sambutan hangatnya dan berbagai cerita
yang dibagi tentang keberadaan gereja di Puncak Bogor. Semoga gereja boleh terus
berkembang dan menjadi terang bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

10. Teologi Angkatan 2010: ebe, kadek, andri, tya, jilly, leri dan teman-teman lainnya.
Aku mungkin akan melupakan wajah kalian, tapi kebersamaan yang kita lalui akan
selalu aku kenang. Terima kasih telah menjadi bagian hidupku selama empat tahun
menuntut ilmu di fakultas Teologi UKSW.
11. Gerobak: bambang, felix, dekson, nando, lamhot, wilson, olan, niko, sadrah, puspita,
k risma, cerol, desy. Tanpa kalian, ceritaku menjadi kurang seru. Maaf kalo punya
banyak salah, tapi kalian adalah partner terbaik selama aku kuliah di sini.
12. Kembar 56: k’ jack, k’ jerly, k’ vian, mas kris, mbak priska, pujo, nanta, okto, leo,
felix, presby, ony, mas tri, dan joko. Terima kasih atas pengalaman dan cerita yang
dibagi, kegilaan yang kita lalui akan terus mengocok perutku. Untuk bro Felix, terima

viii

kasih telah mengajariku banyak hal tentang persahabatan dan perjuangan menghadapi
hidup ini. Mari kita sama-sama bersemangat mengejar impian kita.
13. Geng kecilku, yang setia menemani dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini. Mas
Kur, Asye, dan Kitty. Terima kasih untuk waktu, tenaga, fasilitas, dan segala
pengalaman yang kita lalui bersama, berbagai cerita, canda dan tawa. Maaf sudah
mendahului, tapi aku pikir kalian yang mendorongku untuk sampai pada tahap ini.
Terima kasih sahabat.


Salatiga, Februari 2015

Penulis

ix

DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ............................................................................................................ ii
Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ....................................................................................... iii
Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ............................................................................... iv
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi .......................................................................... v
Motto ................................................................................................................................... vi
Kata Pengantar .................................................................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................................................. x
Abstrak ................................................................................................................................ xi
1. Pendahuluan ................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 5
1.4 Metode Penelitian..................................................................................................... 5
2. Hakikat Perkawinan, Hakikat Gereja dan Tugas Kenabian Gereja Di Tengah-Tengah
Masyarakat ..................................................................................................................... 6
2.1 Hakikat Perkawinan ................................................................................................. 6
2.2 Kawin Kontrak ......................................................................................................... 7
2.3 Perkawinan Berdasarkan Pemahaman Kekristenan ................................................. 8
2.4 Hakikat Gereja dan Tugas Kenabiannya .................................................................. 9
2.5 Teori Pilihan Rasional .............................................................................................. 12
3. Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat “Oikoumene” Cisarua
dan Posisinya di Tengah-Tengah Masyarakat yang Ada di Daerah Puncak .................. 14
3.1 Latar Belakang Gereja Kristen Protestan Jawa Barat Jemaat Oikoumene Cisarua . 14
3.2 Sikap Gereja Kristen Protestan Jawa Barat Jemaat Oikoumene Cisarua terhadap
Fenomena Kawin Kontrak di Puncak Bogor .................................................................. 18
4. Sikap Gereja di Tengah Perubahan Zaman dan Berbagai Dampak yang Harus
Dihadapi ......................................................................................................................... 21
5. Penutup ........................................................................................................................... 26
5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 26
5.2 Saran ......................................................................................................................... 27
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 28


x

ABSTRAK
Derasnya arus perkembangan zaman membuat gereja harus bergegas agar tidak
ketinggalan. Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat Oikoumene Cisarua
adalah gereja yang harus menghadapi salah satu akibat dari perubahan-perubahan yang
terjadi. Hal tersebut adalah praktik kawin kontrak yang berlangsung di kawasan Puncak
Bogor.
Bagaimana sikap Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat
Oikoumene Cisarua menanggapi fenomena kawin kontrak yang terjadi di Puncak Bogor?
Untuk menjawab pertanyaan demikian maka penelitian ini dilakukan. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini digunakan
untuk menganalisa konteks kehidupan masyarakat dan bagaimana posisi gereja di tengahtengah kehidupan masyarakat yang ada di Bogor. Teknik pengambilan datanya dilakukan
melalui wawancara mendalam dan observasi.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua
belum menanggapi praktik kawin kontrak yang ada di Puncak Bogor secara serius. Gereja
menganggap hal ini merupakan perkara yang ada di luar tembok gereja. Gereja harusnya
sadar bahwa ia diutus ke dalam dunia untuk menyampaikan kabar keselamatan bagi semua
orang, mereka yang percaya ataupun tidak. Dalam kehidupannya di tengah-tengah

masyarakat, gereja memiliki otoritas kenabian. Gereja memiliki tugas untuk menyuarakan
suara kenabiannya dengan menjelaskan bahwa praktik kawin kontrak ini memiliki dampak
yang besar. Setiap individu yang mengambil pilihan untuk melakukan praktik kawin kontrak
harus mampu untuk memikirkan secara matang, berdasarkan pertimbangan etis dan moral,
apakah keputusan mereka ini membawa dampak yang baik atau buruk bagi masyarakat luas.
Seringkali gereja terjebak dalam pola pemikiran tradisional yang bersikap eksklusif. Gereja
perlu mentransformasi tugas panggilannya di dunia ini sesuai dengan konteks kehidupan
masyarakatnya. Gereja tidak berada di dunia ini hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Gereja perlu menyadari bahwa, seperti yang dikatakan oleh Bonhoeffer, gereja adalah gereja
apabila ia hadir untuk orang lain.
Kata Kunci: GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua, tugas panggilan gereja, otoritas
kenabian.

xi

Sikap Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat Oikoumene Cisarua
Terhadap Fenomena Kawin Kontrak di Puncak Bogor

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Derasnya arus perkembangan zaman membuat gereja harus bergegas agar tidak
ketinggalan. Perkembangan di bidang sains dan teknologi telah memberi banyak perubahan bagi
kehidupan manusia. Perubahan-perubahan tersebut memberi banyak dampak, ada dampak yang
baik dan ada pula dampak yang buruk. Dampak yang baik dari perubahan ini adalah
meningkatnya pengetahuan dan kemudahan dalam berbagai segi kehidupan. Sementara itu,
dampak buruknya adalah kemerosotan moral yang menimbulkan fenomena-fenomena yang
menyimpang dari nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, seperti kekerasan, penindasan,
trafficking, bullying, pornografi, dan lain sebagainya. Untuk menghadapi hal-hal tersebut, gereja

perlu mengkaji kembali arti tugas dan panggilannya di dunia ini.
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipilih, dipanggil dan ditempatkan di dunia
ini untuk melayani Allah dan manusia. Gereja adalah umat Allah, yang “dipanggil keluar dari
dalam kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib” untuk memberitakan perbuatan-perbuatan-Nya
yang besar (1 Ptr. 2:9).1 Pada saat yang sama, mereka yang telah dipanggil keluar tersebut
kembali diutus ke dalam dunia, untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14). Hakikat gereja
di dunia ini adalah untuk membawa kabar keselamatan. Di antara gereja dan dunia terdapat suatu
hubungan yang erat. Gereja adalah persekutuan yang menghubungkan Kristus dengan dunia.
Dunia adalah ruang dimana gereja sebagai umat Allah hidup, bersaksi dan melayani. Gereja
tidak dapat ada tanpa dunia. Dunia tidak mempunyai tujuan tanpa gereja. Keduanya saling
membutuhkan.2

Gereja yang sadar akan hal ini, tidak akan memisahkan diri dari dunia tetapi berperan
serta untuk mendatangkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan ke dalam dunia. Gereja perlu
melihat fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar masyarakatnya. Dalam tugas panggilannya,
gereja memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ke dalam dan fungsi ke luar. Fungsi ke dalam
bertujuan untuk memelihara jemaat agar dapat melaksanakan dan mempraktikkan Injil,

1
2

J. L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2.
J. L. Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 195.

1

sementara fungsi ke luar bertujuan untuk memberitakan Injil tersebut. Gereja tidak hanya
dituntut untuk memperhatikan dirinya sendiri saja. Gereja harus mampu untuk memperhatikan
fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya. Menurut Dietrich Bonhoeffer, gereja
adalah gereja apabila ia hadir untuk orang lain. Gereja harus berbagi masalah-masalah sekular
dari kehidupan sehari-hari manusia, bukan mendominasi, melainkan menolong dan melayani. 3
Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat Oikoumene Cisarua adalah
gereja yang harus menghadapi salah satu akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi. Hal
tersebut adalah praktik kawin kontrak, yang ramai diberitakan oleh media, berlangsung di
kawasan Puncak Bogor. Sebagai gereja, GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua harus
memahami keberadaannya di dalam lingkungannya dan mengamati apa yang terjadi di
sekitarnya. Praktik ini dapat saja berpengaruh bagi kehidupan jemaat GKP JABAR Jemaat
Oikoumene Cisarua. Akan tetapi, penekanan yang lebih dari hal ini adalah bukan hanya gereja
mampu menjaga diri dan menjadi eksklusif agar tidak terpengaruh oleh praktik kawin kontrak
ini, melainkan bagaimana gereja mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsinya, ke
dalam dan ke luar, secara baik. Gereja diharapkan mampu menjaga jemaatnya, dan pada saat
yang bersamaan, gereja mampu memberi suatu kontribusi nyata agar dapat membantu
masyarakat di sekitarnya, melalui seminar, lokakarya, atau penyediaan lapangan pekerjaan,
untuk menjelaskan bahwa praktik kawin kontrak adalah praktik yang mengabaikan nilai
kekudusan dan bertentangan dengan Injil, sehingga gereja tidak memisahkan diri dari keadaan
dunia dan isu-isu yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
merupakan suatu persetujuan antara dua orang yang ingin berbagi hidup dan membangun rumah
tangga mereka sendiri. Dalam pemahaman umat Kristen, perkawinan adalah persekutuan hidup
antara pria dan wanita, atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap
dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. 4 Kebahagiaan yang ingin dicapai
bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, yang hanya
dapat dipisahkan oleh kematian dari salah satu pasangannya.
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen – Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012), 575.
4
Tim Pusat Pendampingan Keluarga KAS, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 17.

3

2

Perkawinan adalah suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Perkawinan adalah suatu
peraturan suci dan di dalamnya diatur hubungan antara pria dan wanita. Tuhan menghendaki
perkawinan itu sebagai suatu persekutuan hidup.5 Sungguh merupakan suatu pemiskinan dan
pengrusakan makna perkawinan jika tujuannya hanya dipandang sebagai suatu pemenuhan
kebutuhan seksual semata. Betapapun penting kedudukan persetubuhan atau kebutuhan seksual
tersebut dalam perkawinan, namun hal itu tetap tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan
perkawinan itu sifatnya kudus, dan dikuduskan oleh Allah.
Fenomena kawin kontrak ini sudah berlangsung di Bogor sejak tahun 1995. Ketika itu
ada proyek pembangunan Jatiluhur sehingga banyak tenaga asing yang melakukan praktik kawin
kontrak dengan penduduk lokal. Fenomena ini marak hingga tahun 2005, namun faktanya
menunjukkan bahwa sampai sekarang ini fenomena kawin kontrak masih terus berlangsung di
Bogor. Para turis terus berdatangan setiap tahunnya, biasanya pada musim hujan di bulan JuniAgustus, sehingga menjadikan kawasan Cisarua pada bulan ini dikenal sebagai musim kawin
kontrak.6 Perkawinan kontrak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dengan adanya imbalan
materi bagi salah satu pihak, serta ketentuan lainnya yang diatur dalam persetujuan kontrak atau
kesepakatan tersebut. Adanya kontrak atau kesepakatan ini menyebabkan kawin kontrak berbeda
dengan perkawinan pada umumnya karena memuat jangka waktu berakhirnya waktu perkawinan
sehingga perkawinan ini akan berakhir tanpa adanya putusan pengadilan, perceraian, atau
kematian. Hal inilah yang menyebabkan kawin kontrak tidak dapat dicatat oleh kantor
pencatatan perkawinan seperti KUA (kantor urusan agama) dan catatan sipil.
Gereja terkadang menutup diri terhadap perubahan dan hal duniawi yang terjadi pada
lingkungan yang ada di sekitarnya. Banyak gereja terperangkap di dalam sikap eksklusif dan
hidup untuk dirinya sendiri saja dengan segala kesibukan ke dalam demi kepentingan anggotaanggotanya.7 Hal-hal yang berada di luar tembok gereja tidak dianggap begitu penting. Ditambah
lagi bahwa sebagian gereja di Indonesia masih melihat dan memahami diri sebagai lembaga
kerohanian saja yang tidak perlu mengurusi persoalan duniawi, seperti masalah-masalah sosial,
ekonomi, kebudayaan dan politik. Pemahaman yang berat sebelah ini sangat tidak memuaskan
dalam konteks Indonesia. Apalagi dalam konteks Indonesia, dalam bidang sosial-ekonomi,
5

J. Verkuyl, Etika Seksuil Jilid 2 (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1957), 64.
www.akumassa.org. Musi Ara , Wisata hi gga Kawi Ko trak , http://akumassa.org/kontribusi/bogor-jawabarat/musim-arab-wisata-surga-hingga-ke-kawin-kontrak. Diunduh pada tanggal 27 Oktober 2014.
7
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Jakarta/Yogyakarta: BPK GunungMulia/Kanisius, 1997), 21.
6

3

kesenjangan di antara kaum yang kaya dan kaum yang miskin bagaikan dipisahkan oleh jurang
yang lebar. Gereja menjadi alergi dan tidak suka berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, dan
politik karena menganggap semua itu bukan urusan gereja. Sikap ini diperkuat oleh pandangan
masyarakat sendiri terhadap agama Kristen dan gereja yang dilihat sebagai lembaga agamawi
saja. Bila gereja menyuarakan pandangan yang berkaitan dengan ketidakadilan, perusakan hutan,
penindasan yang terjadi di sekitarnya, maka gereja dianggap keluar dari bidangnya. 8
Oleh karena itu, melalui pemahaman tugas yang seperti ini, penulis ingin melihat
bagaimana sikap GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua menanggapi fenomena kawin kontrak
yang ada di lingkungan sekitarnya. Apakah GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua hanya
berdiam diri dan tetap bersifat eksklusif, hanya mengurus kepentingan diri jemaatnya sendiri,
dan berpura-pura tidur atau seolah-olah tidak mendengar isu-isu sosial, ekonomi, atau politik
yang ada di sekitarnya, dalam hal ini salah satunya adalah praktik kawin kontrak yang ada di
Bogor. Jika gereja tetap diam, itu artinya gereja masih terjebak dalam pola pemikiran yang
bersifat eksklusif. Jika gereja mencoba untuk bergerak keluar dan mau memberikan suatu
kontribusi yang nyata bagi masyarakat yang ada di sekitarnya, maka itu berarti bahwa gereja
telah menjadi tetangga yang baik, tetangga yang mau bergumul bersama-sama dengan
masyarakat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi, sosial, dan politik yang ada
di dunia ini, khususnya dalam konteks Indonesia.9
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis memberi
judul bagi penulisan tugas akhir ini, yaitu:
“Sikap Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat Oikoumene Cisarua
Terhadap Fenomena Kawin Kontrak di Puncak Bogor”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak diteliti dalam
tugas akhir ini adalah: bagaimanakah sikap Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR)
Jemaat Oikoumene Cisarua terhadap fenomena kawin kontrak yang terjadi di Puncak Bogor?

8

Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Jakarta/Yogyakarta: BPK GunungMulia/Kanisius, 1997), 28.
9
Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 223.

4

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari tugas akhir ini, yaitu untuk mendeskripsikan dan
menganalisis sikap Gereja Kristen Protestan Jawa Barat (GKP JABAR) Jemaat Oikoumene
Cisarua terhadap fenomena kawin kontrak di Puncak Bogor.

1.4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang hendak digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti kondisi
obyek alamiah, dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan
secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi.10
Teknik pengambilan datanya akan dilakukan melalui wawancara mendalam dan
observasi. Wawancara memungkinkan peneliti mengumpulkan data yang beragam dari para
responden dalam berbagai situasi dan konteks. Dengan wawancara, penulis berharap dapat
mengetahui bagaimana posisi gereja di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang ada di Bogor
dan apa tanggapan gereja dalam menyikapi fenomena kawin kontrak. Sementara itu, dengan
melakukan observasi, penulis berharap dapat melihat konteks kehidupan dari jemaat. Manfaat
observasi adalah peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi
sosial, sehingga akan diperoleh pandangan menyeluruh.11
Adapun informan yang menjadi subjek penelitian dari penulisan tugas akhir ini adalah
pendeta selaku pemimpin dalam organisasi yang ada di gereja, majelis jemaat sebagai rekan
pelayan yang membantu pendeta dalam menentukan arah dan sikap dari gereja, dan beberapa
anggota jemaat yang memiliki hubungan dengan pelaku praktik kawin kontrak, entah terikat tali
kekeluargaan atau kekerabatan. Lokasi penelitian yang akan menjadi objek penelitian dari
penulisan tugas akhir ini adalah Gereja Kristen Protestan Jawa Barat Jemaat Oikumene Cisarua
yang terletak di kawasan Puncak Bogor. Pemilihan lokasi ini dikarenakan praktik kawin kontrak
berlangsung di kawasan Puncak Bogor. Jarak antara GKP JABAR Jemaat Oikoumene Cisarua
dengan tempat berlangsungnya praktik kawin kontrak ini sangatlah dekat, karena masih tercakup
dalam lingkup kecamatan yang sama, yaitu kecamatan Cisarua.

10
11

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta, 2013), 1.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta, 2013), 67.

5

2. HAKIKAT PERKAWINAN, HAKIKAT GEREJA DAN TUGAS KENABIAN GEREJA DI
TENGAH-TENGAH MASYARAKAT
Pemahaman tentang perkawinan berasal dari masyarakat. Gereja adalah bagian dari
masyarakat. Bagi gereja, perkawinan itu sifatnya kudus dan dikuduskan oleh Allah. Hal ini
dikarenakan, perkawinan itu menggambarkan hubungan antara Allah dan manusia, Kristus dan
Gereja. Untuk memahami lebih dalam mengenai makna kekudusan dari perkawinan itu sendiri,
perlu untuk mengetahui hakikat dan keberadaan gereja di dunia ini, serta bagaimana pemahaman
iman dari gereja tersebut. Hal-hal yang melanggar kekudusan merupakan suatu bentuk
penyimpangan terhadap ajaran dan pemahaman iman yang benar, seperti yang diberitakan oleh
Injil. Oleh karena itu, gereja perlu menyikapi fenomena-fenomena yang bertentangan atau
melanggar batasan dari peraturan yang telah ditetapkan, karena gereja memiliki tugas untuk
menerangi mereka yang terjebak dalam kegelapan dan memperdengarkan suara kenabiannya.

2.1. Hakikat Perkawinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “nikah” adalah suatu ikatan (akad) perkawinan
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama; hidup sebagai suami istri
tanpa perkawinan merupakan pelanggaran terhadap agama.12 Perkawinan merupakan kata atau
penyebutan lain dari pernikahan yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Perkawinan berarti
membentuk keluarga dengan lawan jenis, yaitu bersuami atau beristri. Dengan demikian,
perkawinan dapat diartikan sebagai suatu ikatan antara suami dan istri untuk hidup bersama
membentuk suatu keluarga sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama yang berlaku.
Menurut Kartini Kartono, perkawinan adalah adalah suatu peristiwa di mana sepasang
mempelai atau sepasang calon suami-isteri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu atau
kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin, untuk kemudian disahkan secara resmi
sebagai suami-isteri, dengan upacara dan ritus-ritus tertentu.13 Peristiwa perkawinan ini
merupakan suatu bentuk proklamasi, dimana secara resmi sepasang pria dan wanita itu
diumumkan untuk “saling memiliki satu sama lainnya”. Dengan diresmikannya pasangan pria
dan wanita ini, maka keduanya diikat secara lahir dan batin sebagai suami-istri.14 Ikatan lahir
nampak pada peraturan-peraturan formal yang ada di dalam masyarakat. Ikatan formal ini adalah
12

http://kbbi.web.id/nikah.
Kartini Kartono, Psychologi Wanita: Gadis Remaja & Wanita Dewasa (Bandung: Alumni, 1977), 207.
14
Bimo Walgito, Bimbingan & Konseling Perkawinan (Yogyakarta: ANDI, 2000), 12.
13

6

nyata, baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan istri, maupun bagi orang lain, yaitu
masyarakat luas. Oleh karena itu perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat
luas agar masyarakat dapat mengetahuinya. Sementara itu, ikatan batin adalah ikatan yang tidak
nampak secara langsung, di mana merupakan ikatan psikologis. Di antara suami-istri harus ada
ikatan ini, saling cinta mencintai satu dengan yang lain, tanpa adanya paksaan dalam
perkawinan. Bila perkawinan ini dilandaskan pada keterpaksaan, maka perkawinan tersebut tidak
terdapat ikatan batin di antara keduanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan wanita dalam balutan perjanjian suci dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Sebagai pembuktian janjinya ini, maka pasangan yang menikah berkewajiban untuk
saling mencintai dan menyayangi, hormat-menghormati, bekerjasama, saling membantu, serta
membina hubungan yang baik dengan keluarga besarnya guna mewujudkan rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera.

2.2. Kawin Kontrak
Kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah oleh kaum Muslim. Istilah mut’ah
mengandung arti “kenikmatan atau kesenangan”. Dengan demikian, tujuan dari orang-orang
yang melakukan praktik kawin kontrak adalah untuk memperoleh kenikmatan atau kesenangan
tersebut, dalam hal ini berhubungan dengan kenikmatan seksual. Pihak laki-laki yang ingin
melakukan praktik kawin kontrak menikahi pihak wanita dengan imbalan harta (uang) dan syarat
berlaku hubungan tersebut dalam jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan bersama. Dalam
perkawinan mut’ah, masa perkawinan akan berakhir tanpa adanya perceraian dan tidak ada
kewajiban bagi laki-laki untuk memberi nafkah, tempat tinggal, atau kewajiban lainnya. Selain
itu, perkawinan ini berlangsung sesuai akad perkawinan menurut agama Muslim, namun
perkawinan ini tidak mendapat izin untuk dicatat oleh kantor pencatatan perkawinan, karena
orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya sebagai lakon yang berperan sebagai penghulu,
saksi, dan pembacaan ijab qobul. Perkawinan ini dapat dikatakan sebagai perkawinan yang tidak
resmi. Hal inilah yang menyebabkan kawin kontrak tidak diizinkan baik menurut hukum agama
maupun hukum negara.
Kawin kontrak yang terjadi di Indonesia umumnya terjadi dengan berbagai modus yang
mendasarinya. Akan tetapi seringkali kawin kontrak tersebut dilakukan dengan alasan ekonomi,
7

yakni perempuan yang melakukan kawin kontrak berharap mendapatkan perbaikan kesejahteraan
setelah melakukan kawin kontrak. Jika ditinjau dari sudut pandang sosial, dapat terlihat bahwa
sebenarnya para wanita ini menjadi komoditas pemuas seks belaka dari laki-laki yang tidak
bertanggung jawab. Mereka melakukannya dengan berbagai alasan, di antaranya untuk
pemenuhan kebutuhan seksual. Perkawinan sesaat ini menjadi tempat penyaluran seksual dengan
berkedok bahwa perkawinan tersebut seolah-olah halal. Melalui perkawinan secara kontrak
kebutuhan seksual terpenuhi. Selain itu, mereka melihat seolah-olah apa yang mereka lakukan
sah secara agama. Hal ini dikarenakan pada saat berlangsungnya perkawinan tersebut mereka
melakukan layaknya perkawinan yang sah.15

2.3. Perkawinan berdasarkan Pemahaman Kekristenan
Perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atas dasar
saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama,
yaitu saling membahagiakan. Kebahagiaan yang ingin dicapai di sini bukanlah kebahagiaan yang
semu, yang hanya bersifat sementara, tetapi kebahagiaan yang ingin dicapai dalam perkawinan
adalah kebahagiaan yang kekal. Dalam pemahaman iman Kristen, perkawinan adalah suatu
persekutuan hidup yang berlangsung secara terus-menerus. Verkuyl mengatakan bahwa
perkawinan menurut kehendak Tuhan haruslah merupakan suatu persekutuan yang sejati. 16
Perkawinan adalah suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Peraturan itu bersifat
suci karena menggambarkan hubungan antara Allah dengan manusia. Di dalam peraturan suci itu
diatur hubungan antara pria dan wanita. Tuhan menghendaki perkawinan sebagai suatu
persekutuan hidup. Sungguh merupakan suatu pemiskinan dan pengrusakan makna perkawinan
jika tujuannya hanya dipandang sebagai suatu pemenuhan kebutuhan seksual semata. Betapapun
penting kedudukan kebutuhan seksual atau persetubuhan tersebut dalam perkawinan, namun hal
itu tetap tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan perkawinan itu sifatnya kudus, dan
dikuduskan oleh Allah.17
Kebutuhan seksual merupakan salah satu hal penting di dalam perkawinan. Hanya saja,
jika di dalam perkawinan hanya ada nafsu untuk memenuhi kebutuhan biologis tersebut, maka
15

F. Kertamuda, Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), 18.
J. L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman pada Hari-Hari Khusus (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1981), 230. J. Verkuyl,
Etika Seksuil Jilid 2 (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1957), 65.
17
J. Verkuyl, Etika Seksuil Jilid 2 (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1957), 64.
16

8

kehidupan perkawinan tersebut akan menjadi rusak karena salah satu pihak akan memandang
pihak yang lain hanya sebagai alat pemuas kenikmatan seksual belaka. Begitu juga halnya jika
dalam perkawinan tidak ada kecenderungan seksual, maka nilai dan makna perkawinan itu hanya
bersifat semu.18 Kebutuhan seksual memang perlu, namun hal itu bukanlah satu-satunya tuntutan
yang utama dalam perkawinan. Ada hal lain yang dapat menempati posisi yang lebih penting,
jika tidak sejajar, yaitu kasih dan kesetiaan. Kasih merupakan perekat antara suami dan istri di
dalam menjalani kehidupan perkawinan mereka. Sementara kesetiaan, merupakan kesediaan
untuk membina keutuhan tali perkawinan, tanpa keinginan untuk memutuskannya. Dengan
demikian, perkawinan memiliki makna yang begitu dalam bagi setiap insan yang memiliki
tujuan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati.

2.4. Hakikat Gereja dan Tugas Kenabiannya
Hakikat gereja adalah ia berada di dalam dunia, tetapi ia tidak berasal dari dunia (Yoh.
16:17 dst). Gereja tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri. Gereja berada bukan untuk gereja,
bukan demi kepentingan gereja, melainkan demi kepentingan kerajaan Allah. Dalam tugas
pelayanannya, gereja memiliki fungsi ke dalam dan fungsi keluar. Fungsi ke dalam bertujuan
supaya gereja makin bertambah-tambah di dalam kedewasaan, yaitu kedewasaan iman dan
pengetahuan tentang Kristus. Sementara itu, fungsi keluar bertujuan untuk memberitakan
kebenaran Firman Tuhan. Hal ini dikarenakan gereja dipandang sebagai garam dan terang dunia
(Mat. 5:13-14).19 Gereja tidak hanya dituntut untuk memperhatikan diri sendiri.
Seiring dengan perkembangan zaman dan segala perubahan yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakat, gereja tetaplah harus menjadi gereja. Gereja tetaplah harus
mencerminkan gambaran tubuh Kristus dan terus menjalankan misinya di dunia ini untuk
menyampaikan Kabar Baik bagi semua orang. Ini bukan berarti gereja bersifat statis dan tidak
peka terhadap perubahan, melainkan untuk menyatakan bahwa tugas gereja itu tetap dan tidak
berubah, hanya perwujudan tugas itulah yang perlu diubah.20 Perwujudan tugas ini berangkat
dari pemahaman subjek-subjek yang ada di dalam gereja itu sendiri. Jika subjek-subjek tersebut
dapat memahami tugas gereja dengan baik, maka akan tercipta keseimbangan bagi pelayanan ke
18

J. Verkuyl, Etika Seksuil Jilid 2 (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1957), 75.
Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1982), 386.
20
A. A. Yewangoe, Tantangan Gereja Memasuki Abad XXI, dalam buku Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki
Milenium Baru (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002), 1.

19

9

dalam dan ke luar gereja. Hal ini dikarenakan, pemahaman tugas gereja yang tradisional bersifat
tertutup dan eksklusif, tidak terbuka. Banyak gereja terperangkap di dalam sikap eksklusif dan
hidup untuk dirinya sendiri saja dengan kesibukan-kesibukan ke dalam untuk kepentingankepentingan anggotanya. Gereja dilihat sebagai pusat segala kegiatan, tetapi tidak terlalu
menganggap penting segala sesuatu yang terjadi di luar tembok gereja.21 Gereja tidak mau
menembus dinding egoisme dirinya sendiri untuk memberikan pelayanan secara maksimal bagi
orang lain dan menunjukkan bahwa nilai-nilai kekristenan mengandung makna kasih yang begitu
dalam. Kasih itu berwujud jika dipraktikkan bagi orang lain, bukan hanya kepada diri sendiri.
Melayani Allah berarti melakukan kehendak Allah, dan melakukan kehendak Allah
berarti berada di dunia untuk manusia. Berada di dunia merupakan wujud nyata dari
tanggungjawab gereja dalam melayani Allah. Maksudnya, keberadaan gereja adalah melakukan
segala sesuatu yang mendatangkan keselamatan bagi umat manusia. Dalam praktik, hal ini
berarti memperjuangkan supaya manusia dapat terus hidup di dunia ini dalam perdamaian,
keadilan (bebas dari penindasan dan ketidakadilan), kesejahteraan, kebahagiaan, dan lainnya.22
Gereja yang sadar akan dirinya sebagai organ (unsur ciptaan) yang telah memperoleh
keselamatan karena imannya kepada Yesus Kristus bertugas untuk mewartakan keselamatan
tersebut, dan menunjukkan bahwa keselamatan yang akan terpenuhi dan disempurnakan di dalam
Kristus merupakan keselamatan yang antisipatif, bukan baru dicapai pada akhir zaman di dunia
seberang.23
Di dalam arus deras modernisasi sekarang ini, pertanyaan penting mengenai apa peran
gereja di dalam dunia terdengar nyaring. Jawaban-jawaban yang dikemukakan mengarah pada
pemahaman yang sangat kuat menekankan peran sosial gereja. Intinya adalah panggilan gereja
untuk turut berperan dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan umat manusia seluruhnya,
yang dapat dirangkum dalam tiga pokok agenda: memperjuangkan keadilan, mengusahakan
perdamaian, dan memajukan kesejahteraan, yang kesemuanya saling terkait dan sama bermakna
bagi hubungan antara umat manusia maupun dengan ciptaan.24 Ketiga pokok agenda ini
mengandaikan kesungguhan gereja untuk menampilkan diri sebagai institusi moral-etik sosial,
21

Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Jakarta/Yogyakarta: BPK Gunung
Mulia/Kanisius, 1997), 21.
22
J. L. Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993), 197.
23
Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 222.
24
Zakaria Ngelow, Peran Sosial Gereja di Indonesia Dewasa Ini, dalam Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Acara
Wisuda STT Jaffray Makassar, Agustus 2000.

10

yang tidak hanya menjaga nilai-nilai kebenaran moral yang bersifat individual dan statis,
melainkan secara pro-aktif mempromosikannya dalam transformasi dan reformasi sosial.
Calvin mengatakan bahwa di dalam konteks sosial, gereja memegang otoritas yang
sifatnya lebih luas.25 Hal ini dikarenakan otoritas gereja tergambar dalam tubuh Kristus, atau
dengan kata lain kelanjutan kehadiran Kristus sendiri di dunia ini. Gereja memiliki otoritas
kenabian (prophetic) di tengah-tengah masyarakat. Gereja juga mengemban otoritas rohani, yaitu
bahwa gereja adalah satu-satunya institusi yang ditetapkan oleh Kristus sendiri untuk
menjalankan amanat-amanat rohani, seperti perjamuan kudus, membaptis, memberitakan injil,
dan memuridkan. Sakramen dan pemberitaan firman yang murni merupakan dua ciri utama
gereja.26
Gereja sebagai institusi yang memiliki otoritas kenabian di tengah-tengah masyarakat
harus mampu menjalankan tugas dan fungsinya seperti halnya nabi dalam rangka memberitakan
Firman yang murni. Nabi adalah orang yang berbicara atas nama Tuhan. 27 Kata nabi berasal dari
bahasa Ibrani, nabi atau nebiim. Seorang nabi tidak dapat berbicara menggunakan kata-kata atau
pendapatnya sendiri, melainkan harus menyuarakan apa yang memang diperintahkan oleh Tuhan
kepadanya. Hukumannya, jika ada nabi yang melanggar hal ini, maka nabi itu harus mati
(Ulangan 18:20). Kesetiaan nabi dalam menyampaikan kehendak Tuhan mencerminkan seorang
nabi sejati, tolok ukur yang membedakannya dengan nabi palsu. Nabi palsu hanya berbicara
untuk menyenangkan hati pendengarnya dan mencari popularitas demi dirinya sendiri. Nabi
sejati tidak demikian. Ia menyuarakan suara Tuhan sekalipun hal itu bukanlah sesuatu yang
menyenangkan hati dan enak didengar oleh telinga. Ia menyuarakan kebenaran, meskipun hal itu
tidak berhubungan sama sekali dengan dirinya sendiri.
Setiap nabi bekerja dalam ruang lingkup wilayah yang berbeda-beda.28 Ada nabi yang
dikenal sebagai nabi istana karena mereka bekerja di Istana. Mereka ini adalah para nabi yang
secara khusus dibayar dan dibiayai oleh raja. Tugas mereka adalah memberikan saran dan
nasihat kepada raja terkait keputusan-keputusan penting yang harus diambil oleh raja. Sebelum
raja mengambil suatu keputusan penting, raja merasa perlu untuk menanyakan kepada nabi
25

Kalvin S. Budiman, Calvin dan Lima Pilar Institusi Sosial, Jurnal Veritas 10/2 (Oktober 2009): 194.
Kalvin S. Budiman, Calvin dan Lima Pilar Institusi Sosial, Jurnal Veritas 10/2, (Oktober 2009): 195.
27
Eka Darmaputera, Mencari Allah – Pemahaman Kitab Amos tentang Mencintai Keadilan dan Kebenaran (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012), 1.
28
Eka Darmaputera, Mencari Allah – Pemahaman Kitab Amos tentang Mencintai Keadilan dan Kebenaran (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012), 3.

26

11

mengenai apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam perkara yang hendak dilakukan. Hanya saja,
seringkali yang terjadi adalah para nabi tersebut tidak menyampaikan apa yang menjadi
kehendak Tuhan, tetapi hanya apa yang menyenangkan hati raja. Hal ini ia lakukan demi
popularitasnya di hadapan raja sehingga ia boleh mendapat gaji yang lebih besar dan perlakuan
yang lebih baik.
Ada nabi-nabi yang bekerja di tengah masyarakat, biasanya di tengah masyarakatnya
sendiri, tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak. Para nabi ini memiliki tugas yang sama, yaitu
menyuarakan suara Tuhan di tengah-tengah konteks kehidupan masyarakatnya. Hanya saja,
penekanan dari isi pemberitaan itu bisa berbeda-beda antara nabi yang satu dengan lainnya. Hal
ini dikarenakan perbedaan konteks kehidupan di masing-masing masyarakat di tempat nabi
tersebut tinggal. Intinya, pemberitaan setiap nabi selalu bersifat kontekstual, selalu menyentuh
pokok persoalan yang konkret terjadi di masyarakat.29

2.5. Teori Pilihan Rasional
Teori ini dicetuskan oleh James S. Coleman. Menurutnya, teori pilihan rasional adalah
tindakan perseorangan yang mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau
pilihan.30 Ada dua unsur utama dalam teori ini, yaitu aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah
sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Dalam hubungannya
dengan praktik kawin kontrak, teori ini dapat menggambarkan bahwa para pelaku kawin kontrak
memiliki tujuan tertentu, entah itu demi kepentingan ekonomi, kebutuhan keluarga, atau
kebutuhan seksual semata. Ini membuat para pelaku kawin kontrak mengambil pilihan
berdasarkan tujuan tersebut. Sumber daya yang ada yaitu tersedianya kesempatan untuk
memenuhi kebutuhan dari pelaku kawin kontrak sangat menarik perhatian dan dapat dikontrol
oleh aktor yaitu mereka yang melakukan praktik kawin kontrak tersebut.
Para pelaku kawin kontrak melakukan pilihan tersebut demi mencapai tujuan mereka.
Meskipun demikian, mereka mungkin dianggap melanggar norma yang ada di dalam
masyarakat. Menurut Coleman, norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang yang
melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengamalan terhadap norma tersebut dan kerugian yang

Eka Darmaputera, Mencari Allah – Pemahaman Kitab Amos tentang Mencintai Keadilan dan Kebenaran (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012), 5.
30
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2014), 369.

29

12

berasal dari pelanggaran terhadap norma itu.31 Keuntungan dari norma yang melarang praktik
kawin kontrak adalah demi menjaga terjadinya ketidakseimbangan dalam masyarakat. Norma
perkawinan menjaga agar masyarakat mengetahui bahwa ada ikatan yang harus dijaga antara
suami dan istri sehingga tercipta tatanan yang seimbang. Sementara itu, kerugian yang tercipta
dari pelanggaran terhadap norma perkawinan akan mempengaruhi kehidupan keluarga dan
masyarakat. Hal ini juga akan berpengaruh bagi kehidupan pelaku kawin kontrak tersebut ke
depannya, jika nantinya ia memiliki anak sebagai hasil dari praktik tersebut. Kehidupan anak
secara holistik harusnya mampu dijaga oleh orang tua, hal ini dikarenakan kehidupan anak
merupakan tanggungjawab dari orang tuanya.
Coleman melihat bahwa seorang aktor atau sekumpulan aktor berupaya keras untuk
mengendalikan aktor lain dengan mengingatkan norma yang diinternalisasikan ke dalam diri
mereka. Jadi, sekumpulan aktor berkepentingan untuk menyuruh aktor lain menginternalisasikan
norma dan mengendalikan mereka. Ia merasa ini adalah rasional karena upaya seperti itu dapat
efektif dengan biaya yang masuk akal. Norma, melalui sanksi atau ancaman sanksi,
mempengaruhi tindakan individu. Pilihan yang dilakukan oleh para aktor terhadap sumber daya
yang ada harus sesuai dengan biaya yang masuk akal. Dengan demikian, pilihan yang diambil
akan dianggap rasional ketika bayarannya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

31

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2014), 371.

13

3.

GEREJA

KRISTEN

PROTESTAN

JAWA

BARAT

(GKP

JABAR)

JEMAAT

“OIKOUMENE” CISARUA DAN POSISINYA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT
YANG ADA DI DAERAH PUNCAK
Dalam penelitian ini, penulis berusaha menjangkau semua subjek yang berkaitan dengan
praktik kawin kontrak. Penulis memulai dengan Pendeta yang ada, para majelis, dan jemaat yang
memiliki hubungan langsung dengan pelaku kawin kontrak. Penulis juga berusaha untuk
menjangkau pelaku kawin kontrak, hanya saja, praktik kawin kontrak sekarang ini dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, sehingga sulit untuk menemukan pelaku kawin kontrak ini secara
langsung. Padahal penulis ingin mengetahui latar belakang mereka melakukan praktik kawin
kontrak. Berhubung penulis tidak mendapatkan pelakunya, maka penulis berusaha untuk
menjangkau jemaat yang memiliki hubungan langsung dengan pelaku kawin kontrak tersebut,
yaitu teman atau saudara mereka. Selain itu, penulis juga berusaha bertanya kepada jemaat yang
tempat tinggalnya berada di sekitar daerah berlangsungnya praktik kawin kontrak ini.

3.1. Latar Belakang Gereja Kristen Protestan Jawa Barat Jemaat Oikoumene Cisarua
Gereja Kristen Protestan Jawa Barat Jemaat Oikoumene Cisarua (GKP JABAR
Oikoumene Cisarua) berada di area Kompleks Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan
Partowidigdo, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Letaknya sekitar 22 km
dari Bogor dengan ketinggian sekitar 990 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi oleh
Gunung Gede, Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Mas. Kompleks ini dahulu masuk
dalam kawasan Perkebunan Teh Cisarua Selatan yang dimiliki oleh Bruno Theodorus Bik.
Gereja ini dapat dikatakan istimewa karena terletak di daerah pegunungan yang sangat
sejuk dan sangat strategis karena berada di daerah lintasan yang menghubungkan Ibu Kota
Jakarta-Bogor-Cipanas-Cianjur-Bandung yang selalu ramai. Di samping itu, gereja ini berada di
daerah wisata Puncak Bogor yang terkenal dengan Taman Safari Indonesia (TSI). Karena
letaknya yang strategis, banyak saudara-saudara seiman yang sedang berlibur, yang penataran,
dan yang beristirahat di villa, dapat mengikuti ibadah Minggu di gereja ini. Selain itu, gereja ini
terdiri atas warga Kristen yang datang/berasal dari berbagai denominasi gereja (GKP, GPIB,
HKBP, GKJ, Gereja Kristus, dan yang lainnya).
Penduduk kecamatan Cisarua terdiri dari penduduk asli Suku Sunda dan pendatang dari
beberapa daerah/etnis. Pada tahun 1950-an jumlah penduduk diperkirakan sekitar 8.000 orang,
14

dan saat ini berkisar sekitar 92.000 orang dalam satu kecamatan Cisarua. Mata pencaharian
penduduk adalah bertani, beternak dan sejak adanya perubahan status tanah menjadi
pemukiman/hotel, restoran/usaha lainnya pada tahun 1970-an , maka sudah banyak yang mencari
penghidupan sebagai pekerja hotel dan restoran, penjaga villa, pedagang, dan lainnya.
Pada tahun 1968, seorang hamba Tuhan, Pdt. Emeritus Sirmono Amien datang dari
Bogor ke Cisarua bersama keluarganya. Mereka tinggal di rumah sementara dekat dengan RSTP
Cisarua. Beliau pernah bekerja melayani Jemaat Ngoro-Jombang Jawa Timur. Setelah itu dinas
militer, sebagai Pendeta Militer, dan terakhir di Korem Suryakencana Bogor. Setelah pensiun
dari dinas militer, beliau aktif melayani warga Kristen di Cisarua. Beliaulah yang sering
melayani dalam memimpin Pendalaman Alkitab (PA). Rumahnya yang sederhana dan tidak
begitu luas dijadikan tempat beribadah pada hari Minggu. Lama-kelamaan anggota/warga jemaat
semakin banyak, sehingga pada saat kebaktian tidak semuanya mendapat tempat duduk di dalam
ruangan.
Pada tahun 1971 dibentuk Panitia Pembangunan Gereja. Pak Suparta kemudian menemui
Dr. M. Goenawan Partowidigdo selaku Direktur RSTP Cisarua dan menyampaikan kerinduan
warga Kristen yang ada di dalam Kompleks Rumah Sakit Cisarua dan sekitarnya, untuk memiliki
tempat beribadah di gedung gereja, namun mengalami kendala karena kesulitan mencari
lokasi/tanah, juga karena harga tanah yang mahal. Mendengar penjelasan tersebut, Pak Goen
berkenan memberikan ijin, lalu dibuatlah Surat Ijin No.203/RP/71 tertanggal 15 Februari 1971.
Tanggal 15 Februari tersebut dijadikan sebagai hari jadi/tanggal berdirinya GKP JABAR
Oikoumene Cisarua.
Pada bulan Mei 1971, dilakukan upacara Peletakan Batu Pertama oleh Pdt. Sirmono
Amin. Gereja ini selesai dibangun pada akhir tahun 1972. Pada tanggal 26 Desember 1972,
gereja ini ditahbiskan di dalam Ibadah Khusus sekaligus dengan Perayaan Natal, yang dipimpin
oleh Pdt. Habandi selaku Ketua Umum BPM Sinode GKP Bogor dan didampingi oleh Majelis
Jemaat. Akhirnya, Gereja yang pertama ada di wilayah Cisarua Bogor ini dengan resmi didirikan
dengan nama Gereja Kristen Pasundan Pos Kebaktian Cisarua. Pada tanggal 9 September 1988,
Gereja Kristen Pasundan Pos Kebaktian Cisarua didewasakan menjadi jemaat mandiri yang
diteguhkan dalam Ibadah Pendewasaan Jemaat.
Pada tahun 1975-1988, terjadi suatu perbedaan pendapat/pandangan antara Gereja
Kristen Pasundan Bogor dengan BPM Sinode GKP (Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja
15

Kristen Pasundan) Bandung, yang melibatkan Pos-Pos Kebaktian Jonggol, Cigelam dan Cisarua.
Pada tanggal 17 Desember 1989, Rapat Anggota Jemaat memutuskan untuk keluar dari
Pasundan dan bergabung dengan Gereja POMMADI berkantor pusat di Jl. Kawi-Kawi Bawah
No. L50 Jakarta. Pada waktu proses penggabungan tersebut, ada muncul ide mengganti nama
POMMADI, yaitu menjadi “Gereja Kristen Protestan Jawa Barat” disingkat “GKP JABAR”.
Dengan perubahan nama ini, keluarlah Surat Keputusan dari