T1 802008042 Full text

GAMBARAN KECEMASAN PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI
READMISI

OLEH
NADYA ZEFANYA SAKUL
80 2008 042

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

GAMBARAN KECEMASAN PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI
READMISI


Nadya Zefanya Sakul
Sutriyono
Rudangta Anti Sembiring

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

Abstrak
Readmisi seringkali menjadi faktor yang menyebabkan kecemasan pada mahasiswa yang sudah habis
masa studinya. Dalam kondisi cemas tersebut akan mendorong seseorang untuk berusaha keluar dari
kondisi yang tidak menyenangkan tersebut. Sikap seseorang ketika dihadapkan dalam kondisi tersebut
dapat menjadi motivasi untuk melanjutkan studinya atau sebaliknya justru sebaliknya menjadi tekanan
untuk melanjutkan studinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif agar dapat menggambarkan
kecemasan dari mahasiswa yang mengalami readmisi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa
mahasiswa yang mengalami readmisi menggunakan beberapa cara defense mechanism untuk berusaha
keluar dari kecemasannya. Tekanan dari orangtua menjadi faktor yang dominan penyebab kecemasan

pada mahasiswa readmisi. Namun demikian readmisi dapat juga menjadi motivasi seseorang untuk
segera menyelesaikan studinya.

Kata Kunci : readmisi, mahasiswa, kecemasan

Abstract
Readmisi is factor that causes anxiety in students who have finished their study. In a state of anxiety

will certainly encourage someone to try to get out of the unpleasant conditions. A person’s attitude
when faced with a set of conditions can be motivated to continue their studies or otherwise be preasure
to continue their studies. This study used qualitative methods in order to describe the picture of anxiety
of students who experienced readmisi. The result showed that students who experience readmisi defense
mechanism uses several ways to try to get out of anxiety. Pressure from parents becomes the dominant
factor causing anxiety in students readmisi. However readmisi can also be a motivation for someone to
soon

Keyword : readmisi, student, anxiety

PENDAHULUAN
Sebagai syarat meraih gelar sarjana atau syarat lulus dari perguruan tinggi adalah

membuat karya ilmiah, tugas akhir atau yang sering disebut dengan skripsi. Hal ini pasti
dialami oleh hampir seluruh mahasiswa diperguruan tinggi manapun termasuk juga di
Universitas Kristen Satya Wacana. Di Universitas Kristen Satya Wacana. Ujian karya tulis
ilmiah (tugas akhir, skripsi, tesis, disertasi) adalah proses penilaian kemampuan mahasiswa,
yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi (PPKA UKSW: 2009).
Sebagai syarat untuk mengakhiri program studi atau meraih gelar sarjana, mahasiswa harus
menyelesaikan skripsi dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Di UKSW sendiri waktu
yang diberikan untuk menyelesaikan studi adalah 7 tahun, jika lebih dari 7 tahun mahasiswa
akan dikenai readmisi. Readmisi adalah proses penerimaan kembali mahasiswa UKSW yang
sudah keluar atau dianggap keluar karena lalai registrasi selama 3 (tiga) semester berturut-turut
atau habis masa studi (Pasal 19 PPKA UKSW: 2009). Hal tersebut yang sering kali menjadi
ketakutan bagi mahasiswa, yaitu jika tidak dapat mencapai target atau waktu yang sudah
ditentukan untuk menyelesaikan tugasnya.
Pada penelitian yang sebelumnya yang dilakukan oleh Tansel (2013) menyatakan
bahwa tingkat stres yang dialami mahasiswa tingkat wreda dalam pengerjaan tugas akhir ini
lebih tinggi dari pada mahasiswa yang mengalami readmisi. Namun kondisi readmisi menjadi
tekanan tersendiri bagi mahasiswa, satu sisi mereka masih dihadapkan dengan tanggung jawab
menyelesaikan skripsinya, tetapi masa studi yang sudah cukup lama pun membuat mereka
terkadang terlalu lelah dan ingin segera keluar dari kondisi tersebut (Nadya, wawancara
pribadi, 9 April 2015). Seperti yang diungkapkan oleh Freud ketika menemukan dirinya (ego)


dikepung dari tiga sisi (id, superego, eksternal) oleh daya-daya yang berbeda dan sama
kejamnya, ego akan bereaksi dengan cara yang bisa diprediksi yaitu dia menjadi cemas.

Dalam kondisi cemas akan menuntut seseorang untuk berusaha keluar dari kondisi
tidak menyenangkan tersebut. Berbagai cara akan coba dilakukan untuk dapat mengatasi
kecemasannya. Lazarus dalam Siswanto (2007) melihat bahwa defens mechanism sebagai
salah satu jenis koping, dan membaginya menjadi 2 jenis. Jenis yang pertama adalah tindakan
langsung yang merupakan usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi
kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang
bermasalah dengan lingkungan. Jenis yang kedua adalah peredaan atau peringanan (palliation),
jenis ini mengacu pada mengurangi atau menghilangkan atau menoleransi tekanan-tekanan
fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan
yang bermasalah.

Atkinson (1991), mengungkapkan ada dua cara utama menanggulangi

kecemasan yang pertama adalah menitikberatkan masalah; individu menilai situasi yang
menimbulkan kecemasan dan kemudian melakukan sesuatu untuk mengubah atau
menghindarinya. Cara yang kedua adalah menitikberatkan emosi; individu berusaha mereduksi

perasaan cemas melalui berbagai macam cara dan tidak secara langsung menghadapi masalah
yang menimbulkan kecemasan itu.
Setiap orang akan menghadapi situasi yang menekan dengan caranya sendiri, dan
seringkali menggunakan penggabungan cara yang menitikberatkan emosi dengan cara yang
menitikberatkan masalah (Atkinson, 1991). Kecemasan dapat menjadi fungsi adaptif atau
justru menjadi fungsi maladaptif tergantung dari individu mengelola kecemasannya. Oleh
karena itu tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menggambarkan kecemasan yang
dialami oleh mahasiswa yang mengalami readmisi dan usaha yang mereka lakukan untuk
mengatasi atau mengurangi kecemasannya tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dianggap mampu untuk
memahami fenomena yang ada dalam penelitian ini secara mendalam. Pengambilan data
menggunakan wawancara dan observasi. Teknik pencatatan dalam wawancara ini
menggunakan teknik rekam (recording) menggunakan alat perekam suara. Setelah itu,
dilakukan pengetikan transkrip wawancara dengan mendengarkan hasil rekaman dan
menuliskan kata per kata. Setelah itu proses pemberian kode pada transkrip wawancara agar
memudahkan dalam proses analisis data. Peneliti kemudian mengelompokkan data sesuai
dengan tema yang digunakan dalam penelitian. Kemudian peneliti mencoba untuk
membandingkan antara partisipan pertama dan partisipan kedua. Dari kedua partisipan peneliti

melihat persamaan dan juga kekhasan dari masing-masing partisipan. Pengambilan data
dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014 kepada partisipan 1 dan pada partisipan 2 dilakukan pada
tanggal 9 April 2015.
Peneliti membandingkan dan meneliti kembali derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh dari data hasil wawancara dan observasi dengan melakukan member check
partisipan pertama dan partisipan kedua. Selain itu juga digunakan triangulasi sumber data
dengan menggunakan informan yang merupakan orang-orang terdekat para partisipan
(Moleong, 2010).
Partisipan
Partisipan dari penelitian ini terdiri dari dua orang mahasiswa UKSW, angkatan 2006 yang
mengalami readmisi karena habis masa studinya. Digunakan teknik purposive sampling untuk
menentukan partisipan penelitian (Herdiansyah, 2012). Partisipan dua penelitian ini
sebelumnya pada 2005 pernah berkuliah di universitas lain mengambil jurusan teknik elektro.
Namun partisipan dua memutuskan untuk keluar karena merasa bukan bidangnya, itu hanya

karena keinginan orangtuanya saja. Setelah memutuskan untuk keluar pada tahun 2006
partisipan dua masuk di UKSW.

HASIL PENELITIAN
Pada hasil penelitian ini akan dipaparkan hasil analisis yang ditemukan dari kedua

partisipan dengan merujuk kembali pada tujuan awal penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan bagaimana gambaran kecemasan yang dialami oleh mahasiswa yang
mengalami readmisi.

Penyebab mengalami readmisi

Kedua partisipan menyadari bahwa kondisi mereka yang sudah terlalu lama dalam studi
mengharuskan mereka untuk mengalami readmisi. Namun alasan yang membuat mereka
akhirnya harus mengalami readmisi ini berbeda. P1 menyatakan bahwa dirinya mengalami
kejenuhan dan merasa tidak senang dengan skripsinya bahkan untuk kembali membangkitkan
semangatnya P1 merasa kesulitan. Untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing pun P1
kesulitan karena merasa sudah tidak dibimbing oleh pembimbingnya. Ada rasa kecewa yang
dirasakan P1 terhadap pembimbingnya karena apa yang diharapkannya didapat dari dosen
pembimbing tidak seperti apa yang P1 bayangkan sebelumnya. Sampai pada akhirnya P1
mengalami stagnasi dalam pengerjaan skripsinya. Hal ini tergambar dari kutipan wawancara
berikut :
“akunya sendiri juga sudah bosen, kadang skripsi doang mau kerja kayaknya mikir skripsi, nggak kerja
kayaknya gimana.”
“yang bikin bosen itu, satu, iya itu, e..tersendat-sendat e..dari dari apa, dari dosen pembimbing; sama
bosen sama akhirnya aku nggak bisa ngumpulin semangat kayak kemarin, karena ngumpulin semangat

itu susah”
“Bab 3’nya yang kesendat sampe sekarang. Karna itu tadi, aku bingung, ternyata, aku pengen
bimbingan mau minta masukan dari dosen pembimbing 1, cuman akhirnya kayaknya aku dilepas. Ga

tau ya mungkin pikirnya aku bisa apa gimana, cuman aku merasa tersesat, bingung, aku mau ngambil
ini kok kayaknya pertimbangannya ini, tapi akhirnya aku nggak bisa mutusin ”

Berbeda dengan P2 yang menyatakan bahwa keputusan untuk readmisi ini sudah
dipersiapkannya dan hal ini sudah jadi pilihannya. Meski demikian P2 memilih untuk readmisi
karena merasa tidak suka dengan sistem pendidikan yang diterapkan di universitas. Selain itu
P2 ini memiliki prinsip bahwa ilmu tidak dapat dibatasi oleh waktu. P2 merasa waktu yang
diberikan universitasnya untuk menyelesaikan studi ini tidak cukup untuk dirinya, karena P2
masih ingin belajar lebih. Meski demikian P2 sempat menyalahkan sistem yang
mengharuskannya mengambil mata kuliah yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan
musik. Hal ini dianggap P2 sebagai salah satu penyebab yang membuat dirinya semakin lama
lagi dalam studinya. Hal ini didukung dengan kutipan wawancara berikut :
“Bahkan, aku, kenapa bisa readmisi ya, jujur aku nggak cocok sama sistem pendidikan di sini. Bukan
masalah trimester atau dwimester, aku cuek aja. Cuman orang belajar kok dibatesin gitu lo, aneh kan.”
“aku agak trauma sih, ada MKU, kemudian mata kuliah-mata kuliah yang nggak ada hubungannya
sama sekali sama musik. Heranku disitu.”

“harus ambil lagi, sksnya kurang lagi, iya kan. Ya jangan salahin aku kalo kuliahku lama ya.”

Reaksi emosi terhadap skripsi

Terdapat kesamaan yang dialami oleh kedua partisipan ini ketika dihadapkan dengan
skripsinya. Kedua partisipan sama-sama merasakan takut menghadapi skripsinya. Ketakutan
yang dialami oleh kedua partisipan ini merupakan tanda bahwa mereka merasa cemas. Seperti
yang diungkapkan oleh Kaplan (1997) yaitu perasaan kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan
yang difus, tidak menyenangkan, dan samar-samar, seringkali disertai gejala otonomik, seperti
nyeri kepala, berkeringat, dan gangguan lambung ringan. Ketakutan yang dirasakan oleh P1
adalah ketakutan jika harus berhadapan langsung dengan dosen pembimbingnya. Meski hal
tersebut belum dihadapinya, P1 merasa takut jika nantinya harus menerima banyak revisi dari
pembimbing terkait skripsinya. Walaupun sebenarnya ada keyakinan dalam diri P1 tetapi

karena rasa takutnya tersebut membuat P1 kurang percaya diri dalam menyelesaikan
skripsinya. Kepribadian P2 yang perfeksionis menuntut P2 untuk mempersiapkan recitalnya
dengan hasil yang sempurna. Hal tersebut yang kemudian memunculkan perasaan grogi dan
juga takut jika nanti ada kesalahan dalam proses pengerjaannya. Persamaan yang muncul dari
P1 dan P2 adalah masalah perfeksionisme yang besar. Perfeksionisme yang besar akan
memunculkan kekhawatiran, takut gagal, takut ditertawakan, takut orang lain marah dan

seterusnya, padahal tidak benar atau belum tentu (Julia Maria van Tiel & Johan Flores van Tiel,
2015).

Reaksi emosi akibat readmisi

Sebenarnya setelah readmisi kedua partisipan merasa biasa saja, justru merasa lega
karena tidak lagi seperti diburu oleh waktu, dibanding ketika sebelum readmisi. Terdapat hal
yang nampak pada P1 tetapi tidak nampak pada P2 yaitu ada rasa minder yang dirasakan oleh
P1 terhadap teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus. Selain itu P1 juga merasa kecewa
terhadap dirinya sendiri karena belum lulus. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut :
“Kalo adek angkatan aku nggak minder, temen angkatan aku minder. Cuman nggak minder-minder
banget sih.”

”Tau nggak, M ujian, aku harus dateng kan, temen, temen baik. Itu tu rasanya gimana gitu, liat temen,
terus mereka bilang, “ L, masuk lho”. “Nggak, aku nggak akan masuk. Aku di luar aja, aku menunggu,
aku doain dari luar”. Karena gimana ya, seneng; seneng waktu temen berhasil, tapi kok aku, rada
kecewa ketika, ngelihat diri sendiri, “aku kok belum ya”.”

Tekanan yang dialami saat readmisi


Dari hasil wawancara terdapat kesamaan penyebab atau sumber tekanan yang dialami oleh
kedua partisipan. Hal tersebut adalah tuntutan dari orang tua untuk segera lulus. Pada P1 hal
ini ditunjukan pada kutipan berikut :

“kalo tekanan iya pasti, satu kalo udah readmisi kalo boleh ya udah cepet selesai. Orangtua juga udah
nuntut to.”

“Jadi buat kekuatiran kerja aku nggak. Cuman mungkin ya, karena tuntutan orangtua terus selesai
kerjaan eh..selesai kuliah itu terus kerja cari pengalaman, itu sih yang tekanan tadi”
“tuntutannya sebenernya, karena kakakku juga belum selesai.”
“mungkin tetep tekanan dari orang tua no.1”

Hal tersebut juga di akui P1 sebagai penyebab skripsinya hingga saat ini belum selesai. Orang
tua P1 juga menginginkan P1 pulang ke daerah asalnya setelah selesai nanti padahal P1 tidak
menginginkan hal tersebut dan ini juga yang menjadi kecemasan bagi P1 mencari alasan untuk
tidak pulang ke daerah asalnya setelah selesai nanti. Berikut kutipan wawancaranya :
“sebetulnya kayaknya mungkin ya kalo dilihat alasan belum selesai itu memang salah satu kendala di
di di di..skripsi, tapi ketidak ingin pulangan, nggak ingin balik dulu
“yang penting selesaiin ini aja dulu. Kecemasan kedua ketika aku lulus itu adalah cari alasan
bagaimana aku belum langsung pulang.”

Sedangkan P2 mengatakan bahwa orangtuanya sama sekali tidak mengejar-ngejar P2 untuk
segera lulus. Seperti pada kutipan berikut :
“e..iya sih, nanya kabar gimana, gimana prosesnya, tapi kalo ngejar-ngejar, nggak.”
“sama sekali, ya paling ditanyain gimana proposalnya dah sampe mana, kapan PKL, dimana, udah,
sebatas itu. “Kamu kok lama banget sih kuliahnya, ngapain aja?”, nggak.”

Namun penuturan ini berbanding terbalik dengan hasil triangulasi yang dilakukan peneliti.
Triangulasi dilakukan dengan mewawancari NN, kekasih P2 yang memang berada dekat
dengan P2 dan juga mengenal keluarga P2. NN menuturkan bahwa memang orang tua P2 justru
lebih sering bercerita atau berkeluh kesah kepada NN. Menurut pernyataan NN, dirinya dan
adik P2 yang diberi mandat untuk memberi semangat dan motivasi pada P2 jangan sampai P2
ini lepas. NN pun mengatakan bahwa orang tua P2 sering menyampaikan ketakutannya
terhadap kondisi P2 yang hingga saat ini masih belum selesai. Memang menurut yang
disampaikan NN P2 mengambil keputusan untuk readmisi pun juga sudah bersiap dengan

segala konsekuensi yang memang harus diambil. Selain itu dengan adanya readmisi yang
dialami, P2 harus berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa P2 mampu melewati
konsekuensi tersebut.
Hal di atas menunjukkan bahwa sebenarnya ada rasa cemas yang dirasakan oleh P2.
Karena ketika seseorang mengalami kecemasan itu akan mendorongnya untuk membentuk
sebuah sikap yang berguna untuk melindungi ego seseorang dari rasa sakit akibat kecemasan
tersebut (Freud, 1933/1964 dalam Jess Feist, dkk, 2008 - 32)

Dinamika timbulnya kecemasan akibat readmisi

Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan atau memperingatkan akan adanya
bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang untuk segera mengambil tindakan
defensive terhadap tekanan yang mengancamnya tersebut. Sinyal kecemasan ini akan

menstimulasi seseorang untuk bergerak entah menjauh atau bertahan terhadap bahaya yang
mengancam. Tindakan inilah yang juga berusaha dilakukan oleh kedua partisipan ketika
mengalami kecemasan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan wawancara di bawah ini :
“bukannya aku nggak mikir, aku tu mikir, bukan aku diem kayak gini tu aku nggak mikir, jangan pernah
pikir aku tu sampai-sampai nggak tertekan, aku tertekan, aku sebenernya berusaha em...menahan
emosiku supaya nggak kemana-mana .”
“Em..entah itu jadi motivasi atau jadi ketinggalan aku, cuman tapi aku hadepin itu, udah jalan, ketawa,
makan bareng.”

Dari kutipan wawancara di atas menunjukkan bentuk defense mechanism yang dilakukan P1
yang disebut dengan denial. Denial yaitu melakukan blocking atau menolak terhadap
kenyataan yang ada karena kenyataan yang ada dirasa mengancam integritas individu yang
bersangkutan (Lazarus, 1976 dalam Siswanto, 2007). P1 berusaha menghindar dari emosi yang
dialaminya padahal sebenarnya P1 merasa tertekan dan memikirkan masalahnya. Selain itu P1

juga berusaha menghadapi rasa tertekannya dengan tetap tertawa dengan teman-temannya
padahal sebenarnya ada perasaan minder dalam dirinya.
Sedangkan pada P2, terdapat beberapa defense mechanism yang muncul. Bentuk
pertama adalah pembentukan reaksi (reaction formation), salah satu cara dengan
mengekspresikan dorongan yang mengancam itu dalam bentuk tingkah laku yang
bertentangan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut :
“Bahkan, aku, kenapa bisa readmisi ya, jujur aku nggak cocok sama sistem pendidikan di sini. Bukan
masalah trimester atau dwimester, aku cuek aja. Cuman orang belajar kok dibatesin gitu lo, aneh kan.
Jadi, banyak orang nggak ngerti soalnya, yang ngerti paling cuma temen-temen deket aja.
“ Kalo aku cepet lulus tapi caranya aku lulus ga bener..yaah, soalnya, pertama aku kan nggak suka
sistem, nggak suka sistem di sini, tapi aku juga punya prinsip gitu lo. Aku juga punya prinsip, ambil
jalan tengah, gimana caranya supaya, aku lulus, tapi pake caraku. Aku nggak ikut sistem sini, gitu.”
”misalnya, ada teori kan, teori gitu kalo aku bener-bener ndak ngerti, bakalan nggak kuliah, bukan
masalah nilaiku kuliah dibawah standart nggak, nilaiku bagus, cuman dibawah 75% 50% itu aku nggak
ngerti, materinya apa yang diajarin. Dosennya juga susah ditemuin kan, jadi kalo aku mau tanya-tanya
privat gitu, nggak ada waktu. Ya udah aku pulang. Yang bikin lama itu.”

Pada kutipan di atas menggambarkan keinginan P2 untuk lulus tetapi tindakan yang
dilakukannya justru bertentangan. P2 yang seharusnya mengikuti dengan baik aturan yang ada
supaya segera lulus tetapi malah memilih cara sendiri tidak mengikuti sistem di universitasnya.
Selain itu juga P2 menunjukkan reaksi apati yang merupakan pola orang putus asa, karena
menerima begitu saja dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari
situasi yang berusaha menekannya, ini ditunjukkan pada kutipan berikut :
nggak, nggak tau. Nggak tau dan nggak mau tahu. (tertawa terbahak) sebenernya juga salah kan.
Cuman kalo aku disuruh berhenti, suruh keluar, ya udah aku keluar. Gampang.

Dalam menghadapi kecemasannya ini P1 dan P2 cenderung berfokus pada mengurangi
gangguan yang berhubungan dengan emosi yang disebabkan oleh tekanan tersebut. Bentuk
koping ini disebut dengan Symptom Directed Modes (diarahkan pada gejala). Tindakan koping

jenis ini tidak merubah posisi masalah, yang berubah adalah diri individu, yaitu dengan
merubah reaksi emosinya. Hal ini ditunjukan dalam kutipan wawancara berikut :
“he’e, jadi akhirnya aku tutup..tutup..e..media sosialku tak tutup sek, aku nyanyi-nyanyi kek
atau..pokoknya biasa aku pelampiasan liat anak-anak kucing, kucing-kucingku, mereka penghilang
stress, itu..”
Sedangkan pada P2 terlihat dari kutipan dibawah ini :
“kalo lagi nggak mood. Kalo aku, istirahat dulu, ngrokok, ngopi di bawah habis itu latihan lagi.
Udah.”
“Jadi habis kuliah, habis stress gitu nyanyi-nyanyi di depan, ya goblok2an, ya biar moodnya naik lagi
tapi tetep ada hubungannya sama musik gitu.”

Defense mechanism diatas yang berusaha dilakukan oleh kedua partisipan ini tanpa

disadari sebenarnya bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik realita
yang ada di luar (fakta/kebenaran) maupun realita yang ada di dalam (dorongan atau impuls
atau nafsu). Dari semuanya itu dapat disimpulkan bahwa kedua partisipan lebih banyak
melakukan denial dan hal tersebut cenderung menjauh dari sumber permasalahan yang
dialaminya dan justru tidak menyelesaikan sumber dari kecemasan itu sendiri.
Keberadaan di lingkungan sosial

Tekanan akibat readmisi ini tidak menjadikan P1 ataupun P2 kemudian menarik diri
dari lingkungan sosialnya. P1 tetap berteman baik dengan teman-temannya dan terkadang juga
meluangkan waktu untuk bisa sekedar becanda melepas penat yang dialaminya. Meskipun
memang P1 adalah tipe pribadi yang lebih sering menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak
suka terlalu banyak bertanya atau bercerita kepada orang lain. Tetap P1 mengakui bahwa
kebersamaan dengan teman-temannya menjadi motivasi tersendiri baginya untuk bisa segera
lulus. Hal ini ditunjukkan pada kutipan di bawah ini:
“Ya udah, becanda, ketawa, aku tu berusaha ngelawan itu lo, soalnya ada temenku, sampe nggak mau
ketemu temen, jadi dia. dia narik diri, aku nggak gitu. Ya udah aku temenan, aku belum lulus, kalau
kalian pengen bergaul sama aku ya silahkan, tapi kalau kalian bermasalah dengan aku karena aku
belum lulus brarti kalian bermasalah dengan aku.”

Sedangkan P2 karena saat ini sudah tidak memiliki teman sebaya lagi di kampusnya. Dia sering
kali ke luar kota hanya untuk sekedar ingin bertemu dan juga berbagi cerita dengan teman
sebayanya. Karena di lingkungannya saat ini P2 lebih banyak bergaul dengan adik angkatannya
yang sering kali tidak dapat memahami apa yang dialaminya saat ini. Seperti yang nampak
pada kutipan berikut :
“iya, jadi temen-temenku 2010, 2011, 2012. Ya aku tetep ngerasa ada yang beda dari mereka. Jadi
hampir seminggu sekali kalo nggak, 2 minggu sekali gitu, aku pasti pengen ketemu sama orang yang
sebaya. Jadi aku main kemana, ke Semarang, ke Solo atau ke rumahnya siapa yang sudah nggak di
sini. Ya cuma buat curhat, masalah-masalah yang aku bisa ke mereka, aku bisanya ngomong, ni kan
kita sebaya ni, kalo aku ngomong sama angkatan 2012 mereka nggak akan ngerti”

Meski demikian ada hal yang berbeda yang terjadi pada kehidupan P2. P2 merasa bahwa
readmisi justru memberikan dampak positif bagi kehidupannya, berikut adalah kutipan
wawancaranya :
“misalnya, readmisi ni. Kalo aku nggak readmisi aku nggak bakalan dapet banyak tawaran, soalnya
setelah readmsi kemarin aku sibuk ngerjain rekaman-rekaman kayak gini, kemudian banyak tawaran
dateng, gini gini, akhirnya di Jakarta udah mulai banyak orang pesen ke aku. Terus gitu gitu ya jadi
karena aku readmisi kan.”

Hal ini pun dibenarkan oleh NN (informan triangulasi P2) saat wawancara triangulasi bahwa
setelah mengalami readmisi ini P2 menjadi pribadi yang lebih produktif dalam berkarya di
bidang musik.
PEMBAHASAN
Menurut Freud kecemasan merupakan reaksi seseorang ketika keberadaan dirinya (ego)
dikepung dari tiga sisi yaitu id, superego dan eksternal sama-sama kejam atau kuat (Jess
Feist,dkk, 2008). Pada P1 hal ini disebabkan oleh kondisi dimana P1 memiliki keinginan untuk
sampai pada tujuannya yaitu segera lulus dan hal tersebut juga sudah menjadi tuntutan dari
orangtuanya. Namun P1 saat ini sudah ada pada titik jenuh bahkan tidak senang lagi dengan

tugas akhir atau skripsinya yang adalah kewajiban yang seharusnya diselesaikannya. Hingga
akhirnya karena hal tersebut P1 mengalami stagnasi dalam proses menyelesaikan studinya yang
mengakibatkan P1 harus mengalami readmisi. Kondisi yang dialami P1 tidak berbeda jauh
dengan yang terjadi pada P2. P2 pun ingin segera lulus namun dihadapkan pada sistem
pendidikan di universitas yang bertentangan dengan prinsipnya. Sistem pendidikan di
universitasnya memiliki batasan waktu bagi mahasiswanya dalam menyelesaikan studi dan
terdapat mata kuliah yang dirasa P2 tidak memiliki unsur atau hubungan dengan musik, tetapi
wajib diambil. Hal tersebut yang kemudian dianggap P2 sebagai penyebab dirinya semakin
lama lagi menjalani studinya. Selain itu kembali adanya tuntutan orangtua juga yang
menginginkan P2 segera menjadi sarjana. Meski dalam wawancara mengatakan bahwa
orangtuanya selalu membebaskan dalam studi tidak mematok waktu berapa lama P2 harus
menyelesaikan studinya. Namun hasil triangulasi menyatakan, orangtua P2 lebih sering
mengeluhkan dan menyampaikan ketakutan mereka terkait studi P2 ini pada NN (informan
orang terdekat P2) dan juga adik P2 yang juga berkuliah di universitas yang sama. Dalam
penelitian ini tuntutan dari orang tua menjadi faktor penyebab lain munculnya kecemasan yang
dialami oleh P1 dan P2. Seperti pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Subekti (2005)
yang menyatakan bahwa partisipan penelitian mengalami kecemasan dalam pengerjaan skripsi
disebabkan oleh adanya faktor internal dan faktor eksternal. Pada faktor eksternal kecemasan
terjadi disebabkan karena kerja sama dengan dosen pembimbing yang kurang baik,
ketersediaan teori yang terbatas, kritikan dan masukan yang negatif, teman atau adik angkatan
yang sudah lulus duluan, orang tua yang terlalu menuntut, pengaruh informasi negatif dan dana
yang kurang memadai.
Perasaan kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan
samar-samar, seringkali disertai gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, dan
gangguan lambung ringan. Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah. Kumpulan

gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi pada setiap orang
(Kaplan, 1997). Gejala ini ditunjukkan oleh kedua partisipan ketika dihadapkan pada tugas
akhir mereka. Kedua partisipan merupakan pribadi yang memiliki perfeksionisme yang besar
ditunjukan dengan adanya kekhawatiran, takut gagal dalam menyelesaikan skripsinya. Hal
tersebut yang kemudian membuat P1 dan P2 seringkali menolak tugas/takut mengerjakan
tugasnya karena takut gagal padahal belum tentu. Akibatnya munculah prokartinasi yang
menyebabkan P1 dan P2 mengalami readmisi.
Dari setiap tekanan yang didapat oleh P1 dan P2 kemudian mendorong mereka
melakukan defense mechanism. Seperti yang diungkapkan Freud (1926/1959) (Jess Feist,dkk,
2008) bahwa kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan ego seseorang untuk
mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Terdapat beberapa defense
mechanism yang berusaha dibentuk oleh kedua partisipan. P1 melakukan denial yaitu

melakukan blocking atau menolak terhadap kenyataan yang ada karena kenyataan yang ada
dirasa mengancam integritas individu yang bersangkutan (Lazarus, 1976 dalam Siswanto,
2007). P1 berusaha menghindar dari emosi yang dialaminya padahal sebenarnya P1 merasa
tertekan dan memikirkan masalahnya. Selain itu P1 juga berusaha menghadapi rasa tertekannya
dengan tetap tertawa dengan teman-temannya padahal sebenarnya ada perasaan minder dalam
dirinya. Berbeda dengan P2 yang mengekspresikan dorongan yang mengancam dalam bentuk
tingkah laku yang bertentantangan. Seperti yang Freud ungkapkan dalam Jess Feist, dkk (2008)
bahwa salah satu cara impuls-impuls yang terepresi dapat menjadi sadar adalah dengan
mengadopsi sebuah penyamaran yang langsung bertentangan dengan bentuk aslinya. Hal yang
demikian adalah pembentukan formasi (reaction formation). Selaras dengan yang diungkapkan
oleh Lazarus dalam Siswanto (2007) yang menyatakan bahwa reaksi formasi adalah dorongan
yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik. Seperti ketika P2
menyatakan bahwa memiliki keinginan untuk lulus tetapi P2 menggunakan caranya sendiri

untuk dapat lulus yang tidak mengikuti sistem pendidikan di universitasnya, yaitu P2 tetap
mengikuti perkuliahan, namun ketika terdapat materi yang tidak dia mengerti P2 akan memilih
untuk pulang. P2 tidak kemudian mencari dosen pengampu untuk bertanya secara privat karena
merasa dosennya sulit untuk ditemui. Pengalaman tersebut dijadikan sebagai alasan bagi P2
mengapa studinya lama. Dalam pembentukan reaksi ini pun menunjukkan bahwa orang lain di
lingkungan P2 melihat P2 sebagai seorang yang tersantai padahal sebenarnya dalam diri P2
sendiri ada rasa cemas yang berusaha untuk dikendalikan.
Bentuk lain yang nampak pada P2 yang tidak nampak pada P1 adalah reaksi apati.
Reaksi apati merupakan pola orang putus asa karena menerima begitu saja dan tidak ada usaha
apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang berusaha menekannya
(Lazarus, 1976). P2 tidak mengetahui bahkan tidak ingin tahu batasan waktu yang dimilikinya
untuk menyelesaikan studinya setelah readmisi ini. Dan akan menerima saja jika memang nanti
diminta untuk keluar atau berhenti dari universitas.
Kedua partisipan ini dalam menghadapi setiap tekanan cenderung berfokus pada emosi
yang disebabkan oleh tekanan tersebut. Hal ini oleh Lazarus (1976) disebut sebagai koping
Symptom Directed Modes (diarahkan pada gejala). Penuturan Atkinson (1991) selaras dengan

Lazarus yaitu cara ini adalah menitikberatkan pada emosi. Jadi individu berusaha mereduksi
perasaan cemas melalui berbagai cara dan tidak langsung menghadapi masalah yang
menimbulkan kecemasan itu. Tindakan koping ini relatif tidak merubah posisi dari masalah
dalam arti kata masalah tersebut masih tetap ada dan sama, yang berubah adalah diri individu
yang merubah reaksi emosinya. Seperti pada P1 cara yang dilakukannya ketika kecemasan itu
muncul adalah melihat atau bermain dengan anak-anak kucing peliharaannya atau menyanyi
sesuka hati P1. Begitupun yang dilakukan oleh P2 sebagai mahasiswa yang berkecimpung di
dunia musik ketika ada dalam kondisi cemas, tertekan atau kondisi yang tidak menyenangkan

menyanyi sesuka hati atau beristirahat dulu kemudian merokok dan minum kopi untuk bisa
kembali membangun moodnya.
Meski ada dalam keadaan cemas keduanya tidak kemudian menarik diri dari
lingkungan sosialnya. P1 justru lebih sering bermain dengan teman-temannya untuk
mendapatkan motivasi dari teman-temannya. Begitupun P2 meski kebanyakan temantemannya di kampus adalah adik-adik angkatan tekadang juga bergaul bahkan bercerita dengan
dosen supaya paling tidak dirinya tidak merasa sendirian. Readmisi ini justru memiliki dampak
yang positif bagi P2 karena setelah mengalami readmisi justru P2 menjadi pribadi yang lebih
produktif dibidang musik. Hal ini pun sudah dibenarkan juga oleh pernyataan NN (informan
triangulasi) bahwa banyak hal yang sudah dihasilkan oleh P2 di bidang musik pasca mengalami
readmisi ini.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini ditemukan bahwa mahasiswa yang sudah readmisi mengalami
kecemasan yang ditunjukkan dengan gejala kecemasan yaitu rasa takut mereka ketika
dihadapkan dengan skripsinya dan rasa takut itu lebih kepada rasa takut bila melakukan
kesalahan dalam proses pengerjaan tugas akhirnya. Rasa takut yang berkepanjangan ini
membuat partisipan mengalami stagnasi hingga akhirnya harus mengalami readmisi.
Ketika partisipan tidak mampu mengontrol sumber tekanan atau menyelesaikan
tekanan tersebut maka akan mendorong partisipan untuk melakukan defens mechanism guna
mengurangi atau keluar dari keadaan cemas itu. Bahkan dengan berbohong atau mengatakan
hal yang sebaliknya dari perasaan yang sebenarnya dirasakan. Sumber tekanan yang dirasakan
oleh partisipan tidak hanya kondisi mereka sebagai mahasiswa readmisi yang sudah terlalu
lama dalam studi, tetapi juga adanya tekanan dari orangtua menjadi faktor lain yang
menyebabkan kecemasan partisipan ini muncul bahkan menjadi faktor pemicu terkuat

kecemasan. Namun keadaan cemas tidak menjadikan partisipan menarik diri dari lingkungan
sosialnya, bahkan pada partisipan kedua kondisinya saat ini yang mengalami readmisi memiliki
dampak yang positif bagi dirinya. Setelah readmisi partisipan kedua menjadi pribadi yang lebih
produktif.
Dari penelitian ini yang dapat disampaikan oleh peneliti ialah kecemasan dapat dialami
oleh semua orang, bahkan sebenarnya hal tersebut adalah hal yang normal. Yang membedakan
adalah bagaimana seseorang mampu mengelola tekanan atau kecemasan itu sendiri.
Kecemasan dapat menjadi fungsi adaptif ataupun justru berdampak maladaptif pada kehidupan
seseorang tergantung dari kepribadian seseorang tersebut. Faktor-faktor lain seperti faktor
lingkungan pun juga dapat mendapat faktor yang menyebabkan munculnya kecemasan
tersebut.
Beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah bagi mahasiswa yang
mengalami readmisi agar dapat memahami kemampuan dirinya sehingga dapat bangkit dari
permasalahan yang menekannya dan mampu mengambil langkah yang tepat untuk mengatasi
kecemasan akibat dari readmisi yang dialaminya. Bagi para konselor, supaya dapat
memberikan dukungan berupa informasi ataupun motivasi yang mampu mendorong para
mahasiswa sehingga tidak sampai mengalami kecemasan yang berdampak negatif akibat
dampak dari readmisi. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan peneliti mampu mengkaji lebih
dalam tentang gambaran kecemasan yang dialami oleh mahasiswa readmisi.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R. L., & Atkinson, R. C. (1991). Pengantar psikologi jilid 2 (edisi kedelapan). Jakarta:
Erlangga.
Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theory of Personality. New York: McGraw Hill.
Herdiansyah, H. (2012). Metode penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.
Kaplan, H. I. (1997). Sinopsis psikiatri: Ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Jakarta:
Binarupa Aksara.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia . Jakarta:
Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Peraturan penyelenggaraan kegiatan akademik dalam sistem kredit semester Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga . (2009). Salatiga: UKSW.

Siswanto. 2007. Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta: CV.
Andi Offset.
Subekti, P. 2005. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Kecemasan Dalam Mengerjakan Skripsi
Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Tansel, D.C. 2013. Perbedaan Tingkat Stres Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Universitas
Kristen Satya Wacana Tingkat Wreda dan Yang Telah Readmisi. Skripsi (tidak
diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Tiel, J.M.V & Tiel, J.F.V. (2015). Perfeksionisme & Faalangst: Anakku cerdas istimewa (Anak
Gifted). Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri.