FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PREEKLAMSIA PADA IBU HAMIL DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 2016

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PREEKLAMSIA PADA IBU HAMIL DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 2016 NASKAH PUBLIKASI

  Disusun oleh: Dewi Nadia Nurhasanah 1610104418 PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK JENJANG DIPLOMA IV FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA 2017

  FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PREEKLAMSIA PADA IBU HAMIL DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 2016 NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: Dewi Nadia Nurhasanah 1610104418

  Telah Memenuhi Persyaratan dan Disetujui untuk Di Publikasikan Pada Program Studi Bidan Pendidik Diploma IV

  Fakultas Ilmu Kesehatan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

  Oleh: Pembimbing : Indriani, S.KM., M.Sc Tanggal : 14 Agustus 2017 Tanda Tangan :

  

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN PREEKLAMSIA PADA IBU HAMIL

DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

TAHUN 2016

  Dewi Nadia Nurhasanah, Indriani Latar Belakang: Hipertensi adalah masalah medis umum yang mempengaruhi

  20% - 30 % populasi orang dewasa dan 5% - 8% dari semua kehamilan di dunia. Di Iran, ditemukan 9,8% kasus kelahiran mengalami hipertensi dan 14,8% diantaranya mengalami preeklamsia-eklampsia (Khosravi, et. al, 2014). Preeklamsia dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu hamil di dunia. Hasil studi pendahuluan di RSUD Panembahan Senopati Bantul didapatkan sebanyak 96 ibu hamil dengan preeklamsia dari 1811 ibu hamil pada tahun 2016.

  Tujuan: Tujuan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklamsia pada ibu hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016.

  Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan retrospektif (case control). Subjek penelitian ini adalah ibu hamil, 80 responden pada kelompok kasus dan 80 responden pada kelompok kontrol, sehingga totalnya 160 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data sekunder, dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada Juli 2017. Teknik analisis yang digunakan chi square dan logistic regression.

  Hasil: Hasil penelitian menggunakan chi square didapatkan hubungan antara umur (p=0,000), pendidikan (p=0,001), paritas (p=0,000), genetik (p=0,012), riwayat kesehatan (p=0,021), riwayat kontrasepsi hormonal (p=0,048), dan obesitas (p=0,027) dengan kejadiaan preeklamsia (p<0,05). Hasil logistic regression paritas dengan nilai Confidence Interval terbesar yaitu OR (Exp B) 6,863.

  Simpulan dan saran: Ada hubungan umur, pendidikan, paritas, genetik, riwayat kesehatan, riwayat kontrasepsi hormonal, dan obesitas dengan kejadian preeklamsia. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian preeklamsia pada ibu hamil yaitu paritas. Saran khususnya tenaga kesehatan (bidan) dalam pelaksanaan sosialisasi KB, memuat penjabaran mengenai paritas yang merupakan salah satu faktor risiko kejadian preeklamsia dan memberikan Konseling Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai preeklamsia saat pelaksanaan Antenatal Care (ANC).

LATAR BELAKANG

  Hipertensi dalam kehamilan (pre dan penyebab langsung lainnya eklampsia atau eklamsia) adalah salah (12,8%). satu risiko yang harus diwaspadai oleh Hipertensi dalam kehamilan (pre ibu hamil. Komplikasi terberat dari eklampsia atau eklampsia) menduduki hipertensi dalam kehamilan adalah peringkat kedua sebagai penyebab kematian. Ada beberapa penyebab dari langsung kematian setelah perdarahan kematian maternal seperti perdarahan dan mengalami peningkatan setiap (27,1%), hipertensi dalam kehamilan tahunnya (Ezeh, et. al, 2016). (preeklamsia atau eklampsia) (14%), Hipertensi adalah masalah medis infeksi (10,7%), aborsi (7,9%), emboli, umum yang mempengaruhi 20% - 30

  % populasi orang dewasa dan 5% - 8% dari semua kehamilan di dunia.

  Di Iran, ditemukan 9,8% kasus kelahiran mengalami hipertensi dan 14,8% diantaranya mengalami preeklamsia-eklampsia (Khosravi, et. al, 2014). Di Bangladesh terdapat prevalensi hipertensi pada kehamilan sebesar 7,5% (Ahmed, et.al, 2017). Di Nigeria prevalensi hipertensi dalam kehamilan ditemukan sebesar 17% dan 6% memiliki riwayat preeklamsia (Singh, 2014). Dan di Thailand dari 315.126 wanita yang melahirkan, sebesar 27,5 per 1000 kelahiran mengalami hipertensi dalam kehamilan (Liabsuetrakul dan Thida, 2017).

  Studi Hernandez, et. al, (2009) menemukan bahwa preeklamsia merupakan kelainan umum pada kehamilan dengan prevalensi 2-8% kehamilan.

  Center for Maternal and Child Enquiries (CMACE) memperkirakan

  bahwa kejadian preeklamsia tujuh kali lebih tinggi terjadi di negara-negara berkembang (CMACE, 2011).

  Kejadian preeklamsia dapat dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat jika Case Fatality Rate (CFR) preeklamsia mencapai 1,4% - 1,8%. Menurut data terakhir Survei Demografi Kesehatan Indonesia (2012) prevalensi kejadian preeklamsia di Indonesia sekitar 3-10%. Angka tersebut menunjukkan bahwa kejadian preeklamsia di Indonesia melewati batas CFR sehingga preeklamsia menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat.

  Preeklamsia dengan tekanan darah yang semakin meningkat dapat memberikan dampak meningkatkan risiko serangan jantung, gagal jantung, dan gagal ginjal pada ibu hamil (Khosravi, et. al, 2014).

  Menurut Adekane, et. al, (2015) keadaan tersebut juga meningkatkan angka kematian ibu dan janin di dunia yaitu sebesar 60.000 kematian per tahun di seluruh dunia karena komplikasi akut preeklamsia seperti eklampsia, Cardiovascular Disease (CVD), dan kerusakan organ lainnya yang menyebabkan 75% kematian. Kirsten, D dan Deborah, H (2015) mengindikasikan bahwa di Inggris, preeklamsia meningkatkan risiko penyakit kronis yang lebih besar seperti hipertensi kronis, penyakit jantung, trombosis, dan diabetes tipe II dengan kejadian 2-10%.

  Preeklamsia pada kehamilan berdampak pada maternal dan perinatal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raras, A. A, et al., (2010) bahwa preeklamsia dapat berdampak pada maternal yaitu plasenta previa 10 kasus (4,3%), solusio plasenta 1 kasus (0,4%), perdarahan postpartum 5 kasus (2,1%), eklamsia 7 kasus (3%), impending

  eclamsia 19 kasus (8,1%), sindrom

  HELLP 4 kasus (1,7%), sindrom HELLP parsial 26 kasus (11,1%), edema paru 24 kasus (10,3%), gagal ginjal akut 4 kasus (1,%), kematian maternal 5 kasus (2,1%). Dampak pada perinatal yaitu Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) 91 kasus (37%), pertumbuhan janin yang terhambat 17 kasus (6,9%), kelahiran preterm 70 kasus (28,3%), asfiksia neonatorum 38 kasus (16,7%), dan kematian perinatal 23 kasus (9,3%).

  Tingginya angka kejadian preeklamsia diakibatkan oleh beberapa faktor penyebab diantaranya faktor risiko yang terdiri dari umur < 20 tahun atau > 35 tahun, riwayat diabetes melitus atau hipertensi kronik, menggunakan kontrasepsi (KB), dan stress (Lisonkova dan Joseph, 2013). Faktor risiko lain yang berkaitan dengan kejadian preeklamsia yaitu paritas (nullipara dan primigravida), kehamilan dengan janin lebih dari satu, dan obesitas (Serri, 2013).

  Menurut teori Djannah dan Arianti (2010) bahwa preeklamsia lebih sering didapatkan pada masa awal dan masa akhir usia reproduksi yaitu wanita < 20 tahun atau wanita > 35 tahun. Ibu hamil < 20 tahun mudah mengalami kenaikan tekanan darah dan lebih cepat menimbulkan kejang, sedang umur >35 tahun juga merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Safles bahwa wanita umur > 35 tahun mempunyai resiko 3 - 4 kali dan pada wanita hamil dengan usia < 20 tahun berisiko 3 kali lebih besar untuk terjadi preeklamsia- eklampsia (Karkata, 2009).

  Faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian preeklamsia lainnya yaitu paritas. Menurut teori Prawiroharjo (2010) paritas 0 adalah faktor risiko preeklamsia, dimana kelainan ini lebih umum terjadi pada primigravida. Hal ini terjadi karena pada kehamilan pertama cenderung terjadi kegagalan pembentukan

  blocking antibodies terhadap antigen

  plasenta sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan. Faktor paritas (primigravida atau anak pertama) mempunyai resiko untuk menjadi preeklamsia berat dibanding dengan wanita hamil yang kedua atau ketiga (multigravida) (Rozikhan, 2009).

  Kirsten, D, et al., (2015) di Inggris mengatakan bahwa nulipara merupakan salah satu faktor dengan risiko tertinggi terjadinya preeklamsia dini (32,4%) dan preeklamsia akhir (42,2%), serta memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk terkena preeklamsia dan pada wanita dengan hamil kembar (multipel) lebih berisiko mengalami preeklamsia (86%).

  Riwayat kesehatan yang lalu juga mempengaruhi kejadian preeklamsia. Di Netherlands wanita dengan riwayat preeklamsia sebelumnya memiliki tingkat risiko 2,94 kali dengan kejadian sebesar 51,4% untuk mengalami gangguan hipertensi. Pada wanita dengan riwayat hipertensi kronis meningkatkan risiko 4 kali lipat, wanita dengan riwayat genetik (keluarga) memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk terkena preeklamsia, dan wanita yang mengalami preeklamsia pada kehamilan pertama berisiko 7 kali lebih besar mengalami preeklamsia pada kehamilan kedua. (Wong, Tsz Y., et. al, 2013).

  Aktivitas yang dilakukan seseorang, misalnya pekerjaan dapat berdampak pada kesehatan termasuk pada ibu hamil. Penelitian oleh Julianti, N (2014) bahwa wanita yang bekerja mempunyari risiko 2,171 kali lebih besar mengalami preeklamsi (58,1%) karena pada ibu hamil yang bekerja memiliki tingkat stressor lebih tinggi dibandingkan ibu hamil yang tidak bekerja, dan tingginya tingkat stressor tersebut akan menyebabkan tingginya tekanan darah sehingga memicu terjadinya preeklamsia.

  Faktor penggunaan kontrasepsi hormonal, menurut teori Fajriansi (2013), risiko terjadinya hipertensi pada kehamilan dapat bertambah jika menggunakan kontrasepsi terutama kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi hormonal berupa pil KB sebagian besar mengandung hormon estrogen dan pregesteron. Hormon dalam kontrsepsi ini telah diatur sedemikian rupa sehingga mendekati kadar hormone dalam tubuh akseptor. Namun jika digunakan dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan efek samping lain.

  Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan, R. P (2015) bahwa kontrasepsi berhubungan dengan terjadinya preeklamsia ringan pada ibu hamil dengan nilai signifikansi 0,019.

  Nilai odds ratio adalah 5,636 artinya ibu aseptor KB sebelum hamil memiliki kecenderungan untuk terkena preeklamsia ringan 5,636 kali lebih besar dibandingkan dengan bukan aseptor KB sebelum hamil. Obesitas juga merupakan salah satu risiko terjadinya kelainan medis dalam kehamilan seperti diabetes gestasional, preeklamsia, penyakit tromboemboli, obstruksi saluran nafas (sleep apneu), asma, dan low back

  pain . Pada kehamilan terjadi suatu

  keadaan inflamasi dan insulin resisten, hal tersebut fisiologis sebagai kompensasi terhadap perkembangan hasil konsepsi namun akan memberikan dampak yang buruk apabila kehamilan dialami oleh wanita dengan overweight dan obesitas (Roberts et al., 2011). Obesitas terjadi apabila berat badan > 20% berat badan normal atau berat badan ideal (Soeharto, I., 2010).

  Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ibu hamil yang dengan obesitas (IMT pra hamil ≥ 30,0) memiliki risiko 2 - 3 kali lebih besar untuk mengalami preeklamsia. Di Inggris menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami obesitas memiliki risiko 2,14 kali lebih besar mengalami preeklamsia. Sedangkan di Swedia, ibu hamil dengan obesitas (IMT pra hamil ≥ 30,0) memiliki peningkatan risiko yang signifikan yaitu 2,62 - 4,82 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil normal lainnya (Itoh, H., dan Naohirro Kanayama, 2014).

  Pre eclampsia Foundation

  adalah komunitas pemberdayaan pasien dan ahli dengan beragam sumber dan dukungan untuk membantu ibu hamil mendapatkan kehamilan sebaik mungkin. Yayasan tersebut didirikan pada tahun 2000 di Amerika Serikat dan merupakan satu-satunya organisasi advokasi pasien non profit dengan memberikan dukungan dan advokasi untuk orang-orang yang hidupnya telah atau akan terpengaruh oleh kondisi preeklamsia (ibu, bayi, ayah, dan keluarga). Pre eclampsia Foundation memiliki misi untuk mengurangi penyakit ibu dan bayi serta kematian karena preeklamsia, sindrom HELLP, dan gangguan hipertensi lainnya dengan memberikan dukungan dan edukasi kepada pasien, meningkatkan kesadaran masyarakat, melakukan penelitian dan memperbaiki praktik kesehatan (Pre eclampsia Foundation, 2016).

  Terdapat beberapa komunitas ibu hamil di Indonesia yang mengajak ibu hamil untuk berperilaku hidup sehat dan menyediakan layanan konsultasi baik pada sesama ibu hamil maupun kepada dokter. Salah satunya adalah bebeclub, komunitas yang inisiasi oleh salah satu produk susu dengan tujuan mendampingi para ibu dengan informasi seputar kehamilan, persalinan, nutrisi dan tumbuh kembang anak serta mendukung pemberian ASI. Dengan adanya komunitas ini diharapkan ibu hamil dapat mengantisipasi terjadinya hal-hal yang berkaitan selama masa kehamilan termasuk adanya hipertensi dalam kehamilan seperti preeklamsia (Bebeclub, 2017).

  Ministry of Health Malaysia

  (2013) mengeluarkan Clinical Practice

  Guidelines in the Management of Hypertension yang menetapkan bahwa

  tenaga kesehatan harus memberikan konseling seperti tanda dan gejala preeklamsia dan penyesuaian pengobatan bagi ibu hamil dengan preeklamsia. Selain itu dilakukan pengukuran berat badan selama kehamilan dilakukan secara rutin sebagai bagian dari antenatal care. Pada ibu hamil dengan risiko tinggi preeklamsia harus diberi resep aspirin (75 mg

  • – 100 mg setiap hari) selama 12 minggu sejak masa gestasi sampai melahirkan. Hasil audit manajemen di Sultan Abdul Halim Hospital, Kedah, Malaysia didapatkan bahwa guideline tersebut telah dijalankan dengan baik ditunjukkan oleh adanya pengurangan jumlah pasien dengan preeklamsia- eklampsia yaitu 22 kasus pada audit pertama sebelum ditentukan guideline,
menjadi 4 kasus audit kedua setelah penerapan guideline (Suan, M. A. M., Edahayati Ahmad Tajudin dan Kunasegaran Kannaiah, 2015).

  Di Indonesia, pemerintah menganjurkan pelayanan antenatal harus dilaksanakan secara komprehensif, terpadu, dan berkualitas agar adanya masalah/penyakit tersebut dapat dideteksi dan ditangani secara dini. Melalui pelayanan antenatal yang terpadu, ibu hamil akan mendapatkan pelayanan yang lebih menyeluruh dan terpadu, sehingga hak reproduksinya dapat terpenuhi. Adapun manfaat dari pelayanan antenatal care secara terpadu dan komperehensif adalah mendeteksi secara dini kemungkinan- kemungkinan komplikasi terjadinya preeklamsia yang akan timbul pada saat proses kehamilan, menurunkan angka kematian ibu (Kementrian Kesehatan/ Kemenkes, 2012).

  Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat preeklamsia dengan pengendalian secara primer, sekunder, dan tersier. Upaya pengendalian primer meliputi sosialisasi hipertensi dalam kehamilan (preeklamsia) pada kelompok umum dan khusus. Upaya pengendalian sekunder meliputi deteksi dini faktor risiko hipertensi dalam kehamilan (preeklamsia) pada kelompok umum dan kelompok khusus. Upaya pengendalian tersier adalah penatalaksanaan penderita preeklamsia di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencegah komplikasi (Dinkes DIY, 2015).

  Diantara lima kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Bantul merupakan Kabupaten tertinggi terhadap angka kematian dengan kasus preeklamsia- eklamsia (13,8%), disusul Gunung Kidul (6,9%), Sleman (3,4%), Kulon Progo (3,4%), dan Kota Yogyakarta (0%) (Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, 2015).

  Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul, pada tahun 2013 terdapat 1644 ibu hamil normal (41,8%) dan 53 diantaranya adalah ibu hamil dengan preeklamsia (1,3%). Sedangkan pada tahun 2014 terdapat 2183 ibu hamil normal (55,5%) dan 56 diantaranya adalah ibu hamil dengan preeklamsia (1,4%).

  Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka kejadian preeklamsia dari tahun 2013 ke tahun 2014 yaitu sebesar 0,1%.

METODE PENELITIAN

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan retrospektif (case control).

  Subjek penelitian ini adalah ibu hamil, 80 responden pada kelompok kasus dan 80 responden pada kelompok kontrol, sehingga totalnya

  160 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data sekunder, dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada Juli 2017. Teknik analisis yang digunakan chi square dan logistic regression.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. ANALISIS UNIVARIAT

  Pekerjaan

  4.2 menggambarkan karakteristik umur responden mayoritas berumur 20-35 tahun (tidak berisiko) yang berjumlah 101 responden (63,1%) dengan 35 responden (21,9%) pada kelompok kasus dan 66 responden (41,2%) pada kelompok kontrol. Pada tahun 2015 jumlah penduduk di Kabupaten Bantul adalah 971.511 orang dengan jumlah penduduk perempuan 490.001 orang dan jumlah penduduk perempuan usia produktif (20-35 tahun) sebesar 117.117 orang (23,9%) dari total jumlah penduduk di Kabupaten Bantul (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2016). Sehingga berkaitan dengan banyaknya ibu yang hamil dalam usia reproduksi (20 - 35 tahun). Sedangkan di Yogyakarta, usia rata-rata pernikahan pertama juga terjadi di usia > 20 tahun sebesar 52,76% (Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2015). Pendidikan responden mayoritas berpendidikan tinggi (SMA/PT) yang berjumlah 110 responden (68,7%) dengan 45 responden (28,1%) pada kelompok kasus dan 65 responden (40,6%) pada kelompok kontrol. Berdasarkan laporan data Kependudukan Kabupaten Bantul bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Bantul berpendidikan SMA ke atas yaitu sebesar 75,34%

  Berdasarkan tabel

  80 50 160 100 Sumber: Data Penelitian 2017

  50

  80

  Total

  <2, >3 kali 45 28,1 23 14,4 68 42,5 2-3 kali 35 21,9 57 35,6 92 57,5

  Paritas

  20 67 41,9

  32

  30 93 58,1 Tidak Bekerja 35 21,9

  48

  Bekerja 45 28,1

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD

  Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

  Pendidikan

  Berisiko (<20, >35 Th.) 45 28,1 14 8,8 59 36,9 Tidak Berisiko (20-35 Th.) 35 21,9 66 41,2 101 63,1

  Karakteristik Responden Kasus Kontrol Total % F P (%) F P (%) Umur

  Paritas) Responden di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2017

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik (Umur, Pendidikan, Pekerjaan,

  80 responden (50%) karena faktor- faktor yang ada pada karakteristik preeklamsia juga terdapat pada karakteristik yang tidak preeklamsia sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding untuk mencari faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklamsia.

  4.1 didapatkan data bahwa jumlah responden yang preeklamsia dan tidak preeklamsia sebanding yaitu masing-masing sebanyak

  Berdasarkan tabel

  50 Total 160 100 Sumber: Data Penelitian 2017

  80

  50 Tidak Preeklamsia

  80

  Preeklamsia

  Kejadian F (%)

  Rendah 35 21,9 15 9,4 50 31,3 Tinggi 45 28,1 65 40,6 110 68,7 dari total jumlah penduduk Kabupaten Bantul (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2016).

  Rata-rata penduduk Kabupaten Bantul yang mempunyai pendidikan SMA keatas juga didukung oleh angka Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bantul yang berada pada peringkat ketiga di Provinsi DI Yogyakarta setelah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yaitu sebesar 77,99 (kategori tinggi) sehingga angka melek huruf dan tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan di Kabupaten Bantul adalah baik.

  Karakteristik pekerjaan responden mayoritas yaitu bekerja yang berjumlah 93 responden (58,1%) dengan 45 responden (28,1%) pada kelompok kasus dan 48 responden (30%) pada kelompok kontrol. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bantul tahun 2016, sekitar 67,84% dari total penduduk Kabupaten Bantul atau sebanyak 659.073 orang adalah penduduk yang usia angkatan kerja dengan sekitar 639.300 orang adalah bekerja dan 19.772 orang adalah pengangguran. Sehingga hal ini mempengaruhi mayoritas responden adalah pada ibu hamil yang bekerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul (2015) bahwa mayoritas pekerjaan pendu duk adalah pertanian (25,56%) dikarenakan luas lahan pertanian Kabupaten Bantul sebesar 28.830 hektar (56,9%) dari total luas wilayah Kabupaten Bantul.

  Karakteristik paritas responden mayoritas yaitu 2-3 kali yang berjumlah 92 responden (57,5%) dengan 35 responden (21,9%) pada kelompok kasus dan 57 responden (35,6%) pada kelompok kontrol. Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden adalah ibu hamil yang berusia 20-35 tahun (usia reproduksi) sehingga juga mempengaruhi jumlah paritas yang ada. Berdasarkan data BKKBN Provinsi DIY Desember 2016 didapatkan bahwa pencapaian peserta KB aktif di Kabupaten Bantul adalah sebesar 120,91% (sangat baik). Penggunaan KB dengan kategori sangat baik tersebut menyebabkan teraturnya jumlah paritas (mayoritas paritas responden 2-3 kali).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Genetik Responden di

  RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2017

  Karakteristik Responden Kasus Kontrol Total % F P (%) F P (%) Genetik

  Ada riwayat genetik 34 21,3 19 11,9 53 33,2 Tidak ada riwayat genetik 46 28,7 61 38,1 107 66,8

  Total

  80

  50

  80 50 160 100 Sumber: Data Penelitian 2017

  Berdasarkan tabel 4.3 distribusi frekuensi responden berdasarkan genetik mayoritas tidak memiliki riwayat genetik yang berjumlah 107 responden (66,8%) dengan

  46 responden pada kelompok kasus (28,7%) dan 61 responden pada kelompok kontrol (38,1%). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti riwayat kesehatan atau riwayat penyakit. Berdasarkan Laporan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2015 menjelaskan bahwa kunjungan rawat jalan di rumah sakit, khususnya Rumah Sakit Panembahan Senopati sudah didominasi oleh penyakit tidak menular. Hal ini mempertegas bahwa di Kabupaten Bantul telah terjadi trasmisi epidemiologi dengan semakin menonjolnya penyakit-penyakit tidak menular, khususnya penyakit hipertensi yang menduduki peringkat pertama dari 10 besar penyakit tidak menular sebanyak 20.065 kasus (52,1%).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Kesehatan Responden di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2017Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Kontrasepsi Hormonal

  Berdasarkan tabel 4.5 distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat kontrasepsi hormonal mayoritas memiliki riwayat kontrasepsi hormonal yang dengan 57 responden pada kelompok kasus (35,6%) dan 45 responden pada kelompok kontrol (28,1%).

  80 50 160 100 Sumber: Data Penelitian 2017

  50

  80

  Total

  Ada riwayat 57 35,6 45 28,1 102 63,7 Tidak ada riwayat 23 14,4 35 21,9 58 36,3

  Karakteristik Responden Kasus Kontrol Total % F P (%) F P (%) Riwayat Kontrasepsi Hormonal

  Responden di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2017

  Angka kematian ibu pada tahun 2015 lebih baik dibandingkan pada tahun 2014. Hal ini ditandai dengan turunnya angka kematian ibu yaitu pada tahun 2014 sebesar 104,7/100.000 kelahiran hidup (14 kasus) turun menjadi 87,5/100.000 (11 kasus) pada tahun 2015. Hal tersebut menunjukkan derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Bantul yang semakin baik ditunjukkan dengan indikator status kesehatan yang baik pula.

  Karakteristik Responden Kasus Kontrol Total %

F P

(%)

  Pusat Statistik/BPS Kabupaten Bantul, 2016). Peningkatan UHH dipengaruhi oleh multifaktor antara lain faktor kesehatan yang menjadi salah satu peran penting didalamnya.

  44 responden pada kelompok kasus (27,5%) dan 58 responden pada kelompok kontrol (36,2%). Derajat kesehatan ditunjukkan dengan suatu indikator status kesehatan yaitu Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (Eo), Angka Kematian, Angka Kesakitan, dan Angka Status Gizi. Berdasarkan penghitungan Umur Harapan Hidup (UHH) Waktu Lahir di Kabupaten Bantul tahun 2015 adalah 73,24%, sedangkan pada tahun 2014 adalah 73,22% (Badan

  Berdasarkan tabel 4.4 distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat kesehatan mayoritas tidak memiliki riwayat penyakit (penyakit ginjal, diabetes melitus, riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi kronik) yang berjumlah 102 responden (63,7%) dengan

  80 50 160 100 Sumber: Data Penelitian 2017

  50

  80

  Total

  Ada riwayat penyakit 36 22,5 22 13,8 58 36,3 Tidak ada riwayat penyakit 44 27,5 58 36,2 102 63,7

  F P (%) Riwayat Kesehatan

  Berdasarkan data BKKBN Provinsi DIY Desember 2016 peserta KB aktif di Kabupaten dengan metode kontrasepsi Bantul adalah sebesar 120,91% terbanyak yaitu menggunakan (sangat baik). Pencapaian KB aktif metode suntik. Dengan ini hormonal (implan, suntik, dan pil) di menunjukkan bahwa sebagian besar Kabupaten Bantul masing-masing masyarakat Kabupaten Bantul sadar sebesar 97,41% (baik), 122,57% akan penggunaan KB.

  (sangat baik), dan 92,86% (baik)

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Obesitas Responden di

  RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2017

  Kasus Kontrol Total % Karakteristik Responden F P F P (%) (%) Riwayat Obesitas

  Obesitas 17 10,6 7 4,4

  24

  15 Tidak Obesitas 63 39,4 73 45,6 136

  85

  80

  50

  80 50 160 100

  Total

  Sumber: Data Penelitian 2017 Berdasarkan tabel 4.6 distribusi >15 tahun menurut Indeks Massa frekuensi responden berdasarkan Tubuh (IMT) di Kabupaten Bantul riwayat obesitas mayoritas tidak dengan mayoritas memiliki status obesitas yang berjumlah 136 gizi normal (60,7%) dan status gizi responden (85%) dengan 63 obesitas sebesar 7,1%. Status gizi responden pada kelompok kasus normal di Kabupaten Bantul (39,4%) dan 73 responden pada menduduki peringkat tertinggi di kelompok kontrol (45,6%). provinsi DIY sehingga responden

  Berdasarkan data Riset pada penelitian ini mayoritas pada Kesehatan Dasar DIY (2013) bahwa ibu yang tidak obesitas (status gizi status gizi penduduk dewasa umur normal).

2. ANALISIS BIVARIAT

Tabel 4.7 Hubungan Karakteristik Responden dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Tahun 2016

  Kasus Kontrol Nilai p Faktor-faktor Total OR (95% CI) F % F % Value

  Umur 0,000 6,061 (2,931-12,533) Berisiko

  45 28,1

14 8,8

  59 (<20,>35Th.) Tidak Berisiko (20- 35 21,9 66 41,2 101

  35Th.) Pendidikan

  0,001 3,370 (1,650-6,885) Rendah (Tidak 35 21,9

15 9,4

  50 Sekolah, SD, SMP) Tinggi (SMA, PT) 45 28,1 65 40,6 110

  Pekerjaan 0,631 0,857 (0,457-1,607) Bekerja

  45 28,1

  48

  30

  93 Tidak bekerja 35 21,9

  32

  20

  67 Paritas 0,000 3,186 (1,654-6,137) <2, >3 kali

  45 28,1

23 14,4

  68 2-3 kali 35 21,9

57 35,6

  92 Total

  80

  50

  80 50 160

  Sumber: Data Penelitian 2017

  a. Karakteristik Umur Berdasarkan tabel 4.7 dapat Hubungan dengan Kejadian Preeklamsia pada diketahui bahwa kejadian preeklamsia

  Ibu Hamil di RSUD Panembahan di RSUD Panembahan Senopati Senopati Bantul Tahun 2016 Bantul yang paling tinggi pada ibu tahun yaitu sebanyak 45 responden (28,1%), sedangkan yang paling rendah adalah ibu yang memiliki umur 20 - 35 tahun yaitu sebanyak 35 responden (21,9%). Hasil bivariat antara umur dan kejadian preeklamsia diperoleh nilai p < 0,05 (p=0,000) artinya ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian preeklamsia dengan nilai OR 6,061 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 6,061 kali lebih tinggi pada ibu dengan umur < 20 tahun atau > 35 tahun dibandingkan ibu dengan umur 20-35 tahun.

  Menurut Manuaba (2010), usia dibawah 20 tahun bukan masa yang baik untuk hamil karena organ-organ reproduksi belum sempurna.

  Perkembangan fisik manusia sejalan dengan pertambahan umur dalam hal ini berhubungan dengan proses degeneratif yang menyebabkan terjadinya pengerasan pada dinding pembuluh darah yang selanjutnya terjadi penyempitan. Pembuluh darah memerlukan tekanan lebih banyak disesuaikan dengan banyak hambatan, untuk memompa aliran darah. Semakin bertambah umur seseorang, hambatan semakin banyak maka risiko terjadinya hipertensi juga semakin banyak (Lisonkova dan Joseph, 2013).

  Bertambahnya umur juga berkaitan dengan perubahan pada kardiovaskulernya dan secara teoritis preeklamsia dihubungkan dengan adanya patologi pada endotel yang merupakan bagian dari pembuluh darah. (Royston dan Amstrong, 2008).

  Pada ibu yang terlalu tua terjadi lesi sklerotik (proses ateriosklerosis) pada arteri miometrium sehingga dapat menyebabkan perfusi yang kurang dari plasenta dan mengarah pada risiko yang lebih tinggi pada hasil mortalitas dan morbiditas perinatal.

  Proses ateriosklerosis tersebut menyebabkan menyempit lumen arteriol sehingga tekanan perifer meningkat dan menyebabkan terjadinya preeklamsia (Rogers BB, Bloom SL, Leveno KJ, 2014).

  b.

  Hubungan Karakteristik Pendidikan dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

  Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa kejadian preeklamsia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang paling tinggi pada ibu dengan status pendidikan tinggi (SMA, PT) yaitu sebanyak 45 responden (28,1%), sedangkan yang paling rendah yaitu pada ibu dengan status pendidikan rendah (tidak sekolah, SD, SMP) sebanyak 35 responden (21,9%). Hasil bivariat antara pendidikan dan kejadian preeklamsia diperoleh nilai p < 0,05 (p=0,001) artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pendidikan dengan kejadian preeklamsia dengan nilai OR 3,370 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 3,370 kali lebih besar jika status pendidikan ibu rendah (tidak sekolah, SD, SMP) dibandingkan dengan status pendidikan ibu yang tinggi (SMA, PT). Pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stressor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman tentang stimulus. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan (Notoatmodjo, 2010).

  Menurut Tarwoto (2010), tingkat pendidikan ibu hamil, bersalin, dan nifas yang rendah akan mempengaruhi penerimaan informasi tentang pencegahan terjadinya preeklamsia, maka akan menjadi terbatas dan berdampak menyebabkan preeklamsia. Semakin tinggi pendidikan maka kemampuan untuk memperoleh dan menyerap informasi akan semakin baik khususnya tentang preeklamsia sehingga kejadiaan preeklamsia dapat dicegah dan diminimalisir.

  Pada penelitian ini didapatkan hasil ibu dengan preeklamsia lebih banyak terjadi pada ibu dengan status pendidikan tinggi (SMA, PT) sebanyak 45 responden (28,1%), sehingga tidak sesuai dengan teori yang ada. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi kejadian preeklamsia seperti tingginya ibu yang bekerja.

  Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bantul tahun 2016, sekitar 67,84% dari total penduduk Kabupaten Bantul atau sebanyak 659.073 orang adalah penduduk yang usia angkatan kerja dengan sekitar 639.300 orang adalah bekerja. Kesibukan dalam bekerja akan mempengaruhi seseorang dalam memperhatikan status kesehatannya meskipun memiliki status pendidikan yang tinggi.

  c.

  Hubungan Karakteristik Pekerjaan dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

  Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa kejadian preeklamsia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang paling tinggi pada ibu dengan status bekerja yaitu sebanyak 45 responden (28,1%), sedangkan yang paling rendah yaitu pada ibu dengan status tidak bekerja sebanyak 35 responden (21,9%). Hasil bivariat antara pekerjaan dan kejadian preeklamsia diperoleh nilai

  p

  > 0,05 (p=0,631) artinya tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pekerjaan dengan kejadian preeklamsia. Meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan secara signifikan, namun ibu pada hasil penelitian ini dengan nilai OR 0,857 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 0,857 kali lebih besar jika ibu bekerja dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.

  Tingkat pekerjaan mempengaruhi kejadian hipertensi oleh jenis maupun lama melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi tingkat stress seseorang yang mana akan mempengaruhi tekanan darah terutama pada pasien yang sudah mengalami hipertensi. Pekerjaan berpengaruh kepada aktifitas fisik seseorang. Orang yang tidak bekerja aktifitasnya tidak banyak sehingga dapat meningkatkan kejadian hipertensi (Jurnal Ilmiah Kesehatan, 2013). Efek stress akan merangsang kelenjar anak ginjal atau adrenal untuk mengeluarkan hormon adrenalin. Hormon adrenalin akan bekerja dan memacu denyut jantung lebih cepat yang berdampak pada peningkatan tekanan darah (Indonesian Jurnal of Human Nutrition , 2016).

  d. Hubungan Karakteristik Paritas dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

  Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa kejadian preeklamsia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang paling tinggi pada ibu dengan paritas <2, >3 kali yaitu sebanyak 45 responden (28,1%), sedangkan yang paling rendah yaitu pada ibu dengan paritas 2-3 kali sebanyak 35 responden (21,9%). Hasil bivariat antara paritas dan kejadian preeklamsia diperoleh nilai p < 0,05 (p=0,000) artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara paritas dengan kejadian preeklamsia dengan nilai OR 3,186 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 3,186 kali lebih besar jika ibu riwayat melahirkan < 2 dan > 3 kali dibandingkan dengan ibu dengan riwayat melahirkan 2 - 3 kali.

  Menurut Prawiroharjo (2010), diyakini paritas 0 adalah faktor risiko preeklamsia, dimana kelainan ini lebih umum terjadi pada primigravida. Hal ini diduga karena pada kehamilan pertama cenderung terjadi kegagalan pembentukan

  blocking antibodies terhadap antigen

  plasenta sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan.

  e.

  Hubungan Riwayat Genetik dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

Tabel 4.8 Hubungan Riwayat Genetik Responden dengan Kejadian

  Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Tahun 2016

  Faktor-faktor Kasus Kontrol Total Nilai p Value OR (95% CI) F % F %

  Genetik 0,012 2,373 (1,203-4,681) Ada riwayat 34 21,3 19 11,9 53

  Tidak ada riwayat 46 28,7 61 38,1 107 Total 80 50 80 50 160

  Sumber: Data Penelitian 2017 Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa kejadian preeklamsia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang paling tinggi pada ibu yang tidak ada riwayat genetik yaitu sebanyak

  46 responden (28,7%), sedangkan yang paling rendah yaitu pada ibu yang memiliki riwayat genetik sebanyak 34 responden (21,3%). Hasil bivariat antara riwayat genetik dengan kejadian preeklamsia diperoleh nilai p < 0,05 (p=0,012) artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara genetik dengan kejadian preeklamsia dengan nilai OR 2,373 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 2,373 kali lebih besar jika ibu memiliki riwayat genetik dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat genetik. Pada faktor keturunan, genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami preeklamsia menurunkan sebesar 26% pada anak perempuannya sehingga mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu yang mengalami preeklamsia (Prawirohardjo, 2010).

  Menurut Sunarsih (2011) jika ada riwayat preeklamsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor resiko meningkat sampai ± 25%. Bukti adanya pewarisan secara genetik paling mungkin disebabkan oleh turun resesif. Ada hubungan genetik yang telah ditegakkan, riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi kehamilan dapat diturunkan pada anak perempuannya (Manuaba, 2010).

  Pada penelitian ini didapatkan hasil ibu dengan preeklamsia lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak memiliki riwayat genetik sebanyak 45 responden (28,7%), sehingga tidak sesuai dengan teori yang ada. Pada penelitian ini didapatkan hasil ibu dengan preeklamsia lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak memiliki riwayat genetik sebanyak

  45 responden (28,7%), sehingga tidak sesuai dengan teori yang ada.

  Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi kejadian preeklamsia seperti tingginya penggunaan kontrasepsi hormonal. Berdasarkan data BKKBN Provinsi DIY Desember 2016 didapatkan bahwa pencapaian KB aktif hormonal (implan, suntik, dan pil) di Kabupaten Bantul masing-masing sebesar 97,41% (baik), 122,57% (sangat baik), dan 92,86% (baik) dengan metode kontrasepsi terbanyak yaitu menggunakan metode suntik (kontrasepsi hormonal). Tingginya penggunaan kontrasepsi hormonal tersebut merupakan salah satu faktor terjadinya preeklamsia.

  Hormon estrogen dan progesteron dalam kontrasepsi hormonal tersebut memiliki

  kemampuan untuk mempermudah retensi ion natrium dan sekresi air disertai kenaikan aktivitas rennin plasma dan pembentukan angiontensin sehingga dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah (Fajriansi, 2013).

  f.

  Hubungan Riwayat Kesehatan dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

Tabel 4.9 Hubungan Riwayat Kesehatan Responden dengan Kejadian

  Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Tahun 2016

  Faktor-faktor Kasus Kontrol Total Nilai p Value OR (95% CI) F % F %

  Riwayat Kesehatan 0,021 2,157 (1,115-4,171) Ada riwayat penyakit

  36 22,5 22 13,8 58 Tidak ada riwayat penyakit 44 27,5 58 36,2 102

  Total 80 50 80 50 160

  Sumber: Data Penelitian 2017 Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa kejadian preeklamsia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang paling tinggi pada ibu yang tidak ada riwayat penyakit (penyakit ginjal, diabetes melitus, riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi kronik) yaitu sebanyak 44 responden (27,5%), sedangkan yang paling rendah yaitu pada ibu yang memiliki riwayat penyakit (penyakit ginjal, diabetes melitus, riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi kronik) sebanyak 36 responden (22,5%), sehingga tidak sesuai dengan teori yang ada. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi kejadian preeklamsia seperti pekerjaan. Menurut Parameswarappa, SB (2015), lama bekerja juga mempengaruhi kejadian hipertensi, sebanyak 68 pekerja mengalami hipertensi dari 106. Waktu yang dihabiskan pekerja lebih dari 8 jam dalam 1 hari sehingga menyebabkan keterbatasan untuk mengolah makanan dan menyebabkan akses makanan cepat saji dapat diakses dengan mudah.

  Hasil bivariat antara riwayat penyakit dengan kejadian preeklamsia diperoleh nilai p < 0,05 (p=0,021) artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat kesehatan dengan kejadian pre eklamsia dengan nilai OR 2,157 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 2,157 kali lebih besar jika ibu memiliki riwayat penyakit (penyakit ginjal, diabetes melitus, riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi kronik) dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit (penyakit ginjal, diabetes melitus, riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi kronik).

  Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Wahyuni, et.al., (2015) dengan hasil uji statistic nilai p value 0.01, berarti pada α = 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit yang lalu dengan kejadiaan pre eklamsia. Angka kejadian pre eklamsia/eklamsia akan meningkat pada hipertensi kronik, karena pembuluh darah plasenta sudah mengalami gangguan. Faktor predisposisi terjadi pre eklamsia adalah hipertensi kronik dan riwayat keluarga dengan preeklamsia/ eklamsia. Bila ibu sebelumnya sudah menderita hipertensi maka keadaan ini akan memperberat keadaan ibu (Djannah dan Arianti, 2009).

  g.

  Hubungan Riwayat Kontrasepsi Hormonal dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

Tabel 4.10 Hubungan Riwayat Kontrasepsi Hormonal Responden dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati

  Tahun 2016

  Faktor-faktor Kasus Kontrol Total Nilai p Value OR (95% CI) F % F %

  Riwayat KB Hormonal 0.048 1,928 (1,001-3,712) Ada riwayat 57 35,6 45 28,1 102 Tidak ada riwayat 23 14,4 35 21,9 58

  Total 80 50 80 50 160

  Sumber: Data Penelitian 2017 Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa kejadian preeklamsia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang paling tinggi pada ibu yang memiliki riwayat kontrasepsi hormonal sebanyak 57 responden (35,6%), sedangkan yang paling rendah yaitu pada ibu yang tidak memiliki riwayat kontrasepsi hormonal sebanyak 23 responden (14,4%). Hasil bivariat antara riwayat KB hormonal dan kejadian preeklamsia diperoleh nilai p < 0,05 (p=0,048) artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat kontrasepsi hormonal dengan kejadian preeklamsia dengan nilai OR 1,928 yang berarti risiko terjadinya preeklamsia 1,928 kali lebih besar jika ibu memiliki riwayat kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat kontrasepsi hormonal.

  Kontrasepsi hormonal berupa pil KB sebagian besar mengandung hormon estrogen dan pregesteron. Hormon dalam kontrsepsi ini telah diatur sedemikian rupa sehingga mendekati kadar hormone dalam tubuh akseptor. Namun jika digunakan dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan efek samping lain. Kedua hormon tersebut memiliki kemampuan untuk mempermudah retensi ion natrium dan sekresi air disertai kenaikan aktivitas rennin plasma dan pembentukan angiontensin sehingga dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah (Fajriansi, 2013).

  h.

  Hubungan Obesitas dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2016

Tabel 4.11 Hubungan Obesitas Responden dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati Tahun 2016

  Faktor-faktor Kasus Kontrol Total Nilai p Value OR (95% CI) F % F %

  Obesitas 0,027 2,814 (1,096-7,222) Obesitas 17 10,6 7 4,4

  24 Tidak Obesitas 63 39,4 73 45,6 136 Total 80 50 80 50 160

Dokumen yang terkait

JURNAL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN ABORTUS SPONTAN PADA IBU HAMIL DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA TAHUN 2009

0 0 6

HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PRE EKLAMPSIA PADA IBU HAMIL DI RSD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 20091

0 0 7

HUBUNGAN ANTARA ANEMIA PADA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN PERSALINAN PRETERM DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 2009

0 0 13

HUBUNGAN PREEKLAMSIA IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA TAHUN 2008 - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 8

HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI PADA IBU BERSALIN DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA TAHUN 2011 NASKHAH PUBLIKASI - HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI PADA IBU BERSALIN DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOG

0 0 9

HUBUNGAN UMUR DENGAN KEJADIAN ABORTUS PADA IBU PRIMIGRAVIDA DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA TAHUN 2012

0 0 10

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PRE EKLAMPSIA PADA IBU HAMIL DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI - Faktor-Faktor yang berhubungan Dengan Kejadian Pre Eklampsia Pada Ibu Hamil di RSUD Panembahan Senopati

0 0 15

HUBUNGAN PARITAS DAN UMUR IBU DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA TAHUN 2015

0 0 8

FAKTOR KETUBAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 2015

0 0 14

HUBUNGAN RIWAYAT PENYAKIT DENGAN KEJADIAN PREEKLAMSIA PADA IBU HAMIL DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA 2016

0 0 12