Pradita Juhariyani BAB I

  kelompok usia remaja (Santrock, 2003). Akan tetapi beberapa remaja mengalami kendala dan rintangan dalam melewati masa menempuh pendidikan itu. Mereka mengalami putus sekolah. Menurut Kaufman dan Whitner (Titately, 2012) putus sekolah adalah suatu keadaan dimana murid tidak dapat menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid tidak tamat menyelesaikan program belajarnya. Remaja adalah generasi penerus estafet bangsa yang perlu mendapatkan pendidikan memadai sehingga tumbuh menjadi generasi yang berguna bagi masyarakat dan negara. Amanat UUD 1945 pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan secara merata, tanpa memandang latar belakang mereka yang berbeda. Di samping itu, pasal 32 menyebutkan adanya pendidikan layanan khusus bagi peserta didik yang tidak mampu ditinjau dari segi ekonomi, yang dapat diselenggarakan oleh institusi formal atau nonformal (UUD 1945).

  Data anak putus sekolah berdasarkan data BPS tahun 2013 rata-rata nasional angka putus sekolah 7-12 tahun mencapai 0,67% atau 182.773 anak, usia 13-15 tahun sebanyak 2,21% atau 209.976 anak dan usia 16-18

  1 tahun semakin tinggi hingga 3,14% atau 223.676 anak. Provinsi terbanyak siswa putus sekolah usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun adalah jawa barat hingga masing-masing 32.423 anak dan 47.198 anak. Pada usia 16-18 tahun, distribusi putus sekolah terbanyak di provinsi jawa timur mencapai 35.546 anak. Sedangkan provinsi di jawa tengah sebanyak 419.940 anak yang putus sekolah ().

  Conger (1991) mengemukakan beberapa dampak yang akan terjadi jika seorang remaja putus sekolah yakni harga diri rendah, merokok, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang dan kenakalan remaja. Hadiyanto (1996) juga menambahkan tingginya angka putus sekolah dapat berakibat pada bidang-bidang lainnya yang sangat merugikan masyarakat secara umum. Sebagai contohnya, tingginya angka putus sekolah menambah tingginya angka pengangguran yang mungkin dapat berakibat terhadap tingginya kriminalitas atau gejolak sosial lainnya.

  Remaja putus sekolah lebih banyak menganggur dan yang berhasil mendapatkan pekerjaan mendapatkan upah lebih rendah dari pada yang memiliki ijazah. Siswa yang putus sekolah meningkatkan ketergantungan pada bantuan publik. Wanita muda yang putus sekolah lebih mungkin memiliki anak diusia muda dan lebih mungkin menjadi orang tua tunggal (Adelman & Taylor, 2007). Penyebab putus sekolah antara lain kondisi ekonomi orang tua yang miskin, kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak sebagai investasi masa depannya dan keadaan geografis yang kurang menguntungkan. Kemiskinan dan putus sekolah dapat dianggap sebagai dua sisi dari satu mata uang. Kemiskinan yang mendera sebagian besar keluarga kurang mampu menyebabkan mereka tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya secara optimal, akibatnya putus sekolah menjadi pilihan. Alasan lain juga karena siswa tersebut gagal dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah sampai akhirnya dia dikeluarkan dari sekolah secara resmi (Grinder, 1978).

  Kondisi putus sekolah tidak bisa dihindarkan karena beberapa faktor, artinya putus sekolah menjadi salah satu kondisi yang harus ditanggung oleh sebagian remaja. Kondisi kehidupan yang harus dihadapi setelah mengalami putus sekolah, antara lain adalah keterbatasan pengetahuan, keterbatasan akses informasi, keterbatasan akses sosialisasi, dan kesempatan kerja yang terbatas karenatidak mempunyai ijazah sebagai syarat administrasi. Kondisi- kondisi tersebut mengakibatkan remaja putus sekolah tidak percaya diri untuk melakukan aktivitas tertentu karena merasa tidak mempunyai bekal pengetahuan, tidak mempunyai harga diri, tidak termotivasi dan mempunyai konsep diri negatif (Cobb, 2007; Fuhrmann, 1990; & Santrock, 2003).

  Remaja putus sekolah merupakan sebuah masalah sosial yang perlu mendapat perhatian. Remaja dalam menghadapi kondisi putus sekolah membutuhkan bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Dengan kata lain remaja membutuhkan dukungan orang tua dan orang dewasa yang ada disekitarnya agar dapat mengatasi kondisi yang harus dihadapi setelah mengalami putus sekolah. Dukungan sosial akan membantu individu dalam menggerakan sumber-sumber psikologis untuk melawan stresor, menyediakan bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka, menyediakan sumber materi keuangan dan ketrampilan serta menyediakan petunjuk dan saran (Lismudyati & Hastjarjo, 2001).

  Dukungan sosial ini dapat diperoleh dari keluarga. Gunarsa dan Gunarsa (1991) menjelaskan bahwa keluarga harus mempersiapkan anggota keluarganya dalam hal ini remaja, supaya dapat mengambil keputusan dan tindakan sendiri, sehingga remaja dapat mengalami perubahan dari keadaan tergantung padakeluarga menjadi berdiri sendiri secara otonom. Paling banyak berperan atas kehidupan remaja adalah orang tua yaitu ibu dan ayah, karena anggota keluarga itulah yang paling pertama dikenal, berada disekeliling anak dan memperkenalkan nilai-nilai dan harapan-harapan yang hidup dikalangan mereka. Orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga, cara-cara mereka bertingkah laku sangat mempengaruhi suasana interaksi keluarga dan merangsang ciri-ciri tertentu dari pribadi anak (Wati, 2005).

  Figur ayah menjadi terlihat penting dan dibutuhkan bukan sekedar karena alasan pada saat ini perempuan lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya dengan bekerja di luar rumah, sehingga waktunya untuk mengurus anak semakin menipis (Lamb, 1992). Akan tetapi terlepas dari hal tersebut, peran ayah memang dirasakan benar-benar penting, dan tidak kalah pentingnya dibandingkan peran ibu (Dagun, 1990). Inayati (1995) menjelaskan bahwa dalam konteks keluarga, ibu dan ayah mempunyai peran yang berbeda namun saling mendukung. Peran ibu selama ini didefinisikan begitu lengkap dan detail, sedangkan peran ayah kurang diperhatikan. Hal ini ada kecenderungan anggapan bahwa ayah hanyalah pencari nafkah dalam keluarga.

  Inayati (1995) mengemukakan bahwa orang kurang menyadari bahwa ayah selain mencari nafkah masih ada peran yang lebih besar berkaitan dengan proses pengasuhan anak. Idealnya, seorang ayah harus mampu berperan seimbang seperti peran ibu pada diri anak. Akan tetapi, bukan berarti ayah harus berperan persis seperti yang dilakukan ibu. Peran ayah dalam kehidupan anak yang mempunyai dimensi lain dari peran ibu yang justru akan menambah masukan bagi remaja yang justru akan makin memperkaya dan memperluas wawasan mereka (Gottman & DeClaire, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh strom (2002) tentang peran ayah dalam kehidupan remaja terutama dalam pendidikan dan pergaulannya akan meningkatkan kemampuan remaja dalam pendidikan dan social skill.

  Ayah yang kurang berperan dalam menjalankan fungsi keayahannyan akan membawa berbagai dampak yang buruk bagi anak- anaknya. Berbagai dampak buruk yang mungkin terjadi akibat tidak berfungsinya ayah antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, Dampak terhadap Identitas dan Peran Seksual Anak. Absennya ayah dalam kehidupan anak akan membawa berbagai dampak yang cukup berarti bagi perkembangan seksual maupun identitas seksual anak. Kedua, Dampak Gangguan Psikologis Pada Anak di Masa Dewasa Mereka. Penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan peran ayah membuat anak menderita banyak kemurungan di kemudian hari (Elia, 2000).

  Penelitian yang dilakukan oleh frank (Johansen, 2000) menunjukan bahwa remaja yang mendapat dukungan dan adanya komunikasi yang intensif dengan ayahnya memiliki kebebasan yang lebih besar untuk berusaha, bereksplorasi, untuk menjadi dirinya sendiri, menemukan jati dirinya, mencoba kemampuan dirinya, memperkuat penilaian sendiri terhadap pilihan-pilihan yang dibuat, dan mempertimbangkan kemungkinannya menghadapi orang lain dalam merencanakan masa depannya. Penelitian Afiatin (2001) pada 10 orang remaja pengguna narkob, tujuh diantaranya adalah remaja laki-laki, menunjukan ketujuh remaja pengguna tersebut memiliki masalah dalam berhubungan dengan anggota keluargadan adanya konflik dengan ayah. Penelitian ini makin menunjukan pentingnya peran ayah.

  Berdasarkan hasil studi pendahuluan peneliti yang dilakukan di Desa Salebu Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap pada tanggal 15 dan16 April 2014 pada empat remaja yang putus sekolah yaitu berinisial SH, AN, TN, dan YT mengatakan beberapa hal antara lain, SH mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu dekat dengan keluarganya dan dia putus sekolah karena tidak ada biaya untuk sekolah. AN merasa tidak di perhatikan oleh orang tuanya membuat AN merasa sekolah itu tidak penting ujarnya “Untuk siapa saya sekolah, orang tua saya juga tidak peduli pada saya”. TN mengatakan bahwa putus sekolah karena nilai akademiknya selalu rendah dan orang tuanya memutuskan agar dia berhenti sekolah, setelah putus seolah ayahnya selalu mengajaknya ikut bekerja di bengkel agar tidak menganggur saja di rumah akan tetapi TN menolak ajakan ayahnya karena TN ingin kerja diluar kota bersama temannya tetapi ayahnya tidak mengizinkan sehingga sampai sekarang TN menganggur dirumah. YT mengatakan bahwa dirinya kurang akur dengan ayahnya karena menurutnya ayahnya tidak peduli dengan keluarga dan selalu sibuk dengan alasan mencari nafkah, YT putus sekolah karena sering membolos dan sering melanggar peraturan sekolah, nilai akademiknya pun rendah, karena bosan dihukum oleh guru akhirnya dia mengundurkan diri dari sekolah dan setelah putus sekolah YT hanya menganggur saja dirumah.

  Berdasarkan studi pendahuluan dengan studi kasus yang peneliti temukan diatas membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana dukungan sosial ayah pada remaja putus sekolah di Desa Salebu Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap”.

  B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana dukungan sosial ayah pada remaja putus sekolah di Desa Salebu Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap”.

  C. Tujuan Penelitian bertujuan untuk mengkaji dukungan sosial ayah pada remaja yang putus sekolah di Desa Salebu Kecamatan Majenang Kabupaten

  Cilacap. D. Manfaat

  a. Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, konstribusi pada pengembangan teoritis psikologi pendidikan dan dapat menambah informasi bagi orangtua khususnya ayah mengenai dukungan sosial ayah pada anak putus sekolah.

  b. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah rasa kepedulian orang tua umumnya, khususnya seorang ayah pada remaja yang putus sekolah sehingga anak putus sekolah masih mempunyai harapan untuk masa depannya.