KONSEP DASAR PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BAGIAN DUA KONSEP DASAR PENGURANGAN RISIKO BENCANA
1. Pengertian Bencana
Pembahasan tentang bencana biasanya diawali dengan, disatu pihak, adanya suatu fenomena yang mempunyai potensi ANCAMAN terhadap hidup dan kehidupan, kesejahteraan dan asset-asset manusia (Smith, 1992:6; Carter, 1991:3). Beberapa ancaman mempunyai peluang lebih tinggi dari yang lainnya untuk benar-benar menjadi suatu peristiwa. Di pihak lain masyarakat mempunyai KERENTANAN, yaitu keadaan dan ciri-ciri tertentu yang mempertinggi kemungkinan mereka untuk tercederai oleh ancaman-ancaman pada saat benar-benar menjadi suatu peristiwa yang merusak. Pertemuan dari ancaman dan kerentanan inilah yang disebut dengan peristiwa bencana. Singkatnya, alam semesta dan isinya ini sejatinya bersifat netral (Cuny, 1983:13), hanya pada saat tertentu ketika ancaman itu menjadi suatu peristiwa dan peristiwa itu berdampak merugikan manusia maka peristiwa itu disebut sebagai suatu bencana. Beberapa penulis seperti Lyons (1999) mengklasifikasikan bencana ke dalam dua jenis yaitu bencana alam (natural
disaster) yang disebabkan kejadian alam (natural) seperti
gempa bumi dan gunung meletus, dan bencana buatan manusia (man-made disaster) yaitu hasil dari tindakan secara langsung atau tidak langsung manusia seperti perang, konflik antar penduduk, teroris, dan kegagalan teknologi. Rice (1999) menambahkan satu kategori lagi yaitu bencana teknologi.
Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu 'ancaman tradisional' seperti gejala-gejala alami termasuk gempabumi, angin topan, letusan gunungapi, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Sementara itu timbul pula 'ancaman baru' seperti kekerasan sosial, serangan terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan-bahan berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan untuk tujuan damai maupun peperangan.
Sekretariat Strategi Internasional untuk Pengurangan
Bencana/International Strategy for Disaster Reduction Perserikatan Bangsa-Bangsa (ISDR, 2004), menggeser penekanan pada pemaknaan bencana dari yang tadinya bertumpu pada ”sebab musabab” suatu kejadian menjadi suatu pandangan yang menekankan pada”dampak” kejadian tersebut pada manusia, dan
menyusun suatu definisi standar tentang bencana yang dimutakhirkan pada tanggal 31 Maret
2004, sebagai berikut: suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu [masyarakat] sehingga menyebabkan [kerugian] yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan [masyarakat] tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (A serious
disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses which exceed the ability of the affected community or society to cope using its own resources).(ISDR, 2004)
Definisi standar internasional ini tidak terlalu mempersoalkan perbedaan bencana alam dari bencana sosial atau bencana teknologi, selama suatu kejadian menimbulkan dampak seperti yang didefinisikan, maka kejadian itu disebut sebagai bencana. Dalam alur pikir yang sama, De Guzman (ca 2002) berargumen bahwa semua bencana pada
hakekatnya adalah akibat dari tindakan atau ketidakbertindakan manusia. Lebih jauh dia
menganalisis bahwa suatu peristiwa katastropik, baik yang ditimbulkan oleh gejala alam
ataupun diakibatkan oleh kegiatan manusia, baru menjadi keadaan bencana ketika masyarakat yang terkena tidak mampu untuk menanggulangi. Kerentanan manusia terhadap dampak gejala alam sebagian besar ditentukan oleh tindakan atau ketidak-bertindakan manusia itu sendiri. Bahkan peristiwa kekacauan iklim yang dihubungkan dengan perubahan iklim global sekalipun kalau dirunut akhirnya mengacu pada perbuatan manusia.
2. Daur Bencana
Secara umum pengelolaan risiko bencana dilakukan dalam tiga tahapan besar, yaitu pada saat bencana, setelah bencana dan sebelum bencana.
Saat bencana, kegiatan yang dilakukan adalah tanggap darurat dengan fokus kegiatan menyelamatkan penduduk terkena bencana (PTB), mengamankan aset-aset PTB dan menangani jenazah korban kejadian bencana. Fase berikutnya, adalah memberikan bantuan darurat kepada PTB sampai penduduk mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya. Pemulihan, merupakan proses selanjutnya. Pemulihan dilakukan untuk memulihkan sarana dan prasarana vital publik, seperti pasar, jaringan transportasi, air bersih, sekolah maupun roda pemerintahan. Proses pemulihan difokuskan pada fungsi berbagai fasilitas public tersebut. Sedangkan perbaikan dan pembangunan fisik merupakan bagian dari proses pembangunan kembali yang di kenal dengan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebuah prinsip dasar dalam penanganan paska bencana adalah; pembangunan kembali harus lebih baik dari kondisi sebelumnya. Lebih baik tidak hanya aspek visual fisik saja, tapi juga dari sisi fungsi dan kebutuhan-kebutuhan dalam kerangka mengurangi risiko bencana. Seperti bangunan yang rusak akibat gempa, saat dibangun kembali harus menggunakan struktur anti atau tahan gempa. Bangunan juga di rancang agar penghuni atau pengguna bangunan mudah untuk keluar dari gedung. Lebih baik, proses pembangunan kembali pun disertai dengan memberikan pengetahuan dan kesiapan warga masyarakat terhadap ancaman bencana. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mengarus-utamakan PRB. Hal juga penting adalah menyediakan berbagai fasilitas upaya perlindungan dan keselamatan seperti tanda peringatan dini, tanda dan jalur evakuasi, tempat pengungsian dll. Sebelum bencana adalah tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan sebelum peristiwa ancaman menjadi bencana. Berbagai tindakan merupakan upaya agar ancaman atau bahaya tidak menjadi bencana. Baik dengan mengurangi atau menghilangkan ancaman atau mengurangi tingkat risikonya.
Kegiatan sebelum bencana adalah tindakan preventif, mitigasi atau peredaman dan kesiapsiagaan. Secara operasional, tindakan pencegahan atau prefentif telah diterjemahkan dalam kerja-kerja mitigasi dan kesiapsiagaan. Secara spesifik, masing-masing tahapan dalam penanggulangan bencana dapat dilihat dalam daur penanggulangan bencana.
Faktor terpenting dari gambar daur di atas adalah bencana dan penanganannya adalah suatu kontinuum dari kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan, dan bukannya suatu urutan kegiatan yang mempunyai awal dan akhir yang tegas.
Pencegahan (prevention) adalah langkah-langkah yang
dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsuaian fisik dan lingkungan. Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk menekan penyebab ancaman dengan cara mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau material ke wilayah yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih panjang (Smith, 1992:81). Cuny (1983:206) menuduh bahwa pencegahan bencana pada masa lalu cenderung didorong oleh kepercayaan diri yang berlebihan pada ilmu dan teknologi pada tahun enam-puluhan, dan oleh karenanya cenderung menuntut ketersediaan modal dan teknologi. Pendekatan ini semakin berkurang peminatnya dan kalaupun masih dilakukan, maka kegiatan pencagahan ini diserap pada kegiatan pembangunan pada arus utama.
Mitigasi (Mitigation) adalah upaya-upaya yang memfokuskan
pada pengurangan dampak ancaman. Sehingga dapat mengurangi kemungkinan dampak negatif sebuah kejadian yang berpotensi menjadi bencana terhadap kehidupan, melalui cara yang dapat diterima secara ekologis. Kegiatan- kegiatan mitigasi termasuk tindakan-tindakan non-rekayasa seperti upaya-upaya peraturan dan pengaturan, pemberian sanksi dan penghargaan untuk mendorong perilaku yang lebih tepat, dan upaya-upaya penyuluhan dan penyediaan informasi untuk memungkinkan orang mengambil keputusan yang berkesadaran. Upaya-upaya rekayasa termasuk pananaman-penanaman modal untuk bangunan struktur tahan ancaman bencana dan / atau perbaikan struktur yang sudah ada supaya lebih tahan ancaman bencana (Smith, 1992:84-86). Kegiatan-kegiatan utama mitigasi bencana, terutama tata ruang dan peraturan bangunan, akan mengalami kendala atau sulit berhasil di negara-negara sedang berkembang. Hal ini dikarenakan, mereka memerlukan upaya-upaya yang kompleks dan kurang praktis. Atau kerap dianggap sebagai panghambat proses pembangunan yang sedang dilakukan.
Kesiapan-siagaan (preparedness) bencana adalah
perkiraan-perkiraan tentang kebutuhan yang akan timbul kalau terjadi kedaruratan bencana dan pengenal-pastian sumber-sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dan dengan demikian, membawa penduduk di daerah rawan bencana ke tataran kesiapan yang relatif lebih baik untuk menghadapi bencana. Berdasar penerimaan bahwa kerusakan akibat peristiwa bencana memang tidak terhindarkan, kegiatan kesiapan meletakkan pengaturan-pengaturan penanggulangan kedaruratan sedemikian rupa sehingga lebih efektif. Termasuk didalamnya adalah kegiatan penyusunan dan ujicoba rencana penanggulangan kedaruratan, meng-organisasi, memasang dan menguji sistem peringatan dini, penggudangan dan penyiapan barang- barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, pelatihan dan gladi, penyiapan mekanisme alarm dan prosedur-prosedur tetap (Flemming, 1957).
Respon darurat (emergency response)
atau penanggulangan kedaruratan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan seketika sebelum dan atau sesaat setelah terjadinya kejadian bencana. Tindakan-tindakan pada fase ini melakukan penyelamatan penduduk terkena bencana (PTB) melalui evakuasi, pertolongan pertama pada kecelakaan, penanganan jenazah serta menyelamatkan dan melindungi aset masyarakat yang ditinggalkan penduduk untuk mengungsi. Bersamaan dengan penanganan-penanganan tersebut, dilakukan penjajakan cepat situasi dan kondisi wilayah terkena bencana, kerusakan maupun sumberdaya yang tersedia untuk dengan cepat menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Bantuan Darurat (Relief) merupakan upaya memberikan bantuan dengan segera kepada
penduduk terkena dampak bencana (PTB) setelah mereka berada di lokasi yang aman; tempat pengungsian, rumah sakit/tempat pelayanan kesehatan atau tempat yang aman dari ancaman bencana. Bantuan darurat adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara layak (standar minimum). Pemenuhan kebutuhan dasar dalam PB umumnya dikenal dengan lima kebutuhan dasar; tempat hunian, makanan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan kesehatan. Bantuan darurat dilakukan sampai PTB kembali ke tempat tinggalnya atau tempat hunian sementara (temporary shelters) dan PTB telah kembali dapat menjalankan mata pencahariannya dan mendapatkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pemulihan (Recovery) adalah tindakan-tindakan yang bertujuan membantu masyarakat
mendapatkan kembali apa yang hilang dan membangun kembali kehidupan mereka, serta mendapatkan kembali kesempatan-kesempatan mereka. Ini dicapai melalui kegiatan- kegiatan yang bertujuan untuk memulihkan sarana-sarana berfungsi kembali, pembangunan kembali atau perbaikan sarana-sarana, menyiapkan kembali kemampuan-kemampuan sosial ekonomi idealnya pada tataran yang sama atau lebih baik ketimbang sebelum terjadi bencana sambil memperkuat daya lentingl mereka untuk menghadapi ancaman bencana yang akan datang.
3. Paradigma Penanggulangan Bencana
Banyaknya kejadian bencana dan respon bencana yang dilakukan, telah menjadi pembelajaran banyak pihak untuk melihat secara obyektif kebutuhan-kebutuhan dalam penanggulangan bencana yang dibutuhkan. Pengalaman panjang, paling tidak di Indonesia paska bencana gempa dan tsunami menyimpulkan perlunya perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana. Manajemen bencana perlu menerapkan paradigma pengelolaan risiko bencana secara menyeluruh. Paradigma ini memandang bencana sebagai suatu fenomena yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan tidak selalu dan begitu saja menjadi masalah. Paradigma ini mempermasalahkan tingginya risiko bencana karena faktor kerentanan dan kemampuan komunitas yang tidak mampu mengatasi bahaya dan ancaman bencana. Oleh karenanya, paradigma ini melihat manajemen bencana sebagai suatu keseluruhan tindakan dengan penekanan pada upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan sikap proaktif. Paradigma ini juga memandang manajemen bencana sebagai suatu upaya yang melibatkan semua pihak baik pemerintah maupun komunitas. Perubahan paradigma juga yang dapat dibaca sebagai perubahan dari cara pandang bagaimana merespon/mengelola bencana, yaitu:
Dari linear ke siklus
Dulu penilaian pengelolaan bencana adalah dari saat bencana terjadi, fase emergency, pemulihan dan kembali ke normal, pada saat sekarang banyak dimaknai, bahwa pengelolaan sebagai sebuah siklus, sehingga respon setelah bencana dimaknai sebagai sebuah rangkaian kegiatan untuk menghadapi bencana dimasa mendatang, sehingga pemulihan kondisi tidak hanya kembali ke normal, namun harus lebih baik, serta saat pembangunan juga sekaligus sebagai media kampanye dan pengorganisasian untuk melakukan mitigasi dan kesiap-siagaan
Dari responsif ke pengelolaan
Sebelumnya, respon bencana selalu dimulai ketika/setelah bencana terjadi. Saat ini, pengelolaan bencana dilakukan dengan lebih menyeluruh. Dengan membangun kapasitas komunitas, membangun kesiap-siagaan, seperti halnya dalam siklus bencana. Respon tidak hanya setelah bencana terjadi, namun saat bencana, setelah dan sebelum bencana terjadi.
Dari karitatif ke pemberdayaan.
Dahulu, respon bencana sering berupa pemberian bantuan barang yang danggap dibutuhkan komunitas terkena dampak bencana. Saat sekarang sering bantuan kepada mayarakat terkena dampak bencana dimaknai sebagai pintu masuk untuk melakukan pengorganisasian komunitas. Selanjutnya melakukan penguatan kapasitas dan pengorganisasian untuk melakukan advokasi; baik lewat kampanye maupun pengorganisasian itu sendiri
Dari mengelola dampak ke mereduksi risiko
Dahulu saat terjadi bencana respon diberikan untuk meminimalisir dampak bencana yang menimpa komunitas, saat sekarang respon diberikan tidak hanya untuk dampak yang sudah terjadi, namun juga untuk mereduksi kemungkinan resiko yang bisa terjadi seandainya terjadi bencana, sehingga harapannya muncul langkah antisipatif sebagai bagian kesiap-siagaan, selain itu saat sekarang mulai dilakukan penanganan bencana dimulai dari analisa penyebab bencana, sehingga respon yang diberikan tidak hanya untuk segi dampaknya, namun juga bagaimana mengatasi penyebab bencana Berdasarkan UU No 24 tahun 2007, telah terjadi pergeseran yang sangat mendasar tentang pengertian dan cara pandang terhadap bencana serta pendekatan dalam penanggulangan bencana. 1) dari reaktif (respon darurat) kepada pengurangan risiko (risk reduction) atau manajemen risiko (risk management), 2) perlindungan penduduk sebagai kewajiban Negara dan 3) penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat maupun swasta.
a. Dari respon darurat ke manajemen resiko:
Pergeseran ini mendorong perubahan radikal cara pandang. Sebelumnya, penanganan bencana dipandang sebagai rangkaian tindakan khusus terbatas pada keadaan darurat, dilakukan oleh para pakar saja, kompleks dan mahal, dan cepat. Sekarang, penanganan bencana harus dilihat sebagai suatu paket kegiatan baik ada kedaruratan ataupun tidak. Titik beratnya bukan lagi bagaimana merespon kedaruratan melainkan bagaimana melakukan manajemen resiko sehingga dampak merugikan dari suatu kejadian dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Aspek-aspek penanganan bencana harus dipadukan dalam keseharian aspek-aspek pembangunan dan hajat pemerintahan justru pada saat 'keadaan normal'. Dengan demikian, penanganan bencana membuka diri terhadap peranserta masyarakat dan dunia usaha pada berbagai tahap penanganan bencana.
b. Perlindungan rakyat sebagai perwujudan kewajiban pemerintah berupa perlindungan sebagai hak azasi rakyat.
Sebelumnya, perlindungan diberikan sebagai bukti kemurahan pemerintah yang berkuasa untuk rakyatnya. Untuk itu, keputusan-keputusan tentang perlindungan mutlak berada di tangan pemerintah pusat yang sebagian dipercayakan kepada dan dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Dengan demokratisasi dan otonomi daerah, akuntabilitas pemerintah daerah bergeser lebih dekat kepada konstituen. Pemerintah daerah adalah pihak yang diberi mandat oleh konstituennya antara lain untuk: menciptakan dan membagi kesejahteraan, dan memastikan perlindungan. Pergeseran ini mengharuskan pemerintah daerah untuk melihat perlindungan sebagai suatu mandat yang sama dengan mandat ekonomi dan kesejahteraan. Dengan demikian memperluas khasanah penanganan bencana sehubungan dengan hajat hidup dan pemerintahan yang lainnya. Penanganan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam perlindungan rakyat. Oleh karenanya rakyat mengharapkan pemerintah dapat melaksanakan penanganan bencana sepenuhnya.
Hak atas keselamatan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berikut: “Setiap orang mempunyai hak atas standar
Banjir bandang di Aceh Tenggara. Illegal logging dan alih fungsi hutan merupakan penyebab terjadinya bencana banjir bandang (doc. WALHI Aceh - 2006) perlindungan yang setinggi-tingginya dari ancaman bencana baik yang disebabkan oleh alam maupun ulah manusia”. Definisi ini didukung oleh hak-hak ekonomik, sosial dan budaya seperti tercantum pada piranti-piranti hukum hak azasi internasional. Seperti juga hak-hak yang lain, hak atas keselamatan juga membawa kewajiban – pada umumnya dari pemerintah, tetapi juga para pelaku-pelaku lainnya – untuk mengambil langkah-langkah untuk mewujudkannya. 1
(Terjemahan bebas dari: Twigg, 2003) Seperti juga kesejahteraan sosial dan kesehatan, suatu keselamatan yang mutlak tidak ada dan tidak akan pernah tercapai. Keselamatan tidak juga dapat didefinisikan secara persis karena masing-masing interaksi antara ancaman, kerentanan dan kemampuan penanggulangan bencana akan menghasilkan tingkat keselamatan yang berbeda-beda. Oleh karena tingkat keselamatan tidak dapat dibakukan, maka yang layak menjadi sasaran adalah tercapainya tingkat keselamatan yang “setinggi-tingginya” sehubungan dengan masing- masing konteks risiko bencana yang ada pada masyarakat tertentu. Hak atas setinggi- tingginya tingkat keselamatan ini berhadapan dengan kewajiban untuk memenuhi hak tersebut, yaitu kewajiban untuk memberikan sebaik mungkin perlindungan dari risiko bencana.
c. Dari tanggung jawab pemerintah menjadi urusan bersama masyarakat.
Ini berkaitan dengan bagaimana membawa penanganan bencana dari ranah pemerintah kearah urusan kemaslahatan bersama, dimana semua aspek penanganan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan, koordinasi dan mekanisme harus diubah sedemikian rupa sehingga menggalakkan peranserta masyarakat luas dan dunia usaha. Praktik semacam ini termasuk misalnya penanganan bencana berbasis masyarakat, dan praktik tanggung jawab sosial korporasi bisnis, dan sebagainya.
4. Perlindungan Lima Aset Kehidupan
Modal penghidupan (livelihood assets) atau disebut juga sumber-sumber penghidupan dapat dibagi menjadi lima kelompok yang sering juga disebut sebagai pentagon assets atau pentagon capital . Kelima kelompok modal penghidupan tersebut adalah: ? Humane Assets (sumber daya manusia); meliputi ketrampilan, kreatifitas, tenaga, kesehatan jasmani dan rohani, kemampuan kerja, dsbnya.
? Natural Assets (sumber daya alam); meliputi tanah, hutan, air, kualitas udara, perlindungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati, dsbnya. ? Social Assets (keanggotaan sosial); meliputi kekuatan ikatan sosial, jaringan pengaman sosial, dsbnya. ? Infrastructure; meliputi rumah, jalan, telepon, irigasi, dsbnya. ? Financial Assets (keuangan); meliputi uang dimiliki, lembaga keuangan formal dan informal.
Besarnya akses dan kontrol setiap manusia pada lima aset/modal penghidupan dapat menggambarkan besar atau kecilnya tingkat kerentanannya. Semakin besar akses dan kontrolnya maka semakin kuatlah dia dalam mempertukarkan hak-hak kehidupannya. Semakin kecil akses dan kontrolnya maka semakin rentanlah dia.
1 --- The Right to Safety: Some Conceptual and Practical Issues, John Twigg Benfield Hazard Research Centre Disaster Studies Working Paper 9 December 2003)
2 Bastian Saranggih, Kerangka konsep pengembangan program ketahan pangan - makalah pelatihan CBDRM mitra
Kelima kelompok dari Aset kehidupan (livelihood asset) saling mengkait dan saling mendukung. Kejadian bencana dapat merusak atau menghancurkan aset kehidupan ini sesuai dengan tingkat kerentanan dari aset-aset tersebut. Di sisi lain, aset-aset kehidupan sendiri merupakan sumber kekuatan yang dapat meredam ancaman, menangani dampak, dan memulihkan kembali kehidupan paska bencana. Dengan demikian, dapat disimpulkan kekuatan utama pengelolaan bencana terletak pada kemampuan mengelola aset kehidupan yang dimiliki masyarakat. Posisi penting inilah yang membuat pengelolaan bencana menempatkan aset kehidupan sebagai unsur-unsur yang beresiko sekaligus sebagai kekuatan masyarakat.
a. Manusia
Perlindungan terhadap keselamatan jiwa manusia merupakan hal yang utama dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Untuk menyelamatkan jiwa manusia dari dampak suatu kejadian bencana, maka perlu diketahui keberadaan komunitas rentan dan penyebab dari kerentanan tersebut. Dalam melakukan perlindungan terhadap komunitas rentan haruslah selalu dipegang sebuah prinsip; ”selemah-lemahnya orang dalam suatu komunitas, masih memiliki kekuatan untuk menolong dirinya sendiri”. Bertahan hidup adalah insting setiap mahluk hidup, termasuk manusia. Besar kecilnya daya tahan seseorang bertahan hidup dalam kondisi darurat sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pengetahuan bertahan hidup dan harapan hidupnya. Kondisi alamiah manusia sebagai mahluk hidup jika dipadukan dengan sistem pengurangan risiko bencana yang baik akan menciptakan sebuah harapan hidup yang besar. Dan ini memposisikan tingkat harapan kehidupan menjadi lebih besar. Penguatan kapasitas, baik untuk menolong dirinya sendiri maupun orang lain serta mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam seluruh sektor menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pengelolaan lima aset kehidupan untuk kehidupan yang bermartabat. Hal ini mencerminkan, menyiapkan manusia yang paham dan mempunyai kemampuan dalam pengurangan risiko bencana merupakan bagian perlindungan dari aset-aset yang lain, selain untuk manusianya itu sendiri, baik lingkungan, infrastruktur, finansial maupun sosial.
b. Sumberdaya alam dan Lingkungan
Lingkungan atau sumber daya alam merupakan aset yang berisiko terhadap kejadian bencana. Aset ini perlu diselamatkan karena merupakan bagian tak terpisahkan dengan kehidupan manusia maupun mahluk hidup lainnya. Fungsi jasa alam terhadap kehidupan harus senantiasa dijaga, tidak hanya dari ancaman bencana, tetapi juga dari kerusakan. Ketidakberfungsiaan Jasa alam (hutan, laut, sawah, danau dll) berimplikasi jangka panjang bagi kehidupan manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup komunitas, akan mendorong eksploitasi SDA yang lebih tinggi dan mengabaikan faktor- faktor kelestarian, yang sebetulnya mengatur keberlanjutan penyediaan jasa alam tersebut.
Kawasan hutan yang mencapai 60 % di Kabupaten Bener Meriah adalah benteng bagi kawasan-kawasan bawahannya serta menjaga kesetabilan iklim bumi (doc. sofyan) Kondisi ini tentu akan berpengaruh atau meningkatkan kerentanan bagi manusianya itu sendiri. Kerusakan SDA pun memicu terjadinya bencana. Kejadian bencana, akibat kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor, dalam waktu yang singkat menghancurkan aset-aset kehidupan yang lain, selain lingkungan itu sendiri.
c. Infrastruktur / Fisik
Pengalaman dari beberpa kejadian bencana seperti tsunami di Propinsi Aceh, gempa di Nias, Nabire, Jogjakarta - Klaten maupun Sumatra Barat menunjukkan bagaimana dampak bencana merusak dan menghancurkan infrastruktur dan prasaranan yang ada. Kajian-kajian yang dilakukan melihat dampak kerusakan dari aspek fisik menunjukan, kerusakan bangunan dan infrastruktur lebih dikarenakan diabaikannya ancaman bencana. Bengunan tidak dibangun untuk menghadapi ancaman gempa berkekuatan tertentu. Dan yang lebih memprihatinkan adalah, pengembangan kota dan fasilitas publik (rencana tata ruang) ditempatkan pada lokasi- lokasi yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi tanpa disiapkan upaya-upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang memadai.
Sebagai contoh, rumah-rumah atau gendung-gedung yang dibangun di Jogjakarta dan Klaten, Sumatra Barat, Nias atau Nabire lebih banyak bangunan yang dibangun tanpa memperhatikan aspek keselamatan dari gempa bumi. Sekalipun informasi tentang potensi gempa bumi telah diketahui. Namun tidak menjadi dasar bagi upaya melindungi dari ancaman bencana tersebut. Sebut saja ijin mendirikan bangunan (IMB) pada kawasan-kawasan rawan gempa bumi masih belum terintegrasi sebagai syarat bangunan harus dibuat dengan kekuatan yang mampu menahan gempa pada ukuran tertentu. Kerawanan bencana pun belum ditindak lanjuti dengan berbagai kebutuhan perlindungan dan penyelamatan; sistem peringatan dini, tanda dan jalur evakuasi, tempat penampungan (pengungsian) sementara, dll.
Kondisi ikutan dari terabaikannya menempatkan risiko bencana dalam pembangunan fisik atau infrastruktur adalah terhambatnya kerja-kerja kemanusiaan saat kejadian bencana maupun bantuan darurat. Jalanan yang putus, komunikasi tidak berfungsi atau berbagai fasilias publik tidak ikut rusak secara otomatis menambah penderitaan penduduk terkena bencana (PTB) setelah menderita terkena bencana primer. Berdasarkan pengalaman dari berbagi kejadian bencana, menjadi penting melihat karakteristik atau ancaman bencana dalam pembangunan atau pengembangan wilayah. Ancaman bencana yang ada menjadi dasar, apa kebutuhan dan bagaimana sarana serta prasana terebut harus dibangun. Dengan pertimbangan, baik dalam kondisi normal maupun saat ancaman datang dan bahkan saat terjadi bencana. Sehingga bangunan atau infrastruktur yang ada tetap berfungsi dan menjadi faktor pendukung terhadap perlindungan aset-aset yang lain.
Anak-anak merupakan kelompok rentan. Mengenalkan penanggulangan bencana sejak dini memberi ruang dan kesempatan kepada anak bagaimana bersikap dan melindungi diri dari ancaman bencana. (doc. sofyan)
d. Sosial
The term 'social assets' has been used as short hand to describe supporting networks of
relationships within and between communities together with the level and effectiveness of
community organisation. It is argued that attention should be paid to such assets since they are
3 pivotal in assisting the development of even the most deprived local communitiesIni menggambarkan, bagaimana jejaring (networks) dan aset-aset yang dimiliki bersama dalam komunitas dapat memperkuat komunitas itu sendiri. Ikatan dan hubungan sosial, jaring pengaman sosial, adat atau budaya lokal atau sistem sosial yang dijalankan masyarakat merupakan bagian dari aset sosial. Organisasi Komunitas akan memperkuat aset sosial yang ada sebagai media menyatukan langkah dan kebersamaan. Dengan organisasi komunitas, berbagai upaya penguatan dari aset-aset sosial yang ada dapat ditingkatkan Kebersamaaan dan budaya lokal merupakan kekuatan utama dari sebuah masyarakat. Dalam penanggulangan bencana, masyarakat yang teroganisir telah terbukti mampu mereduksi risiko ancaman bencana dan segera pulih paska bencana. Keterlibatan aktif masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan telah terbukti mampu meningkatkan manfaat dan kualitas hasil pembangunan. Sebaliknya, ketidak pedulian, saling curiga dan tidak percaya ditingkat masyarakat mengantarkan komunitas menjadi lemah.
Pengetahuan dan pemahaman serta ketrampilan komunitas dalam pengurangan risiko bencana, selain akan memperkuat aset-aset lainnya; manusia, alam dan lingkungan, fisik/infrastruktur, dan finansial, juga akan mempu meredam atau bahkan menghilangkan berbagai risiko yang akan merusak/menghilangkan kelima aset yang ada.
Memetakan aset sosial, meningkatkan kesadaran serta meningkatkan kapasitas aset sosial menjadi penting dilakukan. Karena, tidak semua kebiasaan atau adat ditingkat lokal masih relevan dengan kondisi saat ini. Tidak semua kebijakan yang ada sesuai atau mendorong penguatan dari aset sosial atau aset-aset yang lain.
e. Keuangan / financial
Financial assets are cash and other assets that convert directly into known amounts of cash.
The three basic categories are cash, marketable securities, and receivables. In the balance
sheet, financial assets are listed at the current value. For cash, this means the face amount; for
4 marketable securities, current market value; and for receivables, net realizable value.Pemahamanan aset keuangan sebagai aset kehidupan, selain uang tunai, barang berharga dan piutang, adalah lembaga keuangan dan akses terhadap lembaga keuangan, baik formal maupun non formal. Non formal disini merupakan kondisi obyektif dalam kehidupan dimasyarakat, selain bank, koperasi, unit simpan pinjam yang resmi/formal, terdapat lembaga- lembaga informal yang memberikan akses pinjaman kepada masyarakat. Kenyataannya, lembaga informal ini justru lebih banyak diakses oleh masyarakat karena sistem mendapatkan uang tunai lebih mudah, sekalipun dengan bunga yang sangat tinggi. Kehidupan manusia sebagian besar saat ini tidak bisa lepas dari fungsi uang sebagai alat tukar. Hanya sebagian kecil komunitas yang masih menggunakan sistem barter/pertukaran barang dengan barang. Namun, dalam sistem barter pun kerap telah mengasumsikan nilai barang itu sendiri (penilaian dengan nilai uang).
3. Mike Morisey and the friends, Social assets, summary report, the The Community Foundation for Northern Ireland
4. http://highered.mcgraw-hill.com/sites/0072396881/student_view0/chapter7/ c hapter_summary.htmlUang sebagai alat tukar resmi menjadikan uang sebagai aset kehidupan yang penting. Dalam pengurangan risiko bencana, orang atau komunitas yang memiliki akses cukup secara umum memiliki kekuatan lebih atau kerentanan yang lebih rendah dibandingkan komunitas yang tidak memiliki akses atau uang yang cukup. Seperti dalam membangun rumah tinggal, orang yang memiliki cukup uang atau akses mendapatkan uang akan berkesempatan mendapatkan bahan bangunan berkualitas. Memilih lokasi yang strategis serta struktur dan design yang baik dan menarik. Demikian juga dengan mata pencaharian, orang kaya dapat memilih usaha yang paling sesuai dan dianggap tidak berbahaya bagi dirinya. Berbeda dengan orang miskin, karena kondisi keuangan yang tidak cukup, letak rumah, bahan bangunan maupun model rumah bisa jadi seadanya. sekalipun mereka mengetahui risiko dari bangunan rumahnya. Demikian juga dengan sumber penghidupannya. Terpaksa menempuh bahaya/risiko dari sebuah pekerjaan.
Untuk memperkuat aset keuangan, berbagai upaya harus dilakukan sesuai dengan karakteristik komunitas itu sendiri. Akses pinjaman terhadap lembaga formal yang selama ini sulit diakses oleh masyarakat perlu dicari jalan keluar. Bantuan pengentasan kemiskinan untuk meningkatkan pendapatkan uang kas harus disesuaikan dan saling menguatkan dari empat aset kehidupan lainnya. Meningkatkan pendapatan (mendapatkan uang tunai) komunitas merupakan bagian penting dari pengurangan risiko bencana. Dan melindungi aset finansial merupakan salah tujuan utama dari PRB itu sendiri.
5. PRB dan Perlindungan Aset Penghidupan
Dalam konteks pembangunan yang mengarus-utamakan pengurangan risiko bencana, perlindungan dan penyelamatan aset-aset kehidupan difokuskan pada aset-aset yang berkaitan dengan pembangunan yang telah, sedang dan akan dilakukan. Sehingga aset-aset kehidupan tersebut lebih aman atau berkurang risikonya dari ancaman bencana.
Gambaran aset kehidupan yang telah disebutkan di atas selanjutnya diintergrasikan dalam pembangunan yang ada di Kabupaten Bener Meriah. Tidak lagi berbicara sektor per sektor atau instansi per instansi atau isu per isu, namun perlindungan lima aset di atas menjadi rujukan bersama sesuai bidangnya masing-masing.
Gempa bumi, letusan gunungapi, longsor, banjir bandang atau ancaman bencana lain yang berpotensi terjadi di Kabupaten Bener Meriah perlu dipetakan dan dikaji secara mendalam. Selanjutnya dicarikan jalan keluar/solusi mengatasinya. Intinya, bagaimana jiwa dari penduduk di Kabupaten Bener Meriah dapat terlidungi dan selamat ketika ancaman berpotensi bencana datang/terjadi. Meningkatkan kemampuan masyarakat adalah kunci perlindungan dan penyelamatan maksimal. Kemampuan yang telah dimiliki selanjutnya diperkuat dengan berbagai fasilitas yang disediakan dan didukung pemerintah daerah. Untuk mencapai penguatan masyarakat (masyarakat tanggap bencana), akses informasi tentang jenis, risiko dan dampak ancaman yang berpotensi menjadi bencana harus dipastikan sampai dan dipahami masyarakat. Selanjutnya, secara bersama-sama mengkaji sumberdaya yang dimiliki dan membangun kesepakatan-kesepakatan dalam mereduksi risiko dan dampak bencana yang ada. Secara otomatis, akan terjadi pembagian peran yang jelas, baik ditingkat individu, komunitas, masyarakat dengan pemerintah maupun sektor swasta.
Kemampuan masyarakat selain dalam hal teknis penyelamatan jiwa saat kondisi darurat terjadi, juga kemampuan dalam pemanfaatan ruang atau pengelolaan SDA yang tidak meningkatkan risiko bencana. Penempatan dan pembangunan rumah, lahan pertanian atau pembuatan jalan perlu disesuaikan dengan karakteristik lingkungan dan jenis ancaman bencana. Prinsip penanganan tanggap darurat adalah; masyarakat setempat lah yang pertama kali menolong dirinya dan orang lain (tetangganya) sebelum bantuan datang. Bantuan dari luar membutuhkan cukup waktu untuk sampai dan melakukan upaya pertolongan. Sedangkan dalam kondisi tanggap darurat, kecepatan dan ketepatan adalah kunci menyelamatkan jiwa- jiwa yang menjadi korban bencana. Bencana adalah salah faktor yang dapat mengurangi, merusak atau bahkan menghilangkan fungsi alam dan lingkungan, baik sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, fungsi ekologis maupun obyek wisata. Topografi Kabupaten Bener Meriah yang berbukit dan bergunung memiliki tingkat risiko degradasi lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah dengan topografi landai atau datar. Karekteristik tersebut perlu disikapi dalam pemanfaatan ruang, PSDA maupun pembangunan. Apalagi wilayah Bener Meriah yang juga akan mempengaruhi wilayah-wilayah lain di bawahnya, bahkan seluruh dunia. Kegiatan mitigasi baik strukutural maupun non struktural perlu segera dilakukan untuk melindungi aset alam dan lingkungan yang merupakan aset utama Kabupaten Bener Meriah. Pemetaan SDA penting yang berisiko maupun yang menjadi aset penting karena fungsinya perlu dipetakan dan dikaji secara mendalam. Selanjutnya di komparasi dengan rencana pemanfaatan untuk dilihat risiko dan dampaknya. Mitigasi non struktural seperti membuat berbagai kebijakan perlindungan terhadap aset alam dan lingkungan menjadi penting. Kebijakan daerah dapat menjadi upaya preventif meningkatnya risiko bencana akibat pemanfaatan SDA yang tidak berkelanjutan. Sebaliknya, kebutuhan pendapatan daerah dalam pemanfaatan alam dapat dicari alternative solusi melalui pemanfaatan dalam bentuk lain. Bentuk pemanfaatan yang tidak mengurangi fungsi ekologis alam dan lingkungan. PES atau payments for environmental services, REDD (reducing emissions from degradation and deforestation) atau intensif dan disintensif sebagaimana diatur dalam UU Penataan ruang dapat menjadi alternative, selain pemanfaatan non timber product (produksi selain kayu) dari sektor hutan. Dalam kontek pembangunan yang berkelanjutan, mitigasi non struktural sebagai upaya perlindungan aset alam dan lingkungan adalah kebijakan payung daerah yang mengharuskan seluruh pembangunan mengarusutamakan PRB. Hal ini penting, karena tujuan antara pembangunan dan PRB pada dasarnya sama dan saling mengkait antar sektor. Menterjemahkan UU Penanggulangan Bencana menjadi Qanun penanggulangan bencana atau menyusun RAD PRB sebagai terjemahan dari RAN PRB dapat mengarahkan seluruh sektor pada upaya pengurangan risiko bencana. Sehingga seluruh sektor pembangunan seminal mungkin tidak mengurangi fungsi ekologis alam dan lingkungan.
Sebagai upaya perlindungan aset alam dan lingkungan untuk jangka panjang adalah penyadaran masyarakat, pendidikan maupun pelatihan. Meningkatnya daya
Baniir bandang merupakan ancaman bencana yang tidak bisa dilepaskan dengan terganggunya fungsi lingkungan, baik akibat pembalakan liar atau alih fungsi hutan (doc. Rahmi Awalina) kritis masyarakat akan mampu mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjaga aset- aset alam dan lingkungan. Perlindungan aset fisik/infrastruktur idealnya dilakukan melalui upaya-upaya preventif (pencegahan). Berbagai fasilitas publik, sarana dan prasarana dibangun selain untuk memenuhi atau mendukung pengembangan kawasan dan kemudahan dalam menjalankan aktifitas penduduk, juga didirikan atau dibangun pada wilayah yang memiliki tingkat risiko terkecil atau terendah dari ancaman bencana yang ada. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini berkembang, berbagai kejadian dapat disimulasikan dengan memasukan data-data yang komprehensif. Dari hasil simulasi ancaman atau data analasis, berbagai kebutuhan fisik dapat dikembangkan. Pembangunan jalan misalnya sebagai sarana penghubung antar kawasan atau daerah harus dibangun pada wilayah yang tidak rawan longsor atau stabil. Tidak juga dibangun pada kawasan dengan fungsi ekologis penting sehingga semakin menekan dan menghilangkan fungsi ekologisnya.
Dalam pembangunan jalan, selain fungsi transportasi untuk kepentingan umum, juga harus telah direncanakan sebagai media untuk evakuasi saat terjadi bencana atau transportasi membawa/distribusi bantuan tidak terganggu. Demikian juga dalam membangun sarana publik lainnya, seperti sekolah atau sarana kesehatan. Bangunan tersebut pada suatu saat kondisi darurat harus dapat difungsikan sebagai tempat pengungsian atau fasilitas kesehatan darurat. Karena fungsi ganda yang harus ada sebagai wujud perlindungan dan keselamatan, maka struktur dan bentuk bangunan menjadi penting untuk diperhatikan.
Perlindungan prasarana dan infrastruktur dapat dilakukan oleh semua aktor dengan didukung oleh kebijakan yang mengatur tetang hal tersebut. Pendataan dan monitoring terhadap kondisi prasaran fisik yang terbangun merupakan salah satu yang harus dan terus menerus dilakukan sebagai bagian tidak terpisahkan dalam upaya pengurangan risiko bencana yang ada. Selain kekuatan fisik, juga fungsinya termasuk fungsi untuk kebutuhan kondisi darurat. Perlindungan aset sosial adalah untuk melindungi sistem dan jaringan sosial komunitas setempat. Perlindungan dilakukan dengan memperkuat sistem, struktur dan jaringan sosial melalui organisasi yang dikelola masyarakat sendiri. Kuatnya aset sosial komunitas dalam pengurangan risiko bencana secara otomatis akan memberikan perlindungan dalam upaya- upaya penanggulangan bencana. Aset sosial yang kuat pun telah membuktikan mampu secara cepat bangkit paska bencana.
Perlindungan terhadap aspek financial dan akses keuangan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu yang telah menjadi trend khususnya di perkotaan maupun Negara maju adalah jaminan melalui asuransi akibat bencana. Usaha lain adalah memberikan kemudahan dalam mengakses kredit. Dukungan akses kredit, khususnya dari lembaga keuangan formal sangat dibutuhkan pasca kejadian bencana. Bantuan untuk memulai usaha kembali setelah kejadian bencana akan mempercepat pemulihan dan pembangunan kembali setelah sebuah kawasan wisata rusak akibat bencana. Perlindungan aset finansial sebelum terjadinya bencana adalah memperkuat sumber mata
Jalan dapat membuka akses penduduk dari keterisolasian. Jika tidak hati-hati, jalan pun akan memicu kerentanan, baik dari pembangunan jalannya atau dampak kehadiran jalan. (doc. proyek P2KP Bener Meriah - sofyan, 2009) pencaharian masyarakat. Sehingga komunitas, memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan uang tunai maupun pinjaman. Saat kejadian bencana, umumnya aset komunitas yang masih dapat diselamatkan tidak terlindungi. Warga lebih memilih mengungsi untuk menghindari ancaman bencana. Untuk menjamin keamanan aset, selain polisi dan tentara mengambil peran melindungi aset-aset finansial masyarakat, organisasi masyarakat yang telah ada dapat mengambil peran bersama-sama petugas kepolisian/militer.
Hilangnya bukti-bukti otentik uang warga terkena bencana pada lembaga-lembaga perbankan, perlu diantisipasi dengan sebuah sistem atau cara yang menjamin, aset-aset tersebut tidak hilang. Pengalaman kejadian tsunami di Aceh menyebabkan ratusan juta milik warga sulit dilacak kepemilikannya. Sehingga pemerintah membuat kebijakan khusus untuk menyimpan dana-dana masyarakat melalui baitul mal.
6. Penanggulangan Bencana dan Pembangunan Besarnya pontensi sumberdaya alam (SDA) selalu diiringi dengan besarnya ancaman.
Antara sumberdaya dan ancaman bak dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Telah menjadi hukum alam, wilayah yang kaya sumberdaya alam juga memiliki banyak ancaman yang berpotensi menjadi bencana. Demikian juga dengan Kabupaten Bener Meriah yang subur, memiliki keragaman hayati yang tinggi serta kaya sumberdaya mineral. Kekayaan SDA tersebut juga diiringi dengan berbagai ancaman yang berpotensi bencana. Kehati-hatian, merupakan tindakan bijak yang harus diterapkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Fakta telah menunjukan, hasil pemanfaatan sumberdaya alam, baik berupa pendapatan asli daerah (PAD), pembangunan fisik maupun tingkat kesejahteraan masyarakat dapat lenyap dalam hitungan menit oleh kejadian bencana. Dan penderitaan penduduk yang terkena bencana (PTB) akan terus berlanjut dalam waktu yang cukup lama. Kehilangan aset kehidupan, khususnya jiwa akan membekas dan menjadi trauma bagi PTB. Konflik vertikal maupun horizontal pun akan mengikuti selama proses penanganan bencana akibat berbagai sebab.
Kemiskinan adalah salah pemicu utama pengelolaan sumberdaya alam yang tidak selaras alam. Keterpaksaan memenuhi kebutuhan hidup mendorong masyarakat untuk melakukan apapun, termasuk mengelolaan kawasan berisiko, pembalakan liar, membuka lahan pada kawasan hutan atau kegiatan lainnya. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik akan semakin memperparah kawasan pada kehancuran fungsi ekologis. Selain kebijakan kurang atau tidak berpihak pada lingkungan dan kepentingan masyarakat.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 telah memusnahkan ribuan rumah, jiwa maupun berbagai infra struktur yang ada di sepanjang pesisir dari barat sampai utara Aceh. BAPPENAS menyebutkan, kerugian yang diderita ditaksir Rp. 43 trilyun rupiah. Gempa Jogjakarta ditaksir kerugian mencapai Rp. 5
29,2 trilyun. Bencana di Sumatra Barat sebesar Rp. 7,8 trilyun. Riset WALHI Riau kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2006, tiga kali
Ibu Kota Kabupaten Bener Meriah m asuk pada lingkar kawasan berisiko aktifitas vulkanik gunung Bur Ni Telong. Mitigasi dan kesiapsiagaan m erupakan bagian yang wajib dilakukan untuk perlindungan penduduk. (doc. sofyan - 2009) lipat dari PAD yang diterima pemerintah dari seluruh sektor. Artinya, kebakaran lahan yang dipicu dari sektor perkebunan jika dikonversi akan menyita pendapatan yang telah diterima dari seluruh sektor plus mengambil anggaran Pemda untuk menutupi kekurangan dua kali lipat pendapatan yang diterima. Studi yang dilakukan WALHI Jogjakarta tahun 2003 menyebutkan, PAD yang diterima dari sektor pertambangan galian C di wilayah gunung Merapi Kabupaten Magelang – Jawa Tengah antara Rp. 233 juta – 250 juta pertahun. Pendapatan ini jauh dibandingkan pengeluaran yang harus ditanggung. Untuk pemeliharaan jalan saja yang dilewati truk-truk pembawa pasir, Pemda Magelang harus mengeluarkan dana Rp. 1 milyar per tahun. Belum lagi kerusakan lingkungan, infrastruktur penahan lahar dingin (Sabo), tanaman pertanian yang mengalami gagal panen, penyakit yang ditimbulkan (ISPA), berkurangnya air untuk pertanian serta ketentraman warga.
Perbandingan di atas untuk mengingatkan bagaimana risiko dapat muncul dalam pemanfaatan SDA maupun pemanfaatan ruang. Bahkan jika dicermati, risiko dan dampak yang dihasilkan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapat atau diterima dalam jangka pendek.