Konsep Penataan Ruang Pedagang Kaki Lima di Pantai Kering Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

  

KONSEP PENATAAN RUANG PEDAGANG KAKI LIMA DI PANTAI

KERING KELURAHAN WATAMPONE KECAMATAN TANETE

RIATTANG KABUPATEN BONE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana

Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota pada Fakultas Sains dan Tenologi UIN Alauddin

  

Makassar

Oleh

  

IBRAHIM MUSTAFA

608 00107069

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2011

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

  Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

  Makassar, Agustus 2011 Penyusun

IBRAHIM MUSTAFA NIM. 60800107069

  

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Ibrahim Mustafa, Nim:

  Pembimbing penulis skripsi Saudara

  

60800107069, mahasiswa Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota pada

  Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar, setelah dengan saksama meneliti dan mengoreksi skripsi yang bersangkutan dengan judul, “ Konsep Penataan Pedagang Kaki Lima di Pantai Kering Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone ,” memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke ujian hasil.

  Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.

  Makassar, Juli 2011 Pembimbing I Pembimbing II

  Ir. Rudi Latief., M.Si Jamaluddin Jahid H., ST., M.Si

  

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS AKHIR

  Judul Skripsi : KONSEP PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA

DI PANTAI KERING KELURAHAN WATAMPONE KECAMATAN TANETE RIATTANG KABUPATEN BONE

  Nama Mahasiswa : Ibrahim Mustafa NIM : 60800107069 Jurusan : Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas : Sains dan Teknologi

  Disetujui Komisi Pembimbing : Pembimbing I Pembimbing II

  Ir. Rudi Latief, M.Si Jamaluddin Jahid H, ST.,M.Si Mengetahui :

  Dekan Fakultas Sains & Teknologi Ketua Jurusan UIN Alauddin Makassa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota

  Dr. Muhammad Halifah Mustami M.Pd Jamaluddin Jahid H, ST., M.Si

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya jualah sehingga penulis ini dapat kami rampungkan skripsi

  

yang berjudul “ Konsep Penataan Ruang Pedagang Kaki Lima di Kelurahan

Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone ”.

  Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan Perencanaan Wiayah dan Kota Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Rudi Latief M.Si selaku Pembimbing I dan Jamaluddin Jahid H.

  

ST., M.Si selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk

  memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan penulisan ini, mulai dari awal hingga akhir. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Ayahanda Mustafa Kasim dan Ibunda Sitti Alang. S.pd yang telah melahirkan, mendidik, mendoakan, memelihara, dan memberikan bimbingan, yang telah banyak memberikan bantuan moral maupun moral maupun moril yang tak terhingga selama penelitian tugas akhir ini.

  2. Bapak Prof.Dr.H.Abdul Qadir Gassing HT., MS selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

  3. Bapak Dr. Muhammad Halifah Mustami M.Pd selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, dan para Pembantu Dekan, Staf Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

  4. Bapak Jamaluddin Jahid, ST., M.Si dan Bapak Nursyam Aksa, ST., M.Si selaku ketua dan sekertaris jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota.

  5. Staf administrasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

  6. Seluruh Dinas-Dinas dan Badan Pemerintahan yang ada di Kabupaten Bone.

  7. Semua teman-teman dan sahabat yang telah memberikan dorongan dan semangat terutama

  Angkatan PWK 07

  serta adik-adik mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Angkatan 2008,2009,2010.

  8. Sahabatku Wahyu Hidayat, Edwin Dwi Putra, Fadil Surur, dan Yasser Arafat yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

  9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa hasil akhir penulisan ini yang ssederahana, masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang membangun sebagai masukan dalam penyempurnaan penulisan tugas akhir ini, sehingga akan dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

  Wassalamu Alaikum, Wr. Wb Makassar, Agustus 2011 PENULIS

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI............................................................ iii

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

  38 H. Tujuan Ekonomi .............................................................................

  66 D. Gambaran Umum Wilayah Penelitian .............................................

  59 C. Gambaran Umum Kondisi Kelurahan Watampone .........................

  49 B. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Tanete Riattang .................

  49 A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bone...................................

  48 BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .........................

  46 E. Kerangka Pikir................................................................................

  46 D. Data Analisis...................................................................................

  45 C. Jenis dan Sumber Data ...................................................................

  45 B. Teknik Pengumpulan Data .............................................................

  45 A. Lokasi Penelitian ............................................................................

  39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................

  38 I. Konflik PKL dalam Penataan Kota ................................................

  32 G. Tujuan Wisata.................................................................................

  1 A. Latar Belakang ...............................................................................

  27 F. Konsep Penataan Pedagang Kaki Lima..........................................

  22 E. Pedagang Kaki Lima di Perkotaan .................................................

  17 D. Pengertian dan Karekteristik Pedagang Kaki Lima........................

  13 C. Konsep Sektor Informal..................................................................

  10 B. Ciri-ciri Sektor Informal .................................................................

  10 A. Pengertian Sektor Informal.............................................................

  7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

  7 F. Sistematika Pembahasan ...............................................................

  6 E. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................

  6 D. Kegunaan Penelitian ......................................................................

  6 C. Tujuan dan Kegunaan ....................................................................

  1 B. Rumusan Masalah .........................................................................

  67

  BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ....................................................

  76 A. Analisis Pedagang Kaki Lima di Kelurahan Watampone ..............

  76 B. Analsisi Karakteristik Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan Penelitian ........................................................................................

  77 C. Karakteristik Ekonomi Pedangan Kaki Lima di Kawasan Penelitian ........................................................................................

  80 D. Analisis Tingkat Kerja Sama Antar PKL .......................................

  82 E. Analisis Karakteristik Aspek Fisik Dasar.......................................

  84 F. Implikasi Karakteristik Penggunaan Ruang PKL Kawasan Pantai Kering Terhadap Perkembangan Kota Watampone ............

  84 G. Analisis Konsep Penataan Pedagang Kaki Lima............................

  86 H. Analisis Komparatif........................................................................

  94 BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 102

  A. Kesimpulan ..................................................................................... 102 B.

  Saran ............................................................................................... 103

  

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 105

  

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan di Kabupaten Bone ............... 50Tabel 4.2 Distribusi dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Bone Tahun 2009..................................................................................

  51 Tabel 4.3 Banyaknya Penduduk Lima Tahun (2005-2009) .........................

  53 Tabel 4.3 Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Tanete Riattang Tahun 2009 .......................................................

  54 Tabel 4.4 Status Kepemilikan Lahan Kabupaten Bone Tahun 2009 ............... 57

Tabel 4.5 Banyaknya Penduduk Kabupaten Bulukumba Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin Tahun 2005-2009 ........

  60 Tabel 4.6 Luas Wilayah, Jarak Kecamatan .................................................

  59 Tabel 4.7 Banyaknya Penduduk dan Kepadatan di Kecamatan Tanete Riattang Tahun 2009 ...................................................................

  60 Tabel 4.8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Tanete Riattang Lima Tahun Terakhir ........................................

  61 Tabel 4.9 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Tanete Riattang Tahun 2009 .......................................................

  62 Tabel 4.10 Banyaknya Mata Pencaharian di Kecamatan Tanete Riattang Tahun 2009..................................................................................

  63 Tabel 4.11 Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Tanete Riattang Tahun 2006..................................................................................

  64 Tabel 5.1 Analisis Konflik Kepentingan PKL di Pantai Kering Kelurahan Kabupaten Bone Tahun 2011 ......................................................

  84 Tabel 5.2 Analisis Konflik Kepentingan PKL di Pantai Kering Kelurahan Kabupaten Bone Tahun 2011 ......................................................

  95

  

ABSTRAK

  Nama Penyusun : Ibrahim Mustafa Nim : 60800107069 Judul Skripsi : Konsep Penataan Ruang Pedagang Kaki Lima di Pantai

  Kering Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone

  Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan jalan raya, tidak terkecuali di wilayah Kabupaten

  

Bone, “Konsep Penataa n Ruang Pedagang Kaki Lima di Pantai Kering Kelurahan

Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone” adalah judul penelitian

  yang coba kami angkat dalam hal ini didasari pada keadaan Pedagang Kaki Lima di Pantai Kering yang menyebabkan arus lalu lintas menjadi terhambat karena aktivitas PKL di sekitar jalan. Namun disisi lain PKL tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena merupakan mata pencaharian mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep penataan pedagang kaki lima di Pantai Kering kabupaten Bone, adapun analisis yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah analisis komparatif yang menghasilkan konsep penataan secara mengelompokkan menurut jenis barang yang dijual, membentuk pola grid sehingga memudahakan pengunjung dalam memilih dan mencari barang yang diinginkan. Serta menyediakan fasilitas hiburan, penataan PKL dengan kearifan budaya yang menciptakan pendekatan kepada masyarakat PKL dan penataannya dilakukan secara berkesinambungan dan terintegrasi antar satu dengan yang lainnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah

  komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan jalan raya. Bila melihat sejarah dari permulaan adanya PKL, PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda.

1 Pada masa penjajahan kolonial peraturan pemerintahan waktu itu

  menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk para pedestrian atau pejalan kaki yang sekarang ini disebut dengan trotoar. Lebar ruas untuk sarana bagi para pejalan kaki atau trotoar ini adalah lima kaki (satuan panjang yang umum digunakan di Britania Raya dan Amerika Serikat. 1 kaki adalah sekitar sepertiga meter atau tepatnya 0,3048 m atau sekitar satu setengah meter).

  Selain itu pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah 1 luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman

  http://datahardisk.blogspot.com/2010/07/pedagang-kaki-lima-adalah.html penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air, dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan gerobaknya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang membeli dagangannya. Para pedagang yang menggunakan gerobak, berjalan kaki berjualan laksana orang musafir atau bepergian dalam kaitannya dapat dilihat pada QS. Yusuf, 12 :19 dan QS. Ar-

  Rad’ ayat 11:13 sebagai berikut :

 



   

  

 

        

     Terjemahnya : Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, Maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: "Oh; kabar gembira, Ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia

  Terjemahnya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada

  pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

  Dari terjemahan ayat diatas mengungkapkan bahwa bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat Ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.. Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

  Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan, minuman sekaligus

  2

  beristirahat. Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial Belanda menyebut mereka sebagai Pedagang Lima Kaki buah pikiran dari pedagang yang berjualan di area pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar yang mempunyai lebar Lima Kaki.

  Di kota-kota besar keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan suatu fenomena. Banyaknya PKL di pusat perkotaan menimbulkan kemacetan arus lalu lintas dan kerawanan keamanan, kegiatan PKL tersebut 2 memanfaatkan damija dan tempat umum. Hal ini menyebabkan kota menjadi

  Ibid semrawut, tidak bersih, indah, dan nyaman. Selain itu berpotensi menimbulkan kerawanan sosial, sehingga diperlukan penataan PKL di kawasan perkotaan .

  Jika tidak dibenahi akan mengganggu pengguna jalan, pejalan kaki menjadi tidak aman. Tidak hanya itu saja pemukiman terdekat sekitar PKL terganggu, selain itu tidak terdapat tempat berdagang bagi pedagang kecil dan sektor informal. Masyarakat terganggu keamanan dan kenyamanan. Tentu saja para pedagang ini berdalih ingin mencari tempat yang strategis (tempat berdagang yang mudah terjangkau konsumen). Sedangkan dari sisi masyarakat menginginkan kelancaran lalu lintas, ketentraman dan keindahan kota. Masyarakat menginginkan fasilitas berdagang yang strategis dan pengaturan lalu lintas.

  Banyaknya PKL di pusat perkotaan menimbulkan kemacetan arus lalu

  3 lintas dan kerawanan keamanan tidak terkecuali di Kota Watampone.

  Penjelasan tentang kesemrautan alam yang juga dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat 41 yang berbunyi :

3 Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta:DEPAG,2006)

  Terjemahan: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

  Untuk menghadapi kondisi seperti ini harus dicarikan solusinya dengan menerapkan sistem kebijakkan PKL serta penataan, penguatan kelembagaan dan permodalan. Jika diperhatikan karena tertanamnya pola perilaku dari masyarakat seperti : SDM PKL rendah, jumlah PKL semakin hari semakin banyak, lokasi keberadaan PKL yang menyebar, serta pelaksanaan penertiban lemah.

  Oleh karena perlu adanya konsep penataan ruang Pedagang Kaki Lima (PKL), yang berada di Pantai Kering Kota Watampone Kabupaten Bone, disamping perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari masyarakat setempat maupun dari pihak pemerintah sehingga dapat menjadikan kota Watampone sebagai kota yang teratur, indah dan nyaman.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka pokok permasalahannya adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :

  “ Bagaimana Konsep Penataan Ruang Pedagang Kaki Lima di Pantai Kering Kota Watampone Kabupaten Bone? ”

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep penataan ruang Pedagang Kaki Lima yang berada di pantai kering Kota Watampone Kabupaten Bone agar lebih teratur dan tidak menimbulkan kemacetan di pusat kota.

  D. Kegunaan Penelitian

  Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

  1. Sebagai rujukan bagi pemerintah kota khususnya pemerintah Kabupaten Bone dalam upaya mengatur Pedagang Kaki Lima (PKL) tanpa mengusur dengan cara pengaturan waktu beroperasi, dalam rangka menciptakan kota yang bersih, indah dan nyaman.

  2. Sebagai bahan rujukan dan informasi pada studi-studi penataan Pedagang kaki Lima (PKL), serta sebagai bahan bacaan dan pengetahuan bagi masyarakat yang memerlukan.

  E. Ruang Lingkup Penelitian

  Ruang lingkup pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pengaturan waktu dalam mengoperasikan berbagai jenis Pedagang Kaki Lima yang ada di Pantai Kering di Kecamatan Tanete Riattang, agar kegiatan pedagang kaki lima tidak berbenturan dengan aktivitas yang ada di sekitarnya.

  F. Sistematika Pembahasan

  Untuk lebih menjaga keutuhan dan memudahkan dalam penulisan, dan sebagai upaya agar skripsi ini dapat terarah secara sistematis, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah; rumusan masalah; tujuan penelitian; kegunaan penelitian; metode penelitian; ruang lingkup penelitian, sistematika penulisan.

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menguraikan tentang batasan dan pengertian, ciri-ciri sektor informal, konsep sektor informal, pengertian dan karakteristik pedagang kaki lima, keberadaan pedagang kaki lima di perkotaan, Konsep Penataan Pedagang Kaki Lima, tujuan wisata, tujuan ekonomi.

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN Menguraikan tentang pengertian sektor informal, ciri-ciri sektor informal, konsep sektor informal, pengertian dan karakteristik pedagang kaki lima, pedagang kaki lima di perkotaan, tujuan wisata dan tujuan ekonomi.

  BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH Menguraikan tentang Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bone mencakup Kondisi Geografi, ketinggian tempat, kemiringan lereng, iklim, kependudukan, ketenagakerjaan, status lahan, gambaran umum wilayah Kecamatan mencakup kondisi geografi, kependudukan, penggunaan lahan, fasilitas perdagangan dan jasa, gambaran umum kondisi kelurahan Watampone mencakup kondisi fisik dasar, pemanfaatan lahan, gambaran umum wilayah penelitian mencakup karakteristik social ekonomi, karakteristik aspek kegiatan PKL terhadap pemanfaatan ruang, karakteristik aspek fisik dasar.

  BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Menguraikan tentang analisis pedagang kaki lima di Kelurahan Watampone, analisis karakteristik social pedagang kaki lima di kawasan penelitian, analisis karakteristik ekonomi pedagang kaki lima di pantai kering, analisis tingkat kerja samaantar

  Implikasi Karakteristik

  PKL, analisis karakteristik fisik dasar,

  Penggunaan Ruang PKL Kawasan Pantai Kering terhadap Perkembangan Kota Watampone, analisis konsep pedagang kaki lima.

  BAB VI PENUTUP Penutup yang terdiri dari kesimpulan; kritik dan saran-saran dari hasil pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Sektor Informal Dalam kaitan dengan manajemen perkotaan maka peranan sektor

  informal yang didalamnya mencakup aktivitas dari pedagang kakilima tidak dapat diabaikan. Dalam keadaan tekanan penduduk, pengangguran dan permintaan lapangan kerja yang tinggi yang tidak dapat dipenuhi oleh sektor formal, ini justru tumbuh dengan cukup pesat. Kondisi ini pada gilirannya menuntut suatu perhatian yang lebih serius untuk melakukan pembinaan dan penataan lokasi terhadap aktivitas sektor informal.

  Konsep sektor informal pertama kali dikemukakan oleh Keith Hart pda tahun (1971:41) dalam Manning (1991:22) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja yang tidak terorganisasikan. Menurut Manning dan Effendi (1991:36), perbedaan formal dan informal dilihat dari keteraturan kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu kerja, dan status hukum. Masalah sektor informal diperkotaan merupakan masalah yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia dan hampir di semua kota- kota di negara-negara berkembang.

  Konsep ini diperkuat oleh Effendi (1993:17) yang menyatakan bahwa ada pemikiran yang berkembang dalam memahami kaitan antara pembangunan dan sektor informal. Pertama, pemikiran yang menekankan bahwa kehadiran sektor informal sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang. Sektor informal adalah tahapan yang harus dilalui dalam menuju tahapan modern. Sektor informal berangsur- angsur akan berkembang menjadi sektor sektor formal seiring dengan meningkatnya pembangunan. Berarti keberadaan sektor informal merupakan gejala sementara dan akan terkoreksi oleh keberhasilan pembangunan. Kedua, pemikiran yang berpendapat bahwa sektor informal merupakan gejala adanya banyak hal lebih berat pada sektor modern (perkotaan atau industri daripada

  4 sektor tradisional pertanian ).

  Selanjutnya studi yang dilakukan oleh Santos (Yustika, 2003), menurutnya sektor informal memiliki ciri jumlah barang adalah sedikit dan mutunya rendah, modal sangat terbatas, tekniknya tradisional, kesempatan kerja elastis, terdapat banyak tenaga kerja yang tidak diberi upah, pemberian kredit terjadi secara pribadi, seringkali keuntungan tinggi pada setiap kesatuan, hubungan dengan pembeli secara langsung dan pribadi serta 4 ketergantungan pada faktor-faktor ekstern adalah ringan.

  

Efendi, T.N. Sumber Daya Manusia, peluang Kerja dan kemiskinan. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

  1993

  Menurut Hidayat (1982:63) munculnya sektor informal adalah akibat masuknya modal asing (Barat) sejak tahun 1950-an yang mengakibatkan diterapkannya pola pembangunan model Barat oleh ahli-ahli yang diperbantukan di Indonesia, karena bantuan modal asing selalu dikaitkan dengan “technical expertise” . Akibatnya daerah kota (industri) tumbuh dengan cepat sedang sektor pertanian kurang mendapat perhatian. Karena faktor pendorong dan faktor penarik yang ditambah dengan ledakan penduduk maka terjadilah urbanisasi prematur yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota yang terjadi sebelum kota mampu menyiapkan lapangan kerja formal yang mencukupi. Para pendatang ini karena tidak memperoleh pekerjaan mencoba berpartisipasi sebagai swakarya. Akibat dari diterapkannya model Barat ini, yang nampak sekarang adalah munculnya

  5 dualisme : sektor formal dan sektor informal.

  Sementara itu Sethuraman (1985 :25) mengatakan bahwa sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan yang berskala kecil dan dianggap sebagai manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara-negara berkembang. Mereka yang memasuki sektor ini terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Mereka umumnya berpendidikan rendah, 5 tidak terampil, kebanyakan para migran dan umumnya miskin.

  Hidayat Defenisi dan Evaluasi Sektor Informal. Lembaga Studi Pembangunan Seri Informal No. 1 Tahun I.

  1983

  Dari beberapa pengertian mengenai sektor informal di atas, maka dapat memberikan pengertian bahwa sektor informal adalah merupakan suatu usaha yang tidak resmi, kegiatannya berskala kecil, modal yang dimiliki terbatas yang banyak terdapat di daerah perkotaan yang merupakan suatu ciri terhadap perkembangan suatu kota.

B. Ciri-ciri sektor informal

  Untuk memahami lebih jauh mengenai sektor informal ini, maka diperlukan pembahasan khusus yang berkaitan dengan ciri-ciri informal.

  Menurut Todaro (Yustika, 200) mengemukakan bahwa sector informal memiliki ciri jumlah barang adalah sedikit damn mutunya rendah, modalnya sangat terbatas, tekniknya tradisional, kesempatan kerja elastis, terdapat banyak tenaga kerja yang tidak diberi upah, pemberian kredit terjadi secara pribadi, seringkali keuntungan tinggi pada setiap kesatuan, hubungan dengan pembeli terjadi secara langsung dan pribadi serta ketergantungan pada sektor- sektor ekstern adalah ringan.

  Ciri-ciri sektor informal menurut Simanjuntak (1985 : 15) adalah sebagai berikut : Kegiatan usaha umumnya sederhana, tidak sangat tergantung pada kerjasama banyak orang dan sistem pembagian kerja yang ketat. Dengan demikian dapat dilakukan oleh perorangan atau keluarga, atau usaha bersama antara beberapa orang atas kepercayaan tanpa perjanjian tertulis; skala usaha relatif kecil, modal usaha, modal kerja dan omset penjualan umumnya kecil, serta dapat dilakukan secara bertahap; Usaha sektor informal umumnya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya dalam firma atau perseroan terbatas; Untuk bekerja di sektor informal lebih mudah daripada bekerja di perusahaan formal.

  Seseorang dapat memulai dan melakukan sendiri usaha di sektor informal asal dia ada keinginan dan kesediaan untuk itu. Seseorang relatif lebih mudah bergabung bekerja dengan orang lain di sektor informal, misalnya karena persahabatan atau hubungan keluarga, walaupun keikutsertaan seseorang tersebut mungkin tidak lagi menambah hasil keseluruhan; Tingkat penghasilan di sektor informal umumnya rendah walaupun keuntungan kadang-kadang cukup tinggi, akan tetapi karena omset penjualan relatif kecil, keuntungan absolut umumnya menjadi kecil; Keterkaitan sektor informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil.

  Kebanyakan usaha-usaha sektor informal berfungsi sebagai produsen atau penyalur kecil yang langsung melayani konsumen. Pendeknya jalur tersebut justru membuat resiko usaha menjadi relatif besar, dan sangat terpengaruh pada perubahan-perubahan yang terjadi pada konsumen.

  Defenisi lain yang melengkapi defenisi yang telah dikemukakan Simanjuntak (1986:23) adalah yang diajukan oleh Wirosuharjo (1986:19) yang mengemukakan bahwa sektor informal sebagai sektor kegiatan ekonomi kecil-kecil yang mempunyai ciri sebagai berikut : a. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaanya; b. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah; c. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan hari; d. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; e. Tidak mempunyai keterkaitan dengan usaha lain yang besar;

  f. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah; g. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja; h. Umumnya tiap satuan memperkerjakan tenaga yang sedikit dari lingkungan keluarga, kenalan atau dari daerah yang sama; i. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan.

  Dari dua pendapat yang telah dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa defenisi Wirosuharjo mempunyai ciri-ciri yang lebih lengkap, karena mengandung sedikitnya tiga aspek yaitu: Aspek ekonomi

  • Aspek sosial
  • Aspek tata ruang.
  • Aspek ekonomi, sektor informal hampir mengabaikan faktor modal, investasi, keterampilan, dan sistem perbankan. Selanjutnya, aspek sosial dari sektor informal mengandalkan pekerja keluarga, suasana patron-klien, jam kerja tidak menentu, dan asal daerah. Akhirnya aspek tata ruang perkotaan merupakan kegiatan utama. Lokasi dampak dan sifat kerjanya selalu berciri melanggar aturan, menggunakan ruang yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti trotoar jalan, taman, jembatan penyeberangan, emper toko dan lain sebagainya.

  Menurut Simanjuntak (1985:23) usaha sektor informal sangat beraneka ragam yang antara lain meliputi jenis-jenis aktivitas sebagai berikut :

  a. Pedagang kakilima,

  b. Pedagang keliling,

  c. Tukang warung,

  d. Tukang cukur,

  e. Tukang becak,

  f. Tukang sepatu,

  g. Tukang loak, h. Usaha-usaha rumah tangga dalam pembuatan tempe, kue, es mambo, barang anyam-anyaman, tukang jahit, tukang tenun, dan lain-lain.

  Berbeda dengan Simanjuntak (1985:24), maka Hidayat (1982:31) membagi

  6

  ruang lingkup bidang usaha sektor informal ke dalam lima sub sektor, yaitu :

  a. Industri pengolahan; pembuat makanan jadi seperti kerupuk, bumbu pecel dan kue-kue; b. Angkutan; menjadi penarik becak;

  c. Bangunan; menjadi tukang/buruh bangunan;

  d. Jasa; tukang sepatu dan

  e. Perdagangan; pedagang kakilima yang menjual makanan seperti gado- gado, nasi goreng, pangsit mie.

  Dari ruang lingkup bidang usaha seperti yang telah diuraikan diatas, selanjutnya untuk mempertajam arahan teori dalam bahasan ini, hanya diarahkan pada lingkup bidang usaha perdagangan, khususnya pedagang kakilima, uraian perihal perdagangan kaki lima dapat dilihat pada bahasan berikut ini.

C. Konsep Sektor Informal

  Konsep sektor informal pertama kali muncul di dunia ketiga, yaitu 6 ketika dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan di

Hidayat Defenisi dan Evaluasi Sektor Informal. Lembaga Studi Pembangunan Seri Informal No. 1 Tahun I.

  1983 Afrika. Keith Hart (Damsar, 1997: 158), orang yang memperkenalkan pertama kali konsep tersebut pada tahun 1971, mengemukakan bahwa penyelidikan empirisnya tentang kewiraswastaan di Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang selama ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi. Dalam laporannya kepada organisasi buruh sedunia (ILO), Hart mengajukan model dualisme terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada angkatan kerja perkotaan. Konsep informalitas diterapkan

  7 kepada bekerja sendiri (self employed).

  Menurut pendapat Damsar (1997: 158-159), ciri-ciri dinamis dari konsep sektor informal yang diajukan Hart menjadi hilang ketika telah dilembagakan dalam birokrasi ILO. Informalitas didefinisikan ulang sebagai sesuatu yang sinonim dengan kemiskinan. Sektor informal menunjukkan kepada cara perkotaan melakukan sesuatu dengan dicirikan dengan : a) Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi; b) Perusahaan milik keluarga; c) Beroperasi pada skala kecil; d) Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi sederhana; dan e) Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif.

  Karakteristik negatif yang dilekatkan pada sektor informal oleh ILO, banyak mendapatkan kritikan tajam dari berbagai ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang Sosiologi, khususnya Sosiologi Ekonomi. Mereka menganggap 7 bahwa aktivitas sektor informal merupakan suatu tanda berkembangnya

  http://www.slideshare.net/suparmono/2-sektor-informal dinamika kewiraswastaan masyarakat. Menurut Hernando de Soto dalam The Other Parh (Damsar, 1997: 159-160) informalitas merupakan respon masyarakat terhadap negara merkantalis yang kaku. Oleh karena itu, tidak seperti gambaran ILO yang melihatnya sebagai mekanisme kelangsungan hidup dalam merespon ketidakcukupan lapangan pekerjaan modern, melainkan sebagai serbuan kekuatan pasar nyata dalam suatu ekonomi yang dikekang oleh regulasi (pengaturan) Negara.

  Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (1997: 292-293) dijelaskan bahwa belum ada kebulatan pendapat tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia. Tetapi ada kesepakatan tidak resmi antara para ilmuwan yang terlihat dalam penelitian masalah-masalah sosial untuk menerima definisi kerja sektor informal di Indonesia sebagai berikut :

  a) Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah; b) Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak punya akses) bantuan, meskipun pemerintah telah menyediakannya; c) Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi bantuan tersebut belum sanggup membuat sektor itu mandiri.

  Berdasarkan definisi kerja tersebut, disepakati pula serangkaian ciri sektor informal di Indonesia, yang meliputi : a) Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedian secara formal;

  b) Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha;

  c) Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja; d) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini; e) Unit usaha berganti-ganti dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain;

  f) Teknologi yang digunakan masih tradisional;

  g) Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil; h) Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja; i) Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau ada pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri; j) Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan tidak resmi; dan k) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah atau menengah.

  Menurut pendapat Bromley (1991), dalam Mulyanto (2007), pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Pandangan Bromley, pekerjaan pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan

  8 teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan.

  Menurut Mulyanto (2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan

  (entrepreneurship) . PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya

  agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal.

  Manajemen usahanya berdasarkan pada pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by experience” (belajar dari pengalaman). Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan usahanya.

  8 ibid

D. Pengertian dan Karakteristik Pedagang Kaki Lima

1. Pengertian Pedagang Kaki Lima

  Istilah pedagang kaki lima (PKL) sering diidentikkan dengan istilah sektor informal, meskipun banyak yang menyatakan adanya perbedaan diantara keduanya. Istilah sektor informal berasal dari bahasa inggris

  “Informal Sector” . Istilah tersebut kemudia diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi pedagang kaki lima.

  Pedagang kakilima menurut arti harfiahnya adalah perusahaan kecil yang mandiri namun ia terikat dengan jaringan sosial ekonomi yang amat ruwet, berhubungan tidak hanya dengan penyalur, saingan dan langganannya, tetapi juga dengan pemberi pijaman, pemberi perlengkapan, dan petugas pemerintah.

  Menurut Manning (9184:32), pedagang kakilima sebagai bagian dari sektor informal adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting di negara-negara berkembang. Hal ini telah dilembagakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi masalah tenaga kerja yaitu Internasional Labour Office (ILO) yang menekankan pertumbuhan daya kerja usaha kecil yang padat karya, dan menganjurkan adanya bantuan resmi yang besar pada sektor ini. Usaha kecil yang umumnya dianggap mandiri, tidak terorganisir, hampir tidak teratur, sedikit berurusan dengan pemerintah, ataupun usaha yang besar, dan pada pokoknya jujur, sah dan bersifat kewiraswastaan.

  Untuk mengetahui karakteristik dari pedagang kaki lima maka yang perlu diketahui adalah : a. Sarana Fisik

  Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedjana (dalam Wahono, 2000), yang dimaksud dengan pedagang kaki lima secara spesifik adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa di atas trotoar atau di tepi/pingir jalan, pusat rekreasi dan hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap maupun tidak menetap, berstatus resmi dan setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam.

2. Karakteristik Pedagang Kaki Lima

  Berdasarkan sarana fisik dari sektor informal maka dapat dikelompokkan berdasarkan : 1). Jenis ruang, yaitu :

  • Ruang umum, yaitu ruang yang dimiliki oleh pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, seperti taman kota, trotoar, ruang terbuka, lapangan, halte, jembatan penyeberangan dan lain-lain.
  • Ruang private/pribadi, yaitu ruang yang dimiliki oleh individu atau perorangan, seperti lahan yang dimiliki untuk pertokoan, perkantoran dan sebagainya.

  2). Bentuk sarana berusaha, yaitu :

  • Gerobak/kereta dorong, digunakan untuk jenis usha makana berat, makanan ringan dan minuman.
  • Lesehan, bentuk sarana berusahanya sama dengan gerobak yaitu makanan berat dan minuman.
  • Pikulan, dipakai untuk jenis usaha makanan ringan, mainan anak-anak, assesoris dan ikan hias.
  • Gelaran, yaitu dipakai untuk jenis usaha berupa majalah, gambar, poster, kerajinan tangan dan lain-lain.
  • Tenda, dipakai untuk jenis usaha makanan berat, makanan ringan dan minuman. Tenda ini umumnya menyediakan meja dan kursi untuk pengunjung.
  • Kios, dipakai untu minuman segar, makanan dan sebagainya.

  3) Jenis barang dan jasa dikelompokkan dalam 3 macam kebutuhan, yaitu :

  • Kebutuhan primer
  • Kebutuhan sekunder
  • Kebutuhan komplementer.

  4). Penggunaan lokasi berdagang Dalam menempati suatu lokasi berdagang, pedagang kaki lima umumnya akan berusaha untuk menempati tempat-tempat yang strategis, yang mudah dijangkau oleh calon-calon pembelinya seperti pusat-pusat keramaian, tempat hiburan, sekitar pasar, dan sebagainya.

  Penempatan lokasi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lokasi yang telah diizinkan untuk penempatannya dan ada yang secara dinamis atau berpindah-pindah.

  Penempatan lokasi secara berpindah-pindah ini sering mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan terhadap fasilitas- fasilitas umum, misalnya penggunaan trotoar, taman, pinggiran badan jalan dan lain sebagainya.

  Perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lain didasarkan pada sejauhmana lokasi ini dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian keuntungan dalam usahanya.

  b. Pola Penyebaran Sektor Informal Pola penyebaran sektor informal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

  1. Pola penyebaran memanjang (linear concentrations) Pola ini sering mengikuti jalur jalan-jalan utama atau jalan-jalan penghubung dimana tingkat aksesibilitasnya tinggi sehingga memudahkan bagi calon pembeli untuk mencapai lokasi tersebut.

  2. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomerations) Pola penyebaran ini dipengaruhi oleh faktor aglomerasi yang merupakan suatu keinginan untuk berkelompok bagi pedagang barang yang sejenis dan komoditas yang sama sehingga dapat berpengaruh terhadap perhatian bagi para calon pembeli. Pola mengelompok ini dapat ditemukan pada ruang-riuang terbuka seperti taman dan di pinggir-pinggir lapangan, atau ditempat- tempat rekreasi.

Dokumen yang terkait

Metode Guru Pendidikan Agama Islam dalam Pelaksanaan Pembelajaran di MAN 2 Watampone Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 3 134

Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Mabbarasanji pada Masayrakat Bugis di Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 191

Majelis Taklim al-Mu’minat sebagai Gerakan Sosial Keagamaan Masyarakat Perspektif Pendidikan Islam di Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 2 161

Kota Kaki Gunung - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 3 141

Sikap Keberagamaan Jama’ah Khalwatiyah Samman di Desa Waji Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 99

Analisis Semiotika Papan Reklame Kampanye Politik Calon Legislatif DPRD Tahun 2014 Dapil 1 (Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang, Tanete Riattang Timur, Palakka) di Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 104

Konsep Pemerintah Daerah dalam Penataan Ruang dan Wilayah di Kabupaten Bulukumba (Telaah atas Ketatanegaraan Islam) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 80

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Peran Serta Masyarakat Dalam Mencegah Tindak Pidana Narkotika di Watampone Kabupaten Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 78

Tinjauan Hukum Islam terhadap Efektivitas Iṡbāt Nikah pada Masyarakat Lalo Bajo Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupatan Bone - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 2 105

Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Kampus II Universitas Islam Negeri (UIN)Alauddin Makassar di Kabupaten Gowa - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 121