Indonesian Center for Environmental Law Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

JURNAL HUKUM
LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 1 Issue 1, Januari 2014

JURNAL HUKUM
LINGKUNGAN INDONESIA
Volume 01 Issue 01, Januari 2014

Indonesian Center for Environmental Law
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 01 Issue 01 / Januari / 2014
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id
Diterbitkan oleh:

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390

Fax. (62-21) 7269331
Tata Letak dan Desain Sampul: Matacakra Design
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan
mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum
lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan
melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan
(hal. xi)

DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

REDAKSI DAN MITRA BEBESTARI

Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.

Yuyun Ismawati
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Yustisia Rahman, S.H.
Redaktur Pelaksana
Margaretha Quina, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Feby Ivalerina, SH., LL.M.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Dyah Paramita, S.H., LL.M.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Dessy Eko Prayitno, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Astrid Debora, S.H.
Mitra Bebestari
Dr. Ari Mohammad, S.H., M.H.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya

kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan
dalam penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii

PENGANTAR REDAKSI

Adakah Demokrasi Lingkungan?
Democracy is when the indigent,
and not the men of property, are the rulers
(Aristoteles)

D

emokrasi bisa jadi merupakan istilah dalam politik yang paling bebas
digunakan. Istilah ini dengan mudah dilekatkan pada suatu lema
tertentu untuk memberikan penegasan corak dan keberpihakan
kepada rakyat, pihak yang dalam kredo tentang demokrasi menjadi episentrum
kekuasaan. Hal yang kemudian memunculkan istilah-istilah kontemporer
seperti demokrasi ekonomi, demokrasi sosial, dan demokrasi lingkungan

misalnya.
Munculnya istilah kontemporer yang (mencoba-coba) mengaitkan
dengan demokrasi ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan seputar aspek
semantik semata, tetapi juga pertanyaan filosofis dan mendasar berkaitan
dengan konsepsi dan praksis pelaksanaannya. Dalam kontes demokrasi
lingkungan misalnya. Apakah termin ini memang benar “ada”, atau hanya
sekedar termin populer yang ramai digunakan oleh aktivis dan pegiat
lingkungan saja? Apakah demokrasi lingkungan sebuah termin yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau jangan-jangan ia hanyalah jargon
populer yang mengandung contradictio in terminis di dalamnya?

Secara literal, demokrasi bermakna kekuasaan rakyat, hal yang kemudian
ditegaskan oleh Abraham Lincoln dalam pidatonya yang legendaris, Gettysburg
Address (1863), sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat (government of the people, by the people, for the people). Gagasan demokrasi
dengan cepat berkembang menjadi gagasan ideal yang paripurna, sedemikian
sehingga pada awal abad ke-20 hampir semua negara mengklaim sebagai
negara demokratis yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahannya. Dalam konteks ini munculnya terminologi
kontemporer seperti demokrasi lingkungan tentu menjadi hal yang dapat kita

maklumi. Mereka yang memunculkan dan mempopulerkanterminologi ini
tentu memiliki idealisme tentang kekuasaan yang berorientasi kepada rakyat
namun dalam pelaksanaannya tetap menjunjung prinsip keseimbangan dan
keserasian dengan alam. Pertanyaannya kemudian: tepatkah penggunaan
terminologi ini, baik secara semantik maupun substantif ?
Berbicara demokrasi tidak bisa tidak akan membawa kita pada diskursus
tentang kedaulatan sebagai manifestasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bernegara. Demokrasi sendiri merupakan wujud kedaulatan rakyat, gagasan
yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Gagasan
kedaulatan rakyat berkembang secara dialektis dan merupakan antitesis dari

iv

gagasan kedaulatan Tuhan, kedaulatan
negara/bangsa yang muncul terlebih dahulu.

monarki,

dan


kedaulatan

Adalah Jean Jacques Rosseau yang memberikan dimensi kerakyatan
pada gagasan kedaulatan. Rosseau, yang hidup dalam suasana kebatinan
Revolusi Perancis, menyatakan bahwa kedaulatan tidak berada di tangan
monarki ataupun negara, melainkan di tangan rakyat yang selaku individu
menyerahkan kekuasaannya kepada negara melalui kesepakatan bersama
(voluntedetout). Rakyat memberikan mandat kepada negara untuk menjalankan
pemerintahan yang dilakukan berdasarkan voluntee generale atau suara
terbanyak yang merepresentasikan kemauan umum. Dalam praksisnya,
kemauan umum tercermin dalam perundang-undangan yang disusun oleh
parlemen sebagi representasi politik rakyat yang dipilih melalui pemilihan
umum.
Diskurus tentang kedaulatan tidak lantas berhenti dengan munculnya
gagasan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Agar kedaulatan rakyat dapat
benar-benar berjalan dan tidak berkembang menjadi chaos, supremasi
kepentingan rakyat dalam demokrasi harus dijalankan berdasarkan norma atau
aturan hukum. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai kedaulatan hukum, yang
harus dijalankan beriringan dengan kedaulatan rakyat. Perpaduan keduanya
kemudian dikenal sebagai sebagai negara hukum yang berkedaulatan rakyat

(democratischerechstaat) atau demokrasi yang berdasarkan atas hukum
(constitutionaldemocracy). Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 angka
(2) dan (3) UUD 1945 merupakan salah satu negara yang menganut
constitutionaldemocracy.
Demokrasi yang dijalankan dalam koridor hukum merupakan peluang
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang berorientasi rakyat namun tetap
menjunjung prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Caranya melalui
penyusunan norma-norma yang memberikan jaminan perlindungan
lingkungan sebagaimana perlindungan atas hak sipil politik dan hak sosial
ekonomi rakyat. Dalam konteks ini maka demokrasi (berwawasan) lingkungan
dapat dicapai jika representasi politik rakyat dalam dewan/majelis perwakilan
mau dan mampu menyusun produk hukum yang selaras dengan cita
kelestarian lingkungan. Terang kemudian jika “demokrasi lingkungan” dalam
kerangka “constitutional democracy” yang saat ini kita anut sangat bergantung
pada keberpihakan parlemen sebagai pihak yang memiliki kewenangan
konstitusional untuk membentuk norma.
Gagasan kedaulatan lingkungan kemudian muncul sebagai alternatif.
Sebagaimana dikemukakan oleh JimlyAsshiddiqie (2009), gagasan ini muncul
sebagai respon atas relasi kuasa yang selalu bertumpu pada manusia
(antrhoposentrisme). Jika kedaulatan rakyat menghasilkan demokrasi dan

kedaulatan hukum menghasilkan nomokrasi (kekuasaan berdasarkan hukum),
maka kedaulatan lingkungan menghasilkan konsep ecocracy, yakni kekuasaan
yang
dijalankan
dengan
memperhatikan
keutuhan
ekosistem.

v

Mempertimbangkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin nyata sebagai
buah dari kapitalisme pasar yang cenderung memandang alam sebagai faktor
produksi dan aset ekonomi, penerapan gagasan kedaulatan lingkungan
bersama dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam bingkai
negara mutlak dilakukan. Yang harus digali lebih dalam adalah bagaimana
operasionalisasinya
dalam
kehidupan
bernegara?Apakah

dengan
mengarusutamakan pertimbangan lingkungan dalam kebijakan publik?
Apakah dengan mempersonifikasikan lingkungan hidup serupa dengan rakyat
yang memiliki hak hukum dan hak konstitusional yang dijamin dalam
konstitusi? Apakah kemudian semua itu dapat kita sebut sebagai wujud dari
“demokrasi lingkungan”?
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) edisi kali ini mencoba
mengangkat tema Demokrasi Lingkungan sebagainarasi alternatif atas gagasan
mengenai relasi kekuasaan yang terlampau antroposentris, kapitalistik, dan
cenderung memandang alam sebatas objek untuk akumulasi kekayaan semata.
Dengan kesadaran yang utuh bahwa “demokrasi” merupakan konsep yang
terus berkembang dan memiliki beragam penafsiran, JHLI edisi ini kami
harapkan dapat menjadi pemantik diskursus tentang gagasan demokrasi
lingkungan agar dapat berkembang dari sekedar jargon populer menjadi
sebuah gagasan utuh yang dapat dioperasionalisasikan dalam kehidupan
bernegara. Agar demokrasi, seperti yang dikemukakan Aristoteles dalam
Politics, benar-benar memanifestasikan sebuah keadaan dimana yang paling
liminal, yang paling miskin dan lemah lah yang berkuasa. Di tengah gempuran
kapitalisme yang dengan serakah mengeksploitasi alam serta tirani modal yang
mengancam kemurnian demokrasi melalui praktek politik transaksional,

rasanya saat ini tidak berlebihan mendudukkan lingkungan hidup sebagai
salah satu “pihak” yang juga berada dalam posisi yang lemah.

Januari 2014,
Redaksi

vi

DAFTAR ISI

Redaksi & Mitra Bebestari .......................................................................................... iii
Pengantar Redaksi: Adakah Demokrasi Lingkungan?........................................... iv
Daftar Isi....................................................................................................................... vii
Artikel Ilmiah
1. Jalan Terjal Ekokrasi
Dr. Al. Andang L. Binawan, S.J. .................................................................. 1
2. Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan Indonesia dan Perwujudan
Tata Kelola LIngkungan yang Baik dalam Negara Demokrasi
Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M. ............................................................ 23
3. Demokrasi dan Lingkungan

Feby Ivalerina, S.H., LL.M. ......................................................................... 55
4. Jaminan Akses Informasi Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Rekomendasi Penguatan Hak Akses Informasi
Lingkungan)
Henri Subagiyo, S.H., M.H. ........................................................................ 74
5. Perubahan Iklim dan Demokrasi: Ketersediaan dan Akses Informasi
Iklim, Peranan Pemerintah, dan Partisipasi Masyarakat dalam
Mendukung Implementasi Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia
Perdinan, S.Si, MNREcon, Ph.D. ............................................................. 109
6. Analisis Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi
Indah Dwi Qurbani, S.H., M.H. ............................................................... 133
7. Penerapan Pengaturan Pembuangan Limbah Minyak ke Laut Oleh
Kapal Tanker Dilihat Dari Perspektif Hukum Lingkungan
Diah Okta P., S.H., Irma Gusmayanti, S.H., Ria Mayasari, S.H. ....... 155
8. Artikel Mahasiswa: Peran Hukum di Indonesia dalam Penanggulangan
Dampak Perubahan Iklim
Fitri Amelina ............................................................................................... 181
Ulasan Undang-undang No. 18 Tahun 2013
Lakso Anindito, S.H. ................................................................................................ 198
Ulasan Kasus: Kriminalisasi atas Partisipasi Masyarakat: Menyisir
Kemungkinan terjadinya SLAPP terhadap Aktivis Lingkungan Hidup Sumsel
Raynaldo G. Sembiring, S.H. ................................................................................. 207
Ulasan Buku Terkini: Anotasi UUPPLH ................................................................ 219
Penutup Redaksi ........................................................................................................ viii
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ...................................xi

vii

JALAN TERJAL EKOKRASI
Al. Andang L. Binawan1

Abstrak
Istilah ekokrasi bisa dipahami sebagai kekuasaan dari, oleh dan untuk alam
seisinya. Hanya, pengertian sederhana itu mengandung kesulitan filosofis yang
sangat besar. Kesulitan itu antara lain terkait dengan paham tentang alam
secara keseluruhan maupun setiap bagiannya, dan juga tentang kedudukan
manusia. Sebagai perbandingan, untuk memenuhi gagasan demokrasi pun
diperlukan jalan panjang, bahkan terjal, apalagi ekokrasi. Empat gagasan dasar
demokrasi, yaitu kesetaraan, kebebasan, otonomi dan partisipasi tidak bisa
begitu saja diterapkan pada ekokrasi, meski untuk bisa merunut kemungkinan
ekokrasi, perbandingan dengan demokrasi bisa membantu. Meski kemudian
menemukan tanjakan-tanjakan kesulitan, bukan berarti ekokrasi tidak mungkin
sama sekali. Beberapa prinsip dari Henryk Skolimowski maupun gagasan
prosedural keadilan menurut John Rawls bisa dijadikan titik pijak mendaki
ekokrasi.
Kata kunci: ekokrasi, demokrasi, problematik filosofis, kesetaraan, kebabasan,
partisipasi, hormat pada hidup, Skolimowski, John Rawls

Abstract
Ecocracy can be understood as power of, by and for the nature and its contents.
However, such a simple definition comprises a great philosophical difficulties. Such
difficulties inter alia related to the understanding of the nature either holistically or
partially, and also on the human position related to it. As a comparison, even to fulfill
the idea democracy requires a long, even steep road, moreover on fulfilling ecocracy.
Four basic ideas of demoracy, which are equality, freedom, autonomy and participation
cannot be applied as such to ecocracy, although to be able to trace the possibilities of
ecocracy, comparison to democracy may help. Although it will possibly crossing the
ramps of difficulties, does not mean ecocracy is impossible. Some principles from
Henryk Skolimowski, or the idea of procedural justice of John Rawls can be used as
starting point in climbing ecocracy.

1

Staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

AL. ANDANG L. BINAWAN

Keywords: ecocracy, democracy, philosophical problematic, equality, freedom,
participation, respect to life, Skolimowski, John Rawls

1. Pengantar

Berbicara tentang ekokrasi adalah berbicara tentang sebuah
kemungkinan jauh. Maksudnya, pemahaman yang komprehensif tentang
makna ekokrasi membutuhkan suatu permenungan yang panjang. Jika
demokrasi disederhanakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat, mengacu pada etimologi demokrasi, apakah ekokrasi akan
diartikan sebagai pemerintahan dari alam (Yunani: oikos, rumah-tangga), oleh
alam dan untuk alam seluruhnya? Andai saja „untuk alam‟ itu dimengerti dan
disepakati, tidak mudah memahami istilah „dari alam‟ dan „oleh alam.‟ Ada
kompleksitas yang rumit di dalamnya, sehingga tidak mudah untuk
mendapatkan sebuah gagasan yang utuh dan tunggal, padahal untuk sebuah
penerapan, dibutuhkan pemahaman yang relatif bisa diterima banyak pihak.
Karena itu, yang paling mungkin hanyalah sebuah pemahaman yang lebih
bersifat politis, yang berarti juga bersifat kompromis.
Hanya saja, untuk bisa mendapatkan kesepakatan politis ini pun tidak
mudah. Banyak liku-liku yang perlu dilalui, terutama terkait dengan prosedur
pengambilan keputusan. Belum lagi, jalan berliku masih akan terjadi dalam
penerapannya, karena bukan hanya menyangkut politik, tetapi juga
kepentingan-kepentingan lain yang tak kalah rumit.
Liku-liku ekokrasi ini agak mirip dengan liku-liku demokrasi, meski
akan jauh lebih kompleks. Tulisan ini akan mencoba memaparkan liku-liku itu
dengan istilah „jalan terjal‟ karena memahami dan menerapkan ekokrasi ibarat
naik gunung yang sangat tinggi. Mengingat, seperti telah dikatakan di
atas,untuk penerapan memerlukan basis pemahaman lebih dahulu, tulisan ini
tidak akan membicarakan hal-hal praktis untuk penerapan ekokrasi. Yang akan
dipaparkan adalah problematik filosofis terkait dengan ekokrasi.
Alur paparan ini akan mengikuti liku-liku yang sudah didahului
demokrasi. Meski demokrasi sering dilihat sebagai masalah politik, hal itu tidak
bisa tidak memicu perdebatan filosofis juga.2 Bagaimana pun demokrasi juga
membutuhkan pendasaran filosofis. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa likuliku itu, baik demokrasi maupun ekokrasi, ada di tiga ranah: filosofis,
sosiopolitis, dan praktis. Pada tataran filosofis, problematik akan berkutat pada
konsep dan pemahaman. Pada tataran sosiopolitis, problematiknya terletak
pada konteks, yang akan mempengaruhi pilihan konsep dan juga prosedur dan
2 Ross Harrison, misalnya, memaparkan beberapa problem filosofis, termasuk
problem pendasarannya. Lihat bukunya Democracy (seri The Problem of Philosophy), Routledge:
1993.

2

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 1, JANUARI 2014

hukum yang diambil. Kemudian, pada tataran praktis, akan ada problematik
penerapan.
Berdasar tujuan itu, tulisan ini akan didahului dengan sebuah paparan
singkat tentang demokrasi dan problematiknya. Tujuannya adalah
perbandingan. Artinya, dengan memahami problematik demokrasi, muncul
suatu gambaran tentang problematik ekokrasi. Setelah itu, tiga tanjakan akan
coba diulas, yaitu tanjakan filosofis, tanjakan sosiopolitis dan kemudian
tanjakan praktis. Paparan akan ditutup dengan sebuah usulan sebuah prinsip
yang terkait dengan bagaimana mengupayakan ekokrasi.

2. Bercermin dari Demokrasi

Sebelum masuk pada masalah konseptual, ada baiknya melihat
kenyataan tentang demokrasi. Tentu, tidak mungkin melihat semua realitas itu.
Cukuplah disini melihat seberkas potret tentang demokrasi di Indonesia.
Pada tanggal 11 Desember 2013 lalu Kemenko Polhukam, Kemendagri,
Bappenas, Biro Pusat Statistik, dengan dukungan Program Pembangunan PBB
(UNDP), meluncurkan indeks demokrasi Indonesia. Dikatakan bahwa indeks
Indonesia hanya 62,63 dari skala 1-100. Itu adalah hasil dari perhitungan tiga
aspek penting demokrasi , yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga
demokrasi. Dalam hal ini, kebebasan sipil mendapat skor tertinggi, yaitu 77,94,
sedang hak politik mendapat skor terendah, yaitu 46,33, sementara itu aspek
kelembagaan mendapat skor 69,28. Jika dibandingkan dengan indeks tahun
sebelumnya, dengan indeks 65,48, indeks tahun ini malah menurun. 3
Skor hasil penelitian di atas sedikit lebih tinggi dari skor yang „diberikan‟
oleh lembaga Global Democracy Ranking, yaitu 54,2 untuk tahun 2011-2012, dan
menduduki peringkat 66 dari 115 negara yang diteliti. Meski skor-nya sedikit
naik, peringkat ini sama dengan tahun sebelumnya. 4 Variabel yang diteliti
memang lebih rinci dengan bobot yang berbeda. Lembaga ini menghitung
indeks dengan melihat berbagai aspek lain selain politik (sistem politik), seperti
gender (kesetaraan gender), ekonomi (sistem ekonomi), pengetahuan (sejauh
mana masyarakat mendapatkan informasi dan pengetahuan, riset dan
pendidikan), kesehatan (status dan sistemnya) dan juga lingkungan hidup
(keberlanjutannya). Politik mendapat porsi terbesar karena diperhitungkan 50
persen, sementara yang lain masing-masing hanya 10 persen.5 Hasil
pemeringkatan di atas sedikit berbeda dengan perhitungan dari The Economist

Kompas, 12 Desember 2013, hal. 4.
http://democracyranking.org/wordpress/?page_id=738 diakses pada tanggal 15 Desember
2015 jam 20.10.
5 http://democracyranking.org/wordpress/ranking/basic_concept.pdf diakses pada tanggal 15
Desember 2015 jam 20.15.
3

4

3

AL. ANDANG L. BINAWAN

Intellegent Unit, yang untuk tahun 2012 menempatkan Indonesia di peringkat 53
dengan skor 6,76 berdasarkan lima aspek yang ditinjau, yaitu proses pemilihan
dan pluralisme, berfungsinya pemerintah, partisipasi politik, budaya politik
dan kebebasan sipil.6
Hasil di atas tentu saja menunjukkan mediokritas Indonesia. Memang,
setidaknya yang disebut dalam penelitian pertama, korupsi menjadi faktor
penting atas situasi mediokritas, atau malah buruknya situasi demokrasi
Indonesia ini. Tentu bisa dibayangkan bahwa korupsi para legislator dan juga
penegak hukum adalah korupsi-korupsi ibarat di jantung pertahanan
demokrasi. Hanya, faktor-faktor yang menyebabkan buruknya situasi
demokrasi ini tidak akan diperdalam dalam tulisan ini, tetapi dari
perbandingan ketiga penelitian itu, beberapa hal bisa disimpulkan.
Pertama, jika mengingat stagnasi demokrasi Indonesia, makin tampak
betapa terjal jalan yang harus dilalui demokrasi untuk mewujudkan diri secara
relatif ideal. Kondisi sosiopolitis dan juga demografis Indonesia jelas menjadi
salah satu sebab penting dari stagnasi ini. Artinya, menyediakan prosedur dan
kemudian menerapkannya butuh kerja keras.
Kedua, yang dalam konteks pembicaraan kita menjadi lebih penting,
terutama dengan membandingkan beberapa penelitian tadi, makin tampak
bahwa perbedaan aspek-aspek yang diteliti pada dasarnya adalah perbedaan
pada pemahaman makna demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi pada
dasarnya adalah sebuah konsep yang plural, dan hal ini juga disadari oleh
David F. J. Campbell, peneliti Global Democracy Ranking. Dengan mengacu pada
pemikir lain, ia mengatakan bahwa “Representatively, we may cite Bühlmann (et
al. 2008, p. 5): “There is an abundant literature relating to democracy theory, with
countless definitions of what democracy should be and what democracy is.” We can add
on by referring to Laza Kekic (2007, p. 1): There is no consensus on how to measure
democracy, definitions of democracy are contested and there is an ongoing lively debate
on the subject.” 7
Bertolak dari dua hal itu, pada bagian kedua ini akan dicermati beberapa
konsep dan prinsip dasar demokrasi, serta problematik filosofisnya.
Problematik filosofis inilah yang menjadi sebab dari keragaman konsep
demokrasi, karena pada dasarnya sebuah konsep demokrasi adalah jawaban
hipotetik atas persoalan itu.8
Untuk memahami problematik filosofis itu lebih jauh, titik tolak bisa
dimulai dari pemahaman sederhana tentang demokrasi sebagai „pemerintahan

6 https://portoncv.gov.cv/dhub/porton.por_global.open_file?p_doc_id=1034 diakses pada
tanggal 15 Desember 2015 jam 20.20.
7 David F. J. Campbell, The Basic Concept for the Democracy Ranking of the Quality of
Democracy, 2008, hal. 4 (lihat catatan kaki no. 3).
8 Lihat misalnya „perdebatan‟ yang ada dalam buku yang diedit oleh Ricardo Blaug
dan John Schwarzmantel, Democracy: A Reader, Edinburgh University Press: 1988.

4

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 1, JANUARI 2014

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.9‟ Pemahaman sederhana ini bisa
cukup diterima banyak orang, bukan hanya karena sesuai dengan pemahaman
demokrasi secara etimologis, tetapi juga karena pada dasarnya demokrasi
hanyalah sarana menuju keadilan. Dari pemahaman dasar itu, setidaknya ada
tiga hal mau ditekankan yaitu kesetaraan dan otonomi setiap individu sebagai
prinsip dasar, kebebasan dan otonomi sebagai dasar dan sekaligus cita-cita
keadilannya, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan sebagai caranya.
Hanya, pemahaman ini bukan tanpa masalah. Kata „rakyat‟ sebenarnya
mengandung pemahaman yang sangat kompleks. 10 Setidaknya, ada tiga
masalah disitu. Pertama: ketika diandaikan bahwa rakyat adalah „kumpulan‟
manusia, persoalannya adalah siapakah manusia itu, khususnya apa yang
menjadi esensi manusia (jika ada)? Kedua, apa yang disebut „rakyat‟ itu: apakah
sekedar kumpulan individu, atau mempunyai keutuhan? Ketiga, apa relasi
antara individu dengan masyarakat itu? Variasi jawaban atas pertanyaanpertanyaan itu akan menentukan keadilan macam apa yang akan dikejar, serta
cara atau jalan mana yang akan ditempuh.
Sebagai contoh, dalam tradisi filsafat politik, jawaban model pertama
ditawarkan oleh kaum liberal. Gagasan kubu ini bertolak dari pemahaman
bahwa manusia adalah individu yang bebas (Latin: liber, sic!), rasional dan
otonom. Karena itu, demokrasi harus menjamin kebebasan dan otonomi,
kesetaraan serta partisipasi dalam pengambilan keputusan. Demokrasi tidak
boleh melanggar hak asasi, dan hak bagi kubu ini adalah kebebasan. Paham ini
pulalah yang mendasari mengapa tradisi ini lebih menjunjung hak sipil dan
politik.
Dengan kata lain, karena yang ditekankan adalah individu yang bebas,
rasional dan otonom, keadilan yang ditekankan adalah keadilan individual.
Rakyat atau masyarakat adalah sebuah realitas plural, lebih dilihat sebagai
agregat individu. Dengan latar itu, negara dipandang sebagai sarana penjamin
kebebasan saja. Istilah negara sebagai penjaga malam mau merujuk peran
minimal negara atau negara yang pasif dan negara yang mengedepankan
kebebasan individu.
Pemahaman ini biasa dikontraskan dengan tradisi yang lebih
menekankan „rakyat‟ sebagai kesatuan. Misalnya, tradisi sosialis yang
mempunyai pengandaian dasar yang berbeda dengan tradisi liberal. Jika
disederhanakan, kubu sosialis (Latin: socius berarti teman) memahami „rakyat‟
sebagai sebuah entitas tersendiri yang tidak kalah penting (atau sebagian
memahaminya lebih penting) dari individu. Individu adalah bagian dari rakyat
atau masyarakat. Demokrasi dipahami sebagai jalan untuk menegaskan otoritas
9 Penjelasan cukup sederhana tentang demokrasi bisa dibaca dalam David Beetham &
Kevin Boyle (a.b. Bern. Hidayat), Demokrasi: 80 Tanya Jawab, Penerbit Kanisius: 2000.
10 Lihat misalnya yang diulas Boris Dewiel, “What Is the People? A Conceptual
History of Civil Society,” dalam bukunya Democracy, A History of Ideas, UBC Press, 2000 hal.
11-22.

5

AL. ANDANG L. BINAWAN

„rakyat‟ ini vis-a-vis individu karena individu tidak bisa hidup lepas dari
masyarakat.
Keadilan yang dicita-citakan adalah keadilan sosial dan keadilan
distributif. Negara mempunyai peran penting dan lebih bersifat aktif. Disini,
hak asasi tidak dipahami dalam arti kebebasan, tetapi sebagai „ganjaran‟ yang
bisa diterima individu dalam perannya dalam masyarakat (entitlement). Salah
satu muara paham ini adalah dirumuskannya hak-hak sosial, ekonomi dan
budaya. Bagi kubu ini, hak asasi yang dimaknai kebebasan adalah hak kaum
borjuis atau elite, karena hanya bisa diwujudkan oleh orang yang kenyang,
sehat dan berpendidikan.11
Perbandingan pemahaman dua tradisi ini hanyalah sebuah contoh
bagaimana kata demokrasi dipahami dengan berbeda, dan dalam setiap tradisi
pun masih ada variasi-variasinya. Perbedaan latar-belakang sosiohistoris dan
sosiopolitis jelas menjadi faktor penentu, sehingga bisa juga dikatakan bahwa di
luar kedua tradisi filosofis itu masih ada tradisi lain. Pun, dengan mengatakan
bahwa latar-belakang sosiohistoris menjadi salah satu faktor, mau dikatakan
juga bahwa keragaman pandangan itu pun membutuhkan waktu panjang
untuk mendapatkan rumusannya.
Ambil contoh, kesadaran akan martabat individu yang menjadi dasar
kesetaraan manusia, membutuhkan ratusan tahun untuk bisa dipahami, dan
kemudian diterapkan, oleh banyak orang. Bahkan, bisa dikatakan bahwa
sampai sekarang pun paham kesetaraan masih terus menemukan bentuknya.
Sejarah kesetaraan yang berimpit dengan sejarah demokrasi jelas menunjukkan
hal itu. Mula-mula kesetaraan hanya ada pada orang-orang bebas, tidak ada
pada budak. Selanjutnya, sejarah juga mencatat bahwa kesetaraan pernah
dibatasi oleh keturunan, antara golongan bangsawan dan rakyat jelata; pernah
juga dibatasi oleh warna kulit. Kalau status sosial dan warna kulit sudah relatif
„selesai‟, sampai sekarang agama dan gender, juga orientasi seksual, di
beberapa tempat masih menjadi faktor pembeda yang menyempitkan makna
kesetaraan.
Yang mau dikatakan disini adalah bahwa betapa tidak mudah
merumuskan suatu paham yang komprehensif yang bisa dimengerti, disepakati
dan kemudian diterapkan dalam kehidupan manusia karena, meski manusia
hanya satu spesies, mempunyai keragaman yang begitu kompleks. Keragaman
pemahaman ini jelas menjadikan konsep demokrasi juga warna-warni, tidak
ada warna tunggal.

11 Perdebatan tentang makna, isi, dan subyek „hak‟ ini pun masih terus berlangsung.
Salah satu perdebatan yang masih berlangsung adalah masalah tentang „hak kelompok‟.
Sampai hari ini, dalam wacana hak asasi manusia, hak kelompok, dibedakan dari hak kaum
minoritas, masih dalam wacana teoretik, belum menjadi sebuah tetapan hukum. Lihat Will
Kymlicka, “The Good, The Bad and The Intolerable: Minority Group Rights,” dalam Patrick
Hayden, The Philosophy of Human Rights, Paragon House: 2001, hal. 445-461.

6

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 1, JANUARI 2014

Selanjutnya, warna itu akan makin beragam ketika sampai pada pilihan
cara untuk mewujudkannya. Disini, situasi sosio-politis, sosio-kultural maupun
sosio-demografis akan banyak menentukan pilihan cara dan kemudian
perwujudan hukumnya. Dalam masyarakat yang penduduknya relatif sedikit,
demokrasi langsung mungkin bisa dilakukan. Yang banyak dipilih adalah
demokrasi representatif atau perwakilan. Dalam model perwakilan ini ada
masalah filosofis yang sulit terpecahkan, yaitu bagaimana seorang yang disebut
„wakil rakyat‟ yang adalah seorang manusia biasa bisa mewakili orang lain
yang tidak sedikit jumlahnya. Ketidakmungkinan secara filosofis ini jelas
mereduksi makna demokrasi. Dengan kata lain, setiap pilihan cara akan
mempunyai persoalan filosofis.
Yang menjadi perhatian dalam pilihan cara ini, selain tujuan dan prinsip
di atas, adalah pengelolaan kebersamaan dan kontrol atas kekuasaan, terutama
yang diberikan kepada negara. Dalam perhatian pada pengelolaan
kebersamaan itu yang akan diatur adalah mekanisme atau sistem partisipasi
individu dalam proses pengambil keputusan bersama berpijak pada prinsip
kesetaraan. Persoalan filosofis pada perkara ini adalah apakah ada yang
namanya kepentingan bersama secara obyektif yang bisa dicari bersama,
ataukah yang ada hanya kompromi-kompromi.12 Dalam kenyataan, suatu
keputusan bersama biasanya tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah lalu siapa yang seharusnya lebih
diprioritaskan?
Pada tahap selanjutnya, pilihan cara itu akan bersentuhan dengan
kekuasaan karena tanpa kekuasaan, yang berarti kewenangan untuk memaksa
(mengingat bahwa setiap individu pada dasarnya cenderung egosentris), sistem
demokrasi yang dipilih tidak akan bisa dijalankan. Salah satu persoalan filosofis
penting dalam hal ini bukan tentang apa itu kekuasaan, melainkan legitimasi
atas kekuasaan itu. Bahwa dalam kenyataan, demi mudahnya, legitimasi
berdasarkan voting yang dipilih, tetaplah menyisakan persoalan filosofis
karena jelas bahwa ada jarak cukup jauh antara kuantitas dengan kualitas.
Dengan kata lain, demokrasi kuantitatif adalah demokrasi superfisial.
Reduksi kualitatif demokrasi semakin nyata dalam model demokrasi
representatif. Ada pengandaian yang berlebihan bahwa ada kaitan erat antara
yang mewakili dan yang diwakili. Dengan kata lain, sangat kecil kemungkinan
seorang wakil rakyat bisa menyuarakan aspirasi para pemilihnya secara utuh.
Lebih jauh, dalam kenyataan politis, kepentingan individu wakil rakyat inilah
yang terasa lebih dominan mengemuka. Serentetan kasus korupsi wakil rakyat

12 Perdebatan tentang hal ini bersifat „perenial‟, sejajar dengan perdebatan tentang
status ontologis individu dan masyarakat, juga perdebatan metafisis antara realitas „satu‟ dan
„banyak‟, serta perdebatan epistemologis tentang obyektivitas dan subyektivitas.

7

AL. ANDANG L. BINAWAN

di negeri ini, baik di pusat maupun di daerah, bukti nyata bahwa kaitan antara
‟wakil rakyat‟ dengan ‟rakyat yang diwakili‟ tidak bisa diandaikan begitu saja. 13
Dalam tataran praktis-politis, yaitu penerapan dan pelaksanaan pilihan
cara atau sistem demokrasi, persoalan filosofis mulai berkurang. Dalam tataran
ini, selain kesulitan teknis maupun pembiayaannya, yang patut diwaspadai
adalah jebakan-jebakan yang makin mereduksi makna demokrasi. Cermin
tentang demokrasi Indonesia yang ditulis di atas adalah contoh bagaimana
korupsi bisa menelikung demokrasi. Disini, korupsi hanyalah salah satu
jebakan. Dalam studi politik, berbagai jebakan ditengarai. Salah satu yang
sering disebut adalah tirani mayoritas. 14
Di samping kubu yang optimis tentang dinamika demokrasi, seperti
misalnya Francis Fukuyama dengan bukunya The End of History and the Last
Man,15 banyak kritik pula atas perkembangan paham dan praktek demokrasi
masa kini. Salah satu pengritik pedas sistem demokrasi modern adalah Henryk
Skolimowski, seorang filsuf Polandia. Secara singkat, dia mengatakan bahwa
sistem demokrasi modern sebenarnya sudah kehilangan jiwa-nya, apalagi
ketika fokus-nya hanyalah kekuasaan, bukan sebagai jalan aktualisasi diri dan
kebebasan individu. Lebih jauh, dia juga mengatakan sistem demokrasi yang
sekarang banyak dianut justru menjauhkan dari cita-cita keadilan. Sebagai
contoh, dalam konteks kasus demokrasi Amerika, sistem pemilihan umum
empat tahun sekali ternyata membuat para pemegang kekuasaan lebih
berkonsentrasi mencari cara mempertahankan kekuasaannya itu daripada
menerapkannya untuk kemaslahatan umum.16

3. Tanjakan-tanjakan Ekokrasi

Telah disebut di atas bahwa upaya mewujudkan ekokrasi itu ibarat naik
gunung yang sangat tinggi, sementara mewujudkan demokrasi ‟hanyalah‟
ibarat naik gunung biasa. Karena kemiripannya, bahkan dalam arti tertentu
juga sejalan, keduanya memang bisa diperbandingkan, dan dari pebandingan
itulah ekokrasi bisa belajar dari demokrasi, terutama mencermati liku-likunya.
Setelah melihat liku-liku demokrasi, terutama dari kacamata filsafat, pada
bagian ini akan dipaparkan tanjakan-tanjakan yang perlu diperhatikan ekokrasi
13 Lihat misalnya ulasan dalam artikel “”Quo Vadis” DPR Bersih dan Prorakyat”,
Kompas, 2 Januari 2014, hal. 25.
14 Bahaya tirani mayoritas cukup sering ditengarai sebagai „bahaya laten‟ demokrasi,
dan lebih dikenali setelah disebut oleh Alexis de Tocqueville dalam bukunya Democracy in
America, Vol. I (aslinya ditulis tahun 1835), Vintage Books: 1956, bab XV “Unlimited Power of
The Majority in The United States, and Its Consequences.”
15 Free Press: 1992. Dalam bukunya ini, Fukuyama adalah „pemuja‟ demokrasi liberal,
dan dalam pandangannya demokrasi adalah „puncak‟ dari kebudayaan politik.
16 Lihat tulisannya dalam Henryk Skolimowski, Philosophy for New Civilisation, Gyan
Publishing House: 2006, hal. 266-268.

8

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 1, JANUARI 2014

dalam upaya menuju puncak-nya, meski –karena gunung yang didaki jauh
lebih tinggi- tentu harus melewati tanjakan-tanjakan yang juga jauh lebih terjal.
Sekali lagi, tujuannya bukan memberi tips-tips praktis, melainkan
menunjukkan persoalan-persoalan yang perlu dijawab dan ditanggapi supaya
arah ekokrasi tidak ditelikung.
Sudah cukup banyak pemikiran yang membahas kaitan antara
demokrasi dengan masalah lingkungan hidup, tetapi pembicaraan tampak
lebih bersifat sosio-politis, belum sungguh menukik ke persoalan filosofis. 17 Itu
pun masih bisa ditafsirkan sebagai pemikiran yang belum sungguh lepas dari
sifat anthroposentris. Salah seorang pemikir yang mencoba menukik ke
persoalan filosofis adalah Henryk Skolimowski.
Jika mengikuti alur gagasan Skolimowski, ekokrasi bisa dikatakan
sebagai ‟pengembangan lebih jauh‟ dari demokrasi karena memang mau
melibatkan seluruh alam dalam dinamika kehidupan yang lebih baik. Secara
konseptual ekokrasi lebih dalam dari demokrasi ekologis, atau demokrasi yang
berwawasan ekologi karena dalam demokrasi ekologis pusatnya tetaplah
manusia. Bias anthroposentrisme masih sangat kentara. Karena itu, bagi
Skolimowski istilah ekokrasi jauh lebih tepat daripada eko-demokrasi atau
demokrasi ekologis. Dalam rumusan Skolimowski, ekokrasi adalah “pengakuan
kekuatan alam dan hidup itu sendiri, yang berarti mengobservasi keterbatasan
alam, mendesain dengan alam – bukan melawan alam, membuat sistem yang
berkelanjutan secara ekologis, penghormatan terhadap alam – bukan
penjarahan alam secara berkelanjutan.”18
Seperti juga demokrasi, ada tiga ‟etape‟ besar yang perlu dilalui. Etape
pertama adalah etape filosofis. Dalam etape ini ekokrasi merumuskan tujuan
dan cita-citanya. Dalam etape kedua, yang ada dalam ranah kosmologis,
ekokrasi merumuskan cara untuk menempuhnya, dan kemudian, dalam etape
ketiga di ranah praktis-politis, ekokrasi berusaha menjalankan dan menerapkan
pilihan jalan supaya sampai ke tujuan. Dalam setiap etape itu akan ada
beberapa tanjakan yang perlu diperhatikan.
Pada ranah filosofis atau etape pertama, ada tiga tanjakan besar.
Tanjakan pertama adalah tanjakan yang paling rumit dan menentukan, yaitu
memahami dan merumuskan eksistensi alam dan bagian-bagiannya. Mirip
dengan persoalan dalam demokrasi yaitu terkait dengan eksistensi manusia
dan „rakyat‟ yang dalam pergumulan refleksinya berujung pada kesimpulan
tentang kesetaraan, dalam ekokrasi persoalannya adalah apakah masingmasing bagian mempunyai eksistensi dan status ontologis sendiri sehingga bisa
dikatakan setara. Pun, apakah seluruh alam ini satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Memang, dalam studi tentang ekosistem, jelas bahwa setiap bagian

17 Lihat misalnya tulisan-tulisan yang diedit oleh Brian Doherty dan Marius de Geus,
Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship, Routledge: 1996.
18 Skolimowski, Op. Cit., hal. 272-273.

9

AL. ANDANG L. BINAWAN

terkait dan terhubung. Masing-masing tampak saling menghidupi. Hanya
masalahnya, apakah kesatuan yang tampak dari hubungan-hubungan itu bisa
mendasari kesimpulan tentang kesatuan seluruh alam sehingga mempunyai
status ontologis tersendiri?
Mencari jawaban yang bisa disepakati bersama hampir tidak mungkin
karena alam ini begitu kompleks. Perhatikan bahwa tentang manusia dan
relasinya dengan masyarakatnya saja, padahal bangsa manusia itu satu spesies,
tidak ada jawaban tunggal, apalagi tentang alam. Alam tidak hanya mengenal
makhluk hidup (biotik), tetapi juga lingkungan benda mati (abiotik). Pun,
makhluk hidup juga begitu kompleks. Kompleksitas ini tidak hanya
mengundang pertanyaan tentang kualitas keterkaitan antar masing-masing
unsur itu maupun tentang hirarkhinya, berdasarkan kompleksitas sel
pembangunnya maupun berdasar tingkat kesadaran dan intelegensinya.
Ada beragam jawaban atas pertanyaan filosofis ini, dengan segala macam
argumentasinya. Keragaman jawaban itu tidak hanya disebabkan oleh
keragaman realitas, tetapi juga karena secara epistemologis keragaman realitas
itu, yang berarti juga beragamnya tanda, akan mengundang tafsir yang
beragam. Salah satu kubu yang paling ekstrem adalah kubu antroposentris,
yang menempatkan manusia sebagai pusat dengan tujuan pada dirinya, dan
unsur alam yang lain, baik biotik maupun abiotik, hanya sebagai sarana.
Ketidaksetaraannya menjadi sangat mencolok, dan ekokrasi jelas tidak
dimungkinkan dalam paham ini.
Di kutub yang lain ada kubu yang melihat seluruh alam ini mempunyai
nilai intrinsik dan hidup masing-masing saling tergantung pada yang lain.
Inilah prinsip terpenting dari delapan prinsip yang digagas Naess,
peolopornya. Dengan itu, ia mau membebaskan alam dari anthroposentrisme
dengan prinsip utilitarian-nya.19 Ada juga yang –sejajar dengan itu- melihat
bahwa seluruh ekosistem ini, biotik dan abiotik, adalah semacam organisme.
Setiap unsur alam, baik manusia, lingkungan biotik, maupun abiotik, adalah
bagian dari organisme besar yang mengatur dirinya sendiri. James Lovelock
menyebut pandangan ini sebagai hipotesis Gaia, meminjam nama seorang dewi
Yunani.20
Di antara dua kutub itu masih banyak varian lain. Mereka yang melihat
bahwa hewan mempunyai hak adalah contoh dari jawaban atas pertanyaan
tentang eksistensi masing-masing makhluk. Bahkan, ada yang melihat bahwa
gurun pun, yang dalam kacamata praktis-ekonomis tidak berguna, mempunyai
eksistensinya sendiri.
19 Arn Naess, seorang fisuf Norwegia, adalah pelopor „aliran‟ filosofis ini, yang dikenal
dengan aliran deep ecology atau „ekologi dalam.‟ Istilah „deep ecology‟ menjadi populer karena
tulisannya yang berjudul “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement”
dalam jurnal Inquiry Vol. 16 (1973), hal. 95-100.
20 Lihat http://www.ecolo.org/lovelock/what_is_Gaia.html diunduh pada tanggal 30
Desember 2013 jam 17.05.

10

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 1, JANUARI 2014

Dari berbagai teori yang dikembangkan itu tampak bahwa sungguh
tidak mudah mendapatkan pendasaran filosofis tentang martabat hidup dan
kesetaraan setiap makhluk sebagai basis ekokrasi. Hampir tidak mungkin
menyamakan konsep kesetaraan yang menjadi prinsip dasar demokrasi dalam
ekokrasi. Jelas ada perbedaan yang mendasar antara manusia dengan makhluk
hidup lain maupun dengan alam a-biotik. Lebih jauh, jika perbedaannya
disepakati, masih ada persoalan yang tak kalah rumit, yaitu bagaimana menata
keterhubungan, kesalingtergantungan dan hirarkhinya. Perlu dicatat bahwa
jika dalam demokrasi hirarkhi hanyalah cara, dalam ekokrasi hirarkhi lebih
bersifat eksistensial.
Tanjakan kedua, terkait erat dengan tanjakan pertama, adalah
merumuskan makna dan „isi‟ keadilan ekologis. Perlu diingat bahwa ekokrasi
adalah sarana menuju keadilan, dan makna keadilan sangat ditentukan oleh
makna subyek-nya. Seperti telah dilihat di atas, ada beragam paham, sehingga
tidak begitu gampang merumuskan isi keadilan ekologis dalam rangka
pembicaraan tentang ekokrasi. Jika dalam demokrasi yang menjadi salah satu
cita-cita keadilan adalah kebebasan,21 bagaimana memaknai kebebasan dari
makhluk non-human dan juga lingkungan a-biotik?
Jika keadilan ekologis dirumuskan sebagai hak hidup yang layak untuk
setiap makhluk hidup, kriteria kelayakannya masih sangat kabur. Jika untuk
manusia hidup layak itu antara lain berarti kebebasan menentukan hidup serta
dukungan untuk mengembangkan diri, yang antara lain secara jenial sudah
dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan bahkan
kemudian dirumuskan lebih rinci dalam International Covenant on Civil and
Political Rights serta dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights, bagaimana dengan makhluk hidup yang lain? Apakah mereka
mempunyai nilai intrinsik yang mutlak, atau mempunyai dimensi fungsional?
Untuk lingkungan biotik, ada pembedaan hak hidup yang esensial atau
untuk dirinya sendiri, seperti hak hidup manusia, dengan hak hidup
fungsional, seperti hak hidup binatang dan tanaman. Pembedaan ini juga
belum bisa menjawab persoalan secara komprehensif karena baik binatang
maupun tanaman mempunyai hirarkhi yang sangat kompleks. Mereka yang
membela hak binatang, misalnya, atau juga yang menjaga binatang langka dari
kepunahan, adalah contoh dari paham yang melihat adanya hak hidup layak
untuk binatang untuk dirinya sendiri. Hanya, masalahnya, apakah tidak ada

21 Yang dimaksud dengan kebebasan disini bukanlah kebebasan untuk berbuat apa
saja semaunya. Kebebasan terkait erat dengan martabat dan otonomi setiap individu untuk
menentukan dirinya. Dengan kata lain, kebebasan hak untuk menentukan dirinya dan juga
tiadanya paksaan dari luar, termasuk negara (paksaan tidak berarti tiadanya pengaturan dan
pembatasan demi kepentingan bersama). Tentang makna kebebasan ini, baik dibaca tulisan
George F. McLean, “Meanings of Freedom and Choice,” dalam Robert Magliola dan John
Farrelly, Meanings of Freedom (Freedom and Choice in A Democracy Vol. I), The Council for
Research in Values and Philosophy: 2004, hal. 9-38.

11

AL. ANDANG L. BINAWAN

gradasi hak itu seturut kompleksitas binatang? Misalnya, apakah nyamuk
mempunyai hak hidup yang layak?
Di lain pihak, kalau mau diikuti lebih jauh, ada juga persoalan terkait
dengan yang tidak hidup atau lingkungan abiotik. Pertanyaan bisa lebih
mendalam lagi, yaitu apa kriteria ‟hidup‟. Melihat kenyataan bahwa
lingkungan abiotik pun berkembang, misalnya dengan gejala pertumbuhan
gunung api atau munculnya pulau-pulau ‟baru‟, menyatakan bahwa
lingkungan abiotik tidak mempunyai hak hidup bisa dikatakan sebagai
kesewenang-wenangan.22 Berbagai pertanyaan filosofis terkait dengan ‟hak
hidup‟ ini bisa sampai cukup jauh, misalnya tentang makna dan ‟hak hidup‟
suatu habitat yang dianggap liar.23 Demikian juga tentang hak hidup sebuah
habitat gurun pasir, yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai daerah
‟rusak‟ yang harus dihijaukan, yang –tentunya- pandangan bahwa ‟harus
dihijaukan‟ ini adalah konsep manusia. Bahkan, ada pula yang berpendapat
bahwa setiap habitat mempunyai nilai intrinsik, yang jika sudah dirusak oleh
manusia, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi.24
Bahwa akhir-akhir ini mulai muncul pemahaman lebih menyeluruh baik
tentang pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) maupun
tentang ekonomi hijau (green economics), bolehlah dikatakan sebagai sebuah
kesadaran baru tentang keterhubungan dan kesalingtergantungan manusia
dengan makhluk lain maupun dengan alamnya. Meskipun masih sangat kental
nuansa anthroposentris dan ekonomis-nya, wawasan ini sudah menjadi wacana
universal, yang di satu sisi perlu lebih diperdalam secara filosofis dan di sisi
lain perlu ditindaklanjuti dalam penerapannya. Disinilah tantangan juga tidak
ringan.
Tanjakan ketiga dan keempat masuk dalam ranah teknis-kosmologis,
terkait upaya menentukan cara dan sistem ekokrasi dalam suatu konteks. Yang
perlu dicatat lebih dahulu adalah bahwa masalah ekologis sekarang ini
sungguh bersifat global, tidak hanya lokal. Benar, masalah lokal tampak dan
terasa lebih mendesak, tetapi tidak terlepas pada masalah global. Gejala
munculnya pemanasan global dan perubahan iklim, serta juga munculnya
lubang ozon, menunjukkan makin meluasnya permasalahan, dan sekaligus
kompleksitasnya.25
22 Apakah lingkungan abiotik sama sekali tidak mempunyai „kesadaran‟? Pertanyaan
ini pun tidak bisa dijawab secara hitam putih. Penelitian Masaru Emoto tentang energi
manusia dan partikel air menunjukkan bagaimana partikel-partikel air bisa meresonansi
energi yang keluar dari kata-kata manusia. Lihat bukunya Messages from Water, Vol. 1, Hado
Publishing: 1999 dan Vol. 2, Sunmark Publishing: 2001.
23 Lihat misalnya paparan Mark Woods, “Wilderness,” dalam Dale Jamieson (ed.), A
Companion to Environmental Philosophy, Blackwell Publishers: 2001.
24 Lihat Robert Eliot, Faking Nature: the Ethics of Environmental Restoration, Routledge:
1997.
25 Problem pemanasan global dan perubahan iklim jelas menunjukkan bahwa
persoalan lingkungan hidup bukan lagi perkara lokal atau nasional. Al Gore jelas membidik

12

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 1, JANUARI 2014

Pada tanjakan ketiga, yang perlu lebih dalam diperhatikan adalah
persoalan makna (yang bersifat ‟intensif‟) dan cara (yang bersifat ekstensif)
partisipasi dan komunikasi yang biasanya menjadi kunci demokrasi. Dalam
kesulitan merumuskan makna kesetaraan ekologis dalam pembicaraan tentang
ekokrasi, tidak gampang pula merumuskan cara partisipasi karena yang lebih
tampak adalah gradasi atau hirarkhi. Kesulitan menjadi bertambah karena
partisipasi mengandaikan komunikasi, sementara di antara elemen-elemen ada
perbedaan mendasar tentang kemampuan berkomunikasi itu. Perbedaan
kemampuan disini bukan hanya perbedaan bahasa lingual seperti yang terjadi
pada manusia, tetapi perbedaan dalam ‟bahasa‟ dalam arti yang lebih
mendalam. Pertanyaan yang muncul, misalnya, mampukan manusia
berkomunikasi dengan binatang dan tanaman untuk mendengarkan aspirasi
mereka?
Persoalan ‟intensif‟ di atas menjadi lebih kompleks karena terkait dengan
persoalan ekstensif, terkait dengan sifat globalnya isu ekologi. Yang dimaksud
persoalan ekstensif adalah persoalan sistem dan kelembagaan ekokrasi. Sulit
dan rumitnya tanjakan ini adalah menentukan sistem dan hukum antar negara,
misalnya untuk mitigasi pemanasan global. 26 Dengan kata lain, jika demokrasi
bisa ‟dilokalisasi‟ dalam bingkai politik bernama negara, kesalingtergantungan
dalam ekologi membuat sistem dan kelembagaan demokrasi tidak bisa begitu
saja diterapkan dalam ekokrasi.
Mengingat bahwa perbincangan tentang ekokrasi ini adalah
perbincangan antar manusia, sedang keseluruhan alam menjadi cakrawalanya,
diandaikan bahwa manusia tetap menjadi pusatnya. Pun, dalam proses
perkembangan dan dinamika alam, manusia memang memegang peran sentral
dengan keunggulan nalarnya. Itulah kekuasaan yang dimiliki manusia dalam
hubungannya dengan lingkungan biotik maupun abiotik. Dalam ranah ini,
yang menjadi pertanyaan –dan ini menjadi tanjakan keempat ekorasi- bukan
lagi makna kekuasaan manusia, melainkan bagaimana mengelola kekuasaan
itu supaya bisa diarahkan untuk kepentingan bersama. Lembaga ekokrasi
seperti apa yang di satu sisi bisa meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan
manusia dan di sisi lain mengarahkannya ke kepentingan bersama (common
good), kepentingan yang mencakup seluruh alam, bukan hanya manusia.
Memang akan sangat ideal jika ada sebuah sistem hukum internasional
yang bisa menjamin pengelolaan kekuasaan manusia dan sekaligus
berwawasan ekologis.27 Hukum seperti ini bisa menjadi pilar atau tulang
pemahaman ini dalam bukunya Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim, (a.b. P.
Hardono Hadi), Penerbit Kanisius: 2010.
26 Problematik aktual tentang hal ini jelas dalam lama dan berlikunya proses negosiasi
untuk membuat kesepakatan mitigasi perubahan iklim. Anthony Giddens, sosiolog Inggris,
juga menuliskan problematik ini dalam bukunya The Politics of Climate Change, Polity: 2009.
27 Sebenarnya sudah cukup banyak hukum internasional dengan lembaga-lembaga
pendukungnya, dan hal ini bisa dijadikan titik pijak untuk pengembangan lebih jauh. Lihat
Norman J. Vig & Regina S. Axelrod (eds.), The Global Environment: Institutions, Law, and Policy,

13

AL. ANDANG L. BINAWAN

penyangga ekokrasi. Sistem hukum internasional itu setidaknya seperti sistem
hukum internasional tentang hak-hak asasi manusia (lepas dari segala
kelemahan yang masih ada). Hanya, memang, di satu sisi betapa tidak
mudahnya membuat kesepakatan antar negara (yang notabene berarti antar
manusia!) dan di sisi lain menjadi makin jelas tidak mudahnya ‟bernegosiasi‟
dengan alam.
Tanjakan terakhir, atau tanjakan kelima, tidak lagi mempersoalkan
pertanyaan-pertanyaan filosofis. Pada ranah politis ini, seperti halnya