T1 232008130 Full text
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Ekonomi merupakan bidang ilmu yang sangat dekat dengan banyak aspek
dalam kehidupan menusia. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang baik
sangat diharapkan oleh negara dan masyarakat. Pertumbuhan yang baik ini dapat
dilihat dalam Gross Domestic Product (GDP) (Mankiw,2006).
Seiring berjalannya waktu, para ekonom menyadari bahwa nilai GDP tidak
mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya, seperti nilai kerusakan
lingkungan, biaya eksternalitas, dan sebagainya. Oleh karena itu, muncul konsep
Green GDP (2012; Ekonomi Hijau. Kompas, selasa 16 Oktober:12) yang
memasukkan nilai kerusakan dan perbaikan lingkungan dalam penghitungan
GDP.
Munculnya konsep Green Economy yang menghasilkan Green GDP pada
aras makro, juga berdampak pada aras mikro, salah satunya akuntansi. Ilmu
akuntansi mulai mengenal istilah Akuntansi Lingkungan, yang juga sering disebut
Akuntansi Hijau. Dalam bahasa inggris istilah ini sering disebut sebagai Green
Accounting atau Environmental Accounting (U.S. EPA;1995).
Green Accounting mencoba mencatat biaya lingkungan yang muncul dan
menyajikannya dalam laporan keuangan perusahaan. Baik Green GDP maupun
Green Accounting, keduanya muncul atas dasar kepedulian akan lingkungan
dengan tujuan menjamin tercapainya sustainable economy (Tunner et al;1993).
Sustainable economy memiliki konsep dasar menjamin keberlangsungan kegiatan
1
ekonomi pada masa depan. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan sangat
diperhatikan, agar tidak terjadi eksploitasi pada Sumber Daya Alam (SDA) yang
ada, yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan dan kelangkaan
SDA, sehingga generasi yang akan datang mengalami kesulitan dalam kegiatan
ekonominya.
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang sangat
banyak (http://www.indonesia.go.id/in/potensi-daerah/sumber-daya-alam, 2013).
Salah satu kekayaan alam ini adalah hutan yang sangat luas. Buku Statistik
Kehutanan Indonesia Kementerian Kehutanan 2011 yang dipublikasi pada Juli
2012 (dalam wwf.indonesia.go.id, 2012) menyatakan bahwa 52,3% luas wilayah
Indonesia merupakan hutan, sehingga Indonesia juga diakui sebagai paru-paru
dunia
(http://www.wwf.or.id/cara
anda
membantu/bertindak
sekarang
juga/mybabytree/, 2013). Kekayaan akan sumber daya hutan ini adalah aset
potensial bagi Indonesia baik untuk sumber daya industri maupun dalam
menghadapi kebijakan carbon trade, di mana hutan Indonesia dapat menjadi
penyerap karbon yang dihasilkan oleh Indonesia, dan sisa kapasitas yang ada
dapat digunakan untuk menyerap karbon yang dihasilkan oleh negara lain.
Pengelolaan sumber daya alam demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi
memang hal yang baik. Namun, apabila tidak dilakukan dengan bijak maka akan
berakibat buruk bagi perekonomian dan lingkungan alam Indonesia. (Robert,
1990) mengkritik negeri ini, “Indonesia telah meningkatkan pemborosan terusmenerus dengan menghabiskan cadangan minyak bumi, merusak hutan, dan
merusak tanah-tanah yang subur”. Bahkan, ia meramalkan bahwa pertumbuhan
2
ekonomi Indonesia akan jatuh hingga angka 4% jika hal ini terus dilakukan.
Bukan hal yang mustahil sekalipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun
2011 adalah 6,5% (Badan Pusat Statistik, 2011), perlu diingat pada tahun-tahun
sebelumnya PDB Indonesia sempat mencapai 5,48% pada tahun 2006 (Badan
Pusat Statistik, 2006).
Ramalan Reppeto sepertinya mulai mendekati kenyataan. Banyak sumber
daya alam yang mulai menipis cadangannya, dan sangat banyak lingkungan alam
Indonesia yang rusak akibat pertumbuhan industri yang kurang bijak.
Salah satu sumber daya alam yang mulai rusak adalah sumber daya hutan.
Iksan pada tahun 2008 dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Lingkungan
menulis dalam lima puluh tahun terakhir tutupan hutan Indonesia berkurang dari
162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Hal ini disebabkan berkembangnya
industri pengolahan kayu, yang seringkali terkesan asal dalam melakukan
penebangan. (Ginting, 2012) menyatakan “Kerusakan hutan ini dikarenakan
penebangan hutan yang terlalu cepat. Penebangan hutan yang cepat memang
menguntungkan bagi produksi, namun produsen juga seharusnya memikirkan
dampak buruknya seperti : kurangnya cadangan air bersih, kerusakan lingkungan
di sekitar hutan, dan lebih jauh lagi akan terjadi kelangkaan kayu karena hutan
kita habis ditebang”.
Berdasar pernyataan Ginting (2012) mengenai dampak buruk dari
kerusakan hutan yang disebabkan oleh penebangan kayu, maka idealnya
perusahaan juga bertanggung jawab terhadap perbaikan ataupun pencegahan
kerusakan lingkungan. Tanggung jawab ini muncul karena bagaimanapun,
3
perusahaan terhubung dengan pihak-pihak di luar perusahaan yang juga memiliki
kepentingan, dalam hal ini khususnya masyarakat sekitar perusahaan. Hubungan
antara perusahaan dengan masyarakat ini harus terbina dengan baik, sehingga
perusahaan perlu menyisihkan sebagian dana guna perbaikan lingkungan. Alokasi
dana tersebut sering kita dengar dengan istilah Corporate Environment
Responsibility (CER), di mana perusahaan memberikan alokasi dana untuk
perbaikan lingkungan.
CER merupakan salah satu upaya perusahaan membentuk a good
stakeholder
relationship
yang
berdasar
pada
stakeholder
theory
yang
dikemukakan Freeman pada tahun 1984 (dalam Daejong; 2011) di mana
perusahaan memiliki hubungan dengan pihak-pihak di luar perusahaan dan harus
mengatur bagaimana cara agar hubungan dapat terbina dengan baik.
Selain itu, CER merupakan bagian dari Green Accounting yang merupakan
rumpun dari Green Economy di mana bidang ekonomi berusaha memasukkan
pertimbangan-pertimbangan kearifan lingkungan dalam menetapkan biaya yang
akan diakui atau besarnya dana yang perlu disisihkan untuk perbaikan lingkungan.
Pada Green Accounting ilmu akuntansi berusaha menilai keefektifan kegiatan
konservasi berdasar ringkasan dan klasifikasi biaya konservasi lingkungan, serta
menyampaikan dampak negatif lingkungan, kegiatan konservasi-konservasi, dan
hasilnya kepada publik (US EPA, 1995) .
Peningkatan kerusakan lingkungan hutan menjadi topik yang hangat
diperbincangkan secara luas. Hal ini dikarenakan hutan memiliki potensi
penyerapan karbon, di mana masyarakat luas saat ini sedang berkomitmen untuk
4
menekan angka karbon dalam upaya menghadapi perubahan iklim. Pada tahun
1997 pemimpin-pemimpin negara di dunia berkumpul dan menandatangani
Protokol Kyoto yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Bali Roadmap pada
tahun 2007 (UNFCCC, 2012). Penandatangan Bali Roadmap menunjukkan
kesungguhan berbagai negara dalam menyelesaikan permasalahan perubahan
iklim, salah satu langkah yang diambil adalah menerapkan mekanisme biaya jasa
lingkungan, seperti Carbon trade.
Pada Carbon trade pihak yang menghasilkan karbon akan membayar
sejumlah dana sebagai kompensasi kepada pihak yang memiliki potensi menyerap
karbon, sedangkan pada pihak yang memiliki potensi penyerapan karbon akan
melakukan offset atas kemampuan serap karbon yang dimiliki dengan potensi
karbon yang dihasilkan. Selanjutnya apabila hasil offset perusahaan memiliki
surplus potensi serap karbon, maka perusahaan dapat menjual surplus potensi
serap karbon tersebut ke perusahaan lain yang mengalami defisit potensi serap
karbon ataupun perusahaan yang tidak memiliki potensi serap karbon. Sebaliknya,
apabila hasil offset perusahaan mengalami defisit serap karbon, maka perusahaan
akan membayar jasa lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki
surplus potensi serap karbon (UNFCCC, 2007).
Kemunculan kebijakan-kebijakan terkait karbon pada akhirnya berdampak
terhadap akuntansi. Bagaimana pengukuran, pengakuan, pencatatan, penyajian,
dan pengungkapan aspek-aspek terkait karbon dilakukan menjadi kerancuan bagi
para akuntan, khususnya di negara yang telah menerapkan kebijakan karbon
(KPMG, 2008).
5
Pada perusahaan yang memiliki potensi serap karbon, besarnya potensi
yang dimiliki akan dihitung pada awal periode pembukuan perusahaan, sehingga
perusahaan akan melakukan estimasi pada awal periode atas besarnya potensi
serap karbon tersebut. Selanjutnya perusahaan akan mengetahui pada akhir
periode besarnya potensi karbon yang dihasilkan, lalu melakukan offset.
Mekanisme pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan penyajian terkait karbon ini
disebut Accounting for Carbon (KPMG, 2008).
Penelitian ini lebih berfokus kepada aspek-aspek yang muncul akibat
penebangan pohon. Penebangan pohon dapat mengakibatkan hilangnya potensi
pohon dalam menyerap karbon di udara. Apabila nilai karbon di udara tinggi
maka dapat mengakibatkan penurunan kesehatan masyarakat sekitar perusahaan
(Kompas, 2004. Biaya kesehatan membengkak akibat polusi, 10 Juni) dan
meningkatkan lubang ozon di udara dalam jangka panjang.
Peneliti memilih topik ini, karena berdasar laporan BBC Indonesia dalam
(http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hutanindo.sht
ml), sekalipun Indonesia meduduki peringkat delapan negara dengan luas hutan
terbesar, namun saat ini laju kerusakan hutan Indonesia menduduki peringkat dua
dunia.
Laju kerusakan hutan ini berdampak pada kemampuan hutan dalam
menyerap karbon yang terkandung di udara. Apabila penebangan yang kurang
bertanggung jawab terus dibiarkan maka akan menambah tingkat kerusakan
udara, yang akan menyebabkan tingkat karbon di udara meningkat, sehingga
masyarakat akan mengalami kerugian finansial. Kerugian finansial ini diakibatkan
6
meningkatnya biaya pengobatan karena karbon dapat menimbulkan keracunan
yang menyebabkan kerusakan pada otak, ataupun penurunan kesehatan secara
umum akibat kualitas udara yang kurang baik (Kompas, 2004. Biaya kesehatan
membengkak akibat polusi, 10 Juni) dan memungkinkan terbentuknya lubang
ozon dalam jangka panjang. Selain itu, berdasar penelitian pendahuluan oleh
KPMG UK (2008) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negara yang
menerapkan kebijakan carbon tax ataupun carbon trade mengalami kerancuan
dalam pencatatan transaksi terkait karbon, hal ini dikarenakan sejauh ini belum
terdapat standar dalam IFRS yang mengatur transaksi terkait karbon. Oleh sebab
itu, penelitian ini mencoba melihat kemungkinan-kemungkinan pengakuan dan
penyajian yang diijinkan oleh PSAK apabila perusahaan menerapkan kebijakan
pembayaran jasa karbon. PSAK yang digunakan sebagi dasar penelitian oleh
penulis adalah PSAK yang telah mengadopsi IFRS berdasar pada principle based.
Principle based pada PSAK yang telah mengadopsi IFRS lebih dipilih
karena penyajian akuntansi lingkungan di Indonesia masih bersifat voluntary.
Sifat voluntary pada PSAK ini menyebabkan terdapatnya beberapa potensi
perlakuan akuntansi atas karbon. Meskipun masih bersifat voluntary pada
penyajian akuntansi lingkungan, namun keijakan perdagangan karbon sudah
bersifat mandatory di negara-negara Eropa maupun Australia (KPMG, 2008).
Oleh karena kebijakan perdagangan karbon masih menjadi suatu kebijakan yang
bersifat voluntary di Indonesia maka standar perlakuan akuntansi dalam
pengukuran, pengakuan, penyajian, dan pengungkapan terkait
7
transaksi
perdagangan karbon dapat berbeda-beda bergantung pada interpretasi masingmasing individu .
Pada penelitian ini peneliti membatasi perhitungan kerusakan lingkungan
pada besarnya potensi serap karbon yang hilang akibat penebangan pohon, dan
tidak memperhitungkan emisi karbon lain pada keseluruhan proses produksi. Pada
penelitian ini dipilih PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk sebagai objek penelitian
karena PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk merupakan salah satu perusahaan
kehutanan yang besar di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU no. 20 tahun
2008, di mana total aset PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk per September 2013
sebesar Rp3.234.163.000.000,- dan omzet mencapai Rp3.564.592.000.000,- pada
tahun 2012, serta memiliki cabang di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, maka
PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk terkategorikan usaha besar.
Dengan dasar permasalahan lingkungan di atas, besarnya dampak
kerusakan lingkungan, beban yang ditanggung masyarakat atas kerusakan
lingkungan sebagai akibat penebangan pohon, serta metode dalam Accounting for
Carbon yang masih dalam tahap penelitian, maka dalam penelitian ini akan dibuat
usulan alternatif mengenai pengukuran, pengakuan, serta penyajian aspek-aspek
terkait karbon dengan mengacu pada konsep Accounting for Carbon yang telah
diterapkan di Eropa dan Australia, dengan berdasar pada PSAK. Usulan yang
diajukan dapat berimplikasi terhadap pengukuran, pengakuan, penyajian, maupun
pengungkapan kebijakan karbon pada perusahaan non kehutanan, karena pada
dasarnya
aktivitas
operasional
perusahaan
dalam
bidang
apapun
akan
menghasilkan karbon, seperti : aktivitas operasional mesin dan transportasi yang
8
terdapat juga pada perusahaan non kehutanan. Namun pada penelitian ini dibatasi
pembahasan sebatas pada perusahaan kehutanan dikarenakan keterbatasan
peneliti.
Pemilihan topik ini, dikarenakan mekanisme Accounting for Carbon masih
menjadi topik yang sering diperbincangkan di Indonesia dan internasional, maka
peneliti melihat adanya kemungkinan untuk meneliti kemungkinan pengukuran,
pengakuan, dan penyajian atas kegiatan Carbon Trade di Indonesia dengan
berdasar pada prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.
PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini
adalah: (1) bagaimana metode pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan
penyajian atas aspek-aspek terkait karbon tersebut dalam Carbon
Accounting; (2) Bagaimana dampak penyajian aspek-aspek terkait karbon
tersebut terhadap laporan keuangan perusahaan dan rasio likuiditas,
solvabilitas, dan rentabilitas perusahaan?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian yang akan dibahas oleh penulis adalah: (1)
Untuk mengetahui bagaimana pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan
penyajian provisi dengan konsep Carbon Accounting; (2) Untuk
mengetahui dampak penyajian aspek-aspek terkait karbon tersebut
terhadap laporan keuangan perusahaan dan rasio likuiditas, solvabilitas,
dan rentabilitas perusahaan.
9
MANFAAT PENELITIAN
Bagi pihak Pembaca
Sebagai
bahan
masukan
untuk
memberi
gambaran
mengenai
penghitungan dan offset aspek-aspek karbon serta pengukuran,
pengakuan, pencatatan, dan penyajian Carbon Accounting.
Bagi Perusahaan Penebangan Pohon
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai
pentingnya memasukan aspek-aspek terkait karbon pada laporan
keuangan, serta dapat memberikan gambaran cara penghitungan
besarnya aspek-aspek karbon dan penyajiannya dalam laporan
keuangan dengan implementasi Carbon Accounting.
Bagi Perusahaan lain yang berpotensi berkontribusi dalam kerusakan
lingkungan
Penelitian ini diharap dapat memberi gambaran bagaimana pengakuan,
penyajian, dan pengungkapan aspek-aspek kerusakan lingkungan dalam
laporan keuangan perusahaan, khususnya karbon.
Bagi Pemerintah dan Ikatan Akuntan Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan masukan
mengenai pentingnya mengakui aspek-aspek terkait karbon, bagaimana
pengakuan, penyajian, dan pengungkapan Carbon Accounting, serta
membuka peluang membuat peraturan yang mengatur penerapan
pengakuan, penyajian, dan pengungkapan aspek-aspek tersebut apabila
10
dimungkinkan untuk dilaksanakan. Selain itu, penelitian ini diharap
dapat membantu pemerintah dalam menyusun peraturan ataupun
program dalam rangka menyelamatkan lingkungan alam Indonesia,
khususnya
lingkungan
hutan
dalam
menghadapi
permasalahan
perubahan iklim.
KERANGKA TEORI
Green Gross Domestic Product (Green GDP)
GDP adalah indikator yang digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi suatu negara (Arifin & Hadi, 2009:11). Sedangkan Green GDP adalah
GDP yang nilainya mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil
kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah (2012;Ekonomi hijau.
Kompas, Selasa 16 Oktober:12).
Green GDP ini bertujuan menghasilkan nilai barang yang sudah benarbenar mencerminkan nilai ekonomi barang sebenarnya. Karena itu dalam Green
GDP aspek kerusakan lingkungan serta perbaikan lingkungan dipertimbangkan
dalam menetapkan nilai ekonomi barang tersebut. Green GDP dapat dihitung
dengan rumus penghitungan sebagai berikut :
Green GDP = GDP – nilai kerusakan lingkungan + nilai perbaikan
lingkungan (Zhisen;2012)
11
Green Accounting (Environmental Accounting)
Green accounting sebagaimana dijelaskan oleh Cooper (1992) dalam buku
The Introduction of Green Accounting, however well thought, will, under the
present phallogoentric system of accounting, do nothing to avert today’s
environmental crisis. In fact, it could make matters even worse.
Environmental accounting is the context of national income accounting
refers to natural resource accounting, which can entail statistics about a nation’s
or region’s consumption, extent, quality, and value of natural resources, both
renewable and non-renewable. Environmental accounting in the context of
financial accounting usually refers to preparation of financial reports for external
audiences using Generally Accepted Accounting Principles. Environmental
accounting as an aspect of management accounting serves business managers in
making capital investment decisions, costing determinations, process/product
design decisions, performance evaluations, and a host of other forward-looking
business decisions. (U.S. EPA;1995, dalam Ikhsan; 2009)
Berdasar definisi di atas, (Iksan;2008) mendefinisikan bahwa akuntansi
lingkungan adalah proses menggambarkan biaya-biaya lingkungan supaya
diperhatikan
oleh
stakeholders
perusahaan
yang
mampu
mendorong
pengidentifikasian cara-cara mengurangi atau menghindari biaya-biaya ketika
pada waktu yang bersamaan sedang memperbaiki kualitas lingkungan.
Akuntansi hijau atau akuntansi berwawasan lingkungan mencoba
memasukkan nilai-nilai kearifan lingkungan dalam pencatatan akuntansi. Nilainilai kearifan lingkungan yang dicatat dalam laporan keuangan perusahaan akan
12
diakui sebagai biaya. Dalam penelitian ini ada beberapa konsep biaya terkait
lingkungan yang digunakan sebagai dasar teori, yaitu:
Provisi (Kewajiban diestimasi)
Provisison is a liability of uncertain timing or amount (sometimes
referred to as an estimated liability). (Weygant,2011)
Kewajiban diestimasi adalah kewajiban yang waktu dan jumlahnya
belum pasti. (PSAK 57,2009)
Secara garis besar dapat dikatakan provisi adalah kewajiban yang
memiliki kriteria belum pasti besar nilainya atau waktu jatuh temponya,
namun salah satu kriteria dapat diestimasi dengan andal. Provisi dapat
diakui sebagai kewajiban jangka panjang ataupun jangka pendek, dan
harus disajikan dalam laporan keuangan di neraca.
Pendapatan
Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul
dari aktivitas normal perusahaan apabila arus masuk mengakibatkan
kenaikan ekuitas yang tidak timbul dari kontribusi penanaman modal
(PSAK 23)
(Dyckman;2004) menulis berdasar dari sumber pendapatan, akuntansi
mengenal dua jenis pendapatan, yaitu:
1. Pendapatan operasional
Pendapatan operasional adalah pendapatan yang diperoleh dari
usaha pokok perusahaan, yaitu penjualan barang dan/atau
pemberian jasa yang bersifat rutin.
13
2. Pendapatan non operasional
Pendapatan non operasional adalah pendapatan yang diperoleh
perusahaan di luar usaha pokok.
Secara spesifik PSAK 32 (2009) mendefinisikan pendapatan operasional
pada perusahaan kehutanan sebagai pendapatan dari penjualan hasil
hutan, baik berupa olahan kayu, hasil tebangan, maupun hasil hutan
lainnya.
Biaya
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan
uang, yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi untuk tujuan
tertentu, sehingga biaya dalam arti luas diartikan sebagai pengorbanan
sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva. (IAI/SAK 2009)
Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk
mendapat barang atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat saat ini
atau di masa yang akan datang bagi organisasi (Hansen&Mowen 2006)
Berdasar alokasinya, biaya dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis
biaya, yaitu:
1. Harga Pokok Penjualan
Harga
Pokok
Penjualan
adalah
keseluruhan
biaya
untuk
memperoleh atau mendapatkan barang yang dijual. Apabila barang
yang dijual dibuat sendiri oleh perusahaan (manufaktur), sebelum
harga pokok penjualan ditetapkan, maka dihitung lebih dahulu
besarnya harga pokok produksi – seluruh biaya yang dikeluarkan
14
untuk membuat atau memproduksi barang yang akan dijual, baik
biaya bahan yang dipakai, tenaga kerja, maupun biaya overhead
pabrik.
2. Biaya Operasi
Biaya operasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
membiayai aktivitas operasi perusahaan baik administrasi maupun
penjualan. Biaya ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a.
Biaya Penjualan, yaitu biaya yang dikeluarkan dan terkait
dengan kegiatan penjualan.
b.
Biaya Administrasi Umum, yaitu biaya yang dikeluarkan dan
terkait dengan kegiatan di bagian kantor (administrasi
umum).
3. Biaya di luar usaha (non-operating)
Biaya di luar usaha adalah biaya-biaya yang timbul dari aktivitasaktivitas di luar usaha utama perusahaan.
Beban
Sinamora (1995) mendefinisikan beban sebagai biaya yang terpakai
(expired cost), sedangkan dalam kerangka dasar penyusunan dan
penyajian laporan keuangan (PSAK, 2007) beban didefinisikan sebagai
penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban
yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut
pembagian kepada penanam modal.
15
PSAK 32, 2007
1.
Harga pokok produksi kayu tebangan dan hasil hutan lainnya
meliputi beban yang terjadi dalam hubungannya dengan kegiatankegiatan seperti: perencanaan, penanaman, pemeliharaan, dan
pembinaan hutan, pengendalian kebakaran, dan pengamanan
hutan, pemungutan hasil hutan, pemenuhan kewajiban terhadap
negara, pemenuhan kewajiban lingkungan dan sosial, serta
pembangunan sarana dan prasarana.
2.
Pada Hutan Tanaman Industri (HTI), beban umum dan
administrasi yang tidak berkaitan dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, dan pembinaan hutan dibukukan sebagai beban
umum dan administrasi.
Aset tak berwujud
Aset tak berwujud adalah aktiva tak lancar (noncurrent asset) dan tak
berbentuk yang memberikan hak keekonomian dan hukum kepada
pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah
dalam klasifikasi aktiva yang lain (PSAK 19,2010)
Aset kontijensi
Aset kontijensi adalah aset potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu
dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu
peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada
dalam kendali perusahaan. (PSAK 57,2009)
16
Sumbangan Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR menurut ISO 26000 adalah tanggung jawab sebuah organisasi
terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatankegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan
berkelanjutan
dan
kesejahteraan
masyarakat,
mempertimbangkan
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan
dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan
organisasi secara menyeluruh (Marlia&Hidayat,2008).
Sedangkan definisi CSR menurut Institute of Chartered Accountants,
England and Wales, CSR adalah jaminan bahwa organisasi-organisasi
pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan
lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham
mereka (Marlia&Hidayat,2008).
Accounting for Carbon
Accounting for Carbon adalah akuntansi yang mencoba memasukkan
biaya-biaya terkait karbon ke dalam laporan keuangan perusahaan, guna
menghasilkan sustainability reporting. Akuntansi untuk karbon belum memiliki
standar yang baku dalam melakukan pengakuan, pencatatan, dan penyajian pada
laporan keuangan baik di Indonesia maupun internasional. Sedangkan dalam hal
pengukuran (Carbon Accounting), saat ini hanya ada satu standar pengukuran
karbon yang diakui oleh UNFCCC. Standar pengukuran karbon tersebut adalah
17
standar nasional yang dimiliki oleh Australia, yaitu NCAS (National Carbon
Accounting Standards).
Dalam Accounting for Carbon terdapat beberapa teori yang mendasari
pengukuran dan penyajian laporan keuangan, yaitu:
Carbon Accounting
Carbon accounting is the process by which organizations account for
and report on their greenhouse gas emissions (Prosser,2013).
Carbon accounting refers generally to processes undertaken to measure
amounts of carbon dioxide equivalents emitted by an entity (Wikipedia).
Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bahwa carbon accounting adalah
suatu proses pengukuran emiten karbon yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan.
Exit Price Accounting
Palea (2013) menjelaskan bahwa Exit Price Acounting adalah gabungan
konsep dari Chambers (1966,1975), Sterling (1970), dan MacNeal (1970)
yang mengukur aset dengan nilai realisasi atas penjualan aset tersebut
dengan harga jual yang berlaku pada umumnya.
Sustainability Report
Sustainability report adalah laporan publik di mana perusahaan
memberikan gambaran posisi dan aktivitas perusahaan pada aspek
ekonomi, lingkungan, dan sosial kepada stakeholders internal dan
eksternal (World Business Council for Sustainable Development;2002).
18
Berdasar konsep-konsep di atas, penelitian ini mencoba membuat
kerangka teoritis dalam penghitungan besarnya kemampuan serap karbon atas
kepemilikan pohon, potensi serap karbon yang hilang akibat penebangan pohon,
di mana potensi karbon yang hilang akan diakui sebagai emiten yang muncul
akibat kegiatan operasional perusahaan yang pada akhirnya proses offset atas
kepemilikan potensi serap karbon serta karbon yang dihasilkan (emiten akibat
penebangan pohon) diukur, diakui, dicatat, dan disajikan dengan beberapa
alternatif, sebagaimana dimungkinkan dengan berdasar pada PSAK. Pada
penelitian ini pengakuan, pencatatan, dan penyajian terkait karbon akan dibahas
dengan sudut pandang pencatatan yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki
kapasitas penyerapan karbon yang akan melakukan offset pada akhir periode,
sehingga terdapat dua kemungkinan pencatatan yaitu: pada kondisi surplus atau
defisit potensi serap karbon. Pembahasan pada penelitian ini juga mencakup
pencatatan jurnal yang memungkinkan untuk dilakukan dengan berpijak pada
PSAK. Pelaporan aspek-aspek terkait karbon, yang terkait lingkungan hidup ini,
didasari oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 yang
menyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan,
khususnya bagi industri di mana lingkungan hidup memegang peranan penting.
Dalam siklus akuntansi, dilakukan prosedur mengukur, mengakui,
mencatat, dan menyajikan. Akun-akun di atas terkait dalam hal pengakuan,
pencatatan, dan penyajian. Dalam hal pengukuran, sistem akuntansi mengenal
beberapa metode pengukuran, salah satunya yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pengukuran Exit Price accounting yang diungkapkan
19
oleh Edwards & Bells (1961) dalam Zeff (2010) yaitu sistem yang menggunakan
harga jual pasar khusus untuk mengukur posisi keuangan perusahaan dan kinerja
keuangan. Metode ini dipilih karena PSAK 57 menyatakan bahwa provisi ataupun
aset kontijensi harus dapat diestimasi secara andal, oleh karena itu dalam
melakukan estimasi digunakan harga pasar terbaru atas karbon.
Pada penelitian ini, harga jual pasar yang digunakan adalah nilai tukar
carbon terhadap satuan moneter (USD) yang berlaku dalam Carbon Trading.
Carbon Trading atau sering diartikan sebagai perdagangan karbon dapat
didefinisikan sebagai menjual kemampuan pohon yang dapat menyerap karbon
dioksida dalam rangka menekan keberadaan karbon dioksida itu sendiri di
atmosfer untuk mengurangi pemanasan global (Razak, 2008).
NALAR KONSEP
Akuntansi
Lingkungan
Biaya
Operasional +
Lingkungan
Perdagangan
karbon
Akuntansi
karbon
Potensi serap
karbon
Offset
Potensi emiten
karbon
Surplus
Defisit
Jual sisa potensi
serap karbon
Bayar jasa lingkungan
serap karbon
Bagan 1
Nalar Konsep Penelitian
20
Akuntansi konvensional menekankan pada pencatatan transaksi atas
kegiatan operasional perusahaan. Pada perkembangannya, akuntansi terus
berkembang mengikuti perubahan zaman. Hal yang sama juga terjadi pada
Akuntansi lingkungan. Akuntansi lingkungan mulai berkembang dengan
memasukkan unsur-unsur lingkungan ke dalam pencatatan laporan keuangan.
Pada era saat ini, isu yang sedang populer di masyarakat adalah
perdagangan karbon, yang pada akhirnya berdampak pada laporan keuangan
perusahaan. Bagaimana perusahaan dapat mengukur, mengakui, dan menyajikan
transaksi-transaksi terkait perdagangan karbon menjadi pertanyaan besar para
akuntan. Pertanyaan ini akhirnya dijawab dengan melakukan pencatatan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku di masing-masing negara dikarenakan
belum ada prinsip yang baku yang mengatur mengenai transaksi atas perdagangan
karbon. Pencatatan akuntansi atas perdagangan karbon pada akhirnya lebih
populer dengan sebutan Accounting for carbon.
Pada penelitian ini nalar konsep yang dibuat mengacu pada kerangka
konseptual yang diberikan oleh FASB. Pada kerangka kerja konseptual tersebut
terdapar tiga tingkat, yaitu: tingkat pertama yang membahas tentang tujuan dan
sasaran akuntansi, tingkat kedua yang membahas karakteristik kualitatif dan
unsur-unsur laporan keuangan, dan tingkat ketiga yang membahas bagaimana
konsep pengakuan dan pengukuran laporan keuangan.
Mengacu pada kerangka konseptual tingkat pertama, tujuan dari penyajian
aspek-aspek karbon pada laporan keuangan adalah berguna untuk menilai arus kas
21
pada masa depan, mengetahui klaim atas sumber daya perusahaan dan
perubahannya, serta menyediakan informasi terkait apek-aspek karbon tersebut
kepada pengguna laporan keuangan.
Pada tingkat kedua, terdapat kualitas primer dan sekunder, di mana
kualitas primer terdiri dari relevansi dan reliabilitas informasi yang disajikan
diharapkan berguna bagi pengguna informasi keuangan dalam mengambil
keputusan. Penyajian aspek-aspek karbon pada laporan keuangan dinilai relevan
karena dapat mempengaruhi keputusan pengguna laporan keuangan, dengan
mempertimbangkan besaran emiten karbon yang telah dihasilkan dibanding
dengan potensi serap karbon yang dimiliki perusahaan. Selain itu, dinilai reliable
karena informasi yang disajikan dapat diverifikasi dan disajikan secara tepat
sehingga informasi tersebut dapat digunakan dengan andal.
Kualitas sekunder terdiri dari komparabilitas dan konsistensi, di mana pada
nalar konsep ini informasi terkait aspek karbon dapat dibandingkan dengan
laporan keuangan yang juga telah menerapkan akuntansi karbon seperti di
Australia ataupun beberapa negara di Eropa meskipun besar nilai harga pasar
karbon berbeda pada tiap-tiap negara. Sedangkan konsistensi pada konsep
perlakuan akuntansi karbon, tercermin pada penyusunan metode pengukuran
aspek-aspek karbon hingga penyajian, sehingga terdapat dasar dan acuan yang
jelas dalam perlakuan akuntansi karbon demi menjaga konsistensi metode
penyajian laporan keuangan.
22
Pada tingkat ketiga yang mengatur bagaimana pengakuan dan pengukuran,
aspek-aspek karbon diukur dengan menggunakan metode exit price yang
menggunakan harga pasar, sehingga nilai aspek karbon dapat diestimasi dengan
andal. Sedangkan pada pengakuan aspek-aspek karbon digunakan PSAK sebagai
dasar acuan pengakuan dan penyajian aspek karbon pada laporan keuangan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai nalar konsep pengukuran, pengakuan, dan
penyajian aspek karbon disajikan pada penjelasan dan bagan bagi masing-masing
proses sebagai berikut:
Dalam mengukur nilai aspek-aspek terkait karbon, terlebih dahulu dihitung
nilai surplus atau defisit karbon, di mana dilakukan offset antara potensi serap
karbon dangan emiten karbon yang dihasilkan. Proses offset adalah proses saling
hapus (PSAK 55) yang biasa digunakan dalam penghitungan aset derivatif dan
tanggungan. Dalam hal ini kewajiban yang dimiliki akan dikurangi aset yang
dimiliki.
Pada penelitian ini, yang digunakan adalah metode Exit Price. Metode Exit
Price adalah metode di mana nilai moneter karbon diperoleh dengan
menggunakan nilai tukar yang berlaku di pasar pada program Carbon Trading.
Nilai moneter karbon yang diukur termasuk bagian dari carbon accounting,
sementara carbon accounting itu sendiri merupakan keberlanjutan dari
pengimplementasian Green Accounting. Penggunaan nilai moneter karbon dalam
pengimplementasian aspek-aspek terkait karbon tersebut tentunya akan memberi
dampak terhadap laporan keuangan perusahaan serta rasio-rasio keuangan
23
perusahaan. Pengukuran yang dilakukan disajikan dalam bagan nalar konsep
pengukuran sebagai berikut:
Akuntansi
Lingkungan
Pengeluaran
Operasional +
Lingkungan
Akuntansi
Karbon
Perdagangan
karbon
Pengukuran
Potensi serap
karbon
Offset
Bagan 2
Nalar Konsep Pengukuran
24
Potensi emiten
karbon
Dalam mengakui pengeluaran maupun penghasilan terkait akuntansi
karbon, pada penelitian ini menggunakan akun-akun penghasilan di luar usaha,
beban, maupun provisi yang berdasar pada PSAK. Nalar konsep pengakuan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut:
Hasil pengukuran
Surplus
Defisit
Jual sisa potensi
serap karbon
Bayar jasa lingkungan
serap karbon
Pengakuan
Sebagai Penghasilan di
luar usaha
Sebagai Beban di luar
usaha dan Provisi
Bagan 3
Nalar Konsep Pengakuan
25
Setelah melakukan pengukuran dan pengakuan maka akun-akun yang telah
diakui pada akhirnya akan disajikan dalam laporan keuangan perusahaan. Akun
penghasilan di luar usaha dan beban di luar usaha akan disajikan pada laporan Laba/Rugi,
sedangkan akun provisi akan disajikan pada laporan posisi keuangan perusahaan. Nalar
konsep atas penyajian pada penelitian ini disajikan dalam bagan sebagai berikut:
Surplus
Defisit
Penghasilan di luar usaha
dicatat pada posisi (K), dan
kas atau piutang pada posisi
(D)
Beban di luar usaha dicatat
pada posisi (D), sedangkan kas
atau provisi dicatat pada posisi
(K)
Penyajian
Lap. L/R:
Laporan arus kas:
Penghasilan di luar
usaha
Pengeluaran kas
atas beban di luar
usaha
Beban di luar
usaha
Penerimaan kas
atas penghasilan di
luar usaha
Bagan 4
Nalar Konsep Penyajian
26
Laporan Posisi
Keuangan:
Provisi
METODE, OBJEK PENELITIAN, DAN LANGKAH ANALISIS DATA
METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, digunakan metode penelitian studi kasus.
Metode penelitian studi kasus menurut Robert K Yin (1996) adalah pencarian
pengetahuan secara empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks
kehidupan nyata, bilamana: batas-batas antara fenomena dan konteks tidak
tampak dengan tegas, dan bilamana multisumber digunakan. Dooley (2005)
menjabarkan bahwa penelitian studi kasus adalah salah satu metode yang unggul
dalam membawa kita untuk memahami masalah yang kompleks dan dapat
menambah kekuatan untuk apa yang sudah diketahui melalui penelitian
sebelumnya.
Jenis studi kasus pada penelitian ini adalah studi kasus instrumental, di
mana kasus dalam penelitian bertujuan memberikan pemahaman mendalam atau
menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dalam penelitian ini, kasus
diposisikan sebagai alat guna memperjelas pemahaman suatu hal yang dipelajari.
Pada penelitian ini penekanan pemahaman yang dipelajari adalah mengenai
perlakuan akuntansi terhadap karbon, khususnya pada perusahaan sektor
kehutanan.
27
JENIS DAN SUMBER DATA
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu: data kandungan karbon hutan jati (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang
Kehutanan, Desember 2010, Carbon Stocks on Various Type of Forest and
Vegetation in Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim
dan Kebijakan, Bogor.), data nilai tukar pasar karbon pada program carbon
trading (Siikamäki et al., 2012), data nilai kurs tengah Bank Indonesia (BI) per 21
Januari 2014, dan laporan keuangan PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk tahun
2013, data hasil penelitian KPMG (2008). Data-data yang digunakan dalam
penelitian ini bersumber dari jurnal-jurnal dan hasil-hasil riset ilmiah yang
dipublikasikan. Data-data yang digunakan pada penelitian dapat diakses melalui:
Tabel 1
Sumber Data:
1
Nilai kurs US$ terhadap
www.bi.go.id
rupiah
2
Nilai GDP Indonesia
www.bps.go.id
3
Potensi Sumber Daya Alam www.indonesia.go.id
Indonesia
4
Nilai Green GDP Indonesia
28
www.worldbank.org
OBJEK PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk. PT.
Dharma Satya Nusantara, Tbk resmi beroperasi secara komersial sejak April 1985
dan bergerak di bidang industri perkayuan terpadu, tanaman perkebunan, dan
agro. Perseroan ini berkantor pusat di Gedung Sapta Mulia, Jl. Rawa Gelam V
Kav. OR 3B, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta. Perseroan ini juga memiliki
pabrik di Gresik, Surabaya, Lumajang, Purwokerto, Temanggung, Muara Wahau,
dan Nangabulik. Pada tahun 2012, perseroan mengadakan kerjasama guna
memperoleh hak guna atas areal lahan seluas 1.770 hektare (Laporan Keuangan
Konsolidasian 2013 PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk).
LANGKAH-LANGKAH ANALISA DATA
Langkah-langkah analisa data adalah sebagai berikut:
a)
Melakukan pengukuran aspek-aspek terkait karbon dengan dua
skenario, yaitu: surplus dan defisit.
b)
Menganalisa kemungkinan-kemungkinan pengakuan dan pencatatan
aspek-aspek terkait karbon atas dua skenario pada poin (a) dengan
mengacu pada PSAK 19, 23, 32, 57.
c)
Menganalisa dampak dalam pengakuan dan penyajian aspek-aspek
terkait karbon dalam laporan keuangan dan rasio keuangan
perusahaan.
29
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini melakukan analisa pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan
penyajian aspek-aspek terkait karbon. Selanjutnya, penelitian ini mencoba
menganalisa dampak atas pengakuan, pencatatan, dan penyajian aspek-aspek
tersebut terhadap rasio likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas. Secara garis besar,
perlakuan terhadap pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan penyajian dibahas
sebagai berikut:
PENGUKURAN
Dalam penelitian ini, pengukuran aspek-aspek terkait karbon harus
dilakukan dengan andal. Karena nilai yang dihasilkan, nantinya akan diakui oleh
perusahaan sebagai beban atau biaya tanggung jawab lingkungan perusahaan.
Selain itu, metode dalam menghitung besarnya nilai aspek-aspek terkait karbon
tersebut juga akan diajukan sebagai acuan estimasi oleh perusahaan dalam
menghitung besarnya nilai karbon pada periode yang akan datang. Dalam
melakukan pengukuran, dilakukan beberapa langkah:
1.
Mengukur kandungan karbon per tegakan pohon jati berdasar
kelompok usia.
Dalam melakukan pengukuran besarnya aspek-aspek karbon, besarnya
kemampuan pohon jati dalam menyerap karbon perlu diketahui. Mber
Kemampuan pohon jati dalam menyerap karbon ini selanjutnya akan
digunakan sebagai dasar dalam mengakui besarnya kemampuan
30
penyerapan karbon yang hilang saat pohon tersebut ditebang. Data
yang digunakan sebagai acuan berdasar data cadangan karbon pada
berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia hasil riset Tim
Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, Desember 2010, yang
tersaji dalam tabel berikut:
Umur pohon
(Tahun)
1
Jumlah pohon/Ha
(Batang)
3.818
Kandungan karbon/Ha
(Kg C/Ha)
5.408,50
10
913
41.137,10
20
482
61.533,80
30
324
76.066,30
40
243
87.897,50
50
195
98.631,20
60
164
109.092,50
70
142
119.077,10
80
127
130.160,20
Tabel 2
Kandungan Karbon Hutan Jati (Kg/Ha):
Sumber: Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, Desember 2010,
Carbon Stocks on Various Type of Forest and Vegetation in Indonesia, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor.
2.
Menetapkan asumsi mengenai harga pasar perdagangan emisi
Setelah mengetahui besarnya kemampuan penyerapan karbon yang
hilang akibat penebangan pohon jati, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan asumsi harga pasar perdagangan emisi. Langkah ini
dilakukan karena harga pasar perdagangan emisi akan digunakan
untuk mengonversi besarnya potensi penyerapan karbon yang hilang
ke dalam satuan moneter. Dalam penelitian ini harga yang digunakan
adalah harga pasar hak emisi pada perdagangan emisi sebesar
USD10/ton C (Perdagangan Karbon, 27 Agustus 2007, Walhi Bali)
31
3.
Menetapkan asumsi kurs yang digunakan
Setelah mendapatkan nilai karbon yang telah dikonversi dalam satuan
moneter pada langkah kedua, maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan asumsi kurs rupiah terhadap USD yang akan digunakan.
Hal ini dilakukan, mengingat nilai moneter yang didapat pada langkah
kedua masih dalam satuan moneter USD, karena itu perlu untuk
dikonversi ke dalam satuan moneter rupiah. Dalam menetapkan
asumsi kurs rupiah terhadap USD, kurs yang digunakan pada
penelitian ini adalah kurs tengah Bank Indonesia per 21 Januari 2014
dengan nominal Rp. 12.122,- (Web BI, 2014).
4.
Menetapkan usulan formula penghitungan aspek-aspek karbon
Berdasar penjelasan-penjelasan di atas, maka dalam menghitung
aspek-aspek terkait karbon, dilakukan penghitungan dengan usulan
formula sebagai berikut:
∑
Keterangan:
Y= Provisi
= jumlah pohon kategori usia....
= nilai kemampuan serap karbon pohon kategori usia....
p= harga pasar karbon
b= kurs terkini
32
5.
Penghitungan aspek-aspek Lingkungan pada PT. Dharma Satya
Nusantara, Tbk.
Langkah-langkah yang telah dilakukan di atas pada akhirnya akan
menghasilkan suatu nilai dengan satuan moneter rupiah yang selanjutnya akan
diakui dan disajikan dalam laporan keuangan perusahaan. Agar lebih jelas dalam
pengaplikasian langkah-langkah yang telah dijelaskan di atas, maka akan
diilustrasikan sebuah studi kasus pengukuran estimasi potensi serap karbon.
Estimasi ini menggunakan data lahan milik PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk
seluas 1.770 Ha (Lampiran 1), dengan asumsi seluruh lahan ditanami pohon jati
dengan dua kategori usia rata-rata umur tegakan pohon 10 tahun seluas 1.000
hektare, dan 770 hektare dengan perkiraan rata-rata umur tegakan pohon 30 tahun.
Pada pengukuran ini, terdapat dua skenario:
1. Pada skenario pertama (surplus), apabila bulan ini perusahaan sudah
mengelola hutan seluas 200 hektare untuk kategori tegakan berusia 10 tahun,
dan 300 hektare untuk kategori tegakan berusia 30 tahun. Maka untuk dapat
menentukan besarnya biaya kewajiban lingkungan akan digunakan model
penghitungan: (jumlah hektare yang sudah dikelola x jumlah cadangan
karbon) x harga pasar emisi x nilai kurs USD-IDR
Contoh penghitungan yang diajukan dalam penelitian ini :
a. Penghitungan kepemilikan potensi serap karbon
∑
Y = ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,-
33
Y = 99.708.151KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = Rp.12.086.622.060,-
Total kepemilikan potensi serap karbon = Rp12.086.622.060,b. Mengitung emiten karbon yang dihasilkan
∑
Y = ((200Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (300Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = 31.047.310KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = Rp. 3.763.554.918,-
Total emiten karbon = Rp. 3.763.554.918,c. Offset potensi serap karbon dengan emiten karbon
Surplus potensi serap karbon = potensi yang dimiliki – emiten yang
dihasilkan
Surplus potensi serap karbon = Rp 12.086.622.060,- -Rp 3.763.554.918,Surplus potensi serap karbon = Rp 8.325.067.148,2. Pada skenario kedua (defisit), diasumsikan perusahaan telah melakukan
pengelolaan pada seluruh lahan yang dimiliki, dan perusahaan telah
menghitung potensi karbon yang muncul akibat proses penebangan sebesar Rp
2.000.000.000,-. Maka perusahaan akan melakukan penghitungan aspek-aspek
karbon sebagai berikut:
a) Penghitungan kepemilikan potensi serap karbon
∑
Y = ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = 99.708.151KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,-
34
Y = Rp.12.086.622.060,-
Total kepemilikan potensi serap karbon = Rp 12.086.622.060,Potensi serap karbon yang dimiliki akan dikurs dengan mata uang
fungsional rupiah, dengan kurs tengah BI per 21 Januari 2014 sebesar Rp
12.122,- sehingga akan diperoleh nilai sebesar Rp 12.086.622.060,b) Mengitung emiten karbon yang dihasilkan
∑
Y = ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = 99.708.151KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = Rp.12.086.622.060,-
Total emiten karbon yang dihasilkan = Rp 12.086.622.060,- + Rp
2.000.000.000,Total emiten karbon yang dihasilkan = Rp 14.086.622.060,c) Offset potensi serap karbon dengan emiten karbon
Defisit potensi serap karbon = potensi yang dimiliki – emiten yang
dihasilkan
Defisit potensi serap karbon = Rp 12.086.622.060,ˉ-Rp 14.086.622.060,Defisit potensi serap karbon = Rp 2.000.000.000,Metode penghitungan konversi nilai karbon ke nilai moneter yang
diajukan dalam penelitian ini menggunakan dasar nilai pasar karbon yang berlaku
saat pengukuran dilakukan, prinsip ini terdapat dalam metode pengukuran Current
Cost Accounting, khususnya dengan model pengukuran Current Purchase
35
Exchange. Current Cost Accounting Method adalah konsep akuntansi yang
menyatakan pos-pos laporan keuangan dinilai dengan harga perolehan sekarang,
yaitu dengan harga perolehan yang mempunyai umur dan kapasitas yang sama
(Edwards&Bell). Sedangkan Current Purchase Exchange adalah model
pengukuran menggunakan harga pertukaran pembelian sekarang.
Dengan menggunakan metode pengukuran Current Cost Accounting, maka
nilai yang dihasilkan akan lebih relevan, karena selalu disesuaikan dengan harga
pasar emisi karbon. Sehingga, nilai kewajiban lingkungan yang dihitung besarnya
cukup memadai untuk mewakili biaya kewajiban yang terjadi saat itu.
PENGAKUAN DAN PENCATATAN
Seluruh biaya karbon yang sudah dihitung sebelumnya, pada akhirnya
akan diakui dalam laporan keuangan. Potensi penyerapan karbon yang dimiliki
oleh perusahaan dapat diakui sebagai aset tak berwujud, sesuai kriteria aset tak
berwujud dalam PSAK 19 (2010), lebih spesifik lagi dapat dikategorikan dalam
indefinitive intangible asset. Pengakuan ini didasari oleh kriteria definitive
intangible asset dalam PSAK 19 (2010), yaitu: diamortisasi sesuai masa
manfaatnya, diuji penurunan nilai apabila terdapat indikasi penurunan nilai.
Kriteria-kriteria tersebut dapat terpenuhi oleh daya serap pohon atas karbon, di
mana daya serap pohon memiliki umur yang sama dengan lama pohon ditanam
sebelum mencapai masa tebang, dan nilai daya serap pohon harus diuji setiap
tahun karena ada pohon yang ditebang selama proses produksi. Pada opsi
36
pengakuan aset tak berwujud, maka dapat dilakukan pencatatan adalah sebagai
berikut:
Aset Tak Berwujud
xxx
Modal
xxx
Selain opsi pengakuan sebagai aset tak berwujud perusahaan juga dapat
mengakui kepemilikan potensi serap karbon sebagai aset diestimasi. Sebagaimana
terdapat pada PSAK 57 (2009), aset estimasi tidak dicantumkan dalam laporan
keuangan, maka perusahaan tidak melakukan pencatatan apapun pada laporan
keuangan perusahaan.
Pada kasus penghitungan skenario pertama di mana perusahaan
mengalami surplus potensi serap karbon sehingga dapat menjual potensi serap
karbon tersebut kepada pihak lain, maka perusahaan dapat melakukan pengakuan
pendapatan di luar usaha (PSAK 23, 2010), sehingga perusahaan dapat melakukan
pencatatan debit kas atau piutang, kredit pendapatan di luar usaha adalah sebagai
berikut:
Kas/Piutang usaha XXX
Pendapatan di luar usaha XXX
Sedangkan pada skenario kedua, di mana perusahaan mengalami defisit
potensi serap karbon, sehingga harus membayar biaya jasa lingkungan.
Perusahaan dapat mengakui beban di luar usaha (PSAK), atau beban lingkungan
dan sosial (PSAK 32, 2007) atas pengeluaran jasa lingkungan tersebut dan dicatat
pada sisi debit, sedangkan pada sisi kredit perusahaan dapat mengakui kewajiban
diestimasi apabila pada awal periode perusahaan sudah melakukan estimasi defisit
37
potensi serap karbon, atau kas apabila penghitungan dilakukan pada awal periode
dan kekurangan dibayar tunai. Pencatatan tersebut dapat dilihat seperti di bawah
ini:
Beban di luar usaha/ Beban Lingkungan dan sosial XXX
Kas/Provisi XXXX
Dunia akuntansi mengenal dua macam kewajiban, yaitu kewajiban lancar
dan kewajiban tidak lancar. Di dalam masing-masing kewajiban lancar dan
kewajiban tidak lancar, apabila dibagi berdasar sudut pandang kepastian
keterjadian maka dapat dibagi menjadi kewajiban pasti dan kewajiban tidak pasti.
Kewajiban tidak pasti terbagi dalam provisi dan kontijensi.
Aspek-aspek terkait karbon yang dihitung sebelumnya, tidak dikategorikan
sebagai kewajiban pasti karena kewajiban pasti biasanya berhubungan dengan
kewajiban kepada pihak perbankan, vendor, ataupun pihak lain yang berhubungan
langsung dengan operasional perusahaan di mana nilai serta waktu jatuh tempo
pembayaran kewajiban tersebut jelas. Sedangkan pada kewajiban karbon yang
dihitung, waktu jatuh tempo pembayaran belum jelas, meskipun besarnya nilai
yang menjadi kewajiban perusahaan sudah dapat diestimasi dengan andal. Bidang
akuntansi membagi kewajiban tidak pasti menjadi dua, yaitu:
Provission is a liability of uncertain timing or ammount (sometimes
referred to as an estimated liability). (Donald, Kyesso, Intermediate
Accounting IFRS edition, book 1, chapter 13:677), Provisi menurut
PSAK 57: Liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum pasti.
38
Kewajiban kontijensi menurut PSAK 57 Revisi 2009:
a) Kewajiban potensial yang timbul dari masa lalu dan keberadaannya
menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau
lebih pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali
entitas, atau
b) Kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu,
tetapi tidak diakui karena:
i.
Tidak terdapat kemungkinan entitas mengeluarkan sember
daya
yang
mengandung
manfaat
ekonomi
untuk
menyelesaikan kewajibannya; atau
ii.
Jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal
Berdasar kriteria-kriteria yang ada di atas, maka aspek-aspek karbon lebih
tepat diakui sebagai provisi karena waktu keterjadian atau waktu jatuh tempo
pembayaran belum pasti. Sekalipun jumlah kewajiban dapat diestimasi secara
andal. Sedangkan untuk mengkategorikan kewajiban ini termasuk kewajiban
lancar atau kewajiban tidak lancar, lebih tepat untuk diakui sebagai kewajiban
lancar. Karena kewajiban ini dihitung per
LATAR BELAKANG
Ekonomi merupakan bidang ilmu yang sangat dekat dengan banyak aspek
dalam kehidupan menusia. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang baik
sangat diharapkan oleh negara dan masyarakat. Pertumbuhan yang baik ini dapat
dilihat dalam Gross Domestic Product (GDP) (Mankiw,2006).
Seiring berjalannya waktu, para ekonom menyadari bahwa nilai GDP tidak
mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya, seperti nilai kerusakan
lingkungan, biaya eksternalitas, dan sebagainya. Oleh karena itu, muncul konsep
Green GDP (2012; Ekonomi Hijau. Kompas, selasa 16 Oktober:12) yang
memasukkan nilai kerusakan dan perbaikan lingkungan dalam penghitungan
GDP.
Munculnya konsep Green Economy yang menghasilkan Green GDP pada
aras makro, juga berdampak pada aras mikro, salah satunya akuntansi. Ilmu
akuntansi mulai mengenal istilah Akuntansi Lingkungan, yang juga sering disebut
Akuntansi Hijau. Dalam bahasa inggris istilah ini sering disebut sebagai Green
Accounting atau Environmental Accounting (U.S. EPA;1995).
Green Accounting mencoba mencatat biaya lingkungan yang muncul dan
menyajikannya dalam laporan keuangan perusahaan. Baik Green GDP maupun
Green Accounting, keduanya muncul atas dasar kepedulian akan lingkungan
dengan tujuan menjamin tercapainya sustainable economy (Tunner et al;1993).
Sustainable economy memiliki konsep dasar menjamin keberlangsungan kegiatan
1
ekonomi pada masa depan. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan sangat
diperhatikan, agar tidak terjadi eksploitasi pada Sumber Daya Alam (SDA) yang
ada, yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan dan kelangkaan
SDA, sehingga generasi yang akan datang mengalami kesulitan dalam kegiatan
ekonominya.
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang sangat
banyak (http://www.indonesia.go.id/in/potensi-daerah/sumber-daya-alam, 2013).
Salah satu kekayaan alam ini adalah hutan yang sangat luas. Buku Statistik
Kehutanan Indonesia Kementerian Kehutanan 2011 yang dipublikasi pada Juli
2012 (dalam wwf.indonesia.go.id, 2012) menyatakan bahwa 52,3% luas wilayah
Indonesia merupakan hutan, sehingga Indonesia juga diakui sebagai paru-paru
dunia
(http://www.wwf.or.id/cara
anda
membantu/bertindak
sekarang
juga/mybabytree/, 2013). Kekayaan akan sumber daya hutan ini adalah aset
potensial bagi Indonesia baik untuk sumber daya industri maupun dalam
menghadapi kebijakan carbon trade, di mana hutan Indonesia dapat menjadi
penyerap karbon yang dihasilkan oleh Indonesia, dan sisa kapasitas yang ada
dapat digunakan untuk menyerap karbon yang dihasilkan oleh negara lain.
Pengelolaan sumber daya alam demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi
memang hal yang baik. Namun, apabila tidak dilakukan dengan bijak maka akan
berakibat buruk bagi perekonomian dan lingkungan alam Indonesia. (Robert,
1990) mengkritik negeri ini, “Indonesia telah meningkatkan pemborosan terusmenerus dengan menghabiskan cadangan minyak bumi, merusak hutan, dan
merusak tanah-tanah yang subur”. Bahkan, ia meramalkan bahwa pertumbuhan
2
ekonomi Indonesia akan jatuh hingga angka 4% jika hal ini terus dilakukan.
Bukan hal yang mustahil sekalipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun
2011 adalah 6,5% (Badan Pusat Statistik, 2011), perlu diingat pada tahun-tahun
sebelumnya PDB Indonesia sempat mencapai 5,48% pada tahun 2006 (Badan
Pusat Statistik, 2006).
Ramalan Reppeto sepertinya mulai mendekati kenyataan. Banyak sumber
daya alam yang mulai menipis cadangannya, dan sangat banyak lingkungan alam
Indonesia yang rusak akibat pertumbuhan industri yang kurang bijak.
Salah satu sumber daya alam yang mulai rusak adalah sumber daya hutan.
Iksan pada tahun 2008 dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Lingkungan
menulis dalam lima puluh tahun terakhir tutupan hutan Indonesia berkurang dari
162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Hal ini disebabkan berkembangnya
industri pengolahan kayu, yang seringkali terkesan asal dalam melakukan
penebangan. (Ginting, 2012) menyatakan “Kerusakan hutan ini dikarenakan
penebangan hutan yang terlalu cepat. Penebangan hutan yang cepat memang
menguntungkan bagi produksi, namun produsen juga seharusnya memikirkan
dampak buruknya seperti : kurangnya cadangan air bersih, kerusakan lingkungan
di sekitar hutan, dan lebih jauh lagi akan terjadi kelangkaan kayu karena hutan
kita habis ditebang”.
Berdasar pernyataan Ginting (2012) mengenai dampak buruk dari
kerusakan hutan yang disebabkan oleh penebangan kayu, maka idealnya
perusahaan juga bertanggung jawab terhadap perbaikan ataupun pencegahan
kerusakan lingkungan. Tanggung jawab ini muncul karena bagaimanapun,
3
perusahaan terhubung dengan pihak-pihak di luar perusahaan yang juga memiliki
kepentingan, dalam hal ini khususnya masyarakat sekitar perusahaan. Hubungan
antara perusahaan dengan masyarakat ini harus terbina dengan baik, sehingga
perusahaan perlu menyisihkan sebagian dana guna perbaikan lingkungan. Alokasi
dana tersebut sering kita dengar dengan istilah Corporate Environment
Responsibility (CER), di mana perusahaan memberikan alokasi dana untuk
perbaikan lingkungan.
CER merupakan salah satu upaya perusahaan membentuk a good
stakeholder
relationship
yang
berdasar
pada
stakeholder
theory
yang
dikemukakan Freeman pada tahun 1984 (dalam Daejong; 2011) di mana
perusahaan memiliki hubungan dengan pihak-pihak di luar perusahaan dan harus
mengatur bagaimana cara agar hubungan dapat terbina dengan baik.
Selain itu, CER merupakan bagian dari Green Accounting yang merupakan
rumpun dari Green Economy di mana bidang ekonomi berusaha memasukkan
pertimbangan-pertimbangan kearifan lingkungan dalam menetapkan biaya yang
akan diakui atau besarnya dana yang perlu disisihkan untuk perbaikan lingkungan.
Pada Green Accounting ilmu akuntansi berusaha menilai keefektifan kegiatan
konservasi berdasar ringkasan dan klasifikasi biaya konservasi lingkungan, serta
menyampaikan dampak negatif lingkungan, kegiatan konservasi-konservasi, dan
hasilnya kepada publik (US EPA, 1995) .
Peningkatan kerusakan lingkungan hutan menjadi topik yang hangat
diperbincangkan secara luas. Hal ini dikarenakan hutan memiliki potensi
penyerapan karbon, di mana masyarakat luas saat ini sedang berkomitmen untuk
4
menekan angka karbon dalam upaya menghadapi perubahan iklim. Pada tahun
1997 pemimpin-pemimpin negara di dunia berkumpul dan menandatangani
Protokol Kyoto yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Bali Roadmap pada
tahun 2007 (UNFCCC, 2012). Penandatangan Bali Roadmap menunjukkan
kesungguhan berbagai negara dalam menyelesaikan permasalahan perubahan
iklim, salah satu langkah yang diambil adalah menerapkan mekanisme biaya jasa
lingkungan, seperti Carbon trade.
Pada Carbon trade pihak yang menghasilkan karbon akan membayar
sejumlah dana sebagai kompensasi kepada pihak yang memiliki potensi menyerap
karbon, sedangkan pada pihak yang memiliki potensi penyerapan karbon akan
melakukan offset atas kemampuan serap karbon yang dimiliki dengan potensi
karbon yang dihasilkan. Selanjutnya apabila hasil offset perusahaan memiliki
surplus potensi serap karbon, maka perusahaan dapat menjual surplus potensi
serap karbon tersebut ke perusahaan lain yang mengalami defisit potensi serap
karbon ataupun perusahaan yang tidak memiliki potensi serap karbon. Sebaliknya,
apabila hasil offset perusahaan mengalami defisit serap karbon, maka perusahaan
akan membayar jasa lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki
surplus potensi serap karbon (UNFCCC, 2007).
Kemunculan kebijakan-kebijakan terkait karbon pada akhirnya berdampak
terhadap akuntansi. Bagaimana pengukuran, pengakuan, pencatatan, penyajian,
dan pengungkapan aspek-aspek terkait karbon dilakukan menjadi kerancuan bagi
para akuntan, khususnya di negara yang telah menerapkan kebijakan karbon
(KPMG, 2008).
5
Pada perusahaan yang memiliki potensi serap karbon, besarnya potensi
yang dimiliki akan dihitung pada awal periode pembukuan perusahaan, sehingga
perusahaan akan melakukan estimasi pada awal periode atas besarnya potensi
serap karbon tersebut. Selanjutnya perusahaan akan mengetahui pada akhir
periode besarnya potensi karbon yang dihasilkan, lalu melakukan offset.
Mekanisme pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan penyajian terkait karbon ini
disebut Accounting for Carbon (KPMG, 2008).
Penelitian ini lebih berfokus kepada aspek-aspek yang muncul akibat
penebangan pohon. Penebangan pohon dapat mengakibatkan hilangnya potensi
pohon dalam menyerap karbon di udara. Apabila nilai karbon di udara tinggi
maka dapat mengakibatkan penurunan kesehatan masyarakat sekitar perusahaan
(Kompas, 2004. Biaya kesehatan membengkak akibat polusi, 10 Juni) dan
meningkatkan lubang ozon di udara dalam jangka panjang.
Peneliti memilih topik ini, karena berdasar laporan BBC Indonesia dalam
(http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hutanindo.sht
ml), sekalipun Indonesia meduduki peringkat delapan negara dengan luas hutan
terbesar, namun saat ini laju kerusakan hutan Indonesia menduduki peringkat dua
dunia.
Laju kerusakan hutan ini berdampak pada kemampuan hutan dalam
menyerap karbon yang terkandung di udara. Apabila penebangan yang kurang
bertanggung jawab terus dibiarkan maka akan menambah tingkat kerusakan
udara, yang akan menyebabkan tingkat karbon di udara meningkat, sehingga
masyarakat akan mengalami kerugian finansial. Kerugian finansial ini diakibatkan
6
meningkatnya biaya pengobatan karena karbon dapat menimbulkan keracunan
yang menyebabkan kerusakan pada otak, ataupun penurunan kesehatan secara
umum akibat kualitas udara yang kurang baik (Kompas, 2004. Biaya kesehatan
membengkak akibat polusi, 10 Juni) dan memungkinkan terbentuknya lubang
ozon dalam jangka panjang. Selain itu, berdasar penelitian pendahuluan oleh
KPMG UK (2008) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negara yang
menerapkan kebijakan carbon tax ataupun carbon trade mengalami kerancuan
dalam pencatatan transaksi terkait karbon, hal ini dikarenakan sejauh ini belum
terdapat standar dalam IFRS yang mengatur transaksi terkait karbon. Oleh sebab
itu, penelitian ini mencoba melihat kemungkinan-kemungkinan pengakuan dan
penyajian yang diijinkan oleh PSAK apabila perusahaan menerapkan kebijakan
pembayaran jasa karbon. PSAK yang digunakan sebagi dasar penelitian oleh
penulis adalah PSAK yang telah mengadopsi IFRS berdasar pada principle based.
Principle based pada PSAK yang telah mengadopsi IFRS lebih dipilih
karena penyajian akuntansi lingkungan di Indonesia masih bersifat voluntary.
Sifat voluntary pada PSAK ini menyebabkan terdapatnya beberapa potensi
perlakuan akuntansi atas karbon. Meskipun masih bersifat voluntary pada
penyajian akuntansi lingkungan, namun keijakan perdagangan karbon sudah
bersifat mandatory di negara-negara Eropa maupun Australia (KPMG, 2008).
Oleh karena kebijakan perdagangan karbon masih menjadi suatu kebijakan yang
bersifat voluntary di Indonesia maka standar perlakuan akuntansi dalam
pengukuran, pengakuan, penyajian, dan pengungkapan terkait
7
transaksi
perdagangan karbon dapat berbeda-beda bergantung pada interpretasi masingmasing individu .
Pada penelitian ini peneliti membatasi perhitungan kerusakan lingkungan
pada besarnya potensi serap karbon yang hilang akibat penebangan pohon, dan
tidak memperhitungkan emisi karbon lain pada keseluruhan proses produksi. Pada
penelitian ini dipilih PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk sebagai objek penelitian
karena PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk merupakan salah satu perusahaan
kehutanan yang besar di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU no. 20 tahun
2008, di mana total aset PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk per September 2013
sebesar Rp3.234.163.000.000,- dan omzet mencapai Rp3.564.592.000.000,- pada
tahun 2012, serta memiliki cabang di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, maka
PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk terkategorikan usaha besar.
Dengan dasar permasalahan lingkungan di atas, besarnya dampak
kerusakan lingkungan, beban yang ditanggung masyarakat atas kerusakan
lingkungan sebagai akibat penebangan pohon, serta metode dalam Accounting for
Carbon yang masih dalam tahap penelitian, maka dalam penelitian ini akan dibuat
usulan alternatif mengenai pengukuran, pengakuan, serta penyajian aspek-aspek
terkait karbon dengan mengacu pada konsep Accounting for Carbon yang telah
diterapkan di Eropa dan Australia, dengan berdasar pada PSAK. Usulan yang
diajukan dapat berimplikasi terhadap pengukuran, pengakuan, penyajian, maupun
pengungkapan kebijakan karbon pada perusahaan non kehutanan, karena pada
dasarnya
aktivitas
operasional
perusahaan
dalam
bidang
apapun
akan
menghasilkan karbon, seperti : aktivitas operasional mesin dan transportasi yang
8
terdapat juga pada perusahaan non kehutanan. Namun pada penelitian ini dibatasi
pembahasan sebatas pada perusahaan kehutanan dikarenakan keterbatasan
peneliti.
Pemilihan topik ini, dikarenakan mekanisme Accounting for Carbon masih
menjadi topik yang sering diperbincangkan di Indonesia dan internasional, maka
peneliti melihat adanya kemungkinan untuk meneliti kemungkinan pengukuran,
pengakuan, dan penyajian atas kegiatan Carbon Trade di Indonesia dengan
berdasar pada prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.
PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini
adalah: (1) bagaimana metode pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan
penyajian atas aspek-aspek terkait karbon tersebut dalam Carbon
Accounting; (2) Bagaimana dampak penyajian aspek-aspek terkait karbon
tersebut terhadap laporan keuangan perusahaan dan rasio likuiditas,
solvabilitas, dan rentabilitas perusahaan?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian yang akan dibahas oleh penulis adalah: (1)
Untuk mengetahui bagaimana pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan
penyajian provisi dengan konsep Carbon Accounting; (2) Untuk
mengetahui dampak penyajian aspek-aspek terkait karbon tersebut
terhadap laporan keuangan perusahaan dan rasio likuiditas, solvabilitas,
dan rentabilitas perusahaan.
9
MANFAAT PENELITIAN
Bagi pihak Pembaca
Sebagai
bahan
masukan
untuk
memberi
gambaran
mengenai
penghitungan dan offset aspek-aspek karbon serta pengukuran,
pengakuan, pencatatan, dan penyajian Carbon Accounting.
Bagi Perusahaan Penebangan Pohon
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai
pentingnya memasukan aspek-aspek terkait karbon pada laporan
keuangan, serta dapat memberikan gambaran cara penghitungan
besarnya aspek-aspek karbon dan penyajiannya dalam laporan
keuangan dengan implementasi Carbon Accounting.
Bagi Perusahaan lain yang berpotensi berkontribusi dalam kerusakan
lingkungan
Penelitian ini diharap dapat memberi gambaran bagaimana pengakuan,
penyajian, dan pengungkapan aspek-aspek kerusakan lingkungan dalam
laporan keuangan perusahaan, khususnya karbon.
Bagi Pemerintah dan Ikatan Akuntan Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan masukan
mengenai pentingnya mengakui aspek-aspek terkait karbon, bagaimana
pengakuan, penyajian, dan pengungkapan Carbon Accounting, serta
membuka peluang membuat peraturan yang mengatur penerapan
pengakuan, penyajian, dan pengungkapan aspek-aspek tersebut apabila
10
dimungkinkan untuk dilaksanakan. Selain itu, penelitian ini diharap
dapat membantu pemerintah dalam menyusun peraturan ataupun
program dalam rangka menyelamatkan lingkungan alam Indonesia,
khususnya
lingkungan
hutan
dalam
menghadapi
permasalahan
perubahan iklim.
KERANGKA TEORI
Green Gross Domestic Product (Green GDP)
GDP adalah indikator yang digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi suatu negara (Arifin & Hadi, 2009:11). Sedangkan Green GDP adalah
GDP yang nilainya mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil
kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah (2012;Ekonomi hijau.
Kompas, Selasa 16 Oktober:12).
Green GDP ini bertujuan menghasilkan nilai barang yang sudah benarbenar mencerminkan nilai ekonomi barang sebenarnya. Karena itu dalam Green
GDP aspek kerusakan lingkungan serta perbaikan lingkungan dipertimbangkan
dalam menetapkan nilai ekonomi barang tersebut. Green GDP dapat dihitung
dengan rumus penghitungan sebagai berikut :
Green GDP = GDP – nilai kerusakan lingkungan + nilai perbaikan
lingkungan (Zhisen;2012)
11
Green Accounting (Environmental Accounting)
Green accounting sebagaimana dijelaskan oleh Cooper (1992) dalam buku
The Introduction of Green Accounting, however well thought, will, under the
present phallogoentric system of accounting, do nothing to avert today’s
environmental crisis. In fact, it could make matters even worse.
Environmental accounting is the context of national income accounting
refers to natural resource accounting, which can entail statistics about a nation’s
or region’s consumption, extent, quality, and value of natural resources, both
renewable and non-renewable. Environmental accounting in the context of
financial accounting usually refers to preparation of financial reports for external
audiences using Generally Accepted Accounting Principles. Environmental
accounting as an aspect of management accounting serves business managers in
making capital investment decisions, costing determinations, process/product
design decisions, performance evaluations, and a host of other forward-looking
business decisions. (U.S. EPA;1995, dalam Ikhsan; 2009)
Berdasar definisi di atas, (Iksan;2008) mendefinisikan bahwa akuntansi
lingkungan adalah proses menggambarkan biaya-biaya lingkungan supaya
diperhatikan
oleh
stakeholders
perusahaan
yang
mampu
mendorong
pengidentifikasian cara-cara mengurangi atau menghindari biaya-biaya ketika
pada waktu yang bersamaan sedang memperbaiki kualitas lingkungan.
Akuntansi hijau atau akuntansi berwawasan lingkungan mencoba
memasukkan nilai-nilai kearifan lingkungan dalam pencatatan akuntansi. Nilainilai kearifan lingkungan yang dicatat dalam laporan keuangan perusahaan akan
12
diakui sebagai biaya. Dalam penelitian ini ada beberapa konsep biaya terkait
lingkungan yang digunakan sebagai dasar teori, yaitu:
Provisi (Kewajiban diestimasi)
Provisison is a liability of uncertain timing or amount (sometimes
referred to as an estimated liability). (Weygant,2011)
Kewajiban diestimasi adalah kewajiban yang waktu dan jumlahnya
belum pasti. (PSAK 57,2009)
Secara garis besar dapat dikatakan provisi adalah kewajiban yang
memiliki kriteria belum pasti besar nilainya atau waktu jatuh temponya,
namun salah satu kriteria dapat diestimasi dengan andal. Provisi dapat
diakui sebagai kewajiban jangka panjang ataupun jangka pendek, dan
harus disajikan dalam laporan keuangan di neraca.
Pendapatan
Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul
dari aktivitas normal perusahaan apabila arus masuk mengakibatkan
kenaikan ekuitas yang tidak timbul dari kontribusi penanaman modal
(PSAK 23)
(Dyckman;2004) menulis berdasar dari sumber pendapatan, akuntansi
mengenal dua jenis pendapatan, yaitu:
1. Pendapatan operasional
Pendapatan operasional adalah pendapatan yang diperoleh dari
usaha pokok perusahaan, yaitu penjualan barang dan/atau
pemberian jasa yang bersifat rutin.
13
2. Pendapatan non operasional
Pendapatan non operasional adalah pendapatan yang diperoleh
perusahaan di luar usaha pokok.
Secara spesifik PSAK 32 (2009) mendefinisikan pendapatan operasional
pada perusahaan kehutanan sebagai pendapatan dari penjualan hasil
hutan, baik berupa olahan kayu, hasil tebangan, maupun hasil hutan
lainnya.
Biaya
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan
uang, yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi untuk tujuan
tertentu, sehingga biaya dalam arti luas diartikan sebagai pengorbanan
sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva. (IAI/SAK 2009)
Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk
mendapat barang atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat saat ini
atau di masa yang akan datang bagi organisasi (Hansen&Mowen 2006)
Berdasar alokasinya, biaya dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis
biaya, yaitu:
1. Harga Pokok Penjualan
Harga
Pokok
Penjualan
adalah
keseluruhan
biaya
untuk
memperoleh atau mendapatkan barang yang dijual. Apabila barang
yang dijual dibuat sendiri oleh perusahaan (manufaktur), sebelum
harga pokok penjualan ditetapkan, maka dihitung lebih dahulu
besarnya harga pokok produksi – seluruh biaya yang dikeluarkan
14
untuk membuat atau memproduksi barang yang akan dijual, baik
biaya bahan yang dipakai, tenaga kerja, maupun biaya overhead
pabrik.
2. Biaya Operasi
Biaya operasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
membiayai aktivitas operasi perusahaan baik administrasi maupun
penjualan. Biaya ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a.
Biaya Penjualan, yaitu biaya yang dikeluarkan dan terkait
dengan kegiatan penjualan.
b.
Biaya Administrasi Umum, yaitu biaya yang dikeluarkan dan
terkait dengan kegiatan di bagian kantor (administrasi
umum).
3. Biaya di luar usaha (non-operating)
Biaya di luar usaha adalah biaya-biaya yang timbul dari aktivitasaktivitas di luar usaha utama perusahaan.
Beban
Sinamora (1995) mendefinisikan beban sebagai biaya yang terpakai
(expired cost), sedangkan dalam kerangka dasar penyusunan dan
penyajian laporan keuangan (PSAK, 2007) beban didefinisikan sebagai
penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban
yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut
pembagian kepada penanam modal.
15
PSAK 32, 2007
1.
Harga pokok produksi kayu tebangan dan hasil hutan lainnya
meliputi beban yang terjadi dalam hubungannya dengan kegiatankegiatan seperti: perencanaan, penanaman, pemeliharaan, dan
pembinaan hutan, pengendalian kebakaran, dan pengamanan
hutan, pemungutan hasil hutan, pemenuhan kewajiban terhadap
negara, pemenuhan kewajiban lingkungan dan sosial, serta
pembangunan sarana dan prasarana.
2.
Pada Hutan Tanaman Industri (HTI), beban umum dan
administrasi yang tidak berkaitan dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, dan pembinaan hutan dibukukan sebagai beban
umum dan administrasi.
Aset tak berwujud
Aset tak berwujud adalah aktiva tak lancar (noncurrent asset) dan tak
berbentuk yang memberikan hak keekonomian dan hukum kepada
pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah
dalam klasifikasi aktiva yang lain (PSAK 19,2010)
Aset kontijensi
Aset kontijensi adalah aset potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu
dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu
peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada
dalam kendali perusahaan. (PSAK 57,2009)
16
Sumbangan Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR menurut ISO 26000 adalah tanggung jawab sebuah organisasi
terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatankegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan
berkelanjutan
dan
kesejahteraan
masyarakat,
mempertimbangkan
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan
dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan
organisasi secara menyeluruh (Marlia&Hidayat,2008).
Sedangkan definisi CSR menurut Institute of Chartered Accountants,
England and Wales, CSR adalah jaminan bahwa organisasi-organisasi
pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan
lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham
mereka (Marlia&Hidayat,2008).
Accounting for Carbon
Accounting for Carbon adalah akuntansi yang mencoba memasukkan
biaya-biaya terkait karbon ke dalam laporan keuangan perusahaan, guna
menghasilkan sustainability reporting. Akuntansi untuk karbon belum memiliki
standar yang baku dalam melakukan pengakuan, pencatatan, dan penyajian pada
laporan keuangan baik di Indonesia maupun internasional. Sedangkan dalam hal
pengukuran (Carbon Accounting), saat ini hanya ada satu standar pengukuran
karbon yang diakui oleh UNFCCC. Standar pengukuran karbon tersebut adalah
17
standar nasional yang dimiliki oleh Australia, yaitu NCAS (National Carbon
Accounting Standards).
Dalam Accounting for Carbon terdapat beberapa teori yang mendasari
pengukuran dan penyajian laporan keuangan, yaitu:
Carbon Accounting
Carbon accounting is the process by which organizations account for
and report on their greenhouse gas emissions (Prosser,2013).
Carbon accounting refers generally to processes undertaken to measure
amounts of carbon dioxide equivalents emitted by an entity (Wikipedia).
Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bahwa carbon accounting adalah
suatu proses pengukuran emiten karbon yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan.
Exit Price Accounting
Palea (2013) menjelaskan bahwa Exit Price Acounting adalah gabungan
konsep dari Chambers (1966,1975), Sterling (1970), dan MacNeal (1970)
yang mengukur aset dengan nilai realisasi atas penjualan aset tersebut
dengan harga jual yang berlaku pada umumnya.
Sustainability Report
Sustainability report adalah laporan publik di mana perusahaan
memberikan gambaran posisi dan aktivitas perusahaan pada aspek
ekonomi, lingkungan, dan sosial kepada stakeholders internal dan
eksternal (World Business Council for Sustainable Development;2002).
18
Berdasar konsep-konsep di atas, penelitian ini mencoba membuat
kerangka teoritis dalam penghitungan besarnya kemampuan serap karbon atas
kepemilikan pohon, potensi serap karbon yang hilang akibat penebangan pohon,
di mana potensi karbon yang hilang akan diakui sebagai emiten yang muncul
akibat kegiatan operasional perusahaan yang pada akhirnya proses offset atas
kepemilikan potensi serap karbon serta karbon yang dihasilkan (emiten akibat
penebangan pohon) diukur, diakui, dicatat, dan disajikan dengan beberapa
alternatif, sebagaimana dimungkinkan dengan berdasar pada PSAK. Pada
penelitian ini pengakuan, pencatatan, dan penyajian terkait karbon akan dibahas
dengan sudut pandang pencatatan yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki
kapasitas penyerapan karbon yang akan melakukan offset pada akhir periode,
sehingga terdapat dua kemungkinan pencatatan yaitu: pada kondisi surplus atau
defisit potensi serap karbon. Pembahasan pada penelitian ini juga mencakup
pencatatan jurnal yang memungkinkan untuk dilakukan dengan berpijak pada
PSAK. Pelaporan aspek-aspek terkait karbon, yang terkait lingkungan hidup ini,
didasari oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 yang
menyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan,
khususnya bagi industri di mana lingkungan hidup memegang peranan penting.
Dalam siklus akuntansi, dilakukan prosedur mengukur, mengakui,
mencatat, dan menyajikan. Akun-akun di atas terkait dalam hal pengakuan,
pencatatan, dan penyajian. Dalam hal pengukuran, sistem akuntansi mengenal
beberapa metode pengukuran, salah satunya yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pengukuran Exit Price accounting yang diungkapkan
19
oleh Edwards & Bells (1961) dalam Zeff (2010) yaitu sistem yang menggunakan
harga jual pasar khusus untuk mengukur posisi keuangan perusahaan dan kinerja
keuangan. Metode ini dipilih karena PSAK 57 menyatakan bahwa provisi ataupun
aset kontijensi harus dapat diestimasi secara andal, oleh karena itu dalam
melakukan estimasi digunakan harga pasar terbaru atas karbon.
Pada penelitian ini, harga jual pasar yang digunakan adalah nilai tukar
carbon terhadap satuan moneter (USD) yang berlaku dalam Carbon Trading.
Carbon Trading atau sering diartikan sebagai perdagangan karbon dapat
didefinisikan sebagai menjual kemampuan pohon yang dapat menyerap karbon
dioksida dalam rangka menekan keberadaan karbon dioksida itu sendiri di
atmosfer untuk mengurangi pemanasan global (Razak, 2008).
NALAR KONSEP
Akuntansi
Lingkungan
Biaya
Operasional +
Lingkungan
Perdagangan
karbon
Akuntansi
karbon
Potensi serap
karbon
Offset
Potensi emiten
karbon
Surplus
Defisit
Jual sisa potensi
serap karbon
Bayar jasa lingkungan
serap karbon
Bagan 1
Nalar Konsep Penelitian
20
Akuntansi konvensional menekankan pada pencatatan transaksi atas
kegiatan operasional perusahaan. Pada perkembangannya, akuntansi terus
berkembang mengikuti perubahan zaman. Hal yang sama juga terjadi pada
Akuntansi lingkungan. Akuntansi lingkungan mulai berkembang dengan
memasukkan unsur-unsur lingkungan ke dalam pencatatan laporan keuangan.
Pada era saat ini, isu yang sedang populer di masyarakat adalah
perdagangan karbon, yang pada akhirnya berdampak pada laporan keuangan
perusahaan. Bagaimana perusahaan dapat mengukur, mengakui, dan menyajikan
transaksi-transaksi terkait perdagangan karbon menjadi pertanyaan besar para
akuntan. Pertanyaan ini akhirnya dijawab dengan melakukan pencatatan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku di masing-masing negara dikarenakan
belum ada prinsip yang baku yang mengatur mengenai transaksi atas perdagangan
karbon. Pencatatan akuntansi atas perdagangan karbon pada akhirnya lebih
populer dengan sebutan Accounting for carbon.
Pada penelitian ini nalar konsep yang dibuat mengacu pada kerangka
konseptual yang diberikan oleh FASB. Pada kerangka kerja konseptual tersebut
terdapar tiga tingkat, yaitu: tingkat pertama yang membahas tentang tujuan dan
sasaran akuntansi, tingkat kedua yang membahas karakteristik kualitatif dan
unsur-unsur laporan keuangan, dan tingkat ketiga yang membahas bagaimana
konsep pengakuan dan pengukuran laporan keuangan.
Mengacu pada kerangka konseptual tingkat pertama, tujuan dari penyajian
aspek-aspek karbon pada laporan keuangan adalah berguna untuk menilai arus kas
21
pada masa depan, mengetahui klaim atas sumber daya perusahaan dan
perubahannya, serta menyediakan informasi terkait apek-aspek karbon tersebut
kepada pengguna laporan keuangan.
Pada tingkat kedua, terdapat kualitas primer dan sekunder, di mana
kualitas primer terdiri dari relevansi dan reliabilitas informasi yang disajikan
diharapkan berguna bagi pengguna informasi keuangan dalam mengambil
keputusan. Penyajian aspek-aspek karbon pada laporan keuangan dinilai relevan
karena dapat mempengaruhi keputusan pengguna laporan keuangan, dengan
mempertimbangkan besaran emiten karbon yang telah dihasilkan dibanding
dengan potensi serap karbon yang dimiliki perusahaan. Selain itu, dinilai reliable
karena informasi yang disajikan dapat diverifikasi dan disajikan secara tepat
sehingga informasi tersebut dapat digunakan dengan andal.
Kualitas sekunder terdiri dari komparabilitas dan konsistensi, di mana pada
nalar konsep ini informasi terkait aspek karbon dapat dibandingkan dengan
laporan keuangan yang juga telah menerapkan akuntansi karbon seperti di
Australia ataupun beberapa negara di Eropa meskipun besar nilai harga pasar
karbon berbeda pada tiap-tiap negara. Sedangkan konsistensi pada konsep
perlakuan akuntansi karbon, tercermin pada penyusunan metode pengukuran
aspek-aspek karbon hingga penyajian, sehingga terdapat dasar dan acuan yang
jelas dalam perlakuan akuntansi karbon demi menjaga konsistensi metode
penyajian laporan keuangan.
22
Pada tingkat ketiga yang mengatur bagaimana pengakuan dan pengukuran,
aspek-aspek karbon diukur dengan menggunakan metode exit price yang
menggunakan harga pasar, sehingga nilai aspek karbon dapat diestimasi dengan
andal. Sedangkan pada pengakuan aspek-aspek karbon digunakan PSAK sebagai
dasar acuan pengakuan dan penyajian aspek karbon pada laporan keuangan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai nalar konsep pengukuran, pengakuan, dan
penyajian aspek karbon disajikan pada penjelasan dan bagan bagi masing-masing
proses sebagai berikut:
Dalam mengukur nilai aspek-aspek terkait karbon, terlebih dahulu dihitung
nilai surplus atau defisit karbon, di mana dilakukan offset antara potensi serap
karbon dangan emiten karbon yang dihasilkan. Proses offset adalah proses saling
hapus (PSAK 55) yang biasa digunakan dalam penghitungan aset derivatif dan
tanggungan. Dalam hal ini kewajiban yang dimiliki akan dikurangi aset yang
dimiliki.
Pada penelitian ini, yang digunakan adalah metode Exit Price. Metode Exit
Price adalah metode di mana nilai moneter karbon diperoleh dengan
menggunakan nilai tukar yang berlaku di pasar pada program Carbon Trading.
Nilai moneter karbon yang diukur termasuk bagian dari carbon accounting,
sementara carbon accounting itu sendiri merupakan keberlanjutan dari
pengimplementasian Green Accounting. Penggunaan nilai moneter karbon dalam
pengimplementasian aspek-aspek terkait karbon tersebut tentunya akan memberi
dampak terhadap laporan keuangan perusahaan serta rasio-rasio keuangan
23
perusahaan. Pengukuran yang dilakukan disajikan dalam bagan nalar konsep
pengukuran sebagai berikut:
Akuntansi
Lingkungan
Pengeluaran
Operasional +
Lingkungan
Akuntansi
Karbon
Perdagangan
karbon
Pengukuran
Potensi serap
karbon
Offset
Bagan 2
Nalar Konsep Pengukuran
24
Potensi emiten
karbon
Dalam mengakui pengeluaran maupun penghasilan terkait akuntansi
karbon, pada penelitian ini menggunakan akun-akun penghasilan di luar usaha,
beban, maupun provisi yang berdasar pada PSAK. Nalar konsep pengakuan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut:
Hasil pengukuran
Surplus
Defisit
Jual sisa potensi
serap karbon
Bayar jasa lingkungan
serap karbon
Pengakuan
Sebagai Penghasilan di
luar usaha
Sebagai Beban di luar
usaha dan Provisi
Bagan 3
Nalar Konsep Pengakuan
25
Setelah melakukan pengukuran dan pengakuan maka akun-akun yang telah
diakui pada akhirnya akan disajikan dalam laporan keuangan perusahaan. Akun
penghasilan di luar usaha dan beban di luar usaha akan disajikan pada laporan Laba/Rugi,
sedangkan akun provisi akan disajikan pada laporan posisi keuangan perusahaan. Nalar
konsep atas penyajian pada penelitian ini disajikan dalam bagan sebagai berikut:
Surplus
Defisit
Penghasilan di luar usaha
dicatat pada posisi (K), dan
kas atau piutang pada posisi
(D)
Beban di luar usaha dicatat
pada posisi (D), sedangkan kas
atau provisi dicatat pada posisi
(K)
Penyajian
Lap. L/R:
Laporan arus kas:
Penghasilan di luar
usaha
Pengeluaran kas
atas beban di luar
usaha
Beban di luar
usaha
Penerimaan kas
atas penghasilan di
luar usaha
Bagan 4
Nalar Konsep Penyajian
26
Laporan Posisi
Keuangan:
Provisi
METODE, OBJEK PENELITIAN, DAN LANGKAH ANALISIS DATA
METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, digunakan metode penelitian studi kasus.
Metode penelitian studi kasus menurut Robert K Yin (1996) adalah pencarian
pengetahuan secara empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks
kehidupan nyata, bilamana: batas-batas antara fenomena dan konteks tidak
tampak dengan tegas, dan bilamana multisumber digunakan. Dooley (2005)
menjabarkan bahwa penelitian studi kasus adalah salah satu metode yang unggul
dalam membawa kita untuk memahami masalah yang kompleks dan dapat
menambah kekuatan untuk apa yang sudah diketahui melalui penelitian
sebelumnya.
Jenis studi kasus pada penelitian ini adalah studi kasus instrumental, di
mana kasus dalam penelitian bertujuan memberikan pemahaman mendalam atau
menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dalam penelitian ini, kasus
diposisikan sebagai alat guna memperjelas pemahaman suatu hal yang dipelajari.
Pada penelitian ini penekanan pemahaman yang dipelajari adalah mengenai
perlakuan akuntansi terhadap karbon, khususnya pada perusahaan sektor
kehutanan.
27
JENIS DAN SUMBER DATA
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu: data kandungan karbon hutan jati (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang
Kehutanan, Desember 2010, Carbon Stocks on Various Type of Forest and
Vegetation in Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim
dan Kebijakan, Bogor.), data nilai tukar pasar karbon pada program carbon
trading (Siikamäki et al., 2012), data nilai kurs tengah Bank Indonesia (BI) per 21
Januari 2014, dan laporan keuangan PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk tahun
2013, data hasil penelitian KPMG (2008). Data-data yang digunakan dalam
penelitian ini bersumber dari jurnal-jurnal dan hasil-hasil riset ilmiah yang
dipublikasikan. Data-data yang digunakan pada penelitian dapat diakses melalui:
Tabel 1
Sumber Data:
1
Nilai kurs US$ terhadap
www.bi.go.id
rupiah
2
Nilai GDP Indonesia
www.bps.go.id
3
Potensi Sumber Daya Alam www.indonesia.go.id
Indonesia
4
Nilai Green GDP Indonesia
28
www.worldbank.org
OBJEK PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk. PT.
Dharma Satya Nusantara, Tbk resmi beroperasi secara komersial sejak April 1985
dan bergerak di bidang industri perkayuan terpadu, tanaman perkebunan, dan
agro. Perseroan ini berkantor pusat di Gedung Sapta Mulia, Jl. Rawa Gelam V
Kav. OR 3B, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta. Perseroan ini juga memiliki
pabrik di Gresik, Surabaya, Lumajang, Purwokerto, Temanggung, Muara Wahau,
dan Nangabulik. Pada tahun 2012, perseroan mengadakan kerjasama guna
memperoleh hak guna atas areal lahan seluas 1.770 hektare (Laporan Keuangan
Konsolidasian 2013 PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk).
LANGKAH-LANGKAH ANALISA DATA
Langkah-langkah analisa data adalah sebagai berikut:
a)
Melakukan pengukuran aspek-aspek terkait karbon dengan dua
skenario, yaitu: surplus dan defisit.
b)
Menganalisa kemungkinan-kemungkinan pengakuan dan pencatatan
aspek-aspek terkait karbon atas dua skenario pada poin (a) dengan
mengacu pada PSAK 19, 23, 32, 57.
c)
Menganalisa dampak dalam pengakuan dan penyajian aspek-aspek
terkait karbon dalam laporan keuangan dan rasio keuangan
perusahaan.
29
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini melakukan analisa pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan
penyajian aspek-aspek terkait karbon. Selanjutnya, penelitian ini mencoba
menganalisa dampak atas pengakuan, pencatatan, dan penyajian aspek-aspek
tersebut terhadap rasio likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas. Secara garis besar,
perlakuan terhadap pengukuran, pengakuan, pencatatan, dan penyajian dibahas
sebagai berikut:
PENGUKURAN
Dalam penelitian ini, pengukuran aspek-aspek terkait karbon harus
dilakukan dengan andal. Karena nilai yang dihasilkan, nantinya akan diakui oleh
perusahaan sebagai beban atau biaya tanggung jawab lingkungan perusahaan.
Selain itu, metode dalam menghitung besarnya nilai aspek-aspek terkait karbon
tersebut juga akan diajukan sebagai acuan estimasi oleh perusahaan dalam
menghitung besarnya nilai karbon pada periode yang akan datang. Dalam
melakukan pengukuran, dilakukan beberapa langkah:
1.
Mengukur kandungan karbon per tegakan pohon jati berdasar
kelompok usia.
Dalam melakukan pengukuran besarnya aspek-aspek karbon, besarnya
kemampuan pohon jati dalam menyerap karbon perlu diketahui. Mber
Kemampuan pohon jati dalam menyerap karbon ini selanjutnya akan
digunakan sebagai dasar dalam mengakui besarnya kemampuan
30
penyerapan karbon yang hilang saat pohon tersebut ditebang. Data
yang digunakan sebagai acuan berdasar data cadangan karbon pada
berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia hasil riset Tim
Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, Desember 2010, yang
tersaji dalam tabel berikut:
Umur pohon
(Tahun)
1
Jumlah pohon/Ha
(Batang)
3.818
Kandungan karbon/Ha
(Kg C/Ha)
5.408,50
10
913
41.137,10
20
482
61.533,80
30
324
76.066,30
40
243
87.897,50
50
195
98.631,20
60
164
109.092,50
70
142
119.077,10
80
127
130.160,20
Tabel 2
Kandungan Karbon Hutan Jati (Kg/Ha):
Sumber: Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, Desember 2010,
Carbon Stocks on Various Type of Forest and Vegetation in Indonesia, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor.
2.
Menetapkan asumsi mengenai harga pasar perdagangan emisi
Setelah mengetahui besarnya kemampuan penyerapan karbon yang
hilang akibat penebangan pohon jati, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan asumsi harga pasar perdagangan emisi. Langkah ini
dilakukan karena harga pasar perdagangan emisi akan digunakan
untuk mengonversi besarnya potensi penyerapan karbon yang hilang
ke dalam satuan moneter. Dalam penelitian ini harga yang digunakan
adalah harga pasar hak emisi pada perdagangan emisi sebesar
USD10/ton C (Perdagangan Karbon, 27 Agustus 2007, Walhi Bali)
31
3.
Menetapkan asumsi kurs yang digunakan
Setelah mendapatkan nilai karbon yang telah dikonversi dalam satuan
moneter pada langkah kedua, maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan asumsi kurs rupiah terhadap USD yang akan digunakan.
Hal ini dilakukan, mengingat nilai moneter yang didapat pada langkah
kedua masih dalam satuan moneter USD, karena itu perlu untuk
dikonversi ke dalam satuan moneter rupiah. Dalam menetapkan
asumsi kurs rupiah terhadap USD, kurs yang digunakan pada
penelitian ini adalah kurs tengah Bank Indonesia per 21 Januari 2014
dengan nominal Rp. 12.122,- (Web BI, 2014).
4.
Menetapkan usulan formula penghitungan aspek-aspek karbon
Berdasar penjelasan-penjelasan di atas, maka dalam menghitung
aspek-aspek terkait karbon, dilakukan penghitungan dengan usulan
formula sebagai berikut:
∑
Keterangan:
Y= Provisi
= jumlah pohon kategori usia....
= nilai kemampuan serap karbon pohon kategori usia....
p= harga pasar karbon
b= kurs terkini
32
5.
Penghitungan aspek-aspek Lingkungan pada PT. Dharma Satya
Nusantara, Tbk.
Langkah-langkah yang telah dilakukan di atas pada akhirnya akan
menghasilkan suatu nilai dengan satuan moneter rupiah yang selanjutnya akan
diakui dan disajikan dalam laporan keuangan perusahaan. Agar lebih jelas dalam
pengaplikasian langkah-langkah yang telah dijelaskan di atas, maka akan
diilustrasikan sebuah studi kasus pengukuran estimasi potensi serap karbon.
Estimasi ini menggunakan data lahan milik PT. Dharma Satya Nusantara, Tbk
seluas 1.770 Ha (Lampiran 1), dengan asumsi seluruh lahan ditanami pohon jati
dengan dua kategori usia rata-rata umur tegakan pohon 10 tahun seluas 1.000
hektare, dan 770 hektare dengan perkiraan rata-rata umur tegakan pohon 30 tahun.
Pada pengukuran ini, terdapat dua skenario:
1. Pada skenario pertama (surplus), apabila bulan ini perusahaan sudah
mengelola hutan seluas 200 hektare untuk kategori tegakan berusia 10 tahun,
dan 300 hektare untuk kategori tegakan berusia 30 tahun. Maka untuk dapat
menentukan besarnya biaya kewajiban lingkungan akan digunakan model
penghitungan: (jumlah hektare yang sudah dikelola x jumlah cadangan
karbon) x harga pasar emisi x nilai kurs USD-IDR
Contoh penghitungan yang diajukan dalam penelitian ini :
a. Penghitungan kepemilikan potensi serap karbon
∑
Y = ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,-
33
Y = 99.708.151KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = Rp.12.086.622.060,-
Total kepemilikan potensi serap karbon = Rp12.086.622.060,b. Mengitung emiten karbon yang dihasilkan
∑
Y = ((200Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (300Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = 31.047.310KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = Rp. 3.763.554.918,-
Total emiten karbon = Rp. 3.763.554.918,c. Offset potensi serap karbon dengan emiten karbon
Surplus potensi serap karbon = potensi yang dimiliki – emiten yang
dihasilkan
Surplus potensi serap karbon = Rp 12.086.622.060,- -Rp 3.763.554.918,Surplus potensi serap karbon = Rp 8.325.067.148,2. Pada skenario kedua (defisit), diasumsikan perusahaan telah melakukan
pengelolaan pada seluruh lahan yang dimiliki, dan perusahaan telah
menghitung potensi karbon yang muncul akibat proses penebangan sebesar Rp
2.000.000.000,-. Maka perusahaan akan melakukan penghitungan aspek-aspek
karbon sebagai berikut:
a) Penghitungan kepemilikan potensi serap karbon
∑
Y = ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = 99.708.151KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,-
34
Y = Rp.12.086.622.060,-
Total kepemilikan potensi serap karbon = Rp 12.086.622.060,Potensi serap karbon yang dimiliki akan dikurs dengan mata uang
fungsional rupiah, dengan kurs tengah BI per 21 Januari 2014 sebesar Rp
12.122,- sehingga akan diperoleh nilai sebesar Rp 12.086.622.060,b) Mengitung emiten karbon yang dihasilkan
∑
Y = ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = 99.708.151KgC x 0,01 USD x Rp 12.122,Y = Rp.12.086.622.060,-
Total emiten karbon yang dihasilkan = Rp 12.086.622.060,- + Rp
2.000.000.000,Total emiten karbon yang dihasilkan = Rp 14.086.622.060,c) Offset potensi serap karbon dengan emiten karbon
Defisit potensi serap karbon = potensi yang dimiliki – emiten yang
dihasilkan
Defisit potensi serap karbon = Rp 12.086.622.060,ˉ-Rp 14.086.622.060,Defisit potensi serap karbon = Rp 2.000.000.000,Metode penghitungan konversi nilai karbon ke nilai moneter yang
diajukan dalam penelitian ini menggunakan dasar nilai pasar karbon yang berlaku
saat pengukuran dilakukan, prinsip ini terdapat dalam metode pengukuran Current
Cost Accounting, khususnya dengan model pengukuran Current Purchase
35
Exchange. Current Cost Accounting Method adalah konsep akuntansi yang
menyatakan pos-pos laporan keuangan dinilai dengan harga perolehan sekarang,
yaitu dengan harga perolehan yang mempunyai umur dan kapasitas yang sama
(Edwards&Bell). Sedangkan Current Purchase Exchange adalah model
pengukuran menggunakan harga pertukaran pembelian sekarang.
Dengan menggunakan metode pengukuran Current Cost Accounting, maka
nilai yang dihasilkan akan lebih relevan, karena selalu disesuaikan dengan harga
pasar emisi karbon. Sehingga, nilai kewajiban lingkungan yang dihitung besarnya
cukup memadai untuk mewakili biaya kewajiban yang terjadi saat itu.
PENGAKUAN DAN PENCATATAN
Seluruh biaya karbon yang sudah dihitung sebelumnya, pada akhirnya
akan diakui dalam laporan keuangan. Potensi penyerapan karbon yang dimiliki
oleh perusahaan dapat diakui sebagai aset tak berwujud, sesuai kriteria aset tak
berwujud dalam PSAK 19 (2010), lebih spesifik lagi dapat dikategorikan dalam
indefinitive intangible asset. Pengakuan ini didasari oleh kriteria definitive
intangible asset dalam PSAK 19 (2010), yaitu: diamortisasi sesuai masa
manfaatnya, diuji penurunan nilai apabila terdapat indikasi penurunan nilai.
Kriteria-kriteria tersebut dapat terpenuhi oleh daya serap pohon atas karbon, di
mana daya serap pohon memiliki umur yang sama dengan lama pohon ditanam
sebelum mencapai masa tebang, dan nilai daya serap pohon harus diuji setiap
tahun karena ada pohon yang ditebang selama proses produksi. Pada opsi
36
pengakuan aset tak berwujud, maka dapat dilakukan pencatatan adalah sebagai
berikut:
Aset Tak Berwujud
xxx
Modal
xxx
Selain opsi pengakuan sebagai aset tak berwujud perusahaan juga dapat
mengakui kepemilikan potensi serap karbon sebagai aset diestimasi. Sebagaimana
terdapat pada PSAK 57 (2009), aset estimasi tidak dicantumkan dalam laporan
keuangan, maka perusahaan tidak melakukan pencatatan apapun pada laporan
keuangan perusahaan.
Pada kasus penghitungan skenario pertama di mana perusahaan
mengalami surplus potensi serap karbon sehingga dapat menjual potensi serap
karbon tersebut kepada pihak lain, maka perusahaan dapat melakukan pengakuan
pendapatan di luar usaha (PSAK 23, 2010), sehingga perusahaan dapat melakukan
pencatatan debit kas atau piutang, kredit pendapatan di luar usaha adalah sebagai
berikut:
Kas/Piutang usaha XXX
Pendapatan di luar usaha XXX
Sedangkan pada skenario kedua, di mana perusahaan mengalami defisit
potensi serap karbon, sehingga harus membayar biaya jasa lingkungan.
Perusahaan dapat mengakui beban di luar usaha (PSAK), atau beban lingkungan
dan sosial (PSAK 32, 2007) atas pengeluaran jasa lingkungan tersebut dan dicatat
pada sisi debit, sedangkan pada sisi kredit perusahaan dapat mengakui kewajiban
diestimasi apabila pada awal periode perusahaan sudah melakukan estimasi defisit
37
potensi serap karbon, atau kas apabila penghitungan dilakukan pada awal periode
dan kekurangan dibayar tunai. Pencatatan tersebut dapat dilihat seperti di bawah
ini:
Beban di luar usaha/ Beban Lingkungan dan sosial XXX
Kas/Provisi XXXX
Dunia akuntansi mengenal dua macam kewajiban, yaitu kewajiban lancar
dan kewajiban tidak lancar. Di dalam masing-masing kewajiban lancar dan
kewajiban tidak lancar, apabila dibagi berdasar sudut pandang kepastian
keterjadian maka dapat dibagi menjadi kewajiban pasti dan kewajiban tidak pasti.
Kewajiban tidak pasti terbagi dalam provisi dan kontijensi.
Aspek-aspek terkait karbon yang dihitung sebelumnya, tidak dikategorikan
sebagai kewajiban pasti karena kewajiban pasti biasanya berhubungan dengan
kewajiban kepada pihak perbankan, vendor, ataupun pihak lain yang berhubungan
langsung dengan operasional perusahaan di mana nilai serta waktu jatuh tempo
pembayaran kewajiban tersebut jelas. Sedangkan pada kewajiban karbon yang
dihitung, waktu jatuh tempo pembayaran belum jelas, meskipun besarnya nilai
yang menjadi kewajiban perusahaan sudah dapat diestimasi dengan andal. Bidang
akuntansi membagi kewajiban tidak pasti menjadi dua, yaitu:
Provission is a liability of uncertain timing or ammount (sometimes
referred to as an estimated liability). (Donald, Kyesso, Intermediate
Accounting IFRS edition, book 1, chapter 13:677), Provisi menurut
PSAK 57: Liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum pasti.
38
Kewajiban kontijensi menurut PSAK 57 Revisi 2009:
a) Kewajiban potensial yang timbul dari masa lalu dan keberadaannya
menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau
lebih pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali
entitas, atau
b) Kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu,
tetapi tidak diakui karena:
i.
Tidak terdapat kemungkinan entitas mengeluarkan sember
daya
yang
mengandung
manfaat
ekonomi
untuk
menyelesaikan kewajibannya; atau
ii.
Jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal
Berdasar kriteria-kriteria yang ada di atas, maka aspek-aspek karbon lebih
tepat diakui sebagai provisi karena waktu keterjadian atau waktu jatuh tempo
pembayaran belum pasti. Sekalipun jumlah kewajiban dapat diestimasi secara
andal. Sedangkan untuk mengkategorikan kewajiban ini termasuk kewajiban
lancar atau kewajiban tidak lancar, lebih tepat untuk diakui sebagai kewajiban
lancar. Karena kewajiban ini dihitung per