T1 652008011 Full text

2
PENDAHULUAN
Konsumsi terigu masyarakat Indonesia selama Januari – September 2011 naik
sebesar 5.81 persen bila dibandingkan dengan tahun 2010. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan terigu, pemerintah melakukan impor terigu dari luar negri. Menurut Badan
Pusat Statistik, impor terigu Indonesia dari Januari - Agustus 2011 sudah mencapai
433.429 ton (Rosallina, 2011). Padahal, masalah ketahanan pangan ini dapat diatasi
dengan diversifikasi pangan berbasis bahan pangan dasar lokal. Hal tersebut juga sesuai
dengan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal (Anonim,2010).
Indonesia merupakan negara ke-4 sebagai negara penghasil gaplek dengan jumlah
produksi sebesar 20 juta ton dari 220 juta ton produksi dunia (Anonim, 2007). Gaplek
merupakan salah satu olahan ubi kayu (tanaman lokal) yang dikeringkan dengan energi
yang dihasilkan sebesar 363 kilokalori namun kandungan protein hanya sebesar 1.1
gram per 100 gram tepung gaplek (Hidayat dkk, 2000). Padahal protein merupakan
salah satu kriteria untuk menentukan nilai gizi bahan makanan (Arief, 2007). Pengayaan
protein dapat dilakukan dengan fortifikasi tepung kedelai melalui proses fermentasi.
Melalui fermentasi ini terjadi perombakan senyawa kompleks protein menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana dan memiliki daya cerna amat tinggi (Silvia, 2009).
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Hadinataria, 2011), kondisi optimum dalam
pembuatan tepung gaplek terfortifikasi adalah tepung gaplek difermentasi dengan
tepung kedelai dan ragi (25 : 5) selama 42,12 jam. Pada kondisi ini, kadar protein

terlarut yang dihasilkan adalah sebesar 9,00%. Namun, pada penelitian sebelumnya ini
belum dilakukan identifikasi asam amino pada tepung gaplek terfortifikasi. Padahal,
mutu protein juga dinilai dari kandungan asam amino pada suatu bahan pangan
(Winarno, 1997). Selain itu tepung gaplek terfortifikasi ini juga berpotensi untuk
menggantikan tepung terigu.
Selama proses fermentasi, protein kedelai akan terdegradasi menjadi asam amino,
sehingga protein terlarut akan meningkat dari 0,5% menjadi 2,5% (Deliani, 2008).
Protein terlarut merupakan oligopeptida dan terdapat rantai kurang dari 10 asam amino
serta memiliki sifat mudah diserap oleh sistem pencernaan, (Purwoko dan Handajani,

3
2007). Asam amino yang diperlukan tubuh adalah asam amino esensial karena asam
amino esensial lebih cepat diserap dibandingkan asam amino non esensial di dalam
tubuh (Linder, 1985). Selain itu, ketersediaan asam amino essensial juga menentukan
kualitas gizi protein (De Man, 1997). Protein kedelai mengandung 9 jenis asam amino
esensial, yaitu : sistein, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan
dan valin (Dwianingsih, 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kadar protein terlarut serta mengidentifikasi jenis asam amino pada
tepung gaplek terfortifikasi tepung kedelai berdasarkan lama waktu fermentasi.

METODE PENELITIAN
Bahan Dan Piranti
Bahan
Singkong yang digunakan adalah singkong varietas Gatot Kaca yang didapatkan
dari daerah Salatiga. Kedelai yang digunakan adalah kedelai (Glycine max (L)) varietas
Galunggung dan ragi yang digunakan adalah Ragi Ra-prima yang diperoleh dari Pasar
Raya Salatiga. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, CuSO4.5H2O ,
NaK-Tartat, akuades,

HCl, butanol, asam asetat glasial, ninhydrin, etanol, HCN,

tetrahidrofuran(THF), ortophaldehid, leusin, fenilalanin, metionin, sistein, lysinmonochloryde, dan treonin (Merck-Germany).
Piranti
Piranti yang digunakan antara lain : drying cabinet, grinder, ayakan aperture
250µm -mesh no. 60, centrifuge (EBA 21 Hettich Zentrifugen), kertas saring,
Spektrofotometer (Optizen UV 2120), kuvet, alat reflux, Plat KLT (Silica Gel 60 F 254
(Merck-Germany)), chamber, waterbath, Neraca Acis AD-600H, kertas saring
Whatman 0,2 c, kromatografi cair kinerja tinggi (Shimadzu LC 10), dan piranti gelas.

4

Metode
Pembuatan Gaplek (Hadinataria, 20011)
Singkong dibersihkan lalu dipotong kecil-kecil, selanjutnya potongan singkong
direndam dengan air garam selama 1 malam. Potongan singkong kemudian dikeringkan
dalam drying cabinet pada suhu 50oC selama 1 malam dan setelah kering, gaplek siap
untuk perlakuan berikutnya.
Pembuatan Tepung Gaplek Terfortifikasi (Hadinataria, 2011)
Gaplek kering dikukus selama 30 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin,
gaplek ditambah ragi dan tepung kedelai dengan perbandingan 5:25 (b/b) dari 100 gram
gaplek kering dan difermentasikan dengan lama waktu 40 jam. Gaplek terfermentasi
dikeringkan dalam drying cabinet dan setelah kering, gaplek terfermentasi dihaluskan
dengan menggunakan grinder dan diayak dengan ayakan aperture 250µm, mesh no. 60.
Penentuan Kadar Protein Tepung Gaplek Terfortifikasi dengan Metoda Biuret (AOAC,
1995)
Pembuatan kurva standar Biuret
Reagen Biuret dibuat dengan melarutkan 0,15 g CuSO4.5H2O + 0,6 g NaKTatrat
dalam labu ukur 50 mL. Kemudian larutan dimasukkan dalam labu ukur 100 mL,
selanjutnya ditambah 30 mL NaOH 10% dan digenapkan akuades.
Larutan protein (BSA) dengan konsentrasi 10


mg

/ml disiapkan untuk pembuatan

kurva standar. Larutan protein tersebut disiapkan dengan cara meningkatkan
konsentrasinya yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 mg/ml dalam 0,5 mL. Kemudian masingmasing larutan ditambahkan 2 ml reagen Biuret ke dalam setiap tabung dan larutan
dihomogenisasi lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar. Masing – masing
absorban larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.
Pengukuran sampel
Satu gram sampel ditambah akuades dan 1 mL NaOH 1 M, kemudian dipanaskan
di dalam water bath dengan suhu 90oC selama 10

menit. Setelah itu larutan

dipusingkan selama 10 menit. Setengah mililiter larutan supernatan diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Dua mililiter reagen Biuret ditambahkan ke dalam

5
tabung reaksi tersebut. Setelah itu di inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar.
Kemudian absorbansi sampel diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang

550 nm.
Identifikasi Asam Amino dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)(Rohmer, 1991)
Preparasi Sampel
Tujuh puluh lima gram sampel dihidrolisis dengan HCl 7,5 M selama 4 jam pada
suhu ± 90 0C menggunakan pelarut HCl 7,5 M. Hasil hidrolisis disaring untuk
menghilangkan kotoran.
Identifikasi Asam Amino
Hidrolisat ditotolkan pada plat KLT (Silica Gel F254 sebagai fase diam) lalu
dielusikan di dalam chamber yang telah dijenuhkan. Fase gerak yang digunakan adalah
butanol : asam asetat glasial : aquades dengan perbandingan 4:1:1 (v/v/v). Standar asam
amino yang digunakan sebagai pembanding adalah lisin, metionin, leusin, sistein,
fenilalanin, treonin.
Identifikasi Asam Amino dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Preparasi Sampel
Enam puluh miligram sampel ditambah 4 ml HCl 6 M, kemudian dipanaskan
selama 24 jam dengan suhu 1100 C. Selanjutnya hasil hidrolisis dinetralkan dengan
NaOH 6 M hingga 10 ml dan disaring dengan kertas saring Whatman 0,2 c.
Dua puluh lima mikroliter sampel ditambah larutan OPA ( Ortophalaldehid )
sebanyak 300 µL dan diaduk selama 5 menit. Selanjutnya, 20 µL sampel dimasukkan ke
dalam injektor KCKT.

Analisis Sampel
Sampel dianalisis dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi
(Shimadzu LC 10) pada fase diam kolom Licrospher ® 100 RP 18 (125 x 4 mm,5 µm ).
Sebagai fase gerak adalah Eluent A : metanol : 50 mM natrium asetat : Teterahidrofuran
(THF) dan Eluent B :65 % metanol. Analisa ini dilakukan pada suhu 27 0C dengan
kecepatan alir 1 ml/menit serta dideteksi dengan detektor fluorosen pada panjang

6
gelombang 360 dan 460 nm. Standar asam amino yang digunakan sebagai pembanding
adalah asam aspartat, glutamat, serin, histidin, glisin, arginin, alanin, tirosin, metionin,
valin, isoleusin, leusin, lisin, dan fenilalanin.
Analisis Data
Data kadar protein dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK
(Rancangan Acak Kelompok), 6 perlakuan dan 4 kali ulangan. Sebagai perlakuan
adalah tepung gaplek terfortifikasi dan tepung gaplek yang hanya ditambah ragi
(masing-masing pada lama waktu fermentasi 0 jam, 20 jam, dan 40 jam). Sedangkan
sebagai kelompok adalah waktu analisid. Purata antar perlakuan diuji menggunakan Uji
Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%. Data hasil KLT dan KCKT
dianalisa secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Peningkatan Kadar Protein Terlarut Tepung Gaplek Terfortifikasi
Selama proses fermentasi terjadi kenaikan kadar protein terlarut pada tepung gaplek
terfortifikasi maupun tepung gaplek yang hanya ditambah ragi. Masing-masing kadar
protein terlarut pada tepung gaplek terfortifikasi maupun tepung gaplek yang hanya
ditambah ragi dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar protein terlarut kedelai, gaplek, ragi,
dan tepung Terigu “X” juga diukur dan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kadar Protein Terlarut (%±SE) Tepung Gaplek
Gaplek Terfortifikasi
W
G0
G20
G40
GF0
2,13 ±
2,30 ±
2,70 ±
18,70 ±
0,36
0,1374a
0,3606a

0,5367a
0,2465b

Kontrol dan Tepung
GF20
20,96 ±
0,6532c

GF40
22,86 ±
1,023d

Keterangan :
G0 = Tepung Gaplek Kontrol 0 jam, G20 = Tepung Gaplek Kontrol 20 jam, G40 = Tepung Gaplek
Kontrol 40 jam, GF0= Tepung Gaplek Terfortifikasi Tepung Kedelai 0 jam, GF20= Tepung Gaplek
Terfortifikasi Tepung Kedelai 20 jam, GF40= Tepung Gaplek Terfortifikasi Tepung Kedelai 40 jam.
*. Tepung gaplek kontrol berarti gaplek hanya ditambah ragi (tidak dilakukan fortifikasi tepung
kedelai).
*. Huruf yang berbeda menyatakan adanya perbedaan secara nyata.


Pada sampel G0, G20, dan G40 tidak terjadi perbedaan kadar protein antara
masing–masing sampel. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya sumber nitrogen pada
gaplek yang digunakan oleh mikroorganisme selama fermentasi. Sehingga fermentasi

7
yang dilakukan dari 0 hingga 40 jam tidak menyebabkan kenaikan kadar protein terlarut
G0, G20, dan G40 yang signifikan. Namun antara sampel G0-G20-G40 dan GF0-GF20GF40 terjadi perbedaan kadar protein terlarut diantara sampel tersebut. Hal ini
dikarenakan adanya sumber nitrogen lain (selain tepung gaplek maupun ragi) yaitu
protein tepung kedelai. Besarnya protein tepung kedelai, tepung gaplek dan ragi dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kadar Protein Terlarut Kedelai, Gaplek, Ragi (%±SE), dan Tepung
Terigu “X” (%)
Tepung
Tepung
Ragi
Tepung Terigu “X”
Kedelai
Gaplek
35,08±0,06 1,46±0,7468 3,778±0,1364
20,25

Kadar protein terlarut GF40 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari GF20 dan
lebih tinggi dari GF0. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar protein
terlarut seiring dengan lama waktu fermentasi. Protein tepung kedelai yang cukup tinggi
ini digunakan oleh mikroorganisme untuk memecahkan senyawa organik menjadi lebih
sederhana (asam amino). Selain itu dengan adanya aktivitas proteolitik, protein yang
berasal dari tepung kedelai menjadi lebih terurai sehingga nitrogen terlarutnya
mengalami peningkatan (Aguskrisno, 2011).
Proses fermentasi ini dapat terjadi karena adanya aktivitas mikrobia yang
merombak substrat organik yang sesuai. Biasanya makanan yang mengalami fermentasi
akan mengalami peningkatan nilai gizi (Winarno, 1997). Selama proses fermentasi, juga
terjadi hidrolisis protein (walaupun dalam jumlah yang kecil ± 5%) yang hasilnya
terakumulasi dalam bentuk dalam bentuk peptida (Deliani, 2008). Hasil ini juga selaras
dengan penelitian yang dilakukan oleh Aro dan Aletor (2012) yang menunjukkan bahwa
kadar protein kulit ubi kayu meningkat seiring dengan bertambahnya lama waktu
fermentasi. Kandungan protein terlarut pada GF40 dan GF20 juga menunjukkan hasil
yang lebih tinggi dari kadar protein tepung terigu “X” (dapat dilihat pada Tabel 2).
Sehingga, tepung ini berpotensi untuk menggantikan tepung terigu. Tepung gaplek
terfortifikasi yang dihasilkan pada penelitian ini juga memiliki kadar protein terlarut
yang lebih tinggi daripada hasil penelitian Hadinataria (2011) yaitu hanya sebesar 9%.


8
Hal tersebut dikarenakan perbedaan penggunaan jenis kedelai pada penelitian
Hadinataria (2011).
Kadar protein terlarut atau sering disebut daya cerna protein merupakan
kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim-enzim
pencernaan (protease) (Pellet dan Young, 1980). Daya cerna protein adalah salah satu
faktor yang menentukan mutu protein karena menentukan ketersediaan asam amino
secara biologis. Daya cerna yang rendah berarti protein yang masuk ke tubuh tidak
dapat larut atau dicerna dengan sempurna sehingga asam-asam amino yang terkandung
tidak dapat larut dan digunakan oleh tubuh. Hal ini dapat menurunkan mutu protein
suatu makanan serta menimbulkan malnutrisi protein bagi konsumennya (Muchtadi,
1989).
Identifikasi Asam Amino dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Mutu protein suatu bahan makanan ditentukan ketersediaan asam amino yang dapat
diserap oleh tubuh. Susunan asam amino pada tepung gaplek yang hanya ditambah ragi,
tepung gaplek terfortifikasi dan tepung kedelai mengalami perubahan. Komposisi
susunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan hasil dan profil KLT identifikasi
asam amino dapat dilihat pada Gambar 4 maupun Gambar 5.
Berdasarkan Tabel 3, asam amino pada tepung gaplek terfortifikasi yang
teridentifikasi adalah sistein, treonin, metionin, dan leusin. Sedangkan pada tepung
gaplek kontrol adalah treonin dan metionin. Perubahan asam amino ini diakibatkan
adanya pembentukan enzim protease oleh mikroorganisme yang dapat menghidrolisis
protein sehingga terjadi perubahan kandungan asam aminonya selama fermentasi (Rusli,
2011).

9
Tabel 3. Nilai Rf Asam Amino Standar, Kedelai, Gaplek, Tepung Gaplek yang
Ditambah Ragi, dan Tepung Gaplek Terfortifikasi
A.A Std
0,11 (Lys)
0,14 (Cys)

Ked
G
G0
G20
G40
GF0
GF20
GF40
0,14
0,14
0,14
0,14
(Cys)
(Cys)
(Cys)
(Cys)
0,32
0,30
0,34
0,34
0,34
0,30
0,30
0,30
0,35 (Tre)
(Tre)
(Tre)
(Tre)
(Tre)
(Tre)
(Tre)
(Tre)
(Tre)
0,60
0,59
0,59
0,59
0,58
0,59
0,58
0,59 (Met)
(Met)
(Met)
(Met)
(Met)
(Met)
(Met)
(Met)
0,68
0,65
0,65
0,68 (Leu)
(Leu)
(Leu)
(Leu)
0,76
0,71 (Phe)
(Phe)
0,25
0,42
0,38
0,37
0,38
(Asp*)
(Cys*)
(Cys*)
(Cys*)
(Cys*)
0,40
0,53
0,51
(Cys*)
(Met*)
(Met*)
0,81
Keterangan : A.A Std = Asam Amino Standar, Ked = Kedelai, G = Gaplek, Lys = Lisin, Tre = treonin,
Met = Metionin, Cys = Sistein, Phe = Fenilalanin, Leu = Leusin. * Perbandingan Rf sampel dengan Rf
asam amino literatur.

Gambar 4. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Standar Asam Amino, Tepung Gaplek Kontrol, Tepung
Gaplek Terfortifikasi, Tepung Kedelai, dan Gaplek

10

Gambar 5. Pencintraan Hasil Kromatografi Lapis Tipis Standar Asam Amino, Tepung Gaplek
Kontrol, Tepung Gaplek Terfortifikasi, Tepung Kedelai, dan Gaplek

Pada proses fermentasi ini juga terjadi pengurangan jumlah asam amino dari tepung
kedelai menjadi tepung gaplek terfortifikasi. Hilangnya asam amino ini disebabkan oleh
deaminasi. Deaminasi adalah proses pemecahan (hidrolisis) asam amino menjadi asam
keto dan ammonia (NH4+). Salah satu hasil deaminasi ini adalah senyawa nonnitrogen
(C,H,dan O) yang digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroba
(Nugroho, 2012).
Pengayaan jumlah asam amino juga terjadi pada tepung gaplek kontrol menjadi
tepung gaplek terfortifikasi selama proses fermentasi. Asam amino yang muncul setelah
proses fermentasi adalah leusin dan sistein. Hasil ini juga selaras dengan penelitian yang
dilakukan oleh Aro dan Aletor (2012) yang menunjukkan selama proses fermentasi
terjadi pengayaan asam amino pada kulit ubi kayu.
Pembentukan leusin melibatkan lima tahapan reaksi yang dimulai dari prekursor
valin, yaitu 2- keto-isovalerate sampai reaksi terakhir yang dikatalisa oleh enzim
transaminase. Sedangkan pembentukan atau sintesis asam amino sistein berasal dari
metionin sebagai sumber sulfurnya. Kondensasi dari ATP dan metionin dikatalisis oleh

11
enzim

metionin

Sadenosilmetionin

adenosiltransfrease

menghasilkan

(SAM) akan berubah menjadi

Sadenosilmetionin

S-adenosilhomosistein

(SAM).
karena

adanya transmetil. Selanjutnya berubah menjadi homosistein dan adenosin dengan
bantuan enzim adenosilhomosisteinase. Homosistein berkondensasi dengan serin
menghasilkan sistationin dengan bantuan enzim sistationase. Selanjutnya dengan
bantuan enzim sistationin liase, sistationin diubah menjadi sistein dan α-ketobutirat.
Gabungan dari 2 reaksi terakhir ini dikenal sebagai trans-sulfurasi (Nugroho, 2012).
Identifikasi Asam Amino dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatogram standar asam amino dengan konsentrasi 50 ppm (f) dapat dilihat pada
Gambar 6. Sedangkan masing-masing kromatogram sampel G40, GF0, GF20, dan
GF40 dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, 10, dan 11.

Gambar 6. Kromatogram Standar Asam Amino 50 ppm
Keterangan : Standar dianalisa pada fase diam kolom Licrospher ® 100 RP 18 (125 x 4 mm,5 µm ) dan
fase gerak adalah Eluent A : metanol : 50 mM natrium asetat : Teterahidrofuran (THF) dan Eluent B :65
% metanol. Suhu analisa adalah 27 0C dengan kecepatan alir 1 ml/menit serta dideteksi dengan detektor
fluorosen pada panjang gelombang 360 dan 460 nm.

12

Gambar 7. Kromatogram Sampel Gaplek
Keterangan : Kondisi analisa sampel gaplek sama dengan kondisi yang digunakan pada Gambar 6

Gambar 8. Kromatogram Sampel G40
Keterangan : Kondisi analisa sampel gaplek sama dengan kondisi yang digunakan pada Gambar 6.

13

Gambar 9. Kromatogram Sampel GF0
Keterangan : Kondisi analisa sampel gaplek sama dengan kondisi yang digunakan pada Gambar 6.

Gambar 10. Kromatogram Sampel GF20
Keterangan : Kondisi analisa sampel gaplek sama dengan kondisi yang digunakan pada Gambar 6.

14

Gambar 11. Kromatogram Sampel GF40
Keterangan : Kondisi analisa sampel gaplek sama dengan kondisi yang digunakan pada Gambar 6.

Gaplek merupakan suatu bahan pangan lokal yang memiliki kadar protein yang
sangat rendah yaitu sebesar 1,8 % (Tabel 2). Walaupun kadar protein yang sangat
rendah, gaplek memiliki jenis asam amino yang bervariasi, antara lain (dapat dilihat
pada Tabel 4) : asam aspartat, glutamat, serin, glisin, arginin, alanin, tirosin, valin,
isoleusin, dan leusin, namun kadar asam amino yang terkandung dalam gaplek juga
sangatlah kecil bahkan beberapa asam amino seperti asam aspartat, valin, dan isoleusin
tidak terkuantifikasi. Suatu bahan makanan dapat diperkaya atau ditingkatkan gizinya
melalui fermentasi (Winarno, 1997). Fortifikasi dengan tepung kedelai yang dilakukan
pada gaplek serta adanya proses fermentasi dapat meningkatkan kadar serta
memperkaya jenis asam amino seperti histidin, metionin, dan lisin yang muncul pada
sampel GF40. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Perubahan asam amino ini
diakibatkan oleh mikroorganisme pada ragi yang memiliki aktivitas proteolitik yang
mampu menguraikan protein menjadi bentuk lebih sederhana yaitu asam amino
sehingga kadarnya pun meningkat (Deliani, 2008).

15
Tabel 4. Konsentrasi Asam Amino Pada Gaplek dan GF40
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Gaplek
AA
Kons
(ppm)
Asp*
Glu
5,692
Ser
9,732
Glis
14,345
Arg
13,205
Ala
8,130
Tyr
12,350
Val*
Iso*
Leu
5,752

GF40
AA
Kons
(ppm)
Asp 272,151
Glu 288,071
Ser 93,477
His 61,381
Glis 129,596
Arg 104,325
Ala 147,923
Tyr 68,287
Met 108,152
val
47,082
Iso
14,957
Leu 148,557
Lys 151,747

Ket : * menandakan bahwa asam amino tidak terkuantifikasi Asp = asam asapartat, Glu = Glutamat,
Ser = serin, His = Histidin, Glis = Glisin, Arg = Arginin, Ala = Alanin, Tyr = Tirosin, Met = Metionin,
Val = Valin, Ile = Isoleusin, Leu = Leusin, Lys = Lisin, Phe = Fenilalanin

Selain itu tepung gaplek terfortifikasi ini juga memiliki keunggulan yaitu adanya
asam amino essensial jenis arginin yang tidak dimiliki oleh kedelai, dimana kedelai
merupakan salah satu jenis bahan pangan yang mengandung 9 jenis asam amino
esensial (Deliani, 2008).
Proses fermentasi ini juga dapat berlangsung karena adanya mikororganisme
(Rhizopus oligosporus). Menurut Hesseltine (1965) dalam Deliani (2008) jamur
Rhizopus oligosporus bersifat proteolitik dan ini penting dalam pemutusan protein.
Jamur ini akan mendegradasi protein selama fermentasi menjadi dipeptida dan
seterusnya menjadi senyawa NH3 atau N2 (Winarno, 1997). Sehingga, semakin lama
proses fermentasi berarti semakin lama kesempatan jamur mendegradasi protein,
sehingga kesempatan untuk terjadinya perubahan jenis asam aminopun semakin besar
selagi jamur tersebut masih memiliki kemampuan tersebut (Deliani, 2008). Selain itu
berdasarkan penelitian Mursyid (2005) menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar
yang tajam pada 14 jenis asam amino selama 72 jam waktu fermentasi pada onggok
yang digunakan sebagai bahan pakan ayam yaitu sebesar 246%.

16
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Peningkatan kadar protein terlarut pada tepung gaplek terfortifikasi tepung kedelai
tertinggi didapatkan dengan lama waktu fermentasi 40 jam dan diikuti dengan lama
waktu fermentasi 20 dan 0 jam, yaitu sebesar 22,86%, 20,96%, dan 18,70%.
Asam amino yang teridentifikasi dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) pada tepung gaplek terfortifikasi dengan waktu fermentasi 40 jam adalah
leusin, metionin, treonin, dan sistein. Sedangkan berdasarkan hasil analisa Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT), asam amino yang teridentifikasi adalah aspartat, glutamat,
serin, histidin, glisin, arginin, alanin, tirosin, metionin, valin, isoleusin, leusin, dan lisin.
Saran
Lama waktu fermentasi pada tepung gaplek terfortifikasi perlu dioptimalkan lebih
lanjut, karena setelah 40 jam, kadar protein terlarutnya diharapkan masih dapat
meningkat. Selain itu, perlu dilakukan analisa kuantitatif semua jenis asam amino yang
terdapat pada tepung gaplek terfortifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aguskrisno, 2011. Peranan Rhizopus Oryzae Pada Industri Tempe Dalam Peranan
Peningkatan
Gizi Pangan.
http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/13/peranan-rhizopus-oryzaepada-industri-tempe-dalam-peranan-peningkatan-gizi-pangan/ [15 Februari
2012]
Anonim, 2007. Potensi Ekspor Gaplek Indonesia Ke China Mencapai Us$150 Juta.
http://www.antaranews.com/view/?i=1194593012&c=ekb&s= [28 Februari 2012]
Anonim, 2010. Rapat Konsolidasi Percepatan Penganekarakaman Pangan.
http://kantorketahananpanganblora.blogspot.com/2010/02/rapat-konsolidasipercepatan.html [30 Maret 2012]
Anonim, 2012. 1-Fluoro-2,4-dinitrobenzene. http://en.wikipedia.org/wiki/1-Fluoro-2,4dinitrobenzene [1 Mei 2012]
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemits. AOAC, Washington DC.

17
Arief, Ratna Wylis. 2007. Penentuan Kualitas Protein Jagung dengan Metode Protein
Efficiency Ratio.
http://www.puslittan.bogor.net//index.php?bawaan=publikasi/isi_informasi&kod
=PG206/02&kd=1&id_menu=5&id_submenu=21&id=157 [12 Desember 2011]
Aro S.O dan V.A. Aletor. 2012. Proximate composition and amino acid profile of
differently fermented cassava tuber wastes collected from a cassava starch
producing factory in Nigeria. Livestock Research for Rural Development. ISSN
0121-3784. 24 March 2012.
Benson, J.R and Hare, P.E. 1975. O-Phthalaldehyde: fluorogenic detectionof primary
amines in the picomole range. Comparison with fluorescamine and ninhydrin,
Proc. Nat. Acad. Sci., 72(2), 619-622.
Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi
Asam Lemak dan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe. Tesis. Medan. Sekolah
PascaSarjana Univeristas Sumatera Utara.
DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan, Hal. : 105. Penerbit ITB, Bandung.
Dwianingsih, E.A. 2010. Karakteristik Kimia Dan Sensori Tempe Dengan Variasi
Bahan Baku Kedelai/Beras Dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama
Fermentasi. Laporan Hasil Penelitian. Surakarta. Universitas Sebelas Maret.
Ezekiel, Olufunke O., Ogugua C. Aworh, Hans P. Blaschek and Thaddeus C. Ezeji.
2010. Protein enrichment of Cassava Peel by Submerged Fermentation with
Trichoderma viride (ATCC 36316). African Journal of Biotechonology Vol. 9 (2),
pp. 187-194, 11 January, 2010. ISSN 1684-5315.
Hadinataria, Nerissa. 2011. Pemanfaatan Tepung Kedelai (Glycine Max (L)) Dalam
Optimalisasi Pembuatan Tepung Gaplek Berprotein Sebagai Bahan Substitusi
Tepung Terigu. Skripsi. Salatiga. Universitas Kristen Satya Wacana, FSM-Kimia.
Hesseltine, C.W. 1961. Research at Nothern Regional Laboratory on Fermented Food.
Proc. Conf. Soybean Products for Protein in Human Foods, USDA.
Linder, M.C. 1985. Nutrional Biochemistry and Metabolism. Elsiver Science Publishing
Company, Inc., California
Muchtadi D. 1989. Protein : Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Musryid W. M, Ali. 2005. Solid State-Fermentation on Cassava Pomace with
Aspergillus oryzae: The Evaluation of Proteins and Amino Acids Content,
Digestibility, and Bioavailability Energy For Broiler Roasters. Buletin Peternakan
Vol. 29(2), 2005. ISSN 01246-4400.
Nugroho, Heru Santoso Wahito. 2012. Metabolisme Asam Amino. Bahan Kuliah
Biokimia D III Kebidananan, Dinkes, Ponorogo.

18
Pellet PL and VR Young (eds). 1980. Nutritional Evaluation of Protein Food. The
United Nations University, Tokyo.
Purwoko dan Handajani. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi
Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. Jurnal Ilmiah
Biodiversitas Vol. 8, No:2, 223-227. ISSN : 1412-033X, April 2007.
Rohman, Abdul dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan, Hal.:1-37. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Rohmer, Frank. 1991. Food Chemistry, Part 3: Chromatography-Enzymatic Test
Methods. Leybold Didactic GmbH, Jerman.
Rosallina,
2011.Konsumsi
Tepung
Terigu
Nasional
Melambat.
http://www.tempo.co/read/news/2011/10/27/090363609/Konsumsi-TepungTerigu-Nasional-Melambat [7 Desember 2011]
Rusli, Kurniawan Ridho. 2011. Giving Grounds Remaining Mixture Bran And Tofu
Fermentation With Monascus Purpureus Performance And Eggs Quality Of
Layer. Tesis. Padang. Universitas Andalas.
Silvia, Ayu. 2009. Pengaruh Penambahan Varietas Berat Inokulum terhadap Kualitas
Tempe Biji Durian (Durio zibethinus). Skripsi. Medan. Departemen Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Hidayat, S. Prihatin and L. Budiono. 2000. Kontribusi Gaplek Sebagai Substitusi
Makanan Pokok terhadap Kecukupan Energi dan Status Gizi Balita Keluarga
Petani Tadah Hujan Semarang. Penelitian Hibah Bersaing.
Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

LAMPIRAN