J00244
EFFEKTIFITAS KERJA PNS DALAM REFORMASI BIROKRASI
Yustisia T.A. Putranti dan Sri Suwartiningsih
(footnote : staf setda kota Salatiga dan pengajar program pasca sarjana studi
pembangunan-uksw)
!
"
#
$
%
&'() &*
!
+
,
!
!
!
Kata Kunci : efektifitas kerja, analisis beban kerja, reformasi birokrasi, Pegawai Negeri Sipil.
Realita Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim
Soeharto, Sang Bapak Pembangunan Indonesia, yang telah berkuasa selama lebih kurang 32
tahun. Reformasi menjadi titik awal perubahan menuju perbaikan dan kemajuan kondisi bangsa.
Reformasi terjadi diberbagai bidang salah satunya reformasi birokrasi.Drs. Taufik Effendi MBA,
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Periode 2005-2009 dalam visi-misi reformasi birokrasi
(Effendi, 2007), menyatakan bahwa:
Reformasi Birokrasi merupakan upaya sistemis, terpadu dan komprehensif untuk mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance), meliputi aspek kelembagaan, sumber daya manusia
aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik.
Dari sumber yang sama (Effendi, 2007), Eko Prasodjo (Universitas Indonesia) memandang
pentingnya reformasi kepegawaian yang merupakan salah satu subsistem reformasi birokrasi.
Dimana keberhasilan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan reformasi
kepegawaian. Dalam reformasi kepegawaian, harus direformasi sistem perekrutan,
penggajian,pengukuran kinerja, promosi dan pengawasan terhadap etika dan perilaku PNS.
Sebagaimana penjelasan diatas, salah satu aspek dalam kepemerintahan yang baik adalah
sumber daya manusia aparatur. Secara umum sumber daya manusia aparatur dalam organisasi
birokrasi dikenal dengan istilah Pegawai Negeri atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS
merupakan aset utama penggerak organisasi dalam mencapai tunjuan organisasi, sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 19991 bahwa “Pegawai Negeri berkedudukan
sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan,
dan pembangunan”. Sesuai dengan pendapat Tangkilisan (2002:25), “Unsur manusia merupakan
unsur penting, karena manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap organisasi.
Manusia adalah perencana, pelaku sekaligus penentu terwujudnya tujuan organisasi.”
Akan tetapi menurut Effendi (dalam Anonim 1, 2008) “55% dari total PNS berkinerja
buruk”. Selama puluhan tahun PNS memang memiliki citra yang buruk utamanya menyangkut
rutinitas pekerjaannya sebagaimana diungkapkan oleh Karina Ajeng Hanavitrie, Peneliti Pusat
Studi Advokasi dan Kebijakan Publik Surakarta sekaligus anggota Himpunan Mahasiswa
Administrasi Negara FISIP UNS, dalam tulisan “Nikmatnya Menjadi PNS Malas” (Hanavitrie,
2010) yaitu:
… Sebagai perbandingan, di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam telah menerapkan waktu
kerja di atas 40 jam per pekan. Jam kerja pegawai negeri di Malaysia mencapai 42 per pekan.
Bahkan, negara Vietnam telah menerapkan 50 jam kerja per pekan terhadap pegawai negerinya.
Sementara di Indonesia hanya 37,5 jam per pekan, itu pun kalau betul dilaksanakan. Kenyataannya
waktu itu sering “dicuri” untuk main game, menjelajahi Facebook, belanja ke mal atau membolos
di waktu-waktu khusus sehabis cuti Lebaran.
PNS belum optimal dalam menjalankan tanggung jawab pekerjaannya. Terbukti dengan
maraknya pelanggaran yang mengakibatkan inefektivitas kerja. Bahkan muncul anekdot di
kalangan masyarakat yang menyebut PNS berpenyakit KUDIS (kurang disiplin), ASMA (asal
mengisi absen), TBC (Tidak Bisa Computer), dan GINJAL (gaji ingin naik-kerja lamban). Hal
ini tentu tidak muncul begitu saja, melainkan lahir karena realita perilaku PNS yang sarat
pelanggaran terhadap ketentuan bekerja dan waktu kerja, sebagai contoh:
1. Artikel “CPNS dan Koruptor Waktu”, tulisan Iptu Imara Utama, SH, mahasiswa Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian Angkatan 54 Ton C (Utama, 2009) yaitu:
Bukan rahasia lagi jika banyak oknum PNS melakukan korupsi waktu. Di antaranya adanya upaya
mangkir pada jam kerja, serta sering bolos kerja dengan alasan klasik, seperti kunjungan lapangan,
rapat di luar kota atau dinas luar. Padahal, mereka menghabiskan jam kerjanya di warung makan,
mal, bahkan ada yang berkeliaran di hotel-hotel atau tempat wisata dengan pasangan
selingkuhannya.
2. Artikel “Ratusan PNS Mangkir”, warta Harian Joglo Semar (Anonim 2, 2010) yaitu:
SOLO – Hari pertama masuk kerja usai libur Lebaran, Selasa (14/9), ratusan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di wilayah eks Karesidenan Surakarta terbukti mangkir. Sebagian ada yang
dengan izin, namun tidak sedikit yang nyata-nyata membolos. Inspeksi mendadak (Sidak) yang
dilakukan oleh Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya bersama Inspektorat, Satpol PP dan Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) misalnya, berhasil menemukan 13 PNS di lingkungan Pemkab
Sukoharjo membolos tanpa keterangan.
…Suasana di Sragen lebih parah lagi, sedikitnya 124 PNS dari sejumlah satuan kerja
(Satker) tidak hadir pada hari pertama dinas pascalibur Lebaran. Mereka tidak hadir dengan
berbagai alasan, mulai dari sakit, izin, cuti hingga piket atau ada yang tanpa keterangan.
Tim gabungan Pemkab Sragen yang melakukan Sidak ke seluruh Satker menemukan fakta,
dari sekitar 2.900 PNS yang ada di Satker, yang masuk ada 2.776 PNS atau 95,7 persen. Sedang 4,3
persen (124 PNS) diketahui mangkir dengan berbagai alasan. …Sementara menurut pantauan
1
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Kepegawaian (Bab I, Pasal 3).
Joglosemar, masih banyak PNS yang datang ke kantor terlambat. Bahkan, selepas Sidak tidak
sedikit PNS yang kepergok berada di luar kantor meski masih jam kerja. … Dari Wonogiri
dilaporkan, sebanyak 164 PNS di lingkungan Pemkab Wonogiri mangkir di hari pertama kerja.
…Suasana serupa juga terjadi di Karanganyar. Tiga PNS di kantor Dinas Peternakan dan Perikanan
diketahui mangkir tanpa alasan jelas. Sementara sejumlah PNS lain tidak berangkat kerja dengan
berbagai alasan, mulai dari izin sakit, cuti melahirkan, hingga izin melayat.
Fenomena yang dipaparkan media cetak diatas terjadi juga di lingkungan Pemerintah Daerah
Kota Salatiga.
Selama jam kerja ditemukan PNS yang “berkeliaran” di pasaratau pusat perbelanjaan.
Jika PNS berada di toko penyedia jasa foto copy, percetakan, toko alat tulis atau lokasi terkait
dengan bidang pekerjaannya hal tersebut masih wajar. Jika PNS berada di pasar tradisional
dengan komoditas barang dagang sayuranatau berada di toko kelontong, dapat dibenarkan PNS
terindikasikan “berkeliaran” untuk kepentingan pribadi atau kepentingan nondinas.Bukanlah
suatu pemandangan asing jika pada saat jam kerja PNS tengah berbelanja, menjemput anak
pulang sekolah, pergi ke salon atau mengobrol dengan rekan-rekannya di warung makan. Mereka
biasanya memakai jaket atau sejenisnya untuk menutupi pakaian identitas yang dikenakan.
Di kantor, pada sela-sela jam kerja PNS tampak beraktivitas nondinas seperti membaca
tabloid, majalah atau novelselama berjam-jam, duduk bersantai menikmati makanan ringan,
menonton televisi yang tersedia di ruang kerja, bermain game atau bahkan menyempatkan diri
berlama-lama merokok. Akumulasi waktu yang terpakai untuk hal-hal diluar kepentingan dinas
bisa jadi lebih banyak daripada yang dipakai untuk kegiatan dinas. Beban kerja PNS yang
sebenarnya, patut dipertanyakan. Mengapa PNS terlihat santai, malas dan tidak efektif dalam
bekerja?
Fenomena ini merupakan ironi dari realita birokrasi, mengingat besarnya anggaran bagi
pembiayaan penghasilan PNS Kota Salatiga yaitu 47% 2 dari Total Pendapatan Daerah, oleh
karenanya, kajian tentang effektifias kerja PNS dalam reformasi birokrasi penting untuk dikaji.
Kerja dan Analisis Beban Kerja (ABK)
Pengertian Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah “kegiatan
melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, perayaan yang berhubungan
dengan perkawinan, khitanan, dsb, cak pekerjaan, cak bekerja”
Gering dan Tri (2003) menjabarkan kerja dalam 12 definisi kerja yaitu:
(1) Kerja adalah hukuman. Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa kerja di Taman
Firdaus, tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka ia di hukum: untuk bisa hidup sebentar
manusia harus bekerja banting tulang cari makan. Salah satu bentuk hukuman adalah kerja
paksa. (2) Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban. Juga bagi kaum budak atau
pekerja yang berada dalam posisi lemah. (3) Kerja adalah kewajiban. Dalam sistem birokrasi
atau sistem kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau membayar
hutang. (4) Kerja adalah sumber penghasilan, yaitu kerja sebagai sumber nafkah sebagaimana
anggapan dasar masyarakat pada umumnya. (5) Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai
2
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Walikota
Salatiga Periode 2006-2011.
kesenangan seakan hobi atau sport. Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai pada SDM yang
workaholic.(6) Kerja juga dipandang sebagai gengsi berkaitan dengan status sosial dan jabatan.
Jabatan seseorang struktural misalnya, jauh lebih diidamkan ketimbang jabatan fungsional. Maka
dari itu definisi kerja adalah gengsi, prestise.(7) Kerja adalah aktualisasi diri. Kerja disini
dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. Bagi seseorang yang menganut anggapan dasar ini,
lebih baik jadi kepala ayam ketimbang ekor sapi. (8) Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja disini
berkaitan dengan bakat. Dari sini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja. (9)
Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dengan tulus, tanpa pamrih. (10) Kerja adalah
hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan kerja.Bagi beberapa orang kerja dimaknai
sebagai kemuliaan, yaitu (11) Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur atas
kehidupan di dunia ini. Kerja dilakukan seakan-akan kepada dan bagi kemuliaan nama Tuhan
dan bukan kepada manusia,oleh karena itu orang bekerja penuh enthusiasm.(12) Kerja adalah
suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa,kesalahan,
pelanggaran dan kejahatan.
Analisis Beban Kerja (ABK) 3 adalah suatu teknik manajemen yang dilakukan secara
sistematis untuk memperoleh informasi mengenai tingkat efektivitas dan efisiensi kerja
organisasi berdasarkan volume kerja.
ABK digunakan untuk mengukur dan menghitung beban kerja setiap jabatan/unit kerja.
ABK dilakukan terhadap jabatan bukan personal PNS, sehingga siapa pun personalnya tidak
menjadi prioritas utama tujuan penelitian. ABK diterapkan terhadap tiga aspek yaitu:
1. Norma waktu
Merupakan waktu yang wajar dan nyata digunakan secara efektif dengan kondisi normal
seorang pemangku jabatan untuk menyelesaikan pekerjaan.Dihitung berdasarkan waktu riil
yang dipakai untuk tindak kerja dan waktu tunggu tidak dihitung kecuali operator mesin.
2. Volume kerja
Merupakan sekumpulan pekerjaan yang harusdiselesaikan dalam 1 tahun.Volume kerja
ditetapkan berdasarkan frekuensi kerja, yaitu: harian=235; mingguan= 47; bulanan=12; dan
tahunan= 1.
3. Jam kerja efektif
Merupakan jam kerja yang harus digunakan untuk berproduksi atau menjalankan tugas yang
menghasilkan produk berupa benda, jasa atau informasi.Jam kerja efektif secara nasional
diatur 37,5 jam per minggu4. Di lingkunganSetda Kota Salatiga jam kerja efektif ditetapkan
dalam format 5 hari kerja. Hari Senin s.d. Kamis: jam 07.00-15.30 WIB sedangkan hari
Jum’at
: Jam 07.00-11.00 WIB5.
3
Permendagri Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
4
Keppres Nomor 68 Tahun 1995 yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Men PAN) Nomor
222/M.PAN/8/2001 Tentang Pengaturan Hari dan Jam Kerja Instansi Pemerintah.
5
Keputusan Walikota Salatiga Nomor 061.2/281/2001 Tentang Pengaturan Hari danJam Kerja Instansi di Lingkungan Pemerintah Kota
Salatiga,Psl. 1 Angka (1).
Penghitungan jam kerja ditetapkan 1300 jam per tahun dengan pengertian bahwa:
Jam Kerja Efektif adalah jumlah jam kerja formal dikurangi dengan waktu kerja yang hilang
karena tidak bekerja (allowance) seperti buang air, melepas lelah, istirahat makan dan
sebagainya. Allowance rata-rata sekitar 25% dari jumlah jam kerja formal.
Kerja dan Analisis Beban Kerja adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya harus berjalan seiring sehingga dapat dilihat efektifitas kerja Sumber Daya Manusia
Penelitian dengan jenis penelitian eksploratif (penjajakan) dan pendekatan kualitatif ini,
dilakukan di Sekretariat Daerah (Setda) Kota Salatiga Propinsi Jawa Tengah. Setda dipilih
sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa pada tataran Pemerintahan Daerah
Kabupaten atau Kota pejabat (PNS) tertinggi berada di Setda yaitu Sekretaris Daerah (Sekda).
Setda merupakan pusat kendali yang berperan sebagai “otak” dalam sistem birokrasi
pemerintahan daerah, oleh karena itu Setda menjadileading sector yang mengkoordinir
pelaksanaan kegiatanorganisasi perangkat daerah.
Unit amatan dalam penelitian ini adalah PNSSetda yang memiliki masa kerja jabatan di
Setda minimal dua tahun (berturut-turut) per 1 April 2011. Peneliti menggunakan batasan masa
kerjajabatan dua tahun dengan pemahaman dasar bahwa pada tahun pertama seorang PNS
mengetahui dan menjalankan tupoksinya, sedangkan pada tahun kedua seorang PNS dianggap
cukup memahami tupoksinya karena pernah melakukan aktivitas pekerjaan tersebut sebelumnya,
sehingga dapat memberikan informasi lebih detail tentang rincian tugasnya berdasarkan
pengalaman. Selain itu, batasan dua tahun digunakan untuk menghindari CPNS menjadi
informan, sebab CPNS rata-rata masih dalam kondisi ploting (penempatan awal sesuai formasi
pendaftaran). PNS Setda yang memenuhi kriteria sebagai informan adalah 111 orang dari jumlah
keseluruhan PNS Setda175 orang.
Efektivitas Kerja
. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa hanya satu orang informan yang memaknai kerja
sebagai ibadah sehingga PNS dapat memberikan pelayanan sebagaimana melayani umat. PNS
Setda tidak memaknai kerja sebagai pelayan sebab dalam menjalankan tupoksinya sehari-hari
PNS Setda tidak berhadapan langsung dan melayani masyarakat sebagaimana Dinas atau
Kecamatan, akan tetapi PNS lebih banyak berhadapan dengan benda mati seperti dokumen atau
arsip.
Mayoritas PNS memaknai kerja sebagai sumber penghasilan. Kerja sebagai sumber
penghasilan sebagaimana diungkapkan oleh Gering dan Tri dalam Definisi Kerja, dimaknai
sebagai sumber nafkah seperti anggapan dasar masyarakat umumnya sehingga setiap pekerjaan
dinilai dari ada atau tidak adanya pendapatan bernilai Rupiah yang diperoleh. Beberapa PNS
justru terlihat memanfaatkan waktu pada jam kerjanya untuk memperoleh tambahan penghasilan,
misalnya menjadi anggota MLM (Multi Level Marketing) produk kosmetik, pakaian dan asesoris
tertentu. Pola kerja PNS yang demikian tidak dapat serta merta dikatakan sebagai inefektivitas
kerja sebab ukuran efektif atau tidaknya suatu tindak kerja tergantung pada indikator yang
digunakan. Berdasarkan pemahaman Steers (1981:1) tentang efektivitas kerja “suatu pekerjaan
dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat menghasilkan satu unit keluaran (output). Suatu
pekerjaan dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat diselesaikan tepat pada waktunya sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan”, secara individu pemanfaatan waktu kerja untuk kegiatan
nondinas dapat dikatakan efektif, dimana waktu yang ada dimanfaatkan untuk menghasilkan
lebih banyak produk dibandingkan hanya diam menunggu pekerjaan datang, seperti:
a. PNS petugas kebersihan
Memiliki tupoksi menyediakan jasa kebersihan kantor. Mulai awal tahun 2011 kebersihan
lingkungan Setda turut dikerjakan oleh pihak ketiga atau rekanan, akibatnya beban kerja
petugas kebersihan (PNS) mengecil, padahal jumlah personil tetap. Otomatis beban kerja
perorangan turut mengecil. Jika beban kerja perorangan mengecil, artinya lebih banyak
waktu menganggur, maka petugas kebersihan ini menunggu pekerjaan;
b. PNS petugas Santel
Memiliki tupoksi menyediakan jasa santel yang dilakukan dengan menggunakan peralatan
santel seperti mesin faksimile dan pesawat telepon. Dalam ABK waktu menunggu (stand by)
didepan peralatan santel tidak dihitung meskipun merupakan tindak kerja yang secara riil
tidak dapat dihilangkan. Pelaksanaan pekerjaan dilakukan dengan sif, padahal Petugas Santel
Setda ada 5 (lima) orang yang setiap hari masuk kerja meskipun tidak sedang sif jaga. Bagi
PNS yang tidak sedang bertugas jaga, mengerjakan tupoksi lain seperti mendistribusikan
kiriman faks masuk. Pada kelebihan jam kerja tersebut, PNS menunggu pekerjaan.
Berdasarkan contohdiatas, tampak kegiatan PNS Setda dengan berbagai jabatan memiliki
waktu tunggu. Selama waktu tunggu, PNS yang menggunakan waktunya tetap berada dikantor
atau tetap berada di meja kerjanya, tidak dihitung sebagai tindak kerja. Waktu tunggu yang
terhitung dalam ABK hanya waktu tunggu jabatan operator seperti operator mesin, sehingga
tindak kerja (faktual) jabatan lainnya tidak dapat terekam seluruhnya. Hal ini merupakan sisi
ketidaksempurnaan ABK, oleh karenanya perlu dilakukan pembenahan terhadapnya.
Waktu tunggu sering digunakan untuk membaca majalah, menonton televisi atau bermain
game. Bahkan ada yang menyempatkan diri menjemput anak pulang sekolah dan berbelanja
sebagai rutinitas sehari-hari. Peneliti mengamati petugas kebersihan mulai bersih-bersih sekitar
jam 06.00 dan jam 09.00-10.00 WIB sudah bersantai tidak ada pekerjaan dan bahkan beberapa
diantaranya sudah pulang. Sedangkan pengadministrasi umum biasanya terlihat santai antara jam
11.00-13.00 WIB dan disela-sela jam kerja efektif banyak waktu menunggu yang biasanya
digunakan untuk menonton televisi di ruang kerja. Beberapa PNS mengaku pekerjaannya telah
selesai, sehingga menganggur dan tidak ada yang dikerjakan. Jika demikian, keadaan menjadi
dilematis, apalagi tidak ada sanksi yang jelas untuk pelanggaran jam kerja, selain itu budaya tepo
seliro antar sesama PNS di lingkungan Setda menjadi kendala tersendiri. Tepo seliro berkembang
ke arah negatif, yaitu PNS berusaha menutup mata atau bahkan atasan mengijinkan bawahannya
keluar kantor untuk kepentingan dinas, agar di lain kesempatan ketika atasan berbuat hal yang
sama tidak menuai protes. Tepo seliro yang kebablasan mengakibatkan PNS menjadi leluasa dan
cenderung kurang bertanggung jawab akan pekerjaannya.
PNS memandang pemanfaatan waktu tunggu dari segi keefektivitasan individu saja, yaitu
pekerjaan dinas terselesaikan dan memanfaatkan waktu yang ada untuk mengerjakan aktivitas
lain agar waktu yang ada tidak terbuang percuma. Aktivitas lain yang dimaksud adalah aktivitas
nondinas seperti membaca novel, menonton televisi atau bermain game. Proses pelaksanaan
pekerjaan diatur menurut pola kerja masing-masing. Prioritas dalam pola kerja PNS adalah
pencapaian target kegiatan, kurang berorientasi pada proses kegiatan. Pola kerja PNS tersebut
dapat dikatakan efektif, sebagaimana diungkapkan Schermerhorn (1998:5): “efektivitas kerja
merupakan suatu ukuran tentang pencapaian suatu tugas atau tujuan”, orientasi terhadap proses
diabaikan. Pola kerja tersebut cenderung sama dan dilakukan secara kontinyu sehingga menjadi
kebiasaan. Karena telah terbiasa melakukan aktivitas nondinas selama jam kerja maka tidak
timbul rasa bersalah.
PNS memiliki peran multidimensional yaitu sebagai makhluk sosial, anggota kelompok
kerja, anggota keluarga, anggota masyarakat sekaligus warga negara. Masing-masing peran
tersebut menimbulkan konsekuensi yang berbeda-beda dalam hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Dari sisi kemanusiaan peran multidimendional membuat efektivitas kerja PNS
menjadi tidak maksimal. Pada saat PNS melaksanakan suatu kewajiban pada suatu peran
terhambat oleh kewajiban pada peran lainnya. Selain itu ditemukan juga bahwa PNS sering
melakukan aktivitas nondinas cenderung memanfaatkan waktu tunggu secara acak dan tidak
terakomodir dalam satu periode waktu istirahat tertentu sebagaimana biasa dijumpai pada
karyawan atau pegawai swasta yang memperoleh jam istirahat antara 12.00-13.00 WIB.
Terjadilah fenomena curi-curi waktu yang kemudian memunculkan penilaian buruk terhadap
efektivitas kerja PNS. Masyarakat diluar organisasi birokrasi tentu memandangnya sebagai
inefektivitas kerja. PNS digaji untuk bekerja dan memberikan pelayanan umum, sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat justru berperilaku semaunya sendiri. Kenyataan yang terjadi seperti
dua sisi mata uang, hakekatnya satu namun dipandang dari sisi yang berbeda sehingga
memunculkan perbedaan opini.
Efektivitas menurut pandangan Siswanto (1990:62) berarti menjalankan pekerjaan yang
benar. Kegiatan PNS sebagaimana dibahas diatas tentu saja tidak efektif, karena pemanfaatan
jam kerja efektif sebagaimana diungkap diatas dipandang dari sudut pandang normatif menjadi
salah.
Pendapat Siagian (1986:152) efektivitas kerja berarti penyelesaian pekerjaan tepat waktu.
PNS Setda melaksanakan tupoksi sesuai dengan program yang telah ditetapkan, berarti tujuan
telah tercapai, tidak ada salahnya melakukan aktivitas lain meskipun aktivitas nondinas. Dalam
situasi ini PNS dapat dikatakan efektif bekerja. Pendapat ini dikuatkan oleh Sutarto (1978:95)
yang menyatakan bahwa aktivitas jasmani dan rohani yang dilakukan dan mencapai hasil yang
dikehendaki berarti aktivitas tersebut efektif.
Efektivitas Kerja Menurut ABK
Standar yang digunakan untuk mengukur efektivitas kerja PNS adalah ABK. ABK
memiliki unsur 5W+1H (who, what, when, where, why + how), artinya siapa-apa-kapan-dimanamengapa dan bagaimana PNS menggunakan jam kerja efektif untuk melakukan tindak kerja
yang menghasilkan output.
Tindak kerja PNS merupakan jabaran tupoksi dan tidak termasuk aktivitas kewajiban,
misalnya: mengisi daftar hadir, mengikuti upacara atau apel, memakai tanda pengenal dan
atribut, dls.. Untuk mempertegas tujuan penelitian, dalam pembahasan ini tidak disertakan
pengamatan absensi sebagaimana lazim dijumpai pada penelitian serupa. Selain alasan mendasar
tersebut, absensi di Setda, baik mesin fingertech atau manual, tidak valid untuk menggambarkan
ketaatan terhadap ketentuan jam kerja.
Melalui mesin absensi fingertech, informasi waktu hadir dan waktu pulang kerja
terdeteksi namun tidak mewakili kondisi kehadiran fisik PNS. Penggunaan mesin fingertech
selain dapat diakses dengan sidik jari juga dapat diakses menggunakan kode nomor, oleh karena
itu kebiasaan “titip absen” dikalangan PNS masih marak terjadi. Absensi secara manual juga
tidak valid, sering kali justru diisi sebulan sekali ketika akan digunakan untuk pemeriksaan atau
penghitungan Tunjangan Tambahan Penghasilan.
Dalam penelitian ini, diketahui bahwa“Efektivitas Jabatan = Efektivitas
Kerja”.Jabatan yang diemban memiliki tupoksi yang dilaksanakan dengan aktivitas bekerja,
oleh karena itu efektivitas jabatan sama dengan efektivitas kerja. Hasil dari analisis beban kerja
dan predikat adalah rata-rata beban kerja 1034,18 dengan predikat C.
Berikut ditampilkan perbandingan beban kerja normatif dengan beban kerja faktual PNS Setda
yaitu:
Tabel 1
Perbandingan Beban Kerja Normatif Dengan Beban Kerja Faktual
Waktu
Tahunan
Mingguan
Harian
Beban Kerja Normatif
1300
37,5
5,5
Beban Kerja Faktual
1034,18
22
4,4
Allowance
Sumber: Putranti, 2011.
Membandingkan beban kerja normatif PNS Setda dengan beban kerja faktualnya, diketahui
bahwa beban kerja faktual PNS Setda sehari-hari menurun 5% dari pada beban kerja normatif.
Allowance atau waktu yang digunakan PNS untuk melakukan aktivitas nondinasnya sehari-hari
adalah 30% atau 2 jam 15 menit. Padahal secara normatif diperkenankan allowance hanya
selama 25% atau 1 jam 52 menit. Setiap hari, secara tidak langsung PNS Setda menganggur
selama 23 menit per orang per hari.
Tabel 1 diatas memberikan informasi tentang Beban Kerja Normatif tahunan 1300 dan
Beban Kerja Faktual tahunan 1034,18. Hal ini berarti adanya beban kerja terbengkalai yang
seharusnya dapat dikerjakan selama jam kerja efektif berlangsung sebesar 265,82 per orang per
tahun
yang
diperoleh
dari
penghitungan
berikut:
.
Beban kerja yang terbengkelai tersebut secara kualitas tidak cukup berpengaruh terhadap
organisasi Setda, akan tetapi perlu diperhatikan juga kuantitasnya. Secara matematis
akumulasinya akan menjadi begitu bernilai. Apalagi Setda merupakan organisasi birokrasi yang
berperan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebelum pembahasan lebih lanjut, berikut
peneliti mencantumkan data kepegawaian Setda berdasarkan sebaran jumlah personilnya yaitu:
Tabel 2
Data Kepegawaian PNS Setda Berdasarkan SOTK Per 1 April 2011
SOTK
Sekretaris Daerah
Staf Ahli
Asisten Pemerintahan:
Bagian Tapem
Bagian Hukum
Bagian Humas
Asisten Ekobang:
Bagian Perekonomian
Jumlah Personil (orang)
1
3
1
16
16
16
1
12
Bagian Adm. Pembangunan
Bagian Kesra
Asisten Adm. Umum:
Bagian Organisasi dan Kepegawaian
Bagian Umum
Bagian Adm. Keuangan
Jumlah
Sumber: Putranti, 2011.
16
10
1
10
59
13
175
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa beban kerja terbengkalai sebesar 265,82 per orang
per tahun. Jika dihitung secara menyeluruh, Setda dengan 9 Bagian, terdiri dari 175 orang PNS,
maka rata-rata jumlah personil 19,44 atau 20 orang per Bagian. Dengan jumlah personil 20
orang tersebut akan menciptakan beban kerja terbengkalai Setda sebesar: 265,82 × 20 = 5316,4
(beban kerja).
Beban kerja terbengkalai sebanyak 5316,4 , jika dihitung dengan standarisasi beban kerja
ideal adalah
(orang). Maksudnya dalam satu tahun hari kerja di Setda
terdapat 5316,4 beban kerja yang terbengkalai setara dengan beban kerja 4 orang PNS dengan
predikat efektivitas kerja A. Beban kerja dalam 1 Bagian yang diampu oleh 20 orang PNS,
idealnya dapat diselesaikan oleh 16 orang PNS saja. Terdapat kelebihan jumlah personil.
Meskipun kondisi tersebut tidak dapat digeneralisasikan dalam satu lingkup organisasi birokrasi
Setda namun merupakan cerminan bahwa realita yang terjadi di Setda tidak dipungkiri
menyimpan pengangguran tidak kentara (disguised unemplyoment), hal ini terjadi karena beban
kerja yang tidak sepadan dengan jumlah PNS yang ada. Melalui penataan organisasi dan tupoksi,
serta penempatan pegawai secara tepat dapat mengatasi pengangguran tidak kentara.
Kenyataannya beban kerja dalam 1 Bagian dikerjakan secara gotong royong utamanya pada
tingkatan jabatan fungsional umum sebab tidak memaknai hakekat jabatannya.
Selain beban kerja yang tidak sepadan, dari penelitian diketahui bahwa terdapat unsur
selera atasan dalam menugaskan bawahannya. Dimata atasan, seorang bawahan seolah-olah
diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu:
1. Tipe I: PNS mampu (menurut selera atasan)
Tipe PNS mampu lebih disukai oleh atasan dan akan lebih sering “dipakai” atau mendapat
tugas meski bukan tupoksinya. PNS selalu mendapat prioritas penugasan dari atasan karena
dianggap mumpuni;
2. Tipe II: PNS standar (menurut selera atasan)
Tipe PNS biasa dianggap memiliki kemampuan rata-rata yang diserahi tugas sebagaimana
umumnya, sehingga PNS tipe ini melaksanakan pekerjaan yang cenderung ideal atau
normatif; dan
3. Tipe III: PNS tidak mampu (menurut selera atasan)
Tipe PNS tidak mampu kurang dipercaya untuk menyelesaikan pekerjaan terutama pekerjaan
berat dan serius, akibatnya PNS kategori ini akan mengalami disguised unemplyoment dan
terlihat “luntang-luntung” di unit kerjanya.
Paradigma atasan tentang tipe-tipe PNS merupakan kendala dalam distribusi personil
(penempatan) dan distribusi tugas (penugasan). Sayangnya, asumsi dasar yang membentuk
ketiga tipe PNS tersebut lebih banyak didasari asas kecocokan pribadi pimpinan dengan
bawahan, sehingga kesesuaian kompetensi diri dengan kompetensi jabatan menjadi terabaikan.
Seorang PNS yang kompeten jika tidak cocok secara pribadi dengan atasannya maka tidak akan
terpakai, begitu juga sebaliknya, seorang PNS yang tidak kompeten jika cocok secara pribadi
dengan atasan akan selalu dipakai. Ketidakselarasan kompetensi pejabat dengan jabatannya,
bertolak belakang dengan idealisme kurikulum berbasis kompetensi yang diajarkan di lembagalembaga pendidikan. Jika seseorang masuk dan bergelut dalam sistem birokrasi yang masih
amburadul, maka kompetensinya selama pendidikan akan berakhir sebagai sebuah angka atau
nilai dalam ijazah saja.
Untuk mempertahankan eksistensinya dalam unit kerja, PNS menjadi bawahan yang
penurut, yes man atau ABS (asal bos senang). Dalam lingkungan birokrasi yang sarat akan strata
pangkat, golongan dan jabatan, pemahaman “bos diatas bos” menjadikan PNS memiliki loyalitas
semu, yaitu loyal terhadap “bos” atau pimpinan, bukan loyal terhadap peraturan. Dari paradigma
budaya, perilaku PNS tersebut kental kultur Jawa, yaitu senioritas usia. Jika atasan lebih muda
usianya dibandingkan dengan usia stafnya, dalam mengambil keputusan sebagai top leader
pimpinan akan mengikutsertakan pendapat bawahan dengan pertimbangan usia yang lebih tua
dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih.
Asas selera pimpinan dan loyalitas semu tersebut tidak akan terjadi jika ada legalitas
peraturan kepegawaian yang independen, mengingat penempatan pegawai sarat muatan politis
sebab Kepala Daerah dipilih langsung dari Partai Politik. Meskipun proses menempatkan PNS
dalam jabatan ada peran Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan), namun
kewenangan Baperjakat tumbang oleh Keputusan Walikota yang tidak mungkin lepas dari
nuansa politis.
Unsur atasan seperti Staf Ahli, Asisten dan bahkan Kepala Bagian sering berganti-ganti
personel karena cepatnya arus mutasi kepegawaian. Tercatat mutasi yang terjadi tahun 2010
hingga tahun 2011 ini mengakibatkan beberapa pejabat duduk dalam jabatannya sekitar enam
bulan, sehingga pemahaman pejabat terhadap tupoksi unit kerja atau jabatannya tidak maksimal.
Akibat seringnya mutasi pegawai ini adalah inkonsistensi pelaksanaan kebijakan yang
sustainable. Karena ganti pemimpin ganti kebijakan, maka pelaksanaan kegiatan unit kerja
menjadi tidak terstruktur.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih condong menggunakan konsep efektivitas kerja
Gibson (Moenir, 2000) sebagai berikut:
1. Efektivitas individual
Efektivitas kerja secara individual menunjukkan bahwa secara personal efektivitas kerja PNS
Setda berdasarkan ABK adalah cukup (Lihat Tabel 5).
2. Efektivitas kelompok
Efektivitas kelompok dapat dilihat dari penelitian efektivitas dalam lingkup unit kerja atau
Bagian di Setda. Dimana berdasarkan ABK dapat dikatakan bahwa rata-rata setiap Bagian
kelebihan jumlah PNS sebanyak 4 orang. Terlihat dalam skala populasi yang lebih besar
efektivitas kerja PNS Setda belum efektif. Perlu adanya pemberdayaan PNS agar tidak
menimbulkan kegemukan organisasi.
3. Efektivitas Organisasi
Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, demikian pula Setda, terdiri dari PNS sebagai
individu dan unit kerja atau Bagian sebagai kelompok. Dari sudut pandang yang lebih luas,
ketidakefektifan kerja PNS Setda semakin terlihat jelas. Sebagaimana telah diuraikan diatas,
akumulasi allowance memberi dampak yang besar terhadap organisasi. Jelas bahwa jika
berdasarkan perhitungan beban kerja masing-masing Bagian rata-rata dapat diselesaikan oleh
16 orang saja dengan menonaktifkan 4 orang, maka setidaknya ada 4 (PNS jobless) × 9
(Bagian) = 36 orang yang jobless (disguised unemplyoment). PNS jobless yang ditemukan
peneliti adalah fungsional umum seperti petugas kebersihan dan pengadministrasi umum.
Reformasi Birokrasi
Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang efektifitas kerja dengan analisis beban
kerja, maka perlu dilakukan penataan organisasi. Penataan organisasi dapat dimulai dengan
telaah tupoksi, penggabungan organisasi, SOTK dan penempatan personil dengan distribusi
merata, penyelarasan antara kompetensi pribadi dan kompetensi jabatan, agar efektivitas kerja
PNS dapat lebih optimal. Penataan yang tidak hanya berhenti pada aspek organisasi tetapi
sampai pada penataan birokrasi.
Organisasi Setda sebagai leading sector penyelenggaraan pemerintahan seyogyanya
menjadi pemrakarsa organisasi yang tepat struktur dan tepat fungsi. Bukan seperti yang sudahsudah terjadi yaitu organisasi kaya struktur miskin fungsi atau parahnya organisasi banyak
struktur tidakk berfungsi.
ABK menjadi sorotan peneliti dalam mengejawantahkan efektivitas kerja. meskipun
ABK telah ada sejak lama, namun tidak dipungkiri secara komprehensif sistem yang terbangun
masih jauh dari sempurna. Sayangnya “paket penilaian setengah matang” menggunakan ABK
tersebut telah dicanangkan menjadi ukuran penilaian kinerja PNS yang akan digunakan sebagai
tolak ukur pemberian insentif atau remunerasi. Meski hingga hari ini hal tersebut masih sebatas
wacana, Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih kepada efektivitas kerja PNS
utamanya melihat beban kerja dan waktu kerja sehingga diperoleh formulasi kebijakan yang
tepat.
Mengukur efektivitas sama halnya mengukur kecantikan. Standar cantik menurut orang
Jawa lain dengan standar cantik orang Sumatra atau Papua. Cantik versi orang Jawa adalah kulit
kuning langsat, rambut lurus dan hidung mancung. Cantik versi orang Sumatra adalah kulit
putih, rambut lurus dan mata sipit, sedangkan Papua memiliki standar cantik yaitu kulit
berwarna, mata lebar dan rambut ikal. Terdapat ukuran yang berbeda-beda dalam menentukan
satu penilaian cantik. Sama halnya dengan menilai efektivitas kerja PNS.
Di Setda Kota Salatiga, konsep rasio antara curahan jam kerja efektif dengan beban kerja
diwujudkan dalam penghitungan efektivitas kerja berdasarkan ABK. Dari rangkaian tahap-tahap
penelitian diketahui bahwa efektivitas kerja PNS Setda Kota Salatiga adalah 1034,18 dengan
predikat rata-rata C atau cukup. Cukup dalam pengertian ABK adalah predikat nilai tengah
antara A sampai dengan E. Predikat C adalah cukup atau pas yang artinya beban kerja PNS tidak
berlebihan, tidak mengeksploitasi sumber daya manusia, tetapi juga tidak kurang beban kerja.
Predikat cukup bukan merupakan hasil penghitungan yang buruk, namun bukan pula suatu
prestasi yang dapat dibanggakan, sebab efektivitas kerja terbaik dari PNS Indonesia (predikat A)
sekalipun, sebenarnya masih tertinggal dari negara-negara tetangga (Lihat Hanavitrie, 2010).
Seyogyanya organisasi birokrasi seperti Setda dapat terus berbenah diri untuk
mengoptimalkan efektivitas kerja PNS, sehingga peran PNS sebagai abdi masyarakat dan abdi
negara dapat berjalan optimal tanpa mengesampingkan peran PNS yang multidimensional.
Dengan demikian reformasi birokrasi yang efektif dan produktif adalah menjadi pekerjaan
selanjutnya bagi Setda Salatiga. Pada akhirnya proses pembangunan dapat berjalan dengan
efektif dan efisien karena difasilitasi dengan aktor-aktor birokrasi yang handal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1. 2008. Waktu Kinerja Produktif PNS. (http://www.sinarharapan.com) diunduh 20 Desember 2010)
Anonim 2. 2010. Ratusan PNS Mangkir. Solo. (http:// www.harianjoglosemar.com) diunduh 9 Oktober 2010.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Effendi, Taufiq.2007. Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance.Jakarta.
(http://www.setneg.go.id) diunduh 9 Oktober 2010.
Gie, The Liang. 1979. Cara Bekerja Efisien. Yogyakarta: Karya Kencana.
Hanavitrie, Karina Ajeng. 2010. Nikmatnya Menjadi PNS Malas, Solo.(http://www.harianjoglosemar.com) diunduh
9 Oktober 2010.
Harsono. 2006. Administrasi Kepegawaian. Jatinangor: Alqa Prisma Interdelta. Cetakan II Edisi Revisi.
Moenir. 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Supriyadi, Gering dan Tri Guno. 2003. Budaya Kerja Organisasi Pemerintahan. Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2002. Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo.
Utama, Imara. 2009. CPNS dan Koruptor Waktu. Semarang (http://www.wordpress.com) diunduh 9 Oktober 2010.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974) Tentang PokokPokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1979 Tentang Daftar Urut Kepangkatan Pegawai Negeri
Sipil.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2002 tentang perubahan atas PP Nomor 99 Tahun 2000
Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja Di Lingkungan
Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.
Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 222/M.PAN/8/2001 Tentang Pengaturan Hari dan
Jam Kerja Instansi Pemerintah.
Keputusan Walikota Salatiga Nomor 061.2/281/2001 Tentang Pengaturan Hari dan Jam Kerja Instansi Di
Lingkungan Pemerintah Kota Salatiga.
Peraturan Walikota Salatiga Nomor 51 tahun 2008 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat
Struktural Pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan rakyat daerah Kota Salatiga.
Lain-Lain
Kamus Besar bahasa Indonesia. 2002. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban – Akhir Masa Jabatan (LKPJ AMJ) Walikota Salatiga Periode 20062011.
Buku Inventarisasi Nomenklatur Jabatan Biro Organisasi dan Kepegawaian Propinsi Jawa Tengah Tahun 2007.
Modul Diklat Teknis Analisis Jabatan Tingkat Dasar Biro Organisasi dan Kepegawaian Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2010.
Modul Diklat Teknis Analisis Jabatan Tingkat Lanjutan Biro Organisasi Kepegawaian Provinsi Jawa Tengah Tahun
2011.
***
Yustisia T.A. Putranti dan Sri Suwartiningsih
(footnote : staf setda kota Salatiga dan pengajar program pasca sarjana studi
pembangunan-uksw)
!
"
#
$
%
&'() &*
!
+
,
!
!
!
Kata Kunci : efektifitas kerja, analisis beban kerja, reformasi birokrasi, Pegawai Negeri Sipil.
Realita Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim
Soeharto, Sang Bapak Pembangunan Indonesia, yang telah berkuasa selama lebih kurang 32
tahun. Reformasi menjadi titik awal perubahan menuju perbaikan dan kemajuan kondisi bangsa.
Reformasi terjadi diberbagai bidang salah satunya reformasi birokrasi.Drs. Taufik Effendi MBA,
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Periode 2005-2009 dalam visi-misi reformasi birokrasi
(Effendi, 2007), menyatakan bahwa:
Reformasi Birokrasi merupakan upaya sistemis, terpadu dan komprehensif untuk mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance), meliputi aspek kelembagaan, sumber daya manusia
aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik.
Dari sumber yang sama (Effendi, 2007), Eko Prasodjo (Universitas Indonesia) memandang
pentingnya reformasi kepegawaian yang merupakan salah satu subsistem reformasi birokrasi.
Dimana keberhasilan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan reformasi
kepegawaian. Dalam reformasi kepegawaian, harus direformasi sistem perekrutan,
penggajian,pengukuran kinerja, promosi dan pengawasan terhadap etika dan perilaku PNS.
Sebagaimana penjelasan diatas, salah satu aspek dalam kepemerintahan yang baik adalah
sumber daya manusia aparatur. Secara umum sumber daya manusia aparatur dalam organisasi
birokrasi dikenal dengan istilah Pegawai Negeri atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS
merupakan aset utama penggerak organisasi dalam mencapai tunjuan organisasi, sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 19991 bahwa “Pegawai Negeri berkedudukan
sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan,
dan pembangunan”. Sesuai dengan pendapat Tangkilisan (2002:25), “Unsur manusia merupakan
unsur penting, karena manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap organisasi.
Manusia adalah perencana, pelaku sekaligus penentu terwujudnya tujuan organisasi.”
Akan tetapi menurut Effendi (dalam Anonim 1, 2008) “55% dari total PNS berkinerja
buruk”. Selama puluhan tahun PNS memang memiliki citra yang buruk utamanya menyangkut
rutinitas pekerjaannya sebagaimana diungkapkan oleh Karina Ajeng Hanavitrie, Peneliti Pusat
Studi Advokasi dan Kebijakan Publik Surakarta sekaligus anggota Himpunan Mahasiswa
Administrasi Negara FISIP UNS, dalam tulisan “Nikmatnya Menjadi PNS Malas” (Hanavitrie,
2010) yaitu:
… Sebagai perbandingan, di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam telah menerapkan waktu
kerja di atas 40 jam per pekan. Jam kerja pegawai negeri di Malaysia mencapai 42 per pekan.
Bahkan, negara Vietnam telah menerapkan 50 jam kerja per pekan terhadap pegawai negerinya.
Sementara di Indonesia hanya 37,5 jam per pekan, itu pun kalau betul dilaksanakan. Kenyataannya
waktu itu sering “dicuri” untuk main game, menjelajahi Facebook, belanja ke mal atau membolos
di waktu-waktu khusus sehabis cuti Lebaran.
PNS belum optimal dalam menjalankan tanggung jawab pekerjaannya. Terbukti dengan
maraknya pelanggaran yang mengakibatkan inefektivitas kerja. Bahkan muncul anekdot di
kalangan masyarakat yang menyebut PNS berpenyakit KUDIS (kurang disiplin), ASMA (asal
mengisi absen), TBC (Tidak Bisa Computer), dan GINJAL (gaji ingin naik-kerja lamban). Hal
ini tentu tidak muncul begitu saja, melainkan lahir karena realita perilaku PNS yang sarat
pelanggaran terhadap ketentuan bekerja dan waktu kerja, sebagai contoh:
1. Artikel “CPNS dan Koruptor Waktu”, tulisan Iptu Imara Utama, SH, mahasiswa Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian Angkatan 54 Ton C (Utama, 2009) yaitu:
Bukan rahasia lagi jika banyak oknum PNS melakukan korupsi waktu. Di antaranya adanya upaya
mangkir pada jam kerja, serta sering bolos kerja dengan alasan klasik, seperti kunjungan lapangan,
rapat di luar kota atau dinas luar. Padahal, mereka menghabiskan jam kerjanya di warung makan,
mal, bahkan ada yang berkeliaran di hotel-hotel atau tempat wisata dengan pasangan
selingkuhannya.
2. Artikel “Ratusan PNS Mangkir”, warta Harian Joglo Semar (Anonim 2, 2010) yaitu:
SOLO – Hari pertama masuk kerja usai libur Lebaran, Selasa (14/9), ratusan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di wilayah eks Karesidenan Surakarta terbukti mangkir. Sebagian ada yang
dengan izin, namun tidak sedikit yang nyata-nyata membolos. Inspeksi mendadak (Sidak) yang
dilakukan oleh Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya bersama Inspektorat, Satpol PP dan Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) misalnya, berhasil menemukan 13 PNS di lingkungan Pemkab
Sukoharjo membolos tanpa keterangan.
…Suasana di Sragen lebih parah lagi, sedikitnya 124 PNS dari sejumlah satuan kerja
(Satker) tidak hadir pada hari pertama dinas pascalibur Lebaran. Mereka tidak hadir dengan
berbagai alasan, mulai dari sakit, izin, cuti hingga piket atau ada yang tanpa keterangan.
Tim gabungan Pemkab Sragen yang melakukan Sidak ke seluruh Satker menemukan fakta,
dari sekitar 2.900 PNS yang ada di Satker, yang masuk ada 2.776 PNS atau 95,7 persen. Sedang 4,3
persen (124 PNS) diketahui mangkir dengan berbagai alasan. …Sementara menurut pantauan
1
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Kepegawaian (Bab I, Pasal 3).
Joglosemar, masih banyak PNS yang datang ke kantor terlambat. Bahkan, selepas Sidak tidak
sedikit PNS yang kepergok berada di luar kantor meski masih jam kerja. … Dari Wonogiri
dilaporkan, sebanyak 164 PNS di lingkungan Pemkab Wonogiri mangkir di hari pertama kerja.
…Suasana serupa juga terjadi di Karanganyar. Tiga PNS di kantor Dinas Peternakan dan Perikanan
diketahui mangkir tanpa alasan jelas. Sementara sejumlah PNS lain tidak berangkat kerja dengan
berbagai alasan, mulai dari izin sakit, cuti melahirkan, hingga izin melayat.
Fenomena yang dipaparkan media cetak diatas terjadi juga di lingkungan Pemerintah Daerah
Kota Salatiga.
Selama jam kerja ditemukan PNS yang “berkeliaran” di pasaratau pusat perbelanjaan.
Jika PNS berada di toko penyedia jasa foto copy, percetakan, toko alat tulis atau lokasi terkait
dengan bidang pekerjaannya hal tersebut masih wajar. Jika PNS berada di pasar tradisional
dengan komoditas barang dagang sayuranatau berada di toko kelontong, dapat dibenarkan PNS
terindikasikan “berkeliaran” untuk kepentingan pribadi atau kepentingan nondinas.Bukanlah
suatu pemandangan asing jika pada saat jam kerja PNS tengah berbelanja, menjemput anak
pulang sekolah, pergi ke salon atau mengobrol dengan rekan-rekannya di warung makan. Mereka
biasanya memakai jaket atau sejenisnya untuk menutupi pakaian identitas yang dikenakan.
Di kantor, pada sela-sela jam kerja PNS tampak beraktivitas nondinas seperti membaca
tabloid, majalah atau novelselama berjam-jam, duduk bersantai menikmati makanan ringan,
menonton televisi yang tersedia di ruang kerja, bermain game atau bahkan menyempatkan diri
berlama-lama merokok. Akumulasi waktu yang terpakai untuk hal-hal diluar kepentingan dinas
bisa jadi lebih banyak daripada yang dipakai untuk kegiatan dinas. Beban kerja PNS yang
sebenarnya, patut dipertanyakan. Mengapa PNS terlihat santai, malas dan tidak efektif dalam
bekerja?
Fenomena ini merupakan ironi dari realita birokrasi, mengingat besarnya anggaran bagi
pembiayaan penghasilan PNS Kota Salatiga yaitu 47% 2 dari Total Pendapatan Daerah, oleh
karenanya, kajian tentang effektifias kerja PNS dalam reformasi birokrasi penting untuk dikaji.
Kerja dan Analisis Beban Kerja (ABK)
Pengertian Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah “kegiatan
melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, perayaan yang berhubungan
dengan perkawinan, khitanan, dsb, cak pekerjaan, cak bekerja”
Gering dan Tri (2003) menjabarkan kerja dalam 12 definisi kerja yaitu:
(1) Kerja adalah hukuman. Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa kerja di Taman
Firdaus, tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka ia di hukum: untuk bisa hidup sebentar
manusia harus bekerja banting tulang cari makan. Salah satu bentuk hukuman adalah kerja
paksa. (2) Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban. Juga bagi kaum budak atau
pekerja yang berada dalam posisi lemah. (3) Kerja adalah kewajiban. Dalam sistem birokrasi
atau sistem kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau membayar
hutang. (4) Kerja adalah sumber penghasilan, yaitu kerja sebagai sumber nafkah sebagaimana
anggapan dasar masyarakat pada umumnya. (5) Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai
2
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Walikota
Salatiga Periode 2006-2011.
kesenangan seakan hobi atau sport. Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai pada SDM yang
workaholic.(6) Kerja juga dipandang sebagai gengsi berkaitan dengan status sosial dan jabatan.
Jabatan seseorang struktural misalnya, jauh lebih diidamkan ketimbang jabatan fungsional. Maka
dari itu definisi kerja adalah gengsi, prestise.(7) Kerja adalah aktualisasi diri. Kerja disini
dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. Bagi seseorang yang menganut anggapan dasar ini,
lebih baik jadi kepala ayam ketimbang ekor sapi. (8) Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja disini
berkaitan dengan bakat. Dari sini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja. (9)
Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dengan tulus, tanpa pamrih. (10) Kerja adalah
hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan kerja.Bagi beberapa orang kerja dimaknai
sebagai kemuliaan, yaitu (11) Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur atas
kehidupan di dunia ini. Kerja dilakukan seakan-akan kepada dan bagi kemuliaan nama Tuhan
dan bukan kepada manusia,oleh karena itu orang bekerja penuh enthusiasm.(12) Kerja adalah
suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa,kesalahan,
pelanggaran dan kejahatan.
Analisis Beban Kerja (ABK) 3 adalah suatu teknik manajemen yang dilakukan secara
sistematis untuk memperoleh informasi mengenai tingkat efektivitas dan efisiensi kerja
organisasi berdasarkan volume kerja.
ABK digunakan untuk mengukur dan menghitung beban kerja setiap jabatan/unit kerja.
ABK dilakukan terhadap jabatan bukan personal PNS, sehingga siapa pun personalnya tidak
menjadi prioritas utama tujuan penelitian. ABK diterapkan terhadap tiga aspek yaitu:
1. Norma waktu
Merupakan waktu yang wajar dan nyata digunakan secara efektif dengan kondisi normal
seorang pemangku jabatan untuk menyelesaikan pekerjaan.Dihitung berdasarkan waktu riil
yang dipakai untuk tindak kerja dan waktu tunggu tidak dihitung kecuali operator mesin.
2. Volume kerja
Merupakan sekumpulan pekerjaan yang harusdiselesaikan dalam 1 tahun.Volume kerja
ditetapkan berdasarkan frekuensi kerja, yaitu: harian=235; mingguan= 47; bulanan=12; dan
tahunan= 1.
3. Jam kerja efektif
Merupakan jam kerja yang harus digunakan untuk berproduksi atau menjalankan tugas yang
menghasilkan produk berupa benda, jasa atau informasi.Jam kerja efektif secara nasional
diatur 37,5 jam per minggu4. Di lingkunganSetda Kota Salatiga jam kerja efektif ditetapkan
dalam format 5 hari kerja. Hari Senin s.d. Kamis: jam 07.00-15.30 WIB sedangkan hari
Jum’at
: Jam 07.00-11.00 WIB5.
3
Permendagri Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
4
Keppres Nomor 68 Tahun 1995 yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Men PAN) Nomor
222/M.PAN/8/2001 Tentang Pengaturan Hari dan Jam Kerja Instansi Pemerintah.
5
Keputusan Walikota Salatiga Nomor 061.2/281/2001 Tentang Pengaturan Hari danJam Kerja Instansi di Lingkungan Pemerintah Kota
Salatiga,Psl. 1 Angka (1).
Penghitungan jam kerja ditetapkan 1300 jam per tahun dengan pengertian bahwa:
Jam Kerja Efektif adalah jumlah jam kerja formal dikurangi dengan waktu kerja yang hilang
karena tidak bekerja (allowance) seperti buang air, melepas lelah, istirahat makan dan
sebagainya. Allowance rata-rata sekitar 25% dari jumlah jam kerja formal.
Kerja dan Analisis Beban Kerja adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya harus berjalan seiring sehingga dapat dilihat efektifitas kerja Sumber Daya Manusia
Penelitian dengan jenis penelitian eksploratif (penjajakan) dan pendekatan kualitatif ini,
dilakukan di Sekretariat Daerah (Setda) Kota Salatiga Propinsi Jawa Tengah. Setda dipilih
sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa pada tataran Pemerintahan Daerah
Kabupaten atau Kota pejabat (PNS) tertinggi berada di Setda yaitu Sekretaris Daerah (Sekda).
Setda merupakan pusat kendali yang berperan sebagai “otak” dalam sistem birokrasi
pemerintahan daerah, oleh karena itu Setda menjadileading sector yang mengkoordinir
pelaksanaan kegiatanorganisasi perangkat daerah.
Unit amatan dalam penelitian ini adalah PNSSetda yang memiliki masa kerja jabatan di
Setda minimal dua tahun (berturut-turut) per 1 April 2011. Peneliti menggunakan batasan masa
kerjajabatan dua tahun dengan pemahaman dasar bahwa pada tahun pertama seorang PNS
mengetahui dan menjalankan tupoksinya, sedangkan pada tahun kedua seorang PNS dianggap
cukup memahami tupoksinya karena pernah melakukan aktivitas pekerjaan tersebut sebelumnya,
sehingga dapat memberikan informasi lebih detail tentang rincian tugasnya berdasarkan
pengalaman. Selain itu, batasan dua tahun digunakan untuk menghindari CPNS menjadi
informan, sebab CPNS rata-rata masih dalam kondisi ploting (penempatan awal sesuai formasi
pendaftaran). PNS Setda yang memenuhi kriteria sebagai informan adalah 111 orang dari jumlah
keseluruhan PNS Setda175 orang.
Efektivitas Kerja
. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa hanya satu orang informan yang memaknai kerja
sebagai ibadah sehingga PNS dapat memberikan pelayanan sebagaimana melayani umat. PNS
Setda tidak memaknai kerja sebagai pelayan sebab dalam menjalankan tupoksinya sehari-hari
PNS Setda tidak berhadapan langsung dan melayani masyarakat sebagaimana Dinas atau
Kecamatan, akan tetapi PNS lebih banyak berhadapan dengan benda mati seperti dokumen atau
arsip.
Mayoritas PNS memaknai kerja sebagai sumber penghasilan. Kerja sebagai sumber
penghasilan sebagaimana diungkapkan oleh Gering dan Tri dalam Definisi Kerja, dimaknai
sebagai sumber nafkah seperti anggapan dasar masyarakat umumnya sehingga setiap pekerjaan
dinilai dari ada atau tidak adanya pendapatan bernilai Rupiah yang diperoleh. Beberapa PNS
justru terlihat memanfaatkan waktu pada jam kerjanya untuk memperoleh tambahan penghasilan,
misalnya menjadi anggota MLM (Multi Level Marketing) produk kosmetik, pakaian dan asesoris
tertentu. Pola kerja PNS yang demikian tidak dapat serta merta dikatakan sebagai inefektivitas
kerja sebab ukuran efektif atau tidaknya suatu tindak kerja tergantung pada indikator yang
digunakan. Berdasarkan pemahaman Steers (1981:1) tentang efektivitas kerja “suatu pekerjaan
dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat menghasilkan satu unit keluaran (output). Suatu
pekerjaan dikatakan efektif jika suatu pekerjaan dapat diselesaikan tepat pada waktunya sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan”, secara individu pemanfaatan waktu kerja untuk kegiatan
nondinas dapat dikatakan efektif, dimana waktu yang ada dimanfaatkan untuk menghasilkan
lebih banyak produk dibandingkan hanya diam menunggu pekerjaan datang, seperti:
a. PNS petugas kebersihan
Memiliki tupoksi menyediakan jasa kebersihan kantor. Mulai awal tahun 2011 kebersihan
lingkungan Setda turut dikerjakan oleh pihak ketiga atau rekanan, akibatnya beban kerja
petugas kebersihan (PNS) mengecil, padahal jumlah personil tetap. Otomatis beban kerja
perorangan turut mengecil. Jika beban kerja perorangan mengecil, artinya lebih banyak
waktu menganggur, maka petugas kebersihan ini menunggu pekerjaan;
b. PNS petugas Santel
Memiliki tupoksi menyediakan jasa santel yang dilakukan dengan menggunakan peralatan
santel seperti mesin faksimile dan pesawat telepon. Dalam ABK waktu menunggu (stand by)
didepan peralatan santel tidak dihitung meskipun merupakan tindak kerja yang secara riil
tidak dapat dihilangkan. Pelaksanaan pekerjaan dilakukan dengan sif, padahal Petugas Santel
Setda ada 5 (lima) orang yang setiap hari masuk kerja meskipun tidak sedang sif jaga. Bagi
PNS yang tidak sedang bertugas jaga, mengerjakan tupoksi lain seperti mendistribusikan
kiriman faks masuk. Pada kelebihan jam kerja tersebut, PNS menunggu pekerjaan.
Berdasarkan contohdiatas, tampak kegiatan PNS Setda dengan berbagai jabatan memiliki
waktu tunggu. Selama waktu tunggu, PNS yang menggunakan waktunya tetap berada dikantor
atau tetap berada di meja kerjanya, tidak dihitung sebagai tindak kerja. Waktu tunggu yang
terhitung dalam ABK hanya waktu tunggu jabatan operator seperti operator mesin, sehingga
tindak kerja (faktual) jabatan lainnya tidak dapat terekam seluruhnya. Hal ini merupakan sisi
ketidaksempurnaan ABK, oleh karenanya perlu dilakukan pembenahan terhadapnya.
Waktu tunggu sering digunakan untuk membaca majalah, menonton televisi atau bermain
game. Bahkan ada yang menyempatkan diri menjemput anak pulang sekolah dan berbelanja
sebagai rutinitas sehari-hari. Peneliti mengamati petugas kebersihan mulai bersih-bersih sekitar
jam 06.00 dan jam 09.00-10.00 WIB sudah bersantai tidak ada pekerjaan dan bahkan beberapa
diantaranya sudah pulang. Sedangkan pengadministrasi umum biasanya terlihat santai antara jam
11.00-13.00 WIB dan disela-sela jam kerja efektif banyak waktu menunggu yang biasanya
digunakan untuk menonton televisi di ruang kerja. Beberapa PNS mengaku pekerjaannya telah
selesai, sehingga menganggur dan tidak ada yang dikerjakan. Jika demikian, keadaan menjadi
dilematis, apalagi tidak ada sanksi yang jelas untuk pelanggaran jam kerja, selain itu budaya tepo
seliro antar sesama PNS di lingkungan Setda menjadi kendala tersendiri. Tepo seliro berkembang
ke arah negatif, yaitu PNS berusaha menutup mata atau bahkan atasan mengijinkan bawahannya
keluar kantor untuk kepentingan dinas, agar di lain kesempatan ketika atasan berbuat hal yang
sama tidak menuai protes. Tepo seliro yang kebablasan mengakibatkan PNS menjadi leluasa dan
cenderung kurang bertanggung jawab akan pekerjaannya.
PNS memandang pemanfaatan waktu tunggu dari segi keefektivitasan individu saja, yaitu
pekerjaan dinas terselesaikan dan memanfaatkan waktu yang ada untuk mengerjakan aktivitas
lain agar waktu yang ada tidak terbuang percuma. Aktivitas lain yang dimaksud adalah aktivitas
nondinas seperti membaca novel, menonton televisi atau bermain game. Proses pelaksanaan
pekerjaan diatur menurut pola kerja masing-masing. Prioritas dalam pola kerja PNS adalah
pencapaian target kegiatan, kurang berorientasi pada proses kegiatan. Pola kerja PNS tersebut
dapat dikatakan efektif, sebagaimana diungkapkan Schermerhorn (1998:5): “efektivitas kerja
merupakan suatu ukuran tentang pencapaian suatu tugas atau tujuan”, orientasi terhadap proses
diabaikan. Pola kerja tersebut cenderung sama dan dilakukan secara kontinyu sehingga menjadi
kebiasaan. Karena telah terbiasa melakukan aktivitas nondinas selama jam kerja maka tidak
timbul rasa bersalah.
PNS memiliki peran multidimensional yaitu sebagai makhluk sosial, anggota kelompok
kerja, anggota keluarga, anggota masyarakat sekaligus warga negara. Masing-masing peran
tersebut menimbulkan konsekuensi yang berbeda-beda dalam hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Dari sisi kemanusiaan peran multidimendional membuat efektivitas kerja PNS
menjadi tidak maksimal. Pada saat PNS melaksanakan suatu kewajiban pada suatu peran
terhambat oleh kewajiban pada peran lainnya. Selain itu ditemukan juga bahwa PNS sering
melakukan aktivitas nondinas cenderung memanfaatkan waktu tunggu secara acak dan tidak
terakomodir dalam satu periode waktu istirahat tertentu sebagaimana biasa dijumpai pada
karyawan atau pegawai swasta yang memperoleh jam istirahat antara 12.00-13.00 WIB.
Terjadilah fenomena curi-curi waktu yang kemudian memunculkan penilaian buruk terhadap
efektivitas kerja PNS. Masyarakat diluar organisasi birokrasi tentu memandangnya sebagai
inefektivitas kerja. PNS digaji untuk bekerja dan memberikan pelayanan umum, sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat justru berperilaku semaunya sendiri. Kenyataan yang terjadi seperti
dua sisi mata uang, hakekatnya satu namun dipandang dari sisi yang berbeda sehingga
memunculkan perbedaan opini.
Efektivitas menurut pandangan Siswanto (1990:62) berarti menjalankan pekerjaan yang
benar. Kegiatan PNS sebagaimana dibahas diatas tentu saja tidak efektif, karena pemanfaatan
jam kerja efektif sebagaimana diungkap diatas dipandang dari sudut pandang normatif menjadi
salah.
Pendapat Siagian (1986:152) efektivitas kerja berarti penyelesaian pekerjaan tepat waktu.
PNS Setda melaksanakan tupoksi sesuai dengan program yang telah ditetapkan, berarti tujuan
telah tercapai, tidak ada salahnya melakukan aktivitas lain meskipun aktivitas nondinas. Dalam
situasi ini PNS dapat dikatakan efektif bekerja. Pendapat ini dikuatkan oleh Sutarto (1978:95)
yang menyatakan bahwa aktivitas jasmani dan rohani yang dilakukan dan mencapai hasil yang
dikehendaki berarti aktivitas tersebut efektif.
Efektivitas Kerja Menurut ABK
Standar yang digunakan untuk mengukur efektivitas kerja PNS adalah ABK. ABK
memiliki unsur 5W+1H (who, what, when, where, why + how), artinya siapa-apa-kapan-dimanamengapa dan bagaimana PNS menggunakan jam kerja efektif untuk melakukan tindak kerja
yang menghasilkan output.
Tindak kerja PNS merupakan jabaran tupoksi dan tidak termasuk aktivitas kewajiban,
misalnya: mengisi daftar hadir, mengikuti upacara atau apel, memakai tanda pengenal dan
atribut, dls.. Untuk mempertegas tujuan penelitian, dalam pembahasan ini tidak disertakan
pengamatan absensi sebagaimana lazim dijumpai pada penelitian serupa. Selain alasan mendasar
tersebut, absensi di Setda, baik mesin fingertech atau manual, tidak valid untuk menggambarkan
ketaatan terhadap ketentuan jam kerja.
Melalui mesin absensi fingertech, informasi waktu hadir dan waktu pulang kerja
terdeteksi namun tidak mewakili kondisi kehadiran fisik PNS. Penggunaan mesin fingertech
selain dapat diakses dengan sidik jari juga dapat diakses menggunakan kode nomor, oleh karena
itu kebiasaan “titip absen” dikalangan PNS masih marak terjadi. Absensi secara manual juga
tidak valid, sering kali justru diisi sebulan sekali ketika akan digunakan untuk pemeriksaan atau
penghitungan Tunjangan Tambahan Penghasilan.
Dalam penelitian ini, diketahui bahwa“Efektivitas Jabatan = Efektivitas
Kerja”.Jabatan yang diemban memiliki tupoksi yang dilaksanakan dengan aktivitas bekerja,
oleh karena itu efektivitas jabatan sama dengan efektivitas kerja. Hasil dari analisis beban kerja
dan predikat adalah rata-rata beban kerja 1034,18 dengan predikat C.
Berikut ditampilkan perbandingan beban kerja normatif dengan beban kerja faktual PNS Setda
yaitu:
Tabel 1
Perbandingan Beban Kerja Normatif Dengan Beban Kerja Faktual
Waktu
Tahunan
Mingguan
Harian
Beban Kerja Normatif
1300
37,5
5,5
Beban Kerja Faktual
1034,18
22
4,4
Allowance
Sumber: Putranti, 2011.
Membandingkan beban kerja normatif PNS Setda dengan beban kerja faktualnya, diketahui
bahwa beban kerja faktual PNS Setda sehari-hari menurun 5% dari pada beban kerja normatif.
Allowance atau waktu yang digunakan PNS untuk melakukan aktivitas nondinasnya sehari-hari
adalah 30% atau 2 jam 15 menit. Padahal secara normatif diperkenankan allowance hanya
selama 25% atau 1 jam 52 menit. Setiap hari, secara tidak langsung PNS Setda menganggur
selama 23 menit per orang per hari.
Tabel 1 diatas memberikan informasi tentang Beban Kerja Normatif tahunan 1300 dan
Beban Kerja Faktual tahunan 1034,18. Hal ini berarti adanya beban kerja terbengkalai yang
seharusnya dapat dikerjakan selama jam kerja efektif berlangsung sebesar 265,82 per orang per
tahun
yang
diperoleh
dari
penghitungan
berikut:
.
Beban kerja yang terbengkelai tersebut secara kualitas tidak cukup berpengaruh terhadap
organisasi Setda, akan tetapi perlu diperhatikan juga kuantitasnya. Secara matematis
akumulasinya akan menjadi begitu bernilai. Apalagi Setda merupakan organisasi birokrasi yang
berperan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebelum pembahasan lebih lanjut, berikut
peneliti mencantumkan data kepegawaian Setda berdasarkan sebaran jumlah personilnya yaitu:
Tabel 2
Data Kepegawaian PNS Setda Berdasarkan SOTK Per 1 April 2011
SOTK
Sekretaris Daerah
Staf Ahli
Asisten Pemerintahan:
Bagian Tapem
Bagian Hukum
Bagian Humas
Asisten Ekobang:
Bagian Perekonomian
Jumlah Personil (orang)
1
3
1
16
16
16
1
12
Bagian Adm. Pembangunan
Bagian Kesra
Asisten Adm. Umum:
Bagian Organisasi dan Kepegawaian
Bagian Umum
Bagian Adm. Keuangan
Jumlah
Sumber: Putranti, 2011.
16
10
1
10
59
13
175
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa beban kerja terbengkalai sebesar 265,82 per orang
per tahun. Jika dihitung secara menyeluruh, Setda dengan 9 Bagian, terdiri dari 175 orang PNS,
maka rata-rata jumlah personil 19,44 atau 20 orang per Bagian. Dengan jumlah personil 20
orang tersebut akan menciptakan beban kerja terbengkalai Setda sebesar: 265,82 × 20 = 5316,4
(beban kerja).
Beban kerja terbengkalai sebanyak 5316,4 , jika dihitung dengan standarisasi beban kerja
ideal adalah
(orang). Maksudnya dalam satu tahun hari kerja di Setda
terdapat 5316,4 beban kerja yang terbengkalai setara dengan beban kerja 4 orang PNS dengan
predikat efektivitas kerja A. Beban kerja dalam 1 Bagian yang diampu oleh 20 orang PNS,
idealnya dapat diselesaikan oleh 16 orang PNS saja. Terdapat kelebihan jumlah personil.
Meskipun kondisi tersebut tidak dapat digeneralisasikan dalam satu lingkup organisasi birokrasi
Setda namun merupakan cerminan bahwa realita yang terjadi di Setda tidak dipungkiri
menyimpan pengangguran tidak kentara (disguised unemplyoment), hal ini terjadi karena beban
kerja yang tidak sepadan dengan jumlah PNS yang ada. Melalui penataan organisasi dan tupoksi,
serta penempatan pegawai secara tepat dapat mengatasi pengangguran tidak kentara.
Kenyataannya beban kerja dalam 1 Bagian dikerjakan secara gotong royong utamanya pada
tingkatan jabatan fungsional umum sebab tidak memaknai hakekat jabatannya.
Selain beban kerja yang tidak sepadan, dari penelitian diketahui bahwa terdapat unsur
selera atasan dalam menugaskan bawahannya. Dimata atasan, seorang bawahan seolah-olah
diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu:
1. Tipe I: PNS mampu (menurut selera atasan)
Tipe PNS mampu lebih disukai oleh atasan dan akan lebih sering “dipakai” atau mendapat
tugas meski bukan tupoksinya. PNS selalu mendapat prioritas penugasan dari atasan karena
dianggap mumpuni;
2. Tipe II: PNS standar (menurut selera atasan)
Tipe PNS biasa dianggap memiliki kemampuan rata-rata yang diserahi tugas sebagaimana
umumnya, sehingga PNS tipe ini melaksanakan pekerjaan yang cenderung ideal atau
normatif; dan
3. Tipe III: PNS tidak mampu (menurut selera atasan)
Tipe PNS tidak mampu kurang dipercaya untuk menyelesaikan pekerjaan terutama pekerjaan
berat dan serius, akibatnya PNS kategori ini akan mengalami disguised unemplyoment dan
terlihat “luntang-luntung” di unit kerjanya.
Paradigma atasan tentang tipe-tipe PNS merupakan kendala dalam distribusi personil
(penempatan) dan distribusi tugas (penugasan). Sayangnya, asumsi dasar yang membentuk
ketiga tipe PNS tersebut lebih banyak didasari asas kecocokan pribadi pimpinan dengan
bawahan, sehingga kesesuaian kompetensi diri dengan kompetensi jabatan menjadi terabaikan.
Seorang PNS yang kompeten jika tidak cocok secara pribadi dengan atasannya maka tidak akan
terpakai, begitu juga sebaliknya, seorang PNS yang tidak kompeten jika cocok secara pribadi
dengan atasan akan selalu dipakai. Ketidakselarasan kompetensi pejabat dengan jabatannya,
bertolak belakang dengan idealisme kurikulum berbasis kompetensi yang diajarkan di lembagalembaga pendidikan. Jika seseorang masuk dan bergelut dalam sistem birokrasi yang masih
amburadul, maka kompetensinya selama pendidikan akan berakhir sebagai sebuah angka atau
nilai dalam ijazah saja.
Untuk mempertahankan eksistensinya dalam unit kerja, PNS menjadi bawahan yang
penurut, yes man atau ABS (asal bos senang). Dalam lingkungan birokrasi yang sarat akan strata
pangkat, golongan dan jabatan, pemahaman “bos diatas bos” menjadikan PNS memiliki loyalitas
semu, yaitu loyal terhadap “bos” atau pimpinan, bukan loyal terhadap peraturan. Dari paradigma
budaya, perilaku PNS tersebut kental kultur Jawa, yaitu senioritas usia. Jika atasan lebih muda
usianya dibandingkan dengan usia stafnya, dalam mengambil keputusan sebagai top leader
pimpinan akan mengikutsertakan pendapat bawahan dengan pertimbangan usia yang lebih tua
dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih.
Asas selera pimpinan dan loyalitas semu tersebut tidak akan terjadi jika ada legalitas
peraturan kepegawaian yang independen, mengingat penempatan pegawai sarat muatan politis
sebab Kepala Daerah dipilih langsung dari Partai Politik. Meskipun proses menempatkan PNS
dalam jabatan ada peran Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan), namun
kewenangan Baperjakat tumbang oleh Keputusan Walikota yang tidak mungkin lepas dari
nuansa politis.
Unsur atasan seperti Staf Ahli, Asisten dan bahkan Kepala Bagian sering berganti-ganti
personel karena cepatnya arus mutasi kepegawaian. Tercatat mutasi yang terjadi tahun 2010
hingga tahun 2011 ini mengakibatkan beberapa pejabat duduk dalam jabatannya sekitar enam
bulan, sehingga pemahaman pejabat terhadap tupoksi unit kerja atau jabatannya tidak maksimal.
Akibat seringnya mutasi pegawai ini adalah inkonsistensi pelaksanaan kebijakan yang
sustainable. Karena ganti pemimpin ganti kebijakan, maka pelaksanaan kegiatan unit kerja
menjadi tidak terstruktur.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih condong menggunakan konsep efektivitas kerja
Gibson (Moenir, 2000) sebagai berikut:
1. Efektivitas individual
Efektivitas kerja secara individual menunjukkan bahwa secara personal efektivitas kerja PNS
Setda berdasarkan ABK adalah cukup (Lihat Tabel 5).
2. Efektivitas kelompok
Efektivitas kelompok dapat dilihat dari penelitian efektivitas dalam lingkup unit kerja atau
Bagian di Setda. Dimana berdasarkan ABK dapat dikatakan bahwa rata-rata setiap Bagian
kelebihan jumlah PNS sebanyak 4 orang. Terlihat dalam skala populasi yang lebih besar
efektivitas kerja PNS Setda belum efektif. Perlu adanya pemberdayaan PNS agar tidak
menimbulkan kegemukan organisasi.
3. Efektivitas Organisasi
Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, demikian pula Setda, terdiri dari PNS sebagai
individu dan unit kerja atau Bagian sebagai kelompok. Dari sudut pandang yang lebih luas,
ketidakefektifan kerja PNS Setda semakin terlihat jelas. Sebagaimana telah diuraikan diatas,
akumulasi allowance memberi dampak yang besar terhadap organisasi. Jelas bahwa jika
berdasarkan perhitungan beban kerja masing-masing Bagian rata-rata dapat diselesaikan oleh
16 orang saja dengan menonaktifkan 4 orang, maka setidaknya ada 4 (PNS jobless) × 9
(Bagian) = 36 orang yang jobless (disguised unemplyoment). PNS jobless yang ditemukan
peneliti adalah fungsional umum seperti petugas kebersihan dan pengadministrasi umum.
Reformasi Birokrasi
Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang efektifitas kerja dengan analisis beban
kerja, maka perlu dilakukan penataan organisasi. Penataan organisasi dapat dimulai dengan
telaah tupoksi, penggabungan organisasi, SOTK dan penempatan personil dengan distribusi
merata, penyelarasan antara kompetensi pribadi dan kompetensi jabatan, agar efektivitas kerja
PNS dapat lebih optimal. Penataan yang tidak hanya berhenti pada aspek organisasi tetapi
sampai pada penataan birokrasi.
Organisasi Setda sebagai leading sector penyelenggaraan pemerintahan seyogyanya
menjadi pemrakarsa organisasi yang tepat struktur dan tepat fungsi. Bukan seperti yang sudahsudah terjadi yaitu organisasi kaya struktur miskin fungsi atau parahnya organisasi banyak
struktur tidakk berfungsi.
ABK menjadi sorotan peneliti dalam mengejawantahkan efektivitas kerja. meskipun
ABK telah ada sejak lama, namun tidak dipungkiri secara komprehensif sistem yang terbangun
masih jauh dari sempurna. Sayangnya “paket penilaian setengah matang” menggunakan ABK
tersebut telah dicanangkan menjadi ukuran penilaian kinerja PNS yang akan digunakan sebagai
tolak ukur pemberian insentif atau remunerasi. Meski hingga hari ini hal tersebut masih sebatas
wacana, Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih kepada efektivitas kerja PNS
utamanya melihat beban kerja dan waktu kerja sehingga diperoleh formulasi kebijakan yang
tepat.
Mengukur efektivitas sama halnya mengukur kecantikan. Standar cantik menurut orang
Jawa lain dengan standar cantik orang Sumatra atau Papua. Cantik versi orang Jawa adalah kulit
kuning langsat, rambut lurus dan hidung mancung. Cantik versi orang Sumatra adalah kulit
putih, rambut lurus dan mata sipit, sedangkan Papua memiliki standar cantik yaitu kulit
berwarna, mata lebar dan rambut ikal. Terdapat ukuran yang berbeda-beda dalam menentukan
satu penilaian cantik. Sama halnya dengan menilai efektivitas kerja PNS.
Di Setda Kota Salatiga, konsep rasio antara curahan jam kerja efektif dengan beban kerja
diwujudkan dalam penghitungan efektivitas kerja berdasarkan ABK. Dari rangkaian tahap-tahap
penelitian diketahui bahwa efektivitas kerja PNS Setda Kota Salatiga adalah 1034,18 dengan
predikat rata-rata C atau cukup. Cukup dalam pengertian ABK adalah predikat nilai tengah
antara A sampai dengan E. Predikat C adalah cukup atau pas yang artinya beban kerja PNS tidak
berlebihan, tidak mengeksploitasi sumber daya manusia, tetapi juga tidak kurang beban kerja.
Predikat cukup bukan merupakan hasil penghitungan yang buruk, namun bukan pula suatu
prestasi yang dapat dibanggakan, sebab efektivitas kerja terbaik dari PNS Indonesia (predikat A)
sekalipun, sebenarnya masih tertinggal dari negara-negara tetangga (Lihat Hanavitrie, 2010).
Seyogyanya organisasi birokrasi seperti Setda dapat terus berbenah diri untuk
mengoptimalkan efektivitas kerja PNS, sehingga peran PNS sebagai abdi masyarakat dan abdi
negara dapat berjalan optimal tanpa mengesampingkan peran PNS yang multidimensional.
Dengan demikian reformasi birokrasi yang efektif dan produktif adalah menjadi pekerjaan
selanjutnya bagi Setda Salatiga. Pada akhirnya proses pembangunan dapat berjalan dengan
efektif dan efisien karena difasilitasi dengan aktor-aktor birokrasi yang handal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1. 2008. Waktu Kinerja Produktif PNS. (http://www.sinarharapan.com) diunduh 20 Desember 2010)
Anonim 2. 2010. Ratusan PNS Mangkir. Solo. (http:// www.harianjoglosemar.com) diunduh 9 Oktober 2010.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Effendi, Taufiq.2007. Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance.Jakarta.
(http://www.setneg.go.id) diunduh 9 Oktober 2010.
Gie, The Liang. 1979. Cara Bekerja Efisien. Yogyakarta: Karya Kencana.
Hanavitrie, Karina Ajeng. 2010. Nikmatnya Menjadi PNS Malas, Solo.(http://www.harianjoglosemar.com) diunduh
9 Oktober 2010.
Harsono. 2006. Administrasi Kepegawaian. Jatinangor: Alqa Prisma Interdelta. Cetakan II Edisi Revisi.
Moenir. 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Supriyadi, Gering dan Tri Guno. 2003. Budaya Kerja Organisasi Pemerintahan. Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2002. Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo.
Utama, Imara. 2009. CPNS dan Koruptor Waktu. Semarang (http://www.wordpress.com) diunduh 9 Oktober 2010.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974) Tentang PokokPokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1979 Tentang Daftar Urut Kepangkatan Pegawai Negeri
Sipil.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2002 tentang perubahan atas PP Nomor 99 Tahun 2000
Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja Di Lingkungan
Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.
Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 222/M.PAN/8/2001 Tentang Pengaturan Hari dan
Jam Kerja Instansi Pemerintah.
Keputusan Walikota Salatiga Nomor 061.2/281/2001 Tentang Pengaturan Hari dan Jam Kerja Instansi Di
Lingkungan Pemerintah Kota Salatiga.
Peraturan Walikota Salatiga Nomor 51 tahun 2008 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat
Struktural Pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan rakyat daerah Kota Salatiga.
Lain-Lain
Kamus Besar bahasa Indonesia. 2002. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban – Akhir Masa Jabatan (LKPJ AMJ) Walikota Salatiga Periode 20062011.
Buku Inventarisasi Nomenklatur Jabatan Biro Organisasi dan Kepegawaian Propinsi Jawa Tengah Tahun 2007.
Modul Diklat Teknis Analisis Jabatan Tingkat Dasar Biro Organisasi dan Kepegawaian Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2010.
Modul Diklat Teknis Analisis Jabatan Tingkat Lanjutan Biro Organisasi Kepegawaian Provinsi Jawa Tengah Tahun
2011.
***