SeminarPerikanan BI Manado 20Nov08

PENGELOLAAN KAWASAN PERLINDUNGAN LAUT (KPL) YANG EFEKTIF
SEBAGAI ALAT UKUR PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pembangunan Kelautan Kawasan
Indonesia Timur yang tangguh dalam pengembangan ekonomi sumberdaya
pesisir dan laut, di Manado, 20 November 2008

Oleh:
D.G.R. Wiadnya dan Abdul Halim
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang: kontak: dgr_wiadnya@ub.ac.id
The Nature Conservancy – Coral Triangle Center (TNC – CTC)
Jl. Pengembak No. 2 Sanur 80228 Denpasar Bali; Telp/Fax: 0361-287272 / 0361-270737
http://www.coraltrianglecenter.org

ABSTRAK
Makalah ini disusun dari: tiga artikel ilmiah yang diterbitkan pada jurnal Fisheries and
Marine Ecology dan Marine Research in Indonesia, dan Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
edisi Sosial Ekonomi, penelusuran kebijakan kolaboratif pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan rumusan seminar serta diskusi terkait dengan
pengelolaan Kawasan Konservasi, terutama KPL di Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyadari bahwa beberapa wilayah pengelolaan
perikanan sudah mengalami tangkap lebih, namun kebijakan operasional DKP masih untuk

meningkatkan produksi dari 4,88 juta ton pada tahun 2004 menjadi 5,10 juta ton yang diharapkan
dicapai pada tahun 2006. Hal ini dilakukan melalui penambahan jumlah usaha dengan mengundang
investasi asing. Pada makalah ini penulis menyampaikan beberapa argumentasi untuk menggeser
kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka pemulihan stok sumberdaya dan
mempertahankan usaha perikanan tangkap, sebagai berikut: (1) pengelola perikanan memahami
bahwa sebagian besar sumberdaya perikanan laut sudah mengalami tangkap lebih atau, dengan kata
lain, eksploitasi sudah tidak menguntungkan lagi; (2) Pengelola perikanan menyadari bahwa
pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkap lebih ke wilayah lainnya
akan menyebabkan tidak berdaya (collapse) perikanan tangkap setempat, dan; (3) Pergeseran
pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY menuju pengelolaan berdasarkan
pendekatan ekosistem, dimana KPL akan memegang peran yang sangat penting. Selanjutnya,
keterlibatan dan dukungan daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya akan
meningkatkan efektifitas pengelolaan KPL sehingga mempercepat pencapaian tujuan perikanan
berkelanjutan.

EFFECTIVE MARINE PROTECTED AREAS (MPAs) MANAGEMENT AS TOOL
FOR CAPTURE FISHERIES MANAGEMENT IN INDONESIA
ABSTRACT
This paper is formulated from the following information: three scientific articles published in
Fisheries and Marine Ecology, Marine Research in Indonesia and Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia edisi Sosial Ekonomi, government policies on collaborative management of protected
areas and notes from seminars and discussions regarding the collaborative management of the
protected areas including MPAs in Indonesia.
Whereas Ministry of Marine Affairs and Fisheries (DKP) officially admitted that some
fisheries are already over-exploited, DKP’s policy still is to increase production from 4.88 million
ton in 2004 to 5.1 million ton in 2006, possibly by inviting foreign investments leading to increased
effort. In this paper, the authors argue that the following shift in capture fisheries management
policy must be achieved to ensure the survival of Indonesia’s fish stocks and fisheries, as follows:
(1) Acceptance by fisheries managers that ‘untapped resources’ may not exist or cannot be
exploited profitably, (2) Acceptance by fisheries managers that any transfer of fishing effort
between fishing grounds may contribute to collapse of local fisheries and (3) A shift in fisheries
management from MSY models to eco-system based management, wherein MPA should play an
1

Kawasan konservasi perairan

important role. Furthermore, support and involvement of local government, communities and other
stakeholders will increase the management effectiveness of MPAs and hence avoid collapse of the
surrounding fisheries.


PENDAHULUAN
Penangkapan berlebih atau ‘over-exploitation’1 sudah menjadi kenyataan pada
berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh (fully-exploited),
mengalami tangkap lebih (over-exploited) atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras
(depleted) – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang,
under-exploited (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2003
ternyata 6,3% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 2000 (FAO, 2004).
Sekali terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk pulih kembali, bahkan pada kondisi penangkapan dihentikan sekalipun.
Masalah ini sudah menjadi pesan khusus SEKJEN PBB pada Hari Lingkungan Hidup
sedunia tanggal 5 Juni 2004.
DKP sangat memahami permasalahan penangkapan berlebih di perairan laut
Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan pantai Utara Jawa. Didorong oleh harapan
publik agar sektor perikanan bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan penerimaan
pemerintah melalui peningkatan produksi hasil tangkap, DKP mencari ‘sumberdaya yang
tidak pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur (Widodo, 2003). Pertanyaannya
adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan
untuk perikanan tangkap, dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya.
Apakah perairan Indonesia Bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap

dunia, yang menurut FAO bisa dikembangkan lebih lanjut?
Sebuah artikel dalam Kompas 21 Januari 2004 (Hakim, 2004) menggambarkan
beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa
wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. DKP mengangkat masalah
ini dan menyelesaikannya dengan cara memfasilitasi transmigrasi nelayan (pernyataan pers
DKP, tanggal 29 Agustus 2003, 20 Januari 2004 dan 9 Desember 2004; diakses melalui
http://www.dkp.go.id tanggal 21 April 2006). Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia sangat
gencar mengundang investor asing untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dianggap
tidak akan pernah habis tersebut – situs Kedutaan Inggris di Indonesia mengundang
industri perikanan tangkap di Inggris dalam memanfaatkan peluang ini melalui suplai
armada perikanan, tenaga ABK, alat tangkap gill net, pukat harimau, pancing pole & line,
pukat cincin, beserta pelayanan konsultasi dan transfer teknologi (http://www.britain-inindonesia.or.id/commer6.htm, diakses pada 21 April 2006). Sebuah artikel dalam the
Jakarta Post tanggal 3 Oktober 2005 menuliskan pernyataan Menteri Perikanan Indonesia
yang mengundang investor Thailand, Filipina dan Cina untuk berinvestasi senilai US$ 1
juta dalam mengeksploitasi perikanan di wilayah timur Indonesia, termasuk Maluku dan
Papua (diakses dari http://www.thejakartapost.com/).

1

Over-exploitation is the rate of exploitation where the resource stock is drawn below the size that, on

average, would support the long term maximum potential yield of the fishery – Sumber: OECD glossary of
statistical terms, 2004, OECD Countries, 781 pp. juga tersedia pada http://stats.oecd.org/glossary/

2

Kawasan konservasi perairan

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tiga aspek terkait dengan sektor perikanan
sebagai berikut: (1) apakah stok perikanan Indonesia bisa terus dipertahankan meningkat
dengan meningkatnya laju eksploitasi, (2) pengembangan alternatif kebijakan perikanan
tangkap berbasis ekosistem dengan penekanan pada peranan KPL sebagai alat pengelolaan
perikanan tangkap dan (3) keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan KPL.
MSY – DASAR KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP
Pada tahun 1950-an, Schaefer mengembangkan metode analisis data effort atau
upaya dengan hasil tangkap (Smith, 1988). Metode inilah yang digunakan oleh DKP,
seperti juga banyak institusi perikanan lainnya di dunia, untuk menduga potensi hasil
tangkapan (PCI 2001a; 2001b; 2001c; Venema, 1996). Secara esensial, DKP menelusuri
informasi tentang jumlah armada perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari
armada tersebut. Dengan perhitungan sederhana bisa dihasilkan suatu penduga potensi
hasil tangkap dan juga ukuran atau jumlah alat yang beroperasi untuk menghasilkan

potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan ini sering disebut dengan Maximum Sustainable
Yield, MSY, atau hasil tangkapan maksimum berimbang lestari (Gambar 1).
Sasaran pengelolaan perikanan tangkap ditentukan dari nilai MSY. Dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia
telah ditetapkan pada 80% dari nilai MSY (DKP, 2005). Karena keuntungan ekonomi
maksimum berada di bawah nilai MSY (Gulland, 1983), prinsip kehati-hatian ini cukup
beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan ekonomi (rupiah).
Publikasi terakhir memperoleh dugaan MSY sekitar 5,0 juta ton (DKP, 2003).
Sebelumnya ada 5 (lima) studi yang sudah dilakukan terkait dengan MSY, yaitu: (a)
Martosubroto, melalui tinjauan data akhir tahun 1980an yang didapatkan dari Dirjen
Perikanan Tangkap bersama Balai Penelitian Perikanan Laut, (b) Dirjen Perikanan
Tangkap 1995 melalui tinjauan data sejak awal tahun 1980an, (c) Indonesia/FAO/DANIDA 1995 melalui pengkajian semua data yang tersedia (Venema, 1996), (d)
Pusat Riset Perikanan Tangkap (PURISPT) melaui riset pengkajian stok bersama LIPI
(PURISPT, 2001) dan (e) tinjauan ulang oleh Pacific Consultants International (PCI,
2001c). PCI menyajikan 6 (enam) penduga terhadap nilai MSY yang satu sama lain
berbeda, bervariasi antara 3,67 sampai 7,7 juta ton. Hasil pendugaan pada tahun 2001
mendapatkan nilai 6,26 juta ton. Nilai ini ditetapkan sebagai dugaan formal dan diadopsi
oleh pemerintah melalui SK Menteri DKP No. Kep. 18/Men/2002 dan Jumlah Tangkapan
yang diperbolehkan (JTB) ditetapkan pada 5,02 juta ton per tahun. Menurut statistik
terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,88 juta ton pada tahun 2004

(DKP, 2005). Apakah perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan
sebagai ‘ruang’ untuk memperluas armada perikanan? Jawabannya adalah ‘tidak bisa’.
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan terkait dengan perhitungan nilai MSY.
Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan yang
digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas sejumlah
asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi, dua asumsi yang paling penting diantaranya
adalah stok ikan berada dalam kondisi keseimbangan serta hasil tangkap-per-unit-usaha
merupakan petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Yang terakhir, dan sering
kali terjadi pada kasus perikanan tangkap Indonesia, adalah hasil dari perhitungan
diterjemahkan berbeda dari kondisi seharusnya.
Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkap-per-unitusaha dalam menduga status stok ikan. Diasumsikan bahwa ketika stok ikan mengalami
penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap. Dengan asumsi ini,
3

Kawasan konservasi perairan

ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan kapasitas sumberdaya nelayan.
Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dia
akan pindah ke bagian lain dari terumbu karang dimana ikan diperkirakan masih cukup
banyak (Sadovy et al., 2003). Kadang kala, nelayan juga bisa beralih menggunakan alat

tangkap yang lebih efektif, atau mencari jenis ikan lain yang masih cukup banyak. Pada
skenario ini penangkapan ikan akan terus berlanjut sampai stok terkuras. Kegagalan dan
jatuhnya perikanan Cod di perairan Atlantik (Kanada) pada tahun 1990an bisa dijadikan
contoh, dengan dampak ekonomi yang sangat parah dan bahkan menjadi mimpi buruk
dalam sejarah ekonomi Negeri Kanada (Walters & Maguire, 1996).
Masalah lain yang juga sering terjadi adalah interpretasi pemerintah terhadap
penduga dari MSY, dan bagaimana hasil tangkapan yang didapat digunakan untuk
memformulasi kebijakan perikanan tangkap (Gillet, 1996). Pembuat kebijakan menafsirkan
‘hasil tangkapan’ di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau
peningkatan armada penangkapan ikan. Interpretasi tersebut kurang dapat dipertanggung
jawabkan. Tampaknya, perbedaan antara total hasil tangkapan Indonesia saat ini yang
mencapai 4,88 juta ton (2004) dengan nilai dugaan MSY sebesar 5.02 juta ton juga
ditafsirkan secara keliru (Wiadnya et al, 2005).
Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian
tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang,
sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih
rendah (Sparre & Venema, 1992; Gulland 1983; Gambar 1). Evaluasi terhadap status
perikanan tangkap hanya bermanfaat jika kita mempertimbangkan juga bahwa jumlah
usaha penangkapan dan MSY itu sendiri kurang baik sebagai sebuah target dalam
pengelolaan. Sebagai gantinya, pengelolaan harus difokuskan pada perkiraan jumlah unit

usaha penangkapan yang menghasilkan nilai MSY, yaitu MSE atau Usaha Maksimum
Lestari (jumlah usaha yang menghasilkan tangkapan MSY, seperti ilustrasi pada Gambar
1). Hampir semua analisis yang dilakukan terhadap perikanan tangkap sebenarnya sudah
menunjukkan kondisi dimana MSE sudah terlewati, sehingga perikanan menghasilkan
tangkapan yang menurun karena terjadinya tangkap lebih (Widodo, Wiadnyana, &
Nugroho, 2003).
Saat ini, paling tidak, terdapat 15 studi yang mempelajari status perikanan tangkap di
Indonesia per Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dan kategori spesies ikan di dalam
tangkapan. Secara umum, 56 dari 129 kesimpulan menyatakan bahwa perikanan Indonesia
sudah berada pada konsdisi tangkap lebih, 26 kesimpulan menyatakan pada kondisi
tereksploitasi penuh, 8 kesimpulan menyatakan belum jelas dan 37 kesimpulan
menyatakan pada kondisi tangkap kurang (Wiadnya et al 2005). Hasil studi menyimpulkan
bahwa hampir seluruh perikanan berada pada kondisi tangkap lebih atau tereksploitasi
penuh, kecuali WPP Laut Banda dan Laut Seram serta Teluk Tomini. Namun kedua WPP
ini tidak mewakili perikanan di bagian timur Indonesia. Terkait dengan perikanan demersal
(ikan kakap) di Perairan Arafura, Badrudin & Blaber (2003) menyimpulkan bahwa jika
tekanan penangkapan dipertahankan pada kondisi saat ini (2002), perikanan akan segera
kolaps dan tidak bisa pulih kembali.
MASA DEPAN PERIKANAN INDONESIA – PERAN KPL
Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan,

tidak saja di Indonesia, tetapi juga pada berbagai perikanan di dunia (Mous et al, 2005).
Khusus untuk Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi4

Kawasan konservasi perairan

spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan
data yang memenuhi kualitas dan bisa digunakan untuk menduga MSY (Widodo,
Wiadnyana & Nugroho, 2003). Bahkan, jika data tersedia, maka hasil perhitungan
tampaknya akan mendapatkan penduga MSY yang terlalu optimistik. Oleh karena itu,
sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY
sebagai tujuan pengelolaan.
Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh DKP sangat jelas menyebutkan tentang
status perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah
menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terusmenerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak
terkelola secara baik jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita
memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk memulihkan stok sumberdaya
perikanan (Mous et al 2005). Naskah kebijakan tersebut menyarankan untuk ‘menciptakan,
membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan
pemikiran masyarakat agar menghentikan pemikiran romantis bahwa sumberdaya laut
kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a). Terkait dengan hal ini,

rencana investasi perikanan tangkap di perairan Indonesia Bagian Timur yang diumumkan
baru-baru ini (Jakarta Post, 3 Oktober 2005), serta rencana lainnya tentang intensifikasi
usaha perikanan tangkap harus dipertimbangkan kembali secara cermat.
Alternatif pengelolaan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan MSY yang
banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui
pembentukan suatu jejaring KPL (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001;
Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001). Definisi IUCN
(International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tentang KPL
adalah ‘suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait
dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau
cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya’.
Selain fungsinya sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman hayati, KPL juga banyak
dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus diintegrasikan kedalam
perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research
Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001).
Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KPL, dengan suatu
kawasan ‘larang-ambil’ yang substansial di dalamnya, menyebabkan peningkatan biomas
ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami (27 studi
ditinjau dalam Roberts & Hawkins (2000)). Pembuktian ilmiah sekarang sedang
dikembangkan untuk mengetahui manfaat komersial dari KPL (3 studi ditinjau dalam
Roberts & Hawkins (2000)). Roberts et al., (2001) melaporkan bahwa sebuah jejaring
terdiri dari 5 KPL yang berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil
tangkapan nelayan tradisional antara 40 dan 90%, sementara KPL di Merrit Island National
Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi
pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an. Setelah mempelajari
pengaruh KPL terhadap perikanan lobster di Selandia Baru (Kelly, Scott & MacDiarmid,
2002) bisa disimpulkan bahwa emigrasi dari lobster ke dalam wilayah penangkapan di
sekitarnya menurunkan kerugian jangka panjang yang akan diderita oleh nelayan lokal dari
hilangnya kesempatan menangkap lobster.
Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis penting di
dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di
sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins, 2000): (1) spill-over, penyebaran ikan muda dan
5

Kawasan konservasi perairan

dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, (2) ekspor
telur dan/atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah
perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan
jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan.
Selanjutnya, KPL bisa menjadi alat untuk perlindungan tempat-tempat sensitif, seperti
agregasi pemijahan ikan, khususnya ikan karang (Johannes, 1998).
Biaya penetapan dan pengelolaan KPL cukup tinggi, namun manfaat yang
didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring KPL global dengan ukuran 20-30%
dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan
menghasilkan tangkapan ikan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya.
Jejaring KPL tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta
setiap tahun (Balmford et al. 2004). Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan
mengelola jejaring KPL ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi
terhadap industri perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per
tahun (Balmford et al. 2004). Tingginya biaya pengelolaan KPL, namun sepadan dengan
tingginya manfaat yang diperoleh, merupakan justifikasi kuat untuk segera merumuskan
mekanisme dan implementasi secara konsisten dari suatu sistem pendanaan pengelolaan
KPL yang berkelanjutan. ‘Users pay principles’ perlu diterapkan secara proporsional, adil
dan transparan dalam skema pendanaan tersebut.
PELIBATAN PEMERINTAH DAERAH
Undang-Undang (UU) No 32 tahun 2004 antara lain menyebutkan kewenangan
pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah laut, termasuk dalam bidang konservasi
(pasal 18, ayat (3) point (a). Namun mekanisme pengelolaan ini secara teknis belum diatur
dengan peraturan yang lebih detail. Dengan demikian, keterlibatan pemerintah daerah
dalam penetapan dan pengelolaan KPL di Indonesia dalam pembahasan ini masih
berpedoman pada: Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi melalui UU No. 5
tahun 1994, UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dan UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Keanekaragaman Hayati (UN Convention on Biological Diversity), melalui UU No. 5
tahun 1994. Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus melaksanakan hal-hal yang
dimandatkan dalam konvensi tersebut, termasuk perkembangan-perkembangan kebijakan
yang terjadi, khususnya yang terkait dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati.
Pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati mengharuskan setiap negara untuk menetapkan
sistem perlindungan kawasan, termasuk pedoman penyeleksian, pendirian dan pengelolaan
kawasan konservasi. Untuk itu, Pemerintah perlu menyusun suatu sistem yang berlaku
secara nasional yang mengatur hal-hal umum tentang pembentukan dan pengelolaan KPL.
Dengan alasan tersebut, pemerintah pusat masih terus bekerja keras dalam menggalang
bentuk keterlibatan pemerintah daerah berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan,
namun sejalan dengan prinsip konvensi keanekaragaman hayati.
UU No 5 tahun 1990 menyatakan bahwa konservasi, termasuk pengelolaan KPL
berada dalam kewenangan pemerintah pusat. Namun, sesuai dengan era desentralisasi,
sudah tersirat bahwa kebijakan desentralisasi pengurusan sumberdaya hutan, termasuk
KPA dan KSA, dilakukan secara bertahap. Hal ini bisa diketahui dari Peraturan Pemerintah
(PP) No. 68 tahun 1998. Bahkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.
P.19/Menhut-II/2004, pemerintah telah menggeser pengelolaan kawasan konservasi dari
6

Kawasan konservasi perairan

berbasis pemerintah, state-based management, menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak,
multi-stakeholder based management / collaborative management.
Terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, melalui UU
No 31 tahun 2004, secara implisit pemerintah berkeinginan untuk memperluas dan
memperbanyak jumlah KPL di Indonesia, dari yang sudah ada selama ini. Saat ini, DKP
sedang mempersiapkan PP tentang konservasi sumberdaya ikan. Dari Rancangan PP
tersebut, DKP tampaknya akan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
pemerintah daerah dalam kebijakan pembentukan dan pengelolaan suaka perikanan.
Alokasi ruang dan pemetaan KPL perlu dipadukan dalam rencana tata ruang daerah dan
didukung oleh peraturan yang menjamin kepastian pngelolaannya secara legal.
Seperti telah dijelaskan, KPL berdampak pada peningkatan hasil tangkapan nelayan
dan berkembangnya pariwisata di dalam dan sekitar kawasan. keberhasilan pengelolaan
KPL, dengan demikian, akan berdampak langsung pada keuntungan jangka panjang dari
masyarakat sekitar kawasan maupun penerimaan daerah. Untuk kepentingan ekonomi
jangka panjang ini, pemerintah daerah bersama masyarakat lokal akan memegang peran
kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan KPL di Indonesia. Dengan semakin
terbatasnya pendanaan pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi, maka peran
utama pemerintah daerah adalah dalam menggalang pendanaan konservasi ke arah yang
lebih mandiri dan penegakan aturan konservasi secara konsisten.
KESIMPULAN DAN SARAN
Stok sumberdaya ikan pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan berada pada
kondisi tereksploitasi penuh atau bahkan mengalami penangkapan berlebih. Saran
kebijakan kepada pemerintah yang diajukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
mensyaratkan penurunan atau paling tidak jangan lagi menambah tekanan terhadap
sumberdaya yang ada saat ini. Namun kenyataannya masih banyak kebijakan operasional
pemerintah (DKP) pada tingkat lapang yang mengupayakan peningkatan hasil tangkap
melalui perluasan usaha penangkapan.
Masa depan perikanan tangkap Indonesia, dengan demikian, akan sangat tergantung
dari:
- Komitmen pemerintah (DKP) untuk menggeser kebijakan perikanan dari pengelolaan
beorientasi pada pengembangan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan,
bisa menerima atau bahkan menginginkan hasil tangkap yang stabil dan menurunkan
jumlah usaha penangkapan kalau diperlukan
- DKP dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat menerima prinsip bahwa
sebagian besar sumberdaya ikan di laut sudah mengalami tangkap lebih, dengan kata
lain, eksploitasi tidak lagi menguntungkan
- Pengelola perikanan tangkap memahami dan menerima bahwa pemindahan usaha
penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkap lebih ke wilayah yang disebut
‘sumberdaya tidak akan pernah habis’ merupakan rencana yang ‘kurang tepat’ dan
bahkan menyebabkan perikanan tangkap setempat menjadi tidak berdaya (collapse),
bukan peningkatan penerimaan daerah.
- Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY yang
terlalu sederhana menuju pengelolaan dengan pendekatan ekosistem, dimana di
dalamnya, KPL akan memainkan peranan yang sangat penting.
7

Kawasan konservasi perairan

Perubahan paradigma pembangunan kearah desentralisasi yang terjadi belakangan ini
telah menggeser kebijakan pengelolaan konservasi, termasuk KPL di Indonesia, dari
berbasis pemerintah, state-based management, menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak,
multi-stakeholder based management sesuai dengan UU No 5/1990, UU No. 5 tahun 1994,
UU No. 31/2004, PP No. 68/1998 dan Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004. Keterlibatan
pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas pengelolaan konservasi, termasuk KPL,
akan sangat bermanfaat bagi keuntungan jangka panjang ekonomi setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Badrudin & Blaber S. 2003. Pengkajian stok sumberdaya ikan kakap merah di perairan
Laut Arafura dan Laut Timor [Review of the red snapper stock and fishery in the
Arafura and Timor Seas]. In: Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D. (Eds).
Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003.
PUSRIPT-BRKP, DKP, Jakarta. pp. 47-56.
Balmford A., Gravestock P., Hockley N., McClean C.J. & Roberts C.M. 2004. The
worldwide costs of marine protected areas. Ecology – PNAS 101, 9694-9697
DKP 2003. Siaran Pers, 27 Maret 2003 – DKP Gandeng MPN kaji ulang stok sumberdaya
ikan nasional. Download dari situs http://www.dkp.go.id/ pada tanggal 21 April 2006
DKP 2005. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka pengembangan industri
perikanan terpadu. Makalah disajikan pada pertemuan pemaparan dan diskusi
rencana program kerja eselon I tahun 2006 lingkup Departemen Kelautan dan
Perikanan, di Purwakarta, tanggal 5-7 April 2005. Direktorat SDI, Ditjen Perikanan
Tangkap, DKP, 12 pp.
FAO 2002. The state of the world fisheries and aquaculture 2002. FAO, Rome: FAO, 150
pp.
FAO 2004. The state of the world fisheries and aquaculture 2004. FAO, Rome: FAO, 153
pp
Gell, F.R. & Roberts C.M. 2002. The fishery effects of marine reserves and fishery
closures. WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037, USA. 89 p.
Gillet R. 1996. Marine fisheries resources and management in Indonesia with emphasis on
the extended economic zone. Workshop Presentation Paper 1, Workshop on
Strengthening Marine Resource Development in Indonesia, April 23, 1996.
TCP/INS/4553. Rome: FAO, 37 pp.
Gulland J.A.1983. Fish stock assessment. A manual of basic methods. Wiley & Sons,
Chichester: Wiley & Sons, 223 p.
Hakim A L. 2004. Perlunya mereorientasi paradigma pembangunan kelautan. Kompas 21
January 2004.
Johannes R.E. 1998. Tropical marine reserves should encompass spawning aggregation
sites. Parks 8:2, 53-54
Kelly S., Scott D. & MacDiarmid A.B. 2002. The value of a spillover fishery for spiny
lobsters around a marine reserve in Northern New Zealand. Coastal Management 30,
153-166
8

Kawasan konservasi perairan

Mous, P.J., J.S. Pet, Z. Arifin, R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, L. PetSoede & G. Wiadnya 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries
management and to define a role for marine protected areas in Indonesia. Fisheries
Management and Ecology, 2005, 12, 259-268
National Research Council 2001. Marine Protected Areas. Tools for sustaining ocean
ecosystems. National Academy Press, Washington, D.C. 272 pp
PCI 2001a. Study on fisheries development policy formulation. Volume I. White Paper.
Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market
Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403), 234 pp. + Annexes)
PCI 2001b. Study on fisheries development policy formulation. Volume II. Review and
analysis of policies and performances and recommendations. Report by Pacific
Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project
(Phase IV: JBIC Loan No. IP-403)), 659 pp + Annexes.
PCI 2001c. Study on fisheries development policy formulation. Volume III. Database for
analysis of study. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing
Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403), 138 pp
PURISPT 2001. Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia. Kerjasama BRKP-DKP
dengan P2O-LIPI, Jakarta, 125 pp.
Roberts C.M., Bohnsack J.A., Gell F., Hawkins J.P. & Goodridge R. 2001. Effects of
marine reserves on adjacent fisheries. Science 294, 1920-1923
Roberts C.M. & J. P. Hawkins 2000. Fully-protected marine reserves: A guide. WWFWashington DC USA, University of York, York, UK. 131 pp.
Sadovy Y.J., Donaldson, T.J., Graham, T.R., McGilvray F., Muldoon, G.J., Phillips M.J.,
Rimmer M.A., Smith B., & Yeeting, A. 2003. While stocks last: the live reef food
fish trade. Manila, Phillippines; Asian Development Bank, 146 pp.
Smith T.D 1988. Stock assessment methods: the first fifty years. In: J.A. Gulland (ed.) Fish
population dynamics. The implications for management. Chichester: Wiley & Sons,.
pp. 1-33.
Sparre P. & Venema S.C. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part I Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306/1, 376 p.
Venema S.C. 1996 (ed.). Report on the Indonesia/FAO/DANIDA Workshop on the
assessment of the potential of the marine fishery resources of Indonesia.
GCP/INT/575/DEN. FAO fisheries Technical Paper 338, 42 pp + Annexes.
Walters C. & Maguire J.J. 1996. Lessons for stock assessment from the northern cod
collapse. Reviews in Fish Biology and Fisheries 6: 125-137.
Ward T. J., Heinemann D. & Evans N. 2001. The role of marine reserves as fisheries
management tools: a review of concepts, evidence and international experience.
Canberra, Australia: Bureau of Rural Sciences, 192pp.
Wiadnya, D.G.R., P.J. Mous, R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, L. PetSoede & J.S. Pet 2005. Marine capture fisheries policy formulation and the role of
marine protected areas as tool for fisheries management in Indonesia. Mar. Res.
Indonesia (2005) 30: 33 - 45.

9

Kawasan konservasi perairan

Widodo J. 2003. Pengkajian stok sumber daya ikan laut Indonesia tahun 2002 [Review of
Indonesia’s marine fishery of 2002]. In: Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D.
(Eds). Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003.
PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. pp. 1-12.
Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D. 2003. Prosiding forum pengkajian stok ikan
laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta, 99 pp.

10

Kawasan konservasi perairan

8000

MSY

(b) Cost of fishing

6000

(d)

yield (tons)

(a) Schaeffer model
(c)
4000

2000

MSE
under-exploitation

over-exploitation

0
0

10000

20000

30000

40000

effort (boat days)

Gambar 1. Data tahunan dari hasil tangkapan total (sumbu-Y) dan total usaha atau
effort untuk mendapatkan hasil tersebut (sumbu-X) dari gambaran sebuah
perikanan tangkap secara hipotetis selama periode 10 tahun (titik-titik berwarna
hitam), bersama dengan kurva biaya dari effort yang berbeda.
Keterangan Gambar: Model Schaefer (a) adalah sebuah parabola (hasil tangkap = a * usaha + b *
usaha2), dimana a dan b bisa diduga dengan membuat sebuah garis dari data hasil observasi antara
hasil tangkap – usaha. Dalam hal ini, a = 0,5303 dan b = - 1,1524·10-5. Jumlah usaha yang
mendapatkan nilai MSY disebut Usaha Maksimum Lestari (MSE). Ketentuan yang berlaku adalah
bahwa MSE = -a/(2b) = 23.007, sementara MSY = 6.100 ton. Definisi tangkap kurang adalah
wilayah dimana jumlah usaha < MSE, sementara tangkap lebih adalah wilayah dimana jumlah
usaha yang ada > MSE; pada kedua kondisi tangkap kurang atau lebih, total hasil tangkap lebih
rendah dari MSY. Biaya untuk menangkap ikan (grafik b) di sini diasumsikan meningkat secara
lurus dengan meningkatnya jumlah usaha. Keuntungan ekonomi dari usaha penangkapan, yaitu
perbedaan antara kurva hasil tangkap (a) dengan biaya penangkapan (b), mencapai nilai maksimal
pada jumlah usaha lebih rendah dari MSE (bandingkan antara (c) dengan (d)). Sumber – Grafik
diambil dari Sparre & Venema (1992) dan Gulland (1983)

11

Kawasan konservasi perairan