Musik Dan Realitas Sosial (Analisis Semiotika Dalam Lagu Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2. 1

Perspektif / Paradigma Kajian
Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework),

suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita dan
pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi. Oleh
karena itu, tidak ada seorang ilmuan yang berhak mengklaim, bahwa
perspektifnya yang benar atau sah, sedangkan perspektif lain salah. Seperti
dikemukakan Tucker, oleh karena suatu paradigma adalah suatu pandangan dunia
dalam memandang segala sesuatu, paradigma mempengaruhi pandangan kita
mengenai fenomena, yakni teori. Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi
dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian
berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori
tersebut. Tingkat perkembangan teoritis suatu bidang akademik merupakan indeks
kecanggihan dan kematangan disiplin tersebut. Seraya merujuk kepada Kuhn,
Tucker dalam buku Deddy Mulyana, mengatakan bahwa disiplin yang belum
matang ditandai dengan persaingan di antara paradigm-paradigma, kurangnya

khasanah teori yang terintegerasi, dan pengumpulan fakta yang bersifat acak.
Namun pendapat Kuhn mungkin hanya cocok untuk ilmu–ilmu alam dan eksakta.
Bagi sebagian ilmu sosial, keistimewaan ilmu sosial, justru keanekaragaman
perspektifnya. Objek ilmu–ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas)
memang berada dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa
dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya,
antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui,
disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial dan banyak
teori yang partikularistik, berdasarkan alasan berikut.


Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.



Sifat komunikasi yang hadir dimana–mana membuat penjelasan
menjadi sulit.




Fakta bahwa komunikasi adalah instrument dan objek studi

Universitas Sumatera Utara



Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan paradigmatik.



Persaingan antara disiplin–disiplin yang berkaitan.

Dalam bidang keilmuan, sekali lagi, perspektif akan mempengaruhi
definisi, model atau teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita
melakukan penelitian. Perspektif tersebut menjelaskan asumsi–asumsinya yang
spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang
bersangkutan. Perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan
bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara
fenomena, yang kelak disebut teori (Mulyana, 2004: 17).
Peneliti memandang bidang ilmunya secara berbeda, ia cenderung

menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena
tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang diterima secara universal,
semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak konsisten itu sama–sama
absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai
perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode itu disebut ilmiah, kita
harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang
kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode bersifat ilmiah bila
peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan
teratur karena ada kejelasan dari panduan yang ada, antara lain memperhatikan
tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap kritik dari
public. Seperti ditegaskan Tucker, bila suatu paradigma menjelaskan dan
meramalkan suatu fenomena, paradigma itu memperoleh lebih banyak
pendukukung. Lebih banyak lagi ilmuan yang mengeksplorasi, memperbaiki dan
menyempurnakan paradigma tersebut. Penelitian–penelitian dan laporan–laporan
penelitian berdasarkan paradigma tersebut berlipat ganda sementara paradigma–
paradigma saingannya memperoleh sedikit perhatian. Lebih banyak orang
menerima paradigma yang bersangkutan dan para penentangnya tersisihkan.
Menurut Tucker, paradigma tersebut berkembang sepanjang terus memungkinkan
kita berhasil mengatasi problem kita dan menjelaskan fenomena yang kita teliti
(Mulyana, 2004: 18).

Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya

Universitas Sumatera Utara

terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami
kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam
kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan
pada mereka apa yang penting, abash dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu
melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana,
2004: 9).

2.1.1

Perspektif Konstruktivisme
Konstruktivisme sebagian didasarkan pada teori George Kelly

tentang gagasan pribadi yang menyatakan bahwa manusia memahami
pengalaman dengan berkelompok serta membedakan kejadian menurut

kesamaan dan perbedaannya. Perbedaan yang dirasakan tidak terjadi
secara alami, tetapi ditentukan oleh hal–hal yang bertentangan dalam
sistem

kognitif

individu.

Pasangan

yang

bertentangan,

seperti

tinggi/pendek, panas/dingin dan hitam/putih yang digunakan untuk
memahami kejadian dan banyak hal, disebut gagasan pribadi. Gagasan ini
merupakan sumber nama dari teori Kelly teori gagasan pribadi. Sistem
kognitif seseorang terdiri dari bannyak perbedaan. Dengan memisahkan

pengalaman

ke

dalam

kategori–kategori,

individu

memberinya

pemaknaan. Sebagai contoh, anda mungkin melihat ibu anda sebagai
seseorang yang tinggi dan ayah anda sebagai seseorang yang pendek, kopi
itu panas dan susu itu dingin, jaket favorit anda berwarna hitam dan topi
favorit anda berwarna putih. Gagasan disusun ke dalam skema interpretif
yang mengidentifikasi sesuatu dan mendapatkan sebuah objek dalam
sebuah kategori. Dengan skema interpretif, kita memahami sebuah
kejadian dengan mendapatkannya dalam sebuah kategori yang lebih besar
(Littlejohn, 2011: 180).

Konstruktivisme mengenali bahwa gagasan memiliki asal mula
sosial dan dipelajari melalui interaksi dengan orang lain. Selanjutnya,
budaya terlihat sangat penting dalam menentukan makna dari kejadian.
Kebudayaan

dapat

mempengaruhi

cara–cara

tujuan

komunikasi

Universitas Sumatera Utara

ditetapkan, bagaimana tujuan dicapai, seperti jenis–jenis gagasan yang
digunakan dalam skema kognitif.
Pengumpulan kepatuhan adalah salah dari beberapa jenis

komunikasi yang telah diteliti dari sebuah sudut pandang yang terpusat
pada orang. Pesan persuasive berkisar dari yang paling sedikit hingga
yang paling terpusat pada orang. Pada tingkat yang paling sederhana,
misalnya, seseorang dapat mencoba untuk mencapai satu tujuan
kepatuhan dengan memberi perintah atau ancaman. Ada tingkat yang
lebih kompleks, seseorang juga dapat mencoba membantu orang lain
memahami kenapa kepatuhan itu penting dengan memberikan alasan–
alasan untuk patuh. Pada sebuah tingkat kerumitan yang jauh lebih tinggi,
seorang pelaku komunikasi dapat mencoba untuk mendapatkan simpati
dengan membangun empati atau pemahaman terhadap sebuah situasi.
Ketika pesan seseorang menjadi lebih kompleks, mereka perlu
menggunakan lebih banyak tujuan dan lebih terpusat pada orang.
Pesan–pesan yang menghibur juga telah diteliti dari sudut
pandang seorang ahli konstruktivis. Manusia mencoba untuk memberikan
dukungan sosial bagi orang lain dalam berbagai cara dan beberapa metode
ini lebih canggih dari yang lain. Peneliti tentang pesan–pesan yang
menghibur secara umum mendukung pandangan bahwa individu yang
lebih kompleks secara kognitif menghasilkan pesan yang lebih canggih
daripada individu yang kurang kompleks, bahwa pesan–pesan yang
canggih lebih terpusat pada orang daripada pesan yang kurang canggih

dan bahwa semakin canggih pesannya, maka semakin efektif dalam
memberikan kenyamanan daripada pesan yang kurang canggih.
Sama
merupakan

canggihnya,
sebuah

teori

konstruktivisme
pemilihan

pada

strategi.

dasarnya

Prosedur


masih

penelitian

konstruktivis biasanya meminta subjek untuk memilih jenis–jenis pesan
yang berbeda dan membaginya menurut kategori–kategori strategi
(Littlejohn, 2011: 181).
Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang
teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritis aliran konstruktivis.

Universitas Sumatera Utara

Little Jhon mengatakan bahwa teori–teori aliran ini berlandaskan pada ide
bahwa realitas bukanlah bentuk yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui
proses interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya.
Pada pandangan konstruktivisme berpendapat bahwa semesta
secara epitimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan
manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan
interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri

dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi
kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia
secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif
merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang
digali secara terus menerus. Jadi tidak ada pengetahuan yang koheren,
sepenuhnya transparan dan independent dari subjek yang menamati.
Manusia ikut berperan, ia menentukan pilihan perencanaan yang lengkap,
dan menuntaskan tujuannya di dunia. Pilihan–pilihan mereka buat dalam
kehidupan sehari–hari lebih sering didasarkan pada pengalaman
sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah teoritis.
Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi artinya
bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan
tetapi dikonstruksi secara sosial, dan dikarenanya plural. Konstruktivisme
menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek
yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama–sama berperan dalam
mengonstruksi ilmu pengetahuan. Konstruksi membuat cakrawala baru
dengan mengakui adanya hubungan antara pikiran yang membentuk ilmu
pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikian
paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme
subjektivisme dengan mengonfirmasi peran subjek dan objek dalam
konstruksi ilmu pengetahuan. Pandangan konstruktivis mengakui adanya
interaksi antara ilmuwan dengan fenomena yang dapat memayungi
berbagai pendekatan atau paradigma dalam ilmu pengetahuan, bahkan
bukan hanya dalam ilmu-ilmu manusia saja, akan tetapi dalam batas

Universitas Sumatera Utara

tertentu juga dalam ilmu–ilmu alam, seperti yang ditunjukkan dalam
fisika kuantum.
Konsekuensinya, kaum konstruktivis menganggap tidak ada
makna yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak
dapat secara transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di
sini” tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang
disepakati secara sosial. Semesta yang ada di hadapan kita bukan satu
yang ditemukan, melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka
konseptual, dan bahasa yang dipakai. Karena itu, pendekatan yang
aprioristic terhadap semesta menjadi tidak mungkin. Ide tentang tidak
adanya satu representasi dan ketersembunyian semesta membuka peluang
pluralisme metodologi, karena tidak adanya satu representasi yang
memiliki aksen istimewa terhadap semesta.
Bahasa bukan cerminan semesta akan tetapi sebaliknya bahasa
berperan membentuk semesta. Setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek
spesifik dari semesta denga carannya sendiri (bahasa puisi/sastra, bahasa
sehari–hari, bahasa ilmiah). Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial
serta memiliki sifat yang tidak permanen, sehingga terbuka dan
mengalami evolusi. Berbagai versi

tentang objek–objek dan tentang

dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respon terhadap problem
tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan
kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konteks
konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi,
melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto, 2007:
153).

2.1.2

Sejarah Perspektif Konstruktivisme
Piaget (1970) dalam buku Filsafat komunikasi Ardianto,

membedakan dua aspek berfikir dalam pembentukan pengetahuan ini: (1)
aspek figurative dan (2) aspek operatif.Aspek berfikir figurative adalah
imajinasi keadaan sesaat dan statis. Ini menyangkut persepsi, imaginasi,
dan gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena.

Universitas Sumatera Utara

Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu
level ke level lain. Ini menyangkut operasi intlektual atau sistem
transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari
transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain.
Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek
operatif. Berfikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk
mengembangkan pengetahuan dari suatu level tertentu ke level yang
lebih tinggi.
Secara ringkas dalam buku Filsafat komunikasi Ardianto, gagasan
konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

a) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan.
c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman–pengalaman seseorang (Ardianto, 2007:
155).

Konstruk Hubungan Dalam Komunikasi
Seperti kita ketahui, konstruktivisme meyakini bahwa segala
sesuatu ada karena konstruksi tertentu. Pada komunikasi berbasis diri, kita
sudah melihat bagaimana suatu pesan tidaklah netral melainkan
dikonstruksi oleh sistem kognitif tertentu. Lalu bagaimanakah komunikasi
berbasis diri ini dapat menghasilkan komunikasi antarpersona yang
mensyaratkan adanya hubungan antar pengirim dan penerima pesan?
Menurut kalangan konstruktivis, satu hubungan yang bersifat individual
akan menghasilkan pesan yang lebih berbasis ‘diri’. Kemudian Burleson
(1987) pada buku filsafat komunikasi Ardianto, menyatakan bahwa
pengeluaran pesan berbasis ‘diri’ bergantung pada kecakapan dalam

Universitas Sumatera Utara

menggambarkan dan mengambil kesimpulan karakteristik psikologi para
pendengarnya secara internal
Faktor lain yang mempengaruhui proses komunikasi berbasis diri
adalah konsep tentang tujuan. Setiap individu dalam interaksinya selalu
berusaha untu memanejen tujuan. Tujuan itu bisa bersifat instrumental
(seperti, mengajak atau memberitahukan seseorang) dan relasional
(mendukung, penampilan seseorang, menunjukan pesona diri). B.J O’keefe
Dan Delia (1982) menyatakan bahwa pesan berbasis-diri lebih kompleks
dalam tindakannya karena mereka menentukan tujuan yang beragam.
O’Kefee

menggunakan

trem

kompleksitas

tindakan

(behavioural

complexity) untuk merujuk pada bagaimana kebutuhan yang kompleks ini
diatur dalam suatu interaksi. Produksi pesan yang kompleks ini bisa
dikaitkan dengan kompleksitas kognitif. Secara khusus, individu dengan
konstruk sistem yang berbeda akan membuat definisi yang kompleks
tentang situasi antarpesona dan akan, sebagai hasil, memproduksi pesan
yang lebih bersifat kompleks serta lebih terpusat pada diri (Ardianto, 2007:
163).
Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan
kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk
mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi
melalui model-model tertentu. Model-model tersebut biasanya disebut dengan
paradigma. Paradigma merupakan model atau pola tentang bagaimana sesuatu
distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi.

2. 2

Kajian Pustaka

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah
dan meneliti kegiatan–kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang
lingkup (scope)-nya dan banyak dimensinya. Para mahasiswa selalu
mengklasifikasikan aspek–aspek komunikasi ke dalam jenis–jenis yang
satu sama lain berbeda konteksnya (Effendy, 2003: 52).

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi
Frank

Dance

mengambil

sebuah

langkah

besar

dalam

mengklarifikasikan konsep kasar ini dengan menggarisbawahi sejumlah
elemen yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia mendapatkan
tiga poin dari “perbedaan konseptual yang penting” yang membentuk
dimensi–dimensi dasar komunikasi. Dimensi yang pertama adalah tingkat
pengamatan atau keringkasan. Beberapa definisi termasuk

luas dan

bebas; yang lainnya terbatas. Sebagai contoh, definisi komunikasi sebagai
“proses yang menghubungkan semua bagian–bagian yang terputus”
merupakan definisi yang umum. Definisi yang lain, komunikasi sebagai
“sebuah sistem (misalnya telefon atau telegraf) untuk menyampaikan
informasi dan perintah (misalnya di Angkatan Laut) yang bersifat
membatasi”.
Perbedaan yang kedua adalah tujuan. Beberapa definisi hanya
memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud tertentu;
yang lainnya tidak memaksakan pembatasan ini. Berikut ini adalah contoh
definisi yang menyebutkan maksud: “situasi–situasi tersebut merupakan
sebuah sumber yang mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan
tujuan tertentu untuk mempengaruhi perilaku penerima”. Sebuah definisi
yang tidak memerlukan tujuan adalah sebagai berikut: “Komunikasi
merupakan sebuah proses menyamakan dua atau beberapa hal mengenai
kekuasaan terhadap seseorang atau beberapa orang”.
Dimensi ketiga yang digunakan untuk membedakan definisi
komunikasi adalah penilaian normatif. Beberapa definisi menyertakan
pernyataan tentang keberhasilan, keefektifan, atau ketepatan; definisi–
definisi yang lain tidak berisi penilaian yang lengkap seperti itu. Sebagai
contoh, definisi berikut menganggap bahwa komunikasi dikatakan
berhasil jika: “komunikasi merupakan pertukaran sebuah pemikiran atau
gagasan.” Asumsi dalam definisi itu adalah bahwa sebuah pemikiran atau
gagasan berhasil ditukarkan. Di sisi lain, sebuah definisi yang tidak
menilai apakah hasilnya berhasil atau tidak: “Komunikasi [adalah]
penyampaian informasi.” Di sini, informasi disampaikan, tetapi tidak

Universitas Sumatera Utara

penting apakah informasi diterima dan dipahami atau tidak (Littlejohn,
20011; 5).
Komunikasi adalah hal yang paling wajar dalam pola tindakan
manusia, tetapi juga paling komplit dan rumit. Bagaimana tidak,
komunikasi sudah berlangsung semenjak manusia lahir, dilakukan secara
wajar dan leluasa seperti halnya bernafas, namun ketika harus membujuk,
membuat tulisan, mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain
bertindak sesuai dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi
adalah sesuatu yang sulit dan berbelit–belit.
Dalam mendefinisikan atau menafsirkan komunikasi juga terjadi
kesulitan. Kesulitan ini muncul Karena konsep komunikasi itu sendiri
adalah sesuatu yang abstrak dan mempunyai berbagai makna. Kesulitan
lainnya karena makna komunikasi yang digunakan sehari–hari berbeda
dengan penggunaan komunikasi yang dimaksud oleh para ahli
komunikasi untuk kepentingan keilmuan.
Sejak tahun empat puluh atau tepatnya era 1930-1960, definisi–
definisi mengenai komunikasi telah banyak diungkap, ketika itu para ahli
di Amerika Serikat mulai merasakan kebutuhan akan “Science of
Communication”, di antaranya adalah Carl I. Hovland, seorang sarjana
psikologi yang menaruh perhatian pada perubahan sikap.
Menurutnya, ilmu komunikasi adalah “suatu usaha yang sistematis
untuk merumuskan secara tegas azas–azas dan atas dasar azas–azas
tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap (a
systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by
which information is transmitted and opinions and attitudes are formed).
Adapun mengenai komunikasinya sendiri, Hovland merumuskan sebagai
“proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang–
perangsang (biasanya lambang–lambang dalam bentuk kata-kata) untuk
untuk merubah tingkah laku orang lain atau komunikate (Purba, 2006:
29).
Komunikasi adalah hal yang paling wajar dalam pola tindakan
manusia, tetapi juga paling komplit dan rumit. Komunikasi berlangsung

Universitas Sumatera Utara

semenjak kita lahir, dilakukan dengan wajar dan leluasa seperti halnya
bernafas,

namun

ketika

harus

membujuk,

membuat

tulisan,

mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai
dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah suatu
yang sulit dan berbelit-belit. Proses komunikasi lain misalnya yang
dikembangkan oleh Herbert G Hicks dan C Ray Gullet yang didasarkan
pada model David K. Berlo dan model yang dikembangkan oleh Wilbur
Schramn, menggambarkan komunikasi dimulai dari sumber sebagai titik
awal komunikasi itu berasal. Dalam diri sumber terjadi proses
pengkodean (encoding) yakni ketika ide dirubah menjadi kode atau
simbol bahasa, gerak gerik dan sebagainya di alam pikiran kemudian
diekspresikan menjadi sebuah pesan berupa produk fisik seperti kata –
kata yang diucapkan, dicetak, ekspresi wajah yang disampaikan melalui
saluran tetrtentu kepada penerima. Pesan tersebut diterima berupa ide atau
simbol yang terlebih dahulu melalui proses pembacaan kode (decoding)
dalam diri penerima dengan menyusun kembali guna memperoleh
pengertian. Demikian selanjutnya terjadi proses yang sama dalam diri
komunikan yang berubah menjadi komunikator (sumber) yaitu proses
encoding maupun decoding dalam menyampaikan pesan sebagai feedback
atau respon. Proses ini terus berlanjut secara sirkuler sampai akhirnya
proses komunikasi itu berakhir. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa
unsur – unsur dalam proses komunikasi menjadi semakin berkembang
dengan menambah encoding, decoding dan feedback (Purba, 2006: 40)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa unsur–unsur
komunikasi terdiri dari :
1. Sumber (communicator)
2. Pembentukan kode (encoding)
3. Pesan (message)
4. Saluran (channel)
5. Penerima (communicant)
6. Pembacaan kode (decoing)

Universitas Sumatera Utara

7. Umpan balik (feedback)
8. Efek (effect)
(Purba, 2006: 40)

Tujuan komunikasi
Ada beberapa tujuan ilmu komunikasi yang terdapat pada buku
Onong Uchjana Effendy (2003) yang berjudul Ilmu, Teori Dan Filsafat
Komunikasi yaitu:
a. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion)
b. Mengubah prilaku (to change the behavior)
c. Mengubah masyarakat (to change the society)

Jenis komunikasi
Sesungguhnya komunikasi bukan hanya multi makna dan multi
definisi, tetapi cara membaginya pun juga bermacam – macam. Untuk
memahami taksonomi (klasifikasi) komunikasi, maka kita dapat melacak
pada awal pertumbuhannya sebagai ilmu.
Komunikasi dibagi atas dua bagian yaitu komunikasi media
(beralat) dan komunikasi tatap muka (non media). Selanjutnya
komunikasi media dibedakan lagi atas dua jenis, yaitu komunikasi dengan
menggunakan media massa (pers, radio, film dan televisi) dan komunikasi
dengan menggunakan media individual (surat telegram, telepon dan
sebagainya).
Jika komunikasi dititikberatkan pada sifat pesan, maka komunikasi
dapat dibagi pula ke dalam dua jenis, yaitu komunikasi massa (isinya
bersifat umum) dan komunikasi persona (isinya bersifat pribadi).
Komunikasi massa dapat menggunakan media massa, sedangkan
komunikasi persona boleh dilakukan dengan menggunakan alat seperti
surat, telepon dan telegram.
Selain dari pembagian di atas, terdapat juga cara membagi
komunikasi berdasarkan pengirim dan penerima atau peserta komunikasi.
Dengan demikian komunikasi yang berlangsung antara dua orang,

Universitas Sumatera Utara

dinamakan komunikasi persona, yang berlangsung dalam kelompok
disebut komunikasi kelompok (ada kelompok kecil dan kelompok besar),
dan yang berlangsung dengan massa, dinamakan komunikasi massa.
Selain dari ketiga jenis komunikasi itu (persona, kelompok dan massa),
para sosiologi menambahkan satu lagi jenis komunikasi, yaitu komunikasi
organisasi yaitu komunikasi yang berlangsung didalam organisasi
(formal).
Di samping itu sering pula dijumpai komunikasi dibagi
berdasarkan lokasi atau kawasan, seperti komunikasi internasional,
komunikasi regional dan komunikasi nasional. Tercakup di dalamnya
adalah komunikasi lintas budaya, yaitu komunikasi yang berlangsung
antara masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, baik
dalam lingkungan suatu bangsa (antar suku), maupun dalam lingkungan
antar bangsa.
Pembagian yang lain, didasarkan kepada tujuan dan jenis pesan.
Dalam hal ini komunikasi dapat dibedakan dalam banyak jenis antara
lain:
a) Komunikasi Politik (kampanye,agitasi, propaganda),
b) Komunikasi Perdagangan (reklame, advertensi, promosi),
c) Komunikasi Kesehatan (penyuluhan keluarga berencana).
d) Komunikasi Agama (dakwa, tablig, khotbah),
e) Komunikasi Kesenian (drama, puisi, prosa,wayang),
f) Komunikasi Pertanian (penyuluhan panca usaha tani).
Akhirnya terdapat pula satu jenis komunikasi yang dinamakan
komunikasi

pembaharuan

dan

komunikasi

pembangunan,

yaitu

komunikasi yang dilakukan secara sadar, sistematis dan berencana untuk
mengubah pola berfikir dan tingkah-laku masyarakat. Hal ini terutama
yang menyangkut ide baru dan teknologi baru.

Universitas Sumatera Utara

Pesan
Pesan (message) adalah kata verbal tertulis (written) maupun lisan
(spoken), isyarat (gestural), gambar (pictorial) maupun lambang–lambang
lainnya yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dan dapat
dimengerti oleh komunikan.
Pesan tidak semata–mata disampaikan dalam bentuk kata–kata saja
tetapi pesan juga dapat diungkapkan melalui lambang–lambang atau
isyarat dalam bentuk komunikasi non verbal misalnya dengan busana
berwarna hitam yang dikenakan oleh seseorang ketika sedang menghadiri
upacara kemalangan akan memberikan pesan turut berduka cita. Cara
seseorang tertawa lebar menyatakan pesan sangat gembira atau senang,
menggelengkan kepala menyatakan tidak, berjabat tangan tanda
berkenalan atau sepakat dan sebagainya akan memberi arti komunikasi
bagi orang lain.
Suatu lambang verbal maupun nonverbal yang tidak dapat
dimengerti atau dipahami oleh orang lain tidak dapat dikatakan pesan,
sebab lambang atau simbol akan menjadi

pesan apa bila terdapat

kesamaan makna terhadap pesan atau dengan kata lain dapat dimengerti
oleh kedua belah pihak, baik komunikator maupun komunikan. Pesan
yang disampaikan seseorang secara langsung (face to face) maupun
dengan media pribadi seperti telepon. Surat dan lain – lain adalah pesan
yang bersifat pribadi atau intern karena ditujukan kepada seseorang atau
sekelompok orang tertentu. Berbeda dengan pesan yang disampaikan
kepada massa melalui media massa seperti radio, televisi, surat kabar,
majalah dan lain – lain, bersifat umum karena ditunjukan kepada
masyarakat umum dan menyangkut kepentingan umum. Hal ini
merupakan karakteristik media massa sebagai salah satu yang
membedakan antara komunikasi massa dengan komunikasi lainnya
(Purba, 2006: 43).
Komunikasi dalam kehidupan manusia terasa sangat penting,
karena dengan komunikasi dapat menjembatani segala bentuk ide yang
akan disampaikan seseorang. Dalam setiap melakukan komunikasi unsur

Universitas Sumatera Utara

penting diantaranya adalah pesan, karena pesan disampaikan melalui
media yang tepat, bahasa yang di mengerti, kata-kata yang sederhana dan
sesuai dengan maksud, serta tujuan pesan itu akan disampaikan dan
mudah dicerna oleh komunikan. Adapun pesan itu menurut Onong
Effendy, menyatakan bahwa pesan adalah: “suatu komponen dalam
proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang
dengan

menggunakan

lambang,

bahasa/lambang-lambang

lainnya

disampaikan kepada orang lain” (Effendy, 2003: 224).
Pesan dapat dimengerti dalam tiga unsur yaitu kode pesan, isi
pesan dan wujud pesan. Kode pesan adalah sederetan simbol yang
disusun sedemikian rupa sehingga bermakna bagi orang lain. Contoh
bahasa Indonesia adalah kode yang mencakup unsur bunyi, suara, huruf
dan kata yang disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai arti.
Hubungan antara pesan dan tanda dibuat lebih kompleks dengan adanya
tulisan dalam suatu cara yang tidak langsung. Apa yang ada dalam benak
saya sesungguhnya terkonsentrasi pada fungsi genre literer dalam
menghasilkan wacana sedemikian rupa menjadi sebuah model wacana,
baik berupa puisi, narasi ataupun esai. Fungsi ini tidak diragukan lagi
concern dengan hubungan antara pesan dan kode dikarenakan genre
adalah alat generatif yang menghasilkan wacana sedemikian rupa menjadi
sebuah model wacana, baik berupa puisi, cerita ataupun esai. Fungsi ini
tidak diragukan lagi fokus hubungan antara pesan dan kode dikarenakan
genre adalah alat generatif yang menghasilkan wacana. Sebelum menjadi
teknik klasifikatori yang digunakan kritik literer untuk mengorientasikan
diri mereka dalam perlimpahan karya literer, yang untuk itu sebelum
menjadi kritisme karya (manusia), tanda–tanda harus mewacanakan
grammar produktif apa yang sesuai kalimat individual. Dalam artian ini,
tanda–tanda diskursif ini dapat diikutsertakan dengan tanda–tanda
fonologis, leksikal dan sintaksis yang mengatur unit–unit wacana, kalimat
(Ricoeur, 2012: 75).

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi Verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai
sistem kode verbal (Mulyana, 2004). Bahasa dapat didefinisikan sebagai
seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbolsimbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
Jalaluddin Rakhmat (1994) dalam buku Barker yang berjudul
Cultural Studies, mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal.
Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama
untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena
bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggotaanggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa
diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat
menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan
bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.
Karya Saussure (1960) dalam buku Barker yang berjudul Cultural Studies,
cukup kritis dalam mengembangkan strukturalisme. Dia menyatakan
bahwa makna terbangun melalui sistem perbedaan terstruktur pada bahasa.
Pemaknaan lebih sebagai hasil dari aturan dan konvensi yang mengatur
bahasa (langue) ketimbang sebagai pemakaian dan ujar spesifik yang
dilakukan individu dalam kehidupan sehari–hari (parole). Menurut
Saussure, makna diproduksi melalu proses seleksi dan kombinasi tanda–
tanda di sekitar dua poros, yaitu poros sintagmatis (linear misalnya
kalimat) dan poros paradigmatis (arena tanda misalnya sinonim), yang
ditata di dalam sistem penandaan. Tanda, yang dibangun oleh penanda
(media) dan petanda (makna), tidak dijelaskan dengan mengacu kepada
identitas dunia nyata namun ia membangun makna dengan mengacu satu
sama lain. Makna adalah konvensi sosial yang diorganisasi melalui relasi
antar tanda.
Singkatnya, Sausurre, dan strukturalisme secara umum, lebih
banyak menaruh perhatian pada struktur bahasa yang memungkinkan
performa linguistik ketimbang performa yang sebenarnya dalam variasi

Universitas Sumatera Utara

tanpa batas. Patut dicatat bahwa Saussere berbicara tentang ilmu tanda,
yang

disebut

dengan

semiotika,

yang

berimplikasi

terhadap

dimungkinkannya pengetahuan tanda yang objektif, pasti dan ilmiah. Kita
juga harus mencatat adanya kecenderungan dalam strukturalisme terhadap
analisis melalui oposisi biner, misalnya kontras antara langue dan parole,
atau antara pasangan tanda sehingga ’hitam’ hanya bermakna ketika
dikaitkan dengan ’putih’ dan sebaliknya (Barker, 2004: 18).
Arti penting bahasa bagi pemahaman kebudayaan dan konstruksi
pengetahuan telah mencapai puncak agenda di dalam cultural studies dan
’ilmu humaniora’. Itu semua karena dua alasan sentral dan saling terkait:
1) Bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya
dibangun dan dikomunikasikan.
2) Bahasa adalah sarana dan media di mana kita membangun
pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial.
Bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan dan transfer nilai,
makna dan pengetahuan yang ada di luar batas–batasnya; namun, bahasa
adalah pembangun nilai–nilai, makna dan pengetahuan tersebut. Jadi,
bahasa memberikan makna kepada objek material dan praktik sosial yang
ditampilkan dan digamblangkan ke hadapan kita dalam konteks yang
dibatasi bahasa. Bahasa lebih baik tidak dipahami sebagai refleksi naif
atas makna non-lunguistik, atau sekedar dalam konteks kehendak para
pengguna

bahasa.

Namun

bahasa

mengkonstruksi

makna.

Dia

menstrukturkan makna mana yang dapat dan tidak dapat digunakan pada
situasi tertentu oleh objek yang bertutur. Memahami kebudayaan berarti
mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui
praktik–praktik pemaknaan bahasa. Ini menjadi domain semiotika,
dipahami secara luas sebagai studi tanda dan dikembangkan dari karya
perintis Saussure (Barker, 2004: 69).
Dalam buku Philosophical Investigation Wittgenstein menyatakan
bahwa mencari penjelasan teoretis universal terhadap bahasa bukanlah
cara yang paling menguntungkan untuk diteruskan. Bagi Wittgenstein,
bahasa bukanlah kehadiran metafisika melainkan suatu alat yang

Universitas Sumatera Utara

digunakan oleh manusia untuk mengoordinasikan tindakan mereka dalam
konteks hubungan sosial. ’Makna suatu kata adalah pemakaiannya dalam
bahasa, yang terpenting adalah bahwa kita bertanya ”pada kondisi apa
kalimat ini benar–benar digunakan di sanalah ia dapat dipahami”. Melihat
bahasa sebagai alat berarti menyatakan bahwa kita melakukan berbagai
hal dengan bahasa. Bahasa adalah tindakan dan penunjuk bagi tindakan.
Bahasa, dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer dapat
distabilkan untuk tujuan praktis.
Ada kemiripan antara tulisan Derrida dengan Wittgenstein.
Sebagai contoh, keduanya menekankan:
a. karakter non-representasional bahasa;
b. hubungan arbitrer antara tanda dan referent;
c. sifat kontekstual ’kebenaran’
Namun, Wittgenstein dalam buku Barker yang berjudul Cultural
Studies, ketika menggarisbawahi karakter pragmatis dan sosial bahasa,
termasuk arti penting hubungan sosial (yang kadang–kadang terpisah
begitu jauh dari karakter sosialnya). Bagi Wittgenstein, kendati makna
berasal dari relasi perbedaan, makna diberi tingkat stabilitas oleh
konvensi sosial dan praktik. Permainan tiada ujung pemaknaan yang
dieksplorasi Derrida diatur dan sebagian distabilkan melalui narasi
pragmatis. Bagi Wittgenstein, ekspresi yang penuh makna adalah suatu
hal yang dapat diberi manfaat oleh eksistensi manusia yang hidup. Bahasa
secara langsung berimbas pada ’bentuk kehidupan manusia’. Jadi selama
makna kata ’meja’ dibangun melalui hubungan penanda meja, bangku,
gerai, panel, dan lain–lain maka ia tidak stabil. Namun, ia distabilkan oleh
pengetahuan sosial kata ’meja’, yaitu dipakai untuk apa, kapan, pada
kesempatan apa, dan seterusnya dengan kata lain, kata ’meja’ tampil
dalam narasi pragmatis atau permainan bahasa (Barker, 2004: 92).
Saussure

meyakini

bahwa

penelitian

linguistik

harus

memperhatikan hal yang membentuk bahasa, seperti bunyi pengucapan,
kata–kata, dan tata bahasa karena walaupun struktur bahasa berubah–
ubah, tetapi tidak untuk penggunaan bahasa. Perlu menetapkan ketentuan.

Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain Anda tidak dapat memilih satu kata pun semau Anda
untuk mengutarakan maksud, tidak pula untuk menyusun kembali tata
bahasa sekehendak Anda jika Anda ingin dimengerti.
Bahasa yang digambarkan dengan kaidah struktural adalah sebuah
sistem hubungan baku tanpa inti. Hanya ketika makna ditambahkan pada
fitur–fitur struktural dari bahasa, yang menjadikannya menggambarkan
sesuatu. Kunci untuk memahami struktur dari sistem Saussure adalah
perbedaan. Elemen dan hubungan yang ditambahkan pada bahasa
dibedakan oleh perbedaan mereka. Suatu bunyi terdengar berbeda dengan
yang lainnya (seperti bunyi p dan b); suatu kata yang berbeda dengan
yang lainnya (seperti kata pat dan bat); suatu bentuk tata bahasa yang
berbeda dengan yang lainnya (seperti pembentukan has run dan will run).
Sistem perbedaan ini mendasari struktur bahasa. Baik bahasa tertulis
maupun yang diucapkan, berbeda di antara tanda objek–objek di dunia,
dapat diidentifikasi dengan mencocokkan perbedaan–perbedaan di antara
tanda–tanda linguistik. Tidak ada unit linguistik yang memiliki
signifikansi di dalam atau di luarnya hanya berlawanan dengan unit
linguistik lainnya yang menjadikan struktur tertentu mendapatkan makna.
Saussure meyakini bahwa semua orang yang mengenal dunia
ditentukan oleh bahasa. Tidak seperti kebanyakan penganut semiotik
lainnya, Saussure tidak melihat tanda sebagai referensial. Tanda tidak
menandakan objek, melainkan mendasari mereka. Dapat saja tidak ada
objek yang terpisah dari tanda yang digunakan untuk merancangnya. Hal
ini menghubungkannya secara jelas dengan gagasan Langer bahwa dunia
kita terdiri dari makna yang dikaitkan dengan simbol – simbol penting
dalam kehidupan kita.
Saussure membuat sebuah pembeda penting antara bahsa formal,
yang disebut langue, dan kegunaan bahasa sebenarnya dalam komunikasi,
yang ia sebut sebagai parole. Kedua istilah Prancis ini dapat disamakan
seperti dalam bahasa inggris bahasa dan pengucapan, bahasa (langue)
adalah sebuah sistem buku yang dapat dianalisis terpisah dari
kegunaannya dalam kehidupan sehari–hari. Pengucapan (parole) adala

Universitas Sumatera Utara

kegunaan sebenarnya dari bahasa untuk mencapai tujuan. Pelaku
komunikasi tidak menciptakan peraturan bahasa. Peraturan ini berfungsi
melalui periode waktu yang lama dan ”dianugerahkan” kepada kita saat
bersosialisasi dalam sebuah komunitas bahasa. Sebaliknya, pelaku
komunikasi menciptakan berbagai bentuk pengucapan setiap saat. Dengan
kata lain, Anda tidak sedang duduk–duduk dengan teman Anda dan
menemukan pola tata bahasa untuk menandakan masa lalu, sekarang dan
masa depan tetapi anda melakukannya dengan interaksi, menggunakan
bentuk–bentuk ini dengan kreatif dan secara konstan mengubah sesuatu.
Inilah perbedaan antara bahasa dan pengucapan (Littlejohn, 2009; 157).
Bahasa bukanlah cermin untuk melihat dunia menjadi objek
independent (realitas), melainkan sumber dalam ‘menyediakan bentuk’
bagi diri kita dan dunia kita di luar aliran perbincangan dan praktik
sehari–hari yang tidak menentukan dan tidak tertata (Shotter, 1993). Di
sini, identitas bukan merupakan suatu hal yang tetap, abadi, bukan juga
suatu unsur dalam diri seseorang yang menjadi acuan kata–kata,
melainkan suatu cara teratur dalam ‘berbicara’ tentang orang. Gagasan
bahwa identitas merupakan konstruksi diskursif diperkuat oleh pandangan
tentang bahasa bahwa tidak ada esensi yang menjadi acuan bahasa,
sehingga tidak ada identitas esensial. Jadi, representasi tidak ‘memotret’
dunia melainkan membangunnya untuk kita. Itu semua karena hal–hal
berikut :
1) Penanda membangun makna tidak dalam kaitannya dengan
objek tetap melainkan dalam kaitannya dengan penanda
lain. Menurut teori semiotika, makna dibangun melalui
berbagai relasi perbedaan. Jadi, ‘baik’ bermakna ketika
dikaitkan dengan ‘buruk’.
2) Hubungan antara bunyi dan tanda bahasa, penanda, dan apa
yang mereka maksud, petanda, tidak diyakini berada pada
hubungan yang tetap dan abadi.
3) Berfikir tentang dunia objek independen berarti melakukan
hal yang sama dalam bahasa. Tidak mungkin lari dari

Universitas Sumatera Utara

bahasa agar mampu melihat secara langsung dunia objektif
independent. Kita pun tidak dapat menemukan sudut
pandang menyerupai Tuhan di mana kita melihat hubungan
antara bahasa dengan dunia.
4) Bahasa berkarakter relasional. Kata–kata membangun
makna

tidak

dengan

mengacu

kepada

sejumlah

karakteristik khusus atau esensial dari suatu objek atau
suatu

benda

melainkan

melalui

jaringan

hubungan

permainan bahasa yang digunakan.
5) Kata tertentu mengandung gema atau jejak makna lain dari
kata lain yang terikat dalam berbagai konteksnya. Makna
pada dasarnya tidak stabil dan terus–menerus terpeleset.
Demikian pula hanya dengan differance, ‘perbedaan dan
pemelesetan’ di mana produksi makna terus–menerus
dipelesetkan dan ditambah (atau dilengkapi) oleh makna
kata lain
Pandangan tentang bahasa ini mengandung sejumlah kosekuensi
penting bagi pemahaman diri dan identitas. Tidak bisa dikatakan bahwa
bahasa secara langsung merepresentasikan ‘aku’ yang telah ada
sebelumnya. Agaknya, bahasa dan pemikiran membentuk ‘aku’, keduanya
membawa ‘aku’ kepada hakikat melalui proses pemaknaan. Seseorang
yang tidak mampu memilih ‘aku’, maka ia juga tidak dapat memilih
‘identitas’. Agaknya, seseorang dibentuk melalui bahasa sebagai
serangkaian diskursus. Bahasa tidak mengekspresikan ‘benar dengan
sendirinya’ wujud yang ada, tapi membawa diri kepada hakikat. Ucapan
Descartes yang sangat terkenal. ‘Saya berfikir, karena itu saya ada’
menegaskan bahwa berpikir merupakan aktivitas yang terpisah dari dan
merepresentasikan ‘aku’ yang telah ada sebelumnya. Namun, karena tidak
ada ‘aku’ di luar bahasa, maka berpikir adalah hakikat; ‘aku’ adalah suatu
posisi dalam bahasa.
Walaupun bahasa membangun makna melalui serangkaian
perbedaan yang bersifat relasional dan tidak stabil, ia juga ditata di dalam

Universitas Sumatera Utara

diskursus yang mendefinisikan, mengkonstruksi dan memproduksi objek
pengetahuan mereka. Walhasil, yang dapat kita katakan tentang
karakteristik identitas bagi, misalnya, laki–laki secara sosial. Identitas
adalah konstruksi diskursif yang tidak mengacu kepada suatu ‘hal’ yang
telah ada sebelumnya. Identitas tidak stabil dan secara temporer
distabilkan oleh praktik sosial dan prilaku yang teratur dan dapat
diprediksikan.

Ini

adalah

sebuah

pandangan

yang

dipengaruhi,

sebagaimana dikatakan Stuart Hall, oleh karya Michael Foucault.

Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani
Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu
yang atas dasarnya konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat
dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai
sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain
Lebih jelas lagi, kita banyak mengenal tanda–tanda dalam
kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Misalnya, bila di sekitar
rumah kita ada tetangga yang memasang janur kuning maka itu pertanda
ada ‘hajatan’ perkawinan, tetapi bendera warna kuning di depan rumah
dan sudut jalan maka itu pertanda ada kematian. Secara terminologis,
semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek–objek, peristiwa–peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah
ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu
dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana
tertentu. Analisisnya bersifat

paradicmatic dalam arti

berupaya

menemukan makna termaksud dari hal–hal yang tersembunyi dibalik
sebuah teks. Maka orang sering mengatakan semiotika adalah upaya
menemukan makna ‘berita di balik berita’ (Seto, 2011: 6).
Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh
seorang penulis dan pakar semiotika kontemporer, yakni Umberto Eco. Ia

Universitas Sumatera Utara

mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009: 7). Meski
terkesan bermain-main dan tidak serius, ini merupakan definisi yang
cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk
merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui
tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan
(Danesi, 2010: 33).
Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah
konsep tentang tanda tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang
tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait
dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika
tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan
realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling
fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti
gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang
tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan
relasi-relasi (Sobur, 2004: 13).
Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi
memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu
teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses
pemaknaan, manusia (dan lingkungan sosiohistoriokulturalnya) tidak
secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotik (Hoed, 2004: 67).
Salah seorang ahli semiotika, Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika
dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda” dan
bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk
kultural apa pun. Semiotika adalah sebentuk hermeneutika yaitu nama
klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu
metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan
keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar

Universitas Sumatera Utara

pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka
kaji (Stokes, 2010: 76).
Semiotik telah menjadi hal penting yang membantu kita dalam
memahami

apa yang terjadi dalam pesan bagian–bagiannya dan

bagaimana semua bagian itu disusun. Teori ini juga membantu kita untuk
memahami bagai mana menyampaikan pesan supaya bermakna. Sebagai
contoh, jika Anda menyampaikan sebuah pidato, maka pendengar
memperhatikan pada kata–kata yang Anda pilih, tata bahasa, intonasi dan
gerak tubuh, kontak mata, serta cara Anda menempatkan diri dengan
pendengar. Teori semiotik kurang memperhatikan karakteristik Anda
sebagai pelaku komunikasi, pendengar merespons pesan Anda atau situasi
sosial dan budaya saat pidato itu disampaikan, walaupun teori semiotik
menganggap bahwa makna yang Anda dan pendengar berikan pada kata –
kata dan gerak tubuh dari pidato Anda bergantung pada semua hal – hal
diatas tersebut (Littlejohn, 2011: 153).
Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan
semiotika signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekankan pada pada
kajian

tentang

produksi

tanda

yang

salah

satu

di

antaranya

mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim,
penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal
yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua memberikan penekanan pada
teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.
Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan
berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman
suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih
diperhatikan daripada proses komunikasinya.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan
bersama-sama masnusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak

Universitas Sumatera Utara

dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh
Roland Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
signify)

dalam

hal

ini

tidak

dapat

dicampuradukkan

dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bawa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek
tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15).
Semiotika dibagi kedalam tiga wilayah kajian sematik, sintatik,
dan prakmatik. Sematik berbicara bagaimana tanda–tanda berhubungan
dengan yang ditujuknya atau apa yang ditunjukan oleh tanda–tanda.
Semiotika menggambarkan dua dunia-dunia benda dan dunia tanda dan
mencerahkan hubungan di antara kedua dunia tersebut. Kapan pun kita
memberikan sebuah petanyaan “Apa uang direpresentasikan oleh tanda?”
maka kita berada didalam ranah semantik. Sebagai contoh, kamus
merupakan buku referensi semantik; ia mengatakan apa arti kata atau apa
yang mereka representasikan. Sebagai prinsip dasar semiotik, representasi
selau dimediasi oleh interpretasi sadar seseorang dan interpretasi atau arti
apa pun bagi sebuah tanda akan mengubah satu situasi ke situasi lainnya.
Oleh karena itu, pertanyaan semantic yang lebih halus, “arti–arti apa saja
yang dibawa oleh tanda kedalam pikiran seseorang dalam suatu situasi?”
peneliti Martyna tentang kata ganti yang telah dijelaskan sebelumnya
ditanamkan dengan kuat dalam cabang semantic pada semiotik.
Wilayah kajian dua semiotik adalah Sintaktik atau kajian hubungan
di antara tanda–tanda. Tanda–tanda sebetulnya tidak pernah berdiri
dengan sendirinnya. Hampir semuannya selalu menjadi bagian dari sisten
tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara–cara
tertentu. Oleh karena itu, sintaktik mengacu kepada aturan–aturan yang
dengannya orang mengkombinasikan tanda–tanda kedalam sistem makna

Universitas Sumatera Utara

yang kompleks. Semiotik tetap mengacu pada prinsip bahwa tanda–tanda
selalu dipahami dalam kaitannya dengan tanda–tanda lain. Tentunya,
kamus bukan sekedar catalog hubungan antara sat