LAPORAN TIM KERJA RUU TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

15/12/2011

LAPORAN TIM KERJA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI
TANGGAL 15 DESEMBER 2011
(Kegiatan Tanggal 29 Oktober s/d 14 Desember 2011)
1.Pendahulun
Atas Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan menghasilkan karya
yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara, maka Tim Kerja Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi (DPR bersama Pemerintah), memberikan laporan kedua, tentang pengayaan dan/atau
penyempurnaan RUU Dikti versi 27 September 2011. Hal itu dilakukan setelah mendapatkan amanah
dari hasil Rapat Panja tanggal 1-2 Oktober 2011 dan setelah mencatat banyak masukan dari RDPU Panja
dalam bulan Oktober 2011. Tim Kerja juga melakukan konsultasi dengan Ketua Panja bersama anggota
panja, tanggal 3 November 2011, serta menerima masukan dari mantan Mendikbud Dr. Daoed Joesof dan
manta Mendiknas Prof. A. Malik Fadjar, MSc, tanggal 14 November 2011.
Berdasarkan hal tersebut maka RUU Dikti versi tanggal 14 November 2011, mengalami
pengayaan sehingga dari 99 pasal menjadi 116 pasal. Beberapa substansi dari Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri serta berbagai dokumen yang terpisah-pisah kemudian “dihimpun” menjadi satu
kesatuan dalam RUU Dikti ini, yang dapat menunjukkan tentang pentingnya pendidikan tinggi diatur
dalam sebuah undang-undang untuk menjamin adanya kepastian hukum. Demikian juga landasan hukum
RUU Dikti yang tercantum dalam konsideran yang banyak mendapat sorotan juga mengalami perubahan

dengan tetap berpangkalan pada pasal 31 UUD 1945. Hal-hal tersebut dilaporakan di bawah ini.
2.Kosiderans
Dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat amanah
pada ayat (5) hasil amandemen keempat, yaitu, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia”.
Amanah itu dimasukkan sebagai dasar pertimbangan utama yang ditempatkan dalam menimbang
huruf a. Meskipun demikian pada menimbang huruf b, tetap ditulis bahwa pendidikan tinggi sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peranan strategis dalam memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa.
Berdasarkan hal tersebut maka pendidikan tinggi menemukan fitrah kehadirannya sebagai
pendidikan yang berfungsi ganda atau dwi fungsi yaitu: (1) memberikan kesempatan kepada mahasiswa
mengembangkan bakat, minat, dan kemampuannya untuk menjadi intelektual, ilmuwan, filosof dan/atau
profesionalis dan ahli (praktisi) yang berbudaya, dan (2) memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Fungsi ganda atau dwi fungsi itu tidak dimiliki
oleh pendidikan dasar dan menengah.
Hal tersebut diperkuat dengan masukan dari mantan Mendikbud Daoed Joesoef dan mantan
Mendiknas A. Malik Fadjar (14-11-2011), serta persetujuan Ketua Panja Rully Chaerul Azwar dan
beberapa anggata Panja dalam rapat konsultasi (3-11-2011). Hal tersebut berkaitan juga dengan
pandangan dan masukan Emil Salim (Majelis Wali Amanah UI) dalam RDPU (Oktober 2011). Selain itu

kami juga memperoleh masukan dari Serahan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
tanggal 6 Deseember 2011, dan Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia
(APTISI) tanggal 8 Desember 2011 di Jakarta.
1 | Page

15/12/2011

2.Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Konsiderans tersebut harus dijabarkan dalam norma RUU Dikti, sehingga dalam tujuan
ditambahkan dalam pasal 5 huruf c, “dihasilkannya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau seni
melalui penelitian agar bermanfaat bagi kemandirian dan kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban
dan kesejahteraan umat manusia”.
a.Otonomi Keilmuan, Rumpun Ilmu Pengetahuan, dan Sivitas Akademika
Sejalan dengan itu maka sangat perlu menambahkan dalam Bab II (Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi) satu bagian khusus yaitu Bagian Kedua tentang Pengmbangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
Seni, yang mencakup atas 3 (tiga) paragraf dengan 8 (delapan) pasal. Ketiga paragraf itu adalah: (1)
Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan, (2) Rumpun Ilmu Pengetahuan, dan (3) Sivitas Akademika
(dosen dan mahasiswa).
Rumpun ilmu pengetahuan merupakan hal yang baru, yang harus juga diatur oleh negara dalam
undang-undang untuk mengatasi adanya “pertengkaran” para ilmuwan tentang keunggulan ilmunya.

Rumpun ilmu pengetahuan yang kini telah dianut secara internasional terdiri atas: humaniora, ilmu-ilmu
sosial, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu formal, dan ilmu-ilmu terapan (Pasal 11). Berdasarkan rumpun ilmu
pengetahuan itu Menteri dapat membentuk konsorsium dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan
oleh sivitas akademika. Rumpun ilmu pengetahuan selain itu jika muncul dikemudian hari secara
internasional akan ditetapkan dalam peraturan menteri.
b.Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi
Dalam pelaksanaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, diperlukan otonomi perguruan
tinggi sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas pasal 24 ayat (1) dan (2). Pasal 24 UU Sisdiknas itulah
yang merupakan sumber hukum bagi pentingnya otonomi pengelolaan pendidikan tinggi, agar kebebasan
akademik dan otonomi keilmuan dapat dilkasanakan, guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Justuru itu dalam RUU Dikti, diatur tentang status otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi,
sesuai dengan kemampuan masing-masing Perguruan Tinggi. Status tersebut mencakup: otonom, semi
otonom, dan otonom terbatas yang diatur dalam pasal 73 s/d pasal 81.
Rumusan tersebut direformulasi, dan telah didiskusikan dengan pemerintah, berdasarkan draft
telah disiapkan dengan melakukan peringkasan dan kesetaraan antara PTS dengan PTN. Penentuan status
otonom dan semi otonom ditetapkan oleh Pemerintah dengan peraturan presiden untuk PTN, dan
ditetapkan oleh Badan Penyelenggaran (yayasan atau perkemupulan) untuk PTS.
Bagi PTN yang memiliki status otonom mengelola dana secara mandiri, transparan, dan
akuntabel, sehingga dana yang diperoleh dari pembayaran mahasiswa dan usaha PTN tidak dihitung
sebagai penerimaan negara bukan pajak (pasal 77 ayat 4 dan 5). Demikian juga PTN berhak mengelola

dan/atau memiliki memiliki kekayaan yang terpisah (pasal 77 ayat 6).
Selain itu PTN yang berstatus otonom (pasal 82 ayat 4 dan 5) dapat mengangkat ketenagaan
(dosen dan tenaga kependidikan) sendiri yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja, dengan memberikan gaji pokok diatas UMR serta tunjangan lain sesuai UU GD.
Hal tersebut merupakan lex specialis yang harus diatur dalam Undang-Undang.
c.Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan /atau seni sangat ditentukan oleh penelitian
(Pasal 53) yang merupakan kegiatan sivitas akademika, sebagai proses pencarian dan penemuan
2 | Page

15/12/2011

kebenaran ilmiah (ayat 1). Penelitian itu didanai oleh Pemerintah melalui jalur kompetensi bagi dosen
bergelar doktor dan jalur kompetisi bagi dosen muda dan yang akan menempuh pendidikan doktor
(ayat3).
Hasil penelitian berfungsi selain untuk pengembangan IPTEKS dan mempekaya khazanah ilmu
pengetahuan, juga berfungsi untuk meningkatkan daya saing bangsa dan mutu kehidupan bangsa. Selain
itu penelitian juga berfungsi sebagai indikator tingkat kemajuan Perguruan Tinggi, serta kemajuan dan
tingkat peradaban bangsa (Pasal 54 ayat 1).
Hasil penelitian dan hasil pengabdian pada masyarakat yang diterbitkan dalam jurnal

internasional, memperoleh paten, dan dimanfaatkan oleh industry, teknologi tepat guna, dan/atau buku
yang digunakan sebagai sumber belajar, wajib diberikan anugrah oleh Pemerintah dalam bentuk dana
(pasal 54 ayat 4). Justru itu dalam Pasal 101 ayat (3) dirumuskan bahwa pendanaan penelitian di
Perguruan Tinggi paling sedikit 2 % dari anggaran fungsi pendidikan dalam APBN.
Selain itu dalam pasal 55 diatur bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendaya
gunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni. Demikian juga Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas penelitian di Kementerian
lain dan/atau LPNK. Justru itu Menteri proaktif menggalang kerja sama dan kemitraan antara perguruan
tinggi dengan dunia industri dalam bidang penelitian.
d.Internasionalisasi Pendidikan Tinggi dan Kerjasama Internasional
Dengan fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sangat diharapkan
pendidikan tinggi Indonesia mampu berinteraksi dalam forum internasional. Itulah sebabnya dalam RUU
Dikti itu (Pasal 57) diatur juga tentang internasionalisasi pendidikan tinggi dan kerjasama internasional
dengan tujuan agar akademisi, ilmuwan, dan intelektual Indonesia percaya diri dalam pergaulan
internasional. Hal itu sama sekali tidak berarti bahwa Indonesia membuka pintu yang lebar untuk
masuknya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia. Internasionalisasi pendidikan tinggi dilakukan sebagai
proses meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia untuk berperanan dalam pergaulan
internasional tanpa kehilangan keindonesiaan, guna meningkatkan kedaulatan dan martabat bangsa.
Internasionalisasi pendidikan tinggi diselenggarakan dalam mengatualisasikan prinsip bebas dan
aktif, solidaritas, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai keindonesiaan dan

kemanusiaan yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan, kemuliaan kehidupan dan peradaban.
Internasionalisasi dilaksanakan melalui pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya local di
perguruan tinggi dalam dan luar negeri serta menyelenggarakan pembelajaran yang bertaraf internasional.
Kebijakan internasionalisasi pendidikan tinggi paling sedikit memuat tentang pembentukan masyarakat
intelektual atau komunitas ilmiah, memberikan wawasan kepada mahasiswa sebagai bagian dari
masyarakat internasional, serta pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan
internasional (Pasal 57 ayat 3-6).
3.Jenis Pendidikan Tinggi (Pendidikan Akademik, Profesi, dan Vokasi)
Rapat Panja tanggal 1-2 Oktober 2011 memberikan amanah agar RUU Pendidikan Tinggi perlu
memaparkan lebih jelas tentang jenis pendidikan tinggi yaitu pendidikan akademik, pendidikan profesi,
dan pendidikan vokasi. Hal itu dilakukan dengan cara memisahkan jenis pendidikan tinggi (Bagian
Ketiga) dengan program pendidikan tinggi (Bagian Keempat). Jenis pendidikan tinggi ditempatkan pada
bagian ketiga yang mencakup paragraf 1 yaitu: Pendidikan akademik, dan vokasi dan Paragraf 2 yaitu
Pendidikan Profesi.
Berdasarkan hal tersebut maka ditempuh juga, cara memindahkan dari Ketentuan Umum (Bab I)
butir (2) tentang pengertian pendidikan akademik, butir (3) tentang pengertian pendidikan profesi, dan
3 | Page

15/12/2011


butir (4) tentang pengertian pendidikan vokasi, menjadi norma. Pendidikan akademik dan vokasi
diletakkan pada paragraf 1, pasal 16 ayat (1), (2), dan (3). Sedang pendidikan vokasi, diletakkan pada
pragraf 2, pasal 17, ayat (1) dan (2). Hal itu dilakukan selain karena substansi itu tidak disebutkan
berulang-ulang pada pasal-pasal lainnya, juga diperlukan untuk memudahkan pengertian tentang
pendidikan akademik, profesi, dan vokasi.
Pada pasal 16 ayat ayat (3) dirumuskan hal yang krusial yaitu: “Pendidikan akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang berada dalam tanggung jawab pembinaan, koordinasi, dan
pengawasan Kementerian”. Dengan mudah dapat dipahami tentang posisi pendidikan tinggi yang berada
pada semua Kementerian Lain (selain Kemendikbud) dan LPNK (Lembaga Pemerintah NonKementerian).
Demikian juga pada pasal 17 ayat (2) dirumuskan hal yang krusial juga yaitu: “Pendidikan
profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Kemeterian lain, LPNK, dan/atau
organisasi profesi serta dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi”. Dengan demikian maka
pendidikan kedinasan dalam RUU Dikti ini, dengan mudah dapat dipahami posisinya dan kemudian
diatur, dalam bagian tersendiri (pasal 32).
Isu krusial tersebut diusahankan diatur melalui jenis pendidikan tinggi saja dan berusaha
menempatkannya hanya dalam dua ayat, agar perdebatan tentang hal yang krusial itu dapat dilokalisasi.
Hal yang krusial itu perlu didiskusiakan, diseminarkan atau dilokaryakan serta perlu dilkaukan lobi yang
intensif, karena hal tersebut merupakan dilema antara keinginan untuk melakukan perubahan (reformasi)
sesuai Undang- Undang Sisdiknas yang berhadapan dengan keinginan mempertahankan status quo. Justru

itu substansi yang krusial itu hanya dapat diselesaikan melalui keputusan politik.
3. Program Pendidikan Tinggi
Sebagai kelanjutan dari jenis pendidikan tinggi tersebut, maka Timja RUU Dikti perlu
memperjelas pengaturan program pendidikan yang berada pada masing-masing jenis pendidikan. Hal itu
berkaitan juga dengan gelar akademik, gelar profesi, dan gelar vokasi, yang juga merupakan amanah
Rapat Panja tanggal 1 dan 2 Oktober 2011 untuk diatur dengan jelas. Justru itu Program Pendidikan
Tinggi di bagi atas tiga paragraf, yaitu paragraf 1, berisi tentang program pendidikan sarjana, magister,
doktor yang dicakup oleh jenis pendidikan akademik. Sedang paragraf 2, berisi tentang program
pendidikan profesi dan spesialis yang dicakup oleh jenis pendidikan profesi. Kemudian paragraf 3, berisi
tentang program pendidikan diploma satu sampai empat.
a.Program Sarjana, Magister, dan Doktor
Pendidikan akademik yang terdiri atas program sarjana, magister, dan doktor, selama ini hanya
diatur dalam peraturan menteri, yang selain tidak lengkap, juga tidak memiliki kekuatan hukum yang
kuat. Tidak mengherankan jika hingga kini, masih banyak perguruan tinggi yang tidak memahaminya,
bahwa istilah S1, S2, dan S3 tidak dikenal lagi karena sudah diganti dengan istilah sarjana, magister, dan
doktor. Bahkan masih ada perguruan tinggi yang menulis dalam ijazah lulusannya, istilah S1 dan S2.
Demikian juga lulusan pergurun tinggi yang bergelar Ir, Drs, Dra, dan Mr, dipandang sama dengan
lulusan sarjana, padahal lulusan perguruan tinggi yang bergelar Ir, Drs, Dra, dan Mr, sesungguhnya
sederajad dengan magister atau lebih tinggi sedikit dari magister. Lulusan yang bergelar Ir, Drs, Dra, dan
Mr, sesungguhnya sudah sampai pada level kandidat doktor. Demikian juga lulusan perguruan tinggi yang

bergelar BA (Bachelor of Arts), BSc (Bachelor of Science) dan sejenis itu sederajat dengan sarjana yang
dalam bahasa Inggris disebut bachelor.

4 | Page

15/12/2011

Subsntasi dan eksistensi tentang proram sarjana, magister, dan doktor perlu diperjelas sebagai
pendidikan akademik yang berfungsi menghasilkan intelektual, ilmuan, dan/atau filosof yang berbudaya
karena mengutamakan penalaran, dan akhlak mulia, sebagai dasar utama dalam mengembangkan
keterampilan.
Program sarjana, magister, dan doktor sebagai pendidikan akademik hanya boleh diselenggarakan
oleh Perguruan Tinggi yang berada dalam payung Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Dosen pada
pendidikan sarjana tentu memiliki kualifikasi akademik tersediri yang berbeda dengan dosen program
profesi dan vokasi. Demikian juga gelar yang dipakai oleh lulusan pendidikan akademik, tidak boleh
digunakan oleh lulusan program provesi, spesialis, atau lulusan program vokasi.
b.Program Profesi dan Spesialis
Substasi tentang program profesi dan spesialis perlu diperjelas sebagai pendidikan profesi yang
berfungsi mempersiapkan mahasiswa bukan untuk menjadi intelektual, ilmuwan, dan/atau filosof,
melainkan untuk menjadi profesionalis yang berbudaya yang mengutamakan pencapaian kemampuan

minimal atau meningkatkan keahlian khusus yang diperlukan untuk menjalankan profesinya.
Program profesi dan spesialis sebagai pendidikan profesi merupakan tanggung jawab
Kementerian Lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi untuk melaksanakannya sesuai keperluannya.
Meskipun demikian Kementerian Lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi itu dapat bekerjasama dengan
Perguruan Tinggi yang berada dalam payung Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk
menyelenggarakan pendidikan profesi atau spesialis. Dosen pada pendidikan profesi dan spesialis tentu
memiliki kualifikasi tersediri yang berbeda dengan dosen program akademik dan vokasi. Demikian juga
gelar lulusan pendidikan profesi, tidak boleh memakai gelar akademik, melainkan harus menggunakan
gelar sendiri yang ditetapkan oleh Kementerian Lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi.
c.Program Diploma
Substansi dan eksistensi tentang program diploma perlu diperjelas sebagai pendidikan vokasi
yang berfungsi mempersiapkan mahasiswa bukan untuk menjadi intelektual, ilmuwan, dan/atau filosof,
melainkan untuk menjadi praktisi yang trampil untuk memasuki dunia kerja susia bidang keahliannya.
Program diploma sebagai pendidikan vokasi terdiri atas program diploma satu sampai empat,
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program diploma, yang berada dalam payung
Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Dosen pada program diploma tentu memiliki kualifikasi
tersediri yang berbeda dengan dosen program sarjana, magister dan doktor serta program profesi dan
spesialis. Demikian juga gelar lulusan program diploma merupakan gelar tersendiri yang tidak boleh
digunakan oleh lulusan program profesi, spesialis, atau lulusan program sarjana, magister, dan doktor.
4. Gelar Akademik, Profesi, dan Vokasi

Panja RUU Dikti tanggal 1-2 Oktober 2011 menyimpulkan agar RUU Pendidikan Tinggi perlu
juga mengatur tentang gelar untuk sarjana akademik, sarjana terapan dan ketrampilan (vokasi) serta gelar
profesi dan spesialis yang diakui, dan lembaga pendidikan tinggi yang berwewenang memberikan gelar
itu. Demikian juga perlu diperjelas lembaga yang memiliki wewenang untuk memberikan sertifikat
kompetensi dan sertifikat profesi.
Hal tersebut memang sangat penting karena gelar lulusan akademik, profesi, dan vokasi selama
ini kurang sesuai dengan kaidah pendidikan tinggi yang berlaku secara internasional. Banyak perguruan
tinggi memberikan gelar yang bukan wewenangnya. Demikian juga program studi yang sama di
perguruan tinggi yang berbeda, lulusannya diberi gelar sarjana yang berbeda. Dewasa ini jenis dan
5 | Page

15/12/2011

penggunaan gelar lulusan perguruan tinggi, hanya diatur dalam Peraturam Menteri dan kemudian dalam
Peraturan Pemerintah yang selain tidak menjernihkan, juga perlu diperkuat melalui undang-undang.
Gelar akademik hanya boleh digunakan oleh lulusan pendidikan akademik yang terdiri atas gelar
sarjana, magister, dan doktor. Gelar sarjana hanya berhak dipakai oleh lulusan program sarjana. Sedang
gelar magister hanya berhak dipakai oleh lulusan program magister. Demikian juga gelar doktor hanya
berhak dipakai oleh lulusan program doktor.
Gelar profesi hanya boleh digunakan oleh lulusan pendidikan profesi yang terdiri atas gelar
profesi (misalnya: dokter, notaris, psikolog) dan spesialis. Gelar profesi hanya berhak dipakai oleh lulusan
program profesi. Sedang gelar spesialis hanya berhak dipakai oleh lulusan program spesialis.
Gelar vokasi hanya boleh digunakan oleh lulusan pendidikan vokasi yang terdiri atas gelar Ahli
Pratama, Ahli Muda, Ahli Madya dan Sarjana Sains Terapan. Gelar Ahli Pratama hanya berhak dipakai
oleh lulusan program diploma satu. Sedang gelar Ahli Muda hanya berhak dipakai oleh lulusan program
diploma dua. Demikian juga gelar Ahli Madya hanya berhak dipakai oleh lulusan program diploma tiga.
Kemudian gelar Sarjana Sains Terapan hanya berhak dipakai oleh lulusan program diploma empat.
Selain itu singkatan gelar akademik, profesi, dan vokasi, perlu juga diatur secara garis besar saja,
dan penempatannya. Misalnya gelar dokter yang mestinya disingkat dr, tetapi ada juga yang berusaha
memberi singkatan Dr. Sedang gelar Dr. (doktor) disingkat DR.
5.Akreditasi
Atas arahan Ketua Panja tentang akreditasi program studi sejak mendapat izin penyelenggaraan,
maka perlu ditambahkan satu pragaraf tentang akreditasi, agar substansi dan eksistensi akreditasi dan
lembaga yang menyelenggarakannya menjadi jelas. Pelaksana akreditasi sesungguhnya harus berada
diluar Kementerian. Hal ini diperlukan agar asesor itu bisa lebih independen, meskipun anggarannya
berasal dari APBN.
Program studi hanya memperoleh izin setelah memenuhi persyaratan minimun akreditasi
sehingga pada saat program studi didirikan dengan sendirinya sudah terakreditasi. Hal itu penting diatur,
sebab jika sebuah program studi belum terakreditasi, dan keburu menghasilkan lulusan, maka ijazah dan
gelar lulusannya dinyatakan tidak sah. Justru itu pengaturan tentang akreditasi ditambahkan untuk
memperkaya RUU Dikti.
6.Pendidikan Kedinasan
Atas usul rapat panja RUU Dikti DPR, tanggal 14 Desember 2011, maka Timja sepakat mengatur
tentang Pendidikan Kedinasan padal pasal 32 dengan melakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang
Sisdiknas (pasal 29). Pendidikan kedinasan adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Kemeterian lain
atau LPNK dengan melakukan kordinasi dengan Kementerian. Pendidikan kedinasan yang dapat
dilakukan melalui jalur formal (bergelar) dan nonformal (nongelar) itu, berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri
suatu kementerian atau LPNK.
7.Pendidikan Keagamaan
Sesuai dengan usul Ketua Panja untuk mengakomodasi pendidikan keagamaan yang
disederajadkan dengan pendidikan tinggi, maka dalam RUU Dikti itu dimasukkan satu bagian dan satu
pasal tentang pendidikan keagamaan (Pasal 33) yang dalam draft tanggal 27 September 2011, belum
tercantum. Pendidikan keagamaan juga diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas, yaitu pada penjelesan
Pasal 15 dan diatur tersendiri dalam pasal 30. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan
6 | Page

15/12/2011

mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang lebih memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi akhli agama dengan kemampuan tinggi.
Pendidikan keagamaan dapat berbentuk pendidikan diniyah, pesantren (Ma’had Aly), pasraman,
paphaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat atau
Kementerian Lain (Agama) dengan bekerjasama dengan Kementerian. Sedang pendidikan akademik
yang selama ini diselenggarakan di bawah pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Kementerian Agama,
sudah tidak ada lagi. Jika substansi itu disepakati, maka akan di atur tentang cara dan masa peralihan.
8.Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh dalam draft tanggal 27 September 2011, dicakup dalam paragraf tentang
Program Studi (pasal 14). Hal itu tidak mengatur tentang Universitas Terbuka, yang selama ini melakukan
pendidikan jarak jauh. Justru itu pendidikan jarak jauh diatur dalam satu bagian dan satu pasal dalam
RUU Dikti (Pasal 34).
Substansi tentang Pendidikan Jarak jauh mencakup penyelenggaraan pendidikan dan pembeljaran
oleh Perguruan Tinggi dan oleh program studi tertentu dalam suatu Perguruan Tinggi. Pendidikan jarak
jauh merupakan pendidikan yang mahasiswanya terpisah dari dosen, dan pembelajarannya menggunakan
sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lainnya (multi media).
9.Bahasa Pengantar
Salah satu masukan yang penting, yang juga harus dimasukkan dalam RUU Dikti adalah
substansi tentang pengaturan bahasa pengantar. Bahasa Pengantar dimasukkan dalam paragraf 5 Pasal 42.
Substansi tentang bahasa pengantar belum ditemukan dalam draft tanggal 27 September 2011.
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan tinggi.
Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam Perguruan Tinggi dan/atau program studi
yang mengkaji dan mengembangkan bahasa asing serta Perguruan Tinggi dan/atau program studi tertentu
untuk mendukung kemampuan berbahasa asing bagi mahasiswa. Hal itu telah sinkron dengan UU
Sisdiknas (Pasal, 33).
10.Sumber Belajar
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka diperlukan sumber belajar dalam pembelajaran.
Justru itu dalam Pasal 49 diatur bahwa perguruan tinggi wajib dimiliki atau disediakan oleh Perguruan
Tinggi sesuai dengan program studi yang dikembangkan. Sumber belajar itu dapat berupa: alam semesta,
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hospital pendidikan, laboratorium, perpustakaan, museum, dll
yang dapat digunakan secara bersama oleh beberapa perguruan tinggi.
Sumber belajar itu dapat juga merupakan sarana dan prasarana perguruan tinggi yang wajib
disediakan oleh perguruan tinggi. Selain itu Perguruan Tinggi juga wajib menyediakan sarana dan
prasarana untuk memenuhi keperluan pendidikan tinggi sesuai pertumbuhan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan sivitas akademika
11.Pemenuhan Hak Mahasiswa
RUU Pendidikan Tinggi, sangat memberikan perhatian agar mahasiswa dari berbagai kalangan
tertutama yang memiliki kemampuan yang terbatas dapat mengikuti pendidikan tinggi dengan sukses.
Justru itu maka dirumuskan suatu paragraf khusus tentang Pemenuhan Hak Mahasiswa (Pasal 87).
Substansi ini dipisahkan dengan hak mahasiswa dalam bidang akademik yang dirumuskan pada pasal 14
(Paragraf Sivitas Akademika), yang mencakup pengembangan bakat, minat, dan kemampuan mahasiswa
7 | Page

15/12/2011

melalui kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstakurikuler. Hal ini merupakan bagian penting dari
peningkatan mutu lulusan perguruan tinggi.
Dalam pasal 87 ayat (1) dijelaskan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau Pergurusn
Tinggi wajib memenuhi hak mahasiswa dengan cara memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang
berprestasi, dan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada mahasiswa yang tidak mampu secara
ekonomi, serta menyediakan pinjaman dana kepada mahasiswa. Mahasiswa membayar sesuai
kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua dan/atau pihak yang menanggungnya. Bahkan Perguruan
Tinggi dapat membebaskan pembayaran kepada mahasiswa sesuai peraturan perundang-undangan.
Bahkan PTN wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa WNI yang memiliki
potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari seluruh jumlah
mahasiswa (pasal 110).
Selain itu Perguruan Tinggi wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa WNI yang memiliki
ptensi akademik, tetapi kurang mampu secara ekonomi, untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh
jumlah seluruh mahasiswa baru yang tersebar pada semua program studi. Mahasiswa tersebut dapat
memperoleh banytuan biaya pendidikan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (pasal
87). Demikian juga perguruan tinggi wajib memberikan dukungan biaya kepada organisasi
kemahasiswaan sebagai organisasi intra perguruan tinggi sebagai wadah pengembangan bakat, minat, dan
kemampuan mahasiswa (pasal 88).
12.Pembatasan Dana dari Mahasiswa (Baru)
Undang-Undang Perguruan Tinggi juga mengatur bahwa dana yang ditarik dari mahasiswa oleh
PTN, tidak boleh lebih dari 1/3 dari biaya studi mahasiswa atau dari seluruh biaya operasional perguruan
tinggi (110). Ada dua opsi yang masih harus didiskusikan dan disepakati opsi yang mana yang paling
tepat, bagi mahasiswa dan bagi perguruan tinggi, dengan tetap memperhatikan tentang subsidi silang atau
keadilan proporsional.
Dengan substansi tersebut, maka PTN tidak akan lagi seenaknya membuka jalur khusus atau jalur
mandiri, terutama karena satuan biaya pendidikan mahasiswa harus diputuskan bersama antara
Pemerintah dengan DPR (pasal 104). Hal itu berarti jika dana pendidikan tinggi tidak mencukupi, maka
Pemerintah dan DPR akan mencari solusi bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
13.Dosen dan Profesor (Lex Specialis)
Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja dua tahun dan memiliki jabatan akademik sebagai
asisten ahli serta telah membuat buku ajar atau buku teks yang diterbitkan oleh perguruan tinggi sebagai
sumber belajar mata kuliah yang diampunya, dapat dinyatakan lulus sertifikasi oleh perguruan tinggi yang
ditetapkan oleh pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Dosen yang telah memiliki
pengalaman kerja selama sepuluh tahun sebagai dosen tetap, serta telah lulus program doktor atau
sederajat, serta memenuhi persyaratan lainnya, dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik tertinggi atau
profesor. Sedang pemerintah wajib memberikan tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan kepada
profesor sampai usia 70 tahun yang mampu menulis buku dan karya ilmiah serta menyerbarkan gagasan
untuk mencerahkan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 83).
Hal-hal tersebut merupakan lex specialis yang harus diatur dengan undang-undang. Hal itu
diperlukan karena profesor merupakan jabatan akademik tertinggi
yang memiliki wewenang
membimbing calon doktor, serta wewenang dalam melaksanakan kebebasan mimbar akademik. Profesor
juga berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahaun, teknologi dan/atau seni untuk kemajuan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia (Pasal 10).

8 | Page

15/12/2011

14.Insentif Pajak dan Pengurangan Pajak (Lex Specialis)
Dalam pasal 102 RUU Dikti dirumuskan bahwa Pemerintah medorong dunia usaha dan dunia
industri memberikan bantuan dana pendidikan. Justru itu Pemerintah wajib memberikan insentif kepada
dunia usaha, dunia industri atau masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan untuk
penyelenggaraan pendidikan tinggi (ayat 1 dan 2). Pemerintah juga memberikan keringan dalam bentuk
pengurangan pajak dan/atau penghapusan pajak tertentu bagi perguruan tinggi. Pemerintah juga
menfasilitasi terbentuknya lembaga pengelolaan keuangan masyarakat untuk menghimpun dana bantuan
biaya pendidikan bagi mahasiswa. Demikian juga Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan
hak khusus pengelolaan asset negara pada PTN yang berstatus otonom dan memenuhi syarat (ayat 3- 5).
Hal-hal tersebut merupakan lex specialis dari peraturan perundangan-undangan yang sudah ada,
Dengan demikian RUU Dikti sangat diperlukan, karena tidak bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
15. Akademi Komunitas (Baru)
Substansi yang baru yang memerlukan undang-undang karena tidak diatur dalam UndangUndang Sisdiknas, adalah perlunya dibentuk/didirikan akademi komunitas disetiap kabupaten/Kota oleh
Pemerintah bersama dengan pemerintah daerah, terutama di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah
tertepncil (Pasal 66 ayat 3 dan 4). Akademi komunitas merupakan pendidikan vokasi yang
menyelenggarakan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam sebagian cabang ilmu, terdiri atas
program diploma satu dan diploma dua, serta pendidikan tinggi lainnya yang sederajat. Akademi
komunitas dipimpin oleh direktur yang dapat dibantu oleh wakil direktur.
Pemerintah bersama pemerintah daerah secara bertahap mengembangkan paling sedikit 1 (satu)
akademi komunitas dalam cabang ilmu, teknologi, atau seni sesuai dengan kemampuan potensi dan
kebutuhan daerah di setiap kabupaten/kota, terutama di daerah perbatasan. Akademi komunitas tersebut
dilaksanakan berbasis pengajaran dan kebutuhan pembangunan daerah (Pasal 99).
Ketentuan lebih lanjut tentang akademi komunitas diatur lebih lanjut dengan dalam Peraturan
Menteri.
16.Pusat Unggulan dan Perguruan Tinggi Riset (Baru)
Dalam RUU Dikti diatur juga tentang pentingnya mengembangkan pusat unggulan pada
perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 96). Pemerintah juga
diberi amanah mengembangkan paling sedikit 1 (satu) perguruan tinggi untuk dikembangkan untuk
menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional untuk menjalankan visi dan misi sebagai perguruan tinggi
riset yang berbasis riset, inovasi dan kebutuhan pembangunan nasional. Perguruan tinggi riset itu, harus
memenuhi syarat: (a) menhasilkan doctor paling sedikit 50 (lima puluh) orang setiap tahun, (b) paling
sedikit 25 % pembiyaan operasional berasal dari kegiatan riset, kerjasama industry, dan hak kekayaan
intelektual, dan (c) telah melampai Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Perguruan tinggi riset
ditetapkan dengan peraturan menteri (Pasal 97).
Selain itu Pemerintah juga mengembangkan paling sedikit 1 (satu) PTN berbentuk universitas
atau institute di setiap provinsi. PTN tersebut berbasis pengajaran, riset, dan kebutuhan pembangunan
nasional (pasal 98).
17. Penutup
Kami telah berusaha menampung semua amanah Panja RUU Dikti tanggal 1-2 Oktober 2011,
serta segala masukan yang relevan dan merumuskannya dalam RUU Dikti versi 14 Desember 2011. Kami

9 | Page

15/12/2011

merasa masih banyak yang perlu didiskusikan dan diputuskan bersama dalam rapat Panitia Kerja DPR
bersama Pemerintah.
Kami serahkan naskah RUU Dikti versi tanggal 14 Desember 2011 untuk dibahas dan diputuskan
bersama. Kami yakin bahwa pimpinan dan segenap anggota Panja akan mengambil keputusan dengan
cerdas dan bijak setelah membaca, memahami, dan mengkaji dengan kritis mulai dari konsiderans hingga
penjelasannya draft RUU Dikti yang kami sajikan ini.
Sekali lagi kami mohon maaf atas segala kekurangan, dan terima kasih atas kepercayaannya
Panja RUU Dikti DPR kepada segenap anggota Tinja yang telah berkerja keras secara tulus. Segala kritik
dan saran yang disampaikan dengan bijak, kami akan terima dengan lepang dada. -Wabillahit Taufiq Wal Hidayah.Jakarta, 15 Desember 2011
Konsultan Ahli/TPA RUU Dikti DPR-RI,

Anwar Arifin
TIM KERJA RUU DIKTI
Tim Kerja Panja Pemerintah

Tim Kerja Panja Komisi X DPR

Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc *
Prof. Dr. Usman Chatib Warsa, Ph.D.,SpMK
Prof. Ir. Nizam, M.Sc, Ph.D
Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA
Prof. Dr. Ir. Achmad Ansori Mattjik, M.Sc
Dr. Ronny Kusuma Muntoro, MBA *
Prof. Dr. Ir. Abd. Munir, M.Sc

Prof. Dr. Anwar Arifin, DIDS
Prof. Dr. Ir. Rizal Z. Tamin
Khalilah, MPd.
Ahmad Daniel, S.Ag. MSi
Rachmad Wahyudi H,SH.MH
Woro Wulaningrum,SH

*Beberapa kali hadir

Catatan:
Laporan ini diedit kembali, terutama karena banyak salah cetak dan salah menuliskan pasal dan ayat serta
ditambah substansi baru yang diusulkan oleh Ketua dan anggota Panja.

10 | P a g e

15/12/2011

LAPORAN TIM KERJA
RANCANGAN UNDANG - UNDANG
PENDIDIKAN TINGGI
TANGGAL 19 SEPTEMBER 2011
(Kegiatan Tanggal 8 Juli s/d 19 September 2011)
Dengan rakhmat Allah SWT, dan dengan didorong oleh niat baik untuk menghasilkan suatu karya
yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara, maka setelah berpikir dan bekerja keras serta
berdiskusi secara intensif, dengan ini, kami dari “Tim Kerja” (Timja) Panja (Panitia Kerja) RUU DIKTI
(Rancangan Undang - Undang Pendidikan Tinggi), menyampaikan “Laporan Awal” tentang hasil kerja
kami sebagai berikut:

1. Tim Kerja ini mendapat mandat dari Rapat Panja tanggal 23 – 24 Juni 2011 dan Rapat Panja
bersama Pemerintah tanggal 30 Juni 2011 bahwa agar pembahasan dapat dilakukan dengan lebih
efektif, efisien, dan maksimal maka diusulkan Draf RUU DPR dan Draf RUU Pemerintah diubah
menjadi satu draf RUU.
2. Kami juga mendapatkan sejumlah masukan yang merupakan mandat yang harus diperhatikan
dalam penyatuan naskah RUU Pendidikan Tinggi usul DPR dan usul Pemerintah.
3. Berdasarkan butir 1 dan 2 tersebut, maka hasil kerja Timja, kami laporkan dengan sistematika
berdasarkan masukan yang kami terima sebagaimana disajikan dibawah ini.
A.SINKRONISASI
1. RUU Pendidikan Tinggi harus harmonis (sinkron) dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang – Undang No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen,
serta undang – undang lainnya.
2. RUU Pendidikan Tinggi merupakan turunan dari UU Sisdiknas, maka ketentuan dan pengaturan
dalam RUU Pendidikan Tinggi dimungkinkan merumuskan secara lebih spesifik/detail.
Namun rumusannya tidak boleh bertentangan dengan UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen.
Ketentuan dan pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal yang bersifat lebih spesifik atau bersifat
tambahan tersebut dilakukan dengan cara penambahan ketentuan baru dalam Pasal dan/atau Ayat.
a. Hal tersebut sudah dilaksanakan terutama dalam Ketentuan Umum (Pasal 1 butir 1 s/d 9,
butir 12, 19, 21 s/d 26, dan 31).
b. Butir 22 tentang Kolej Komunitas merupakan perluasan pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas yang
berbunyi, “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”.Sejalan dengan itu maka
dalam RUU Perti dirumuskan, Pasal 1, butir 22, “Kolej kominitas adalah perguruan tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan berbasis keunggulan lokal”.
c. Sejalan dengan itu terdapat juga rumusan yang sinkron (harmonis) dengan pasal 50 ayat (3)
UU Sisdiknas yang berbunyi, “Pemerintah menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional”.
d. Berdasarkan amanah Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, maka dalam RUU Pendidikan Tinggi
juga dirumuskan pada pasal 34 ayat 1 yaitu, “Pemerintah menyelenggarakan paling sedikit 1
(satu) perguruan tinggi untuk dikembangkan menjadi Perguruan Tinggi bertaraf
internasional yang menjalankan visi dan misi sebagai perguruan tinggi riset”.

11 | P a g e

15/12/2011

e. Agar sinkron dengan UU Sisdiknas pasal 24 ayat (2), maka dalam RUU Pendidikan Tinggi
dirumuskan pada pasal 59 ayat (1), “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat”. Sejalan dengan itu maka terdapat tiga macam bentuk
pengelolaan perguruan tinggi yang diatur dalam pasal 63 yaitu, “Pengelolaan PTN dilakukan
secara: a. otonom; b semi otonom; dan c. otonom terbatas”.
B.PENATAAN MATERI DALAM SISTEMATIKA RUU
1. Ada beberapa materi yang telah diatur dalam draf RUU Pendidikan Tinggi versi DPR RI maupun
Pemerintah, yang perlu ditata kembali, antara lain:
a. Perlu diatur secara utuh dalam satu Bab atau Sub-Bab mengenai Tri Dharma Perguruan
Tinggi:
1) Dharma Satu; Pendidikan
2) Dharma Dua; Penelitian
3) Dharma Tiga; Pengabdian Kepada Masyarakat
Catatan:
- Dalam draf RUU versi DPR hanya mengatur dharma penelitian.
- Dalam draf RUU versi Pemerintah hanya mengatur dharma penelitian, dan dharma
pengabdian kepada masyarakat
b. Perlu diatur secara utuh dalam satu Bab atau Sub-Bab mengenai Sivitas Akademika
1) Mahasiswa
2) Dosen
Catatan:
Secara sosiologis, pengertian/istilah “Sivitas Akademika” sudah menjadi bagian penting
dalam kegiatan pendidikan tinggi di Indonesia. Karena itu perlu dilembagakan dan diperkuat
dalam RUU Pendidikan Tinggi. Rumusan dan pengaturannya dapat merujuk pada PP No.60
Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi atau PP No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Amanah tersebut telah diakomodasi dalam RUU Pendidikan Tinggi, pada Bab I
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, Bagian Pertama, “Pendidikan dan Pembelajaran” (Pasal
6 s/d 23). Sedang Bagian kedua, “Penelitian” (Pasal 24 dan 25) dan Bagian Ketiga,
“Pengabdian Masyarakat” (Pasal 26).
Sedang Sivitas Akademika telah diakomodasi pada Bagian Keenam (Pasal 27 dan 28).
Kami merasa bahwa substansi tentang pendidikan, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat itu masih perlu disempurnakan, terutama tentang penelitian dan pengabdian pada
masyarakat. Hal itu kami memerlukan masukan dan persetejuan dari Panja RUU Dikti.
2. Mahasiswa merupakan unsur paling penting dalam pendidikan tinggi maka ketentuan dan
pengaturan mengenai substansi mahasiswa, ditempatkan pada bagian awal draf RUU. Namun
demikian, rumusan dan pengaturannya masih perlu dilengkapi antara lain mengenai hak dan
kewajiban (PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi).
Amanah tersebut telah diakomodasi pada pasal 27 tentang dosen yang sudah diatur dalam UU
Guru dan Dosen. Sedang pada pasal 28 tentang mahasiswa telah diatur tentang hak dan kewajiban
mahasiswa, serta penerimaan mahasiswa baru (pasal 29), penerimaan mahasiswa dari negara lain
(pasal 30), dan organisasi kemahasiswaan (pasal 31).
3. Substansi yang diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi hendaknya mencerminkan nama dari RUU,
yaitu pengaturan mengenai substansi pendidikan tinggi, bukan pengaturan mengenai substansi
12 | P a g e

15/12/2011

perguruan tinggi. Dalam draf RUU ini masih lebih dominan mengatur tentang mengenai substansi
perguruan tinggi.
Amanah tersebut telah dilakukan penambahan tentang substansi pendidikan dan mengurangi
substansi tentang perguruan tinggi. Penambahan substansi pendidikan terdapat pada pasal 14
tentang Sistem Kredit Semester. Selain itu pada pasal 21 terdapat juga tambahan tentang
Sertifikat Komptensi (ayat 2 dan 3).
Meskipun demikian kami masih merasa perlu tambahan substansi mengenai gelar, terutama
tentang jenis gelar (akademik, profesi, dan vokasi) dan sanksi bagi yang memberi dan
menggunakan gelar bagi yang tidak berhak. Selain itu substansi tentang: otonomi keilmuan,
kebebasan akademik, dan kebebasan mimbar akademik (pasal 3 RUU Perti dan penjelasannya),
mungkin perlu ditampilkan juga menjadi “norma”, sebagaimana amanah Pasal 24 ayat (1) UU
Sidiknas, “Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, berlaku kebebasan akademik, dan
kebebasan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan” . Substansi itu mungkin perlu diatur lebih
lanjut, karena hanya pendidikan tinggi yang boleh memilikinya. Hal–hal tersebut, tentu
memerlukan masukan dan persetujuan Panja RUU Perti, jika memang perlu ditampilkan dan
bukan diatur dalam penjelasan tentang asas pendidikan tinggi.
4. Substansi “fungsi pendidikan tinggi untuk membentuk dan mengembangkan ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik“ tidak tepat diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi. Dalam ilmu
psikologi, pengembangan mengenai ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik lebih dikenal pada
pendidikan anak usia dini dan jenjang pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan tinggi,
pengembangan mahasiswa diarahkan kepada aspek akademik, keahlian, keterampilan, dll.
Amanah tersebut telah diakomodasi dengan melakukan reformulasi sebagaimana dirumuskan
pada pasal 5 ayat (1) huruf b. Pasal 5 ayat (1) diambil atau disinkronkan dengan pasal 3 UU
Sisdiknas.
5. Substansi “PTN Khusus” dihapus (Konsinyering intern Panja 23 s/d 24 Juni 2011) dan diganti
menjadi PTN Keagamaan, namun substansi ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Catatan:
 UU Sisdiknas Pasal 30 dan PP 50/2007 mencantumkan definisi “Pendidikan Keagamaan”
adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan
yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu
agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pokok-pokok pikiran:
 Substansi pendidikan akademik, profesi, dan vokasi.
 Substansi disiplin ilmu, ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan agama, dan ilmu agama.
 Substansi “PTN Khusus” yang telah disepakati untuk dihapus. Pendidikan Keagamaan
dibawah pengelolaan Kementerian Agama
 Mekanisme/kriteria pengukuran 50% prodi agama dan prodi umum (Hal ini kemudian
menjadi 100 % prodi agama).
Alhamdulillah, setelah melalui berbagai pendekatan dan diskusi yang intensif pihak
Kementerian Pendidikan Nasional telah menyetujuinya, dan akan melakukan pendekatan dan
diskusi lembih lanjut lagi dengan pihak Kementerian Agama dan jajarannya. Sambil menunggu
hal itu, maka Timja membuat rumusan yang “ringkas” saja pada Bab IV tentang Izin
Penyelenggaraan Perguruan Tinggi. Dalam pasal 54 (ayat 1), dirumuskan, “Menteri
13 | P a g e

15/12/2011

memberikan, mengubah, atau mencabut izin penyelenggaraan perguruan tinggi, kecuali
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan”. “Penyelenggaraan
pendidikan keagamaan yang dimaksud ayat (1) berbentuk Institut, Sekolah Tinggi, dan/atau
akademi (pasal 51 ayat 2). Izin perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan diberikan
oleh Menteri lain”. (Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang agama).
Hal tersebut merupakan perluasan pasal 30 ayat (1) yaitu, “Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai
peraturan perundang – undangan. Pendidikan kegamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
untuk menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai – nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama”. Perluasannya dapat seperti yang dirumuskan
dalam PP 50/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
C.KESEPAKATAN DAN REKAPITULASI USULAN BARU
1. RUU Pendidikan Tinggi perlu menjamin peningkatan daya tampung perguruan tinggi yang
bermutu:
a. Peran Pemerintah harus jelas bagaimana memfasilitasi peningkatan dan pengawasan mutu
pendidikan; Kopertis dibubarkan; LPMPT perlu diadakan di setiap propinsi, untuk mampu
memfasilitasi dan mengawasi perguruan tinggi secara regular; terdapat kemungkinan
LPMPT melaksanakan fungsi tambahan seperti ijin pembukaan program studi.
b. Sistem reward dan punishment bagi perguruan tinggi perlu diterapkan.
c. BAN PT perlu mengakreditasi Lembaga Sertifikasi Independen; agar sertifikasi berlangsung.
Amanah tersebut telah ada sejak naskah awal yaitu Bab III tentang Penjaminan Mutu. Tim Kerja
hanya berusaha menyempurnakan dan mempertajam sesuai dengan masukan yang disajikan di
muka. Justru itu pada Bagian Kesatu Sistem Penjaminan Mutu Pasal 48 ayat (1) ditambahkan
suatu rumusan tentang pengertian pendidikan tinggi bermutu, yaitu, “Pendidikan tinggi bermutu,
merupakan pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif
mengembangkan potensi diri, yang berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat beberapa lembaga penjaminan mutu yang mengawasi
perguruan tinggi secara regular didirikan disetiap wilayah (Kopertis). Pasal 53 ayat (1) berbunyi,
“Menteri dapat membentuk unit penjaminan mutu pendidikan tinggi di setiap wilayah untuk
meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan”. Meskipun demikian Timja belum
“sempat” mendiskusikan tentang bentuk Sistem reward dan punishment yang layak diterapkan
terhadap perguruan tinggi. Sedang substansi yang berkaitan dengan “BAN PT” dirumuskan pada
pasal 52 ayat (1) huruf c, yaitu, “badan dan/atau lembaga akreditasi mandiri yang diakui oleh
Pemerintah, setelah mendapat rekomendasi dari badan akreditasi nasional perguruan tinggi
yang bertugas melaksanakan sistem penjaminan mutu eksternal”.
2. RUU Pendidikan Tinggi perlu menjamin aspek keterjangkauan dan pendanaan pendidikan tinggi:
a. PTN berbadan hukum dapat diterima tetapi harus tetap terjangkau oleh mahasiswa tidak
mampu.
b. Akses pendidikan tinggi harus diperbesar, di seluruh daerah termasuk daerah perbatasan.
c. Pemerintah daerah perlu mendukung pendanaan pendidikan tinggi; gagasan akademi
komunitas dapat diterima, namun keselarasan dengan UU Pemerintahan Daerah perlu
diperhatikan.
d. Masyarakat perlu diberikan insentif untuk mendirikan perguruan tinggi bermutu.
e. Program beasiswa dan bantuan pendidikan perlu diperluas.
f. Kredit mahasiswa perlu dimungkinkan.
g. Dunia usaha dan dunia industri perlu ikut mendanai pendidikan tinggi; sistem insentif perlu
dikembangkan sebagai instrumen, antara lain pembebasan pajak dan bea masuk (tax
14 | P a g e

15/12/2011

exemption) dan pengurangan pajak (tax deduction), namun jangan sampai disalahgunakan
oleh dunia usaha dan industri;
h. CSR (Corporate Social Responsibility) perlu digalakkan dan diatur untuk kepentingan
pendidikan tinggi.
i. Kampus menjadi pusat R&D masyarakat dan industri.
j. Litbang penelitian dikembalikan ke kampus.
Amanah tersebut telah ada sejak naskah awal tentang “perlunya menjamin aspek keterjangkauan
dan pendanaan perguruan tinggi” yaitu Bab VII tentang “Pembiyaan dan Pengelolaan Keuangan
Perguruan Tinggi”. Tim Kerja hanya berusaha menyempurnakan dan mempertajam sesuai
dengan masukan yang disajikan di muka. Justru itu pada Pasal 74 ayat (1) ditambahkan suatu
rumusan yaitu, “Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menetapkan satuan pembiayaan mahasiswa berdasarkan: a. standar nasional pendidikan tinggi;
b. program studi; dan c. wilayah perguruan tinggi”. Pada pasal 75 ayat (1) dirumuskan,
“Perguruan tinggi menetapkan dan menerima biaya pengelenggaraan pendidikan sesuai
kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang bertanggung jawab
membiayainya, dengan memperhatikan ketentuan pasal 74 ayat (1)”. Sedang pasal 72 - 73
(naskah lama) merupakan substansi yang sangat berpihak berpihak kepada yang “kurang
beruntung” untuk memperoleh pendidikan pada PTN.
3. Jenis perguruan tinggi perlu ditertibkan; perlu reformasi untuk meningkatkan mutu, diusulkan:
a. Semua pendidikan tinggi ditarik ke Kemendiknas; kecuali pendidikan keagamaan; masa
transisi ditetapkan selama 3-4 tahun.
b. Pendidikan kedinasan dikeluarkan dari RUU PT; ditertibkan sesuai PP 14 tahun 2010, yaitu
pendidikan profesi setelah sarjana yang dilakukan oleh Badan Diklat Kementerian dan
LPNK yang bersangkutan untuk pembinaan karir PNS-nya.
c. Pendidikan keagamaan dikelola bersama oleh Kemendiknas dengan Kementerian Agama, ini
hanya jika di perguruan tinggi jumlah Prodi agama lebih besar dari 50%; semua perguruan
tinggi agama saat ini dengan jumlah prodi agama lebih kecil dan 50% dikembalikan kepada
pengelolaan Mendiknas.
d. Dengan demikan jenis perguruan tinggi terdiri atas PTN Umum, PTN Agama, dan PTS.
e. Konsekuensi pengaturan ini perlu dikaji.
Alhamdulillah substansi tersebut setelah melalui berbagai pendekatan dan diskusi yang intensif,
pihak Kementerian Pendidikan Nasional telah menyetujui tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan
dan “Pendidikan Kedinasan”. Tentang Pendidikan keagamaan telah dikemukakan di atas. Khusus
untuk Pendidikan Kedinasan pihak Kemeterian Pendidikan Nasional dapat menerimanya dan
akan melakukan pendekatan dan diskusi lembih lanjut lagi dengan pihak Kementerian lain.
Sambil menunggu hal itu, maka Timja membuat rumusan yang “ringkas” pada Bab IV tentang
izin Penyelenggaraan Perguruan Tinggi. Dalam pasal 38 ayat (2) dirumuskan, “Bentuk
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pendidikan profesi yang
diselenggarakan oleh Kementerian dan LPNK”. Sedang pada ayat (1) tertulis, “Dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi, Perguruan Tinggi dapat berbentuk: a. universitas; b.
institut; c. sekolah tinggi; d. politeknik; e. akadem