MAKALAH ASAS PRADUGA TAKBERSALAH Tugas H
MAKALAH
“ ASAS PRADUGA TAKBERSALAH “
Tugas : Hukum Acara Pidana
Di Susun Oleh :
1. Meika Mississipi
( 011500308 )
FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
SUMPAH PEMUDA PALEMBANG 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common
Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh
pemikiran individualistik – liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut,
baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti
halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (nonretroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah,
asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di
dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum
KUHAP adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda
maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2,
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat
singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until
proved guilty according to law”. Menurut Romli Atmasasmita untuk mencegah tafsir hukum yang
berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci
luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak,
yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan
berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
6.
Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
7.
Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa
mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap
seorang tersangka/ terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam
konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai
dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Analisis Yuridis Asas Praduga Tak Bersalah Dalam KUHAP
Asas praduga tak bersalah “presumtion of inno- cent” mengandung arti bahwa setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas Praduga Tak Bersalah merupakan salah satu asas yang
terpenting didalam Hukum Pidana, dimana terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman No. 14 Tahun 1970.
Sebelum undang-undang tersebut diatas berlaku asas praduga tak bersalah dimuat di dalam UUD RIS
1949 pasal 14, UUDS 1950 pasal 14 dan kemudian UU No. 19/1964 (Undang-Undang Pokok
Kehakiman) pasal 5.
Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai hukum yang tetap dan
mengikat. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau terdakwa
tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Asas praduga tak bersalah merupakan pedoman bagi para penegak-penegak hukum dalam
setiap proses pemeriksaan tersangka. Yang menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan.dalam
setiap proses yang dilakukan harus kemudian berdasarkan sebuah etika yang dapat menempatkan pada
posisi kemanusiaan ( tersangka ) dan tentunya moralitas penegak hukum. setiap manusia yang sehat
secara rohani pasti memiliki sikap moral.
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/
Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai
rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau
tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan
tersangkanya”
Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB XIV KUHAP. Penyidik dan
penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP. Selain
penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut
penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5). Di dalam buku pedoman
pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi
penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang
siapa pelakunya (dader) yaitu:
1. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
2. Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
3. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
4.
Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya
secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan
penyidikan, dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu
berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan
diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan
dengan tindakan penyidikan. Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan
penyidikan. Tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut
sungguh
berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang
melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya.
Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan
lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya
diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan
menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”
Pada dasarnya tujuan dari pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad
(2007: 58 - 60) bagi pejabat penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
a. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi.
b. Waktu tindak pidana dilakukan.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
d. Dengan apa tindak pidana dilakukan.
e. Alasan dilakukannya tindak pidana.
f. Siapa pelaku tindak pidana
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada Penuntut Umum. Jika penyidikan
telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Kadangkadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap sehingga perlu dilengkapi
penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas perkaranya dikembalikan, penyidik
harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.
Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Penyidik
karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP
jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
Mengadakan penghentian penyidikan.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang
berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad
(2007: 60 – 66) antara lain:
1. Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19
2.
3.
4.
5.
6.
KUHAP).
Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a:
134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21; Hamzah, 2006:
123 – 125)
Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadang-kadang harus menggunakan
upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu kebebasan. Namun semua itu
dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan wewenang yang dilaksanakan oleh
penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan tersebut.
Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai
dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang, maka oknum penyidik tersebut
dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP). KUHAP telah menentukan adanya
beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang yang
dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut,dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
2. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
(pasal 1 butir 21)
3. Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni: - penggeledahan rumah,
tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang (Pasal 17).-Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal18).
4. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16).
5.
Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan
KUHAP. Penangkapan, panahanan, penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya
yang merasa dalam tindakan upaya paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan
alasan tindakan upaya paksa dapat melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya
paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya
penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya
penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in persona), tersangka/ kuasa hukum atau
kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/
Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai
rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau
tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya” Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB
XIV KUHAP. Penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan
kedua
BAB
IV
KUHAP.
Selain penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut
penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5). Di dalam buku pedoman
pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi
penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang
siapa pelakunya (dader) yaitu:
Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara
jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan,
dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan
keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai
tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan
penyidikan.
Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan penyidikan. Tetapi
sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut sungguh berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang
melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya.
Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan
lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya
diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan
menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.” Pada dasarnya tujuan dari
pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad (2007: 58 - 60) bagi pejabat
penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi
Waktu tindak pidana dilakukan.
Tempat terjadinya tindak pidana.
Dengan apa tindak pidana dilakukan.
Alasan dilakukannya tindak pidana.
Siapa pelaku tindak pidana Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada
Penuntut Umum. Jika penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada Penuntut Umum. Kadang-kadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap
sehingga perlu dilengkapi penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas
perkaranya dikembalikan, penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk dari Penuntut Umum. Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu
tindak pidana. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 7 ayat 1 KUHAP jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
Mengadakan penghentian penyidikan.
Mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
bertanggung
jawab.
Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang
berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad
(2007: 60 – 66) antara lain:
Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19
KUHAP).
Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a:
134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21;
Hamzah, 2006: 123 – 125) Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadangkadang harus menggunakan upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu
kebebasan. Namun semua itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan
wewenang yang dilaksanakan oleh penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
memberikan kewenangan tersebut. Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undangundang, maka oknum penyidik tersebut dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP).
KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang yang dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut,
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
2. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
3.
(pasal 1 butir 21).
Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni:- penggeledahan rumah,
tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang (Pasal 17). - Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal 18).
4. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16). Setiap tindakan upaya paksa yang
dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, panahanan,
penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya yang merasa dalam tindakan upaya
paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan alasan tindakan upaya paksa dapat
melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak
sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77
KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in
persona), tersangka/ kuasa hukum atau kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan
rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)
BAB III
PENUTUP
simpulan
Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai hukum yang tetap dan
mengikat. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau terdakwa
tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Saran
Dalam penangkapan tersangka aparat penegak hukum dari kepolisian seharusnya benar-benar
menjunjung asas “praduga tak bersalah dalam penyidikan maupun penyelidikan tersangka”. sebelum
memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai hukum yang
tetap dan mengikat.
“ ASAS PRADUGA TAKBERSALAH “
Tugas : Hukum Acara Pidana
Di Susun Oleh :
1. Meika Mississipi
( 011500308 )
FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
SUMPAH PEMUDA PALEMBANG 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common
Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh
pemikiran individualistik – liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut,
baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti
halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (nonretroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah,
asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di
dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum
KUHAP adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda
maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2,
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat
singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until
proved guilty according to law”. Menurut Romli Atmasasmita untuk mencegah tafsir hukum yang
berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci
luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak,
yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan
berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
6.
Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
7.
Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa
mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap
seorang tersangka/ terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam
konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai
dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Analisis Yuridis Asas Praduga Tak Bersalah Dalam KUHAP
Asas praduga tak bersalah “presumtion of inno- cent” mengandung arti bahwa setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas Praduga Tak Bersalah merupakan salah satu asas yang
terpenting didalam Hukum Pidana, dimana terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman No. 14 Tahun 1970.
Sebelum undang-undang tersebut diatas berlaku asas praduga tak bersalah dimuat di dalam UUD RIS
1949 pasal 14, UUDS 1950 pasal 14 dan kemudian UU No. 19/1964 (Undang-Undang Pokok
Kehakiman) pasal 5.
Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai hukum yang tetap dan
mengikat. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau terdakwa
tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Asas praduga tak bersalah merupakan pedoman bagi para penegak-penegak hukum dalam
setiap proses pemeriksaan tersangka. Yang menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan.dalam
setiap proses yang dilakukan harus kemudian berdasarkan sebuah etika yang dapat menempatkan pada
posisi kemanusiaan ( tersangka ) dan tentunya moralitas penegak hukum. setiap manusia yang sehat
secara rohani pasti memiliki sikap moral.
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/
Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai
rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau
tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan
tersangkanya”
Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB XIV KUHAP. Penyidik dan
penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP. Selain
penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut
penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5). Di dalam buku pedoman
pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi
penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang
siapa pelakunya (dader) yaitu:
1. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
2. Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
3. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
4.
Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya
secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan
penyidikan, dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu
berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan
diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan
dengan tindakan penyidikan. Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan
penyidikan. Tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut
sungguh
berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang
melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya.
Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan
lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya
diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan
menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”
Pada dasarnya tujuan dari pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad
(2007: 58 - 60) bagi pejabat penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
a. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi.
b. Waktu tindak pidana dilakukan.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
d. Dengan apa tindak pidana dilakukan.
e. Alasan dilakukannya tindak pidana.
f. Siapa pelaku tindak pidana
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada Penuntut Umum. Jika penyidikan
telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Kadangkadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap sehingga perlu dilengkapi
penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas perkaranya dikembalikan, penyidik
harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.
Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Penyidik
karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP
jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
Mengadakan penghentian penyidikan.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang
berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad
(2007: 60 – 66) antara lain:
1. Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19
2.
3.
4.
5.
6.
KUHAP).
Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a:
134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21; Hamzah, 2006:
123 – 125)
Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadang-kadang harus menggunakan
upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu kebebasan. Namun semua itu
dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan wewenang yang dilaksanakan oleh
penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan tersebut.
Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai
dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang, maka oknum penyidik tersebut
dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP). KUHAP telah menentukan adanya
beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang yang
dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut,dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
2. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
(pasal 1 butir 21)
3. Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni: - penggeledahan rumah,
tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang (Pasal 17).-Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal18).
4. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16).
5.
Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan
KUHAP. Penangkapan, panahanan, penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya
yang merasa dalam tindakan upaya paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan
alasan tindakan upaya paksa dapat melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya
paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya
penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya
penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in persona), tersangka/ kuasa hukum atau
kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/
Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai
rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau
tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya” Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB
XIV KUHAP. Penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan
kedua
BAB
IV
KUHAP.
Selain penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut
penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5). Di dalam buku pedoman
pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi
penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang
siapa pelakunya (dader) yaitu:
Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara
jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan,
dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan
keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai
tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan
penyidikan.
Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan penyidikan. Tetapi
sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut sungguh berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang
melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya.
Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan
lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya
diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan
menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.” Pada dasarnya tujuan dari
pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad (2007: 58 - 60) bagi pejabat
penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi
Waktu tindak pidana dilakukan.
Tempat terjadinya tindak pidana.
Dengan apa tindak pidana dilakukan.
Alasan dilakukannya tindak pidana.
Siapa pelaku tindak pidana Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada
Penuntut Umum. Jika penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada Penuntut Umum. Kadang-kadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap
sehingga perlu dilengkapi penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas
perkaranya dikembalikan, penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk dari Penuntut Umum. Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu
tindak pidana. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 7 ayat 1 KUHAP jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
Mengadakan penghentian penyidikan.
Mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
bertanggung
jawab.
Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang
berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad
(2007: 60 – 66) antara lain:
Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19
KUHAP).
Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a:
134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21;
Hamzah, 2006: 123 – 125) Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadangkadang harus menggunakan upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu
kebebasan. Namun semua itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan
wewenang yang dilaksanakan oleh penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
memberikan kewenangan tersebut. Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undangundang, maka oknum penyidik tersebut dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP).
KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang yang dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut,
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
2. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
3.
(pasal 1 butir 21).
Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni:- penggeledahan rumah,
tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang (Pasal 17). - Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal 18).
4. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16). Setiap tindakan upaya paksa yang
dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, panahanan,
penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya yang merasa dalam tindakan upaya
paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan alasan tindakan upaya paksa dapat
melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak
sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77
KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in
persona), tersangka/ kuasa hukum atau kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan
rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)
BAB III
PENUTUP
simpulan
Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai hukum yang tetap dan
mengikat. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau terdakwa
tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Saran
Dalam penangkapan tersangka aparat penegak hukum dari kepolisian seharusnya benar-benar
menjunjung asas “praduga tak bersalah dalam penyidikan maupun penyelidikan tersangka”. sebelum
memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai hukum yang
tetap dan mengikat.