T1 802013107 Full text

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PASANGAN YANG BELUM
MEMILIKI ANAK
OLEH
PUJI KRISTANTI
802013107

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
1

PENDAHULUAN
Tugas perkembangan masa dewasa secara umum berkaitan dengan perkawinan antara
lain, belajar hidup bersama sebagai pasangan dan mulai membina keluarga (Havighrust, 1972

dalam Hurlock, 1999). Menurut Arnett (2006, 2007, Santrock, 2011) Transisi dari masa remaja
ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18
sampai 25 tahun. Di Negara – Negara berkembang pernikahan seringkali lebih dijadikan
pertanda bagi seseorang untuk dinyatakan telah memasuki kedewasaan, dimana hal ini sering
kali terjadi lebih awal di Amerika Serikat (Arnett, 2004. Santrock, 2011). Seperti di Indonesia,
rata-rata umur ideal menikah bagi perempuan dan bagi laki-laki masing-masing adalah 22 tahun
dan 25 tahun (BKKBN.go.id). Ditambahkan pula bahwa diantara kelompok umur perempuan 2024 tahun lebih dari 56,2 persen sudah menikah (Resides BKKBN 2010)
Dalam teorinya, Sternberg (1986) menyatakan dalam teorinya tentang segitiga cinta (The
Triangular Theory of Love) bahwa cinta itu terdiri dari tiga komponen utama yaitu intimacy,
passion, dan commitment. Ia mengemukakan bahwa hubungan percintaan akan dikatakan ideal
apabila dalam hubungan itu memiliki ketiga komponen cinta tersebut. Yang pertama adalah
komponen cinta intimacy atau keintiman. Intimacy merupakan elemen emosional dimana
meliputi perasaan yang menujukkan adanya kedekatan, keterikatan, dan keterkaitan secara
emosional kepada pasangan. Intimacy juga meliputi perasaan yang menimbulkan kehangatan
dalam hubungan percintaan. Komponen cinta kedua adalah passion atau gairah, dimana
merupakan elemen motivasional dipenuhi hasrat yang mengacu pada romantisme, ketertarikan
secara fisik dan seksual dalam hubungan cinta. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
(UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
1


2

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Duvall dan Miller (1985) menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria dan
wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual,
menglegitimasi membesarkan anak, dan membangun pembagian peran di antara sesama
pasangan. Menurut Saxton (1986), kepuasan perkawinan adalah terpenuhinya tiga aspek
kebutuhan dasar dalam pernikahan. Tiga kebutuhan itu yaitu, kebutuhan material, kebutuhan
seksual, dan kebutuhan psikologis. Kepuasan perkawinan belum dicapai apabila aspek kepuasan
perkawinan belum terpenuhi. Tujuan dari individu yang menikah adalah memiliki perkawinan
yang berhasil. Individu yang perkawinannya berhasil, akan mengalami kebahagiaan karena
mereka akan menggunakan cara-cara yang positif dalam mengatasi konflik dan permasalahan
(Gottman, 1998). Pasangan akan dapat merasa puas apabila saling berkomitmen, setia, nilai
moral yang kuat, menghargai pasangan sebagai teman, komitmen dalam hubungan seksual, ingin
menjadi orang tua yang baik dan beriman kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan sahabat
yang baik untuk pasangan, dan ada keinginan untuk memaafkan dan dimaafkan (Fennel, disitat
dalam Rosen-Grandon, Myers, & Hattie, 2014).


Faktor yang paling penting untuk tercapainya hubungan yang harmonis antara suami istri
adalah adanya rasa saling pengertian satu sama lain. Adanya rasa saling pengertian pada
pasangan, akan menjadikan mereka memiliki rasa toleransi yang merupakan faktor yang sangat
penting dalam hubungan suami istri. Penting pula dalam suatu perkawinan yang harmonis,
dimana kedua belah pihak merasakan kebahagian dan kepuasan adalah rasa saling menghargai
antara keduanya (Munandar, 1983, dalam Setyoningsih, 2010). Anak adalah salah satu faktor
kepuasan pernikahan, seperti yang dikemukakan, bahwa faktor-faktor yang mendukung

3

kepuasan pernikahan adalah adanya komunikasi yang terbuka, ekspresi perasaan secara terbuka,
saling percaya, tidak adanya dominasi pasangan, hubungan seksual yang memuaskan, kehidupan
sosial, tempat tinggal, penghasilan yang cukup, anak, keyakinan beragama, hubungan dengan
mertua atau ipar (Latifah, 2005). Ternyata kehadiran seorang buah hati dalam sebuah pernikahan
dapat mengubah segalanya menjadi lebih indah. Berjuta alasan kebahagiaan akan terpancar dari
setiap pasangan suami istri yang telah memiliki anak. Tentunya semua harapan yang diinginkan
semua pasangan suami istri adalah harapan-harapan yang positif. Seorang anak ternyata sangat
penting karena anak adalah anugrah, amanah dan titipan dari Tuhan yang harus kita jaga, rawat
dan besarkan dengan baik. "Kehadiran anak dapat menciptakan suasana baru yang lebih indah
dalam rumah tangga kami"-Adhit, (33 tahun, Wiraswata). "Buah hati sangat penting bagi

pernikahan saya dan suami karena kelak ketika dewasa nanti, mereka bisa menjadi penolong dan
teman bagi saya dan suami ketika kami menjadi tua"- Iklima, (28 tahun,Guru). "Tanpa anak
dalam pernikahan saya, saya mungkn tidak akan sebahagia saat ini. Hanya dengan melihat buah
hati saya, meskipun saya mendapatkan cobaan berat sekalipun, anak dapat memberikan kekuatan
dan semangat yang besar yang mampu membuat saya dan suami saya dapat tetap tersenyum."Lestari, (28 tahun, Ibu rumah tangga). "Bagi saya, anaklah yang dapat menjadi penyemangat
hidup saya, ketika saya mengalami masalah dan kertepurukan. Anak jugalah yang membuat
hidup saya lebih berarti. Tanpa anak dalam rumah tangga saya, saya tidak memiliki semangat
sebesar ini." - Yemi, (25 tahun, Dokter). Berjuta ungkapan kebahagiaan ditujukan oleh sekian
banyak ibu dan ayah atas anak mereka. Tapi tidak semua pasangan dengan mudah diberikan
karunia anak, dan masih banyak pasangan di luar sana yang mengharapkan kehidupan mereka
diwarnai dengan tawa anak-anak.

4

Setiap individu yang menjalani kehidupan perkawinan tentunya menginginkan kehidupan
rumah tangga yang bahagia dan mendapatkan kepuasan perkawinan. Dibutuhkan kerjasama,
komitmen, dan komunikasi antara pihak suami dan pihak istri untuk mencapai tujuan dari
perkawinan. Apabila tujuan perkawinan dicapai, maka tentu meningkatkan kepuasan perkawinan
yang baik (koentjaraningrat, 1976). Hal tersebut diperkuat dengan adanya fenomena-fenomena
yang telah ada yaitu; adanya kejujuran, saling mempercayai, saling setia, saling menguntungkan,

saling menghargai, membuat satu sama lain merasa nyaman, memiliki komitmen, menerima apa
adanya, tidak egois, tulus, terbuka, dan sopan. Dan pada akhirnya, hubungan yang saling
menguntungkan menjadi keinginan pada setiap individu yang menjalin suatu hubungan, terutama
dalam sebuah hubungan pernikahan. Dalam kehidupan sepasangan suami-istri menginginkan
hadirnya seorang anak didalam pernikahannya tersebut, karena dengan hadirnya seorang anak
pasangan tersebut akan merasakan kepuasan tersendiri, namun ada pula pasangan yang sudah
menikah belum mendapatkan seorang anak didalam pernikahannya tetapi pasangan tersebut juga
merasakan kepuasan tersendiri meskipun belum dikaruniani anak, dari situlah penulis penasaran
apa yang yang membuat pasangan yang belum memiliki anak merasakan kepuasan tersendiri.

Berdasarkan data-data diatas, perlu dilakukan penelitian apakah ada kepuasan
perkawinan pada pasangan yang belum memiliki anak. Kepuasan ketika hubungan mereka tidak
menghasilkan atau memiliki seorang anak yang diharapakan di tengah-tengah keluarga kecil
mereka, yang kemudian berkaitan dengan kepuasan perkawinan pada pasangan. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat menunjukkan kepuasan perkawinan pada pasangan yang belum memilki
anak.

5

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan perkawinan
1. Definisi kepuasan perkawinan
Kepuasan perkawinan adalah bagaimana seseorang mengevaluasi dan menikmati
perkawinannya secara subjektif (Alder, 2010; Nararaja, Rajamma, dan Reddy, 2012; Stone
& shackelford, 2007) Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam
perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fower (1989; 1993). Adapun
aspek-aspek tersebut antara lain:
a. Communication
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam
hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini berfokus pada tingkat kenyamanan yang
dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif.
Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu:
keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty),
kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap
pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).
b. Leisure Activity
Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu
senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal, pilihan untuk
saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama
pasangan.


6

a. Religious Orientation
Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam pernikahan. Nilai
yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian yang penting dalam pernikahan. Agama
secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu
hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam
pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan (Christiano, 2000;
Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008). Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu
kepercayaan terhadap suatu agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahterahan
secara psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan (Ellison,
1994; Gottman, 1998; Amato & Booth, 1997 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008).
d. Conflict Resolution
Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi terhadap konflik
dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu
pengenalan dan penyelesaian dan strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan
argumen serta saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun
kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management

Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan dengan bagaimana cara pasangan
mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan
uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak
realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk
memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup

7

dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah
satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap
kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
f. Sexual Orientation
Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka.
Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran,
dan

kesetiaan.

Penyesuaian


seksual

dapat

menjadi

penyebab

pertengkaran

dan

ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual
dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan
telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan
hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat
tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.
g. Family and Friends
Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan berhubungan dengan hubungan dengan
anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, dan teman-teman. Aspek menunjukan

harapan-harapan untuk dan kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan
teman-teman.
h. Children and Parenting
Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaan-perasaan mengenai mempunyai dan
membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan disiplin, tujuan-tujuan untuk anak-anak dan pengaruh anak-anak terhadap hubungan

8

pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting
halnya dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya
yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.
i. Personality Issues
Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam menghargai
perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah-masalah itu.
j. Equalitarian Role
Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai peran-peran
pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, seks, dan
peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai ini menunjukan bahwa pasangan memilih
peran-peran egalitarian.

B. Pasangan
2. Definisi Pasangan
Pasangan menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah yang selalu menemani dalam
kehidupan dalam berkeluarga, partner, jodoh, pasangan. Sedangkan menurut bahasa
pasangan itu berasal dari dua kata yaitu : pas dan angan, pas dapat diartikan sesuatu yang
tepat pada tempatnya atau tepat posisinya, sesuatu yang dirasa cocok karena merasakan
nyaman, sesuatu yang lebih dari cukup. Sedangkan angan dapat diartikan segala sesuatu
yang menjadi bayangan atau sesuatu yang dipikirkan mengenainasib masa depan. Angan
biasanya akan memunculkan sikap ingin mengerjar kebahagiaan. Dengan adanya angan
maka akan ada siasat untuk menemukan kebahagiaan yang dicari.

9

C. Anak
3. Definisi Anak
Anak adalah seseorang yang terbentuk sejak masa konsepsi sampai akhir masa remaja.
Anak adalah salah satu faktor kepuasan pernikahan, seperti yang dikemukakan, bahwa
faktor-faktor yang mendukung kepuasan pernikahan adalah adanya komunikasi yang
terbuka, ekspresi perasaan secara terbuka, saling percaya, tidak adanya dominasi pasangan,
hubungan seksual yang memuaskan, kehidupan sosial, tempat tinggal, penghasilan yang
cukup, anak, keyakinan beragama, hubungan dengan mertua atau ipar (Latifah, 2005).

10

METODE PENELITIAN
Penelitian Kualitatif
Penelitian kuantitatif menampilkan data dalam bentuk angka-angka, sementara itu
penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti
transkrip wawancara, catatan lapangan, rekaman suara dan sebagainya. Hal itu karena
dalam penelitian ini hal-hal yang ingin diungkap bersifat mendalam mengenai kepuasan
perkawinan pada pasangan yang belum memiliki anak.
Partisipan Penelitian
Pada penelitian ini, pengambilan sampling sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu.
Masing-masing subjek yang diteliti akan sangat membantu dan bermanfaat jika memiliki
pengalaman sesuai dengan kriteria. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 2 pasangan
partisipan. Karakteristik partisipan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah pada
pasang yang belum memiliki anak.
Metode Analisa Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain. Penelitian kualitatif
diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan, dan
atau perilaku dapat diamati dari suatu individu, kelompok masyarakat, dan atau suatu
organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu.

11

Proses analisis diawali dengan pengetikan transkip wawancara sesuai dengan
hasil rekaman wawancara dari wawancara. Hal ini dilakukan agar memudahkan proses
analisis data. Sementara untuk hasil observasi, penulis menulis hasil observasi pada
lembar observasi yang sudah disediakan.
Setelah proses pengetikan selesai, penulis kemudian membaca transkip secara
berulang-ulang hingga penulis mampu menemukan aspek dbalik kalimat yang
diungkapkan oleh partisipan. Kemudian penulis memberikan kode sesuai dengan insial
nama partisipan pasangan pertama adalah P1, dan P2, kemudian partisipan kedua adalah
P3, dan P4. Hal ini dilakukan mempermudah dalam proses kategorisasi dan analisis data.
Persiapan Penelitian
Sebelum melaksanakan penelitian yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan
segala sesuatu yang diperlukan dalam melakukan penelitian serta dalam pengambilan
data. Persiapan awal yang dilakukan adalah dengan membuat rancangan penelitian.
Setelah itu, penulis mulai mencari informasi mengenai partisipan penelitian yang sesuai
dengan karakterisrik yang telah ditentukan penulis. Kemudian, penulis mendapatkan 5
pasangan namun yang setuju dan bersedia berperan serta dalam penelitian hanya 2
pasangan.
Setelah penulis mendapatkan persetujuan dan kesedian diri dari 2 pasangan
partisipan untuk berperan serta dalam penelitian ini. Karena penulis dengan partisipan
sudah cukup mengenal satu sama lain, proses wawancara dalam penelitian menjadi lebih
mudah. Selain itu, peneliti juga mempersiapkan perlengkapan penelitian yang sekiranya

12

dibutuhkan pada saat melaksanakan wawancara dan observasi, seperti : Hanphone
(perekam), kertas HVS, serta alat tulis.
Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 19 sampai dengan
23 bulan Oktober 2016. Wawancara dilakukan sebanyak satu kali pada semua partisipan.
Wawancara dilakukan terhadap partisipan satu berada di sebuah perumahan Kaliwungu
Kendal, karena tempat tinggal partisipan pada pasangan pertama di perumahan
Kaliwungu Kendal untuk melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan terhadap
partisipan kedua dilakukan empat hari kemudian setelah partisipan pertama, karena
partisipan pada pasangan kedua hanya memiliki waktu untuk diwawancara pada hari
minggu, dan wawancara dilakukan di sebuah rumah partisipan pasangan kedua di Bawen.
Tidak ada kendala dalam melakukan wawancara, karena semua sudah diatur sedemikian
rupa agar proses wawancara berjalan dengan baik. Observasi pada saat sebelum
wawancara berlangsung, pada saat wawancara, dan pada saat setelah wawancara terhadap
kedua partisipan.
Latar Belakang dan identitas Partisipan
Partisipan pasangan pertama bernama P1 dengan P2, ia sepasang suami istri yang
menikah 8 tahun yang lalu tetapnya pada tanggal 11 Mei 2008. P1 lahir di Salatiga, Jawa
Tengah 35 tahun yang lalu, anak kedua dari empat bersaudara, ia menganut agama
Katholik, ia Alumi Fakultas Psikologi Universitas Satya Wacana tahun 2002 lulus tahun
2006, lalu P1 menikah pada usia 27 tahun, dan memiliki usaha catering dirumah.
Sedangkan P2 suami P1 lahir di Salatiga, Jawa Tengah 37 tahun yang lalu, anak pertama

13

dari dua bersaudara, ia juga Alumi Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Satya
Wacana, P2 menikah pada usia 29 tahun, dan bekerja di sebuah perusahan dibagian
pengawas. Pasangan partisipan pertama ini tinggal di salah satu perumahan Kaliwungu,
Kendal.
Partisipan pasangan kedua bernama P3 dengan P4, ia sepasang suami istri yang
menikah 7 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 2 Juli 2009. P3 lahir di Gaden, Klaten
47 tahun yang lalu, anak pertama dari lima bersaudara, ia menganut agama Islam, ia
hanya lulusan SMA, lalu menikah pada usia 40 tahun, ia adalah salah satu karyawan
swasta di sebuah perusahan. Sedangkan P4 suami P3 lahir di Bawen, Kabupaten
Semarang 37 tahun yang lalu, anak terakhir dari empat bersaudara, ia menganut agama
Islam, ia juga hanya lulusan SMA, lalu menikah pada usia 30 tahun, ia juga salah satu
karyawan swasta perusaha namun beda perusahan dengan istrinya. Pasangan partisipan
kedua ini tinggal di Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa dua pasangan partisipan
tersebut mengalami kepuasan tersendiri meskipun kedua pasangan partisipan belum
memiliki anak setelah menikah lebih dari 5 tahun, kepuasan tersebut dapat dilihat sesuai
aspek-aspek yang digunakan oleh penulis yaitu aspek-aspek dari Olson dan Fower (1989;
1993).
Kedua pasangan partisipan (P1&P2), dan (P3&P4) mampu menjalin komunikasi
dengan baik satu sama lain hal itu terlihat dari hasil wawancara meskipun dari pihak istriistri yang selalu memulai atau membuka topik pembicaraan ketimbang dari pihak suami,
karena suami dari kedua pasangan partisipan tersebut adalah sok-sok suami yang
pendiam kalau memang tidak penting suami lebih baik diam.
Kedua pasangan (P1&P2), dan (P3&P4) memiliki waktu senggang untuk
bersama, hal tersebut terbukti pasangan pertama (P1&P2) lebih banyak memiliki waktu
senggang untuk bersama karena pasang pertama (P1&P2) setiap sabtu dan minggu selalu
digunakan untuk berkunjung dirumah saudara-saudara dari pihak laki-laki maupun
perempunan, namun pasangan pertama ini lebih banyak berkunjung saudara dari pihak
perempuan, kalau seandainya pas waktu senggang sang istri (P1) mendapatkan pesanan
catering atau roti dalam jumlah yang banyak pasangan (P1&P2) tidak pergi berkunjung
melainkan hanya dirumah sibuk dengan pesanan dan sang suami (P2) membersihkan
rumah atau sibuk dengan motornya. Pada pasangan kedua (P3&P4) hanya memiliki
waktu senggang lebih sedikit daripada pasangan pertama (P1&P2), karena pasangan
kedua ini waktu senggang hanya dihari minggu dan waktu makan pagi, sedangkan kalau

15

hari minggu pasangan ini hanya dirumah bersih-bersih rumah dan memanfaatkan waktu
untuk istirahat dengan baik karena hari berikutnya pasangan ini harus kembali lagi pada
aktivitasnya yaitu bekerja.
Dari aspek keyakinan pasangan pertama (P1&P2) menjalani kehidupan sebagai
sepasangan suami-istri beda keyakinan, sang istri (P1) beragama Khatolik dan sang suami
Islam. Namun pasangan (P1&P2) menikah Islam, setelah menikah pasangan (P1&P2)
menjalani keyakinannya masing-masing dan sampai saat ini pasangan pertama tidak
pernah mengalami masalah yang berhubungan dengan keyakinan karena sebelum
menikah kedua keluarga besar dari pihak istri maupun suami saling mendukung apa yang
sudah di tentukan oleh pasangan (P1&P2). Meskipun berbeda pasangan (P1&P2) tetap
melakukan kewajiban dan ajaran-ajaran agama meraka masaing-masing,disini sang
istrilah (P1) yang selalu mengingatkan suami ke masjid maupun sholat, kalau hari
minggu sang suami (P2) bergantian mengantar istri pergi ke gereja. Sedangkan pasangan
yang kedua (P3&P4) adalah pasangan yang satu keyakinan, pasangan (P3&P4) selalu
melakukan kewajiban dan ajaran-ajaran agama bersama-sama disaat waktu senggang
contoh seperti sholat bersama di rumah.
Setiap keluarga pasti akan mengalami dan menghadapi yang namanya masalah,
seperti yang sedang dialami dan dihadapi oleh kedua pasangan partisipan (P1&P2), dan
(P3&P4) memiliki masalah yang sama yaitu masalah belum memiliki anak dari hasil
pernikahannya setelah 5 tahun lebih menikah. Di tahun-tahun awal pernikahan kedua
pasangan (P1&P2), dan (P3&P4) ini menginginkan hadiran seorang anak namun di tahun
pertama dan kedua pasangan (P1&P2), dan (P3&P4) mengalami keguguran di usia
kandungan 2 minggu pada pasangan pertama (P1&P2), dan 1 bulan lebih pada pasangan

16

(P3&P4). Setelah kedua pasangan mengalami keguguran tersebut kedua pasangan sampai
saat ini belum juga mempunyai seorang anak, namun usaha yang dilakukan kedua
pasangan (P1&P2), dan (P3&P4) tidak berhenti begitu saja, kedua pasangan tetap
berkonsultasi dengan dokter kandungan yang bagus hingga pasangan kedua (P3&P4)
sampai mencari-cari tukang urut perut khusus kandungan juga, tetapi hal-hal tersebut
belum juga menghasilkan yang sesuai dengan apa yang diinginkan kedua pasangan
partisipan. Sekarang kedua pasangan (P1&P2), dan (P3&P4) hanya bisa pasrah dan
menjalani kehidupan secara mengalir saja.
Untuk masalah keuangan semua keluarga pasti mengalami entah mengalami
disaat tahun-tahun awal, pertengahan pernikahan atau malah dari tahun awal dan hingga
saat ini masih merasakan masalah keuangan. Partisipan pertama mengalami masalah
keuangan di awal-awal tahun pernikahan. Pada pasangan pertama (P1&P2) mengalami
masalah keuangan karena sebelum menikah suami dari (P1) belum memiliki pekerjaan
sama sekali dan hanya sang istri (P1) yang hanya bisa mengandalkan hasil cateringan saja
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, setelah berjalan 1 tahun lebih 6 bulan suami dari
(P1) baru mendapatkan pekerjaan tetap dan mampu menafkahi sang istri lebih dari cukup.
Berbeda pada pasangan pertama (P1&P2), pasangan kedua (P3&P4) mengatakan bahwa
mereka tidak mengalami masalah keuangan dari awal tahun pernikahan hingga saat,
karena istri (P3) maupun suami (P4) sudah memiliki bekerjaan yang tetap dahulu
sebelum menikah. Menurut kedua pasangan partisipan masalah keuangan bisa dikelola
dengan baik kalau para-para istri mampu mengatur dan mengutamakan prioritas-prioritas
keluarga yang penting terlebih dulu.

17

Orientasi seksual pada pasangan pertama (P1&P2), dan kedua (P3&P4) 4 kali
dalam sebulan, namun kedua pasangan mengakui bahwa tidak melakukan aktifitas
seksual secara rutin karena tergantung permintaan dari suami atau kadang dari istri capek
apa tidak. Kedua pasangan partisipan tetap merasakan kenyamanan dan kepuasan
meskipun sampai saat ini partisipan pertama (P1&P2), dan kedua (P3&P4) belum
memiliki anak. Bukan hanya nyaman terhadap pasanga, namun kedua pasangan
partisipan (P1&P2), dan (P3&P4) juga merasakan kenyamanan dan kebersamaan dengan
anggota keluarga dan teman-teman dari pihak istri maupun suami. Namun pada pasanga
pertama (P1&P2), sang suami (P2) lebih dekat dengan anggota keluarga dari sang istri
(P1), sedangan pada pasanga kedua (P3&P4) dapat mengenali anggota keluarga besarnya
karena setiap tiga sampai empat bulan sekali pasti diadakan kumpulan keluarga jadi bisa
mengenal lebih dalam lagi dengan anggota keluarga besar.
Dari aspek Personality Issues pada pasangan pertama (P1&P2) selalu menghargai
jika keputusan yang diambil dari salah satu dari mereka benar memang keputusan yang
terbaik, dan sang istrilah (P1) yang selalu sering mengambil keputusan daripada sang
suami (P2). Berbeda dengan pasangan kedua (P3&P4), pasangan ini sangat menghargai
satu sama lain karena setiap ada masalah dan harus mengambil keputusan mereka berdua
akan mengambil keputusan bersama.
Dari aspek Equalitarian Role pada kedua pasangan partisipan (P1&P2), dan
(P3&P4). Kedua pasangan ini sama-sama bangga terhadap pasangan mereka masingmasing, karena memilki suami ataupun istri yang mampu memerankan perannya didalam
keluarga.

18

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa ada dua aspek kepuasan perkawinan yang belum terpenuhi yaitu aspek Conflict
Resolution , dan children and parentin. Belum terpenuhinya kedua aspek ini memiliki
keterkaitan kepuasan yang dirasakan oleh partisipan. Dengan adanya masalah yang
dihadapi kedua pasangan partisipan belum memiliki anak menjadikan kedua pasangan
partisipan tersebut belum juga merasakan memiliki anak ataupun menjadi orang tua
sesungguhnya dengan hadirnya anak biologis, dan belum mampu merasakan bagaimana
cara mengasuh anak hasil dari pernikahannya. Menurut kedua pasangan partisipan
(P1&P2), dan (P3&P4) mengatakan meskipun mereka belum memiliki anak, tetapi
mereka merasakan kepuasan tersendiri dalam perkawinannya selama ini, dan partisipan
juga mengatakan bahwa faktor yang menjadi perkawinan merasakan kepuasan selain
anak adalah saling menghargai, menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita,
percaya, dan yang paling penting tetap bersyukur kepada Tuhan.
Seperti hal yang diungkapkan oeh (Fennel, disitat dalam Rosen-Grandon, Myers,
& Hattie, 2014). Pasangan akan dapat merasa puas apabila saling berkomitmen, setia,
nilai moral yang kuat, menghargai pasangan sebagai teman, komitmen dalam hubungan
seksual, ingin menjadi orang tua yang baik dan beriman kepada Tuhan, selalu ingin
menyenangkan sahabat yang baik untuk pasangan, dan ada keinginan untuk memaafkan
dan dimaafkan.

19

SARAN
Sesuai dengan hasil penelitian dan berdasarkan pemahaman dan kesimpulan yang ada,
maka penulis memberikan beberapa saran, yaitu :
1. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperbanyak partisipan untuk bahan
penelitian.
2. Bagi kedua partisipan penelitian, kedua partisipan diharapkan tetap merasakan kepuasan
perkawinaan tersendiri meskipun belum memiliki anak.
3. Bagi masyarakat sekitar kedua pasangan partisipan, masyarakat diharapkan dapat
menerima pasangan suami-istri yang belum memiliki anak.

20

DAFTAR PUSTAKA

Erna,

M. (n,d). Apa Arti Kehadiran Anak untuk Anda & Pasangan?.
https://keluarga.com/1860/apa-arti-kehadiran-anak-untuk-anda-dan-pasangan.

Fadlyana, E., & Larasaty, S. (2009). Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. 11(2).
Indriastuti, I., & Nawangsari, F.A.N. (2014). Perbedaan Cinta (Intimacy, Passion, Commitment)
Ditinjau dari Lamanya Usia Perkawinan pada Istri yang Bekerja. 3(3).
Hilman, A.N. (2015). Hubungan Antara Intimasi & kesiapan Menikah pada Masa Dewasa Awal.
http://psychology.binus.ac.id/2015/09/20/hubungan-antara-intimasi-dan-kesiapanmenikah-pada-masa-dewasa-awal/
Hussien,
A.M.
(n.d).
Filosofi
Definisi
Pasangan
http://www.adamsains.us/2014/12/filosofi-definisi-pasangan-hidup.html. .

Hidup.

Larasati, A. (2012). Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau Dari Keterlibatan Suami dalam
Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam Rumah Tangga. 1(03).
Parung, G.E. (2014). Studi Diskriptif Kepuasaan Perkawinan pada Suami yang menjadi
Caregiver dari Istri yang Menderita Kanker. 3(1).
Prasetyo, J.D. (2016). Body Image Mahasiswa Bertato Di Universitas Kristen Satya Wacana.
Sarwono Sarlito W dan Meinarno Eko A. (2014). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
UU RI Nomor 1 Tahun 1974. (1974). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERKAWINAN. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm