IMPLEMENTASI NILAI - NILAI PLURALISME BERDASARKAN NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA

  

IMPLEMENTASI NILAI - NILAI PLURALISME BERDASARKAN

NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA

Aliyah Mantik

  Prodi Manajeman Pendidikan Islam, STIT Al Multazam, Lampung Barat, Lampung Jl.Jendral Sudirman Kota Baru Wates Kec. Balik Bukit

  Kab. Lampung Barat - Lampung Email

  Pluralism is the term which it has many difference meaning. At the same time, someone can accept and refuse pluralism according to that meaning. Secular humanism argues that there is no an Absolute Truth, because the truth is depend on human. The truth is subjective and relative, so unity just can be built by secularism. Global theology offers a new theology that is global theology to unite the difference religions. Syncretism selected and mixed religions become a new religion. Perennial Philosophy tries to find meeting is understood as a framework of interaction in which groups show point of religions in the esoteric area. In the social sciences, pluralism sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation. Pluralism as theory is a social construction. Indonesian can construct pluralism base on the values of Pancasila that are Goddess, humanity, unity, democracy and justice. Keywords: Pancasila, pluralism, religion, social.

1. PENDAHULUAN

  Istilah „pluralisme‟ mengandung arti yang kontraversial sehingga sering menimbulkan perdebatan. Seseorang dapat menerima dan sekaligus menolak pluralisme tergantung pada definisi mana yang digunakan. Majelis Ulama Indonesia pun telah mengeluarkan fatwa yang menolak paham ini, karena dianggap memberikan andil pada ‟perelativitasan‟ atas kemutlakan agama. Pengakuan bahwa semua agama adalah benar, menjadikan agama kehilangan kemutlakannya, karena dalam kenyataannya terdapat agama yang beragam yang secara teologis pandangannya tidak dapat dipertemukan bahkan saling bertolak belakang.

  Secara historis dapat dijelaskan bahwa setiap agama mempunyai kodrat yang ekslusif, karena ia lahir dari komunitas kepercayaan dan hal itu sering dianggap sesat sehingga perlu diluruskan Namun dalam perjalanan waktu satu agama akan berhadapan dengan agama yang lain (the religious other). Agama yang lain tersebut oleh pengikutnya juga dianggap mampu menjadi sistem nilai yang mengatur kehidupan kemanusiaan dan mentransformasikan dirinya menuju yang Illahi. Kenyataan demikian akan menghasilkan tiga sikap religius, yaitu pertama, tetap pada ekslusivisme, sehingga menghasilkan truth claim, setiap agama menganggap bahwa hanya agamanya lah yang merupakan jalan keselamatan, kedua, inklusifisme, yaitu mengakui keberadaan dan kebenaran agama lain, namun tetap meyakini hanya agamanya lah satu-satunya jalan keselamatan, dan ketiga, pluralisme, mengakui bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui jalan yang ditempuh oleh setiap agama.

  Ilustrasi tiga sikap religius ini dapat dilihat dalam perjalanan teologis Paul Knitter yang ditulis dalam bukunya berjudul One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue & Global Responsibility (2003). Pertama, pada tahun 1958, sesudah empat tahun belajar di seminari dan dua tahun novisiat dan resmi menjad i anggota “Divine Word Missionaries (SVD). Ia mengatakan lima kali sehari dalam doa kami memohon kepada Tuhan, ”Kiranya kegelapan dosa dan kekafiran lenyap di hadapan terang anugerah Firman dan Roh”. Kami memiliki Firman dan Roh, mereka memiliki dosa da n kekafiran.”Saya bukannya ingin bergaul dengan mereka yang berlainan agama, tetapi saya ingin mengajak mereka bertaubat”. Inilah fase awal dia dalam memahami agama yang dikenal sebagai ekslusivisme. Kedua, pada tahun 1962, ketika dia di Roma untuk studi di Pontifical Gregorian University, dua minggu sebelum Konsili Vatikan II yang dimulai tanggal 11 Oktober 1962. Gereja melalui Paus Yohanes XXIII mengatakan bahwa gereja Katolik telah membuka diri dan mengakui kebenaran budaya dan agama lain. Dalam satu kuliah di Universitas Gregorian, seorang teolog yang telah membantu membuka jendela gereja Katolik terhadap agama lain, Karl Rahner, mengatakan bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi harus menganggap agama lainnya sebagai ”sah” dan merupakan ”jalan keselamatan”. Ia menyebut istilah ”Kristen anonim”, yaitu orang yang bukan Kristen yang ”diselamatkan” oleh anugerah dan kehadiran Kristus secara terselubung dalam agama mereka. Inilah fase inklusifisme.

  Ketiga, ketika studi di Jerman ia bertemu dengan mahasiswa Muslim dari Pakistan, Rahim. Setelah sering berdiskusi tentang agama, dia meyakini bahwa Rahim telah diselamatkan, dan bukan karena dia seorang Kristen anonim, tetapi diselamatkan karena Keislamannya. Setelah kembali ke Chicago dan mulai mengajar di Catholic Theological Union pada tahun 1972, kemudian bertemu dengan berbagai pemikir seperti John Dunne, Raimundo Panikkar, Thomas Merton dan Hans Küng, dia mengajukan pandangan teologis bahwa kesaksian Kristen seperti dalam Kitab Suci dan tradisi tidak ditinggalkan, tetapi memahaminya lebih mendalam dan kemudian memeliharanya, serta mengganti (tidak meninggalkan) pendekatan kristosentris dengan pendekatan teosentris terhadap agama lain. Misteri Ilahi yang kita kenal di dalam Yesus lebih besar daripada realitas dan pengajaran Yesus. Jadi kita terbuka terhadap kemungkinan bahwa agama lain juga memiliki pandangan dan respons mereka sendiri yang absah terhadap Misteri itu, sehingga mereka tidak harus dimasukkan ke dalam Kekristenan. Inilah fase yang telah memuaskan batinnya dalam rangka memahami agama lain, yaitu pluralisme.

  Secara historis dapat dijelaskan bahwa setiap agama mempunyai kodrat yang ekslusif, karena ia lahir dari komunitas kepercayaan dan hal itu sering dianggap sesat sehingga perlu diluruskan Namun dalam perjalanan waktu satu agama akan berhadapan dengan agama yang lain (the religious other). Agama yang lain tersebut oleh pengikutnya juga dianggap mampu menjadi sistem nilai yang mengatur kehidupan kemanusiaan dan mentransformasikan dirinya menuju yang Illahi. Kenyataan demikian akan menghasilkan tiga sikap religius, yaitu pertama, tetap pada ekslusivisme, sehingga menghasilkan truth claim, setiap agama menganggap bahwa hanya agamanya lah yang merupakan jalan keselamatan, kedua, inklusifisme, yaitu mengakui keberadaan dan kebenaran agama lain, namun tetap meyakini hanya agamanya lah satu-satunya jalan keselamatan, dan ketiga, pluralisme, mengakui bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui jalan yang ditempuh oleh setiap agama.

  Ilustrasi tiga sikap religius ini dapat dilihat dalam perjalanan teologis Paul Knitter yang ditulis dalam bukunya berjudul One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue & Global Responsibility (2003). Pertama, pada tahun 1958, sesudah empat tahun belajar di seminari dan dua tahun novisiat dan resmi menjadi anggota “Divine Word Missionaries (SVD). Ia mengatakan lima kali sehari dalam doa kami memohon kepada Tuhan, ”Kiranya kegelapan dosa dan kekafiran lenyap di hadapan terang anugerah Firman dan Roh”. Kami memiliki

  Firman dan Roh, mereka memiliki dosa dan kekafiran.”Saya bukannya ingin bergaul dengan mereka yang berlainan agama, tetapi saya ingin mengajak mereka bertaubat”. Inilah fase awal dia dalam memahami agama yang dikenal sebagai ekslusivisme. Kedua, pada tahun 1962, ketika dia di Roma untuk studi di Pontifical Gregorian University, dua minggu sebelum Konsili Vatikan II yang dimulai tanggal 11 Oktober 1962. Gereja melalui Paus Yohanes XXIII mengatakan bahwa gereja Katolik telah membuka diri dan mengakui kebenaran budaya dan agama lain. Dalam satu kuliah di Universitas Gregorian, seorang teolog yang telah membantu membuka jendela gereja Katolik terhadap agama lain, Karl Rahner, mengatakan bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi harus menganggap agama lainnya sebagai ”sah” dan merupakan ”jalan keselamatan”. Ia menyebut istilah ”Kristen anonim”, yaitu orang yang bukan Kristen yang ”diselamatkan” oleh anugerah dan kehadiran Kristus secara terselubung dalam agama mereka. Inilah fase inklusifisme.

  Ketiga, ketika studi di Jerman ia bertemu dengan mahasiswa Muslim dari Pakistan, Rahim. Setelah sering berdiskusi tentang agama, dia meyakini bahwa Rahim telah diselamatkan, dan bukan karena dia seorang Kristen anonim, tetapi diselamatkan karena Keislamannya. Setelah kembali ke Chicago dan mulai mengajar di Catholic Theological Union pada tahun 1972, kemudian bertemu dengan berbagai pemikir seperti John Dunne, Raimundo Panikkar, Thomas Merton dan Hans Küng, dia mengajukan pandangan teologis bahwa kesaksian Kristen seperti dalam Kitab Suci dan tradisi tidak ditinggalkan, tetapi memahaminya lebih mendalam dan kemudian memeliharanya, serta mengganti (tidak meninggalkan) pendekatan kristosentris dengan pendekatan teosentris terhadap agama lain.

  Misteri Ilahi yang kita kenal di dalam Yesus lebih besar daripada realitas dan pengajaran Yesus. Jadi kita terbuka terhadap kemungkinan bahwa agama lain juga memiliki pandangan dan respons mereka sendiri yang absah terhadap Misteri itu, sehingga mereka tidak harus dimasukkan ke dalam Kekristenan. Inilah fase yang telah memuaskan batinnya dalam rangka memahami agama lain, yaitu pluralisme.

2. PEMBAHASAN 2.1. Pluralisme

  Pluralisme adalah suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi. Dalam perspektif ilmu sosial, pluralisme yang meniscayakan adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua ‚wajah‛, konsesus dan konflik. Consensus mengandaikan bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda- beda itu akan survive (bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal tertentu sebagai aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik. Teori ini tidak menafikkan adanya keharmonisan dalam masyarakat. Keharmonisan terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama, tetapi karena adanya pemaksaan kelompok kuat terhadap yang lemah. Pluralitas merupakan realitas sosiologi yang mana dalam kenyataannya masyarakat memang plural. Plural pada intinya menunjukkan lebih dari satu dan isme adalah sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dengan demikian pluralisme adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk atau banyak dalam segala hal diantaranya sosial, budaya, politik dan agama.

  2.2. Dasar –Dasar Pluralisme 1.

  Dasar Filosofis Kemanusian Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima karena dan demi kemanusiaan 2. Dasar Sosial Kemasyarakatan Dan Budaya Pengakuan akan adanya dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dan konsistensi komitmen sosial maupun konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia),yang berbudaya.

  3. Dasar Teologis Dalam suatu masyarakat agamawi seperti masyarakat Indonesia, kendati ada berbagai macam agama yang berbeda dalam berbagai aspek atau unsur- unsurnya, namun kemajemukan seyogyanya harus diterima, sebagai konsekwensi dari nilai- nilai luhur dan gambaran “Sang Ilahi” (Allah) yang maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia dari setiap agama dan para penganutnya.

  2.3. Nilai – Nilai Pluralisme 1.

  Nilai Kebebasan Dan Pengakuhan Terhadap Eksistensi Agama Lain Allah SWT mengemukakan kekuasaan-Nya bahwa sekiranya Dia berkehendak tentulah Dia kuasa mempersatukan manusia ke dalam satu agama sesuai dengan tabiat manusia itu. Dan diadakannya kemampuan ikhtiar dan pertimbangan terhadap apa yang dikerjakan. Dengan demikian lalu manusia itu hidup seperti halnya semut/lebah atau hidup seperti malaikat yang diciptakan bagaikan robot yang penuh ketaatan kepada-Nya dan sedikitpun tidak akan menyimpang dari ketentuan yang benar, atau kesasar ke jalan kesesatan. Akan tetapi Allah tidak berkehendak demikian itu dalam menciptakan manusia. Allah menciptakan manusia dengan menganugerahkan kepada mereka kemampuan berikhtiar dan berusaha dengan penuh pertimbangan.

2. Nilai Keadilan, menurut Zainuddin Ali dalam Pendidikan Agama Islam, adalah kata jadian dari kata adil yang terambil dari bahasa Arab, yaitu adl.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil diartikan sebagai tidak berat sebelah atau tidak memihak, berpijak kepada kebenaran, dan berarti sepatutnya atau tidak sewenang- wenang. Dalam perspektif Islam, keadilan-sebagai prinsip yang menunjukkan kejujuran,keseimbangan kesederhanaan,dan keterusterangan-merupakan nilai- nilai moral yang ditekankan dalam Al-

  Qur‟an.

2.3. Membangun Pluralisme Yang Pancasilais

  Konsep pluralisme sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia dan sudah diketahui keberadaannya jauh sebelum negara Indonesia ini didirikan. Kita sudah mengenal semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” (beragam dalam kesatuan, tidak ada ”dharma” yang medua), yang merupakan simbol pluralisme Hindu-Budha yang telah dibangun bangsa ini. Jalan yang ditempuh bisa berbeda tetapi sesungguhnya ditujukan untuk Tuhan yang sama. Konsep pluralisme ini kemudian diperluas tidak hanya dalam konteks agama tetapi menjadi bingkai persatuan Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya, adat, bahasa, dan kemudian terkristal dalam satu konsensus politik yang bernama Pancasila. Kesepakatan diterimanya dasar negara sekaligus cita-cita negara ini, sesungguhnya menunjukkan bahwa bangsa ini telah memiliki kedewasaan dalam memahami keanekaragaman.

  Alwi Shihab (1998: 335-336) mencatat beberapa komentar positif tentang Indonesia, tentunya sebelum Indonesia mengalami berbagai krisis seperti saat ini. Fazlur Rahman pernah meramalkan bahwa Islam yang sejuk dan menarik dan yang menghidupkan kembali nilai luhur toleransi dan moderasi Nabi Muhammad menyingsing dari Bumi Indonesia. Demikian pula Lawrence Sullivan, kepada pusat pengkajian agama dunia pada Universitas Harvard Amerika, secara terbuka mengatakan, bahwa Indonesia secara kreatif telah mewujudkan pendekatan baru dalam menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, yang tidak dijumpai di banyak negara Eropa dan Amerika. Sullivan menandaskan bahwa “Indonesia is a model religious tolerance that other countries could do well to emulate” (Indonesia merupakan model toleransi keagamaan yang patut ditiru oleh negara lain).

  Konsep pluralisme lahir dari latar belakang pemikiran dan kondisi sosial, politik, budaya tertentu. Artinya bahwa pluralisme itu merupakan sebuah konstruksi sosial. Pluralisme

  • –dalam konsep dan aplikasinya--barangkali tepat diterapkan di satu wilayah tertentu namun tidak tepat dan bahkan menghasilkan persoalan baru di tempat yang lain. Humanisme sekuler, misalnya, dapat diterima di Barat oleh karena paham eksistensialisme yang telah lama mengakar dan menempatkan manusia sebagai pusat eksistensi. Hal ini akan berbeda dengan masyarakat Timur yang memahami keunggulan eksistensi manusia justru ketika dirinya merasa bagian dari alam dan ‟menyatu‟ dengan Tuhan. Demikian pula teologi globalnya John Hick yang diilhami oleh perkembangan globalisasi, akan ditolak oleh masyarakat yang masih memegang erat tradisi dan kaidah literal agama. Berbagai karakter pluralisme tersebut dapat pula diposisikan sebagai satu bentuk pemikiran bukan ajaran agama yaitu, bagian dari pemikiran keagamaan, sehingga ketidaksetujuan terhadap pemikiran tersebut seharusnya ditanggapi pula dengan pemikiran dan tidak dengan fatwa. Kekhawatiran yang muncul ketika pendekatan fatwa digunakan untuk mengkaunter satu pemikiran, maka tragedi abad pertengahan, yaitu pemandulan rasio akan kembali terjadi. Kondisi demikian justru kontraproduktif dan lebih jauh dapat menghasilkan sikap resistensi terhadap agama (institusi agama). Dalam konteks Indonesia berberapa pandangan Alwi Shihab (1998: 41-42) tentang pluralisme tampaknya perlu dipertimbangkan. Pertama, konsep pluralisme tidak sama dengan relativisme. Relativisme berasumsi bahwa kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir seseorang atau masyarakat, sehingga aliran ini tidak mengenal kebenaran universal. Kedua, pluralisme bukanlah sinkretisme, yakni menggabung- gabungkan berbagai ajaran dengan mengambil sisi tertentu sehingga muncul menjadi agama baru. Ketiga, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi mengandung pengertian keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Mengutip pandangan Diana L. Eck (2005: 576-577) bahwa pluralitas tidak sama dengan kemajemukan. Pluralitas mengacu pada adanya hubungan saling tergantung antar berbagai hal yang berbeda, sedangkan kemajemukan (diversity) mengacu pada tidak adanya hubungan dari hal yang berbeda tersebut.

  Persoalan yang perlu mendapatkan jawaban adalah bagaimana konsep pluralisme dalam perspektif Pancasila? Pluralisme Pancasila secara teoretis memang belum terbangun, namun sudah ada dalam realitas praksis, paling tidak, realitas itu dapat dilihat pada kondisi Indonesia sebelum krisis, yaitu adanya pengakuan multi-agama di Indonesia, kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, dan kehidupan saling menghargai dan kerjasama antar pemeluk agama.

  Meminjam teori pluralisme yang sudah ada, maka pluralisme Pancasila dapat didekati dengan menggunakan perspektif Notonagoro dalam melihat Pancasila. Notonagoro (1987: 9) melihat Pancasila sebagai kesatuan organis (majemuk tunggal) nilai, yang terdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Kelima nilai tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, bahkan saling mengkualifikasi satu nilai dengan yang lainnya. Artinya, manakala berbicara tentang persatuan Indonesia, misalnya, maka konsep ini tidak dapat dilepaskan dari konsep ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Setiap berbicara tentang satu sila, maka akan selalu terkait dengan keempat sila lainnya.

  Pluralisme yang hendak dibangun oleh Pancasila berbeda dengan pluralisme yang dikembangkan oleh humanisme sekuler yang menempatkan nilai kemanusiaan begitu tinggi, dan menganggap sekularisme sebagai sarana yang dapat mempertemukan keberadaan agama yang beragam. Humanisme sekuler yang berkembang terutama di Eropa telah mencabut ‟kedudukan kodrat‟ manusia sebagai homo religiousus (makhluk Tuhan). Hossein Nasr menggunakan istilah yang lain, bahwa masyarakat barat telah terlempar dari pusat eksistensinya sebagai makhluk yang bertuhan.

  Di pihak yang lain, Pancasila justru membangun pluralisme atas dasar kemanusiaan universal yang religius (sila 2 dan 1). Ketuhanan yang Maha Esa merupakan Realitas Absolut yang mempertemukan keragaman agama di Indonesia. Sloka Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrua telah memberikan pemahaman bahwa meski pun jalan yang ditempuh berbeda namun sesungguhnya Tuhan sebagai tujuan yang hendak dituju adalah satu. Secara eksoterik agama di Indonesia sangat beragam namun secara esoterik dipertemukan dalam pemahaman yang sama bahwa Tuhan Maha Esa. Dalam konteks ini barangkali Pancasila paralel dengan pandangan John Hick yang menganjurkan ”transformasi orientasi dari pemusatan ”agama” menuju pemusatan Tuhan. Akan tetapi tidak sepaham dengan konsep teologi global yang juga diusung oleh Hick yang membayangkan adanya teologi baru yang dapat diterima dan dapat menyatukan semua agama yang ada. Teologi global sebagai agama besar dan agama yang ada diibaratkan seperti sektenya. Pandangan demikian tentu saja akan dapat mengaburkan identitas agama, karena agama harus merelativisasi diri dan meleburkan diri dalam payung teologi baru. Sebuah cita-cita yang utopis, mengingat kompleksitas persoalan dalam agama. Alih-alih antar agama dapat bersatu, dalam realitas keberagaman, sekte/aliran dalam satu agama saja tidak dapat bersatu.

  Pancasila justru mengembangkan pluralisme dengan mengakui identitas agama yang beragam, namun saling menghargai (sila 4). Ada konsep ‟demokrasi agama‟, dalam arti bahwa agama mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam negara, demikian pula negara menempatkan diri pada posisi netral untuk melindungi bahkan memfasilitasi setiap agama. Tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam urusan negara dikarenakan persoalan perbedaan agama. Setiap pemeluk agama diberikan kebebasan yang luas untuk menjalankan ajaran agamanya sejauh tidak menabrak batas keyakinan agama lain maupun peraturan hukum yang berlaku.

2.4. Nilai-Nilai Sosial-Budaya Bangsa

  Dalam sejarah kemajuan Eropa Barat, Max Weber (“Protestant Ethics and Spirit of Capitalism”) telah memperkenalkan kerja keras sebagai “ibadah” dan sekaligus faktor penjelas mengapa suatu masyarakat atau bangsa bisa lebih maju dibanding masyarakat atau bangsa lain. Jika indikator kemajuan tidak semata-mata kemajuan budaya material, misalnya besarnya nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), melainkan mencakup juga (misalnya) aspek penghormatan terhadap masyarakat lain, terciptanya keadilan, kesatuan (“solidaritas”) bangsa, dan pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang; maka mengandalkan nilai kerja keras saja untuk kemajuan masyarakat tidak lagi dinilai memadai. Penerapan nilai lain, misalnya rasa malu yang tinggi, seperti yang dianut dalam kehidupan masyarakat Jepang, tidak kalah pentingnya dibanding penerapan nilai kerja keras.

  Kemajuan suatu bangsa juga bisa dijelaskan dari apakah nilai (seperti) rajin, menghargai prestasi, menjunjung tinggi penggunaan cara berpikir logis dan sistematik dalam menyelesaikan persoalan, menempatkan visi ke depan sebagai pedoman bersama dalam bertindak, dan menjunjung tinggi sifat amanah (high trust) atau kejujuran telah menjadi bagian kehidupan sehari- hari bangsa tersebut. Secara sosiologis besarnya investasi (termasuk modal asing) bukan penyebab utama kemajuan bangsa; melainkan lebih cocok ditempatkan sebagai indikator atau salah satu instrumen untuk memprediksi kemajuan ekonomi suatu bangsa. Kemunduran ekonomi bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir bukan disebabkan tidak adanya investasi masuk dari luar, melainkan lebih disebabkan karena tidak efisiennya pengelolaan investasi tersebut. Budaya korupsi yang meluas merupakan indikator betapa sangat tidak efisiennya keorganisasian negara dalam mengelola investasi, termasuk investasi yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Penerapan nilai-nilai kemajuan harus memiliki konsistensi sejak tingkat individu atau keluarga, komunitas kecil hingga kolektivitas bangsa. Jika penerapan nilai atau sejumlah nilai tidak konsisten mengikuti tingkatan pelaku sosial, maka akan terjadi sejumlah distorsi terhadap kemajuan bangsa. Bisa terjadi pada tingkat individu atau keluarga nilai kerja keras berhasil diterapkan, namun penerapan nilai empati atau rasa malu dikesampingkan. Secara individu atau keluarga seseorang bisa maju, namun keberadaan seorang individu atau keluarga tersebut pada akhirnya justru membahayakan keberadaan komunitas kecilnya atau bahkan bangsanya. Ini sebagai salah satu atau bagian dari penerapan nilai ”kebinatangan ekonomi” yang a- sosial. Sebagai contoh, seorang koruptor bisa jadi adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi nilai kerja keras, namun tidak menjunjung tinggi rasa malu, amanah dan empati. Keberadaan seseorang seperti ini dalam sistem mayarakat besar atau bangsa cenderung membahayakan.

2.5. Antara Nilai-Nilai Ideal Dan Aktual

  Keterpurukan bangsa ini bukan disebabkan tidak adanya nilai-nilai kemajuan yang dikenal, melainkan tidak teraktualisasikannya nilai-nilai kemajuan dalam kehidupan sehari- hari berbangsa dan bernegara. Kesenjangan antara nilai ideal dan aktual yang tidak diatasi secara serius merupakan penyebab utama tidak majunya bangsa Indonesia. Semakin besar kesenjangan antara nilai ideal dan aktual menunjukkan semakin tingginya keterpurukan bangsa. Penelaahan terhadap kesenjangan nilai ini dirasa penting, bukan saja ditujukan pada seberapa besar kesenjangan yang terjadi, melainkan juga pada apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tersebut. Secara lebih rinci peta keterpurukan atau kesenjangan ini bisa dibuat hingga tingkat kabupaten dan kota. Melalui pembuatan peta kesenjangan tersebut akan memudahkan dirumuskan alternatif kebijakan yang bisa dilakukan untuk mempersempit jurang kesenjangan.

  Secara jernih sebaiknya digali dari khasanah agama. Hampir bisa dikatakan bahwa setiap agama mengenal nilai-nilai kemajuan bangsa. Masih bisa dimengerti seandainya ditemui satu agama mempunyai penekanan yang khusus terhadap sejumlah nilai tertentu, sedangkan agama yang lain mempunyai penekanan khusus terhadap sejumlah nilai yang lain. Namun yang akan sulit dimengerti adalah jika ditemukan bahwa satu agama menolak nilai-nilai kemajuan yang mendapat penonjolan dari agama lain, walaupun hanya berlaku terhadap satu atau dua nilai. Masalah yang justru lebih penting untuk dicermati adalah “mengapa nilai-nilai yang ada dalam agama hanya dipandang sebagai utopia dan banyak yang tidak terinternalisasi secara budaya pada kehidupan sehari- hari dalam berbangsa dan bernegara?” Kesenjangan antara nilai ideal yang ada dalam khasanah agama dengan kenyataan yang dijalankan sehari- hari di masyarakat masih sangat lebar. Mencari penyebab spesifik mengapa nilai-nilai kemajuan tidak diadopsi secara budaya, baik di tingkat individu, komunitas kecil maupun bangsa, merupakan hal penting.

  Keragaman dan kearifan nilai etnis Indonesia (Koentjaraningrat, 1983) bisa dipandang modal sosial (Tjondronegoro, 2004) dan budaya untuk membentuk kemajuan bangsa. Dilihat dari kearifan budaya pada berbagai etnis di Indonesia, peluang dapat teratasinya kesenjangan nilai- nilai cukup besar. Energi masyarakat pada berbagai etnis, baik di Jawa dan luar Jawa, cukup besar untuk mendorong terwujudnya gerakan menutup kesenjangan nilai- nilai. Dari pengamatan langsung di lapangan (Pranadji, 2004), misalnya pada masyarakat Bali dan Dayak pedalaman (Kalimantan Barat), diperoleh gambaran bahwa kedua masyarakat tersebut memiliki kwalitas kandungan nilai-nilai sosial- budaya yang tinggi dan bisa diangkat untuk menopang kemajuan bangsa. Pada masyarakat etnis yang memiliki latar belakang pengetahuan agama Semit (Islam, Kristen dan Katolik) seharusnya memiliki energi lebih besar untuk menutup kesenjangan nilai-nilai ke arah kemajuan bangsa.

3. ANALISA HASIL

  Di tengah dahsyatnya arus pemikiran keagamaan mutakhir, saatnya kita mencermati perkembangan (baca, Pluralisme agama) sebagai berkah untuk menuai sintesa-sintesa yang akan mendewasakan cara pandang masyarakat dan kesempatan emas untuk mengawal transisi demokrasi. Ajakan Sayyed Hussen Nasr dalam memahami doktrinal agama secara eksoterik dan esoterik adalah sebuah upaya mencari pola dan bentuk keberagamaan baru. Di sinilah, sebenarnya pemikiran keagamaan mesti diapresiasi dan dipertanyakan guna menangkap makna terdalam dari agama. Siapapun patut berdecak kagum atas perkembangan pemikiran keagamaan mutakhir. Setiap kelompok hadir dan bebas menyampaikan pandangan dan pemikirannya. Ini sebuah khazanah dan situasi yang dinanti-nantikan banyak kalangan, yang mana setiap kelompok bisa menikmati kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat. Sayyed Hussen Nasr seakan ingi mengatakan bahwa pintu itu telah terbuka dan mengundang kita memasukinya. Di sinilah, kritik wacana agama menjadi penting untuk menghidupkan kembali tradisi intelektualisme yang redup dan hilang ditelan masa. Wacana keagamaan (Pluralisme agama) sejatinya dibuka kembali untuk didiskusikan dan dikontekstualisasikan. sebagaimana dicontohkan tokoh-tokoh Islam terdahulu. Apabila melihat panorama tradisi Islam tersebut, kita akan melihat mozaik pemikiran yang maha kaya. Pemutlakan terhadap sebuah pendapat ditolak dan tidak dibenarkan. Apalagi pandangan yang dimutlakkan bukan ajaran yang inti (ushul), melainkan ajaran yang sekunder (furu). Karena itu, tantangan keberagamaan yang kita hadapi bersama adalah kecenderungan tekstualisme. Biasanya hal tersebut bisa dilihat dari beberapa karakteristik berikut. Pertama, unifikasi agama dan pemikiran keagamaan. Menurut kalangan tekstualis, bahwa pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan dianggap sebagai perbedaan agama. Sayyed Husen Nasr melihat persoalan tersebut adalah titik lemah pemikiran keislaman kontemporer, karena ada percampuradukan antara keduanya. Kedua pemikir muslim tersebut menyerukan pentingnya pemisahan antara „agama‟ dan „ilmu agama‟. Yang pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua bersifat profan. Kedua, teosentrisme. Kalangan tekstualis beranggapan bahwa pandangan keagamaan mereka merujuk kepada Tuhan, sedangkan pandangan yang lain merujuk pada selain Tuhan. Ini menyebabkan munculnya eklusifisme/chauvinisme umat beragama. Di sini, sebenarnya titik kelemahan mereka (umat beragama) dalam memahami doktrinal agamanya, tatkala tak mampu mengakomodasi pandangan yang lahir dari pembacaan terhadap realitas kemanusiaan. Kita mesti mencari model keberagamaan yang lebih menyentuh hajat masyarakat luas. Ini semua merupakan siklus problem yang tidak bisa dipisahkan. Di sinilah, semestinya agama mempunyai konsern untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi. Agama dituntut kepekaannya untuk

menolak segala hal yang tidak sesuai dengan kemaslahatan dan akal budi.Karena agama sebenarnya hadir untuk memberikan jalan keluar dari perasaan lapar dan takut (QS 106:2-4). Tantangan keberagamaan di masa mendatang bukan tantangan doktrinal melainkan tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang amat mendasar: konflik sosial, kekerasan dan ketidakadilan. Di sini dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala bentuk eksploitasi. Agama sejatinya didesak untuk memiliki perhatian terhadap persoalanpersoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Karenanya, agama mesti dipaksa beranjak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, politik dan budaya, sehingga mampu memberikan dorongan moral untuk keluar dari segala bentuk belenggu. Karenanya, keberagamaan kita akan ditentukan sejauhmana pergulatan kita dengan realitas kemanusiaan. Agama diharapkan dapat memberikan jawaban riil dari sekadar mengedepankan simbol dan romantisme. Pandangan Sayyed Hussen Nasr ini sejalan dengan pemahaman Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Komaruddin Hidayat dan lainlainnya bahwa Iman berimplikasi internal dan eksternal, artinya pemahaman batiniyah (esoterik) mestinya terwujud dalam lokus sosial (eksoterik), sehingga pluralisme agama bukanlah hambatan, namun merupakan suatu rahmat Tuhan dalam merajut kehidupan bersama agama lain.

4. PENUTUP

  Kaidah dalam dialog antar agama, adalah mengupayakan hubungan dialogis yang otentik (dari ajaran agama masing-masing), mengandaikan bahwa semua agama benar-benar beragam, dilakukan dalam komunitas yang egaliter (bukan hierarkis), dan mengupayakan dialog yang bertanggung jawab secara global. sebagai wujud pengetahuan yang benar-benar digali secara empiris, kesadaran pada hakikatnya memiliki kejenuhan ketika meraka tidak menemukan jati dirinya sebagai hamba, itulah sebabnya agama sebagai lembaga yang suci selalu membuka diri dan memberikan pencerahan kepada penganutnya. Kesalahan manusia dalam mempresepsikan agama sering mengalami distorsi, bahkan tereduksi dari nilai, akibat pemahaman yang sempi dan doktrin yang berlebihan sehingga bertentangan dengan konsep pluralisme agama. Padahal dalam tataran eksoterik dan esetorik, serta preni (Perennial Philosophy), merupakan toleransi dan jalan kemanusian (humanistik) secara universal agama, dan yang paling mendasar adalah roh atau substansi yang suci terhadap dalam ajaran agama atau disebut spiritualitas agama.

  Pencarian kembali nilai-nilai dasar kemajuan bangsa bisa diawali dengan mengeksplorasi nilai-nilai yang bersumber dari khasanah agama (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan kepercayaan) yang hidup di bumi Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa walaupun secara ekonomi atau pembangunan material relatif tertinggal, kebesaran bangsa Indonesia di mata dunia pada 1-2 dekade setelah merdeka ditentukan oleh kuatnya pengembangan harga diri bangsa dan national character buillding (NCB). Penanaman nilai harga diri bangsa yang tinggi telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa terhormat dan disegani di mata bangsa atau negara lain yang lebih dahulu merdeka dan lebih maju di bidang ekonomi, politik dan keamanan.

DAFTAR PUSTAKA

  Abbas, Zaenal Arifin, 1984. Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta, Pustaka Al Husna. Alwi Shihab.2005, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam; Bingkai gagasan yang berserak” sururin. Amin Abdullah .2007 Islam dan Humanisme, aktualisasi Humanisme Islam ditengah-tengah krisis humanisme universal, yogyakarta pustaka pelajar. Arifin, Syamsul dan Tobrani., Islam: Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: SIPRESS, 1994. Arkoun, Muhammed., “Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran”, http://media.isnet.org/islam/etc/arkou n1.html. Asy‟arie, Musa., Filsafat Islam,Yogyakarta: LESFI, 2002. Banawiratma, J.B., 1993, ”Pandangan Keagamaan Membantu atau Menganggu”, dalam

  Agama dan Masyarakat, Abdurrahman, Bu rhanudin Daya, Djam‟annuri (ed), Yogyakarta, IAIN, Sunan Kalijaga,. Coward, Harold, 1989, Pluralisme : Tantangan bagi Agama-agama, terj. Bosco Carvallo, Yogyakarta, Kanisius.

  Dhavamony, Mariasusai, 1995, Fenomenologi Agama, Terj. Kelompok Studi Agama Drijakara, Yogyakarta, Kanisius.

  Imarah, Muhammad., Islam dan Pluralitas, Jakarta: Gema Insani, 1999.Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Djambatan. Jakarta.

  Muqtafa, M. Khoirul., “Rekonsiliasi Kultural Islam dan Budaya Lokal,” ed: Sururin, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung: Nuansa, 2005. Pomalingo, Samsi., “Pluralisme dan Ikatan Peradaban Manusia”, Makalah, “Diskusi Publik Islam dan Kemaj emukan di Indonesia” kerjasama antara IAIN Sultan Aamay Gorontalo dan Center of Islam and State Studies. Sobari, Wawan., “Mengelola Pluralisme di Indonesia,” http://www.jpip.or.id/ Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan (studi kritis terhadap pemikiran Fazlur Rahman), Kota Kembang: Yogyakarta, 2006.