PENGEMBANGAN INDEKS KETAHANAN PANGAN DAN GIZI TINGKAT KABUPATEN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT DEVELOPING DISTRICT FOOD AND NUTRITION SECURITY INDEX IN DISTRICT BANDUNG BARAT

  Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA)

  ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 2, Nomor 1 (2018): 62-76

PENGEMBANGAN INDEKS KETAHANAN PANGAN DAN GIZI TINGKAT

KABUPATEN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

DEVELOPING DISTRICT FOOD AND NUTRITION SECURITY INDEX IN DISTRICT

*

BANDUNG BARAT

  

Dewi Aprilia Ajeng Lestari , Drajat Martianto, Ikeu Tanziha

  Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor

  • Penulis

  

ABSTRACT

The objectives of this study are to identify indicators food and nutrition security to develop a comprehensive scoring system for food and nutrition security at the district level, and to evaluate the situations of food and nutrition security using developed indicators. There wer e14 indicators selected from 196 potential indicators and a composite index was used to evaluate food and nutrition level in District Bandung Barat. The result showed that food and nutrition situation in District Bandung Barat during 2011-2015 was categorical as insecure. Food availability is a pillar that has been categorized well with the strength in the level of sufficiency energy, protein adequacy and rice sufficiency ratio. The pillar that should be prioritized was food utilization which effort to decreased prevalence of stunting, wasting, underweight, increased infants under 6 month who are exclusive breastfed, decreased chronic energy deficiency pregnant women, increased sanitation facilities and drinking water sources. Sensitive and specific intervention and cross-sectoral cooperation that focused and has a common target are needed to improve food and nutrition security.

  Keyword: composite, district, food and nutrition security index

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi indikator ketahanan pangan dan gizi untuk mengembangkan sistem skoring evaluasi ketahanan pangan dan gizi di tingkat kabupaten, dan mengevaluasi situasi ketahanan pangan dan gizi menggunakan indikator yang dikembangkan. Sebanyak 14 indikator terseleksi dari 196 calon indikator dan analisis indeks komposit digunakan untuk mengevaluasi tingkat ketahanan pangan dan gizi Kabupaten Bandung Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi ketahanan pangan dan gizi di Kabupaten Bandung Barat pada periode 2011-2015 adalah tidak tahan pangan. Pilar ketersediaan pangan merupakan pilar yang telah tergolong baik dengan kekuatan di bidang tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan rasio swasembada beras. Pilar yang harus diprioritaskan adalah pemanfaatan pangan, yaitu upaya untuk menurunkan prevalensi balita

  , meningkatkan persentase bayi 0-6 bulan yang mendapatkan

  stunting, wasting, underweight

  Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif, menurunkan persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK), meningkatkan persentase akses air bersih dan akses sanitasi. Dibutuhkan intervensi sensitif dan spesifik serta kerja sama lintas sektor yang fokus dan memiliki target bersama untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

  : indeks ketahanan pangan dan gizi, kabupaten, komposit

  Kata Kunci

  • Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  

PENDAHULUAN

  Pemenuhan pangan merupakan hak asasi manusia yang harus dicapai karena memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan bangsa (Suryana 2014). Informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan baik diperlukan untuk evaluasi ketahanan pangan dan gizi guna memberikan informasi kepada para pembuat keputusan dalam pembuatan program dan kebijakan untuk lebih memprioritaskan intervensi dan program ketahanan pangan dan gizi (Tono et al. 2016).

  Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat sebagai kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2008, memiliki permasalahan gizi dan kesehatan yang masih cukup tinggi meskipun didukung oleh potensi wilayah dengan komoditas unggulan komparatif maupun kompetitif dibidang pertanian holtikultura (PEMDA KBB 2015). Kondisi ketersediaan pangan yang memadai pada tingkat makro tidak serta merta dapat meningkatkan kualitas konsumsi dan status gizi masyarakat (Barret 2010 & Suryana 2014), serta belum dilakukannya evaluasi mengenai ketahanan pangan dan gizi, membutuhkan suatu pemantauan tentang kondisi ketahanan pangan di wilayah ini dengan menggunakan indikator- indikator kerawanan pangan yang dikembangkan atas dasar karakteristik wilayah tersebut. Saat ini belum tersedia alat ukur pencapaian ketahanan pangan dan gizi yang komprehensif yang dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat ketahanan pangan dan gizi di suatu kabupaten.

  Informasi ketahanan pangan dan gizi yang komprehensif di tingkat global dan indeks untuk komparasi antar negara saat ini telah tersedia seperti Global Food Security Index (GFSI) merupakan indeks yang pertama dikembangkan untuk menilai ketahanan pangan secara komprehensif yang didasarkan pada tiga pilar yaitu keterjangkauan pangan, ketersediaan pangan, dan kualitas dan keamanan pangan. Indeks yang diperoleh dapat digunakan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan intervensi ketahanan pangan dan gizi oleh pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya (EIU 2017). Pada tingkat Nasional Departemen Pertanian dan World Food Program (WFP) telah mengembangkan peta kerentanan pangan yaitu Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA), namun indikatornya masih terfragmentasi oleh sub sistem dan tidak semua indikator dapat diterapkan di wilayah yang berbeda-beda, sehingga diperlukan metode pengukuran ketahanan pangan dan gizi yang sesuai karakteristik wilayah dengan menggunakan tiga pilar ketahanan pangan dan gizi (Barrett 2010; Elzak et al. 2011 & FAO 2006). Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan pengukuran ketahanan pangan dan gizi pada tingkat kabupaten melalui pengembangan indeks yang mengacu pada GFSI yang disesuaikan ketersediaan data di tingkat kabupaten sehingga dapat dijadikan alat atau tolak ukur untuk wilayah kabupaten lainnya.

  

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

  Desain penelitian ini adalah cross sectional study menggunakan data sekunder dengan unit analisis Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

  

purposive dengan pertimbangan lokasi merupakan kabupaten yang baru terbentuk di provinsi

  Jawa Barat dan perlu memiliki evaluasi ketahanan pangan dan gizi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Desember Tahun 2016 hingga bulan April Tahun 2017.

  JEPA, 2 (1), 2018: 62-76 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

  Jenis data sekunder yang digunakan adalah data sekunder tahun 2011-2015 yang berasal dari 1) Badan Pusat Statistik (BPS), 2) Kantor Ketahanan Pangan 3) Dinas Kesehatan3) Dinas Perindustrian dan Perdagangan 4) Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air dan Perairan, 5) Bappeda. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi laporan Neraca Bahan Makanan Kabupaten Bandung Barat sebagai sumber data produksi dan ketersediaan pangan, data Profil Kesehatan, data Bulan Penimbangan Balita (BPB) sebagai data pemanfaatan pangan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), laporan kondisi jalan, pertumbuhan ekonomi, dan data demografi sebagai data keterjangkauan pangan serta studi pustaka pada berbagai literatur.

  Tahapan Penelitian

  Tahap awal dari penelitian ini adalah dari konsep ketahanan pangan dan gizi yang kemudian dioperasionalkan menjadi indikator atau parameter dalam kemasan indeks untuk mengukur sebuah kondisi ketahanan pangan dan gizi (Kusumartono; Dharmawan & Anna 2015). Sebagai sebuah penelitian yang mengembangkan indeks ketahanan pangan dan gizi, secara metodologis langkah yang dilakukan yaitu konseptualisasi dan operasionalisasi.

  Tahap konseptualisasi berupa kajian identifikasi dan disusun sebuah konsepsi mengenai ketahanan pangan dan gizi, Perumusan 198 indikator ketahanan pangan dan gizi mengacu pada Organization (FAO) (22 indikator),

  Food and Agricultural United Nations Children’s Fund

  (UNICEF) (109 indikator), World Health Organization (WHO) (25 indikator), Kebijakan Strategis Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (KS-RANPG) 2016- 2019 (31 indikator) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013-2018 (9 indikator). Konsep yang dipilih adalah yang dapat dioperasionalkan (memiliki pilar dan sejumlah indikator atau parameter sebagai bentuk operasional) dan operasionalisasi konsep adalah penjabaran definisi operasional pada sebuah konsep atau variabel ke dalam sejumlah pilar dan indikator.

  Identifikasi indikator dilakukan untuk evaluasi ketahanan pangan dan gizi dengan mengidentifikasi indikator menurut FAO (2006) yaitu pilar ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan pemanfaatan pangan. Indikator-indikator berdasarkan dari sumber tersebut kemudian dilakukan pengembangan indikator yang sesuai untuk wilayah Kabupaten Bandung Barat, kemiripan atau redundant serta juga dilihat ketersediaan dan spesifitas data pada tingkat kabupaten.

  Indikator-indikator yang teridentifikasi dicantumkan dalam bentuk matrik short list indikator ketahanan pangan dan gizi. Pemilihan indikator tersebut berdasarkan persyaratan indikator yang harus dipenuhi dan dipertimbangkan dalam proses membangun indeks komposit indikatornya harus SMART (Specific, Measurable, achievable, Relevant dan timebound) (Desiere et al. 2015; Escamilla et al. 2017), kualitas indikator harus baik dan tersedia, indikator diorientasikan kedalam 1 atau lebih pilar ketahanan pangan (FAO 2006; Santeramo 2015).

  Pengolahan dan Analisis Data

  Analisis dalam menentukan indeks ketahanan pangan dan gizi di Kabupaten Bandung Barat melalui seleksi calon indikator dengan menggunakan indeks komposit berasal dari serangkaian fakta diamati sehingga dapat mengungkapkan posisi relatif di daerah tertentu dan bila diukur dari waktu ke waktu dapat menunjukkan arah perubahan. Dalam konteks analisis kebijakan, indikator mengidentifikasi trend dalam kinerja dan kebijakan isu-isu tertentu.

  (Burgass et al. 2017; Saisana & Saltelli 2011). Formulasi yang digunakan dalam indeks

  Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  0.19

  III 0.144 Pemanfaatan pangan

  0.28

  8 Prevalensi stunting balita 1 0.643 Status Gizi

  0.21

  9 Prevalensi wasting balita 2 0.643 Status Gizi

  0.20

  10 Prevalensi underweight balita 3 0.643 Status Gizi

  11 Persentase bayi 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Eksklusif 7 0.144 Pemanfaatan pangan

  7 Persentase penduduk miskin 3 0.421 Daya beli

  0.05

  12 Persentase ibu hamil KEK 4 0.357 Status kesehatan

  0.14

  13 Persentase akses sanitasi 5 0.144 Pemanfaatan pangan

  0.11

  14 Persentase akses air bersih 6 0.144 Pemanfaatan pangan

  0.10 Setelah dilakukan pembobotan dengan proksi atau pendekatan menggunakan nilai hasil AHP (Analytical Hierarchy Process), kemudian 3) menentukan nilai batas atas (K) untuk masing- masing indikator adalah sebesar 100, 4) standardisasi skor dengan rumus skor adalah nilai aktual (X) dibagi dengan nilai batas atas (K), dimana skor = r jika r ≤ 100, skor = 100 jika r > 100, 5) menentukan nilai indeks yang diperoleh dari perkalian bobot (B) dengan skor (r) (Sukandar 2017). Nilai indeks diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam klasifikasi agar dapat diketahui situasi ketahanan pangan dan gizi dengan rentang nilai yaitu tahan pangan (≥80%), rentan (70%-

  0.21 Pilar pemanfaatan pangan

  0.19

  komposit ketahanan pangan dan gizi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1) perangkingan dilakukan untuk indikator pilar ketahanan pangan dan gizi. Indikator dalam data set yang berbeda unit pengukuran, diperlukan norrmalisasi agar berada di unit yang sama. Salah satu metode normalisasi yaitu perangkingan, Perangkingan merupakan metode normalisasi yang paling sederhana yang memiliki keuntungan kesederhanaan dan independensinya terhadap outlier. 2) pembobotan dilakukan terhadap pilar ketahanan pangan dan gizi sehingga diperoleh nilai bobot terhadap total (Saisana, Saltelli & Tarantola 2005; Mendola & Volo 2017). Metode pembobotan dilakukan dengan komposisi bobot setiap pilar ketahanan pangan dan gizi menggunakan proksi atau pendekatan indikator berdasarkan hasil AHP (Analytical Hierarchy

  2 Tingkat kecukupan protein 2 0.269 Ketersediaan pangan

  Process ) yang disesuaikan (Tabel 1).

  Tabel 1 Nilai bobot dengan proksi hasil AHP yang disesuaikan

  Hasil AHP Nilai bobot yang disesua ikan Rangking Bobot Indikator NO Indikator

  Pilar Ketersediaan pangan I 0.269 Ketersediaan pangan

  0.40

  1 Tingkat ketersediaan energi 1 0.269 Ketersediaan pangan

  0.40

  0.33

  6 Volatilitas harga beras 4 0.186 Keterjangkauan pangan

  3 Rasio swasembada beras 3 0.259 Cadangan pangan

  0.26 Pilar Keterjangkauan pangan

  II 0.186 Keterjangkauan pangan

  0.32

  4 Proporsi panjang jaringan jalan dalam kondisi baik 2 0.212 Infrastruktur

  0.24

  5 Proporsi pengeluaran konsumsi pangan per kapita 1 0.367 Pendapatan

  0.37

  79%), tidak tahan pangan (≤70%)

  JEPA, 2 (1), 2018: 62-76

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Seleksi terhadap indikator yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan definisi dan konsep ketahanan pangan dan gizi, redundant atau kemiripan data, ketersediaan data dan spesifikasi data pada level kabupaten untuk masing-masing indikator, maka diperoleh matrik

  

short list 14 indikator ketahanan pangan dan gizi yang kemudian dilakukan rasionalisasi

  indikator berdasarkan pilar ketahanan pangan FAO (2006) yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan pemanfaatan pangan, sehingga dapat diidentifikasi hasil seleksi berupa indikator untuk evaluasi ketahanan pangan dan gizi yang sesuai di tingkat kabupaten (Tabel 2).

  Tabel 2 Matrik short list indikator ketahanan pangan dan gizi

  Ketersediaan pangan Keterjangkauan pangan Pemanfaatan pangan

  1. Tingkat

  1. Proporsi panjang jaringan

  1. Prevalensi stunting balita

  kecukupan energi jalan dalam kondisi baik

  2. Prevalensi wasting balita

  (kkal/kap/hari)

  2. Proporsi

  3. Prevalensi underweight 2.

  balita Tingkat pengeluaran konsumsi kecukupan protein pangan per kapita

  4. Persentase bayi 0-6 bulan

  yang mendapatkan ASI (g/kap/hari)

  3. Volatilitas harga beras

  4. Eksklusif

  3. Rasio Persentase

  penduduk miskin

  5. Persentase ibu hamil KEK

  swasembada beras 6.

  Persentase akses sanitasi 7. Persentase akses air bersih

  Hasil seleksi indikator yang diperoleh (Tabel 2) dianalisis menggunakan indeks komposit dan pembobotannya menggunakan sistem perangkingan dengan proksi atau pendekatan pada hasil AHP (Analytical Hierarchy Process) yang komposisi bobotnya disesuaikan untuk indikator pilar ketahanan pangan dan gizi (Tabel 1). Hal ini juga sejalan dengan metode pembobotan Global Food Security Index (GFSI) (2017), bobot yang diberikan pada masing-masing kategori dan indikator melalui panel. Pilar ketersediaan pangan memperoleh bobot yang paling besar, diikuti oleh pilar keterjangkauan pangan dan pilar pemanfaatan pangan dengan nilai bobot masing-masing sebesar 40%, 32% dan 28%.

  Hasil analisis menunjukkan bahwa situasi ketahanan pangan dan gizi di Kabupaten Bandung Barat adalah kategori kurang tahan pangan pada tahun 2011, 2012, 2013, dan pada tahun 2014 kondisinya mengalami penurunan menjadi kategori sangat kurang tahan pangan meskipun dapat naik kembali ke kategori kurang tahan pangan pada tahun 2015 (Gambar 1, 2 dan Tabel 3). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Dinas Pertanian dan Kantor Ketahanan Pangan di Kabupaten Bandung Barat, penurunan yang terjadi pada tahun 2014 dapat disebabkan oleh tingkat ketersediaan energi dan tingkat kecukupan protein yang mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, dan juga disebabkan oleh penurunan produksi beras pada tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian Dwinugraha (2016) penurunan produksi padi yang terjadi di kabupaten dipengaruhi oleh penurunan lahan pertanian, Stagnannya produktivitas tanaman pangan karena terbatasnya kapasitas produksi yang disebabkan oleh rendahnya teknologi inovasi dan sarana produksi, rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal, aksesibilitas yang terbatas untuk sumber permodalan (Nainggolan 2008).

  Produksi beras yang mengalami penurunan dapat disebabkan oleh banjir, bencana alam, kekeringan dan keadaan cuaca atau iklim yang kurang mendukung pada sektor pertanian (EIU

  Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  53.78

  Gambar 1 Indeks Ketahanan pangan dan gizi Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011-2015

  80.00 100.00 2011 2012 2013 2014 2015

  60.00

  40.00

  20.00

  0.00

  58.93

  46.74

  57.36

  53.78

  53.16

  58.93

  46.74

  57.36

  53.16

  2017). Adanya bencana alam berupa longsor dan banjir serta peralihan fungsi lahan pertanian di wilayah Kabupaten Bandung Barat yang dapat dilihat dari persentase lahan irigasi pertanian yang diperoleh dari luas lahan sawah dibandingkan dengan luas lahan irigasi cenderung menurun yaitu dari 66% pada tahun 2011 menjadi 53% pada tahun 2015 merupakan salah satu penyebab yang mempengaruhi berkurangnya rantai pasokan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung (Hidayat, Soeharso & Widodo 2009).

  32.38

  Tabel 3 Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011-2015

  Pilar Tahun 2011 Tahun

  2012 Tahun 2013 Tahun

  2014 Tahun 2015 1) Ketersediaan Pangan

  91.05 92.10 100.00 72.32 100.00 2) Keterjangkauan pangan

  31.32

  30.10

  25.15

  33.28

  36.54 3) Pemanfaatan pangan

  23.35

  22.84

  26.92

  25.15

  Kategori: Sangat Tahan Pangan ≥ 80%; rentan 70-79%; tidak tahan pangan ≤70%

  JEPA, 2 (1), 2018: 62-76 Tahun 2011 100.00

  91.05

  90.00

  80.00

  70.00

  60.00

  31.32

  50.00 100

  40.00

  23.35

  92.10 Tahun 2015 Tahun 2012

  30.00

  20.00

  36.54

  32.38

  22.84

  25.15

  10.00

  0.00 1) Ketersediaan Pangan

  26.92

  25.15

  30.10 2) Keterjangkauan pangan

  33.28 3) Pemanfaatan pangan

72.32 Tahun 2014 Tahun 2013 100

  Gambar 2 Indeks ketahanan Pangan dan Gizi Kabupaten Bandung Barat Per per pilar Tahun 2011-2015

  Ketersediaan Pangan

  Ketersediaan pangan merupakan ukuran dari jumlah pangan yang tersedia secara fisik dalam populasi serta harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Pangaribowo 2013) kondisi tersedianya pangan (termasuk pangan kaya gizi) dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan, serta pemasukan pangan, termasuk didalamnya impor dan bantuan pangan, apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan (WFP 2015). Undang-undang pangan yang menyatakan bahwa “pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas”. Kebijakan dan strategi untuk meningkatkan ketersediaan pangan telah terdapat di dalam UU No 18 Tahun 2012 yang di dalamnya mencakup kedaulatan pangan, swasembada pangan, kemandirian pangan dan keamanan pangan.

  Indikator yang digunakan untuk mengukur ketersediaan pangan adalah tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan rasio swasembada beras. Tingkat kecukupan energi menggambarkan jumlah ketersediaan energi untuk konsumsi per kapita dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE). Tingkat kecukupan protein digambarkan melalui ketersediaan protein yang mencakup protein nabati dan protein hewani untuk konsumsi per kapita yang dibandingkan angka kecukupan protein (AKP). Rasio antara jumlah jumlah produksi beras domestik dan total ketersediaan relevan sebagai indikator kemandirian pangan. Semakin tinggi rasio menunjukkan kemandirian pangan suatu wilayah semakin rendah. Rasio swasembada beras tahun 2011-2015 di Kabupaten Bandung Barat adalah 100%, hal ini sejalan dengan kemandirian pangan suatu wilayah secara absolut atau swasembada beras secara penuh

  • Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  jika kebutuhan beras masyarakat seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri tanpa adanya impor (Suryana & Kariyasa 2008).

  Beras merupakan pangan pokok penduduk Kabupaten Bandung Barat. Swasembada beras yang telah diraih Kabupaten Bandung Barat telah sejalan dengan kondisi nasional yang telah mencapai swasembada beras pada tahun 2007, kondisi ini harus tetap dipertahankan dan perlu dilakukan beberapa upaya dalam jangka panjang untuk meningkatkan produksi beras (DKP & WFP 2015) yaitu mengatasi masalah yang ditimbulkan karena konversi lahan sawah ke non sawah, meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi, menambah dan memperbaiki infrastruktur irigasi serta insentif bagi petani untuk memproduksi tanaman pangan. selain tantangan dalam hal peningkatan produksi pertanian, pada negara berkembang tantangan lainnya adalah penanganan pasca panen yang diperkirakan kerugian dapat mencapai 60 persen dari total produksi.

  Ketersediaan pangan merupakan pilar yang paling baik karena mendekati nilai maksimal yaitu angka 100 (Gambar 2). Nilai indeks pilar ketersediaan pangan yang diperoleh pada rentang waktu tahun 2011-2015 cenderung mengalami kenaikan meskipun terjadi penurunan nilai skor pada tahun 2014 (72.02%). Tingkat ketersediaan energi dan protein (Cafiero et al. 2014) Kabupaten Bandung Barat hingga tahun 2015 sudah mencukupi walaupun ada yang belum masuk pada kategori ideal, berdasarkan WNPG ke VIII tahun 2004 menetapkan nilai ideal tingkat ketersediaan energi sebesar 2200 kkal/kap/hari dan protein 57 g/kap/hari dan Standar Pelayanan Minimal tahun 2011 menetapkan target ketersediaan energi dan protein per kapita adalah 90% pada tahun 2015. Oleh karena itu, ketersediaan energi Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2014 sebesar 1183 kkal/kap/hari (53.77%) dan ketersediaan protein sebesar 41.55 g/kap/hari (72.89%) belum dinyatakan ideal. Tingkat ketersediaan energi dan protein yang cenderung menurun pada rentang waktu 2011-2015 perlu segera diatasi untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk melalui ketersediaan pangan yang dimiliki (Prasetiyani & Widiyanto 2013).

  Keterjangkauan pangan

  Keterjangkauan pangan merupakan kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya, meliputi akses ekonomi, fisik, dan sosial (FAO 2015). Akses fisik: infrastruktur pasar, akses untuk mencapai pasar dan fungsi pasar; akses ekonomi: kemampuan keuangan untuk membeli makanan yang cukup dan bergizi; dan akses sosial: modal sosial yang dapat digunakan untuk mendapatkan mekanisme dukungan informal. Indikator yang digunakan untuk akses fisik adalah proporsi panjang jaringan jalan dalam kondisi baik, akses ekonomi digambarkan dari volatilitas harga beras, proporsi pengeluaran pangan per kapita dan persentase penduduk miskin. Akses sosial yang merupakan program bantuan sosial tidak dapat digambarkan karena tidak adanya ketersediaan data pada tingkat kabupaten.

  Akses ekonomi terhadap makanan merupakan penentu utama dalam kerawanan pangan dan gizi, meskipun pangan tersedia dengan baik di pasar, jika akses rumah tangga terhadap pangan masih rendah yang tergantung dari pendapatan rumah tangga dan stabilitas harga pangan, maka masyarakat tidak akan memperoleh pangan yang dibutuhkan. Seseorang yang hidup di bawah ambang batas US$ 1,25-Purchasing Power Parity (PPP) Bank Dunia Per hari secara global dikategorikan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan garis kemiskinan nasional Rp 326.853 per orang/bulan untuk pedesaan pada tahun September 2014 dan pada tahun 2016 kemiskinan di Indonesia di definisikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dengan membuat kriteria besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan. Dalam konteks itu, pengangguran dan rendahnya penghasilan menjadi pertimbangan

  JEPA, 2 (1), 2018: 62-76

  untuk penentuan kriteria tersebut. 14 kriteria tersebut yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal

  2

  kurang dari 8m per orang, jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester, tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam dalam satu kali seminggu, hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun, hanya sanggup makan sebanyak satu kali/dua kali dalam sehari, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik,

  2

  sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500m , buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,- per bulan, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga yaitu tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi, maka suatu rumah tangga dianggap miskin (BPS 2016). Persentase penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat cenderung mengalami penurunan dari tahun 2011 sebesar 14.22% menjadi sebesar 12.20% pada tahun 2015.

  Jaringan jalan berkualitas tinggi dibangun oleh Pemerintah pusat dan daerah, khususnya Kabupaten Bandung Barat yang dapat mengurangi resiko biaya perdagangan dan meningkatkan akses ke pasar. Sarana transportasi yang dikembangkan dapat menurunkan harga pangan, sekaligus mendukung peningkatan pendapatan petani dengan mengurangi biaya-biaya perantara yang terkait kerusakan, transportasi dan ketidaksempurnaan rantai pasokan lainnya (DKP & WFP 2015). Proporsi panjang jaringan dalam kondisi baik merupakan semua ruas jalan dimana permukaan perkerasan, bahu jalan dan saluran samping dalam kondisi baik menurut kriteria teknis (tingkat kerusakan ≤ 6 %) selama 2 tahun mendatang tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan, sehingga arus lalu lintas dapat berjalan lancar sesuai dengan kecepatan disain, jalan dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 60 km/jam dan tidak ada hambatan yang disebabkan oleh kondisi jalan. Dari segi infrastruktur dan kepadatan jalan yang secara fisik mendukung ketahanan pangan dan gizi di Kabupaten Bandung Barat masih belum terpenuhi, hal ini dapat dilihat dari proporsi panjang jaringan jalan dalam kondisi baik yang mengalami kenaikan dari 31.95% menjadi 49.91%.

  Volatilitas adalah variasi dari variabel ekonomi sepanjang waktu. Variasi harga menjadi masalah jika variasi tersebut besar dan tidak dapat diantisipasi sehingga dapat meningkatkan risiko bagi produsen, konsumen dan pemerintah (FAO et al. 2011). Volatilitas digunakan untuk mengukur seberapa jauh sebaran nilai flukutasi terhadap nilai rata-rata pada data deret waktu (Asmara 2011). Gilbert dan Morgan (2010) menyatakan volatilitas adalah ukuran yang digunakan untuk membahas variabilitas harga atau kuantitas, fokus pada standar deviasi yang dapat mempengaruhi banyak aspek seperti, ketahanan pangan, pasar finansial, dan perdagangan (Miguez dan Michelena 2011) dan berhubungan dengan harga suatu komoditas seperti komoditas pertanian.

  Pilar keterjangkauan pangan cenderung mendekati kearah nilai minimal (Gambar 2), nilai indeks keterjangkauan pangan yang diperoleh menunjukkan derajat kemampuan Kabupaten Bandung Barat untuk memperoleh bahan pangan. Pada rentang waktu tahun 2011-2015, terjadi satu kali penurunan keterjangkauan pangan pada tahun 2013 (30.10%). Menurunnya nilai keterjangkauan pangan ini sejalan dengan penurunan ketersediaan pangan yang akhirnya terjadi pada tahun berikutnya yaitu tahun 2014. Masih tingginya persentase penduduk miskin,

  • Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  meskipun pendapatan mengalami kenaikan di suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi melalui Product domestic Regional Bruto (PDRB) per kapita, hal ini masih tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap keterjangkauan pangan yang mengalami pengurangan. Persentase penduduk miskin yang masih besar (12%) serta rumah tangga dengan pendapatan rendah akan mendahulukan pengeluaran untuk kebutuhan pangan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Proporsi pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga per kapita yang masih besar mengalami kenaikan dari 54% pada tahun 2011 menjadi 56% pada tahun 2015 serta akses infrastruktur (EIU 2017) seperti proporsi panjang jaringan jalan dalam kondisi baik (50%), perlu menjadi perhatian oleh pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat.

  Menurunnya akses secara fisik akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap volatilitas harga pangan pokok, dalam hal ini adalah beras. Volatilitas beras yang cenderung naik sepanjang tahun mengindikasikan masih adanya permasalahan terkait keterjangkauan pangan. Volatilitas harga beras di Kabupaten bandung Barat dapat diperoleh dari persentase penghitungan standar deviasi dibandingkan dengan rata-rata harga beras selama tahun 2011 hingga tahun 2015 yang cenderung mengalami kenaikan yaitu dari sebesar 3.46 % pada tahun 2011 menjadi 7.51 % pada tahun 2015. Harga pangan dan adanya guncangan produksi dan konsumsi pangan yang disebabkan oleh elastisitas permintaan dan penawaran mengakibatkan terjadinya volatilitas harga (Gilbert & Morgan 2010; Torero 2011; Braun & Tadesse 2012).

  Mempertahankan harga pangan yang rendah dan stabil sangat diperlukan meskipun fluktuasi harga pangan juga dipengaruhi oleh faktor global yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah. Dalam mengatasi kemiskinan, diperlukan peningkatan kapasitas penghasilan dan mata pencaharian melalui program pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan karakteristik pedesaan yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat dengan cara menghidupkan kembali sektor pertanian menjadi prioritas utama, yang tentunya hal ini akan membutuhkan strategi investasi komprehensif seperti peningkatan investasi pada bidang infrastruktur jalan dan peningkatan partisipasi sektor swasta dalam hal mengolah hasil pertanian, penyuluhan dan riset dalam bidang pertanian.

  Pemanfaatan Pangan

  Pemanfaatan pangan merupakan ukuran kemampuan populasi mendapatkan asupan dan penyerapan zat gizi yang cukup (Pangaribowo 2013), ketersediaan dan keterjangkauan pangan tidak selalu menjamin kualitas gizinya, komponen inti ketahanan pangan meliputi pemanfaatan gizi yang mencerminkan kualitas makanan untuk gaya hidup aktif dan sehat, serta merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (Barrett 2010; Soon & Tee 2014).

  Pada pilar pemanfaatan pangan, digunakan 8 indikator yaitu stunting, wasting dan

  

underweight pada balita, persentase bayi 0-6 bulan yang memperoleh ASI Eksklusif, KEK

  (Kurang Energi Kronis) pada ibu hamil, akses air bersih dan akses sanitasi. Nilai cut-off untuk prevalensi stunting yang signifikan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yaitu <20% (prevalensi rendah), 20-29% (prevalensi sedang), 30-

  39% (prevalensi tinggi), ≥ 40% (prevalensi sangat tinggi) (WHO 2010). Prevalensi stunting di Kabupaten Bandung Barat telah mengalami penurunan yaitu dari prevalensi sedang (24.13%) menjadi prevalensi rendah (11.56%) dan berada dibawah target tahun 2019 dari indikator outcome perbaikan pangan gizi yaitu sebesar 28% (DKP 2016). Nilai cut-off untuk prevalensi wasting yang signifikan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yaitu <5% (dapat diterima), 5-9% (buruk) 10-

  14% (serius), ≥ 15% (kritis) (WHO 1995). Permasalahan wasting di Kabupaten Bandung barat berada pada nilai cut-off yang dapat diterima yaitu prevalensi <5% yang mengalami penurunan dari 4.15% pada tahun 2011 JEPA, 2 (1), 2018: 62-76

  menjadi sebesar 2.89% pada tahun 2015 dan berada dibawah target tahun 2019 dari indikator outcome perbaikan pangan gizi yaitu sebesar 9.5% (DKP 2016). Nilai cut-off untuk prevalensi

  

underweight yang signifikan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yaitu <10%

  (prevalensi rendah), 10-19% (prevalensi sedang), 20- 29% (prevalensi tinggi), ≥ 30% (prevalensi sangat tinggi) (WHO 1995).

  Capaian untuk cakupan ASI Eksklusif yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat cenderung mengalami kenaikan yaitu dari 46.97% pada 2011 menjadi sebesar 69.38% pada tahun 2015, hal ini menunjukkan bahwa kinerja dinilai baik karena persentase bayi 0-6 bulan mendapatkan ASI eksklusif sesuai dengan target Direktorat Jenderal bina Gizi dan KIA yaitu sebesar 39% pada tahun 2015 dan target pada tahun 2019 sebesar 50% menurut indikator outcome perbaikan pangan dan gizi (DKP 2016). Penilaian kinerja persentase ibu hamil KEK dalam kategori baik dan telah sesuai target yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA yaitu terjadi penurunan menjadi sebesar 24.2% pada tahun 2015. Cakupan ibu hamil KEK yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat cenderung rendah yaitu hanya sebesar 2%- 3% pada tahun 2011-2015. Dilihat dari aspek kesehatan lingkungan, kondisi yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat semakin membaik dari tahun 2011 hingga tahun 2015 yaitu akses terhadap sanitasi yang telah mencapai 80.5% dan akses air bersih sebesar 82.27%, telah mencapai target dari Kemenkes yaitu pencapaian sebesar 50% pada tahun 2015.

  Kurangnya asupan gizi pada ibu hamil KEK (Kurang Energi Kronik) akan mengakibatkan Status gizi balita (stunting, wasting, & underweight) yang tercermin dalam antropometri sebagai dalam proksi dalam pemanfaatan pangan dipengaruhi oleh asupan pangan, akses terhadap air bersih dan sanitasi (Jones et al. 2013; Kavosi et al. 2014), praktek perawatan (pemberian ASI Eksklusif pada bayi berumur 0-6 bulan) serta terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku sanitasi dasar dengan kejadian diare (Taosu & Azizah 2013), faktor penentu kejadian stunting adalah perilaku sanitasi lingkungan buruk, berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan status gizi balita (Cahyono et al. 2016; Fink et al. 2011; Monteiro et al. 2010; Spears et al. 2013).

  Pilar pemanfaatan pangan memiliki nilai terendah dibandingkan pilar ketersediaan dan keterjangkauan pangan. Menurunnya skoring pada pilar pemanfaatan pangan pada tahun 2012 diikuti pada tahun 2013 juga terjadi penurunan keterjangkauan pangan yang akhirnya berpengaruh pada tahun 2014 ketersediaan pangan juga mengalami penurunan. Penurunan pada tahun 2012 dapat pula disebabkan oleh kondisi yang terjadi pada tahun sebelum 2011 yang tidak dapat dilakukan pengukuran melalui indeks ketahanan pangan dan gizi. Kondisi ketersediaan pangan yang baikdi Kabupaten Bandung Barat didukung dengan keterjangkauan yang juga relatif baik belum dapat meningkatkan status gizi dan kesehatan dalam hal ini adalah pilar pemanfaatan pangan. Dukungan dari pemerintah berupa undang-undang mengenai pangan melibatkan pula peran sektor swasta dan masyarakat, namun masih belum terintegrasi dengan baik sehingga belum memberikan daya ungkit yang signifikan dalam peningkatan status gizi masyarakat.

  Perlu dilakukan intervensi dalam menanggulangi penurunan pemanfaatan pangan baik secara sensitif maupun spesifik. Diperlukan dukungan dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan gizi dan kesehatan melalui kebijakan kesehatan yang mendukung peningkatan ketahanan pangan dan gizi. Mengacu pada target ya ng ada dalam SDG’s pada tahun 2030, yaitu mengakhiri kelaparan, akses yang aman dan makanan yang cukup dan bergizi untuk setiap orang, definisi zero hunger tersebut juga terdapat dalam konsep ketahanan pangan dan gizi sehingga alternatif metrik atau kumpulan data sebagai alat menilai kemajuan yang telah dicapai melalui indeks ketahanan pangan dan gizi akan membantu mengidentifikasi kesenjangan dalam sistem ekonomi, politik dan sosial yang akan membantu memenuhi target SDG’s pada tahun

  • Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  2030. Input dan struktur sistem pangan mendukung ketahanan pangan dan gizi yang dapat memberikan roadmap atau peta jalan mencapai zero hunger

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  1. Hasil seleksi terhadap 196 calon indikator diperoleh sebanyak 14 indikator yang memenuhi persyaratan.

  2. Dari indikator yang memenuhi persyaratan digunakan untuk sistem skoring dalam

  pengembangan indeks ketahanan pangan dan gizi pada tingkat kabupaten berdasarkan pilar ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.

  

3. Skoring menggunakan indeks komposit dari rentang waktu tahun 2011-2015 dapat

  diketahui situasi ketahanan pangan dan gizi Kabupaten Bandung Barat berada pada kondisi tidak tahan pangan dengan skoring masing-masing adalah 53.16%; 53.78%; 57.36%; 46.74% dan 58.93%.

  Saran 1.

  Indikator-indikator dalam pengembangan indeks ketahanan pangan dan gizi dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi pada tingkat kabupaten melalui nilai indeks ketahanan pangan yang diperoleh sebagai acuan dalam perencanaan program penguatan ketahanan pangan dan gizi.

  2. Intervensi spesifik dan sensitif diperlukan untuk memperbaiki pemanfaatan pangan yaitu adanya intervensi ketahanan pangan dan gizi yang efektif dengan berbasis masyarakat pada target populasi rentan yaitu balita, ibu hamil dan menyusui dan tindakan pencegahan melalui kebijakan yang telah berjalan, program jaring pengaman.

  3. Program dalam jangka panjang melalui kebijakan yang mempromosikan pengentasan kemiskinan melalui lapangan pekerjaan dan pertumbuhan produktivitas masyarakat miskin, peningkatan produktivitas tanaman pangan, terutama pangan yang dapat menanggulangi defisiensi micronutrient.

  4. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan validasi menggunakan data wilayah kabupaten lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

  Asmara A. 2011. Dampak Volatilitas Variabel Ekonomi terhadap Kinerja Sektor Industri Pengolahan dan Makroekonomi Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

  Barrett BC. 2010. Measuring Food Insecurity. Science Vol 327, 825-828 (2010); DOI; 10.1126/science.1182768

  [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bandung Barat menurut lapangan usaha tahun 2011-2015. Kabupaten bandung Barat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat. Braun JV, Tadesse G. 2012. Food security, Commodity Price Volatility, and the Poor.

  Institutions and comparative Economic Development pp 298-312.

  JEPA, 2 (1), 2018: 62-76

  Burgass MJ, Halpern BS, Nicholson E, Gulland EJM. 2017. Navigating Uncertainty in Enviromental Composite Indicators. Ecological Indicators 75 (2017) 268-278. Cafiero C, Melgar-Quiñonez H, Ballard T, Kepple A. 2014. Validity and reliability of food security measures. Ann. N. Y. Acad. Sci. 1331, 230

  • –248. Cahyono F, Manongga SP, dan Picauly I. 2016. Faktor penentu stunting anak balita berbagai zona ekosistem di Kabupaten Kupang. J Gizi Pangan 11(1):9-18.

  [DKP] Dewan Ketahanan Pangan dan [WFP] World Food Program. 2015. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015. Jakarta. Desiere S, D’Haese M, Niragira S. 2015. Assessing the cross-sectional annd inter-temporal validity of the household food insecurity access scale (HFIAS) in Burundi. Public

  Health Nutr. 18 (15), 2775-2785. Dwinugraha AP. 2016. Formulasi Instrumen Kebijakan Lingkungan di Kabupaten Banyuwangi.

  JKMP, vol 4, No 2, september 2016, 117-234. Elzak RM, Elbushra AA, Ahmed SEH dan Mubarak AM. 2011. The Role Livestock Production on Food Security Sudan: Rural White Nile Estate. Online Journal of animal and Feed

  Research. Volume 1 Issue 6: 439-443 (2011). Escamilla RP, Gubert MB, Rogers B, Fiedler AH. 2017. Food Security Measurement &

  Governance: assesment of the Usefulness of Diverse Food Insecurity indicators for Policy Makers. Global Food Security, Volume 14, September 2017. Pages 96-104. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2006. The right to food in Practice, Implementation at The National Level.FAO, Rome.

  • – ____________________________________. 2011. The State of Food and Agriculture Women in Agriculture – Closing the Gender Gap for Development, FAO, Rome.

  ____________________________________. 2015. Food Insecurity an Vulnerability Information and Mapping System. [diunduh 2016 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.gripweb.org/gripweb/?q=countries-riskinformation/databases- information- systems/food-insecurityand vulnerability. Fink G, Gunther I, Hill K. 2011. The effect of water and sanitation on child health: evidence from the demographic and health surveys 1986-2007. Int J Epidemiol 40:1196-

  1204.doi:10.1093/ije/dyr102. Gilbert CL, Morgan CW. 2010. Food Price Volatility. Philosophical Transactions of The Royal.

  Society .B 365. 3023 –3034. doi:10.1098/rstb.2010.0139.

  Hidayat N, Soeharso dan Widodo S. 2009. Keberlanjutan sistem Usahatani Integrasi Tanaman- Ternak Pasca Bencana alam Gempa Bumi di Daerah Yogyakarta. Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009: 30-35 ISSN 1693-8828.

  [HLPE] High Level Panel of Expert. 2011. Price Volatility and Food Security. Roma (IT): High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition of the Committee on World Food Security.

  [EIU] Economist Intelegence Unit. 2017. Measuring Food Security and the Impact of Resource Risk. New York, USA: A Report From The Economist Intelligence Unit. Jones, A.D., Ngure, F.M., Pelto, G., Young, S.L., 2013. What are we assessing when we measure food security? A compendium and review of current metrics. Adv. Nutr.: Int.

  Rev. J. 4 (5), 481 –505. Kavosi E, Rostami ZH, Kavosi Z, Nasihatkon A, Moghadami M, Heidari M. 2014. Prevalence and determinants of under-nutrition among children under six: a cross-sectional survey in Fars province. Int J Health Policy Manag 3(2):71-76.doi:10.15171/ijhpm.2014.63.

  • Dewi Aprilia Ajeng Lestari Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan dan Gizi ..............................

  Kusumartono FX.H, Sapei A, Dharmawan AH, Anna Z. Formulasi indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan Air bersih pulau-pulau kecil (studi kasus : provinsi nusa tenggara timur). Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No. 2, Juli 2015, Hal 78-139. Mendola D, Volo S. 2017. Building composite Indicators in Tourism Studies: Measurements and Applications in Tourism Destination Competitivenes. Tourism Management,

Dokumen yang terkait

SISTEM PEMBAGIAN HASIL PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KABUPATEN KUPANG (STUDI KASUS DESA RETRAEN KECAMATAN AMARASI) SYSTEMS DIVISION RESULTS BUSINESS FATTENING IN THE DISTRICT KUPANG (CASE STUDY VILLAGE RETRAEN DISTRICT OF AMARASI) Nelson Hasdy Kario

0 0 8

KARAKTERISTIK HUTAN RAKYAT JATI DAN SENGON SERTA MANFAAT EKONOMINYA DI KABUPATEN MALANG CHARACTERISTIC OF COMMUNITY FOREST (Tectona grandis and Paraserienthes falcataria) AND ITS ECONOMIC BENEFIT IN MALANG DISTRIC Rika Ratna Sari1 , Kurniatun Hairiah1 , S

0 0 9

POLA KONSUMSI DAN ESTIMASI PERMINTAAN DAGING AYAM RAS (BROILER) PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI JAWA TIMUR: PENERAPAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS) CONSUMPTION AND DEMAND ESTIMATION OF BROILER CHICKEN AT HOUSEHOLD LEVEL IN EAST JAVA: IM

1 2 10

PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BUNGA POTONG KRISAN DI KECAMATAN SAMIGALUH KULONPROGO AGRIBUSINESS DEVELOPMENT PROSPECTS OF FLOWERS CHRYSANTHEMUM IN THE DISTRICT OF SAMIGALUH KULONPROGRO

0 0 8

THE INFLUENCE OF FARMERS’S GROUP TOWARD SELF RELIANCE IN THE ORGANIC FARMERS’S OF PAGUYUBAN AL-BAROKAH, KETAPANG VILLAGE, SUSUKAN DISTRICT SEMARANG REGENCY, CENTRAL JAVA

0 0 8

KEMAMPUAN ADHESI Escherichia coli HEMAGLUTINASI DAN SMAC POSITIF ISOLAT SAPI POTONG PADA SEL EPITEL BUKALIS SECARA IN VITRO ADHESION ABILITY OF HAEMAGLUTINATED Escherichia coli AND POSITIVE SMAC OF ISOLATED BEEF CATTLE ON BUKALIS EPITHELIAL CELLS IN VITRO

0 0 9

IDENTIFIKASI DAN PENENTUAN JENIS TANAH DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT IDENTIFICATION AND DETERMINATION OF LAND IN THE DISTRICT WEST SERAM

0 0 11

PENGARUH ATMOPHERICS STIMULI TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN BUAH-BUAHAN (STUDI KASUS DI ISTANA BUAH BLIMBING, MALANG) THE INFLUENCE OF ATMOSPHERICS STIMULI TOWARDS THE FRUIT CONSUMER PURCHASE INTENTION (CASE STUDY IN ISTANA BUAH BLIMBING, MALANG) Elizabeth

0 0 9

PENGOLAHAN RED DEVIL WADUK SERMO MENJADI ASAM AMINO SEBAGAI SUMBER NUTRISI TANAMAN DURIAN PROCESSING RED DEVIL SERMO RESERVOIR INTO AMINO ACID AS SOURCE OF DURIAN PLANT NUTRITION Rahilla Apria Fatma

0 0 6

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS USAHATANI TEBU LAHAN SAWAH DAN LAHAN KERING DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) TECHNICAL EFFICIENCY ANALYSIS OF SUGARCANE FARMING ON WET AND DRY LAND USING DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) APPROACH

0 1 7