ANALISIS SUSEPTIBILITAS MAGNETIK HASIL OKSIDASI MEGNETIT MENJADI HEMATIT PASIR BESI PANTAI SUNUR KOTA PARIAMAN SUMATERA BARAT Helvy Trilismana, Arif Budiman

  

ANALISIS SUSEPTIBILITAS MAGNETIK HASIL OKSIDASI

MEGNETIT MENJADI HEMATIT PASIR BESI PANTAI SUNUR KOTA

PARIAMAN SUMATERA BARAT

Helvy Trilismana, Arif Budiman

  Laboratorium Fisika Bumi, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang, 25163

  

Email: evytetoedd@yahoo.com, arifbudiman@fmipa.unand.ac.id

ABSTRAK

  

Telah dilakukan penelitian tentang analisis suseptibilitas magnetik hasil oksidasi magnetit pasir besi

menjadi hematit menggunakan metode Anisotropy of Magnetic Susceptibility (AMS). Pasir besi

diperoleh dari Pantai Sunur, Kota Pariaman, Sumatera Barat. Oksidasi mineral magnetik dilakukan

dengan temperatur 100°C, 200°C, 300°C, 400°C, 500°C, 600°C, 700°C dan 800°C, masing-masing

selama 15 jam. Dari hasil perhitungan, nilai suseptibilitas sampel berkisar dari 23,2 × 10-8 m3/kg

sampai dengan 3685,0 × 10-8 m3/kg. Hasil oksidasi menunjukkan bahwa pemanasan dengan pada

temperatur kurang dari 500°C menyebabkan fluktuasi nilai suseptibilitas dan pemanasan pada

temperatur 500°C ke atas menyebabkan turunnya nilai suseptibilitas. Hasil oksidasi pada temperatur

400°C, 600°C, 700°C dan 800°C menghasilkan perubahan warna menjadi kecoklatan dan ungu.

Pada temperatur 700°C, sebagian besar magnetit berubah menjadi hematit dimana nilai suseptibilitas

turun sekitar 95,0%. Analisis dengan metode difraksi sinar-X memperlihatkan bahwa pada

temperatur 500°C telah terjadi hematit. Kata Kunci : Pasir besi, mineral magnetik, magnetit, oksidasi dan hematit

  

ABSTRACT

The research on the analysis of magnetic susceptibility of oxidation of magnetite into hematite of

irond sand using anisotropy of magnetic susceptibility (AMS) method has been conducted. Iron sand

was obtained from Sunur Beach in Pariaman, West Sumatra. The oxidation of magnetic minerals

was done at temperature of 100°C, 200°C, 300°C, 400°C, 500°C, 600°C, 700°C and 800°C, each

for 15 hours. Result shows that the susceptibility values for all samples ranged from 23.2 × 10-8

m3/kg up to 3685.0 × 10-8 m3/kg. The results also showed that the oxidation at heating temperature

less than 500°C causes fluctuations in the susceptibility and at heating temperature 500°C and

above caused a decline in the value of susceptibility. Meanwhile the result of oxidation at

temperatures of 400°C, 600°C, 700°C and 800°C causes samples color change to brown and purple.

At temperature of 700°C, most of the magnetite have changed into hematite where susceptibility has

decreased into approximately 95.0%. Analysis by the method of X-ray diffraction showed that the

hematite started to form at the oxidation temperature of 500 ° C. Keyword: iron sand, magnetic minerals, magnetite, oxidation and hematite I.

   PENDAHULUAN

  Di Provinsi Sumatera Barat dan beberapa wilayah lain di Indonesia, terdapat pasir besi yang potensinya cukup besar. Pasir besi banyak dijumpai di sepanjang pantai dan sangat mudah untuk ditambang. Sayangnya selama ini pasir besi dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga pendayagunaan seperti ini tentu saja tidak efektif. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa bahan alam pasir besi kaya akan mineral yang mengandung besi. Mineral yang mendominasi pasir besi adalah magnetit (Fe 3 O 4 ) (Yulianto, dkk., 2003). Beberapa produk industri untuk berbagai keperluan ternyata dibuat dengan bahan dasar magnetit yang banyak terdapat pada pasir besi, misalnya sebagai tinta kering (toner) pada mesin photo-copy dan

  

printer laser (Irvan dan Bijaksana, 2006) dan sebagai bahan dasar pembuatan besi baja yang

  telah dilakukan studinya dalam bentuk pellet (Muta’alim, dkk., 1995 dalam Yulianto, dkk., 2003). Selain itu, mineral magnetit pasir besi juga sangat potensial diolah menjadi bahan industri lain, seperti pewarna serta campuran (filter) untuk cat. sehingga hal ini dapat meningkatkan nilai ekonomis pasir besi.

  Dengan menambahkan oksigen (oksidasi) pada magnetit akan mengubah bahan ini 2 O 3 ), bergantung pada temperatur proses. Hematit yang dihasilkan dari menjadi hematit (α-Fe oksidasi magnetit lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar dalam industri baja dibandingkan magnetit, karena mempunyai sifat mekanik yang kuat dan tidak mudah terkorosi (Priyono, dkk., 2004). Selain itu, karena hematit memiliki kadar besinya tinggi, mencapai 66%, mineral ini banyak digunakan sebagai bahan dasar pembentukan senyawa ferrit (Smallman dan Bishop., 1999). Karena hematit jarang dijumpai di alam, maka untuk mendapatkan hematit dilakukan oksidasi magnetit. Magnetit merupakan mineral yang bersifat feromagnetik. Proses oksidasi yang dilakukan pada magnetit akan mempengaruhi sifat kemagnetannya. Salah satu besaran yang dapat digunakan untuk melihat perubahan sifat kemagnetan suatu bahan adalah suseptibilitas magnetik. Suseptibilitas merupakan besaran yang bergantung arah, temperatur, keadaan tekanan dan medan magnet luar (Tauxe, 1998). Untuk perhitungan suseptibilitas yang bergantung arah digunakan metode AMS (Anisotropy Magnetic Susceptibility).

  Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian yang berhubungan dengan perhitungan nilai suseptibilitas mineral magnetik pasir besi dan oksidasi magnetik pasir besi menjadi hematit. Yulianto, dkk (2003) yang melakukan penelitian tentang produksi hematit melalui oksidasi magnetit pasir besi pada temperatur 500 ºC, 600 ºC dan 700 ºC, masing-masing selama 15 jam. Pasir besi yang digunakan berasal dari pesisir Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses oksidasi menghasilkan perubahan warna dari hitam mengkilat menjadi ungu kecoklatan pada 500ºC dan ungu pada 600ºC dan 700ºC yang sudah sangat menyerupai hematit hasil produk Pfizer (America). Nilai suseptibilitas magnetik mineral hasil

  • -5 3 -5 oksidasi pada temperatur 600ºC dan 700ºC masing-masing 4,45 m /kg dan 2,53
  • 3

       10  10 -4 3 m /kg lebih kecil dibandingkan mineral magnetit asalnya yaitu sekitar 4,0  10 m /kg.

      Selanjutnya, Mufit, dkk (2006) telah melakukan penelitian tentang kajian sifat magnetik pasir besi yang diambil dari Pantai Sunur Kota Pariaman, Sumatera Barat. Dari penelitiannya, diketahui bahwa mineral utama penyusun pasir besi yang digunakan adalah magnetit dengan -4 3 nilai suseptibilitas magnetik yang tinggi yaitu 2,58  10 m /kg. Peneliti berikutnya, Rozi

      (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh variasi temperatur terhadap bentuk bulir mineral magnetik pasir besi yang juga diambil dari daerah tersebut. Sampel dipanaskan selama 1 jam pada temperatur 100°C, 200°C, 300°C, 400°C dan 500°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa -8 3 -8 nilai suseptibilitas yang didapat berkisar dari 2116,7 × 10 m /kg sampai dengan 2523,1 × 10 3 m /kg dan diduga bahwa mineral utama penyusun pasir besi tersebut adalah ilmenit. Nilai-nilai suseptibilitas tersebut tidak menurun dengan meningkatnya temperatur yang digunakan, melainkan berfluktuasi. Bentuk bulir mineral magnetik dari pasir besi berubah dari bentuk °

      prolate menuju bentuk bola jika dipanaskan sampai temperatur 300 °

      C, tetapi akan kembali menuju bentuk prolate jika dipanaskan melebihi temperatur 300 C. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk menganalisis perubahan nilai suseptibilitas magnetik pada proses oksidasi magnetit menjadi hematit pada pasir besi.

      Pasir besi yang digunakan juga berasal dari Pantai Sunur, Kota Pariaman, Sumatera Barat. Perhitungan nilai suseptibilitas dimulai untuk sampel-sampel tanpa oksidasi dan selanjutnya untuk sampel-sampel yang dioksidasi pada temperatur 100ºC, 200ºC, 300ºC, 400ºC, 500ºC, 600ºC, 700ºC dan 800ºC masing-masing selama 15 jam. Nilai suseptibilitas sampel diukur menggunakan Bartington magnetic susceptibility tipe MS2B dengan metode AMS dengan lima belas arah yang berbeda. Selanjutnya analisis suseptibilitas tersebut dihubungkan dengan perubahan warna mineral hasil oksidasi dan jenis mineral yang ditentukan menggunakan metoda difraksi sinar-X .

    II. METODE

    2.1 Pembuatan Sampel

      Pembuatan sampel dilakukan beberapa tahap, pertama-tama mineral magnetik yang ada pada pasir dipisahkan dengan mineral non-magnetic secara manual menggunakan magnet. Kemudian mineral magnetik yang sudah dipisahkan digerus menggunakan lumpang. Mineral- mineral yang menempel pada magnet kemudian digerus kembali untuk menghasilkan pastikel yang lebih halus. Mineral yang sudah digerus dipisahkan kembali menggunakan magnet kemudian digerus kembali. Setelah itu mineral disaring menggunakan ayakan 200 mesh. Setelah diayak mineral magnetik dibagi menjadi sembilan kelompok. Satu kelompok (sampel A) adalah sampel yang tidak dioksidasi, sedangkan delapan kelompok yaitu B, C, D, E, F, G, H dan I adalah sampel yang dioksidasi. Kemudian masing-masing kelompok dibagi menjadi sepuluh sampel masing-masing mempunyai massa 1,0 gr.

      2.2 Proses Oksidasi Proses oksidasi dilakukan di Laboratorium Metalurgi Jurusan Teknik Mesin Universitas

      Andalas. Pada tahap ini, masing-masing kelompok sampel dimasukkan kedalam cawan dan dimasukkan ke dalam furnace non-vacum, selanjutnya dilakukan oksidasi dengan temperatur masing-masing kelompok sampel adalah: B (100°C), C (200°C), D (300°C), E (400°C), F (500°C), G (600°C), H (700°C), I (800°C) masing-masing selama 15 jam.

      2.3 Pencetakan Sampel Setelah dioksidasi sampel dicetak dalam bentuk tablet berdiameter 1,2 cm dan ketebalan 0,3 cm dengan mengguanakan alat pencetak table yang dilakukan di Laboratorium

      Formulasi Sediaan Tablet Fakultas Farmasi Universitas Andalas.

      2.4 Pengukuran Suseptibilitas Magnetik.

      Pengukuran suseptibilitas dilakukan dengan menggunakan Bartington MS2 Magnetic

      

    Susceptibility Meter dengan sensor MS2B dan Software Multisus. Suseptibilitas magnetik

    ditentukan dengan metode AMS dengan 15 arah yang berbeda yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

      Perhitungan dan pengolahan data dibantu dengan Software Matlab R2012b.

      posisi 3

    posisi 1 posisi 2 posisi 4 posisi 5

    posisi 10 posisi6 posisi 7 posisi 8 posisi 9

    posisi 11 posisi 12 posisi 13 posisi 14 posisi 15

    Gambar 1. Implementasi dari pola putar pengukuran lima belas arah (Subekti, 2010)

      2.5 Pengolah Data Setelah melakukan pengukuran kemudian dihitung nilai suseptibilitas magnetik rata- rata. Selanjutnya ditentukan nilai koefisien keseragaman (KK) untuk melihat penyimpangan terhadap nilai rata-ratanya menggunakan Persamaan 1. Disini juga dihitung perubahan nilai suseptibilitas magnetik satelah sampel dioksidasi.

      s KK % 100%

      (1)  

      x Dengan s adalah standar deviasi dan x adalah nilai rata-rata.

      2.6 Penentuan Jenis Mineral Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi difraksi sinar-X (XRD) untuk menentukan jenis mineral yang terdapat pada sampel. Penentuan jenis mineral magnetik dilakukan hanya pada sampel yang mengalami perubahan warna.

    III. HASIL DAN DISKUSI

      Hasil pengukuran nilai suseptibilitas dari masing-masing sampel beserta persentase dari KK dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dilihat nilai suseptibilitas masing-masing kelompok sampel memiliki nilai KK berkisar dari 1,1% sampai dengan 6,3%. Besar nilai KK yang relatif kecil ini memperlihatkan bahwa penyimpangan data hasil perhitungan nilai suseptibilitas terhadap nilai rata-ratanya tidak terlalu jauh walaupun pengambilan data dilakukan sebanyak sepuluh kali pada masing-masing kelompok sampel.

      

    Tabel 1. Hasil perhitungan nilai suseptibilitas masing-masing kelompok sampel.

    -8 3 Temperatur Oksidasi/ Suseptibilitas (10 m /kg) A B C D E F G H

      I No. (tidak (100°C) (200°C) (300°C) (400°C) (500°C) (600°C) (700°C) (800°C) dioksidasi) 1 3768,0 3050,5 3208,9 3367,1 2198,7 3506,6 807,8 183,4 22,9 2 3750,2 2939,5 3199,9 3368,4 2193,6 3610,3 802,0 186,0 22,5 3 3594,5 3289,4 3223,4 3253,1 2161,0 3740,9 816,2 188,4 21,7 4 3563,4 3584,8 3169,4 3362,0 2233,5 3592,4 828,4 184,4 26,0 5 3612,0 3662,4 3141,2 3183,6 2225,5 3578,9 806,6 179,8 21,9 6 3623,2 3626,4 3200,9 3394,7 2130,6 3504,1 813,6 185,6 23,0 7 3671,4 3626,5 3151,7 3409,4 2228,4 3596,4 814,5 190,6 22,7 8 3589,1 3567,9 3157,5 3340,4 2237,9 3619,0 819,2 188,7 24,3 9 3874,8 3564,0 3162,1 3434,5 2189,6 3559,1 812,3 185,6 23,9 10 3803,1 3613,3 3241,6 3346,5 2143,2 3628,4 814,1 187,3 22,6

      

    Rata-rata 3685,0 3452,5 3185,7 3346,0 2194,2 3593,6 813,5 186,0 23,2

    KK (%) 2.9 6,3 1,1 2,5 1,8 1,7 0,9 1,6 5,6 *Perubahan

      

    Suseptibilitas 6,3 13,5 9,2 40,5 2,5 77,9 95,0 99,4

    (%)

      Hasil karakterisasi dengan difraksi sinar-X untuk sampel tanpa oksdiasi dan yang mengalami perubahan warna dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa

    • -8
    • 3 sampel-sampel kelompok A mempunyai nilai suseptibilitas rata-rata 3685,0 × 10 m /kg dan berwarna hitam. Dari hasil difraksi sinar-X, jenis mineral yang terdapat pada sampel kelompok A adalah magnesium besi oksida ((MgFe 2 )O 4 ), magnetit (Fe 3 O 4 ), besi magnesium silikat ((Fe,

        Mg)SiO 3 ) dan ilmenit (Fe(TiO 3 )). Mineral-mineral lain selain magnetit dianggap sebagai mineral pengotor.

        Sampel-sampel kelompok B, C dan D mempunyai nilai suseptibilitas rata-rata berkisar -8 3 -8 3 dari 3185,7 × 10 m /kg sampai dengan 3452,5 × 10 m /kg (Tabel 2). Pada sampel-sampel kelompok B, C dan D ini mengalami penurunan nilai suseptibilitas jika dibandingkan nilai suseptibilitas pada sampel kelompok A. Penurunan nilai suseptibilitas ini dikarenakan pada saat sampel dioksidasi pada temperatur tinggi, dipol-dipol magnet bergerak acak dan semakin tidak beraturan. Ketika sampel kembali ke temperatur kamar, dipol-dipol magnetik tersebut semakin susah mengikuti medan magnetik luar. Sampel-sampel kelompok B, C dan D memiliki warna yang sama dengan sampel-sampel kelompok A yaitu berwarna hitam, hal ini menunjukkan proses oksidasi tidak menyebabkan perubahan warna dan diperkirakan belum muncul mineral baru. Berdasarkan hal-hal tersebut maka untuk sampel kelompok B, C dan D tidak dilakukan pengujian difraksi sinar-X.

        Sampel-sampel kelompok E mengalami perubahan warna menjadi berwarna coklat. Hal ini menunjukkan proses oksidasi pada temperatur 400°C selama 15 jam menyebabkan perubahan warna dan diperkirakan telah muncul mineral baru. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pada kelompok E dilakukan pengujian difraksi sinar-X. Dari hasil difraksi sinar-X, sampel kelompok E terdiri dari mineral maghemit O ), magnetit (Fe O ) dan hidrogen (γ-Fe 2 3 3 4 oksida (H O). Dari hasil ini dapat dilihat bawa semua mineral pengotor setelah dioksidasi pada

        2

        temperatur 400°C menjadi hilang tetapi muncul maghemit dan hidrogen oksida. Maghemit dalam sampel ini berasal dari oksidasi magnetit. Menurut Lepp (1957), maghemit akan muncul dan memuncak pada temperatur 400°C. Munculnya hidrogen oksida (H 2 O) pada sampel ini kemungkinan disebabkan bahwa pada sampel masih terdapat kandungan air. Adanya kandungan air pada sampel dikarenakan pada saat pembentukan tablet sampel menggunakan air.

        

      Tabel 2. Hasil oksidasi masing-masing kelompok sampel

      Temperatur Suseptibilitas Penurunan Kelompok

        

      Oksidasi rata-rata suseptibilitas Warna Jenis Mineral

      Sampel -8 3 (°C) (10 m /kg) (%) Magnesium besi oksida, magnetit,

      • A 3685 Hitam besi magnesium silikat dan ilmenit B 100 3452,5 6,3 Hitam Tidak dilakukan pengujian C 200 3185,7 13,5 Hitam Tidak dilakukan pengujian D 300 3346 9,2 Hitam Tidak dilakukan pengujian Maghemit, magnetit dan hidrogen E 400 2194,2 40,5 Coklat

        oksida

      F 500 3593,6 2,5 Hitam Magnetit, maghemit dan hematit

      Hematit, Magnesium silikat dan G 600 813,5 77,9 Coklat megnetit Coklat

        H 700 186

        95 Hematit dan maghemit kemerahan I 800 23,2 99,4 Ungu Hematit dan maghemit

        Berikutnya sampel-sampel kelompok F mempunyai nilai suseptibilitas rata-rata sekitar -8 3 3593,6 × 10 m /kg. Sampel kelompok F mengalami penurunan nilai suseptibilitas sekitar 2,5% dibandingkan nilai suseptibilitas rata-rata sampel kelompok A. Sampel-sampel kelompok F memiliki warna yang sama dengan sampel-sampel kelompok A yaitu berwarna hitam hal ini menunjukkan proses oksidasi pada temperatur 500°C selama 15 jam tidak menyebabkan perubahan warna namun dari penelitian sebelumnya (Yulianto, dkk., 2003) menunjukkan bahwa hasil oksidasi pada temperatur 500°C telah muncul hematit. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pada kelompok F dilakukan pengujian difraksi sinar-X. Dari hasil difraksi sinar-X, mineral magnetik sampel-sampel kelompok F terdiri dari magnetik (Fe 3 O 4 ), maghemit ( 2 O 3 ) dan 2 O 3 ). Dari hasil ini dapat dilihat bawa semua mineral pengotor setelah dioksidasi γ-Fe hematit (α-Fe pada temperatur 500°C menjadi hilang. Menurut Lepp (1957), hematit telah terjadi pada temperatur 550°C, tetapi hasil oksidasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa hematit telah muncul pada temperatur 500°C.

        Sampel-sampel kelompok G, H dan I mempunyai nilai suseptibilitas rata-rata berkisar -8 3 -8 3 dari 23,2 × 10 m /kg sampai dengan 813,5 × 10 m /kg mengalami penurunan nilai suseptibilitas yang sangat drastis berkisar dari 77,9% sampai dengan 99,4% dibandingkan nilai suseptibilitas sampel kelompok A, B, C, D, E dan F. Sampel-sampel kelompok G, H dan I memiliki perubahan warna dibandingkan sampel-sampel kelompok A menjadi berwarna coklat, coklat kemerahan dan ungu. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pada sampel-sampel kelompok G, H dan I dilakukan karakterisasi dengan difraksi sinar-X. Dari hasil difraksi sinar-X diketahui mineral magnetik yang terdapat di dalam sampel-sampel kelompok G adalah hematit (Fe 2 O 3 ), magnesium silikat (MgSiO 3 ) dan magnetit (Fe 3 O 4 ). Sampel

        H menunjukkan adanya hematit (α- Fe O O ). S 2 3 ) dan maghemit (γ-Fe 2 O 3 ). Namun hasil difraksi sinar-X menunjukkan pada kelompok sampel G 2 3 ampel I menunjukkan adanya hematit (α-Fe 2 O ) dan 3 maghemit (γ-Fe masih terdapat mineral pengotor. Hal ini dikarenakan sampel yang dicuplik untuk oksidasi pada temperatur 600°C mungkin terlalu banyak mengandung pengotor, sehingga oksidasi belum mampu menghilangkan pengotor. Pada kelompok sampel H dan I masih terlihat adanya maghemit. Maghemit merupakan material yang terjadi pada temperatur sekitar 200°C dan memuncak pada temperatur 375°C dan 400°C (Lepp, 1957). Kehadiran maghemit merupakan hal yang wajar terjadi karena sampel yang dioksidasi akan selalu terdapat oksida atau sub- oksida pada permukaannya (Pauzan, dkk., 2013).

        Hubungan nilai suseptibilitas dengan temperatur oksidasi dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa nilai suseptibilitas tertinggi terdapat pada kelompok sampel A -8 3

        (tidak dioksidasi) yaitu 3685,0 × 10 m /kg dan terendah terdapat pada kelompok sampel I -8 3 (800°C) yaitu 23,2 × 10 m /kg. Dari Gambar 2 terlihat bahwa nilai suseptibilitas sampel cenderung mengalami penurunan dengan semakin tingginya temperatur oksidasi. Penurunan nilai suseptibilitas ini sesuai yang diharapkan, karena nilai suseptibilitas menurun seiring naiknya temperatur (Yulianto, dkk., 2003).

        

      Gambar 2. Grafik hubungan nilai suseptibilitas magnetik dengan temperatur oksidasi.

        Oksidasi pada temperatur 100°C sampai 500°C belum merubah sifat magnetik dari bahan. Hal ini terlihat dari penurunan nilai suseptibilitas yang tidak besar, dimana diperkirakan temperatur-temperatur pada oksidasi sampel masih di bawah temperatur Curie. Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozi (2014), dimana terjadi fluktuasi untuk pemanasan sampel pada temperatur 100°C, 200°C, 300°C, 400°C dan 500°C.

        Selanjutnya pada Gambar 2 juga terlihat terjadi penurunan nilai suseptibilitas sampel yang dioksidasi dengan temperatur 500°C, 600°C, 700°C dan 800°C. Oksidasi di atas 500°C telah merubah sifat magnetik dari bahan. Hal ini terlihat dari perubahan nilai suseptibilitas sampel sebelum dan setelah dioksidasi yang sangat besar. Temperatur di atas 500°C diperkirakan telah melewati temperatur Curie untuk sampel. Untuk sampel yang dioksidasi di atas temperatur Curie akan merubah sifat magnetik bahan dari feromagnetik menjadi paramagnetik (Tipler, 2001). Nilai suseptibilitas feromagnetik lebih besar dibandingkan dengan nilai suseptibilitas paramagnetik, dimana nilai suseptibilitas paramagnetik lebih kecil 100 kali dari pada nilai suseptibilitas feromagnetik (Sunaryo dan Widyawura, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan pemanasan sampel di atas temperatur Curie akan mengakibatkan penurunan nilai suseptibilitas yang besar dan merubah sifat magnetik dari bahan.

      IV. KESIMPULAN

        Dari nilai suseptibilitas diketahui bahwa proses oksidasi dengan temperatur oksidasi 100°C sampai dengan 800°C telah menurunkan nilai suseptibilitas rata-rata sampel dari 3685,0 -8 3 -8 3

        × 10 m /kg sampai dengan 23,2 × 10 m /kg berfluktuasi. Dari nilai suseptibilitas diketahui bahwa kandungan hematit menjadi lebih tinggi seiring dengan naiknya temperatur oksidasi yang terlihat dari perubahan warna yang berubah dari hitam menjadi kecoklatan dan ungu yang menandakan telah munculnya mineral baru. Nilai suseptibilitas drastis menurun mulai dari temperatur oksidasi 600°C dan mencapai penurunan 99,4% pada temperatur 800°C. Pada temperatur 700°C, sebagian besar magnetit telah berubah menjadi hematit dengan menurunnya nilai suseptibilitas sekitar 95,0% dan hematit sudah berubah menjadi paramagnetik. Hematit mulai terbentuk pada temperatur 500°C walaupun hanya sedikit yang mengalami penurunan nilai suseptibilitas magnetik. Hal ini didukung juga dari hasil difraksi sinar-X membuktikan bahwa pada temperatur 500°C telah terjadi hematit.

      DAFTAR PUSTAKA

        Irvan, M., dan Bijaksana, S., 2006, Magnetic Identification and Grain-Size Estimation of Industrial Toners, International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung.

        Lepp, H., 1957. Stages In The Oxidation Of Magnetite, The American Mineralogist, Vol. 42, hal. 679-68. Muffit, F., Fadhillah, Amir, H., dan Bijaksana, S., 2006, Kajian tentang Sifat Magnetik Pasir Besi dari Pantai Sunur, Pariaman, Sumatera Barat, Jurnal Geofisika, Vol 1. Pauzan, M., Kato, T., Iwata, S., Suharyadi, E., 2013, Pengaruh Ukuran Butir dan Struktur

        Kristal terhadap Sifat Kemagnetan pada Nanopartikel Magnetit (Fe 3 O 4 ), Prosiding Pertemuan ilmiah XXVII HFI Jateng dan DIY , Yogyakarta.

        Priyono., Astanto, Y., Traningsih, H., dan Khuriati, A.R.S., 2004. Efek Aditiv Al 2 O 3 Terhadap Struktur dan Sifat Fisis Magnet Permanen BaO.6 (Fe 2 O 3 ), Jurnal Berkala Fisika. Vol.7, hal.69-73.

        Rozi, F., 2014. Pengaruh Variasi Temperatur Terhadap Bentuk Bulir Mineral Magnetik Pasir Besi, Skripsi, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Andalas, Sumatera Barat. Smallman, R.E., Bishop, R.J., 1999, Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material, Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta. Subekti., 2010, Analisis Suseptibilitas Magnetik Pasir Besi, Skripsi, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Surakarta, Surakarta. Sunaryo., Widyawura, W., 2010, Metode Pembelajaran Magnet dan Identifikasi Kandungan

        Senyawa Pasir Alam Menggunakan Prinsip Dasar Fisika, Jurnal Cakrawala Pendidikan

        FMIPA Universitas Negri Jakarta , No.1 Th XXIX.

        Tauxe, L., 1998. Paleomagnetic Principles And Practice. Kleuwer Academic Publishers, London. Tipler, P.A., 2001, Fisika untuk Sains dan Teknik, Edisi Ketiga Jilid 2. Erlangga, Jakarta. Yulianto, A., Bijaksana, S., Loeksmanto, W., Kurnia, D., 2003, Produksi Hematite

        (α-Fe 2 O 3 ) Dari Pasir Besi : Pemanfaatan Potensi Alam Sebagai Bahan Industri Berbasis Sifat Kemagnetan, Indonesian Journal of Material Science, Vol. 5.

        Yulianto, A., Bijaksana, S., Loeksmanto, W., 2003, Comparative Study on Magnetic Characterization of Iron Sand from Several Location in Central Java, Indonesian Journal of Physics , Vol. 14.

Dokumen yang terkait

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERSTRUKTUR DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA

1 0 11

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X SMAN 1 GUNUNGSARI KABUPATEN LOMBOK BARAT TAHUN PELAJARAN 20142015

0 0 5

IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERBANTUAN ALAT PERAGA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII SMPN 22 MATARAM TAHUN PELAJARAN 20142015

0 0 8

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING DENGAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP HASIL BELAJAR IPA FISIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 19 MATARAM TAHUN PELAJARAN 20142015

0 0 6

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN ASSURE DAN PENGETAHUAN AWAL TERHADAP HASIL BELAJAR IPA-FISIKA SISWA KELAS VIII SMPN 22 MATARAM

0 1 7

PRE-STACK TIME MIGRATION (PSTM) BERBASIS SEISMIC UNIX PADA DATA SEISMIK 2D CEKUNGAN BRYANT CANYON LEPAS PANTAI TELUK LOUISIANA TEXAS Vivi Lispa Yenti, Elistia Liza Namigo

0 0 7

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN METODE EKSPERIMEN PADA MATERI CAHAYA TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII SMPN 2 GUNUNGSARI TAHUN AJARAN 20142015

0 0 6

PENGARUH PENAMBAHAN PVDF (POLYVINYLIDINE FLOURIDE) PADA HASIL PEMOLINGAN BAHAN PIEZOELEKTRIK PbZr (0,52) Ti (0,48)O

0 0 5

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN EKSPOSITORI DENGAN KETERAMPILAN PROSES SAINS TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII MTSN 1 MATARAM TAHUN AJARAN 20142015

0 0 7

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM DENGAN METODEDISKUSI UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA SMPN 2 LINGSAR TAHUN AJARAN 20142015

0 0 5