BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - KRITIK GAGASAN MUHAMMADIYAH JAWA (Studi Literatur dalam Buku Muhammadiyah Jawa) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal, Muhammadiyah terkesan tidak menerima ajaran Islam

  yang berafiliasi dengan budaya Jawa. Muhammadiyah pada masa itu (mungkin hingga kini) berusaha menyingkirkan ajaran Islam dari pengaruh Jawa yang bermuatan animisme dan dinamisme. Pengaruh Jawa tersebut dianggap sebagai hasil adaptasi Islam yang tidak tuntas sehingga ajaran Islam diselimuti Takhayul, Bid`ah dan Churafat (TBC). Pemahaman itu mendorong Muhammadiyah kembali ke sumber asal yakni, Alqur`an dan As-sunnah. Upaya tersebut merupakan hasrat purifikasi dalam diri Muhammadiyah. Hasrat purifikasi mengandaikan cara ber-Islam murni,

  1 otentik, sebagaimana zaman nabi hidup.

  Selain memurnikan ajaran Islam, Muhammadiyah memiliki misi menghapus kebodohan, kemiskinan serta segala bentuk keterbelakangan yang mendera umat Islam akibat cengkraman kolonialisme. Lebih singkatnya, Muhammadiyah ingin menjalankan pelbagai hal seperti memurnikan ajaran Islam, ijtihad, modernisasi pendidikan, beramal ilmiah- 1 berilmu amaliah, tidak apatis dengan politik, dakwah amar-makruf nahi

  M. Raihan Hardiansyah dkk, 100 Tahun Muhammadiyah Menyinari Negri, (Yogyakarta:

Majlis Pustaka dan Informasi Pimpinan Muhammadiyah, 2013), h. 15. Tulisan ini merupakan

sambutan 100 tahun perjalanan organisasi Muhammadiyah. Secara ekplisit, buku ini menjelaskan

semangat pendiri Muhammadiyah yang ingin memberangus praktik Takhayul, Bid`ah dan Khurafat

. Buku ini juga menjelaskan capaian-capaian dalam meningkat kualitas dan kuantitas umat Islam

  2 munkar , dakwah kultural. Segala bentuk upaya mengatasi problem tersebut

  3

  paling mencolok ialah modernisasi pendidikan. Muhammadiyah sudah memiliki pelbagai institusi pendidikan dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Patut kiranya memberi apresiasi atas prestasi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.

  Selain prestasi pendidikan Muhammadiyah yang mentereng, Muhammadiyah mendapat tantangan besar dalam memurnikan ajaran Islam. Tantangan besar yang dihadapi ialah kondisi masyarakat Jawa

  4

  5 terlanjur mengenal tradisi mistik Islam (Tasawuf) dan tradisi lokal.

  Tradisi mistik Islam tidak pernah ditemui pada zaman nabi Muhammad sedangkan tradisi lokal mengandung mitologi. Hal ini berseberangan dengan misi Muhammadiyah dalam memurnikan ajaran Islam. Namun perlu dicatat, sasaran pemurnian Muhammadiyah, menurut Ricklefs, ialah

  6 tradisi mistik Islam yang notabene oleh kelompok Islam tradisional.

  2 3 Ibid., 17.

  Jurnal Islamadina, Strategi Dakwah dan Tajdid Muhammadiyah Memasuki Abad ke 2,

(Vol. IX, No. 1, Januari 2010) h. 2. Amin Abdullah berkata bahwa prestasi gemilang

Muhammadiyah dalam bidang pendidikan karena tidak mencampuradukkan dengan politik. Namun

dalam artikel tersebut, Amin Abdullah lebih merefleksi problem dan tantangan Muhammadiyah ke

depan yang sudah menginjak abad ke-2. 4 Tradisi mistik Islam adalah tarekat. Dimana banyak sekali olah spiritual yang berkembang sebelum Muhammadiyah lahir membawa misi memurnikan ajaran Islam. 5 Tradisi lokal yang dimaksud ialah menghormati leluhur desa, dahyangan. Atau memberi

sesajen pada tempat-tempat yang dikeramatkan. Tradisi semacama itu tidak pernah diajarkan dalam

  Islam. 6 M.C Riecklefs, Mengislamkan Jawa Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari

1930 sampai sekarang, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2012), h. 92. Ricklefs membagi dua

  7 Sedangkan tradisi lokal yang kerap dilakukan kelompok abangan kerap

  8 ditolerir oleh pimpinan Muhammadiyah .

  Deskripsi Ricklefs memberi petunjuk bahwa Muhammadiyah tidak secara membabi-buta menghantam kelompok abangan yang dianggap TBC.

  Muhammadiyah memiliki toleransi terhadap praktik-praktik idiosinkratik. Namun asumsi Muhammadiyah yang anti-budaya tidak bisa dihilangkan. Kelompok Islam tradisionalis maupun abangan sulit menerima ide reformasi dari Muhammadiyah. Tak pelak dikemudian hari hambatan ini menjadi kegelisahan para aktor intelektual Muhammadiyah.

  Label atas Muhammadiyah ini kemudian direspon pada Muktamar Nasioanl Tarjih XXIII di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah berbenah diri dan berusaha mengembangkan konsep tentang budaya. Dalam Muktamar tersebut, Kuntowijoyo menyampaikan Muhammadiyah terlalu puritan dan rasional sehingga membuat dakwah mereka kering, melupakan aspek emosi

  9

  dan kearifan lokal. Secara berangsur respon itu terus bergulir dalam tanwir di Bali (2002), Makasar (2003), dan Mataram (2004). Fenomena tersebut menunjukkan keseriusan muhammadiyah dalam mengakomodasi budaya

  10

  atau tradisi lokal . Bisa dipastikan bahwa respon Muhammadiyah secara

  7 Istilah ini dipopulerkan oleh Clifford Geertsz dalam penelitannya di Mojokuto. Kelompok

ini biasa disebut Islam nominal yang tidak menjalankan normativitas Islam. Abangan merupakan

istilah olok-olokan kelompok santri atas ketidaktaatan. Belakangan, istilah abangan direhabilitasi oleh Hefner karena penggambaran abangan cenderung mendiskreditkan posisis kelompok itu. 8 Ibid., h. 93. Ricklefs menjelaskan bahwa sikap Muhammadiyah berubah setelah posisi

pimpinan didominasi ulama dari Minangkabau. Para pimpinan dari Minangkabau tidak menolerir segala bentuk TBC dalam praktik keagamaan. 9 Jurnal Tajida, Pandangan Muhammadiyah tentang Kebudayaan Pasca Muktamar 43 di Aceh , (Vol. 8 No. 1, Juni 2010), h. 72. kelembagaan adalah manifestasi kegelisahan intelektualnya seperti Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkan dan juga Najib Burhani.

  Diantara tokoh itu, penulis terkesima oleh sosok Najib Burhani. Najib Burhani merupakan intelektual muda Muhammadiyah jebolan

  Belanda. Ia menyabet gelar magisternya dengan tesis

  University of Leiden The Muhammadiyah`s attitude to Javanese Culture in 1912-1930 . Tesis

  Najib kemudian diterjamahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul

11 Muhammadiyah Jawa pada tahun 2010.

  Dalam pengantarnya, Najib menyambut pembaca dengan penegasan Muhammadiyah adalah representasi Islam Jawa. Najib memiliki argumentasi bahwa menurut ia kelahiran Muhammadiyah yang di jantung kebudayaan Jawa, Yogyakarta, adalah tanda bahwa Muhammadiyah tidak melepaskan diri dari kebudayaan Jawa. Ia menukil kata-kata Juliat Pitt- Rivers, “You cannot be a Brahmin in the English contryside.” Kutipan tersebut menyokong asumsi Najib atas kemustahilan Muhammadiyah

  12

  melepaskan dari kebudayaan Jawa. Penegasan Najib burhani dalam rangka mengeliminasi stigma Muhammadiyah berwatak puritanistik yang menolak berafiliasi dengan kebudayaan.

  Guna membangun argumentasi di atas, mula-mula najib 11 menerangkan Identitas Budaya Jawa. Menurutnya, budaya Jawa dibentuk

  Buku Najib Burhani diterjemahkan oleh Izza Rohman Nahrowi dan penerbitnya adalah Al-Wasat Publising House pada tahun 2010. dari unsur pra-Hindu, Hindu, Budha dan Islam. Pertemuan nilai-nilai ini bercampur dalam kehidupan orang Jawa. Dari proses panjang, budaya atau identitas Jawa terbentuk dan terus menerus mengalami perubahan. Juga terdapa varian-varian Islam yang semakin banyak bertebaran di Jawa tak terkecuali Muhammadiyah.

  Najib kemudian mendudukkan Muhammadiyah dalam konteks bahwa Muhammadiyah ikut serta dalam perubahan-perubahan identitas di Jawa. Kehadiran Muhammadiyah seperti ingin mengubah Jawa tanpa meninggalkan apa saja yang sudah melekat. Ia dalam hal ini, ingin membendung label purifikasi dalam Muhammadiyah yang dianggap ingin memurnikan ajaran Islam dari pengaruh Jawa. Najib kemudian mulai menegaskan bahwa Muhammadiyah sangat akomodatif atas kebudayaan

13 Jawa.

  Sebelum memulai pembuktian atas sikap akomodatif Muhammadiyah, Najib mengajak pembaca untuk menyelami perdebatan antropologi tentang Islam dan Jawa. Ia menyuguhkan tiga paradigma dari antropolog guna melihat dinamika Islam dan Jawa. Paradigma pertama yang diulasnya, telah menempatkan Jawa sebagai unsur dominan atas Islam.

  Kemudian paradigma kedua ialah menekankan Islam sebagai unsur dominan dan paradigma ketiga dianggap Najib sebagai paradigma

  14 proporsional yang lebih berimbang atas keberadaan nilai Islam dan Jawa. Najib kemudian melihat tengah terjadi dua proses penting di Jawa, yakni Islamisasi dan Jawanisasi. Dua proses ini dipahami infiltrasi nilai dalam Islam maupun Jawa. kedua-dua entitas berbeda itu saling mempengaruhi dan memberi sumbangan nilai dari dalam dirinya. Konteks ini ingin menyuguhkan bahwa di Muhammadiyah juga terdapat dua proses tersebut. Namun mesti dicatat bahwa proses tersebut tanpa menghilangkan prinsip-prinsip pemurnian Islam di Muhammadiyah.

  Sebagai bukti adanya Jawanisasi dan Islamisasi di Muhammadiyah, Najib menunjukkan bahwa adanya grammar of symbols yang termanifestasi dalam bentuk berpakaian. Orang-orang Muhammadiyah di awal memang memakai pakaian adat sebagai pakaian yang kerap dikenakan. Hal ini juga disebut oleh Najib penerimaan Muhammadiyah atas surface culture.

  Muhammadiyah juga mempunyai kebijakan yang luarbiasa yakni memperbolehkan khotbah jum`at dengan bahasa Jawa. Sebelumnya, banyak para pengkhotbah memakai bahasa arab dan tentu saja banyak umat yang tidak paham atas konten khotbah. Najib juga menyokong argumentasi Muhammadiyah mengapresiasi dengan nama-nama pimpinan Muhammadiyah berkarakter Jawa. Bahkan hampir seluruh pendirinya

  15 bernama Jawa tulen.

  Najib juga meneropong polarisasi di tubuh Muhammadiyah, ia melihat bahwa ada kelompok priayi santri dan non-santri. Kaum non-santri ini yang menguatkan Muhammadiyah dalam mengakomodasi budaya lokal. Kelompok tersebut didominasi oleh abdi dalem keraton, sehingga sedikit banyak mempengaruhi anggota dari kalangan santri-priayi. Sementara kelompok lain rata-rata bekerja sebagai birokrat dan guru.

  Hemat penulis, sikap Muhammadiyah di awal tampak memberi ruang atas kebudayaan Jawa. Senyatanya, Muhammadiyah tidak benar- benar ingin memurnikan Islam secara total. Menurut Najib, Muhammadiyah masih mau membaur dengan kebudayaan Jawa dengan sikap-sikap pendirinya yang berpakaian Jawa dan juga mengikuti acara grebeg maulid,

  

sekaten. Hal ini yang kiranya menjadi pendasaran Najib dalam buku

Muhammadiyah Jawa.

  Lalu timbulah pertanyaan dari Najib, sejak kapan Muhammadiyah mengalami perubahan dan menjadi organisasi yang seolah-oleh puritan?.

  16 Najib kemudian melihat perubahan itu dalam dua faktor , yakni internal

  dan eksternal. Arus internal bisa dilihat dari dominasi pengaruh Haji Abdul Karim alias Haji Rasul. Ia sangat berambisi mengembalikan ajaran nabi pada As-sunnah dan Al-qur`an. Sikap ini berbanding balik dengan KH.

  Ahmad Dahlan yang lebih kompromis dan toleran. KH. Ahmad Dahlan dirasa inklusif dan mampu menghargai pluralitas yang beredar waktu itu.

  Namun pengaruh kuat Haji Rasul akhirnya arus pemurnian tidak terbendung dan menjadi mainstream di Muhammadiyah.

  Pergeseran itu semakin menjadi-jadi setelah terbentuknya Majelis Tarjih. Majelis ini semangat awalnya untuk menciptakan pembaruan dalam menanggapi perubahan zaman. Namun seiring berjalan waktu, majelis ini justru asyik membicarakan hukum-hukum Islam. Bagi Najib, majelis ini menjadi corong pembuka jalannya arabisasi di Muhammadiyah. Anggota di doktrin bahwa kebudayaan Arab menjadi standar idealitas yang mesti digandrungi oleh umat Islam, khususnya Muhammadiyah.

  Setelah membincang faktor intelnal, Najib mulai memberi penjelasan faktor eksternal. Faktor eksternal ialah kenyataan dihadapkan partai Komunis. Muhammadiyah semakin mantap mencari pendasaran atas melihat gejala sosial dari As-sunnah dan Al-qur`an. Selain itu, juga kemunculan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang merespon kemenangan Wahabi yang juga spirit memurnikan Islam. Hal ini yang kira-

  17 kira menjai faktor eksternal dalam tubuh Muhammadiyah.

  Pada level ini, Najib sudah mengajak kita melirik pergeseran dan pembuktian Muhammadiyah yang pro atas kebudayaan Jawa. Sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan tersebut dipahami sebagai upaya rasionalisasi dan modernisasi. Gagasan rasionalisasi dan modernisasi KH.

  Ahmad Dahlan ialah semangat yang ingin menggeser gaya Islam (mungkin) irasionalitas. KH. Ahmad Dahlan dengan begitu, ingin menggeser keyakin lama dengan mengandalkan rasionalitas. Bisa dibayangkan, di zaman itu masyarakat Jawa masih bergantung dengan kepercayaan roh nenek moyang.

  Upaya yang dilakukan Muhammadiyah kemudian melakukan demistifikasi

  18

  dan demitologisasi agar menggeser kepercayaan lama . Prinsip ritual yang dianggap meminta bantuan roh nenek moyang kemudian dibuang sebagai sikap merasionalkan ajaran Islam dengan kepercayaan berusaha dan bekerja keras agar mencapai sesuatu yang di inginkan. Tentu saja, hal ini tidak mudah diterima oleh masyarakat kala itu, dan imbasnya ialah gagasan rasionalitas Muhammadiyah sulit membumi di masyarakat.

  Muhammadiyah Jawa sebagai suatu tesis mesti ditangguhkan. Apalagi menempatkan Muhammadiyah dalam representasi Islam Jawa perlu mendapat telaah lebih jauh. Hal ini yang kiranya menjadi latarbelakang penulis karena asas-asas Muhammadiyah sejak awal bertabrakan dengan rajutan argumentasi yang dibangun Najib Burhani dalam bukunya Muhammadiyah Jawa.

B. Rumusan Masalah 1.

  Bagaimana dasar-dasar argumentasi tesis Muhammadiyah Jawa sebagaimana dirumuskan oleh Najib Burhani?

2. Bagaimana kesalahan-kesalahan mendasar dalam tesis Muhammadiyah

  Jawa yang diusung oleh Najib Burhani?

C. Tujuan Penelitian 1.

  Untuk mengetahui posisi Muhammadiyah yang mengusung ide reformasi Islam dan sikapnya terhadap budaya Jawa.

2. Untuk mengetahui kesalahan mendasar dan ‘sesat’ nalar tesis Muhammadiyah Jawa yang diusung oleh Najib Burhani.

D. Kerangka Teoritik a. Sepak Terjang Teori Kritis

  19 Pertama memahami teori kritis mesti mendudukkan teori dan praxis . Dua hal ini pada mulanya tidak pernah dipisahkan, teori dan praxis

  memiliki pertautan satu sama lain. Dalam tradisi Yunani purba, pengetahuan tidak pernah dipisahkan dari kehidupan konkret. Pemhaman

  20

  itu terkonseptualisasi dalam istilah bios theoretikos . Istilah tersebut secara sederhana untuk menyebut antara teori dan tindakan tidak pernah terpisah.

  Keberadaan teori bukan untuk mengetahui sesuatu saja, melainkan bertautan dengan tindakan tertentu.

  Budi Hadirman dengan gamblang menjelaskan lahirnya ontologi sebagai pemisah antara pengetahuan dan kepentingan. Pada awalnya, teori digunakan untuk memandang sesuatu, ia dalam pemikiran filosofis diartikan “kontemplasi” atas kosmos. Para filsuf memandang semesta dengan tertib kosmik suatu tata-tertib yang tidak berubah-ubah. Tata-tertib merupakan perwujudan yang baik dan pengetahuan yang baik mendorong

  19 Teori kritis kerap dilekatkan pada madzhab Frakfurt di Jerman. Madzhab ini didirikan

oleh Max Hokhaimer pada tahun 1923. Teori kritis disebut sebagai pengembangan sebuah program

multidisipliner. Program ini dibuat dalam alur filsafat kritis sejak Hegel dan dan Marx. Hokhaimer

sesungguhnya seorang marxis yang tidak puas dengan ajaran Marx. Marxisme di tangan Hokhaimer

menjadi pendekatan akademis-filosofis yang diharap memberi teori pada praksis kehidupan masyarakat. 20 F. Budi Hadirman, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan

bersama Jurgen Habermas , (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), h. 22. Lebih Jauh, Budi

Hadirman menjelaskan bahwa bios theoretikos merupakan suatu “jalan” yang mendidik jiwa guna tingkah laku yang baik. Dengan kata lain, sang filsuf melakukan kegiatan

  21 .

  yang disebut “mimesis” Proses kontemplasi tersebut pada gilirannya memahami apa yang tetap dan berubah. Telah terjadi garis batas antara Ada dan Waktu. Hadirman mengatakan penarikan garis batas itu adalah titik tolak lahirnya ontologi dalam sejarah pemikiran manusia. Kemudian teori disusun untuk menetapkan apa yang hakiki tidak pernah berubah dan apa yang selalu berubah. Filsuf mencoba mengetahui unsur yang berubah-ubah. Upaya ini dilakukan agar bisa memisahkan kemurnian apa yang tetap dalam situasi berubah-ubah. Hal ini kemudian tertuju pada sikap mengambil jarak dari subyektivitas manusia agar pengetahuan murni didapatkan. Dengan begitu,

  22 “kontemplasi atas kosmis” menjadi bebas-kepentingan.

  Bila dilihat dari sejarah filsafat, akan diketemukan pemberangusan

  23

  teori dari kepentingan berada di dua jalur . Jalur pertama dilihat dari pemikiran filsuf yang mengedepankan fungsi rasio untuk mendapatkan pengetahuan murni. Di jalur lain filsuf yang mengedepankan pada jalur empiris sehingga mengutamakan objektifitas. Kedua jalur bergulir sampai filsafat modern muncul di Eropa.

  Di Eropa pada abad pertengahan terjadi kemunduran berpikir. Para ahli filsafat bersepakat menandai zaman itu sebagai zaman kegelapan.

21 Ibid., 23. Mimesis ini diartikan sebagai meniru. Tentang apa yang ditirukan ialah gejala-

  

gejala alam yang beredar setiap harinya. Alam menjadi sumber kontemplasi untuk melakukan

kegiatan yang baik. Itu artinya, waktu itu orang belajar dari alam perkara kebaikan.

  Zaman yang didominasi oleh nalar keagamaan dari pada rasionalitas. Hal ini tak pelak menimbulkan apa yang kemudian dinamakan sebagai

  24

  25 Renassaince. Gerakan ini juga mengilhami gerakan humanisme yang

  ditandai oleh kepercayaan kemampuan manusia. Hal ini tentu saja mengganti kedudukan kekuatan adikodrati yang mengakar kuat dalam tradisi mereka. Kaum humanis begitu percaya bahwa rasio bisa melakukan segalanya dan lebih penting daripada iman. Karena itu, sejak renaissance, penelitian filologis tidak hanya dilakukan karya sastra klasik, juga kitab suci tak luput dari sasarannya. Secara bersamaan pula gerakan reformasi gereja yang dipimpin oleh Martin Luther lahir. Lengkap sudah perjalanan mengembalikan rasionalitas yang pernah digdaya di zaman Yunani.

  Sampai sini sangat kentara bahwa rasionalitas ialah segala-galanya. Hal ini dipahami sebgai kemampuan rasio mampu menelaah dan mengendalikan fakta secara utuh tanpa ada retakan apapun. Sebelumnya, iman ditempatkan pada posisi yang begitu tinggi. Semangat ini kemudian terakumulasi dalam pemkiran Rene` Descartes yang mengatakan bahwa rasio ialah sumber pengetahuan. Manusia cukup memakai rasionya untuk mengetahui segala hal yang ada. Semangat ini seperti sihir yang menyelimuti Eropa kala itu. Orang berbondong-bondong mencari substansi lama yang sudah ambruk dan digantikan oleh substansi baru. Setelah Rene` 24 Descartes berdiri kokoh dengan rasionalismenya muncul aliran baru yang

F. Budi Hadirman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern dari

  

Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 7. Pada mulanya terjadi

pemberontakan intelektual yang dimotori oleh kalangan Galileo, Bacon, dan Descartes yang

mencoba keluar dari kungkungan Gereja. Renaissance adalah semangat untuk keluar dari digerakkan oleh John Locke dengan konsepsinya yang terkenal “tabula rasa”. Hal ini merupakan gugatan kepada Descartes karena menaruh rasionalitas diatas segala-galanya. Padahal manusia sendiri sesungguhnya terlahir kosong tanpa membawa pengetahuan apapun seperti yang dikatakan

  26 Descartes dalam konsepsi “innate ide” atau ide bawaan.

  Kemelut filsafar kala itu memang tidak lantas selesai di tangan dua tokoh berbeda aliran itu. upaya mendamaikannya pernah dilakukan sosok Imanuel Kant yang mencoba menguji batas rasio. Namun perlu diketahui, Imanuel Kant tidak benar-benar membantu penyelesaian konflik epistemologis apa yang tepat untuk menemukan pengetahuan murni. Baru di tangan seorang Auguste Comte Filsafat benar-benar diajak menggali fakta secara mendalam dan menemukan keutuhannya. Comte disebut-sebut para ahli membidani kelahiran sosiologi yang memiliki penalaran secara positivistik. Penalaran ini dalam filsafat menjadi suatu aliran tersendiri dan memiliki perbedaan mendasar. Pembahasan mengenai Comte perlu karena untuk mengetahui bagaimana alur pemisahan antara teori dan praxis yang kemudian di kritisi oleh Madzhab Kritis.

  Filsafat Comte sesungguhnya menjawab kemelut panjang antara rasionalisme dan empirisme. Comte di sini berhasil menyuguhkan suatu metodologi yang ketat untuk menggali fakta tertentu. Dalam hal ini sesungguhnya Comte merespon keadaan sosial-politik di Perancis saat 26 dilanda revolusi. Pasca revolusi, terjadi chaos tak berkesudahan dan comte

  Ibid., h. 30-63. Budi Hadirman secara apik merangkum gagasan para filsuf itu. Bagi Budi merespon kelompok positivis konservatif yang menghendaki kembalinya

  27

  masa lalu. Secara singkat, Comte ingin menarik metode sains ke jalur filsafat. Comte sangat yakin bahwa positivisme mampu membawa

  28 pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna.

  Comte melihat bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat suatu hukum tertentu yang melingkupinya. Hukum-hukum itu yang kiranya ingin digali secara total agar mengetahui pola yang membuat masyarakat itu

  29 memiliki norma, nilai dan perilaku sosial.

  Dalam menjelaskan hal tersebut, comte kemudian menjelaskan hukum gerak sejarah masyarakat yang bersifat deterministik. Tahapan sejarah itu yang pertama ialah tahap teologis. Tahapan tersebut dijelaskan Comte dengan melihat manusia memahami gejala-gejala alam sebagai hasil tindakan langsung dari kekuatan ilahi. Tahap ini masih bisa dirinci menjadi tiga tahapan lagi, animisme, politeisme dan monoteisme. Tahap animisme mengandaikan suatu benda memiliki jiwa, lebih tepatnya benda itu disucikan dan disakralkan. Berbeda dengan tahap politeisme, pada tahap ini manusia menciptakan dewa-dewa untuk menjelaskan fenomena alam.

  Sedangkan pada tahap monoteisme, manusia sudah meyakini ada kekuatan

  30 tunggal yang menjadi segala sumber gejala alam yang ada.

  27 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern , (Yogyakartarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 7. 28 Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif, (Yogyakarta : Jalasutra, 2006), h. 22-25. 29 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT Gramedia, 1986),

  Setelah tahap teologis dilalui, manusia menuju tahap metafisik. Tahapan ini dipahami sebagai pemahaman bahwa ada kekuatan abstrak yang dijelaskan oleh rasionalitas. Prinsip metafisika seperti ini biasanya

  31 Pada tingkatan menjelaskan kekuatan adikodrati dengan istilah “nature”.

  selanjutnya, tahap masyarakat positivistik, masyarakat sudah tidak lagi mencari penjalasan metafisik maupun teologis. Masyarakat sudah dituntun dengan penjelasan ilmiah yang ketat dan rigorus. Singkat cerita, zaman positivistik adalah zaman masyarakat ilmiah yang tidak lagi mempercayai

  

32

apapun selain ilmu pengetahuan.

  Comte seolah mengakhiri kemelut panjang tradisi filsafat. Ia seperti membawa obat dari pesakitan zaman. Obat itu ialah ilmu pengetahuan sosial. Sekarang kita mengenalnya dalam rumpun ilmu sosiologi. Comte adalah orang yang membidani kelahiran sosiologi. Namun ia juga melembagakan netralitas ilmu dengan kondisi konkret sosial masyarakat. Inilah titik awal para teoritikus kritis menyoroti positivisme.

  Titik tekan teori- teori kritis sebenarnya mengecam “paradigma filsafat kesadaran”. Di awal pembahasan sudah dijelaskan upaya pemisahan antara teori dan praxis menuntun kita pada jalan pembelahan antara subyek dan obyek. Paradigma filsafat kesadaran memiliki kecenderungan

31 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius,

  obyektivisme dan positivisme yang menurun dalam tradisi ilmu-ilmu sosial

  33 humaniora.

  Teori kritis membagi teori dalam dua kategori. Kategori pertama disebut sebagai teori tradisional. Teori tradisional mempunyai mimpi yakni menciptakan sistem ilmiah meyeluruh yang meliputi segala bidang keahlian. Sistem ilmiah juga tertutup, hal ini terlihat dalam penalaran deduktif dan induktif. Penalaran deduktif memiliki karakter bertolak dari hukum yang berhasil dirumuskan lalu bergerak menuju fakta konkret yang pandang tunduk pada hukum umum itu. Hukum dirumuskan dari kejadian konkret dan empiris, teori tradisional juga bekerja dalam penalaran induktif yang bertolak dari pengamatan data khusus, kemudian mengambil kesimpulan umum darinya dan menjadi hukum. Budi Hadirman

  34

  menganggap sistem seperti itu adalah “sistem tertutup”. Lebih lanjut, Budi Hadirman menjelaskan bahwa menurut teori kritis, ada selubung ideologis dari penalaran sistem tertutup ini yaitu, pengetahuan manusia tidak menyejarah dan konsekuensi teori yang dihasilkan ahistoris dan asosial. Klaim teori ini berdiri sendiri dan keluar dari konteks kegiatan masyarakat sehari-hari.

  Teori tradisional dilekatkan pada nalar positivisme yang membuat klaim netralitas atas ilmu. Ilmu mesti dipahami harus berjarak. Subyek yang 33 meneliti mesti memiliki distansi dengan apa yang hendak diteliti. Distansi

F. Budi Hadirman, Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta : Pustaka Filsafat, 2009), h. 11.

34 Ibid., 60-61. Budi Hadirman menggunakan istilah sistem tertutup ini dari seorang

  ini juga untuk memenuhi bahwa peneliti harus bebas dari kepentingan. Sehingga andaian teori tradisional seorang ilmu musti tidak memiliki

  35 kepentingan apapun dan mesti berjarak.

  Konteks itu ingin menunjukkan bahwa narasi saintisme telah membimbing penalaran ilmiah yang tanpa tendensi apapun. Hasrat mengetahui hanya ditujukan untuk ilmu pengetahuan tanpa mentransformasi apapun. Mereka mengklaim bahwa kepentingan ilmu pengetahuan hanya untuk mengetahui. Ilmu dengan begitu hanya untuk ilmu. Ilmu untuk tujuan praksis adalah dosa besar. Sederhananya, teori kritis mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan,

  36

  teori dan praksis. Dengan begitu, kritik dalam tradisi teori kritis mesti didudukkan pada andaian seorang peneliti tidak mungkin netral dan tanpa kepentingan transformasi apapun.

  Para begawan teori kritis tidak berhenti membuat batas kategorial antara teori tradisional dan teori kritis, tapi juga mengevaluasi modernitas yang menyelimuti peradaban dewasa ini. Penulis berkepentingan

  37

  menyuguhkan rasionalitas yang dibangun dari asas pencarahan . Menurut Adorno dan Horkheimer, pencerahan telah menelanjangi misteri alam.

  Misteri alam ini sebelumnya ditakuti oleh manusia sehingga untuk

  35 Jenny Edkins, Teori-Teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 18. 36 37 Ibid., h. 59.

  Pencerahan adalah agenda modernitas. Sosok Imanuel Kant ialah filsuf secara kronologis

sebagai penanda datangnya fase pencerahan. Kata-katanya yang ampuh ialah sapare aude (kenalilah

dirimu) yang menukil Socrates. Mengenali diri sendiri ini berarti memahami segala entitas dengan menyentuhnya pun tidak berani. Dengan pencerahan manusia tengah membuka selubung dari misteri yang ada. Dewa-dewi, roh, jin dan pelbagai bentuk kekuatan gaib dinarasikan dalam bentuk mitos. Hal ini dipahami sebagai upaya manusia menghayati keberadan alam dan masyarakat.

  Misteri sudah terbuang dan manusia tidak lagi menghadapi alam dengan ketakutan, melainkan dengan kalkulasi. Segala hal mesti diketahui dari kalkulasi untuk kegunaan tertentu, dan diluar itu mesti dicurigai sebagai mitos. Pencerahan pun menaruh angka menjadi hukum pokok. Melalui angka, pencerahan membawa alam menjadi objektivitas. Konteks ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan alam atau sains telah menuntun manusia pada pemahaman rasional dan mengendalikannya secara matematis.

  Kekuasaan mitos benar-benar direbut pencerahan yang disokong ilmu alam dan cara berpikir positivistik. Hal tersebut sesungguhnya telah membebaskan manusia dari perbudakan mitos yang sesungguhnya sangat ideologis. Seolah-olah kemenangan dan kemerdekaan berpikir tengah dimiliki oleh manusia saat berhasil menumbang dominasi mitos. Namun apakah hal itu benar-benar terjadi? Hokheimer dan Adorno mengingatkan, bila cara berpikir baru itu merupakan mitos baru yang telah menumpas

  38 mitos lama.

  Dua tokoh kritis itu memberi tafsir luar-biasa dalam memahami mitos yakni bahwa keberadaan mitos merupakan sarana menafsirkan alam dan menghayati kehidupannya sendiri. Karena itu, mitos seolah-olah sebagai sebagai usaha manusia alam secara rasional. Misalnya, manusia menempatkan mitos dalam melalui ritual yang sakral. Partisipasi atas ritual adalah bentuk mimesis (meniru) dalam mitologi untuk menghayati kedudukan manusia dengan alam semesta. Maka sesungguhnya partisipasi itu ialah sarana manusia untuk mencapai tujuan pencerahan. Hal ini sangat berbeda dengan ilmu-ilmu alam, pencerahan tidak dicapai dalam partisipasi, melainkan dalam distansi antara rasio dan objeknya. Sesungguhnya dua- duanya, baik mitos maupun ilmu pengetahuan yang rasional, sama dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia.

  Faktanya, rasionalitas itu benar-benar menipu. Rasionalitas modern sejauh pemahaman penulis, ialah ketertundukkan pada prinsip-prinsip kerja tertentu. Rasio seperti ini tidak pernah mencurigai tujuan apa yang hendak dituju oleh rasionalitasnya. Hal ini disebabkan karena kepedulian rasio ini hanya pada prinsip kerja rasionya agar bisa diterapkan pada tujuan apa saja. Rasionalitas ini tunduk pada pelbagai tujuan dan dapat dipakai oleh siapa saja justru karena netralitasnya. Konsekuensinya ialah, ia sedang melakukan

  

mimesis sebagaimana tradisi kuno bekerja, namun bedanya ialah prinsip itu

  diterapkan diluar dirinya, seperti politik, ekonomi, ideologi. Ia sesungguhnya sedang tunduk di bawah tujuan itu karena ia tidak peduli lagi pada tujuan, melainkan cara. Hal inilah pada gilirannya dipakai oleh negara otoriter dan totaliter untuk menggunakan rasionalitas itu yang mengadaptasi diri dengan mimesis.

  Kita sudah melihat bahwa pencerahan tidak benar-benar membebaskan manusia. Justru cengkramannya telah membuat manusia pada suatu sistem yang lebih mengerikan. Begitulah segelintir sepak terjang teori kritis dibangun.

b. Menyapa Islam Jawa

  Islam Jawa ialah narasi yang tidak habis dikupas. Narasi disini menyuguhkan seluk beluk kehidupan spiritualitas, identitas dan hubungan nilai-nilai dalam Islam dan Jawa sebagai dinamika tak berkesudahan. Pembicaraan Islam Jawa, tentu saja, akan menghampiri karya monumental Clifford Geertz, The Religion of Java, yang ditulis pada tahun 1960-an.

  Karya itu menjadi jalan pembuka untuk mengkaji seluruh dinamika keberagamaan di Jawa. Meski sudah berumur agak tua, buku Geertz tetap menjadi rujukan utama dalam memulai penelitian Islam Jawa bagi para peneliti mutakhir.

  Bagi penulis, arti penting buku Geertz ialah penyuguhan data empiris mengenai keberagamaan masyarakat Jawa dan skema kategorialnya

  39

  dalam tipologi, abangan, santri dan priyayi. Tipologi itu mendeskripsikan bahwa Islam yang dipeluk oleh masyarakat Jawa berifat artifisial. Islam hanya menjadi kulit semata karena dalamnya berupa budaya animisme, Hindu-Budha yang berakar kuat dalam masyarakat Jawa.

  Sinkretisme ialah bahasa konseptual yang digunakan Geertz untuk menandai pola interaksi yang dibangun Islam dengan budaya lokal dan meletakkan budaya lokal (dalam hal ini Jawa) pada posisi dominan. Itu artinya, Islam bisa dianggap hanya hiasan di kulit semata. Geertz berkeyakinan keberadaan masyarakat Jawa tidak melihat standar nilai-nilai moral berdasarkan agama. Acuan yang dipakai oleh masyarakat Jawa ialah adat yang berlaku secara normatif pada situasi orang Jawa hidup.

  Geertz secara tidak langsung melihat bahwa antara Islam dan Jawa saling bertabrakan. Tabrakan dua entitas ini telah melahirkan dominasi diantara dua entitas itu, hingga akhirnya Geertz melihat dominasi dimenangkan oleh budaya lokal. Geertz juga melihat tabrakan dua entitas ini pada gilirannya melahirkan pedang bermata dua yakni, konflik dan integrasi. Konflik ini ditengarai karena terjadi ketegangan diantara varian abangan, santri dan priayi yang memiliki orientasi beragama berbeda. Namun ketegangan itu seperti lebur dalam adat Jawa yang mengimajinasikan suatu keharmonisan.

  Meskipun Geertz menyadari bahwa hasil penelitiannya bukanlah sesuatu yang absolut, namun beberapa ilmuwan banyak yang mengevalusinya. Salah satunya ialah Mark R. Woodward dalam penelitiannya di Keraton Yogyakarta, menegaskan bahwa Islam dan Jawa yang dipahami, berbeda, terpisah dan tidak mungkin bersenyawa merupakan penilaian salah kaprah. Geertz menurut Woodward telah mendominasi kontruksi wacana yang beredar dan melahirkan sebuah sesungguhnya ingin mengatakan bahwa Islam Jawa ialah Islam pada umumnya seperti di Maroko, India, Suriah dan seterusnya. Woodward menekankan keunikan Islam Jawa bukan terletak pada aspek perhananan diri identitas kejawaan, melainkan konsep tentang manusia sempurna yang

  40 sesuai aturan-aturan di Masyarakat yang dipersatukan oleh Islam.

  Sehingga bisa dikatakan Woodward mengevaluasi pandangan Geertz bahwa Jawa atau budaya lokal bukan aspek dominan dalam masyarakat Jawa, melainkan Islam.

  Setelah Woodward mengkritik Geertz, datang giliran Woodward yang dikritik. Islam Jawa seperti bola liar yang awalnya dilempar oleh Geertz dan ditangkap oleh siapa saja yang memiliki ketertarikan atas Islam Jawa. Bola liar itu pada gilirannya ditangkap oleh Andrew Betty. Ia meneliti di daerah desa di kabupaten Bayuwangi. Penelitiannya mengungkapkan kebudayaan Jawa memiliki kekayaan luarbisa dalam hal spiritual. Ia menandai kekayaan itu dalam ritus slametan. Tradisi slametan telah menjadi suatu icon bagi masyarakat jawa yang menyuguhkan beragam ekspresi sinkretis kebudayaan dalam tradisinya. Karena sinkretisme itu memiliki suatu pemahaman akan ada dominasi dua entitas yang saling bersilangan. Sehingga sinkretis disini tidak cukup memadai dalam menunjukkan ekspresi kebudayaan seperti slametan.

  Betty menganggap bahwa di dalam slametan terjadi apa yang dinamaknnya sebagai multivokalitas. Orang saat mengikuti slametan memiliki berbagai pemahaman sendiri-sendiri, tidak satu pemahaman yang sama dalam mengikuti ritus tersebut. Memang di dalam slametan memiliki suatu kesepakatan bersama, namun pemahaman dan maknanya bisa beragam. Orang dengan memahami Islam secara ketat, misalnya, akan memahami slametan sebagai doktrin Islam. Sementara kalangan lain bisa memiliki pemaknaan yang sangat berbeda, seperti menghormati para roh leluhur atau biasa disebut pepeling (pengingat).

  Hasil penelitian Betty juga menggarisbawahi kemustahilan menemui orisinalitas kejawaan dalam suatu masyarakat di Jawa. Tampilan dalam ritus-ritus itu seolah-olah Jawa namun ternyata memiliki persenyawaan dengan Islam. Hal ini karena dalam doa-doa yang dipanjatkan bisa bernarasi Islam seperti tawasul ke Nabi Muhammad lalu mengirim doa pula ke rog-roh penjaga desa.

  Selain itu, Betty mengevaluasi trikotomi Geertz, ia menandaskan perlu ada pemisahan antara Islam puritan dengan Islam yang dikatakan Geertz dalam trikotominya. Muslim yang taat bukan berarti muslim yang dogmatis, kaku dan memiliki semangat purifikasi. Betty secara tidak langsung mengatakan orang Jawa adalah orang yang tidak berpegang pada domatisitas yang merongrong ajaran nenek moyangnya. Dengan begitu, semacam akta kesepahaman antara kelompok santri atau Islam dengan kalangan yang tidak menjalankan Islam secara ketat.

  Sosok lain yang mencoba mengevaluasi model sinkretis Geertz ialah Niels Mulder. Ia menolak pandangan itu dan memilih cara pandang atas keberagamaan di Jawa sebagai akibat lokalisasi. Mulder mengatakan bahwa

  41 agama di Asia Tenggara adalah agama yang mengalami proses lokalisasi.

  Pandangan ini menitikberatkan budaya lokal yang mempengaruhi kedatangan agama-agama yang tengah datang. Agama import ini kemudian menyerap tradisi sebagai upaya beradapatsi, bukan sebaliknya budaya lokal yang menyerap agama import itu. Contohnya ialah Islam di Jawa yang menyerap pelbagai keyakinan, tradisi dalam budaya Jawa. Unsur keyakinan asing harus menemukan suatu lahan dalam budaya lokal dan unsur bisa dicangkokkan. Sehingga hal ini menuntut kerja kreatif dari pembawa unsur asing untuk menemukan titik temunya. Islam Jawa pada akhirnya dipahami sebagai Islam yang menyerap budaya lokal.

  Interpretasi Islam Jawa selanjutnya ialah dari kerja lapangan Nur Syam yang meneliti masyarakat nelayan di wilayah Tuban Jawa Timur.

  Penelitiannya lagi-lagi memberi evaluasi mendasar terhadap sinkretis ala Geertz. Ia melihat bahwa Geertz mengabaikan terjadinya dialog antara Islam dan budaya lokal. Ia kemudian menyuguhkan suatu bahasa konseptual

  42

  dari dialog Islam dan budaya lokal dengan istilah Islam kolaboratif. Secara sederhana, Islam kolaboratif ala Nur Syam ini dipahami sebagai adopsi unsul-unsur lokal yang tidak bertentangan dengan spirit Islam dan menguatkan ajaran melalu transformasi terus-menerus.

  Islam Jawa dengan begitu ialah narasi yang tiada habis dikupas. 41 Kedatangan peneliti yang memiliki konsentrasi kajian Islam Jawa semakin

  Niels Mulder, Agama Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, (Jakarta: Gramedia membuat kaya kajian ini. Penulis sejauh ini menggaris-bawahi bahwa Islam Jawa memiliki spirit untuk mengakomodasi setiap kebudayaan Jawa atau lokal yang memiliki spiritualitas, mitos, tradisi dan ritual yang kaya.

  Sehingga Islam Jawa akan selalu beririsan dengan budaya lokal. Sementara perihal penelitian-penelitian yang memeriahkan tafsir atas Islam Jawa itu mesti didudukkan sebagai perayaan akan tafsir atas studi antropologi yang akan terus menerus berlanjut tanpa henti.

E. Kontribusi Penelitian

  Proyeksi penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pelbagai lini kehidupan.

1. Penelitian ini berusaha membantah tesis “Muhammadiyah

  Jawa” sebagai suatu entitas yang memiliki karakteristik, corak dan persinggunggannya dengan kebudayaan Jawa secara utuh.

  2. Penelitian ini juga memicu perdebatan intelektual di kalangan akademisi, cendekiawan, peneliti bahkan para ulama (khususnya ulama Muhammadiyah) perkara dinamika keberagamaan di Jawa.

  3. Penelitian ini juga diproyeksi memberi khasanah baru baru proyek penelitian di masa depan. Sehingga penelitian ini dapat menjadi acuan untuk model penelitian yang sejenis.

  F. Penelitian Terdahulu

  Penulis tidak menjumpai penelitian terdahulu yang memfokuskan pada “Muhammadiyah Jawa” yang didasarkan pada wilayah kritik gagasannya. Namun, penelitian-penelitian yang mengupas nalar Islam Modern, yakni Muhammadiyah penulis kira sudah banyak. Sehingga disini, penulis tidak menyantumkan sama sekali penelitian yang memiliki keterpautan dengan agenda penelitian yang dilakukan penulis saat ini.

  G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

  Pada umumnya, penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Tetapi penelitian ini tidak mengharuskan penulis untuk terjun ke lapangan, sehingga penelitian masuk dalam library research. Penelitian literatur mengharuskan penulis untuk melihat pelbagai buku,

  43 sajian data dan catatan laporan penelitian terdahulu.

  Penulis memilih fokus penelitian pada buku “Muhammadiyah Jawa” karya Najib Burhani sebagai sumber primer dalam penelitian ini.

  Hal ini tentu saja sulit karena terkesan membedah suatu buku semata. Namun penulis berupaya untuk menyuguhkan sumber-sumber primer lain seperti hasil penelitian dan buku-buku yang cukup otoritatif untuk membandingkannya, sebagai upaya menguji tesis “Muhammadiyah Jawa” dan representasi dari “Islam Jawa”.

43 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor:

  Dengan begitu, konteks penelitian ini akan menekankan pada situasi historis yang merujuk pada teks-teks primer maupun sekunder yang tersaji. Teks akan dipahami sebagai suatu jalinan yang tidak terhingga sehingga memiliki pemaknaan yang tidak terbatas. Dalam hal ini, penelitian ini juga memiliki dimensi subjetivitas dari peneliti untuk menafsirkan kembali hasil dari telaah historis teks yang tersaji.

  Oleh karena itu, Penelitian mengarah pada tujuan untuk menampilkan gambaran mengenai setiap perincian setting sosial, situasi, yang memiliki pertautan dengan teks-teks atau sumber lain. Pe nelitian ini akan lebih mengekplorasi pada pertanyaan, “bagaimana” dan “siapa” agar menemukan relasi-relasi dan kemungkinan dari

  44

  pemaknaan suatu teks. Dengan begitu, peneliti tidak akan memahami secara taken for granted tetapi akan memahami teks-teks yang diteliti

  45 sebagai suatu kontruksi tertentu.

  2. Sumber Data

  Sumber data yang akan dikupas habis ialah buku “Muhammadiyah Jawa” hasil riset dari Najib Burhani. Buku ini satu- satunya yang berani menyuguhkan bahwa Muhammadiyah ialah representasi Islam Jawa. Sehingga tidak memiliki sumber lain selain

  46

  buku ini. Namun penulis juga akan memakai sumber sekunder lain 44 terkait representasi Muhammadiyah sebagai sumber penguat untuk

  Roger W. Wimmer & Joseph R. Dominick, Mass Media Research: An Introduction (Bellmont California: Wadsworth Publisihing Company, 1991), h. 140. 45 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), h. 6. mematahkan asumsi Muhammadiyah sebagai representasi Jawa dan Muhammadiyah bisa mengakomodasi budaya Jawa.

  Sumber data sekundernya ialah buku hasil riset Mitsuo Nakamura berjudul “ Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin”, kemudian juga penelitian Abdul Munir Mulkan yakni, “Islam Murni dalam Masyarakat Petani”. Selain itu juga akan mengeksplorasi sumber- sumber lain yang kemungkinan dibutuhkan oleh penulis.

H. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan oleh peneliti ialah falsifikasi-historis.

  Dimana secara historis, akan melihat kontradiksi-kontradiksi dalam jalinan teks muhammadiyah jawa. Teks tersebut di dalam dirinya tampil dari satu perspektif tertentu yang berimplikasi pada penarikan konklusi. Inilah letak pemfalsifikasiannya.

  Disini mesti dipahami sebagai pengumpulan dan penafsiran atas gejala-gejala yang meliputi teks itu muncul. Sehingga akan didapati suatu penafsiran terbaru dari gejala yang ada.

  Sedangkan filososfis akan menekankan aspek epistemologis dari suatu gagasan yang karenanya gagasan itu muncul dan menjadi suatu tesis tertentu. Hal ini akan membutuhkan seperangkat unit analisis lain agar mempermudah pemahaman peneliti dalam menyelami pemaknaan yang

  47

  tidak terhingga. Namun lebih jauh, bahwa untuk melihat kesejarahan yang dibangun dalam buku “Muhammadiyah Jawa” penulis akan melihat bagai teks-teks itu menunjuk suatu fakta sejarah, kemudian menenggelamkan guna menyokong serangkaian teks itu. Sehingga penulis akan melihat bagaimana binary opposition yang dibuat untuk merampungkan gagasan, ide yang dibangun dalam teks itu sebagai sesuatu yang terpenggal, tak terbaca, (mungkin) menyesatkan.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Matematika - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONNECTING-ORGANIZING-REFLECTING-EXTENDING (CORE) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA MATERI GARIS SINGGUNG LINGKARAN DI SMPN 5

0 0 39

2. Jenis penelitian - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONNECTING-ORGANIZING-REFLECTING-EXTENDING (CORE) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA MATERI GARIS SINGGUNG LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 201

0 0 16

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONNECTING-ORGANIZING-REFLECTING-EXTENDING (CORE) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA MATERI GARIS SINGGUNG LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional

0 0 28

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONNECTING-ORGANIZING-REFLECTING-EXTENDING (CORE) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA MATERI GARIS SINGGUNG LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional

0 0 8

PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 16

PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian - PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Repository of I

0 0 16

PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 25

BAB V PEMBAHASAN - PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI LINGKARAN DI SMPN 5 TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 7

KRITIK GAGASAN MUHAMMADIYAH JAWA (Studi Literatur dalam Buku Muhammadiyah Jawa) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 6