PEMBANGUNAN PERTANIAN MANDIRI MENUJU INDONESIA SEJAHTERAH
1 PEMBANGUNAN PERTANIAN MANDIRI MENUJU INDONESIA SEJAHTERAH
Oleh:
2 Suardi Bakri Sekilas Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia
Pembangunan pertanian di Indonesia terus mengalami metamorfosis mencari pola yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan petani. Sejak awal kemerdekaan perencanaan pengembangan pertanian mulai dilakukan dengan nama Rencana Kasimo yang kemudian digabung dengan recana Wicaksono (1950-1959) dan melahirkan Recana Kesejahteraan Istimewa (RKI).
Pada Masa Orde Baru, pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan dengan program Bimas, Insus dan Supra Insus yang mengantarkan swasembada beras pada tahun 1984. Selanjutnya pada tahun 90-an atau era reformasi, pemerintah mengarahkan tujuan
3 pembangunan pertanian ke sistem agribisnis dan ketahanan pangan .
Pergeseran arah kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia diikuti dengan perubahan paradigma kebijakan. Jika pada masa Orde Baru yang dapat dilihat secara konseptual pada setiap Rencana Pembangunan lima tahun (Repelita), paradigma kebijakan pembangunan pertanian bertujuan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, memperluas lapangan kerja dan produksi orientasi eksport, maka di akhir tahun 90-an atau era reformasi telah bergeser pada tujuan agribisnis yang lebih kompleks, yaitu meningkatkan peranserta (pertisipasi), efisiensi dan produktivitas petani.
Pembangunan pertanian telah berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan lingkungan strategis terutama perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik. Pada awal kemerdekaan (1945-1965), upaya peningkatan produksi pertanian utamanya tanaman pangan mendapatkan perhatian khusus. Hal ini terkait dengan peran pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan memperbaiki sistem penyuluhan yang menitik beratkan pada tercapainya target produksi dalam waktu yang pendek.
Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah adalah pembentukan dan pembenahan 1 kelembagaan. Kelembagaan untuk mendukung upaya peningkatan produksi mulai
Disajikan dalam Seminar Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Indonesia
2 Timur, Makassar 02 April 2014 3 Ketua PISPI Wilayah Sulsel, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam MakassarPerhimpunan Ekonomi Pertanian (PERHEPI) dalam peringatan 25 tahun Perhepi menerbitkan buku
Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994 yang mengulas Pembangunan Pertanian dan membangi
direncanakan pada tahun 1947 dan baru dapat dilaksanakan pada tahun 1950. Dalam kurun waktu tersebut, sarana produksi, utamanya bibit, pupuk dan pestisida disiapkan oleh negara dalam hal ini menjadi beban dari program pemerintah.
Pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap program pembangunan pertanian yang telah dijalankan. Tahun 1964, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang diberi nama program Bimbingan Massal (Bimas), kemudian program intensifikasi khusus dan supra insus pada tahun 1980-1995. Program terakhir terdiri dari tiga macam program intensifikasi padi sawah bersamaan, yaitu Intensifikasi Massal, Intensifikasi Umum dan Intensifikasi khusus. Intensifikasi khusus merupakan pelaksanaan Bimas oleh petani penggarap sehamparan secara berkelompok agar lahan sawah dapat dengan optimal dimanfaatkan. Kegiatan kelompok tani semuanya direncanakan, mencari informasi dan menyebarkannya, memantau dan memimpin anggotanya serta berhubungan dengan pihak luar untuk kepentingan anggotanya.
Pada Supra Insus, perwilayahan pertanian diintegrasikan dengan wilayah administratif. Hal ini dapat dilihat dari organisasi penyelenggara yang dikordinasikan di bawah tanggung jawab masing-masing kepala daerah selaku pembina/pelaksanan Bimas. Penggerak program tersebut adalah kepala wilayah atau daerah utama. Unsur-unsur penggerak Supra Insus adalah kepala dinas/instansi yang menjadi anggota satuan pembina/pelaksana Bimas, unsur pelaksananya terdiri dari kelompok tani, KUD, penyuluh pertanian dan perbankan, khususnya BRI.
Saat ini, dimana regim Orde Baru telah berganti menjadi era reformasi, kebijakan pembangunan pertanian mengarah pada sistem agribisnis dan ketahanan pangan. Sistem Agribinis yang dicanangkan sejak tahun 1990-an menjawab tantangan pembangunan
4 pertanian di era lingkungan perekonomian yang semakin kompetitif .
Pada periode kebijakan agribisnis yang menitik beratkan peranserta, efisiensi dan produktivitas yang juga memberikan kewenangan pengambilan keputusan pengusahaan komoditas kepada petani. sebagaimana didukung dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992. Demikian pula dengan kebijakan ketahanan pangan yang didukung Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996, dimana dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin pada 4 tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Regim Orde Baru direpresentasikan dengan era pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan konsep
Repelita. Pada Era ini swasembada beras dicapai pada tahun 1984. Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada
tahun 1998, Orde Baru berganti menjadi Era Reformasi. Walaupun Kebijakan Agribisnis telah diletakkan dasar-
dasarnya pada akhir pemerintahan Soeharto namun pada era reformasilah, yaitu masa pemerintahan Presiden
Habibie, Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Magawati dan Presiden Susilo Bambang Yudoyono Dilihat dari pengertian ketahanan pangan tersebut, nyata bahwa kebijakan pembangunan pertanian saat ini selain melihat unsur pemenuhan produksi dalam negeri juga menekankan pada aspek pemerataan (distribusi).
Penajaman kebijakan agribisnis dan ketahanan pangan, terus menerus dilakukan.
5
, bahwa pemerintah menfokuskan program pembangunan Dilaporkan oleh Syafa’at, dkk pertanian pada dua program utama. Pertama, pengembangan sistem dan usaha agribisnis dan kedua, peningkatan ketahanan pangan. Kedua program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasistas produksi pertanian, mengentaskan kemiskinan di sektor pertanian dan di wilayah pedesaan, meningkatkan pendapatan rumah tangga tani, memantapkan ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat nasional, meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap devisa negara.
Pada tahun 2008, diperkenalkan kebijakan revitalisasi pertanian dan perdesaan. Program tersebut diselaraskan dengan kondisi riil kemajuan pembangunan pertanian dan antisipasi perubahan lingkungan strategis pembangunan pertanian ke depan. Terdapat tiga kebijakan utama yang diimplementasikan pada tahun 2008, yaitu peningkatan produksi pangan dan akses rumah tangga terhadap pangan; peningkatan produktivitas dan kualitas produk pertanian; perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi perdesaan. Dalam rangka implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, dua strategi besar yang ditempuh, yaitu
6
memperkokoh fondasi pembangunan pertanian melalui Panca Yasa , dan akselerasi pembangunan pertanian.
Kebijakan Sektor Pertanian
Kebijakan pembangunan pertanian, khususnya di negara-negara berkembang dibahas
7 secara menyeluruh oleh Frank Ellis dalam Agricultural Policies in Developing Country.
Pada sektor pertanian terdapat setidaknya delapan jenis kebijakan yang dapat dirinci lagi menjadi sebelas sub jenis kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kebijakan terkait output termasuk didalamnya kebijakan harga dan kebijakan pemasaran, kebijakan- kebijakan yang terkait input termasuk kebijakan harga input dan kebijakan sistem distribusi
5 Syafa’at dkk, 2004., Kinerja Nilai Tambah dan Produksi Sektor Pertanian 2000-2003, AKP Volume 2 No. 1, 6 Maret 2004; pp. 1-16.
Penyediaan/perbaikan infrastruktur termasuk sistem perbenihan/perbibitan dan riset, Penguatan kelembagaan,
Perbaikan sistem penyuluhan, Penanganan pembiayaan pertanian terutama upaya untuk memobilisasi dana 7 masyarakat di Perbankan dan Fasilitasi pemasaran hasil pertanian input. Selanjutnya juga terdapat kebijakan kredit, kebijakan mekanisasi, kebijakan land reform , kebijakan irigasi dan kebijakan penelitian.
Banyak contoh program kebijakan yang dijalankan pemerintah sesuai periode kebijakannya, seperti halnya kebijakan harga output dengan ditetapkannya Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian berubah menjadi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), kebijakan input, khususnya pupuk dengan pemberlakukan Harga Eceran tertinggi dan sistem distribusi, kebijakan kredit dengan pemberian pinjaman modal berbunga rendah (dulu ada Kredit Candakulak, dan KUT, sekarang kita kenal adanya PUAP dan KUK), adanya pembangunan-pembangunan irigasi skala kecil dengan sistem padat karya, adanya bantuan- bantuan mesin dan alat alat pertanian dan lainnya. Di Indonesim seluruh kebijkan yang disebutkan oleh Ellis telah dilaksanakan secara kontinu dari tahun ke tahun, dari periode pemerintahan Soekarno ke periode pemrintahan SBY, kecuali kebijakan land reform.
Secara khusus, penulis akan sedikit membahas mengenai kebijakan land reform, karena kebijakan ini terkait dengan sistem sosial lokal yang penulis akan uraikan lebih lajut. Namun sebelum menguraikan masalah kebijakan ini terlebih dahulu penulis menekankan kembali pentingnya arti lahan dalam sektor pertanian, antara lain : (a) lahan sebagai sumberdaya dalam produksi pertanian, (b) lahan adalah stock modal, asset atau investasi yang tetap dan merupakan ukuran tingkat kesejahteraan. Nilai lahan berupa harga per hektar jarang merefleksikan ekspektasi terhadap tingkat pengembalian lahan sebagai modal investasi dalam produksi pertanian. Lahan juga merupakan sebuah pengaman dari penghidupan, sebagai sesuatu yang dapat ditrasfer antar generasi [diwariskan] (c) lahan juga sebagai milik pribadi, (d) lahan sebagai fungsi hubungan sosial dalam pertanian.
Persoalah lahan merupakan perdebatan yang sudah sangat lama. Sewa dan peran pemilik tanah [lahan] adalah issu kontroversial, misalnya di Amerika Serikat pada tahun 1800- an. Karl Max menulis ”tanpaknya tak ada yang lebih baik ketimbang memulai dari soal sewa, property tanah, karena ekonomi berkaitan dengan tanah, sumber dari segala produk dan eksistensi, dan berhubungan dengan bentuk produksi pertama dalam komunitas yang telah menetap, yakni pertanian” (Marx, 1911: 302).
Pandangan klasik tentang tanah adalah teori sewa Ricardian. Menurut Ricardo, tanah adalah tetap, sumberdaya yang tidak dapat diproduksi, dan karenanya sewa adalah
”pemberian gratis dari alam dan karenanya dapat dikenakan pajak atau diambil oleh negara
8 tanpa berdampak pada biaya marginal dalam produksi panen atau barang.
Sementara itu, dalam teori kapitalisme, tanah merupakan salah satu dari lima faktor produksi selain tenaga kerja, modal, teknologi dan organisasi. Dalam kapitalisme dinyatakan
9 bahwa seluruh kegiatan ekonomi meliputi produksi, distribusi dan konsumsi (Marshall).
Begitu pentingnya persoalan lahan utamanya distribusi lahan, dalam kebijakan pembangunan pertanian, secara spesisfik terdapat kebijakan land reform. Land Reform menurut Ellis, 1992 mempunyai tujuan bersama, yaitu tujuan politik, tujuan sosial dan tujuan
10 ekonomi.
Tujuan politik tergantung dari kekuatan dan tekanan yang diciptakan untuk memperoleh keuntungan pada kebijakan tersebut, termasuk ketika terjadi perubahan revolusioner dalam kekuatan politik. Beberapa kemungkinan terjadinya land reform adalah sebagai berikut :
(a) Land reform terjadi sebagai hasil dari perubahan politik secara revolusioner. Tujuan utamanya menjadi kekuatan dan konsolidasi dasar membentuk pemerintahan baru. (b) Land reform sebagai platform liberal (orientasi pasar) kelompok politik. Tujuan utamanya untuk mengurangi kekuatan elite penguasa lahan. (c) Land reform sebagai sebuah ukuran pertahanan kelompok politik konservatif.
Sedangkan tujuan sosial, land reform biasanya menggunakan konsep hukum sosial. Hukum sosial menyatu antara pertimbangan politik, ekonomi dan motivasi. Pada sisi politik, menaikkan kesetaraan sosial merupakan argumen kelompok liberal dan sosialist. Sementara pada sisi ekonomi, hukum sosial terkait dengan masalah-masalah tenaga kerja, distribusi pendapatan, efisiensi dan ukuran pasar domestik.
Pada tujuan ekonomi terdapat dua tujuan utama land reform, yaitu mengurangi angka kemiskinan dan menaikkan produksi pertanian. Land reform merupakan sebuah instrumen potensial untuk mengurangi kemiski nan, disebabkan dapat mencegah ”perbudakan” alami yang merupakan tipe dari sistem penyewaan lahan. Demikian pula dengan pengurangan ketimpangan kepemilikan lahan yang bisa meningkatkan pendapatan rumahtangga petani serta menambah jumlah keluarga petani yang dapat menerima penghidupan dari lahan.
Instrumen land reform dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu instrumen 8 reformasi sistem sewa (tenancy reform), instrumen redistribusi lahan dan instrumen
Lihat Mark Skousen, 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi, Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern, 9 Prenada, Jakarta p. 278 10 Lihat Swedberg, Richard, 2003. Principles of Economic Sociology, Princeton University Press, p. 58 pembukaan lahan. Dalam Instrumen reformasi sistem sewa adalah tidak termasuk redistribusi lahan-lahan milik petani yang telah ada, tetapi hanya mereformasi sistem kontrak sewa yang tekah ada.
Pada land settelment juga tidak meredistribusi lahan yang telah dimiliki secara pribadi, tetapi menyediakan tanah negara untuk pemukiman, atau membuka lahan baru untuk pemukiman, atau penempatan kembali ke tanah yang ditinggalkan pemiliknya yang terdahulu. Berbeda dengan redistribusi lahan yang berarti merealokasi kepemilikan lahan antar penduduk, dan aturan-aturan untuk hal tersebut merupakan kesepakatan yang lebih sulit diformulasikan dan diimplementasikan dibandingkan dengan model land refom lainnya.
Belajar dari Pengalaman : Mengukur Keberhasilan Kebijakan Pemerintah
Dari berbagai kebijakan pemerintah dengan paradigma yang telah bergeser dapat diukur dengan “mengintip” berbagai hasil penelitian misalnya, khusus pada era revolusi hijau, Paul Duester telah melaksanakan penelitian pada dua desa di Indonesia pada tahun 1972-73 masing-masing satu desa di daerah dataran tinggi di Sumatera Barat, yaitu di daerah Minagkabau dan satu desa lagi di daerah Sulawesi Selatan. Duester menemukan bahwa jika dibandingkan pendapatan usahatani sebelum dan setelah ”revolusi hijau” dengan menggunakan teknologi-teknologi baru, total pendapatan petani naik, baik di Sumatra Barat maupun di Sulawesi Selatan. Di Sumatera Barat pendapatan kotor dari padi naik sekitar 200%, walaupun biaya-biaya produksi juga naik lebih cepat, pendapatan bersih sekitar 140%. Di Sulawesi Selatan pendapatan kotor petani juga naik 48,7%. Karena biaya produksi juga
11 naik dengan cepat, maka pendapatan bersih petani naik tidak kurang dari 44,0%.
Dampak yang paling besar atau efek dari meningkatnya produksi dan pendapatan menurut Duester adalah dilihat pada perekonomian desa dengan adanya penggunaan varietas baru dan penggunaan pupuk. Dalam penelitian Duester tersebut disebutkan sebagai dampak ekonomi tidak langsung adalah pada sisi input produksi yaitu adanya permintaan yang besar terhadap tenaga kerja upahan. Pada saat itu banyak tenaga kerja berasal dari luar masuk ke pedesaan, karena tingkat upah juga naik. Estimasi pendapatan tenaga kerja lepas rata-rata 30
12 sampai 40 persen atau menambah sekitar 2 persen dari pendapatan rumah tangga.
Namun demikian, Mishra juga menyebutkan bahwa beberapa hasil studi mengindikasikan bahwa revolusi hijau tidak mampu mengurangi migrasi tenaga kerja 11 pedesaan ke pusat-pusat kota. Revolusi hijau juga tidak memperbaiki pendapatan petani kecil 12 Paul Duester dalam Gary E. Hansen ed, 1981, op cit
yang disebabkan dukungan pelayanan dan kredit tidak terorganisir dengan baik. Lebih lanjut juga dikatakan bahwa revolusi hijau ke depan hanya meningkatkan disparitas regional di
13 daerah pedesaan, misalnya antara lahan sawah dengan lahan kering.
Di sisi lain, yaitu aspek distribusi “kue” hasil kebijakan pembangunan pertanian, dapat dilihat misalnya hasil penelitian Cameron, 2003 yang menggunakan data-data Susenas untuk melihat dampak pembangunan terhadap distribusi dan disimpulkan bahwa walaupun berbahaya, data susenas secara akurat dan rasional dapat menggambarkan perubahan distribusi pendapatan masyarakat Indonesia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia naik secara tidak nyata dengan pembangunan. Walaupun ketimpangan di kota naik, perubahan tersebut mengimbangi penurunan ketimpangan di
14 pedesaan.
Sebuah penelitian juga menyimpulkan bahwa trend ketimpangan di Indonesia selama periode 1999-2005 yang diukur dengan menggunakan indeks Theil dan koefisien Gini mengalami peningkatan. Demikian pula jika mengamati ketimpangan pengeluaran per kapita rumahtangga di perkotaan dan di pedesaan, dimana masing-masing juga terus mengalami peningkatan ketimpangan. Ketimpangan di perkotaan selalu lebih besar dibandingkan di pedesaan. Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang cukup
15 signifikan pada total ketimpangan.
Sementara itu, struktur penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga tani telah diteliti di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan, kalimantan Tengah. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan di daerah pasang surut tergolong sedang. Hal ini ditunjukkan oleh gini indeks masing-masing di daerah tersebut sebesar 0.42 dan 0.49. Ketimpangan dalam pemilikan lahan lebih kecil dari penggarapan. Sedangkan di lahan kering, Ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan sangat rendah,
16 yang ditunjukkan oleh gini indeks berturut-turut sebesar 0.28 dan 0.27.
Selanjutnya, U. Fadjar dkk pada tahun 2007 melakukan penelitian di dua Provinsi, 13 yaitu Sulawesi Tengah dan Nagroh Aceh Darussalam (NAD) khususnya di Desa Tondo dan 14 Lihat Misra, R.P, loc cit
Lihat Lisa Cameron, 2002. Growth with or without Equity? The distributional impact of Indonesian
15 Development , Asian-Pasifik Economic Literature, Vol. 16, issue 2, Nov. 2002;pp.1-17.
Lihat Nuraliyah, 2009, Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (1999-2005); IPB;
pp. 43-4416 Dewa K.S. Swastika et al, 2000., Struktur Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumahtangga Tani, Studi
Kasus di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan, Kalimantan Tengah , Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi, Litbang Pertanian, Bogor dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalimantan Tengah.Desa Jono Oge (Sulawesi Tengah) Desa Cot Baroh/Tunong Desa Ulee Gunong (NAD). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa berlangsungnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agrarian yang secara bersamaan memberi jalan pada proses polarisasi dan proses stratifikasi ternyata melahirkan bentuk struktur masyarakat agraris yang memiliki tipe stratifikasi dengan pemilikan sumberdaya agraria yang semakin timpang. Struktur tersebut bertolak belakang dengan perkiraan Marx bahwa kekuatan sistem produksi kapitalis akan menjadikan masyarakat tani terpolarisasi menjadi dua kelas yang terbelah, yaitu borjuis yang memiliki alat produksi lawan proletar yang dieksploitasi.
Penelitian di empat komunitas petani kasus tersebut menunjukkan bahwa struktur sosial komunitas petani disusun oleh beberapa lapisan dengan status tunggal (pemilik, penggarap, dan buruh tani) serta status kombinasi (petani pemilik + penggarap,pemilik + penggarap + buruh tani, pemilik + buruh tani, dan penggarap + buruh tani). Lapisan petani penggarap, petani penggarap buruh tani merupakan lapisan tunakisma tidak mutlak karena mereka masih mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria meskipun hanya melalui penguasaan sementara, sedangkan lapisan buruh tani merupakan lapisan tunakisma mutlak karena mereka samasekali tidak mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria. Menurut U. Fadjar, 2000. Pada saat penelitian berlangsung, petani tunakisma tidak mutlak maupun tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Bahkan di Desa Jono Oge Sulawesi Tengah, proporsi petani tunakisma sudah mencapai 34,2 persen dari total rumah tangga petani. (6,9% tunakisma tidak mutlak dan 27,3 tunakisma mutlak). Selain itu, berdasarkan analisis gini ratio, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria sudah muncul dengan tingkat ketimpangan tinggi (komunitas petani Desa Jono Oge dan Cot Baroh/Tunong), tingkat ketimpangan sedang (komunitas petani Desa Tondo), dan tingkat
17 ketimpangan rendah (komunitas petani Desa Ulee Gunong) .
Di Pedesaan Bali dan Jawa juga telah dilakukan penelitian dengan menerapkan Indeks Gini untuk mengidentifikasi tingkat pemerataan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa diantara empat provinsi di wilayah Jawa dan Bali yang menjadi daerah penelitian, distribusi pendapatan rumah tangga contoh di Provinsi Bali paling merata dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini ditunjukkan oleh indeks Gini paling kecil yaitu 0,1897, sedangkan indeks Gini distribusi pendapatan rumah tangga di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing 0,4812; 0,3526; dan 0,5915. 17 Dari indikator tersebut, tampaknya ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga contoh terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan indeks Gini lebih besar dari 0,500. Distribusi pendapatan rumah tangga contoh pada masing-masing agro-ekosistem di DKI Jakarta cukup baik dan tidak tampak perbedaan yang substansial. Namun demikian distribusi pendapatan rumah tangga pada lahan kering dominan tanaman pangan relatif lebih baik dengan koefisien Gini 0,4022 dibandingkan dengan distribusi pendapatan rumah tangga pada lahan irigasi maupun lahan kering dataran rendah dominan tanaman sayuran dengan koefisien Gini masing-masing 0,4843 dan 0,4479. Sedangkan tingkat pemerataan pendapatan rumah tangga antar agro-ekosistem di Jawa Barat cukup baik kecuali pada agro-ekosistem lahan kering dataran rendah dengan koefisien Gini 0,5043. Tingkat pemerataan distribusi pendapatan rumah tangga contoh ditemukan pada lahan irigasi dan lahan tadah hujan dengan koefisien Gini masing-masing 0,3732 dan 0,2774. Pada agro-ekosistem lahan pesisir dan lahan kering dataran tinggi masih pada batas normal dengan koefisien Gini masing-masing 0,4487 dan 0,4574.
Untuk Provinsi Jawa Timur, tingkat pemerataan distribusi pendapatan pada lahan irigasi merupakan yang paling buruk dengan koefisien Gini 0,5121 dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Sedangkan distribusi pendapatan rumah tangga pada lahan pesisir merupakan yang terbaik dengan koefisien Gini 0,1920 diikuti oleh tingkat pemerataan pada lahan kering dataran rendah yang juga cukup baik dengan koefisien Gini 0,2827. Begitu pula distribusi pendapatan rumah tangga pada lahan tadah hujan dan lahan kering dataran tinggi yang juga cukup merata dengan koefisien Gini masing-masing 0,3686 dan 0,3079.
Di Provinsi Bali, distribusi pendapatan rumah tangga pada lahan irigasi tidak semerata agroekosistem lainnya dengan indeks Gini 0,4204. Hal ini terjadi karena wilayah lahan irigasi relatif dekat kota yaitu Tabanan sehingga peluang untuk memperoleh pendapatan dari sektor non pertanian cukup besar. Sedangkan distribusi pendapatan rumah tangga pada agroekosistem lainnya seperti lahan kering dataran tinggi dominan sayuran, lahan kering dataran tinggi dominan ternak, lahan kering dataran tinggi dominan tanaman perkebunan cukup merata dengan koefisien Gini masing-masing 0,2861; 0,2366; dan 3280. Pada agro- ekosistem lahan kering dataran rendah pun distribusi pendapatan cukup merata dengan
18 koefisien Gini 0,2001.
Selain Duester (1981), Bakri (2013) juga meneliti dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pola penguasaan lahan. Bakri melakukan penelitian terhadap dua tipologi
18 Lihat Made Oka Adnyana dan Rita Nur Suhaeti, 2000. Penerapan Indeks Gini Untuk Menigidentifikasi
Tingkat Pemerataan Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pedesaan di Wilayah Jawa dan Bali , Puslitbang Sosek, IPB, Bogor lahan (lahan dataran rendah dan dataran tinggi) menyimpulkan bahwa Secara umum kebijakan pembangunan pertanian berdampak pada perubahan pola distribusi penguasaan lahan dari ketimpangan tinggi, menjadi ketimpangan sedang sejak tahun 1983, sedangkan rata-rata penguasaan lahan semakin menurun dan kelompok penguasaan lahan didominasi kelompok penguasaan di bawah 0,5 ha.
Periode kebijakan Bimas yang menerapkan tiga program intensifikasi sekaligus, yaitu Intensifikasi umum, intensifikasi khusus dan supra insus serta operasi khusus Lappo Ase pada tahun 1973-1982, telah menggeser pola penguasaan lahan dari kategori ketimpangan tinggi dengan indeks Gini 0,540 pada tahun 1973 menjadi ketimpangan sedang dengan indeks Gini 0,496 pada tahun 1983.
Pada sawah dataran rendah rendah ketimpangan penguasaan lahan lebih tinggi dengan tolok ukur indeks Gini 0,68, kelompok penguasaan lahan di bawah 0,5 ha yang sangat dominan (58,92%) serta rata-rata penguasaan lahan lebih sempit (0,91 ha), dibandingkan pada sawah dataran tinggi dengan tolok ukur indeks Gini 0,26, dominasi kelompok
19 penguasaan 1,00-2,00 ha (51,72%) dan rata-rata penguasaan lahan 1,06 ha .
Konsep Lokalitas Menuju Pembangunan Pertanian Mandiri
Dalam kerangka pembangunan pertanian/perdesaan sistem sosial lokal (lokalitas) memegang peranan yang sangat penting. Talcott Parsons (1902-79) mendifiniskan sistem sosial sebagai sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan. Defenisi menyimpulkan bahwa dalam sistem sosial terdapat beberapa konsep kunci diantaranya
20 ”aktor”, ”interaksi”, ”lingkungan”, ”optimalisasi kepuasan” dan ”kultrur”.
Dalam konteks lokal [desa] sistem sosial lokal berpusat pada empat aktor utama, yaitu rumah tangga, komunitas (kelompok) sosial, pemerintah lokal dan pasar. Dinamisasi pembangunan desa terjadi melalui interaksi keempat komponen tersebut, dimana hubungan
21 19 dan interaksinya dapat digambarkan dalam bentuk piramida trigonal sebagai berikut.
Lihat Bakri, Suardi, 2013. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pola penguasaan Lahan
Sawah Dataran Rendah dan Sawah Dataran Tinggi pada Dua Desa di Sulawesi Selatan, Disertasi Doktor pada
Universitas Hasanuddin, Makassar.20 Lihat Ritzer, George Rtzer dan Douglas J.Goodman, 2007. Teori Sosiologi Modern, Edisi Enam, Kecana
21 Prenada Media Group, Jakarta pp.117-136
Lihat Toshihiro Yogo, 2000. Local Communities in Development Process- An Analitycal Framework, Asian
D Pembangunan Organanisasi C A
Ket : Organisasi Sosial
A: Rumah Tangga B : Komunitas Lokal C : Pasar D :Pemerintah Desa
B
Gambar 1. Kerangka Konseptual Sistem-sistem Sosial Lokal dalam
Pembangunan Desa, diadopsi dari Toshihiro Yogo, 2000
1. Rumah Tangga
Rumah tangga (A pada Gambar 1) merupakan unit paling dasar dalam pembangunan [pedesaan/pertanian]. Rumah tangga terdiri dari anggota rumahtangga yang hidup bersama, mempunyai kapasitas untuk mereproduksi kebutuhan-kebutuhannya sekaligus sebagai sumber tenaga kerja dan pengelola sumberdaya. Lebih lanjut, terdapat tiga komponen kegiatan yang ada dalam rumah tangga, yaitu komponen produksi, komponen konsumsi dan komponen pengelolaan (managemen).
Dalam Komponen produksi, rumah tangga membutuhkan sumberdaya fisik untuk produksi, diantaranya sumberdaya lahan dan berbagai fasilitas seperti irigasi, demikian pula membutuhkan sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja dan sumberdaya finansial sebagai modal baik dalam bentuk tunai maupun natura.
Sementara itu, pada komponen konsumsi, secara fisik rumahtangga membutuhkan fasilitas untuk penghidupan, seperti perumahan, air dan lain-lain. Sedangkan sumberdaya manusia adalah anggota rumah tangga yang hidup bersama dan menggunakan pendapatannya secara bersama. Dalam aspek konsumsi, rumah tangga membutuhkan sumberdaya fiansial untuk sebagai tolok ukur kesejahteraan, untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sementara itu, pada komponen pengelolaan, secara fisik rumahtangga mempunyai hak penggunaan dan alokasi, dalam sumberdaya manusia mempunyai hak untuk memberi
22 penugasan dan hak untuk pembelanjaan dan distribusi pada sumberdaya finansial.
2. Komunitas lokal
Selanjutnya komunitas lokal merupakan sebuah dasar sosial (social base) dengan aggota rumah tangga yang berinteraksi satu sama lainnya untuk pemenuhan produksi dan kebutuhan konsumsinya. Di sini digambarkan komunitas adalah komunitas petani yang
23
menurut Sanderson dalam U. Fajar dkk. adalah sebuah komunitas yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik sumberdaya agraria (lahan) maupun bukan pemilik (tunakisma). Oleh sebab itu, gambaran struktur sosial komunitas petani akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui penguasaan tetap (pemilikan) maupun penguasaan sementara (seperti bagi hasil). Namun, struktur sosial komunitas petani ini bersifat dinamis.
Yogo, 2000 menggambarkan interaksi anngota rumah tangga dapat terjadi dalam bentuk kelembagaan baik tradisi maupun kelembagaan bentukan pemerintah. Oleh karena itu dalam pembangunan, komunitas lokal dapat dikategorisasi atas fungsinya dalam masyarakat baik
24 berdasarkan mobilisasi sumberdaya, pola organisasi, dan pola pembagian keuntungan.
Pasar 3.
Pasar tersedia bagi rumah tangga untuk membeli komponen-komponen kebutuhan produksi dan konsumsi. Pada perinsipnya fungsi sebuah pasar adalah universal pada semua lokasi dan netral pada semua kategori rumah tangga. Hal tersebut menyebabkan pasar menjadi salah satu pusat dalam pembangunan yang menyebabkan rumah tangga dapat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, merubah pekerjaan atau merubah jenis tanaman yang dipeliharanya.
Rumah tangga berinteraksi dengan pasar melalui saluran pasar yang tersedia pada tingkat lokal serta mekanisme harga yang bekerja pada saluran tersebut. Permasalahan pasar dalam konteks pembangunan pada tingkat lokal dapat disebutkan
25
sebagai beriku : 1. Keberagaman saluran pasar tersedia bagi produk maupun barang-barang konsumsi.
22 Ibid, pp. 23-24
23 Lihat U. Fadjar dkk, 2008. Transformasi Sistem Produksi Pertanian dan Struktur Agraria Serta Implikasinya
Terhadap Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani , Jurnal Agro Ekonomi, Volume 26 No.2, Oktober 2008 :
24 209 - 233 25 Yogo, 2000, Loc cit, p. 252. Aksesibilitas pada saluran pemasaran baik tingkat nasional maupun internasional dimana harga tidak turun hanya disebabkan naiknya produksi khususnya di tingkat lokal.
3. Sifat monopolistik atau kompetitif pada mekanisme harga yang bekerja pada saluran pemasaran yang ada.
4. Negara dan Administrator Lokal
Pemerintah lokal atau administrator dalam konteks pembangunan desa merupakan representasi dari negara. Negara dalam mencapai tujuannya dapat melakukan intervensi terhadap sistem dan aktifitas produksi maupun konsumsi masyarakat melalui berbagai kebijakan maupun program pembangunan. Dalam tingkat lokal [desa] tentunya kebijakan dan program pembangunan diimplementasikan oleh lembaga administrasi lokal.
Kebijakan pembangunan mempunyai beragam bentuk sesuai dengan sumberdaya,
26
organisasi dan norma-norma. Pendekatan kebijakan pembanguan dapat dibagi atas :
1. Pendekatan tambahan sumberdaya, seperti pemberian bantuan terhadap sistem produksi dan konsumsi masyarakat. Sebagai contoh subsidi pupuk, subsidi bibit (produksi); raskin, jamkesmas, Bos (konsumsi).
2. Pendekatan organisasi, seperti penguatan kelembagaan.
3. Pendekatan pendidikan dengan melakukan transfer pengetahuan dan teknologi, misalnya Sekolah lapang bagi petani.
4. Pendekatan Terintegrasi dengan melakukan kombinasi 2 atau lebih pendekatan.
Simpulan
Untuk mendapatkan pembangunan pertanian mandiri perlu penguatan pada empat pilar pembangunan pertanian, diantaranya keluarga petani hendaknya diupayakan memiliki asset produksi yang memenuhi skala ekonomi sehingga kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemrintah tidak sia-sia. Demikian halnya dengan kelembagaan lokal yang memerlukan penguatan, bukan hanya pada sumberdaya manusianya, melainkan norma-norma yang ada sehingga tidak satupun kelompok menguasai atau mengeksploitasi kelompok lainnya. Pasar hendaknya dapat diakses oleh seluruh komponen pembangunan pertanian serta pemerintah lokal terlibat secara arif.
26
Refrence
Adyana, Made Oka dan Suhaeti, Rita Nur, 2000., Penerapan Indeks Gini untuk
Mengidentifikasi Tingkat Pemerataan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan di Wilayah Jawa danBali , Puslitbang Sosek, Departemen Pertanian, Bogor.
Anonimous, 1991., Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Soeharto di Depan Dewan Perwakilan Rakyat , 16 Agustus 1991, Percetakan Negara RI. _________, 1997., Sejarah Bimas (Perkembangan Intensifikasi dan Perannya dalam
Pembangunan Pertanian) , Sekretariat Badan Pengendali Bimas, Jakarta
_________, 2004. Understanding the Poor, Publikasi Lembaga Penelitian Smeru No. 11, Juli-September 2004, Jakarta. Baumol, William J., Litan, Robert E., dan Schramm, Carl J., 2007. Good Capitalism, Bad
Capitalisme, and The Economics of Growth and Prosperity , Universitas Ciputra dan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bakri, Suardi, 2013. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pola
Penguasaan Lahan Sawah Dataran Rendah dan Sawah Datara Tinggi pada Dua Desa di Sulawesi Selatan , Disertasi Doktor pada Universitas Hasanuddin, Makassar.
Booth, Anne, 1988., Agricultural Development in Indonesia, ASAA Southeast Asia Publication Series, Allen & Unwin Pty Ltd. Booth, Anne, Manning, Chris and Thee Kian Wie, 2012. Land, Livelihood, The Economy and The Environment in Indonesia , Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Braun, Joachim von, 2005., Agricultural Economics and Distributional Effect, Agricultural Aconomic Journal, Vol 32, Januari 2005, Issue Suplement, pp. 1-20. Cameron, Lisa, 2002, Growth With or Without Equity? The Distributional Impact of Indonesian Development, Asian-Pasific Economic Literature, Vol 16, Issue 2, Nov.
2002; pp. 1-17. Damsar, 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ellis, Frank, 1992. Agricultural Policies in Developing Countries, Cambridge University Press, New York.
Froehlich, Walter (ed), 1961. Land Tenure, Industrialization and Social Stability: Experience
and Prospect in Asia , The Marquette UniversityPress, Wisconsin,United Statesof America.
Geertz, Cliffort, 1963. Agricultural Involution The Processes of Ecological Change in Indonesia , University of California Press, London.
Gerard, Francoise dan Ruf Francois, 2001. Agriculture in Crisis: People,Commoditiesand
Natural Resources in Indonesia 1996-2000 , Curzon Press, Richmond, United Kingdom.
Griffin, Keith, Rahmanm Azizur dan Ickowitz, Amy, 2002. Poverty and the Distribution of Land , Journal of Agrarian Change, Vol 2.No. 2, 3 July 2002, pp.279-330. Hansen, Gary E., 1981. Agricultural and Rural Development in Indonesia, Westview press, Inc, United States of America. Hanley, David, 2005. Agrarian Change and Diversity in the Light of Brookfield, Boserop and Malthus: Historical Illustration from Sulawesi, Indonesia . Asia Pasific Viewpoint,Vo.
46 No. 2, August 2005. ISSN 1360-7456, pp. 152-172. Blacwell Publishing, Victoria University Wellington. Jamal, Erizal, 2008. Membangun Momentum Baru Pembangunan Padesaan di Indonesia, Journal Litbang Pertanian 28 (1), 2009. Jhonston, Bruce F. dan Clark, William C. 1986. Redesigning Rural Development; A Strategic Perspective . The Jhons Hopkins University Press, USA. MacAndrew, Colin, 1986. Land Policy in Modern Indonesia, Oelgeschalger, Gunn & Hain Publisher Inc. Boston, USA. Mubyarto ed, 1982. Growth and Equity in Indonesia Agricultural Development, Yayasan
Agro Ekonomika, Jakarta Mishra, Ashok, El-Osta, Hisham, Gillespie, Jeffrey M., 2009. Effect of Agricultural Policy on
Regional Income Inequity Among Farm Hosehold , Journal of Policy Modeling No. 31 tahun 2009, pp.325-340.
Polama, Margaret M., 1979. Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta. P.S, Handewi dkk, 2001, Struktur dan Distribusi Pendapatan Rumah tangga Petani Lahan Sawah di Jawa dan Luar Jawa , Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Querol, Mariano N.,1974. Land Reform in Asia, Solidaridad House, Manila, Philipina. Rahman, Bustami, 1997. Nilai Kultural dan Difrensiasi Agraria di Pedesaan Jawa, dalam Prisma No. I-1997, PT. Temprint, Jakarta.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., 2007. Teori Sosiologi Modern, Edisi Enam, Kecana Prenada Media Group, Jakarta. Silitonga, Chrisman dkk, 1995. Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994, Perhepi, Jakarta. Swastika, Dewa K.S. dkk, 2000., Struktur Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumahtangga
Tani, Studi Kasus di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan, Kalimantan Tengah ,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Litbang Pertanian, Bogor dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalimantan Tengah. Swedberg, Richard, 2003. Principles of Economic Sociology, Princeton University Press,
USA Syafa’at dkk, 2004., Kinerja Nilai Tambah dan Produksi Sektor Pertanian 2000-2003, AKP Volume 2 No. 1, Maret 2004; 1-16.
Tjondronegoro, S.M.P dan Wiradi, Gunawan (ed), 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah,
Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa , Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta Torbecke, Erik dan Pluijm, Teodore van Der, 1993., Rural Indonesia: Socio-Economic
Development in A Changing Environment , International Fund for
AgriculturalDefelopment (IFAD) New York University Press, United States of America. U. Fadjar dkk, 2008. Transformasi Sistem Produksi Pertanian dan Struktur Agraria Serta
Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani , Jurnal Agro
Ekonomi, Volume 26 No.2, Oktober 2008 : 209 - 233 Yogo, Toshihiro, 2000. Local Communities in Development Process- An Analitycal Framework , Asian Productivity Organization.