MAKALAH WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM (2)

BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beribu pulau yang
sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut,selat dan teluk, sedangkan
daerah lainnya adalah daratan yang didalamnya juga memuat kandungan air
tawar dalam bentuk sungai,danau,rawa, dan waduk. Demikian luasnya
wilayah laut Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar
wilayah laut memanfaatkan kelautan sebagai mata pencaharian.
Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas
tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai
kebudayaan pesisir (Geertz,h.,)
Secara kuantitas jumlah penduduk Indonesia yang merupakan terbesar
kelima di dunia, yaitu lebih kurang 220 juta jiwa. Dan lebih dari 50 persen
diantaranya hidup dan bermukim di sekitar wilayah pesisir. Sehingga
beberapa antaranya menggantungkan segala kebutuhannya pada hasil laut
tersebut.
Daerah pesisir merupakan daerah yang sangat terkait dengan hajat
hidup banyak orang, terutama masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
tersebut. Menurut Mashyuk/ulhak dalam Proceeding Book Simposium Ilmu

Administrasi Negara untuk Indonesia daerah pesisir adalah daerah pertemuan
antara pengaruh daratan dan lautan , ke arah darat sampai pada daerah masih
adanya pengaruh pembesan air laut dan angin laut , dank e aarah laut sampai
pada daerah masih ada pengaruh air tawar yang memiliki beragam sumber
daya. Secara social ekonomi walayah pesisir merupakan aktivitas masyarakat
bersosialisasi, yaitu kepemerintahan,social,ekonomi budaya , pertahanan dan
keamanan.
Di dalam masyarakat maritim ada berbagai macam karakter-karakter
yang terbentuk, dari segala macam karakter tersebut tentu saja harus ada suatu
wadah untuk mengumpulkan pendapat masyarakat maritime tersebut agar
tercipta suasana yang tentram demi terwujudnya suatu tujuan bersama yang
menguntungkan kehidupan masyarakat maritim.
Oleh karena itu, demi menjaga keberlanjutan sumber daya tersebut,
maka di berbagai wilayah Indonesia ada beberapa masyarakat yang
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 1

membentuk sebuah organisasi untuk merancang dan memplementasikan
segala batasan-batasan eskploitasi disesuaikan dengan keberadaan sumber
daya tersebut sehingga dengan adanya organisasi dari masyarakat itu maka

sumber daya yang ada terus dijaga dan menguntungkan bagi masyarakat yang
telah menggantungkan segala kehidupannya terhadap sumber daya yang
dikelola seperti nelayan.

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 2

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji adalah ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengertian organisasi sosial terlebih dahulu
Untuk mengetahui tipe-tipe pesisir pantai
Untuk mengetahui organisasi nelayan yang masih ada di dalam Indonesia.
Untuk mengetahui masalah kemiskinan dari masyarakat maritim di Indonesia
sehingga adanya wadah untuk masyrakat maritim

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 3

BAB 2

PEMBAHASAN

Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan
Bugis, Bajo, dan Makassar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal dengan
kelompok kerjasama nelayan yang dikenal dengan istilah Po(u) nggawa-sawi (PSawi), yang menurut keterangan dari setiap desa telah bertahan sejak ratusan tahun
silam. Meskipun kelompok P-Sawi juga digunakan dalam kegiatan pertanian,
perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis dan
menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanann rakyat Bugis,
Makassar, dan Bajo di Sulawesi Selatan.
Struktur inti/elementer dari kelompok/organisasi ini ialah P.Laut atau Juragan dan
Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai
pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan dan keterampilan
manajerial, sementara Para Sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan
keterampilan kerja/produksi semata.
Suatu perubahan structural yang berarti terjadi ketika suatu usaha prikanan
mengalami perkembangan jumlah unit prahu dan alat-alat produksi yang dikuasai
oleh seorang P.Laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh dari kapitalisme. Untuk
pengembangan dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin
pelayaran dan proses produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk
mengelola perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota

yang beroperasi di laut, membangun jaringan pemerasan dan lain-lain. Di sinilah pada
awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan
yang di sebut P.Darat/P.Laut. untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di
laut, P.Darat merekrut juragan-juragan baru untuk menggantikan posisinya dalam
memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang dan meningkat jumlahnya. Para
P.Laut/juragan dalam proses dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagian
lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang
direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah P.Caddi,
sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi
baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 4

kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron client.
Hubungan patron-cilent memolakan dari atas bersifat servis ekonomi, perlindungan,
pendidikan informal, sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap
ketaatan dan kepatuhan, kerja keras,

A. PENGERTIAN ORGANISASI SOSIAL

Organisasi sosial adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat.
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa
dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia
membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
tidak dapat mereka capai sendiri (http://id.wikipedia.org). Pengertian
organisasi sosial juga dapat dilihat dari berbagai pendekatan disiplin
ilmu,diantaranya :
1. Pendekatan Antropologi Sosial
Definisi organisasi sosial berdasarkan pendekatan Antrofologi Sosial
dikemukakan antara lain oleh :
WHR Rivers, mengemukakan bahwa organisasi sosial adalah suatu proses
yang menyebabkan individu disosialisasikan dalam kelompok.
Raymond Firth, dalam bukunya Element of Social Organization menyatakan
bahwa yang dimaksud organisasi adalah suatu proses sosial dan pengaturan
aksi berturut-turut menyesuaikan diri dengan tujuan yang dipilih. Organisasi
sosial adalah penyusunan dari hubungan/interaksi sosial yang dilakukan
dengan jalan pemilihan dan penetapan.


Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 5

2. Pendekatan Sosiologi
Berdasarkan pendekatan sosiologi, diantaranya dikemukakan oleh :
 Alvin L. Bertrand, mengemukakan pengertian organisasi sosial dalam arti luas
adalah tingkah laku manusia yang berpola kompleks serta luas ruang
lingkupnya di dalam setiap masyarakat. Organisasi sosial dalam arti khusus
adalah tingkah laku dari para pelaku di dalam sub-sub unit masyarakat
misalnya keluarga, bisnis dan sekolah.
 Robin Williams, mengemukakan bahwa organisasi sosial menunjuk pada
tindakan manusia yang saling memperhitungkan dalam arti saling
ketergantungan. Ia selanjutnya menjelaskan bahwa pada saat individu
melakukan interaksi berlangsung terus dalam jangka waktu tertentu, maka
akan timbul pola-pola tingkah laku.
 JBAF Maijor Polak, mengemukakan bahwa organisasi sosial dalam arti
sebagai sebuah asosiasi adalah sekelompok manusia yang mempunyai tujuan
tertentu, kepentingan tertentu, menyelenggarakan kegemaran tertentu atau
minat-minat tertentu.
 Soerjono Soekanto, mengemukakan organisasi sosial adalah kesatuankesatuan hidup atas dasar kepentingan yang sama dengan organisasi yang

tetap sebagai sebuah asosiasi.
 Berdasarkan berbagai pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa
organisasi sosial adalah perkumpulan sosial berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum yang dibentuk oleh masyarakat karena adanya kepentingan
bersama untuk mencapai tujuan tertentu.

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 6

B. TIPE-TIPE DESA PESISIR
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem
kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola
kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa

yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69).

Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu
yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival

masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya.
Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi
kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85,
91).Berdasarkan hasil riset, Fachrudin dkk. (1976) mengelompokkan, desadesa pesisir ke dalam empat jenis, yaitu:
1. desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar
atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah;
2. desa pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar
atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman
industri;
3. desa pesisir tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa yang sebagian besar
atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan,
petambak, dan pembudidaya perairan; dan
4. desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian
besar

atau

seluruh


penduduknya

bermatapencaharian

sebagai

pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut)
(Hasanuddin, 1985: 108).
Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik
tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia,
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 7

lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang
melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses
demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan
demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, berikut ini akan
dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang dipandang penting sebagai
pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan, seperti sistem gender,
relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan, dan

kepemimpinan sosial.

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 8

C. ORGANISASI SOSIAL MASYARAKAT MARITIM
 Serikat Nelayan Indonesia
Serikat Nelayan Indonesia (SNI) adalah organisasi nelayan
tradisional yang didirikan pada tanggal 6 Desember 2007 di
Denpasar Bali. Pertemuan Bali merupakan musyawarah nasional
nelayan tradisional Indonesia yang pertama yang dilalui dari proses
perjalanan panjang konsolidasi di tingkat Desa-Kabupaten dan
Propinsi di Sumatera Utara, Pantura Jawa, dan Sulawesi. Pertemuan
ini mengeluarkan beberapa keputusan (1) Pembentukan Komite
Persiapan Serikat Nelayan Indonesia yang terdiri dari Presidium
sementara dan Eksekutif Nasional (2). Ikrar Persatuan Nelayan
Tradisional Nelayan Indonesia, (3). Garis Besar Acuan Organisasi
(GBAO), serta (4), program Jadwal menuju kongres Serikat Nelayan
Indonesia (SNI).
Pembentukan SNI dilatarbelakangi oleh keprihatinan nelayan

terhadap situasi kemiskinan yang dihadapi dan tidak adanya
keberpihakan Negara terhadap nelayan, terutama NelayanTradisional. Tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk
melindungi nelayan tradisional dalam persaingannya terhadap
pemakaian teknologi penangkapan ikan dalam skala besar dengan
menggunakan trawl. Pemerintah juga tidak menjamin ketersedian
pasar yang menguntungkan nelayan dalam melindungi harga ikan
yang selalu dimonopoli oleh para spekulan dan pemodal besar
seperti impor ikan dan garam yang membuat harga ikan, dan
garam jatuh.
Bahkan wilayah tangkap nelayan tradisional malah justru
dipersempit dengan memberlakukan wilayah tertutup bagi usaha
penangkapan nelayan tradisional untuk kepentingan wisata dan
eksplorasi pertambangan. Kebijakan ini telah mengundang
beroperasinya TNC/MNC diwilayah pesisir dan perairan Indonesia.

Tujuan
Membangun solidaritas dan persatuan antar organisasi nelayan tradisional
dalam rangka memajukan keadilan sosial dalam hubungan ekonomi yang
berkeadilan, kedaulatan pangan, kedaulatan atas sumberdaya laut dan pesisir,
serta pelestarian cara-cara penangkapan tradisional yang ramah lingkungan.

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 9

 Pemuda Mandiri Cinta Bahari
Darpius Indra memprakarsai pembentukan sedikitnya 12 organisasi di Nagari
Cerocok Anau Ampang Pulai, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten
Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Organisasi-organisasi itu semuanya ditujukan
untuk memberdayakan nelayan di wilayah kanagarian tersebut sejak tahun
2004.
Darpius memulainya dengan mengorganisasi kelompok pemuda dalam wadah
Pemuda Mandiri Cinta Bahari (PMCB). Pilihannya pada kelompok muda
didasari alasan logis. ”Pemuda itu energik, pemberani, tanpa pamrih.
Merekalah yang bisa mengubah nasib keluarga. Mereka yang akan mengambil
alih tongkat kepemimpinan sebagai kepala keluarga,” katanya.
Dari kelompok itu kemudian dilakukan pembagian berdasarkan spesialisasi
tertentu. Misalnya, kelompok nelayan keramba jaring apung, nelayan tambak,
nelayan penyelam, pengolahan, dan kelompok simpan pinjam.
Selain itu, terbentuk juga kelompok nelayan kolam air tawar, usaha
pengasapan ikan, pengawas masyarakat kegiatan perikanan dan pertanian,
pekerja bongkar muat kapal, pekerja transportasi, serta kelompok pengelola
air bersih.
Khusus untuk kelompok simpan pinjam, semua pengelolanya perempuan.
Berdasarkan pengalaman subyektif Darpius, keputusan itu didasarkan
kemampuan pengelolaan keuangan yang cenderung lebih teliti.
Sementara kelompok transportasi melayani bongkar muat, terutama pada
Selasa dan Jumat yang merupakan hari balai atau hari pasar. Beragam
komoditas perikanan dan hasil bumi, seperti pinang dan pala, diangkut dari
pelabuhan di wilayah kanagarian itu.
Kelompok PMCB mengelola kegiatan yang terkait dengan pelestarian
lingkungan bahari, di antaranya penyelamatan hutan mangrove dan budidaya
ikan di tambak payau.

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 10

Ia beranggapan, beraneka jenis kelompok itu memang harus diorganisasi
dalam sebuah wadah karena beragamnya aktivitas warga sehari-hari. Darpius
juga mengajak 20 warga mengikuti pelatihan tanggap kebencanaan guna
meningkatkan respons warga terhadap ancaman bencana di perkampungan
mereka.
Kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan beragam kegiatan itu
menjalankan program yang terkait dengan sejumlah kegiatan dari Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dinas kelautan dan
perikanan, serta Universitas Bung Hatta, Padang.
”Pemuda pokoknya harus diberi pelatihan, seperti pelatihan kewirausahaan,
perikanan, dan pengolahan ikan,” kata Darpius.
Pengaturan
Darpius memulai aktivitasnya di kanagarian itu sejak 2004. Dia pindah ke
lokasi itu menyusul istrinya yang berasal dari nagari tersebut.
Sebelum ia memulai aktivitasnya, para nelayan cenderung menjalani
kehidupan dengan begitu saja. Relatif tak ada penataan, termasuk
perkampungan yang masih terkesan kumuh.
Kini, perkampungan nelayan itu tertata apik dengan rumah-rumah berikut
pekarangan yang bersih. Kapal-kapal pencari ikan sandar dengan rapi di
dermaga.
”Dulu sangat kumuh karena memang cenderung tidak ada cetak biru dari
pemerintah mengenai penataan perkampungan nelayan,” katanya.
Bagaimana ia mengubah cara pandang sebagian besar nelayan di kawasan itu
penuh liku-liku.
”Masa awal diberi tahu cara-cara yang baik dan bagaimana pengaturan harus
dilakukan, memang ada yang tidak terima. Bahkan, ada yang lari dari ajakan,”
katanya.
Saudara dari keluarga istrinya pun pada masa-masa awal itu juga sempat
menentang aktivitasnya. Resistensi tersebut muncul karena sebagian besar
warga sudah telanjur menjalani kehidupan dengan kebiasaan lama. ”Banyak
yang mengatakan, kami sejak dulu model ikolah (seperti inilah). Tidak perlu
diatur lagi,” kenang Darpius.
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 11

Ia menganalisis, sikap itu muncul karena cara pandang sebagian nelayan yang
berpikir keseharian dan cenderung tak memanfaatkan waktu luang untuk
melakukan kegiatan produktif. ”Sebagian besar cenderung keras dalam
bersikap dan berbahasa. Itu bisa dimaklumi karena dipengaruhi faktor alam
dan lingkungan,” katanya.
Agar bisa diterima dengan baik, ia melakukan pendekatan secara perlahan.
Sejumlah orang yang selama ini dianggap relatif sulit diatur terus dibina.
Mereka akhirnya berubah menjadi tokoh masyarakat yang perilakunya bisa
diteladani.
Kuncinya adalah mengajari anggota kelompok masyarakat agar mampu
berbicara dan berkomunikasi. Ini sangat berguna karena kemampuan
komunikasi akan berujung pada kemampuan beradaptasi. ”Selanjutnya akan
dicintai orang dan ini akan memunculkan gairah hidup,” ujarnya.
Perlawanan
Hal itu berbuah ketika tahun 2010 dia melakukan perlawanan pada
pemerintah yang berencana mengambil sekitar 30.000 kubik kayu di kawasan
hutan Nagari Sungai Nyalo, Kabupaten Pesisir Selatan. Kayu-kayu besar itu
akan ditebang untuk kebutuhan pembangunan rumah korban gempa bumi di
Kabupaten Padang Pariaman pada 30 September 2009. Padahal, jika hutan itu
jadi digunduli, dampaknya kerusakan lingkungan hingga ke Nagari Ampang
Pulai dan sekitarnya. Posisinya sebagai pegawai negeri sipil tak membuat
Darpius kendur menentang kebijakan pemerintah ketika itu.
”Saya tantang mereka, kalau memang mau diteruskan, sekalian saja saya
suruh masyarakat membabat habis semua hutan yang ada. Rencana
penebangan hutan itu tidak jadi dilakukan karena kami juga mendapat
dukungan pemerintah pusat.”
Kini, bagi warga nagari yang melanggar dan merusak lingkungan, mekanisme
sanksi sosial berupa pengucilan mulai diperketat. ”Bentuknya bisa berupa
tidak diberi bantuan, tidak diajak dalam kelompok, dan sebagainya,” kata
Darpius.
Kini, sehari-hari Darpius membagi waktunya sebagai Kepala Seksi
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pesisir Selatan dengan aktivitasnya di tengah masyarakat. Sebagai penasihat
sejumlah organisasi kemasyarakatan, Darpius berkeliling ke kantong-kantong

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 12

kegiatan masyarakat dan merelakan waktu tidurnya hanya sekitar empat jam
sehari.
”Alasan saya kenapa mau seperti ini karena memang saya senang
bermasyarakat dan cinta lingkungan. Bukan mau dilirik orang, tetapi karena
paling tidak ini akan berguna buat anak cucu saya,” ucap anak kelima dari
tujuh bersaudara itu.

 Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Sejarah berdirinya KNTI
Awalnya diberbagai daerah sudah bermunculan organisasi nelayan tingkat
lokal. Sebut saja misalnya INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) Kabupaten Kota
Baru Kalimantan Selatan, SNKB (Solidaritas Nelayan Kabupaten Bengkalis)
FKNJ (Forum Komunikasi Nelayan Jakarta) dan banyak lagi organisasi
nelayan tingkatan lokal yang sudah berdiri. Kalau ditinjau munculnya
organisasi nelayan tingkatan lokal lebih disebabkan oleh kebutuhan akan
pentingnya persatuan di kalangan nelayan tradisional akibat konflik dengan
nelayan besar, perusahaan perusak lingkungan maupun pengguna jaring trawl.
Hal ini muncul akibat kekosongan kepemimpinan secara organisasi di
kalangan nelayan tradisional karena tidak berfungsinya organisasi nelayan
yang sudah ada maupun tidak sampainya fungsi dan tugas organisasi nelayan
semisal KTNA maupun HNSI. Organisasi nelayan yang dibentuk di jaman
orde baru lebih dikenal sebagai organisasi yang selalu muncul bila ada
“proyek-proyek” bantuan pemerintah khususnya dari Departemen Kelautan
dan Perikanan. Namun jika nelayan mengalami persoalan dan tekanan mereka
lari jauh menghindar.Konflik sumberdaya di perairan pesisir dan laut dangkal
antara nelayan tradisional dengan kegiatan perikanan yang merusak (trawl,
bom, racun), dengan perusahaan tambang (pengeboran, pembuangan tailing
ke laut) jamak terjadi. Dalam kasus itu sedikit peran negara dalam membela
kepentingan nelayan tradisonal.
Ketika nelayan tradisional berharap negara dalam hal ini pemerintah bersikap
lebih aktif dalam melakukan perlindungan kepada nelayan tradisional justru
yang ada ancaman dalam bentuk regulasi. Lahirnya Undang-Undang Nomer
27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil mengatur apa
yang disebut dengan HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Dalam pasal
16 sampai dengan pasal 22. HP3 telah menjadi sarana dan alat baru dalam
politik penguasaan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan HP3 “subyek
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 13

hukum” dapat mengusai bagian tertentu dan kolom tertentu dari laut dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sertifikat HP3 dapat pula menjadi agunan ke
lembaga perbankan untuk peminjaman uang. dan celakanya siapapun boleh
mendapat HP3.
Dengan HP3 seseorang/subyek hukum dapat menguasai perairan tersebut, dan
dapat melarang siapapun untuk beraktifitas dilokasi yang telah diterbitkan
HP3. Hal inilah yang mengancam keberadaan nelayan tradisional.
Dalam catatan KNTI sudah banyak nelayan tradisional yang tidak boleh lagi
melewati lokasi pantai milik perusahaan pariwisata maupun budidaya mutiara
dan banyak industri lain. Pantai tidak lagi menjadi milik publik.
Ancaman lainnya munculnya Keputusan Menteri Nomer 06 tahun 2008 yang
memperolehkan penggunaan jaring trawl/pukat harimau/pukat hela beroperasi
di perairan Kalimantan Timur bagian Utara. Bagi nelayan hal ni akan menjadi
kemunduran pengelolaan laut serta sumber-sumber agraria di dldalamnya.
Maka pada awal tahun 2008 berbagai perwakilan organisasi nelayan lokal
melakukan pertemuan di Jakarta dan mendeklarasikan terbentuknya KPNNI
(Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional). KPNNI yang akan
mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi nelayan tingkat nasional.
Pada Tanggal 11-12 Mei 2009 di Manado berlangsunglah Kongres Nelayan
Tradisonal Indonesia I bertepatan dengan kegiatan WOC (World Ocean
Confrence). Dalam kongres tersebut disepakati bahwa nama organisasi
nelayan yakni KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia). Serta
menghasilkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Susunan Pengurus,
serta program kerja selama 3 tahun.
Apa yang akan dikerjakan oleh KNTI ke depan ?
KNTI sebagai organisasi nelayan tradisional akan memperjuangkan semua
hal yang terkait dengan hajat hidup dan kepentingan masa depan nelayan
tradisional. Namun prioritas yang akan dilakukan yakni
• Melakukan advokasi pencabutan HP3
• Mengawasi dan terlibat dalam revisi Undang-Undang Perikanan dengan
memperjuangkan nasib nelayan tradisional dan kelestarian lingkungan hidup
dalam revisi undang-undang tersebut. Baik dari segi istilah nelayan tradisional

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 14

mapun hak-hak dasar nelayan tradisonal, semisal hak atas asuransi dan hak
atas informasi
• Memperjuangkan nasib nelayan tradisonal yang tergusur maupun terancam
oleh industri dan pertambangan
• Membangun penguatan ekonomi di kalangan nelayan tradisional
• Memperkuat pengetahuan nelayan tradisional akan pesisir dan laut serta
persoalan lingkungan
• Melakukan langkah-langkah untuk memastikan hak atas pendidikan bagi
keluarga nelayan
• Memperkuat peranan dan posisi nelayan perempuan

D. Masalah Kemiskinan Yang Dihadapi Masyarakat Pesisir Pantai
 Kondisi Nelayan Indonesia
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49
persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan
menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar
AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS),
dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia,
mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96
juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan
ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun,
terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi
kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang
miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk
mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru
sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47
persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan
pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang
diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar
Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 15

mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian
mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan
wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya
angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula
memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering
menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin
pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.
Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan
yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan
mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang
dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka
sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di
atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa
memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.
 Penyebab Kemiskinan Nelayan “ Masyarakat Pesisir Pantai”
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi
dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi
yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih
dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab
terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan
oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain
kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha,
kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan,
budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi
tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama,
kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat
pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
1. Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi
disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras
yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 16

tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan
terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan setiap tahunnya.

2. Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat
produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat
pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat
dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang
penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses
pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan
oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu,
diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan
hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan.
Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat
pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3. Pola kehidupan nelayan sendiri
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap
menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika
dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka
pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada
waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian
nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut
menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah
4. Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil
tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah
harga pasaran.
5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan
momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka
terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK
Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 17

membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap
sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga
normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya
nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada
tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya
maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga
solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli,
untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan
kondisi pas-pasan.
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru,
masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu,
tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal
pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah
jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan
demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau
sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan
yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi
hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi
ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara
sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga
hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapalkapal asing

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 18

SUMBER : http://sni.or.id/tentang-kami/\
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/31/02123581/
Memberdayakan.Nelayan.dengan.Organisasi
https://rezzeq.wordpress.com/2013/12/01/makalah-tentang-kemiskinanmasyarakat-nelayan-di-indonesia/
2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir

Abu Ahmadi, Drs. 1989.
Pengantar Sosiologi. Rhamadani Edisi Revisi.
http://knti.or.id/

Wawasan Sosial Budaya Maritim
Page 19