BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PEMBLOKIRAN SITUS YANG MENYEBARKAN RADIKALISME (TINJAUAN YURIDIS PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF) - repository perpustakaan

  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian pemblokiran Menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif yang selanjutnya disebut Pemblokiran adalah

  upaya yang dilakukan agar situs internet bermuatan negatif tidak dapat diakses. Pemblokiran dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal yang membidangi aplikasi informatika.

  Pemblokiran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Tindakan mencegah pentransferan, pengubahan bentuk, penukaran, penempatan, pembagian, perpindahan, atau pergerakan dana untuk jangka waktu tertentu. Terdapat kata lain tapi memiliki arti yang sama, yaitu penyensoran. Dalam buku karya Graeme Burton, penyensoran dianggap menyangkut pembuangan langsung, pembuangan sebagian atau perubahan materi yang tidak sesuai dengan penyensor (Graeme Burton, 2008: 81).

  Kasus pemblokiran situs pernah terjadi tanggal 12 Mei 2015. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, pihaknya telah memblokir sebanyak 900.000 (sembilan ratus ribu) situs bermuatan negatif. Situs-situs bermuatan negatif itu utamanya mengandung unsur pornografi yang sudah beredar selama kurun waktu satu tahun. Hal yang mendasari penutupan konten bermuatan negatif tersebut adalah peraturan Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif

  Mahfud MD, guru besar dari Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta menerangkan bahwa situs-situs Islam tersebut tidak berbeda status hukumnya dengan percetakan berita sebab jejaring tersebut juga menyampaikan informasi seperti halnya media pemberitaan lainnya. Pernyataan Mahfud MD tersebut berarti pemblokiran sama dengan bredel. Menurut KBBI, (be·re·del/berédel [v]/ mem·be·re·del [v]) adalah menghentikan penerbitan dan peredaran (surat kabar, majalah, dan sebagainya) secara paksa; memberangus. 03/31/nm2gcv-embreidelem-situs-islam-mahfud-md

  • pemerintah-melanggar-hukum).

  B. Tinjauan Pers

  1. Pengertian Pers Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

  , kata ―pers‖ berarti 1) alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar; 2) alat untuk menjepit, memadatkan; 3) surat kabar dan majalah yang berisi berita : berita seperti yang ditulis oleh ..... ; 4) orang yang bekerja di bidang persuratkabaran.

  Ensiklopedi Indonesia, istilah Pers merupakan nama seluruh penerbitan berkala : koran, majalah, dan kantor berita. Menurut Ensiklopedi Pers Indonesia, istilah Pers merupakan sebutan bagi penerbit/ perusahaan/ kalangan yang berkaitan dengan media masa atau wartawan. Sebutan ini bermula dari cara bekerjanya media cetak yang awalnya menekankan huruf-huruf di atas kertas yang akan dicetak. Dengan demikian segala barang yang dikerjakan dengan mesin cetak disebut pers (Ensiklopedi Pers Indonesia: 1991).

  Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang dimaksud Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Menurut UU No.

  11 Tahun 1966 Pasal 1 ayat (1), Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktunya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.

  Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pers, pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat penjualan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum, berupa penerbit yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil, atau alat-alat teknik lainnya.

  Profesor Oemar Seno Adji, pers dalam arti sempit berarti penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan atau berita-berita dengan kata tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua media massa comunications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pers dalam arti sempit merupakan manifertasi dari

  “freedom of the press‖, sedangkan pers dalam arti luas

  merupakan manifertasi dari ―freedom of speech‖, dan keduanya tercakup oleh pengertian ―freedom of expression‖ (Oemar Seno Adji, 1990: 11-14).

  2. Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia

  a. Zaman Penjajahan Belanda Perkembangan sejarah Jurnalistik di Indonesia telah dimulai sejak zaman pemerintahan belanda (zaman penjajahan). Menurut AS

  Haris Sumadiria yang dikutip dari pendapat gurunya, Jurnalistik pers di Indonesia mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744. Ketika itu surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda (AS Haris Sumadiria, 2006: 11).

  Selanjutnya pada 1776 di Jakarta juga terbit surat kabar Vendu

  Nieuws yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak

  abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja. Jurnalistik koran-koran Belanda ini, jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda, sebagian sumber menyatakan surat kabar tersebut dibuat untuk membela kaum kolonialis. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani pada 1855, keduanya lahir di Weltevreden. Selanjutnya pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (Effendy, 2003: 104).

  Pada zaman ini pun, dibentuk persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial, organisasi ini di bentuk oleh para kolonial dan terus berkembang hingga abad ke 20. Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, menurut salah seorang guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia. Surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji yang terbit di kota Kembang, Bandung. Surat kabar tersebut lahir dengan modal dari bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia. Medan prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Pada tahun 1907, surak kabar ini terbit mingguan, namun pada tiga tahun berikutnya yakni 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan (Effendy, 2003: 104-105). b. Zaman Perjuangan (Pergerakan) Di zaman pergerakan surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Harian yang terbit pada zaman itu antara lain harian Sedio Tomo yang merupakan kelanjutan dari Budi Oetomo di Yogjakarta tahun 1920, harian Darmo Kondo di Solo, harian Utusan India yang terbit di Surabaya dan masih banyak lagi.

  c. Zaman Penjajahan Jepang Beralih ke masa penjajahan Jepang, pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis. Namun pada masa itu, surat izin penerbitan mulai diberlakukan. Surat-surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Belanda banyak yang dimusnahkan. Penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang. Surat-surat kabar yang terbit pada masa tersebut antara lain Asia Raya (Jakarta), Sinar Baru (Semarang), Suara Asia (Surabaya), Tjahaya (Bandung).

  Walaupun pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang, namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia. Pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia menjadi bertambah. Rakyat semakin kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar, penggunaan bahasa Indonesia pun semakin meluas. d. Zaman Orde Lama Lima tahun pasca kemerdekaan, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai poltik besar. Inilah yang disebut era pers partisan. Artinya pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya.

  Kebebasan pers di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang, dan bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui oleh masyarkat luas. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai.

  Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT). Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan nama G30S. Gerakan ini berhasil ditumpasoleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa (Effendy, 2003: 108-110).

  e. Zaman Orde Baru Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat.

  Selama dua dasawarsa pertama orde baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh ekonomi daripada dengan dimensi, unsur, nilai dan ruh politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan pernah bicara politik. Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat alergi dan bahkan membenci politik. Pers yang menyentuh wilayah kekuasaan sama sekali tak dibenarkan dan bisa berakhir dengan pembredelan.

  Sejarah menunjukkan, dalam lima tahun pertama kekuasaannya yang sangat represif dan hegemonik, orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers. Pers itu sendiri seperti sedang menikmati masa bulan madu kedua. Namun, di mana pun bulan madu hanyalah sesaat.

  Dunia pers menghadapi kenyataan yang sangat tragis. Pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.

  Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan.

  Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.

  ―Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab‖ Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat- pejabat negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu (Tebba, 2005 : 22).

  Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya.

  Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.

  Majalah ini memang terkenal dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan.

  Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah

  ― enak dibaca dan perlu‖. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah berkali-kali mendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.

  Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai di sana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi. Salah satu trik dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut.

  Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.

  Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru.

  Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru (Aliansi Jurnalis Independen, 1995: 140). f. Era Reformasi Pada masa Orde Reformasi, era kebebasan pers sangat dijunjung tinggi. Hal ini memunculkan lahirnya berbagai media massa baru dan bahkan media lama yang pernah terkena pembreidelan oleh penguasa Orde Baru seperti Koran Tempo telah terbit kembali. Dalam periode sejarah ini, pers benar-benar mengalami kemajuan pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis media yang dinilai ampuh hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah.

  Akhir tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000 eksemplar per ari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar per hari. Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada sebanyak 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan

  Error! Hyperlink reference not

  5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005) ( valid.

  _19.html, diakses 23/12/2015 pukul 06:17).

  3. Media Massa Berbicara tentang pers berarti harus mengerti apa itu media massa.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 726) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan media massa adalah sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Sedangkan menurut Jalaluddin Rahmat media massa adalah media yang digunakan untuk menyalurkan komunikasi seperti, televisi, radio, pers,film dan sebagainya (Jalaluddin Rakhmat, 2000: 132).

  Kata media berasal dari kata latin dan bentuk jamak dari kata ―medium‖, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Menurut

  (AECT), mendefinisikan media

  Association for Education Technology

  yaitu segala bentuk yang dipergunakan untuk suatu proses penyaluran informasi. Jadi media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepenerima pesan (Muhsin Budiman, 2004).

  Secara terminologi media menurut Marshall Mcluhan, ―The media

  is the message

  ‖ atau ―Media adalah pesan‖. Artinya media menjadi pembawa pesan bagi organisasi media kepada khalayaknya. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan pesan berupa berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik (Kris Budiman, 1999: 12). Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik (Elvinaro Ardianto, 2007: 103). Media massa cetak adalah saluran komunikasi di mana pesan-pesan verbalnya (tertulis) maupun dalam bentuk gambar-gambar seperti karikatur dan komik dilakukan dalam bentuk tercetak. Media ini sangat baik disebarluaskan untuk mereka yang bisa membaca dan memiliki waktu senggang yang cukup. Sebuah surat kabar atau media cetak lainnya punya kelebihan, yakni bisa dibaca oleh banyak orang. Sayangnya media ini tidak memiliki jangkauan jauh, kecuali hanya tempat-tempat yang bisa dimasuki transportasi mengantar surat kabar. Berbeda dengan media cetak, pesan-pesan pada media elektronik disampaikan melalui getaran listrik yang diterima oleh pesawat penerima tertentu, misalnya televisi dan radio (Hafied Cangara, 2009: 376-377).

  Lebih lanjut menurut Antonio Gramsci seperti yang dikutip oleh Alex Sobur media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (The battle ground for competing ideologies) Gramsci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran sebuah ideologi baik dari ideologi yang berkuasa maupun dari ideologi yang berseberangan dengan penguasa (Alex Sobur, 2001: 30 ).

  Dalam kegiatan komunikasi politik, fungsi media massa yang tampak adalah: Sumber informasi politik, Sebagai fungsi partisipasi, Fungsi sosialisasi dan pendidikan politik, Fungsi mengembangkan budaya politik, Fungsi integritas bangsa. Selain itu media juga sebagai fungsi sosial, hiburan dan kontrol.

  Fungsi pertama, adalah media massa di dalam melakukan fungsi sebagai sumber informasi selalu menyajikan, menayangkan peristiwa peristiwa politik yang terjadi di berbagai belahan planet bumi termasuk kegiatan aktor-aktor politik dengan sikap dan perilaku politik yang melekat pada para aktor tersebut.

  Sebagai fungsi sumber informasi lebih menitikberatkan kepada unsur-unsur berita (news) yang berefek politik. Erich Evert dalam judul buku Offentlichkeit in der Aussenpolitikâ mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pemberitaan politik, yaitu : publisitas, aktualitas dan popularitas. Fungsi kedua, yaitu fungsi partisipasi. Hal ini mengandung makna bahwa sajian atau tayangan pesan-pesan komunikasi baik pada media elektronik maupun media cetak harus mampu menggugah masyarakat (komunikan) untuk berperan aktif dalam mendukung dan melaksanakan berbagai kebijaksanaan pemerintah sebagai konsekwensi bahwa pemerintah adalah produk pilihan mereka. Fungsi ketiga, sosialisasi dan pendidikan politik. Fungsi ini untuk meningkatkan kualitas rujukan masyarakat di dalam menerima dan mempertahankan sistem nilai atau sistem politik yang sedang berlangsung. Kedua bentuk kegiatan ini merupakan proses belajar yang berlangsung dalam waktu relative lama.

  Fungsi keempat, yaitu mengembangkan budaya politik yang disebut juga fungsi politisasi. Fungsi ini merupakan fungsi penentu terhadap fungsi- fungsi lainnya, karena fungsi budaya politik, yaitu untuk membentuk pola perilaku yang memberi warna dominan terhadap karakter suatu bangsa.

  Fungsi kelima, yaitu fungsi integritas bangsa. Fungsi ini merupakan syarat mutlak bagi kehidupan negara di dalam mencapai tujuannya, karena itu media massa harus mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran integralitik, artinya media massa harus mampu menggiring pemikiran- pemikran kelompok, etnis budaya, sukuisme, provinsialisme dan pemikiran-pemikiran lain, pemikiran nasionalistik (Romli ASM, 2007: 1- 2).

  Media Massa merupakan saluran penting dalam komunikasi politik. Namun dalam membicarakan saluran media massa dalam rangka komunikasi politik, selalu dikaitkan dengan konsep-konsep mengenai: a. Kebebasan media massa.

  b. Independensi media massa pada suatu masyarakat dari kontrol yang berasal dari luar dirinya, seperti pemerintah, pemegang saham, kaum kapitalis/ industrialis, partai politik, ataupun kelompok penekan.

  c. Integritas media massa sendiri pada misi yang diembannya.

  Ketiga hal tersebut memang membawa konsekuensi yang berbeda dalam pelaksanaan peran media massa sebagai saluran komunikasi politik, sesuai dengan kondisi yang dipunyai oleh masing-masing masyarakat tempat media massa itu berada. Terlepas dari ketiga hal di atas, secara umum media massa mempunyai peranan tertentu dalam menyalurkan pesan-pesan, informasi, dan political content di tengah masyarakatnya (Romli ASM, 2007: 5 ).

  Media massa dianggap memiliki peranan yang unik dalam membangun politik, karena memiliki suatu instrumen teknologi yang independen, yang produknya dapat menjangkau ke tengah-tengah masyarakat dalam jumlah yang besar. Disamping itu media massa menganggap diri sebagai perantara yang independen antara pemerintah dengan publik. Peran mengisi ruang antara kekuatan negara dan civil society sebenarnya dapat diisi oleh media massa. Media dapat memainkan peranan signifikannya dalam membentuk dan menyebarluaskan informasi dalam pembentukan opini publik (Gun Gun Heryanto, 2010: 223 ).

  C. Tinjauan Umum Tentang Internet

  1. Pengertian Internet Berikut ini adalah beberapa pengertian internet menurut beberapa tokoh, ilmuwan, ahli, serta beberapa pengertian internet berdasarkan forum dan kelompok tertentu :

  Tokoh pertama yang menjelaskan mengenai pengertian Internet adalah Purbo. Purbo (dalam Prihatna, 2005) menjelaskan bahwa Internet pada dasarnya merupakan sebuah media yang digunakan untuk mengefesiensikan sebuah proses komunikasi yang disambungkan dengan berbagai aplikasi, seperti Web, VoIP, E-mail. Tokoh berikutnya, yaitu Allan (2005) menjelaskan bahwa internet merupakan sekumpulan jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain secara fisik dan juga memiliki kemampuan untuk membaca dan menguraikan berbagai protokol komunikasi tertentu yang sering kita kenal dengan istilah Internet Protocol

  (IP) serta Transmission Control Protocol (TCP). Protokol sendiri, lebih lanjut didefinisikan oleh Allan sebagai sebuah spesifikasi sederhana mengenai bagaimana dua atau lebih komputer dapat saling bertukar informasi (dosenit.com/jaringan-komputer/internet/pengertian-internet- menurut-ahli).

  Menurut Wahyu Supriyanto dalam bukunya Teknologi Informasi

Perpustakaan (2008 : 60) Internet berasal dari bahasa Latin ―Inter‖ yang berarti ―antara‖, secara kata perkata internet berarti jaringan antara atau

  penghubung sehingga kesimpulan dari defenisi internet ialah merupakan hubungan antara berbagai jenis komputer dan jaringan di dunia yang berbeda sistem operasi maupun aplikasinya di mana hubungan tersebut memanfaatkan kemajuan komunikasi (telepon dan satelit) yang menggunakan protokol standar dalam berkomunikasi yaitu protokol TCP/IP (Transmission Control/Internet Protocol). Pengertian internet lainnya muncul dari pendapat yang dikemukakan oleh Strauss, El-Ansary, dan juga Frost (2003). Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan internet adalah keseluruhan jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain. Beberapa komputer yang saling terhubung di dalam jaringan ini menyimpan dan juga memiliki beberapa file yang bisa diakses dan digunakan seperti halaman web, dan juga data lainnya yang bisa digunakan dan juga diakses oleh berbagai komputer yang saling terhubung dengan internet (dosenit.com/jaringan-komputer/internet/pengertian- internet-menurut-ahli).

  Randall & Latulipe (dalam Nafisah, 2001) mendefinisikan apa yang kita kenal dengan nama internet sebagai suatu jaringan global yang terdapat di dalam jaringan komputer. Jadi, internet tak ubahnya merupakan sebuah jaringan global yang terdiri atas beberapa jaringan komputer, yang bisa diakses di mana saja. Dalam modul pembelajaran internet, Ramdhani (2003) mengatakan bahwa internet merupakan sebuah sebutan untuk sekumpulan jaringan komputer yang dapat menghubungkan berbagai situs akademik, pemerintahan, komersial, organisasi, hingga perorangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa internet mampu untuk menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dan berbagai sumber daya informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia. Internet memilki berbagai macam layanan. Layanan internet meliputi komunikasi secara langsung seperti email dan juga chatting, diskusi seperti Usenet News, email, dan juga milis, serta sumber daya informasi yang terdistribusi (World Wide

  Web , Gopher), remote login dan lalu lintas file (Telnet, FTP), dan aneka

  layanan lainnya. Lutfi SY dalam modulnya mengenai teknologi informasi mengatakan bahwa internet merupakan suatu jaringan komputer yang saling terhubung secara global, yang memungkinkan pengguna internet saling bertukar informasi atau data melalui jaringan tersebut. Lebih lanjut disebutkan bahwa internet adalah suatu sistem komunikasi data yang berskala global, yang disusun atas sebuah infrastruktur yang terdiri dari hardware dan juga software yang menghubungkan komputer di dalam jaringannya (dosenit.com/jaringan-komputer/internet/pengertian-internet- menurut-ahli).

  Kayo, Mori, dan Takano (1996) memberikan pendapat bahwa internet merupakan jaringan yang memiliki 3 keistimewaan. Keistimewaan pertama yang terdapat dalam internet adalah kebebasan internet. Internet dapat memberikan penggunanya semacam kuasa untuk saling memberi dan menerima informasi secara bebas. Kedua, internet memiliki keistimewaan, yaitu lebih dinamik serta dinilai sangat mengikuti perkembagan waktu. Kebanyakan informasi dalam internet yang biasa diakses adalah informasi-informasi yang paling baru apabila dibandingkan dengan informasi dalam media cetak. Ketiga, internet merupakan sebuah jaringan yang bersifat interaktif. Hal ini dikarekan melalui internet, setiap penggunanya dimungkinkan untuk dapat berinteraksi dengan pengguna lain di dunia ini setiap saat (dosenit.com/jaringan-komputer/internet/ pengertian-internet-menurut-ahli).

  2. Pengertian Situs Web/ Website Pengertian Situs Web menurut Wikipedia dalam Zakaria (2007:17) adalah A Situs Web (orweb site) is a collection of web pages. A web pages

  

is a document, typically written in HTML, that is almost always accessible

via HTTP, a protocol that transfer information from the Situs Web’s

server to display in the user’s web browser.

  Pengertian di atas menjelaskan bahwa situs web terdiri dari halaman web yaitu sebuah dokumen yang ditulis dalam Hyper Text

  

Markup Language (HTML) yang dapat diakses melalui Protocol Hyper

Text Transfer Protocol (HTTP) yang merupakan protokol untuk

  menyampaikan informasi dari sebuah pusat situs web untuk ditampilkan di hadapan pengguna program pembaca informasi yang ada pada situs web.

  Pendapat lain diutarakan oleh Saputro (2007:1), situs web adalah sebagai kumpulan halaman-halaman yang digunakan untuk menampilkan informasi teks, gambar diam atau gerak, animasi, suara dan/ atau gabungan dari semuanya baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait di mana masing- masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (Hyperlink

  )‖.

  3. Publikasi Website Keberadaan situs Web tidak ada gunanya apabila tanpa ada kunjungan oleh pengguna internet. Efektif tidaknya sebuah situs web tergantung dari besarnya pengunjung dan komentar yang masuk sehingga dalam hal ini diperlukan publikasi atau promosi. Cara promosi yang efektif dengan tak terbatas ruang dan waktu atau dengan kata lain publikasi atau promosi dilakukan pada jaringan internet melalui search

  

engine (mesin pencari, seperti; yahoo, google, MSN, Search Indonesia,

dan sebagainya).

  Secara umum, situs web digolongkan menjadi 3 jenis yaitu:

  a. Website statis

   Website Statis adalah web yang mempunyai halaman tidak

  berubah. Artinya adalah untuk melakukan perubahan pada suatu halaman dilakukan secara manual dengan mengedit code yang menjadi struktur dari situs itu. b. Website Dinamis

  Website Dinamis merupakan Website yang secara struktur

  diperuntukan untuk update sesering mungkin. Biasanya selain utama yang bisa diakses oleh user pada umumnya, juga disediakan halaman

  backend untuk mengedit kontent dari Website. Contoh umum

  mengenai Website dinamis adalah web berita atau web portal yang di dalamnya terdapat fasilitas berita, polling dan sebagainya.

  c. Website Interaktif

  Website interaktif adalah web yang saat ini memang sedang booming. Salah satu contoh Website interaktif adalah blog dan forum.

  ini memungkinkan user bisa berinteraksi dan beradu argument

  Website

  mengenai apa yang menjadi pemikiran mereka. Biasanya Website seperti memiliki moderator untuk mengatur supaya topik yang diperbincangkan tidak melenceng dari alur pembicaraan

  D. Radikalisme

  1. Pengertian Radikalisme Radikalisme berasal dari bahasa latin radix/radices, artinya akar;

  (radicula/ radiculae: akar kecil). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal diartikan sebagai ―secara menyeluruh‖, ―habis-habisan‖, ―amat keras menuntut perubahan‖, dan ― maju dalam berpikir dan bertindak‖ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008).

  Sedangkan radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: ―Paham atau aliran yang radikal dalam politik ―, ―Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis‖, ―Sikap ekstrim di suatu aliran pol itik‖. Dalam Kamus Ilmiah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry diterangkan bahwa radikalisme ialah paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan (Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994).

  Johan Galtung adalah salah satu sarjana politik kontemporer yang memfokuskan kajian pada radikalisme dalam perspektif politik.

  Konseptualisasi Johan Galtung tentang radikalisme kiranya mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena radikalisme yang ada, terutama keterkaitan antara budaya suatu masyarakat dengan radikalisme yang dilakukan. Menariknya dari konsep Johan Galtung akan radikalisme ini adalah dia mengkaitkan persoalan radikalisme dengan hak seseorang, terutama dalam hal ini hak untuk turut serta dalam politik sehingga pengertian radikalisme menurut Johan Galtung adalah

  “any avoidable impediment to self- realization”.

  Dari pengertian tersebut terlihat esensi radikalisme menurut Johan Galtung adalah terhalangnya seseorang untuk mengaktualisasikan potensi diri (terutama menyangkut hak yang ada pada individu maupun kelompok) secara wajar. Unsur radikalisme berkenaan dengan terhalangnya hak seseorang. Maka radikalisme menurut Johan Galtung bersifat temporal, dalam arti radikalisme tersebut dapat saja ditiadakan sehingga radikalisme bukanlah sifat hakekat dari manusia (Johan Galtung, dalam

  Menurut Graeme Burton, istilah ideologi merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan dalam budaya dan masyarakat. Istilah ini juga merujuk pada pelbagai kepercayaan dan nilai dominan yang diterima begitu saja (Burton, 2008: 17).

  Menurut John l Esposito, yang menggunakan istilah Islam revivalis tinimbang Islam radikal, kelompok ini memiliki ciri-ciri ideologi. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat barat yang sekular dan cenderung materialistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‗kembali kepada Islam‘ sebagai usaha untuk perubahan sosial (Tulung, 2011: 22).

  2. Indikasi Radikalisme Menurut Ansyad Mbai, ada beberapa indikasi yang bisa dikenali sebagai gerakan radikal. Adapun indikasi tersebut adalah:

  1. Menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya;

  2. Mengatasnamakan Tuhan, menghukum kelompok yang keyakinannya berbeda;

  3. Gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama;

  4. Mengganti ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka;

  5. Mengganti NKRI dengan khilafah;

  6. Klaim memahami kitab suci, karenanya berhak menjadi wakil Allah untuk menghukum siapapun;

  7. Agama diubah jadi ideologi; menjadi senjata politik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda dengan mereka (Tulung, 2011: 21).

  Masih menurutnya, beberapa modus yang digunakan dalam melakukan radikalisme antara lain:

  1. Menunjukkan kelemahan pemerintah;

  2. Memancing konflik meluas horizontal dan vertikal;

  3. Memancing reaksi represif aparat pemerintah dan mendeskriditkan pemerintah;

  4. Menarik simpati publik;

  5. Menggunakan media massa untuk menyebarluaskan propaganda dan ideologi teroris (Tulung, 2011: 85).

  Horace M. Kallen, bahwa radikalisasi paling tidak ditandai dengan tiga kecenderungan umum yaitu: Pertama, radikalisasi merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan.

  Masalah yang ditolak bisa berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak.

  Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Ciri ini menunjukkan bahwa dalam radikalisasi atas sesuatu hal, terdapat suatu program atau pandangan dunia sendiri. Kaum radikalis berupaya kuat menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

  Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini, pada saat yang sama, dibarengi dengan penafsiran kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang ide ini sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengata snamakan nilai kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada kekerasan (Khamami Zada, 2002: 16-17).

  Radikalisasi dalam prosesnya terdapat dua tipe. Pertama, akibat krisis identitas yang diselesaikan dengan pemahaman keyakinan yang menyatakan kekerasan sebagai solusi, di mana hal ini berawal dari kondisi globalisasi seperti kebijakan luar negeri, perkembangan politik, budaya, dan ekonomi global. Kedua, ditimbulkan melalui interaksi sosial yang dipengaruhi oleh media, teman sebaya, pemimpin klompok, anggota keluarga, atau lingkungan sekitar sehingga menerima sebuah pemahaman bahwa sesuatu harus dilakukan untuk menghadapi hal-hal yang mengancam aliran kepercayaan yang diyakininya (Adi Sulistyo, 2014: 04).

  Fenomena radikalisasi yang terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa diproklamirkannya Negara Islam Indonesia di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 di bawah komando Kartosuweryo (M. Dawam Raharjo, 2007:118). Gerakan ini bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dengan syariat Islam sebagai dasar hukumnya. NII Katosuweryo timbul pada saat Jawa Barat dikuasai oleh Belanda karena kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Belanda melalui perjanjian Renville, di mana Indonesia mengakui kedaulatan Belanda atas Jawa Barat.

Pada saat itulah dikumandangkan ―Jihad Suci‖ untuk kemerdekaan Jawa Barat atas

  Belanda, akan tetapi dalam catatan sejarah Indonesia NII Katosuweryo dituduh oleh kaum nasionalis sebagai gerakan pemberontakan, dan dihentikan pada tahun 1960-an (Mahatma Hadhi, 2005: 7).

  Dari gambaran di atas tampaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya faham radikalis: Pertama, karena faktor modernisasi yang dapat dirasakan dapat menggeser nilai-nilai agama dan pelaksanaanya dalam agama. Kedua, karena pandangan dan sikap politik yang tidak sejalan dengan sikap dan politik yang dianut penguasa. Ketiga, kerena ketidakpuasan mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang berlangsung di Indonesia. Keempat, karena sifat dan karakter dari ajaran Islam yang dianut kelompoknya cenderung bersifat rigid (kaku) dan literlis (Tarmizi Taher, 1998: 6).

  Menurut Taufik Amin Nur Wijaya dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Antara Islam Radikal dan Terorisme (2014), disimpulkan bahwa Radikalisme atau kekerasan agama merupakan konstruksi sosial tentang paham dan tindakan keagamaan yang dilakukan oleh golongan Islam tertentu. Bagi pelakunya, ini merupakan tindakan yang sesuai ajarannya dan merupakan bentuk respon sosial terhadap realitas sosial yang dikonstruksi sebagai ―menyimpang‖ dari ajaran agama yang benar.

  Kunci sukses radikalisme adalah kemampuan memberi kepastian. Dalam ketidakpastian ekonomi global yang melahirkan pengangguran dan ketidakadilan, radikalisme menjanjikan ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral. Dengan cara ini radikalisme memberi identitas pasti. Bukan hanya memberi janji, namun menjamin; bukan atas dasar analisa, namun melandaskan pada keyakinan. Keyakinan ini memberi kepastian (Haryatmoko, 2010: 95).

  E. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Kementerian Komunikasi dan Informatika (sebelumnya bernama

  "Departemen Penerangan" (1945-1999), "Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi" (2001-

  2005), dan ―Departemen Komunikasi dan Informatika‖ (2005-2009), disingkat Depkominfo) adalah departemen/ kementerian dalam pemerintah Indonesia yang membidangi urusan komunikasi dan informatika. Kementerian Kominfo dipimpin oleh seorang Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang sejak tanggal 27 Oktober 2014 dijabat oleh Rudiantara Visi dan Misi Kementrian Komunikasi dan Informatika mengacu pada Visi dan Misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.

  Visi: Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong.

  Misi:

  1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamanan sumberdaya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.

  2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesimbangan dan demokratis berlandaskan negara hukum

  3. Mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim

  4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera

  5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing

  6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional

  7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

  Dalam Rencana Strategis Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2015

  — 2019, pembangunan bidang komunikasi dan informatika lima tahun ke depan diprioritaskan pada upaya mendukung pencapaian kedaulatan pangan, kecukupan energi, pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan, pembangunan infrastruktur, percepatan pembangunan daerah perbatasan, dan peningkatan sektor pariwisata dan industri, berlandaskan keunggulan sumber daya manusia dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Sebagai leading sektor di bidang komunikasi dan informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam Renstra tahun 2015

  — 2019 akan berfokus membangun sektor telekomunikasi, tata kelola internet, dan digitalisasi siaran televisi. Adapun sasaran strategis pembangunan di bidang komunikasi dan informatika meliputi:

  1. Terwujudnya ketersediaan dan meningkatnya kualitas layanan komunikasi dan informatika untuk mendukung fokus pembangunan pemerintah sebagai wujud kehadiran negara dalam menyatakan kedaulatan dan pemerataan pembangunan

  2. Tersedianya akses broadband nasional, internet dan penyiaran digital yang merata dan terjangkau untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan

  3. Terselenggaranya tata kelola Komunikasi dan Informatika yang efisien, berdaya saing, dan aman

  4. Terciptanya budaya pelayanan, revolusi mental, reformasi birokrasi dan tata kelola Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berintegritas, bersih, efektif, dan efisien.

  Tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo): Membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  Fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo):

  a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang meliputi pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan desimenasi informasi; b. Pelaksaaan urusan pemerintah sesuai dengan bidang tugasnya;

  c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; d. Pengawasan dan pelaksanaan tugasnya;

  e. Penyampaian hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada presiden (Tulung, 2011: 73).

  F. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Setelah terjadinya bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi tindakan terorisme. Presiden saat itu (Susilo Bambang Yudhoyono) memberikan mandat kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan keamanan untuk membuat kebijakan dan strategi nasional penanganan terorisme.

Dokumen yang terkait

AJIAN YURIDIS PENGESAHAN PERATURAN DAERAH YANG TIDAK MEMPEROLEH PERSETUJUAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

0 27 17

PROFIL REMAJA PENGAKSES SITUS PORNO INTERNET

0 14 2

KAJIAN YURIDIS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA UMBULREJO KECAMATAN UMBULSARI KABUPATEN JEMBER MENURUT PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 113 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

0 3 73

KAJIAN YURIDIS PENGESAHAN PERATURAN DAERAH YANG TIDAK MEMPEROLEH PERSETUJUAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

0 4 17

KAJIAN YURIDIS PENGESAHAN PERATURAN DAERAH YANG TIDAK MEMPEROLEH PERSETUJUAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

0 4 17

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM

0 0 10

ANALISIS DAN EVALUASI STUDI KEBIJAKAN KOMUNIKASI TERHADAP KEBIJAKAN PEMBLOKIRAN SITUS MEDIA ONLINE DI INDONESIA

0 0 13

IMPLEMENTASI PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS MELALUI NOTARIS MENURUT PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHON

0 0 13

BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN - IMPLEMENTASI PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS MELALUI NOTARIS MENURUT PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

0 0 7

PEMBLOKIRAN SITUS YANG MENYEBARKAN RADIKALISME (TINJAUAN YURIDIS PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF) - repository perpustakaan

0 2 11