BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan - Fauzi Nur Hanafi BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian tentang nilai-nilai moral sudah pernah dilakukan oleh Indah Puspita Sari, dengan judul Kajian Nilai-Nilai Moral pada Tokoh Utama Novel Cagito Allah Sum Karya Lalu Mohammad Zaenudin dan Implikasinya sebagai Bahan Pengajaran Sastra di SMA. Hasilnya ditemukan empat nilai moral yaitu: (1) aspek

  moral tentang hubungan manusia dengan Allah yang meliputi: kebersihan dan kesucian, ikhlas dalam beribadah, memohon pertolongan hanya kepada Allah, shalat sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah, (2) aspek moral tentang hubungan dengan diri sendiri meliputi : syaja‟ah (mengembangkan kepribadian), mengembangkan kebijakan, sabar, syukur, (3) aspek moral tentang hubungan manusia dengan sesama manusia meliputi : menepati janji, dan (4) aspek moral tentang hubungan manusia dengan lingkungan hidup meliputi menjaga kelestarian alam.

  Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada sumber data dan metode penelitian yang digunakan. Sumber data dalam penelitian Indah Puspita Sari adalah novel Cagito Allah Sum Karya Lalu Mohammad Zaenudin, sedangkan pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah novel Athirah karya Alberthiene Endah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Indah Puspita Sari menggunakan metode deskriptif.

  Selain Indah Puspita Sari, penelitian tentang nilai-nilai moral juga pernah dilakukan oleh Wahyu Handoko dengan judul Kajian Nilai-Nilai Moral dalam Novel

  7

  

Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburahman El Shirazy. Hasilnya ditemukan sembilan nilai

  moral yaitu: (1) keimanan kepada Allah SWT, (2) ketaatan kepada segala perintah dan larangan Allah SWT, (3) keiklasan dalam menghadapi cobaan hidup atau ujian dari Allah SWT, (4) sikap tadlarru

  ‟ dan khusyuk, (5) sikap ar-raja dan ad du’a, (6) tawakal atau kepasrahan terhadap kekuasaan dan keputusan Allah SWT dengan tanpa mengabaikan ikhtiar yang sebaik-baiknya, (7) tasyakur dan qonaah terhadap segala pemberian dari Allah SWT, (8) malu apabila dalam berkata dan bertindak tidak didasari oleh agama, (9) taubat dan istighfar terhadap kesalahan yang dilakukan.

  Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada sumber data dan metode penelitian yang digunakan. Sumber data pada penelitian Wahyu Handoko adalah Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburahman El Shirazy, sedangkan pada penelitian ini adalah novel Athirah karya Alberthiene Endah. Metode penelitian yang digunakan oleh Wahyu Handoko adalah metode deskriptif, sedangkan penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Dari kedua penelitian terdahulu membuktikan bahwa penelitian ini benar-benar berbeda. Dengan demikian, peneliti berpendapat bahwa penelitian ini perlu dilakukan.

B. Pengertian Moral

  Darmadi (2007: 50) mengatakan bahwa dari segi etimologis moral berasal dari bahasa Latin yaitu Mores yang berasal dari suku kata Mos. Mores berarti adat-istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, yang kemudian artinya berkembang menjadi sebagai kebiasaan bertingkah laku yang baik, susila. Seseorang yang memiliki kebiasaan bertingkah laku baik kepada sesama manusia akan menciptakan ketenangan dalam kehidupan. Dalam kehidupan nilai moral sangat diperlukan agar setiap manusia berbuat kebaikan. Dengan demikian, orang yang memiliki kebiasaan untuk bertingkah laku baik atau orang yang baik budi bahasanya adalah orang yang bermoral.

  Menurut Bertens (2007: 7) moral merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Pada prinsipnya moral sangat berguna bagi kehidupan manusia karena dapat menjadi pegangan atau pedoman sehingga dapat membedakan antara perbuatan baik dan buruk. Dengan memiliki moral, maka seseorang dapat hidup teratur dalam menjalani kehidupan. Selain itu, seseorang dapat mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan yang dapat memberikan manfaat dalam mengatur tingkah lakunya supaya dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.

  Moral merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila (Depdiknas, 2007: 754).

  Maksud dari pernyataan di atas bahwa moral berarti sesuatu yang memuat ajaran tentang baik dan buruk yang dapat diterima oleh semua orang. Hal itu bisa tercermin dalam perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak dan susila. Moral mengajarkan pada manusia agar dapat menjalani hidup dengan baik. Seseorang yang memiliki moral, maka dalam bertingkah laku dan bersikap sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan demikian, seseorang yang memiliki moral akan bersikap baik kepada sesama manusia.

  Dari beberapa definisi para ahli, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa moral adalah suatu nilai yang terdapat di dalam masyarakat berupa nilai kebenaran yang dapat diterima secara umum yang tercermin dalam sikap, perbuatan, akhlak, tingkah laku seseorang kepada sesama manusia. Seseorang yang memiliki moral akan terhindar dari perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dengan demikian, maka seseorang bisa bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan aturan yang berlaku.

  Nilai moral memiliki hubungan dengan nilai budi pekerti. Tetapi, hal itu seringkali membingungkan satu sama lain. Budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: (a) adat istiadat, (b) sopan santun, dan (c) perilaku.

  Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian seseorang. Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha ) yang berarti adat kebiasaan.

  Adapun moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang mengandung arti adat kebiasaan (Zuriah, 2008:7). Adapun pendapat yang dikemukan Cahyoto dalam Zuriah (2008: 67) menyatakan bahwa ruang lingkup atau scope pembahasan budi pekerti bersumber pada etika atau filsafat moral yang menekankan unsur utama kepribadian, yaitu kesadaran dan berperannya hati nurani dan kebijakan bagi kehidupan yang baik berdasarkan sistem dan hukum nilai-nilai moral masyarakat.

  Hati nurani (ada yang menyebutkannya kata hati, suara hati, dan suara batin) adalah kesadaran untuk mengendalikan atau mengarahkan seseorang dalam hal-hal yang baik dan menghindari tindakan yang buruk.

  Dengan demikian, terdapat hubungan antara budi pekerti dengan nilai-nilai moral dan norma hidup yang unsur-unsurnya merupakan ruang lingkup budi pekerti.

  Budi pekerti memiliki unsur-unsur berupa hati nurani, kebijakan, kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, kesopanan, kerapian, keiklasan, pengendalian diri, keberanian, bersahabat, kesetiaan, kehormatan, keadilan. Mengingat budi pekerti merupakan etika praktis atau terapan yang bersumber kepada masyarakat (kesusilaan atau moralitas, agama, hukum, dan adat istiadat setempat) maka dapat disimpulkan bahwa budi pekerti berkaitan dengan moral, maka konsep budi pekerti menjadi lebih luas lagi dengan menyerap aspek budi pekerti dari lingkungan yang makin meluas (environmental development approach). Dari lingkungan yang makin meluas inilah budi pekerti mengandung nilai moral lokal (aturan keluarga, kerabat, dan tatanan lingkungan setempat), nasional ( tatanan demokrasi, loyalitas, nasionalisme, undang- undang, hukum, hak asasi manusia, dan lain-lain), dan internasional (hukum internasional, hubungan dan kerja sama antar bangsa, perdamaian, keamanan) dan masih banyak konsep lain yang menjadi norma dan berlaku bagi kesejahteraan lingkungan.

C. Jenis – jenis Nilai Moral

  Nilai budi pekerti berkaitan dengan nilai moral karena ruang lingkup pembahasan nilai budi pekerti bersumber pada etika atau filsafat moral menekankan pada unsur utama kepribadian. Nilai moral yang terkandung di dalam budi pekerti sangat bermanfaat bagi siswa, khususnya unsur karakter atau watak yang mengandung hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan. Nilai moral tersebut diharapkan dapat diterapkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.

  Berikut ini adalah nilai moral yang terkandung di dalam nilai budi pekerti (Zuriah, 2008:67).

1. Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa

  Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

  Seseorang yang yakin akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa biasanya memiliki sikap yang meyakini, dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai umat beragama kita harus beriman dan bertaqwa kepada-Nya serta percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan kita untuk hidup di dunia. Dengan demikian, seseorang akan selalu bersyukur jika mendapatkan sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

  2. Mentaati ajaran agama

  Mentaati ajaran agama adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan kepatuhan, tidak ingkar, dan taat menjalankan perintah serta menjauhi larangan agama. Mentaati ajaran agama harus dilakukan dengan ikhlas dengan wujud adanya kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama yang dianut yaitu dengan menjalankan perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya serta bila berjanji tidak mengingkari. Dengan demikian, mentaati ajaran agama maka kita dapat hidup teratur sesuai dengan ajaran agama yang kita anut.

  3. Memiliki dan mengembangkan sikap toleransi

  Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendirianya. Sikap toleransi merupakan sikap saling menghargai atau mau menerima kenyataan bahwa kita itu berbeda dengan orang lain, tetapi kita harus merasa bahwa kita satu keluarga memiliki tali persaudaraan. Sikap toleransi sangat penting untuk dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan memiliki sikap toleransi, maka kita dapat menghargai segala perbedaan dengan orang lain.

  4. Memiliki rasa menghargai diri sendiri

  Memiliki rasa menghargai diri sendiri adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan menilai kelebihan dan kekurangannya pada dirinya sendiri. Seseorang memiliki rasa menghargai diri sendiri biasanya mampu menutupi kekurangannya dengan kelebihan yang dimiliki oleh dirinya sendiri dengan baik sehingga akan membuat bangga terhadap dirinya sendiri.

  5. Tumbuhnya disiplin diri

  Tumbuhnya disiplin diri adalah sikap dan perilaku sebagai cerminan dari ketaatan, kepatuhan, ketertiban, kesetiaan, ketelitian, dan keteraturan perilaku seseorang terhadap norma dan aturan yang berlaku. Biasanya orang yang dikatakan disiplin apabila orang tersebut dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan kesadaran yang muncul dari hatinya tanpa adanya paksaan dari orang lain. Sikap disiplin dapat membuat hidup teratur dan mengantarkan kita kepada kesuksesan. Dengan demikian, sikap disiplin dapat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

  6. Mengembangkan etos kerja dan belajar

  Mengembangkan etos kerja adalah sikap dan perilaku sebagai cerminan dari semangat kecintaan, kedisiplinan, kepatuhan dan penerimaan terhadap kemajuan hasil kerja atau belajar. Seseorang yang memiliki etos kerja dan belajar yang baik biasanya dapat dilihat dari semangat, kecintaan, kedisiplinan dan loyalitas yang ia berikan terhadap pekerjaan. Sikap mengembangan etos kerja dan belajar sangat penting untuk dimikili setiap individu untuk menuju kesuksesan. Mengembangkan etos kerja dan belajar akan membuat seseorang semangat dalam melakukan pekerjaannya agar dapat tercapai semua cita-cita dan keinginannya.

  7. Memiliki rasa tanggung jawab

  Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibanya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial), Negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang yang memiliki tanggung jawab apabila mendapatkan sebuah kewajiban atau tugas, maka ia berkewajiban menanggung segala sesuatu atau akibatnya. Sikap tanggung jawab harus dimiliki oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan. Dengan memiliki sikap tanggung jawab, maka masalah yang kita hadapi dapat terselesaikan dengan baik.

  8. Memiliki rasa keterbukaan

  Memiliki rasa keterbukaan adalah sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan adanya keterusterangan antara apa yang dipikirkan, diinginkan, diketahui, dan kesediaan menerima saran serta kritik dari orang lain. Seseorang yang memiliki rasa keterbukaan biasanya memiliki rasa keterusterangan yang tinggi mengenai apa yang dipikirkan, diinginkan hal itu dapat menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan memiliki rasa keterbukaan, maka seseorang akan mau menerima segala sesuatu kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Selain itu, juga akan dipercaya oleh orang lain dan tidak akan terjadi kesalahpahaman dengan orang lain. Sikap keterbukaan dapat menciptakan kerukunan antarindividu dan kelompok.

  9. Mampu mengendalikan diri

  Mampu mengendalikan diri adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dirinya sendiri berkenaan dengan kemampuan, emosi, nafsu, ambisi, keinginan, dalam memenuhi rasa kepuasan dan kebutuhan hidupnya. Seseorang yang dapat mengendalikan dirinya adalah orang yang mampu mengatur antara kemauan, emosi, nafsu, ambisi, keinginan secara bersama-sama dalam memenuhi rasa kepuasan dan kebutuhan hidup. Dengan mengendalikan diri, maka kita dapat hidup tenang karena tidak memiliki musuh.

  10. Mampu berpikir positif

  Mampu berfikir positif merupakan sikap mental yang melibatkan proses memasukkan pikiran-pikiran, kata-kata, dan gambaran-gambaran yang membangun bagi perkembangan pikiran. Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan, sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan. Dengan berfikir positif seseorang dapat berfikir jernih, tidak berburuk sangka, mendahulukan sisi positif dari suatu masalah. Hal itu akan membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan dan kesehatan kita.

  11. Mengembangkan potensi diri

  Mengembangkan potensi diri adalah sikap dan perilaku seseorang untuk dapat membuat keputusan sesuai dengan kemampuannya mengenal bakat, minat dan prestasi serta sadar akan keunikan dirinya sehingga dapat mewujudkan potensi diri yang sebenarnya. Mengembangkan potensi diri sangat penting dan bermanfaat untuk dimiliki oleh setiap masing-masing individu karena dapat mengetahui kemampuan atau bakat yang dimilikinya. Apabila kita dapat mengembangkan potensi diri kita, maka kita akan mencapai kesuksesan dan meningkatkan potensi diri lebih maju.

  12. Menumbuhkan cinta dan kasih sayang

  Menumbuhkan cinta dan kasih sayang adalah sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan adanya unsur memberi perhatian, perlindungan, penghormatan dan pengorbanan terhadap orang yang dicintai dan dikasihi. Seseorang yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang akan menunjukkan perhatian, perlindungan, dan penghormatan kepada orang yang dicintai. Cinta dan kasih sayang harus dimiliki oleh setiap orang agar tercipta suasana yang harmonis. Cinta dan kasih sayang harus ditumbuhkan sejak dini di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah agar kehidupan menjadi rukun antarindividu dan kelompok.

  13. Memiliki kebersamaan dan gotong royong

  Memiliki rasa kebersamaan dan gotong royong adalah sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan adanya kesadaran dan kemauan untuk bersama-sama, saling membantu saling memberi tanpa pamrih. Gotong royong juga dapat berarti melakukan pekerjaan atau bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan agar hasilnya sesuai dengan apa yang diinginkan. Segala sesuatu bila dilakukan bersama-sama atau gotong royong akan mempercepat pekerjaan serta pekerjaan menjadi lebih ringan.

  14. Memiliki rasa kesetiakawanan

  Memiliki rasa kesetiakawanan adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan kepedulian kepada orang lain, keteguhan hati, dan rasa cinta terhadap orang lain dan kelompoknya. Seseorang yang memiliki rasa kesetiakawanan akan menumbuhkan sikap kepedulian terhadap orang lain. Hal tersebuat menunjukkan bahwa kita hidup sangat memerlukan bantuan dari orang lain. Karena manusia adalah makhluk sosial dimana hidup tidak bisa sendiri. Dengan memiliki rasa kesetiakawanan, maka kita bisa saling membantu orang yang membutuhkan bantuan kita.

  15. Saling menghormati

  Saling menghormati adalah sikap dan perilaku untuk menghargai dalam hubungan antarindividu dan kelompok berdasarkan norma dan tata cara yang berlaku.

  Sikap saling menghormati sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Apabila kita menanamkan sikap saling menghormati, maka akan tercipta kerukunan antarindividu dan kelompok. Sikap saling menghormati sangat penting untuk diterapkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.

  16. Memiliki sopan santun dan tata krama

  Memiliki tata krama dan sopan santun adalah sikap dan perilaku sopan santun dalam bertindak dan bertutur kata terhadap orang yang lebih tua atau muda tanpa menyinggung dan menyakiti hatinya serta menghargai tata cara yang berlaku sesuai dengan norma, budaya dan adat istiadat. Tata krama dan sopan santun diwujudkan dalam sikap dan perilaku dalam bertindak dan bertutur kata terhadap orang tanpa menyinggung perasaannya. Seseorang yang memiliki tata krama dan sopan santun, maka akan dihormati orang lain.

  17. Memiliki rasa malu

  Memiliki rasa malu adalah sikap dan perilaku yang menunjukan tidak enak hati, hina, rendah karena berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani, norma dan aturan. Rasa malu harus dimiliki oleh setiap individu. Seseorang yang memiliki rasa malu, maka orang tersebut akan menjaga sikap dan perilaku supaya tidak berbuat hal yang memalukan. Dengan demikian, orang yang memiliki rasa malu merasa rendah hati untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya.

  18. Menumbuhkan kejujuran

  Menumbuhkan kejujuran adalah sikap dan perilaku untuk bertindak dengan sesungguhnya dan apa adanya, tidak berbohong, tidak dibuat-buat, tidak ditambah dan tidak dikurangi, serta tidak menyembunyikan kejujuran. Selain itu, sikap jujur dapat menciptakan suasana kehidupan yang damai dan tenteram karena tidak ada kebohongan.

D. Moral dalam Karya Sastra

  Moral merupakan suatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Moral, kadang-kadang diidentikkan pengertiannya dengan tema walaupun makna sebenarnya tidak selalu menyaran pada maksud yang sama. Moral dan tema, keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, diambil dari cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun tema, bersifat kompleks daripada moral. Moral, dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral.

  Menurut Nurgiyantoro (2010: 321) moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam karya sastra dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan melalui cerita oleh pembaca. Moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral dalam karya sastra dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagai model yang ditampilkan dalam cerita lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.

  Setiap karya sastra yang ditulis pengarang bertujuan untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, dan pesan yang mendasari penulisan karya itu. Di sisi lain, karya sastra juga menawarkan pesan moral yang berkaitan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi tentulah berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan nonfiksi.

  Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa moral berkaitan dengan karya sastra, maka moral yang ada di dalam karya sastra merupakan sekumpulan nilai kebenaran yang dilukiskan melalui sikap dan tingkah laku tokoh- tokoh yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca dapat membedakan tentang hal baik dan buruk yang dimiliki tokoh melalui karakter masing-masing yang ada di dalam cerita. Karya sastra dapat dijadikan sebagai hiburan sekaligus mengandung nilai moral yang bermanfaat bagi pembaca. Melalui kegiatan membaca karya sastra berupa novel, maka pembaca dapat mengetahui dan menemukan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut sangat bermanfaat untuk pedoman hidup bagaimana caranya untuk membedakan antara hal yang baik dan buruk serta dapat diterapkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.

E. Pembelajaran Sastra di SMA

  Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah yaitu mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dan mengembangkan diri dilakukan peserta didik. Pembelajaran merupakan sebuah proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas dan bakat berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pembelajaran.

  Mengajar berarti proses bimbingan kegiatan belajar. Pembelajaran merupakan aktivitas belajar mengajar yang diawali dengan perencanaan dan diakhiri dengan evaluasi. Suatu pembelajaran dapat berjalan dan berhasil secara baik jika mampu mengubah peserta didik mampu menumbuhkembangkan kesadaran untuk belajar, sehingga pengalaman yang diperoleh peserta didik dari proses pembelajaran dapat dirasakan manfaatnya secara langsung bagi perkembangan pribadinya (Rohani, 2004: 4-68).

  Dari penjelasan di atas pembelajaran meliputi perencanaan yang harus dibuat oleh guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran agar dapat mengubah peserta didik yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu melalui evaluasi.

  Menurut Rahmanto (2000: 16-25) pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat yaitu:

  1. Membantu keterampilan berbahasa

  Pembelajaran sastra dapat membantu keterampilan berbahasa bahwa pembelajaran sastra dalam kurikulum berarti akan melatih dan membantu siswa dalam keterampilan membaca, menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.

  2. Meningkatkan pengetahuan budaya

  Pembelajaran sastra di sekolah dapat meningkatkan pengetahuan budaya karena setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. Pengetahuan tentang budaya dan sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri, dan rasa ikut memiliki.

  3. Mengembangkan cipta, rasa

  Pembelajaran sastra dapat mengembangkan cipta dan rasa bahwa dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indera; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan bersifat sosial; serta dapat ditambah lagi yang bersifat religius.

  4. Menunjang pembentukan watak

  Melalui pembelajaran sastra dapat memiliki keterampilan melewati seluruh rangkaian perkembangan pribadi, berbagai pengetahuan dan perasaan yang lebih tajam. Pembelajaran sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti misalnya: kebahagiaan, kebebasan, kekalahan, kemenangan, kesetiaan, keputusan, kebencian, perceraian, kematian, dan kelemahan. Pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik yang meliputi : ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

  Dalam pembelajaran, bahan ajar yang disajikan kepada peserta didik harus sesuai dengan kemampuan peserta didiknya. Oleh karena itu, karya sastra yang akan disajikan hendaknya diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukarannya dan kriteria- kriteria tertentu lainnya. Tanpa adanya kesesuaian antara siswa dengan bahan yang diajarkan, pembelajaran yang disampaikan akan gagal.

  Dalam kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi, antara lain mengubah pola pendidikan dari orientasi terhadap hasil dan materi ke pendidikan sebagai proses, melalui pendekatan tematik integrasi dengan contextual teaching

  

learning (CTL). Oleh karena itu, pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan

  peserta didik agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi, dan kebenaran secara ilmiah. Dalam kerangka inilah perlunya kreativitas guru, agar mereka mampu menjadi fasilitator, dan mitra belajar bagi peserta didik. Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus kreatif memberikan layanan dan kemudahan belajar (facilitate

  

learning) kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam suasana yang

  menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka. Rasa gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka merupakan modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan, dan memasuki era globalisasi yang penuh tantangan (Mulyasa, 2013: 41-42).

  Dalam pembelajaran perlu diperhatikan pengalaman belajar yang harus dilakukan oleh peserta didik yang merupakan bidang kajian dari kurikulum, yaitu mengenai apa isi pembelajaran yang harus dipelajari peserta didik agar tujuannya dapat tercapai. Kurikulum dalam pembelajaran mencakup hal-hal yang penting dan harus diperhatikan untuk kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana agar tujuannya tercapai. Dalam hal ini, yang tidak boleh dilupakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah cara untuk menata interaksi antara sumber- sumber belajar yang ada agar dapat berfungsi secara baik. Dengan demikian, pembelajaran dapat berjalan dengan lancar karena guru dapat menata interaksi antara sumber-sumber belajar dengan baik.

  Kompetensi inti mata pelajaran Bahasa Indonesia bersifat multidimensi. Dalam operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial untuk membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, tetapi untuk dibentuk melalui berbagai tahapan proses pembelajaran pada setiap mata pelajaran yang relevan. Kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan melalui pelajaran dalam mata pelajaran; sehingga berperan

  

integrator horizontal antarmata pelajaran. Kompetensi inti juga digunakan sebagai

  operasionalisasi Standar Kompetensi Lulusan dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki oleh peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, yang menggambarkan kompetensi utama dikelompokkan ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk satu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran (Mulyasa, 2013: 173-174).

  Materi pembelajaran tentang nilai moral dalam novel Athirah karya Alberthiene Endah diajarkan pada siswa kelas XI Semester 1. Nilai-nilai moral diharapkan dapat bermanfaat bagi peserta didik serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar tersebut adalah sebagai berikut.

  Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

  3. Memahami, menerapkan dan menjelaskan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

  Kemampuan Bersastra :

  3.1 menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerita pendek yang dibaca. 3.2 menganalisis pelaku, peristiwa dan latar dalam novel yang dibaca.

F. Kriteria Pemilihan Bahan Ajar

  Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, (2009: 171-173) mengatakan bahan ajar merupakan seperangkat informasi yang harus diserap peserta didik melalui pembelajaran yang menyenangkan. Peserta didik harus benar-benar merasakan manfaat bahan ajar atau materi itu setelah mempelajarinya. Secara umum, bahan ajar dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan.

  Dikemukakan Nurgiyantoro, (2001: 34-35) bahan pengajaran begitu penting, perlu disusun suatu deskripsi tentang bahan pengajaran paling tidak secara garis besar bahan pengajaran dimanfaatkan sebagai alat uji terhadap alat penilaian itu sendiri, yaitu berupa isi. Tujuan pengajaran mencakup tiga aspek, yaitu : aspek kognitif, yang berkaitan dengan kemampuan berpikir, afektif yang berkaitan dengan sikap, dan psikomotor yang berkaitan dengan keterampilan.

  Sehubungan dengan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan pengajaran merupakan hal yang harus disiapkan terlebih dahulu oleh guru sebelum melakukan kegiatan pembelajaran agar proses pembelajaran sesuai dengan tujuan.

  Menurut Ibrahim, (2003: 102) ada beberapa kriteria bahan pengajaran yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu:

  1. Materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tercapainya tujuan.

  2. Materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan/ perkembangan siswa pada umumnya.

  3. Materi pelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan

  4. Materi pelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual.

  Melalui bahan pengajaran yang disampaikan di atas, maka pelajaran sastra memiliki kriteria tersendiri yang lebih khusus. Bahan pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada tahapan pengajaran tertentu. Belajar memang memakan waktu yang cukup panjang, dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Dengan kata lain belajar memerlukan suatu pentahapan. Oleh karena itu karya yang hendak disajikan sebagai bahan pengajaran harus memenuhi kriteria tertentu.

  Kriteria pemilihan bahan di atas selaras dengan kriteria pemilihan bahan yang disampaikan oleh Mulyasa, (2010: 144) yaitu:

  1. Tingkatan perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta didik.

  2. Kebermanfaatan bagi peserta didik.

  3. Struktur keilmuan.

  4. Kedalaman dan keluasan materi.

  5. Relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan.

  6. Alokasi waktu.

  Berdasarkan penjelasan mengenai kriteria bahan ajar, maka dalam memilih bahan ajar untuk pembelajaran harus memperhatikan hal-hal tersebut. Seorang guru harus menguasai prinsip-prinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran, keterampilan menilai hasil-hasil belajar peserta didik, serta memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran agar isi silabus dapat tersampaikan dengan baik sesuai dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan bagian integral bagi seorang guru sebagai tenaga profesional, yang hanya dapat dikuasai dengan baik melalui pengalaman praktik yang intensif.

  Menurut Djuanda dan Iswara (2006: 157) apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Melihat pengertian tersebut, mengapresiasi karya sastra prosa fiksi artinya kegiatan menggauli prosa fiksi yang telah dibacanya. Apresiasi prosa fiksi tidak cukup hanya sebatas membaca prosa lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan bacaan, tapi memerlukan kepekaan kritis, kepekaan perasaan yang pada akhirnya bisa lebih peka pikiran kritisnya, dan lebih peka perasaannya terhadap karya sastra.

  Aminudin (2011: 34) mengatakan bahwa melalui apresiasi sastra prosa fiksi, peserta didik dapat merasakan kehadiran pelaku, peristiwa, dan gambaran objek dari prosa fiksi yang telah dibaca. Selain itu, apresiasi sastra mencakup tanggapan emosional pada isi novel dan merasakan atau menikmati gaya bahasa pengarang.

  Kegiatan apresiasi sastra prosa fiksi sebagai suatu proses, melibatkan tiga aspek penting, yakni (1) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objek. (2) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur- unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. (3) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik/ buruk, indah tak indah serta sejumlah ragam penilaian lain yang terkait dengan unsur prosa fiksi. Dengan demikian, dalam apresiasi sastra prosa fiksi peserta didik dapat menemukan nilai-nilai yang ada di dalam karya sastra. Setelah peserta didik menemukan nilai-nilai moral tersebut diharapkan dapat diterapkan dalam kepribadian dan kehidupannya.

  Berkaitan dengan pembelajaran apresiasi sastra (novel) Rahmanto (2000: 26- 33) menyebutkan tiga kriteria aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu bahasa, kematangan jiwa (psikologi), latar belakang kebudayaan peserta didik. Ketiga aspek tersebut akan peneliti paparkan sebagai berikut.

  1. Bahasa

  Aspek kebahasaan dalam karya sastra ini tidak hanya ditentukan oleh masalah- masalah yang dibahas, tetapi juga faktor lain seperti: cara penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya sastra itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Agar pembelajaran sastra dapat berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan keterampilan ( atau semacam bakat) khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didiknya. Dilihat dari segi bahasanya, karya sastra (novel) yang diajarkan kepada peserta didik hendaknya bahasa yang digunakan dapat dipahami oleh peserta didik. Dengan demikian, guru hendaknya selalu berusaha memahami tingkat kebahasaan peserta didiknya, sehingga guru dapat memilih materi yang cocok untuk peserta didiknya. Di samping itu, sastra memiliki wawasan kebahasaan yang memperhitungkan kosa kata, kalimat, ungkapan, dan cara pengarang menuangkan ide- idenya lewat untaian kata-kata, serta gaya bahasa yang digunakan.

  2. Psikologi

  Tahap pesikologi merupakan tahap yang paling penting dalam pemilihan bahan pembelajaran sastra karena tahap ini sangat berpengaruh besar terhadap minat dan keengganan anak didik. Tahap perkembangan psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah yang dihadapi. Karya sastra yang terpilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tingkat psikologi pada umumnya dalam satu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tingkatan psikologi yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya secara psikologis dapat menarik sebagaian peserta didik dalam kelas itu. dengan demikian, seorang guru harus dapat memilih bahan pembelajaran sastra yang sesuai dengan perkembangan psikologis peserta didik agar dapat diterima dengan baik oleh siswa.

3. Latar belakang budaya

  Latar belakang karya sastra saat ini meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkunganya, seperti: geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya. Biasanya peserta didik akan mudah tertarik pada karya sastra yang berasal dari lingkungan mereka. Seorang guru harus dapat memiliki karya sastra sesuai dengan latar belakang budaya peserta didik. Dengan demikian, guru harus memiliki pertimbangan yang matang untuk menentukan karya sastra yang mengandung faktor mana yang layak diajarkan kepada peserta didik.

  Karya sastra yang dipilih tentu saja yang berasal dari budaya Indonesia dan memiliki nilai yang bermanfaat bagi peserta didik sebagai seorang manusia pada umumnya, juga sebagai pelajar pada khususnya.