M01343

“MENANTI PENGAKUAN”:
INDUSTRI BATIK BERBASIS PUTTING-OUT SYSTEM
DAN HOME-WORKERS
(STUDI KASUS DI JAWA TENGAH)1
Arianti Ina Restiani Hunga
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Pusat Peneliti dan Studi Gender, Universitas Kristen Satya Wacana, Jalan Diponegoro 52-60, Salatiga
Email: [email protected]

Abstrak
Krisis ekonomi mendorong makin pentingnya peran „putting-out‟ system (POS) untuk
pengembangan industri batik skala mikro-kecil-menengah. Industri ini memindahkan sebagian
besar proses produksi ke rumah pekerjanya (home-workers) tanpa supervisi. Sistem ini sudah lama
ada tetapi menjadi makin penting, kompleks, dan berbeda dari fenomena POS pada umum.
Perkembangan industri berbasis POS tidak dapat dipisahkan dari home-workers dan keluarganya
yang faktanya mereka "tersembunyi/disembunyikan". Home-workers telah memainkan peran
strategis dalam mendukung eksistensi dan kelangsungan hidup industri batik, namun kontribusi
mereka termarjinalkan. Makalah ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan di klaster
Sragen, Surakarta, Sukohardjo di Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi
kasus dari perspektif gender. Di dalamnya dipaparkan tiga temuan penting, yaitu (a) Transformasi
POS dalam industri batik; (b) implikasinya pada perubahan peran home-workers dan kondisi

mereka dalam industri batik; dan (c) perubahan POS dari perspektif gender.
Keywords: ‗putting-out‟ system, industri batik, home-workers, gender

Abstract
Economic crises have stimulated the growing importance of the ‗putting-out‘ system (POS) in
the development of micro-small-medium scale batik industries which shifted most of the
production processes to the homes of its home-workers. Such systems were already present
before the crises but are now more prominent, faster, complex, and different from the ‗puttingout‘ system in general. The development and survival of batik industries using POS cannot be
separated from the roles of the home-workers and their families, but their roles are ―hidden‖,
and they remain on the margins. This paper is based on a research conducted in the cluster of
Sragen-Surakarta-Sukohardjo, Central Java. It is a case study from gender perspectives. Three
key findings are presented, namely (a) The POS transformation in batik industries, especially
from gender perspectives; (b) the implications of the system on the role of home-workers and
the employment conditions in the batik industry; and (c) the change of POS from gender
perspectives.
Keywords: „putting-out” system, batik industries, home-workers, gender

1

Merupakan paper pengembangan dari paper yang ditulis dalam bahasa Inggris dengan Judul: ― Uncover the Invisible‖: Home-workers in MicroSmall -Medium Industries Based on ―Putting-out‖ System. (The Case Study of the Batik and Batik Convection Industry in a Sragen-SurakartaSukoharjo Cluster of Indonesia). Diterbitkan oleh The International Journal of Interdiciplinary Social Sciences. Volume 5, Number 9 tahun 2011.

ISSN: 1833-1882. University of Illinois Research Park 2001 South First St, Suite 202 Champaign IL 61820 USA.
http://iji.cgpublisher.com/product/pub.88/prod.1.

1

Latar Belakang
Perhatian penulis terhadap Industri Mikro-KecilMenengah (selanjutnya disingkat IMKM) dimulai
sejak tahun 1999 pada saat krisis ekonomi di Indonesia
masih hangat. Pada saat itu, IMKM menjadi sub-sektor
yang mendapat banyak perhatian dari banyak peneliti
di Indonesia. Ada temuan yang kontradiktif terhadap
IMKM pada masa ini, di satu sisi IMKM dianggap
sebagai satu kekuatan ekonomi yang
tangguh,
khususnya pada masa krisis karena perannya strategis
dalam penyerapan tenaga kerja, memberikan peluang
kerja2 bagi masyarakat, dan meningkatnya jumlah
IMKM. Namun di sisi lainnya, ada fakta empiris yang
menunjukkan bahwa IMKM belum memperlihatkan
kinerja3 yang membaik bahkan

daya saingnya
cenderung menurun, serta kesejahteraan pekerja di
sektor ini lebih baik (Manning dan Dierman, 2000;
SMERU, 2000; Thee Kian We, 2004; World Economic
Forum, 2004; Menperindag, 2005; Bappenas,2005;
ILO, 2010; Media Industri, 2011).
Dari fakta tersebut, memunculkan pertanyaan,
bagaimana keberadaan IMKM di tengah ekonomi
global yang semakin menuntut daya saing, efisien, dan
fleksibel? Pertanyaan berikutnya, dari mana kekuatan
IMKM menghadapi krisis ekonomi yang terjadi? Bila
kekuatan itu tidak bersumber dari dalam diri IMKM
tentu ada yang dipakai atau dikorbankan? Pertanyaan
inilah yang mendorong penulis, sejak tahun 20004
untuk melakukan penelitian lebih mendalam agar dapat
2

Selama periode 2004-2009 terjadi peningkatan sebanyak 793.709
unit usaha atau tumbuh rata-rata per tahun sebesar 7,33% melampaui
persentase target Rencana Strategis Nasonal IKM sebesar 4,6%.

Sementara peningkatan penyerapan tenaga kerja terjadi sejumlah
943.108 orang, dengan rata–rata pertambahan 188.621 orang per
tahun atau dengan laju pertumbuhan sebesar 3,26% per tahun
(Menperindag, 2010). Namun, sejak tahun 2000, peringkat daya
saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43
pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada
tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003.Menurut catatan
World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing
Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang
diteliti. Posisi ini jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan
beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN (Bappenas, 2005).
3
Pascakrisis ekonomi, industri nasional mengalami pelambatan
pertumbuhan yang ditandai dengan penurunan kinerja beberapa
sektor. Dalam kurun tahun 2005-2010 pertumbuhan industri non
migas fluktuatif dengan kecenderungan turun. Pada 2005 industri
tumbuh 5,86 persen dan mencapai titik terparah menjadi 2,56 pada
2009 sebagai imbas krisis ekonomi di Amerika Serikat. Namun, pada
2010 kondisinya telah jauh membaik dengan pertumbuhan mencapai
5,09 persen (Media Indonesia-Meneprindag, 2011).

4
Tahun 2000-2003 merupakan penelitian tahap pertama di bawah
payung program Riset Unggulan Terpadu-Menristek. Kedua , tahun
2004-2006 riset melalui; Program Riset Unggulan Kemitraan –
Menristek; Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID) –
Dikti Depdikbud tahun 2004-2006 ; Indonesia in Transition; Coping
with Crisis oleh KNAW Belanda). Tahap ketiga, tahun 2007-2011
melalui program: penelitian Riset Unggulan Daerah Provinsi Jawa
Tengah; Perempuan di sektor informal – Kementrian Pemberdayaan;
dan 3) Hibah Kompetensi – Dikti Depdikbud tahun 2009-2010.

mengungkap strategi IMKM, khususnya pada arena
produksi sebagai arena interaksi aktor, produk, dan
kelembagaan dalam menghasilkan produk sebagai inti
kegiatan IMKM yang bisa dilihat secara material dan
simbolik. Dalam arena produksi inilah, penulis
menemukan modus produksi berbasis rumah pekerja
(putting-out system selanjutnya disingkan POS) yang
hadir sebagai pilihan yang strategis dari IMKM
disamping/menggeser posisi modus produksi berbasis

pabrik yang selama ini dominan digunakan oleh
industri (Hunga, 2010, 2011, 2013)
Industri yang sebagian besar aktivitasnya
berbasis di luar pabrik, yaitu pada rumah tinggal atau
ditempat lain yang dipilih oleh pekerjanya, dalam
dunia akademik dikenal dengan istilah industrial
homework atau industri berbasis pada rumah pekerja
melalui sistem produksi putting-out (Dangler, 1985)5.
ILO (1996) dalam The Homework Convention tahun
1996 mendefinisikan Putting-Out System (selanjutnya
disingkat POS) adalah sistem yang sebagian besar
proses produksinya berada di luar perusahaan atau
berada di rumah atau tempat yang dipilih sendiri oleh
pekerjanya dan berlangsung tanpa atau sangat sedikit
supervisi dari pemberi kerja atau pengusaha. Sistem
produksi ini menggunakan dan memunculkan jenis
tenaga kerja yang dikenal dengan istilah home based
work atau home-worker 6. Tenaga kerja ini tidak
mempunyai ikatan kerja formal dengan pengusaha,
tidak tercatat sebagai kategori pekerja, sehingga

hubungan kerja di antaranya berlangsung secara
informal dan eksploitatif.
Di kalangan peneliti dan aktivitas yang
memperhatikan fenomena ini di Indonesia, homeworker diterjemahkan menjadi Tenaga Kerja Rumahan
atau Pekerja Rumahan . Namun penulis tidak
menggunakan terjemahan ini karena istilah Tenaga
Kerja Rumahan atau Pekerja Rumahan sering
dimaknai secara salah, yaitu diidentikkan dengan
pekerja dalam rumah tangga yang lebih dikenal dengan
istilah Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bila di antara
individu dan masyarakat yang mengenal atau
mendengar istilah home-worker (selanjutnya disingkat
HW), sering HW dikategorikan dalam kategori yang
salah, seperti home-industri, pengusaha mikro,
pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan
tidak bekerja. HW sebenarnya banyak ditemui di
lapang dengan istilah lokal yang berbeda-beda, seperti;
borongan, sanggan7, maklon, rengsi, mancal, jrogan
5


Juga dikenal istilah Out-worker dan home-workers menjadi bagian
dari kategori out-worker
6
Home-workers juga sering dipertukarkan atau disama artikan
dengan home-based work.
7 Merupakan istilah dalam bahasa Jawa yaitu Songgo yang diartikan
menyangga/mendukung/membantu. Sanggan bisa menjelaskan
pekerjanya dan juga bisa dimaknai sebagai pekerjaan yang diberikan
oleh juragan

1

gaok8, tempahan9, bos atau bos kecil, mancal, rengsi,
pengobeng, jedot atau makelar, dll. Perbedaan istilah
ini sangat terkait dengan komiditi yang diolah dan
konteks sosial-budaya masyarakatnya. Misalnya,
mancal dikenal untuk HW dalam pengolahan komoditi
konveksi. Sedangkan sanggan salah satu istilah bagi
perempuan HW dan jragon gaokv untuk laki-laki HW
di Batik. Oleh karenanya istilah ini tidak sekedar kata

tetapi memiliki makna (discourse) yang berbeda
sekaligus membedakan HW satu dan lainnya dalam
POS baik dilihat dari kompetensi, peran dan posisinya
terkait dengan komoditi yang diolah, serta gendernya.
Hal ini menengaskan bahwa bahwa HW bukanlah
entitas yang homogen tetapi sebaliknya berbeda dan
memiliki kompleksitas interaksi dalam POS. Realitas
ini sekaligus mengkritisi temuan dan pandangan
dominan tentang POS dan HW selama ini yang
cenderung melihat mereka sebagai entitas yang
homogen (Hunga,2005; 2011). Oleh karena itu,
kesalahan dalam mengidentifikasi HW dan POS
berimplikasi
pada
kerancuan
dan
semakin
mengaburkan siapa mereka sebenarnnya.
Industri yang menggunakan POS dan HW,
sebenarnya sudah lama ada baik di Indonesia, regional,

maupun global, namun baru mendapat perhatian sejak
tahun 1990-an seiring dengan krisis ekonomi dunia.
Fakta ini diungkap oleh berbagai penelitian di beberapa
negara dan gerakan yang difasilitasi oleh ILO pada
skala Internasional (Beneria dan Roldan, 1986; Allen
dan Wolkowitz, 1987; Dangler, 1985, 1994; ILO,
1996; Ping-Chun Hsing, 1999; McCormick, 2002;
Surman, 2002; Doane, 2007; WIEGO, 2010).
Fenomena ini di Indonesia ditunjukkan oleh beberapa
penelitian, antara lain Susilastuti (1999); Wijaya
(2000); ILO (2004); Doane (2007); WIEGO, 2010;
Hunga (2000, 2005, 2010,2011).
Namun sejak isu HW muncul di publik pada
tahun 1990-an dan adanya Konvensi ILO terkait
Home-workers (ILO, 1996), HW menjadi perdebatan
yang kontradiktif. Situasi ini, tampak dalam dua
publikasi ini, antara lain; Home-Workers In Global
Perspective. Invisible No More , merupakan salah satu
buku yang ditulis oleh beberapa peneliti yang diedit
oleh Eleen Boris and Elisabet Prugl (1999), dan buku

We are Worker Too! Organizing Home-based Worker
In Global Economy yang dipublikasikan oleh Women
Informal Employment Globalizing and Organizing

(WIEGO, 2010). Istilah ―ketersembunyian‖ yang
dipakai di kalangan peneliti dan pemerhati fenomena
ini untuk menggambarkan fakta empirik yang
kontradiktif yang dialami oleh HW dalam POS. Di satu
sisi, mereka tidak dikenal atau dikenal secara keliru10,
tidak diakui, dipertanyakan jumlah dan perannya dalam
ekonomi modern, serta relevansinya memberikan
perlindungan, bahkan dianggap pantas menerima
perlakuan didiskriminasi. Namun faktanya POS dan
HW semakin meluas penggunaannya, mereka masuk
dalam POS yang semakin kompleks, menuntut
perubahan peran HW yang strategis, dan sekaligus
eksploitatif.
Ditengah semakin meningkatnya IMKM yang
menggunakan POS justru yang terjadi sebaliknya,
IMKM berbasis pabrik dikenal, mendapat perhatian,
dan acuan dalam mengambil kebijakan11. Persoalan
menjadi kompleks, pada saat kebijakan tersebut12
diberlakukan pada IMKM berbasis POS. Penerapan
kebijakan ini menjadi fatal karena kedua IMKM ini
mempunyai karakteristik dan dinamika yang berbeda
secara prinsip dan teknis (ILO, 2002; Hunga, 2005,
HomeNet, 2010, Hunga, 2011). Contoh konkrit
dikeluarkannya UU N0 13 tahun 2003, di satu sisi UU
ini melegitimasi industri menggunakan sistem Outsourcing yang berimplikasi terjadinya informalisasi
hubungan kerja industrial (Menakerstrans,2004), juga
berarti semakin mendorong peningkatan IMKM yang
menggunakan POS dan HW. Namun di dalam UU ini
tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan bagi
pekerja out-sourcing, termasuk HW. UU ini juga
menciptakan kontroversi tidak hanya antara pengusaha
dan pekerja, tetapi juga di antara pekerja yaitu pekerja
pabrik dibawah payung Serikat Buruh dan HW yang
ada dirumah-rumah yang tidak berorganisasi. Para
pekerja pabrik mendesak mereka ‗dipabrikan‘13 namun
sebaliknya dengan adanya UU N0 13 tahun 2003 (Outsourcing) sebenarnya negara ikut mendorong para
pekerja ‗dirumahkan‘ atau melakukan proses produksi
dari dalam rumahnya. Hal ini berimplikasi pada
terpecahkan kekuatan buruh
dan cenderung
melemahkan mereka dalam sistem produksi kapitalis.
Pandangan yang mendominasi, mensubordinasi
HW, ‗menyembunyikan‘ HW dan POS merupakan
bukti mengabaikan fakta yang sebenarnya bahwa POS
dan HW terus meluas penggunaannya (masif),
10

8

Jrogan merupakan istilah yang diplesetkan dari kata Juragan. Gaok
adalah burung yang diidentikan (setreotype) dengan laki-laki yaitu
terbang kesana-kemari mencari dan mengambil pekerjaan atau
‗mangsa‘. Jrogan Gaok diilustrasikan sebagai HW laki-laki yang
berperan sebagai koordinator para HW yang mengambil dan
membagikan pekerjaan dan upah. Istilah diwilayah lainnya adalah
tempahan
9
Dari bahasa Jawa yaitu tempohke yang bisa dimaknai sebagai
diwakilkan dan kemudian dimaknai wakil juragan.

2

Banyak istilah lokal yang dimemiliki makna yang berbeda-beda.
Ini justru semakin mengaburkan siapa mereka. Misalnya memaknai
merena sebagai Pembantu Rumah Tangga, Ibu Rumah Tangga,dll.
11
Libat dalam Rencana Strategis Pengembangan IMKM di Indonesia,
industri berbasis POS tidak termasuk didalamnya (Menperindag,
2009).Hal yang sama juga tidak tercakup dalam bandingkan juga
dengan Rencana Strategis Pengembangan Industri Kreatif tahun
2010-2025 (Menperindag, 2010).
12
Industri formal (Disperindag, 2005)
13 Menuntut adanya ikatan formal, tetap, UMR, jaminan sosial, dst.

merambah dalam pengolahan komoditi
strategis,
potensial, membutuhkan inovasi dan kreatifitas tidak
terbatas, dan terintegtasi dengan pasar yang luas.
Perkembangan penting ini menunjukan, antara lain;
pertama , POS mengalami transformasi menjadikan
IMKM berbasis POS dan HW meningkat, penting dan
strategis, kompleks, dan berbeda dengan industri
berbasis POS
pada umumnya.Kedua , proses
transformasi mendorong perubahan peran HW dan
keluarganya menjadi strategis dalam mendukung
eksistensi industri,namun sebaliknya memarginalkan14
HW dan keluarganya, khususnya pada perempuan HW.
(Hunga, 2000; 2005; 2010, 2013).
Kedua
hal
diatas
merupakan
fakta
perkembangan penting, peran-peran ‗baru‘, serta
upaya-upaya
beberapa
pihak
untuk
terus
‗menyembunyikan‘ fakta ini. Mengungkapan fakta ini
merupakan bagian dari upaya untuk mengungkap
‗ketersembunyian‘ POS dan HW. Hal ini penting untuk
menunjukan bahwa POS dan HW layak mendapat
pengakuan dalam perekonomian di Indonesia dan
khususnya
HW
mendapatkan
perlindungan
sebagaimana layaknya pekerja pada umumnya yang
telah lama mereka nantikan dari berbagai pihak.
Oleh karena itiu, paper ini ini akan memaparkan
aspek penting dari perkembangan POS dan HW yang
menjadi inti argumentasi penulis diatas, yaitu; 1)
transformasi POS dalam IMKM batik yang ditunjukan
dalam modus produksi dan reorganisasi produksi yang
menjadikan sistem ini strategis bagi industri; 2)
Dampak transformasi POS yang mendorong peran
strategis dan sekaligus memarginalkan HW dan
keluarganya; dan 3) Perubahan formasi (sistem) POS
dari perspektif Gender.

Paradoks POS dan HW
Salah satu penyebab ‗ketersembunyian‘ IMKM
berbasis POS dan HW adalah adanya asumsi,
pendekatan, metoda penelitian, dan argumentasi yang
mendominasi pandangan publik bahwa POS dan HW
memainkan peran sekunder dan kurang penting dalam
perekonomian. Perdebatan ini dikaitkan dengan area
(domain publik vs domestik), interpretasi terhadap
aktor (perempuan vs laki-laki) didalamnya, dan jenis
pekerjaan dalam POS (stereotype feminin vs maskulin)
yang semuanya tidak terlepaskan dari aspek gender
(Beneria, 1981; Wolkowitz dan Allen, S., 1987;
Saptari,1992; Chotim, 1994; Mies, et.al, 1996; Prugl,
1999; Prughl and Boris, 1996; Hunga, 2005).

Pandangan ini juga memunculkan kembali
kontradiktif pada aras konseptual yang sudah lama ada
terkait dikotomi; kerja versus (vs) tidak kerja; beruang
vs tidak beruang; produktif vs reproduktif; tempat
kerja (publik) vs rumah (domestik); laki-laki sebagi
Kepala Keluarga dan pencari nafkah (produktif) vs
perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga dan pemelihara
keluarga yang berperan reproduktif. Dikotomi ini
terkait dengan pembagian menurut seks yang
merupakan kontruksi sosial atas jenis kelamin atau
gender . Konstruksi ini juga dilekatkan pada jenis kerja
dan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia yang
berbeda jenis kelamin dan arena yang dilekatkan
kepadanya (Hunga, 2004,2005,2011).
Dalam modus produksi POS, dapat dijelaskan
bahwa pekerjaan yang menghasilkan uang dikeluarkan
dari pabrik dipindahkan ke dalam rumah tinggal
pekerja. Proses ini, sebenarnya secara fisik-material
menunjukan bahwa pemisahan antara tempat kerja
(publik) yang identik produktif dan beruang dengan
rumah tinggal (domestik) yang identik reproduktif dan
tidak beruang menjadi tidak relevan lagi. Namun yang
terjadi fakta ini tidak merubah dikotomi di atas. HW
dan kontribusinya masih tetap dinilai lebih rendah
karena berlangsung dan mendapat makna domestik.
Proses domestikasi juga dikaitkan dengan
anggapan bahwa jenis pekerjaan yang dikerjakan
dalam POS adalah; jenis pekerjaan tidak penting,
berulang-ulang, tidak butuh keterampilan, temporer,
dan sekedar mencari uang tambahan (pin-money), dan
sampingan. Jenis pekerjaan yang tidak penting, seperti
memasang kancing, obras, menjahit label, dll., yang
merupakan bagian kecil dari satu kesatuan produksi
pakaian (konveksi). Namun faktanya POS dan HW
yang ditemui diberbagai wilayah, termasuk di
Indonesia justru sebaliknya yang berarti bahwa
pandangan ini tidak bisa lagi dipertahankan.
Perkembangan penting POS ditentukan oleh karakter
komoditi dalam pasar yang luas, masyarakat, dan aktor
(HW dan pengusaha). Fenomena ini sangat jelas pada
komoditi yang berbasis pada nilai-nilai lokal, menjadi
produk andalan, dan sekaligus memiliki pasar yang
luas seperti batik dan tenun. Produk ini merupakan
produk ekonomi sekaligus sosial-budaya, serta
mengalami penetrasi pasar yang luas. Karakter produk
ini berbeda dengan komoditi konveksi (garment)
(Hunga, 2005, 20011, 2013).
Perbedaan penelitian ini dengan POS pada
umumnya15 adalah POS dalam IMKM Batik
menghasilkan produk yang bukan komoditas ekonomi
semata tetapi karya yang memberikan makna sosial,

14

Scott (1986) mendefinisikan marginalisasi sebagai suatu proses
pemiskinan perempuan karena semakin disingkirkan, dikondisikan
tidak mampu menjangkau dan tidak dapat menjangkau berbagai
sumber-sumber produktif, serta dikondisikan menerima perlakuan
dan penghargaan yang berbeda atau lebih rendah dibanding laki-laki.

15

Penelitian yang umum dilakukan untuk menjelaskan
fenomena POS adalag garment atau konveksi. Dari penelitian
sering disimpulkan bahwa komoditi ini tidak membutuhkan
ketrampilan, berulang-ulang, simpel, dst.

3

budaya, dan simbolik bagi aktor-aktor di dalamnya,
termasuk konsumen yang menggunakannya (Tirta,
1996; Doellah, 2002; 2003). Oleh karenanya, dalam
kasus batik, modal diluar ekonomi justru sangat
menentukan. Oleh karenanya dialektika POS dalam
industri Batik menunjukan kompleksitas relasi antar
aktor didalamnya yang tidak hanya melibatkan modal
ekonomi, ketrampilan, tetapi juga modal sosial; budaya
dan simbolik (Bourdieu, 1977).
Dalam arena produksi ini, aktor mengenal dan
berusaha melalui persaingan untuk memiliki modal
baik ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Modal ini
menentukan posisi dan peran aktor dalam arena ini.
Artinya dalam menghasilkan batik membutuhkan
modal pengetahuan dan nilai-nilai yang bersumber dari
pengetahuan lokal yang diperoleh secara turuntemuran. Pengetahuan dan nilai ini mambentuk
kerangka berpikir aktor yang oleh Bourdieu (1997)
disebut Habitus. Bagi Bourdieu, “The habitus is a
system of durable, transposable dispositions which
functions as the generative basis of structured,
objectively unified practices” (Bourdieu 1977).
Habitus adalah struktur mental kognitif yang
dikonstruksi yang diinternaliasikan dan diwujudkan
dalam praktik. Bila diletakan dalam konteks POS dan
HW yang sangat kental dengan isu gender maka
habitus para aktor sangat terkait dengan nilai-nilai
yang berasal dari ‗ideologi‘ gender yang kait-mengkait
dengan logika kapitalis.
Selanjutnya habitus inilah yang menentukan
tindakan (praktek) aktor didalam areanya untuk
menghasilkan batik tertentu. Praktik digambarkan oleh
Bourdieu sebagai „the dialectic of the internalization of
externality and the externalization of in ternality‟ yaitu
sebuah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan
eksternalisasi dari internalitas. Melalui sistem ini aktor
mengorganisir tindakan sosialnya, mempresepsi, serta
mengapresiasi tindakan sosial aktor lainnya dalam
kehidupan sosial (Bourdieu, 1977). Dalam konteks
batik maka habitus terekspresikan sebagai dialektika
pengetahuan dan nilai-nilai yang dimiliki aktor yang
diaktulisasikan dalam konteks kekinian dengan
berbagai sentuhan inovasi yang diekspresikan dalam
goresan-goresan motif yang memiliki nilai (filosofis
dan kontekstual), diatas media tanpa batas (kain, kayu,
kaca, dll), dan paduan warna sehingga menghasilkan
batik yang indah. Pengetahuan dan nilai yang diterima
aktor menentukan perbedaan habitus diantara mereka
dan ini menentukan produk (batik) yang dihasilkan.
Faktanya di pasar ditemui batik dengan berbagai
kualitas, termasuk tekstil batik16 yang ditemui di pasar.

16

Di komunitas pecinta batik maka tekstil batik
dikategorikan bukan batik karena tehnik pengerjaannya tidak
menggundakan perintang lilin (malam).

4

Hal ini mengekspresikan bahwa ada perbedaan
kepentingan diantara aktor (Hunga, 2010, 2013)
Pratek aktor dalam POS tidak hanya
menghasilkan produk yang berbeda tetapi juga
menentukan dielaktika diantaranya yang menciptakan
pihak yang dominan dan didominasi. Dalam kasus POS
dan HW, penulis menemukan penindasan terhadap
perempuan dalam dua bentuk yaitu penindasan
material dan ‗idologi‘ (Hunga, 2005, 2008, 2010).
Dalam arena rumah tangga (domestik), modus
produksi pabrik masuk, berlangsung, memanfaatkan
dan tumpang tindih dengan modus produksi domestik
untuk mencapai efisiensi dan keuntungannya. Didalam
area ini, aktor (laki dan perempuan) memanfaatkan
sistem ini , dan pemilik otoritas rumah (laki-laki) yang
mendominasi. Hal ini sebagai ekspresi dialektika (talitemali) logika kapitalisme dengan patriarkhi yang
melekat pada area, komoditi, dan aktor.
Hartman (1976,1981) mengatakan bahwa dalam
sistem kapitalis, buruh perempuan sering dieksploitasi
untuk menekan biaya produksi dalam upaya untuk
memperoleh keuntungan memperluas produksi.
Mereka dibayar murah dibanding laki-laki dengan
alasan tidak terampil, melakukan pekerjaan yang
mudah, dan sebagai pencari nafkah tambahan. Pada
saat industri mengalami proses deindustrialisasi
dimana terjadi pergeseran kelembagaan pabrik
digantikan dengan kelembagaan „rumah sebagai
pabrik‟ melalui modus produksi POS, maka logika ini
juga yang dipakai dan dibawa masuk ke Rumah
Tangga (RT) dan menciptakan jenis pekerja yang
disebut HW. Jadi eksploitasi terhadap perempuan
dalam industri
berbasis POS ini merupakan
manifestasi dari ideologi gender dalam masyarakat
patriarkhi sebagai sistem sosial yang bergabung dengan
kapitalisme sebagai sistem ekonomi (Hartman, 1976;
Beneria, 1981; Wolkowitz dan Allen, S., 1987, Partini,
1990; Saptari,1992; Chotim, 1994; Mies, et.al, 1996;
Prugl, 1999; Prughl and Boris, 1996; Hunga, 2005).
Feminis kontemporer menjelaskan penindasan
perempuan dalam masyarakat berasal dari tatanan
sosial, ekonomi, dan politik yang khas dalam
masyarakat tertentu yang bersumber pada tatanan nilai
patriarkhi. Dalam memetakan dan mengungkap isu
penindasan perempuan, aliran feminis ini memberikan
perhatian pada material kehidupan perempuan dan
proses ideologis yang melanggengkan subordinasi
perempuan dalam masyarakat. Feminis kontemporer
dalam analisisnya mempertanyakan realitas perempuan
dalam relasinya dengan laki-laki melalui empat
konsep, yaitu; perbedaan gender , ketimpangan gender ,
penindasan gender , dan penindasan gender secara
struktural (Mitchell, 1974; Hartmann, 1976; Jaggar,
1983; Jackson dan Jones, 1998)

Dari paparan di atas, untuk menjelaskan proses
transformasi POS, digunakan paradigma feminis
kontemporer yang ditempatkan dalam kerangka
analisis Bourdieu (1977; 1990) yang dilihat dari 3 hal
yang saling terintegrasi, yaitu: pertama , kapitalisme,
patriarkhi, dan negara merupakan kekuatan sistem
yang saling berhubungan mendorong proses
transformasi POS. Kapitalisme sebagai suatu dasar
material dan nilai menjadi sarana yang membangun
dan
menjaga
POS
agar
dapat
memenuhi
kepentingannya. Sedangkan nilai patriarki menjadi
dasar material dan nilai yang melembaga dalam Rumah
Tangga yang menegaskan hubungan gender di dalam
kegiatan produksi dan reproduksi. Kedua nilai ini
menjadi bagian dari habitus (Bourdieu, 1977) yang
melekat para aktor dan berkaitan erat dengan komoditi
dan kelembagaan dalam POS sebagai area/ranah/field.
Keduanya bisa berlangsung karena didukung oleh
peran negara. Ketiga , modal (ekonomi, sosial, budaya,
dan simbolik) yang dikembangkan aktor dalam POS
sebagai field/arena/ranah (Bourdieu,1977).
Kerangka analisis penelitian ini difokuskan pada
hubungan dialektis antara logika kapitalis dan nilai
patriarkhi yang merupakan habitus aktor dalam POS
yang diartikulasikan dalam POS sebagai field atau area
dalam tiga dimensi relasi atau praktek pada tiga level
yaitu mikro, medium, dan makro yang terjadi antara,
pengusaha-HW; diantara HW; dan HW-anggota RT
sebagai satu kesatuan basis produksi atau klaster yang
menentukan kompleksitas dan eksistensi industri
berbasis POS dan HW. Selanjutnya analisis diarahkan
untuk melihat dampak dari proses ini terhadap aktoraktor di dalamnya. Interaksi kekuatan di dalamnya
menciptakan ada pihak yang mendominasi dan pihak
yang termarginalkan.

penelitian dengan memakai studi kasus tidaklah cukup
karena metode penelitian ini masih netral atau bias
gender . Subjek dan ukuran terhadap subjek masih bias
gender sehingga realitas perempuan (keberadaan,
pengalaman, dan kebutuh-annya) dalam relasinya
dengan laki-laki tidak nampak (Robert, 1981; Harding,
1987). Oleh karena itu, penulis mengintegrasikan
paradigma feminis ke dalam metode studi kasus
sehingga menjadikannya metode studi kasus
berperspektif gender. Metode ini secara eksplisit
menjadikan
realitas
perempuan,
khususnya
keberadaannya,
pengalaman,
dan
kebutuhan
perempuan dilihat dalam hubungan gendernya sebagai
isu pokok relasi dalam POS. Pada akhirnya dapat
memberikan kontribusi untuk perubahan situasi dalam
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender (Robert,
1981;Cook dan Fonow, 1986; Harding, 1987; Saptari
dan Holzner, 1997)
Hal lain yang menjadi pembeda mendasar dari
penelitian ini dengan yang umumnya, antara lain: (1)
pemilihan komoditas yang diteliti yaitu batik dan
bukan pada garmen atau konveksi yang banyak dipakai
dalam penelitian POS selama ini. Pemilihan Batik
karena merupakan komoditas yang sudah sangat lama18
diproduksi dengan POS dan sangat kental dengan
simbol kultural Jawa; (2) pendekatan yang digunakan
yaitu menempatkan IMKM berbasis POS dan HW
sebagai satu kesatuan rantai produksi dan pemasaran
atau klaster19, serta melihat dialetika aktor-aktor dalam
satu kesatuan sistem; dan (3) analisis yang digunakan
yaitu mengintegrasikan gender sebagai bagian yang
sentral dalam analisis.
Langkah-langkah metodik yang penulis lakukan
untuk menentuan kasus dengan menggunakan
pendekatan pendekatan cluster20. Adapun langkah

Metodologi
Untuk
dapat
menggambarkan
proses
transformasi POS dalam IMKM dan dampaknya pada
aktor di dalamnya secara lebih ‗dalam‘ dan
komprehensif maka jenis penelitian yang tepat adalah
jenis penelitian kualitatif (Bogdan dan Taylor,
1975;Kirk dan Miller, 1986; Denzin dan Licoln, 1987;
David william, 1996) dan metode penelitian kualitatif
yang dipakai adalah studi kasus (Adelman, et.al., 1977
dalam Wilardjo, 1994; Natsir, 1988; Yin, 2005).
Namun dalam konteks POS dan HW, kompleksitas
didalamnya erat dengan isu gender17 maka strategi

17

isu gender dalam POS seba-gai sentral dapat dijelaskan berikut
ini:1) internalisasi ‗ideologi‘ gender yang melekat pada aktor
(pengusaha dan HW) dan institusionalisasi dalam sistem (POS) yang
menjadi kerangka pikir aktor; 2) proses subjektifikasi dan
eksternalisasi ‗ideologi‘ gender yang nampak dalam tindakan aktor
dalam sistem (POS); 3) pengaturan arena beraktivitas (strategi) untuk

meraih, mempertahan-kan, dan mengembangkan modal dalam sistem
(dikembangkan dalam kerangka pikir Bourdiew, 1977)
18
Hasil wawacancara dengan pengusaha kecil-menengah Batik di
Surakarta yaitu Ibu Prodjo dan Bapak Karto. Mereka generasi yang
ketiga yang mengelola usaha keluarga. Sejak awal usaha keluarga
memakai POS. Ibu Painem sudah bekerja sebagai home-workers
Batik sejak usia 10 tahun.
19
Deperindag (2000);‖Pengelompokan industri dengan satu
focal/core industri yang saling berhubungan secara intensif dan
membentuk partnership dengan industri pendukung ( supporting
industries) dan industri terkait (related industries)‖. Porter (1998); ‖a
cluster is geographically promimate group of interconnected
companies, linked by commodities, and complementarities ‖.
Penelitian yang mengintegrasikan konsep klaster untuk bisa
menangkap rantai produksi dalam satu kesatuan area yang dimulai
dari bahan baku, rantai produksi yang panjang, dan pemasaran.
20
Menggunakan konsep Michael E. Porter yang telah diadopsi oleh
Depperindag dalam Strategi Industri Nasional (2000). Konsep klaster
Disperindag adalah,‖klaster industri adalah pengelompokan industri
dengan satu focal/core industry yang saling ber-hubungan secara
intensif dan membentuk partnership dengan industri pendukung
(supporting industry) dan industri terkait (related industry).
Sedangkan konsep Michael E. Porter (1998) mendefinisikan, ‖cluster
are geographic concentrations of interconnected companies,

5

tersebut, antara lain; pertama , memperoleh gambaran
data makro atau peta sentra produksi dan pemasaran
batik untuk menentukan area. Pemilihan lokasi
sebenarnya tidak terikat pada batasan rural-urban tetapi
lebih memperhatikan jangkauan arena atau jejaring
sebagai satu-kesatuan rantai produksi dan pemasaran
yang area POS21. Oleh karenanya, area rantai produksi
batik dalam penelitian ini mencakup area yang relatif
luas, yaitu; Sragen, Surakarta, dan Sukohaerdjo. Juga
melacak jangkauan pasar, karakter pasar, pelaku dalam
pasar yang menentukan penetrasi produksi batik dan
integrasi HW dalam jejaring IMKM berbasis POS
dalam pasar yang luas. Akhirnya ditemui rantai
pemasarannya tersebar di kota-kota besar di Indonesia,
seperti Surabaya, Jakarta, Yogjakarta, dan Bali, bahkan
sampai ke luar negeri, seperti Paris, Inggris, dan USA.
Kedua , melakukan pemetaan jenis-jenis/subjenis komoditi batik, rantai produksi, dan organisasi
produksi komoditas tersebut dalam klaster diatas.
Langkah ini dapat memberikan informasi terkait
klaster, potensi, dan kekhasan komoditi tersebut. Untuk
itu, penulis menelusuri mulai dari bahan kainnya dari
mana, terus di bawa ke mana, masuk ke produksi dari
rantai ke rantai produksi lainnya; terus dari satu subrantai ke sub-rantai lainnya sampai batik dipacking dan
dikirim atau dipajang bila dilakukan di toko. Proses ini
berjalan sangat rumit, membutuhkan waktu yang
panjang, dan kehati-hatian dalam mengolah informasi
yang diterima.
Ketiga , memetakan aktor-aktor yaitu pengusaha
dan HW, posisi, dan peran mereka dalam setiap rantai
dan sub-rantai produksi dan organisasi produksi dalam
klaster tersebut. Pada setiap rantai penulis
mengidentifikasi siapa aktor, termasuk gendernya
dalam setiap rantai produksi, apa perannya, bagaimana
ia masuk dalam posisi ini, bagaimana ia
mempertahankan posisinya atau tersingkir dari posisi
tersebut, dll, kemudian memetakan aktor dalam
organisasi produksi. Dari pemetaan ini, penulis
memperoleh peta aktor yaitu pengusaha sebagai pihak
pemberi pekerjaan dan pemilik faktor produksi dan
HW yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki
dalam posisinya dan perannya sebagai pekerja dalam
struktur POS, sebagai tempahan, sanggan, dan sub
sanggan.
Tempahan,
Sanggan,
Sub-Sanggan
merupakan istilah lokal bagi HW dan mereka semua
adalah HW. Pembedaan istilah ini, berkaitan dengan
perbedaan posisi dan peran mereka dalam rantai
produksi dan organisasi produksi dalam POS.

specialized supplier, service provider, firms in related industries, and
associated institutions (for example, universities, standart agencies,
and trade associations) in particular fields that complete but also
cooperate‖.
21
Penelitian selama ini terhadap home-workers di wilayah urban

6

Kelima, penentuan jenis produk batik menjadi
hal yang sangat penting karena sangat menentukan
analisis dan kesimpulan atas kasus tersebut. Oleh
karena itu, mempertimbangkan, antara lain: (1) definisi
batik sebagai ciri atau kriteria batik Indonesia yaitu
menggunakan perintang lilin atau malam dan ragam
hias; (2) penetrasi pasar pada produk batik yang
ditunjukkan oleh orientasinya yaitu pasar eksport dan
domestik); (3) jaringan produksi sebagai satu kesatuan
produksi dan pemasaran yaitu panjang-pendeknya
rantai produksi dan organisasi produksi yang
menentukan inovasi, teknologi produksi, dan
kompleksitas interaksi aktor di dalamnya;(4) stereotype
yang melekat pada produk yaitu feminin melekat pada
batik tulis dan maskulin melekat pada batik cap,
semokan, tolet, dan printing dengan teknik cabut
warna; (5) aktor yang melekat dengan posisi dan
perannya dalam rantai dan organisasi produksi.
Dari langkah diatas, akhirnya penentukan kasus
mempertimbangkan tiga hal, antara lain; aktor
(pengusaha dan HW), batik (karakteristik),dan jejaring
kelembagaan yang menentukan dinamika IMKM
berbasis POS, HW, dan batik yang dihasilkan dan
dipasarkan. Berdasarkan pertimbangan ini, ditentukan
3 kasus yang masing-masing terdiri dari 2 sub-kasus
pada setiap kasus. Kasus ini tidak dimaksudkan untuk
analisis perbandingan namun untuk menggambarkan
kedalaman dan varisi yang ada dalam ketiga kasus
tersebut sebagai gambarakan keunikan dan kompleksitas di dalamnya. Kasus-1 memberikan gambaran
IMKM batik dan HW yang memproduksi batik
eksklusif dan dominan untuk pasar eksport; kasus-2
merupakan IMKM batik dan HW yang memproduksi
batik untuk pasar domestik, massal, dan tidak langsung
eksport; dan kasus-3 adalah IMKM batik dan HW yang
produksi batik tradional dan lebih berorientasi pasar
domestik.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah relasi
tiga dimensi yang dialetis antara pengusaha – homeworkers, antara home-workers, dan home-wokersanggota Rumah Tangga dalam sistem ―putting-out‖
sebagai satu kesatuan produksi. Sedangkan unit
pengamatan penelitian adalah IMKM batik dan HW
dalam posisi dan peran sebagai tempahan, sanggan,
dan sub sanggan dalam satu kesatuan produksi yang
mengolah komoditi dan menghasilkan batik seperti
Batik tulis, Batik Cap, Batik Tolet, Batik gradasi warna
atau semokan, dan Batik printing memakai teknik
cabut warna, kombinasi tulis di klaster SragenSurakarta-Sukohardjo.
Dalam penerapannya, metode ini membutuhkan
kombinasi teknik pengambilan data adalah wawancara
‗mendalam‘, pengamatan dan pengamatan terlibat,
serta Focus Group Discussion (FGD).

Tehnik analisis data menggunakan tehnik
analisis kualitif dari perspektig gender. Artinya teknik
analisis gender diintegrasikan dalam analisis data
kualitatif yang digunakan sesuai dengan tujuan
penelitian, antara lain; analisis isi, analisis wacana,
dan analisis jejaring.
Transformasi POS: Studi Kasus IMKM Batik
berbasis POS
Pada bagian ini dipaparkan temuan yang
menunjukan perkembangan POS yang penting/strategis
dan berbeda dari POS pada umumnya antara lain: (1)
modus produksi POS; (2) reorganisasi produksi dalam
POS sebagai suatu area/ranah/ field; dan 3)
transformasi POS berbasis Gender. Ketiga hal ini
menunjukan bahwa terjadi transformasi peran HW
menjadi strategis dan sekaligus marginal
1. Modus Produksi POS
Perbedaan modus produksi POS dalam IMKM
batik yang diteliti ini dibandingkan dengan POS pada
umumnya terletak pada bentuk dan pola pemecahan
rantai produksi dan reorganisasi produksi.
Pertama, terjadi proses pemecahan rantai
produksi menjadi spesifik dan panjang. Pemecahan ini
tergantung dari komoditas dan nilai tambah yang
diinginkan dari produk batik yang dihasilkan karena
menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Dalam subkasus BaYo (ToSIBayo), Gambar 1 menunjukan rantai
produksi yang dipecah-pecah secara spesifik dan
panjang, tergantung pada nilai tambah. Misalnya;
bahan batik, kemeja batik, blose, dll., dengan berbagai
kreasi yang melengkapinya dan di atas media kain
yang bervariasi seperti sutera, sutera tenun ATBM,
katun, dll.
Rantai Produksi & Desentralisasi produksi-K1
Proses produk si di
Rumah pengusaha

Desain tenun (♂)
& Tenun (♀ & ♂)
Sulam
Motif



Proses
produksi
di
rumah HW

Pengusaha memberi benang/kain; finishing;
pengepakan
Desain-2
(kombinasi
dgn batik) ♂ Batik I

Ngeblat/
Kopi desain
di kain



Rumbai


Batik II

Batik III

Batik IV,
dst. ♀

Batik Tulis Basang (eksklusif
– temporer) dalam kasus
ToSIBaYo –Sub-Kasus BaYo
Warna I

Warna II


Warna II,
Dst. ♂

Masak &
Pengeringan



Gambar 1
Desentralisasi Produksi Kasus Batik Basang
Proses pembuatan Batik Basang dalam gambar
1, dimulai dari proses menenun menghasilkan kain
sutera dengan menggunakan alat mesin semi manual
atau dikenal dengan alat tenun bukan mesin – ATBM.

Kain yang dihasilkan ini disebut kain tenun Basang dan
menjadi populer di Indonesia sekitarnya tahun 2000an. Batik Basang dikenal dengan ciri; bahan sutera,
halus, tenunannya rapat, motifnya dirancang melalui
kombinasi motif tenun dengan batik di atas motif yang
dihasilkan dari tenun. Hasil karya ini dikenal dengan
nama Batik Basang. Bagi pembatik, sebenarnya kain
sutera tenun Basang ini relatif sulit karena kainnya
licin dan permukakannya berserat sehingga mata
canting yang digunakan untuk membatik tidak bisa
berjalan mulus. Oleh karenanya dibutuhkan
keterampilan yang relatif tinggi, ketekunan, dan
kesabaran dalam menyelesaikannya. Kesulitan lainnya
adalah dalam teknik pewarnaan yang tidak hanya
terletak pada paduan warna yang cenderung sulit bagi
tukang warna, juga resikonya relatif tinggi karena
media kainnya halus, harganya mahal, dan dibuat
dalam jumlah yang sedikit untuk setiap desain atau
eksklusif.
Karakter Batik Basang yang eksklusif
membutuhkan aktor dalam setiap rantai produksi yang
memiliki ketrampilan yang relatif cukup sampai tinggi.
Oleh karena itu, karakter produk Batik Bsang juga
berpengaruh pada relasi aktor di dalamnya. Posisi
strategis dalam proses tenun dipegang oleh para lakilaki seperti instruktur, koordinator para HW yang
berperan sebagai tempahan. Para HW diupah
berdasarkan satuan lembar kain atau potong kain
(pieces atau borongan). Setelah kain sutera ini selesai
maka kain ini akan dikirimkan ke lokasi yang berbeda
di rumah-rumah para tempahan yang diberi pekerjaan
memproduksi batik di atas media kain ini.
Pada tempat terpisah ada proses menggambar
desain batik di atas kertas transparan dan pekerjaan ini
disebut juga coret atau gambar. Hasil kerja ini nantinya
akan dipindahkan di atas kain sutera tenun dan proses
ini disebut nglebat atau kopi. Proses ini sebagian besar
dikerjakan oleh laki-laki HW yang diupah per satuan
kain yang sudah digambarkan motif batik di atasnya.
Selanjutnya serangkaian proses menulis di atas
media kain mengikuti desain yang sudah ada dengan
menggunakan canting dan lilin. Pekerjaan ini disebut
membatik, dilakukan berulang-ulang tergantung dari
berapa banyak kombinasi warna yang ingin dibuat di
atas helaian kain ini. Pekerjaan membatik berstrata
mulai dari ngengreng (disebut ambil motif) dan dilanjut
pekerjaan nerusi yaitu melakukan pekerjaan yang sama
dengan ngengreng tetapi dilakukan di permukaan
sebaliknya nembok, mbironi, dst. Semua tahapan
pekerjaan ini dilakukan perempuan yang diupah
berdasarkan tahapan pekerjaan ini per satuan helaian
atau borongan.
Berikutnya,
pewarnaan
yang
dilakukan
berulang-ulang tergantung kombinasi warna yang
diinginkan. Semua tahapan pekerja-an ini dilakukan

7

oleh laki-laki yang diupah harian dan ditambah uang
makan dan rokok. Menghilangkan lilin pada kain
dengan menggunakan air masak melalui proses
memasaknya yang disebut nglorot. Tahapan pekerjaan
ini semuanya dilakukan oleh laki-laki dengan upah
harian. menjemur dengan cara diangin-anginkan tidak
di bawah terik matahari. Semua pekerjaan ini
dilakukan laki-laki dengan upah harian dan ditambah
dengan makan siang dan rokok. Bila produk tersebut
adalah selendang maka ada proses terakhir atau
diawalnya pada lembaran kain dibuat rumbai.
Rantainya dapat dilanjutkan bila bahan batik dijahit
menjadi busana melalui rantai desain, pola, potong,
jahit, dst.
Dari gambar 1, integrasi perempuan dan lakilaki HW dalam rantai produksi berbeda dan hirarki.
Hal ini berlangsung bukan semata ketrampilan tetapi
lebih karena konstruksi sosial (gender). Artinya
pembagian pekerjaan ini bukan semata berdasarkan
kompetensi tetapi lebih ‗ideologi‘ gender yang dipadu
atau bertautan dengan motif ekonomi.
Hal ini sebagai bagian integral dari habitus baik
dari pemberi kerja atau pengusaha maupun penerima
kerja atau pekerja. Hampir tidak ada pertanyaan dari
para pembatik, mengapa laki-laki selalu masuk dalam
pekerjaan yang strategis, seperti; desain, meracik
warna,
membantu
proses
pewarnaan,
dan
menghilangkan lilin pada kain batik dan
mengeringkannya? Juga mengapa semua pekerjaan
laki-laki ini dihargai lebih tinggi dari pada perempuan?
Sebaliknya, mengapa perempuan masuk dalam semua
sub-rantai yang dihargai lebih rendah, seperti
membatik, menyulam, membuat rumbai, membagi
pekerjaan, dan mengontrol kualitas kerja? Pembagian
kerja seperti ini telah berlang-sung lama dan hampir
tidak dipertanyakan kebenarannya. Hal ini merupakan
manifestasi dari habitus yang telah menjadi doxa
(Bourdieu, 1977) dalam aktor-aktor di dalam POS.
Seseorang perempuan dan laki-laki masuk
dalam rantai pekerjaan tertentu tidak hanya bermakna
ekonomi karena terkait dengan pendapatan tetapi juga
daya tawarnya (power ) dalam rantai tersebut. Namun
lebih dari itu jenis pekerjaan dalam rantai tersebut
memberikan
makna
dan
sekaligus
mereka
mengekspresikan makna tersebut dalam keseluruhan
interaksi di dalam POS yang pada kenyataannya
merupakan ‗pertarungan‘ yang melibatkan modal para
aktor-aktor di dalamnya. Seorang desainer dan peracik
warna batik tidak hanya memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi dari pekerja lainnya, khususnya perempuan
tetapi mereka juga diperlakukan khusus oleh para
juragan karena dianggap menjadi modal yang penting
bagi para juragan. Mereka menempati kelas sosialekonomi yang lebih tinggi di antara pekerja yang
memproduksi batik sejenis maupun batik yang

8

berbeda, khususnya batik eksklusif dan batik halus.
Dalam kasus batik BaYo, walaupun secara kuantitas
lebih banyak perempuan dan stereotype yang melekat
pada batik tulis adalah stereotype feminin tetapi posisi
penting dan strategis ditempati oleh para laki-laki pada
jenis pekerjaan desain, peracik warna atau tukang
warna. Bapak Sukir merupakan salah satu dari 3
tempahan yang semuanya laki-laki yang memiliki
kompetensi meracik warna atau tukang warna,
menjadi orang kepercayaan Bapak Basang. Untuk
mengikat dan mengontrolnya maka Pak Basang
melakukan serangkaian strategi, antara lain: (1)
membangun relasi yang hampir rutin per minggu
dalam 3 tahun pertama usahanya, bahkan kadangkadang seperti sidak; dan (2) selain memberikan upah
rutin per bulan dan bonus tertentu di hari spesial seperti
Idul Fitri, memberikan fasilitas seperti tanah dan
rumah, mobil, dan sepeda motor. Pandangan ini akan
sangat berbeda sekali dengan perempuan tempahan
yaitu Sarmi yang mengkoordinir HW pembatik yang
semuanya perempuan. Posisi Sarmi dinilai tidak setara
dengan pekerjaan meracik warna dan hal ini
mempengaruhi daya tawarnya dalam POS khususnya
mengha-dapi juragan.
Posisi aktor sebagai desainer yang sekaligus
pemilik usaha (Pak Basang) memegang peranan
penting dalam keseluruhan proses pemecahan rantai
produksi dan nilai tambah yang dirancang sejak awal
untuk batik ini. Desainer dalam konsep Bourdieu
(1977) adalah aktor-aktor yang dalam satu komunitas
desainer, yang menciptakan selera dan sekaligus
mengkonstruksi selera baik di antara produsen batik
maupun konsumen batik. Batik BaYo telah
menciptakan kelasnya tersendiri. Hal ini diperoleh
dalam waktu yang panjang dan kerja keras sehingga
terbangun habitus mereka yang menjadi kerangka pikir
dan bertindak. Dalam proses ini (habitus) juga seiring
dengan keduanya meraih dan mengembangkan modal
yang melekat di dalamnya menjadi kekuatan dalam
melakukan perubahan dalam sistem. Mereka sudah
menjadi menjadi trendsetter dunia fashion yang
membawa, menggunakan, memanipulasi dengan
kreativitasnya pada batik sebagai komoditas yang
memenuhi kebutuhan ekonomi sekaligus non ekonomi
yaitu makna dan identitas.
Dalam gambar 2 di bawah merupakan kasus
batik ToGaSIA-1 yang merupakan batik ekspor yang
mengkombinasikan teknik produksi batik cap dan
gradasi warna atau dalam bahasa lokal semokan. Jenis
batik ini membutuhkan kerja tim yang solid, cepat, dan
harus diselesaikan dalam satu satuan waktu yang
diperhitungkan karena sangat tergantung dengan cuaca.
Bila cuaca mendung maka proses gradasi warna akan
berjalan lambat sehingga gradasi warna yang terjadi
tidak mencapai desain yang direncanakan. Apalagi bila

cuaca hujan maka proses pengerjaan batik ini akan
dihentikan total. Sebaliknya bila cuaca panas maka
cuaca ini akan mendorong proses gradasi juga tidak
bisa mencapai desain yang diharapkan karena warna
mengering dengan cepat. Terjadi pergerakan atau
pengentalan warna di beberapa tempat sehingga proses
gradasi untuk mencapai desain yang diinginkan tidak
tercapai. Berdasarkan pemahaman terhadap tipe
pekerjaan ini terjadi kontruksi terhadap pekerjaan
tersebut yang dianggap sebagai pekerjaan yang
membutuhkan streotype maskulin. Pada akhirnya
semua jenis pekerjaan ini dikuasai oleh laki-laki. Di
dalam komunitas ini yang semuanya laki-laki, juga
terjadi perbedaan berdasarkan rantai pekerjaan yang
dikerjakan, misalnya tukang meracik warna atau
tukang warna menempati posisi yang strategis dalam
komunitas ini dibandingkan lainnya.
Dalam sub-kasus ToGaSIA-1, ada suatu yang
menarik yaitu produk ini masuk dalam pasar
internasional dengan nama yang berbeda, yaitu .
dikenal dengan nama Batik ToGa (bukan nama
sebenarnya).
Rantai Produksi & Desentralisasi produksi-K2
Proses produksi di
Rumah pengusaha

Cap


Pengusaha (memberi kain;pengepakan)

Semokan
Ke-1



Semokan
Ke-2



Kain
putihan
/polos

printing



Warna
ke-1


Warna
Ke-2,
dst. ♂

Semokan
Ke-3,
Dst. ♂

Masak &
Pengeringan


Memberi Taburan
soda & urea 
Fiksasi ♂

Kasus ToSIBaYo-Sub-kasus
ToGaSIA-1 (batik Kombinasi Cap &.
semokan”. Diproduksi semi-massal

Gambar 2
Desentralisasi Produksi Sub-Kasus Batik ToGaSIA-1
Dari namanya memberikan wacana batik ini
berasal dari Afrika22 atau bisa juga terkesan batik
Indonesia yang bermotif Afrika. Wacana yang kuat
lainnya pada kata Batik yang sudah menjadi bahasa
dunia dan dikenal berasal dari Indonesia. Wacana ini
dibiarkan berkembang sebagai daya tarik pasar di
dunia, khususnya Afrika. Namun sejak awal, produk
batik bagi perusahan ToGa yang berpusat di USA,
merupakan potensi pasar yang unik karena ada unsur
lokal atau budaya yang memberikan nuansa yang khas
dan kuat dalam dunia fashion. Produk ini tidak
menekankan pada makna filosofi yang terkesan berat
dari ragam hias batik melainkan memainkan wacana
22

Wawancara dengan Bapak Gito yang merupakan mitra perusahaan
TOGA yang berpusat di USA.

batik yang melekat pada teknis pengerjaannya, yaitu
menggunakan cap dan lilin, kerajinan tangan, dan
wacana budaya lokal. Seperti kata tim kreatif ToGaSIA
dan Bapak Gito (pemilik SIA) dalam trend berbusana
di pasar global yang cenderung terus berubah-ubah
maka dibutuhkan kemampuan dunia usaha atau industri
untuk menyiasati tiga hal secara dinergis, antara lain:
(1) kebutuhan konsumen pada produk dalam satuan
waktu yang relatif pendek, misalnya di Eropa yang
mengenal 4 musim; (2) trend konsumen yang semakin
membutuhkan identitas yang lokal tetapi juga global
yang dikemas dalam pembentukan selera; dan (3)
inovasi dan kreativitas dalam teknik produksi yang
efisien dan fleksibel sesuai dengan permintaan pasar
yang berubah-ubah. Oleh karena itu, ToGA melihat
ketiga hal ini merupakan titik persilangan krusial
sehingga tim kreatif yang direkrut memegang peranan
penting dalam produksi batik ToGa yang dimaksud.
Tim kreatif ToGa yaitu desainer ekspatriat
bersama SIA dan para tempahan dari SIA melakukan
pengem

Dokumen yang terkait