J01134
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
KULTIVASI Spirulina
Cultivation of Spirulina
1)
2)
Venny Santosa1,2 dan Leenawaty Limantara1
Program Magister Biologi, Program Pascasarjana – Universitas Kristen Satya Wacana
PT Pasific Millenia Indonesia
Pendahuluan
Proses bioteknologi terhadap ganggang biru hijau makin berkembang dan diminati akhirakhir ini. Perkembangan ini dipicu oleh makin terkuaknya potensi besar yang dimiliki oleh
spesies-spesies di dalamnya. Di antara spesies tersebut, Spirulina merupakan strain
yang memiliki potensi besar. Selain sebagai alternatif sumber makanan baru, strain ini
memiliki kandungan bahan aktif yang dapat digunakan untuk berbagai terapi kesehatan.
Kandungan bahan aktif tersebut terdapat dalam pigmennya (klorofil, karoten dan
fikosianin).
Semakin majunya teknologi dan pengetahuan manusia, tuntutan terhadap kesehatan pun
bertambah. Makanan yang tersedia diharapkan masuk dalam kelompok ‘makanan sehat’,
yaitu makanan yang tidak berbahaya dan memberikan efek positif bila dikonsumsi.
Spirulina termasuk dalam makanan sehat karena telah menjalani uji klinis dan
memberikan efek seperti peningkatan energi dan kesegaran.
Kultivasi Spirulina demi kepentingan manusia telah dilakukan sejak dahulu kala.
Perkembangan pengetahuan memungkinkan pengembangan teknik kultivasi
konvensional untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi, maupun manipulasi
komposisi sel sesuai tujuan kepentingan.
Habitat Alami Spirulina dan Persyaratan Tumbuh
Strain Spirulina umum ditemukan secara alami di perairan beralkalinitas tinggi, yang
mengandung karbonat atau bikarbonat. Sampai saat ini sudah diidentifikasi 35 spesies
Spirulina. Spesies-spesies yang banyak dikenal antara lain: S. platensis, S. major, S.
princes, S. laxissima, S. subtilissima, S. caldaria, S. curta, S. subsalsa dan S.
spirulinoides. Ciri-ciri sel Spirulina ialah sebagai berikut: sel berbentuk silinder dan
bersepta, berwarna biru kehijauan, diameter 6–8 µm (S. platensis), 4–6 µm (S. maxima),
memunyai granula sitoplasma berisi gas. Sel membentuk filamen tidak bercabang
berbentuk heliks, dengan ukuran 3–5 mm. Filamen motil, meluncur sepanjang aksisnya
dan tidak ditemui heterosista. Kondisi pertumbuhan tertentu dapat menyebabkan
perubahan pada bentuk spiralnya, diameter sel, maupun kandungan selnya. Spesies
yang banyak dikutivasi adalah S. platensis. Alasan pemilihan spesies tersebut di antara
banyak spesies Spirulina, karena S. platensis ditemui di berbagai lokasi dengan
Korespondensi penulis:
Venny Santosa
Program Magister Biologi, Program Pascasarjana
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga, 50711
Telp. +62 - 298 321212, Fax: +62 – 298 321433; e-mail; [email protected]
14
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
kondisi lingkungan yang berbeda. Realita ini mengindikasikan bahwa Spirulina mudah
ditumbuhkan, tidak membutuhkan terlalu banyak persyaratan tumbuh. Selain S.
platensis, spesies yang sudah digunakan dalam produksi masal adalah S. maxima.
Spesies ini merupakan penghubi asli Danau Texcoco, Meksiko dan juga banyak
ditemukan di berbagai lokasi di alam. Tujuan awal pemanfaatan danau ini mula-mula
untuk ekstraksi soda, namun kemudian diperoleh hasil sampingan S. maxima, yang
tumbuh subur tanpa perawatan. Dengan luas permukaan 900 ha dan diameter 3 km,
produksi harian S. maxima mencapai 2 ton berat kering.
Spirulina subsalsa
Spirulina maxima
Spirulina jenneri
Spirulina platensis
Gambar 1. Perbesaran mikroskopik Spirulina
Salah satu habitat alami Spirulina adalah Danau Chad, Afrika. Zarrouk menganalisis
nutrien yang terdapat pada danau tersebut dengan hasil sebagai berikut: kandungan
natrium 9.64 g/l, kalium 0.54 g/l, klorida 1 g/l, nitrat 120 mg/l, sulfat 2.98 g/l, fosfat 64
mg/l, karbonat 5 g/l, bikarbonat 11 g/l dengan pH 9.5.
Penelitian strain Spirulina setelah itu umumnya mengikuti komposisi standar di atas.
Beberapa penelitian lanjutan mencoba untuk menyempurnakan komposisi medium
tersebut untuk mencapai produktivitas lebih tinggi. Salah satunya dengan komposisi akhir
seperti terlihat pada Tabel 1. Pertumbuhan Spirulina dikatakan paling baik dicapai pada
nisbah C:N:P: Mg = 1:3:0.3:0.2.
Beberapa peneliti lain menambahkan atau mengganti bahan dalam medium, misalnya
menggunakan amonium sulfat dan urea sebagai sumber nitrogen. Penggunaan urea
meningkatkan pertumbuhan dan kandungan klorofil dan γ-asam linolenat. Penggunaan
urea juga meminimalkan penumpukan amonia sebagai metabolit sekunder sel yang
menghambat pertumbuhan. Urea akan dihidrolisis menjadi amonia pada kondisi alkali,
yang pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan keracunan sel. Selain itu, volatilitas
amonia pada kolam terbuka dapat menyebabkan defisiensi nutrien. Oleh karena itu,
beberapa penelitian mencoba menggunakan KNO3 sebagai sumber N. Pertumbuhan
terbaik diperoleh pada penambahan urea secara eksponensial. Penambahan urea 1 g/l
justru menimbulkan penghambatan pertumbuhan akibat akumulasi amonia. Usaha lain
untuk memanipulasi pertumbuhan Spirulina dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
15
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
dengan variasi periode penyinaran, spektrum cahaya dan metode kultur. Masing-masing
usaha tersebut mempunyai implikasi sendiri-sendiri dan penggunaannya disesuaikan
dengan tujuan kepentingan kultivasi.
Tabel 1. Komposisi Medium Zarrouk yang Dimodifikasi
No.
Jenis Bahan
Jumlah Bahan (g/l)
1.
NaCl
1
2.
CaCl2
0.03
3.
K2SO4
1
4.
MgSO4.7H20
0.08
5.
K2HPO4
0.5
6.
NaNO3
2.5
7.
NaHCO3
10.5
8.
Na2CO3
7.6
9.
EDTA
0.08
10.
FeSO4.7H2O
0.01
Ditambah elemen mikro sebagai berikut: (1 ml per liter medium)
1.
MnCl2.4H2O
0.23
2.
ZnSO4.7H2O
0.22
3.
CuSO4.5H2O
0.03
Secara umum, Spirulina dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 8-11, dengan
intensitas cahaya 2000-3500 lux. Periode penyinaran yang umum digunakan adalah 12
jam, walau beberapa peneliti menyatakan bahwa pertumbuhan terbaik diperoleh pada
periode penyinaran 16 jam dengan waktu gelap 8 jam pada intensitas cahaya 2000 ± 200
lux, temperatur 30 ± 1°C dan pH 9.1.
Pertumbuhan seluler dan konsentrasi seluler klorofil optimal dicapai pada intensitas
cahaya 3500 lux. Terjadi fotoinhibisi pertumbuhan di atas 4000 lux, namun pembentukan
fikosianin berjalan optimal. Fotoinhibisi disertai pelepasan panas, penurunan hasil
fotokimia dan asimilasi CO2.
Pertumbuhan pada spektrum warna berbeda memberikan hasil berturut-turut kuning >
merah > hijau > biru. Cahaya merah dan biru meningkatkan konsentrasi -karoten,
sedangkan menyatakan bahwa cahaya hijau meningkatkan pembentukan fikosianin,
sedangkan cahaya merah dan putih tidak berpengaruh.
Pertumbuhan dengan Sistem Curah, Semikontinu dan Kontinu
Spirulina dapat ditumbuhkan pada medium sintetik dengan sistem curah, semikontinu
atau kontinu. Sistem kontinu menghasilkan produk yang homogen dari waktu ke waktu,
sistem ini sering tidak memungkinkan secara ekonomis maupun teknis. Sistem
semikontinu lebih memungkinkan aplikasi lapangan. Pada sistem ini, sebagian kultur
(25–50% v/v) diambil setelah sel mencapai konsentrasi tertentu (0.50 – 0.75 g/l) dan
sejumlah medium baru ditambahkan. Kultur yang tersisa menjadi awal kelanjutan kultur,
sehingga menjamin rasio inokulum yang tinggi. Jumlah medium yang ditambahkan
disebut ‘tingkat pembaruan’ dan konsentrasi biomassa pada saat penambahan medium
disebut ‘konsentrasi pencampuran’. Keuntungan penggunaan kultur semikontinu yaitu
mempertahankan jumlah inokulum dan memungkinkan mikroorganisme yang dikulturkan
dipertahankan pada laju pertumbuhan tertentu. Konsentrasi biomassa yang rendah (0.5
16
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
g/l) dan laju pembaruan yang tinggi (50% v/v) menghasilkan laju pertumbuhan yang
tinggi yaitu sebesar 0.111/hari. Nilai ini 4 kali lebih tinggi daripada yang diperoleh dengan
kultivasi curah sederhana. Pertambahan laju ini lebih disebabkan karena pembaharuan
nutrien dan bukan karena keterbatasan nitrogen. Beberapa hasil penelitian tentang
produksi biomassa dan produktivitas S. platensis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsentrasi Biomassa dan Produktivitas Spirulina platensis pada berbagai Kondisi
Pertumbuhan (Skala Laboratorium)
No
Kondisi Pertumbuhan
1.
Fotobioreaktor, cahaya berlebih, semikontinu
Biomassa (g/l)
Produktivitas (g/l/hari)
1.2-2.2
0.5
-
0.423
Zarrouk, 35º C
2.
Fotobioreaktor, semikontinu, 30°C, 2.5 klx
Zarrouk, 50% v/v, 12 jam penyinaran
3.
Batch, Zarrouk, 36°C, 88 W/m2
4.
Batch, Zarrouk yang dimodifikasi, 0.2 mol C
-
0.0134
3.6
-
-
-
-Real Human Urine (RHU)
2.32
0.266
-Synthetic Human Urine (SHU)
2.40
0.236
-Zarrouk
3.74
0.342
6.
Batch, Zarrouk, 2.5 klx, 32°C, pH 9
2.7
-
7.
Batch, medium Paoletti et al, 3.5 klx, agitasi
-KNO3 sebagai sumber N
1.027-1.158
0.698-0.792
-Urea sebagai sumber N
0.942-1.591
0.557-0.963
Medium Schlosser, 8 klx, 30°C, batch, pH
0.240 (5 hari)
-
Air Lagoon Manguiera, Brazil
0.78
-
-Ditambah NaHCO3 2.88 g/l
0.82 (16 hari)
-
-Ditambah NaHCO3, fosfat dan ion logam
1.23-1.34 (31 hari)
5.
Fotobioreaktor kolom, lama penyinaran 14
jam, 30°C 444,4 w/m2, kecepatan alir 1.8
l/menit
18 rpm, pH 9.5, 27-33°C
8.
9.5 N 1.1 mM dari ammonium sulfat / urea
9.
10.
Zarrouk, ditambah urea 0.06 g/l
0.32
-
Zarrouk, ditambah urea 0.3 g/l
1.16
-
Zarrouk, ditambah urea 1.2 g/l
0.51
-
Produksi Masal Spirulina pada Kolam Terbuka dan Fotobioreaktor
Produksi industrial Spirulina pertama kali dilakukan pada tahun 1979 di Meksiko. Produk
Spirulina yang dihasilkan berupa bubuk halus. Pada tahun 1993, produksi dunia
mencapai 1000 ton/tahun, terutama dihasilkan oleh Meksiko, California, Thailand, Hawaii,
India dan Israel. Jepang merupakan negara konsumen terbesar. Spirulina digunakan
sebagai pengganti daging di beberapa masakan. Eropa menggunakan Spirulina terutama
untuk produk kimia dan makanan kesehatan.
Produk Spirulina kering berbau, seperti bau produk ikan, yang muncul saat proses
pengeringan. Bau tersebut akan hilang jika produk dicampurkan dengan bahan lain,
17
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
misalnya saus dan minuman, tanpa mempengaruhi cita rasa bahan lain tersebut. Namun
demikian, Spirulina tetap akan memberi warna hijau pada bahan pokok yang diberi
penambahan, yang dapat mempengaruhi penampilan. Produk Spirulina berupa kapsul
tidak mempunyai sifat tersebut, namun harganya puluhan kali lebih mahal.
Nutri
Air
Pemadat
Tahap 1
Taha
Kolam
Taha
Corong
Pengering
Prod
Gambar 2. Sistem kultivasi sederhana Spirulina
Metode kultur yang diklaim ekonomis dan efisien untuk produksi masal Spirulina
dijabarkan oleh Marg dkk. Metode tersebut menggunakan medium berbahan dasar air
laut yang ekonomis dengan pH berkisar 6.5 8, mengandung natrium bikarbonat 1,2–3%
w/v, konsentrasi nitrogen 0.1–0.3% w/v, kandungan fosfor 0.1–0.3% w/v, kandungan
kalium 0,1– 0,3% w/v, dengan metode kultur sebagai berikut:
a. Menumbuhkan Spirulina pada agar miring medium Zarrouk pada suhu 25–35°C,
radiasi cahaya 1000–2000 lux, dengan lama penyinaran 12-16 jam perhari selama
25–40 hari.
b. Memindahkan kultur ke medium berbahan dasar air laut dengan A560 sebesar 0,1
c. Menumbuhkan kultur pada suhu 25–35 °C, radiasi cahaya 2000–3000 lux, dengan
lama penyinaran 12–16 jam perhari sampai diperoleh kultur dengan A560 sebesar 1,
umumnya 6-12 hari.
d. Memindahkan kultur ke jalur semen terbuka yang berisi medium berbahan dasar air
laut sampai A560 sebesar 0.1
e. Mengaduk kultur dengan kecepatan 20–25 cm/detik menggunakan roda pedal, suhu
20–25 °C, radiasi cahaya 3000–4500 lux sampai diperoleh kultur dengan A560
sebesar 2.
f. Memanen kultur
Pengaturan kultur pada produksi masal umumnya diusahakan mirip dengan habitat
aslinya, sebagai berikut: daerah yang panas dan kering, kolam buatan dengan pH dan
alkalinitas tinggi, konsentrasi nutrien terlarut yang tinggi, dengan pengaduk pedal. Sistem
tertutup, tidak ada pembuangan ke luar sistem. Tidak ada kontak dengan tanah untuk
meminimalisasi kontaminasi dan tidak digunakan pestisida/herbisida. Penggunaan
energi, tanah dan air lebih efisien daripada di pertanian konvensional.
Metode kultivasi dengan sistem terbuka umum digunakan untuk produksi, seperti
misalnya di Jepang, Taiwan, Auroville dan Meksiko. Pertumbuhan Spirulina di kolam
terbuka menunjukkan migrasi dengan cahaya sebagai penginduktor utama. Jika cahaya
18
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
terlalu berlebih, maka Spirulina akan bermigrasi ke kedalaman yang intensitas cahayanya
cocok, lalu tetap tinggal di situ sampai senja. Pada saat senja, terjadi migrasi ke arah
permukaan.
Di Gurun Negev, kultur ditumbuhkan pada saluran plastik hitam dangkal (0,2 m)
sepanjang 50–300 m. Luas keseluruhan 5-10 hektar. Kemiringan saluran diatur sehingga
kecepatan alir 30 ml/menit. Pada ujung saluran, kultur dipompa kembali ke titik tertinggi.
Agitasi penting untuk meningkatkan pertumbuhan, terutama pada kultur berkepadatan
tinggi, karena meningkatkan proporsi sel yang terpapar cahaya. Tidak adanya agitasi
menyebabkan hanya 3 cm kultur di bagian atas (sekitar 20% populasi) yang menerima
cahaya.
Negara 4 musim mengalami masalah untuk kultivasi sehubungan dengan iklimnya.
Kolam terbuka pada Gurun Negev di atas hanya berproduksi pada bulan Desember –
Februari. Suhu udara rata-rata hanya 18°C dibandingkan 40°C pada musim panas. Pada
malam hari, suhu dapat turun sampai 5°C. Jika suhu siang hari ditingkatkan sampai
25°C, pertumbuhan yang diperoleh menyerupai musim panas. Peningkatan suhu pada
malam hari tidak meningkatkan pertumbuhan jika suhu siang hari tidak mencukupi.
Kultivasi dengan sistem di atas menghasilkan produksi tahunan sebesar 62 ton per
hektar (produksi harian 40 g dan 10 g untuk musim panas dan dingin). Pada iklim yang
lebih hangat, seperti Israel, produksi tahunan dapat mencapai 74 ton/hektar. Salah satu
upaya mengatasi rendahnya suhu ini dilakukan dengan memasang tutup polietilen di atas
kolam, menghasilkan kenaikan suhu sebesar 5–7°C. Selain itu, dikembangkan sistem
saluran baru dengan tabung polietilen, tebal 0.3 cm dengan diameter 14 cm. Tabung ini
berfungsi sebagai penangkap cahaya matahari, mengurangi kontaminan dan penguapan.
Namun pada musim panas, suhu dapat mencapai 40–45°C, sehingga tabung perlu
dinaungi atau didinginkan dengan air. Sistem tabung ini menghasilkan produk 40–50
ton/hektar, walau kandungan proteinnya relatif lebih rendah dibandingkan kultur di kolam
terbuka.
Kultivasi di kolam luar ruangan tersebut membutuhkan kontrol kondisi yang ketat. Walau
demikian, sulit dicapai kondisi ideal bagi pertumbuhan. Pada intensitas cahaya yang
terlalu tinggi akan terjadi fotoinhibisi, sedangkan pada intensitas cahaya terlalu rendah,
terjadi penurunan aktivitas fotosintesis.
Salah satu mekanisme pertahanan diri terhadap radiasi UV adalah produksi senyawa
fotoproteksi, misalnya MAA (microspore like amio acid) dan scytonemin. Konsentrasi
MAA lebih rendah pada kultur yang ditumbuhkan pada kolam terbuka, mengindikasikan
adanya fungsi proteksi yang lain, yaitu penyesuaian struktur. Strain Spirulina yang
memiliki struktur heliks yang rapat lebih toleran terhadap intensitas cahaya daripada
strain dengan spiral longgar. Strain dengan spiral yang longgar tersebut dapat
bertransformasi menjadi bentuk per rapat saat dipindahkan pada kondisi paparan tinggi.
Perubahan struktur yang diinduksi oleh UVR atau cahaya tampak tersebut berhubungan
dengan strategi pertahanan diri dengan mempersempit permukaan terpapar. Morfologi
Spirulina sering dikaitkan dengan kualitas produknya. Panjang filamen spiral sangat
penting untuk efisiensi panen.
Sistem tertutup fotobioreaktor dikembangkan supaya kondisi lingkungan dapat lebih
dikontrol. Namun, masih ditemui hambatan, misalnya penumpukan oksigen (lebih dari 20
ppm) dalam medium dan naiknya temperatur kultur pada paparan matahari (> 38°C).
Fotobioreaktor yang dirancang Miao dikhususkan untuk mencapai produktivitas tinggi.
Fotobioreaktor ini mempunyai keunggulan seperti konsumsi energi yang lebih rendah,
tahan lama dan fleksibel, dapat disesuaikan dengan besar skala produksi, serta mudah
disterilisasi. Desainnya terdiri dari 3 bagian yaitu: sistem tabung kaca spiral yang
19
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
berfungsi sebagai penangkap cahaya matahari dengan kapasitas 1000 ml, menara kaca
yang dihubungkan dengan bagian tabung untuk ekstraksi oksigen terlarut dalam medium
dan pengaturan parameter pertumbuhan untuk mencapai kondisi optimum, dilengkapi
sistem pompa yang memompa medium tanpa merusak sel. Ruang yang diperlukan
2
seluas 5 m , hanya 8% dari luas kolam yang diperlukan untuk memperoleh hasil yang
sama. Tabung dan menara terbuat dari materi modifikasi Boron dan Silikon, dengan rasio
40% permukaan terhadap volume, dengan desain khusus untuk menangkap cahaya
secara maksimal sehingga dapat memperpanjang jam penyerapan cahaya dan tingkat
fotosintesis yang efisien.
Reaktor berbentuk tabung memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibanding
dengan reaktor datar. Bentuk yang melengkung menyebarkan cahaya dengan lebih baik,
sehingga dapat dijadikan solusi untuk mengatasi cahaya berlebih, di samping skala
volume dan permukaan. Jenis reaktor lain yang dikembangkan ialah untuk iradiasi supra
tinggi. Fotobioreaktor tersebut dikembangkan dengan atap penangkap cahaya dengan
konversi energi berlebih untuk sistem pemanasan air.
Gambar 3. Fotobioreaktor Rancangan Miao (2003) berkapasitas 1000 L
Selain dikhususkan untuk produksi biomassa, Spirulina juga dapat digunakan untuk
membantu regenerasi nutrien dari limbah, misalnya urin manusia. Spirulina platensis
adalah mikroalga yang paling umum digunakan dalam sistem pendukung kehidupan
biologis karena kandungan nutrisinya yang tinggi dan potensinya untuk menggantikan
makanan konvensional. Spirulina juga dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah dan
dilaporkan dapat tumbuh dengan baik pada urin manusia. Regenerasi nutrien berjalan
baik, terjadi asimilasi CO2 yang menghasilkan oksigen, bahkan tingkat pelepasan
oksigennya lebih tinggi daripada di medium Zarrouk yang umum digunakan. Bahan
limbah lain yang dapat digunakan untuk menumbuhkan Spirulina adalah serum lateks.
Limbah ini perlu diperkaya dengan penambahan makro dan mikronutrien tertentu, namun
memberikan keuntungan ganda, membantu pengolahan limbah, murah dan
menghasilkan konsentrasi karoten yang tinggi pada biomassa. Limbah peternakan babi
juga dapat digunakan untuk menumbuhkan Spirulina. Terjadi peruraian NH4-N dan P
yang cukup signifikan pada limbah.
Pengembangan Budidaya Spirulina di Indonesia
Indonesia yang terletak di daerah beriklim tropis memungkinkan kehadiran cahaya yang
relatif konstan sepanjang tahun dengan suhu dan intensitas yang sesuai untuk
persyaratan tumbuh Spirulina. Tidak terdapat resiko timbulnya masalah akibat kurangnya
cahaya, seperti yang dialami negara 4 musim. Resiko yang perlu diwaspadai justru ekses
cahaya dan akumulasi panas di kolam kultivasi. Cahaya yang berlebih akan
menyebabkan proses fotosintesis menjadi jenuh, sehingga justru menurunkan perolehan
fotosintesis. Pada tingkat ini, energi yang berlebih akan dilepaskan sebagai panas. Pada
20
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
tingkat yang ekstrim, dapat terjadi ‘photobleaching’ yang mengakibatkan kematian sel.
Suhu yang tinggi dapat menyebabkan akumulasi panas dalam kolam kultivasi yang
terpapar cahaya. Sampai tingkat tertentu, akumulasi panas ini menguntungkan
pertumbuhan Spirulina, yang memiliki suhu pertumbuhan optimum sebesar 35°C. Namun
perlu diwaspadai akumulasi panas berlebih 38°C, dapat menyebabkan terhentinya
pertumbuhan dan, bahkan menimbulkan kematian sel.
Proses produksi yang mudah dan ekonomis adalah sebagai berikut: kolam kultivasi
2
mempunyai luas permukaan minimal 10 m dan kedalaman minimal 20 cm. Sisi-sisinya
membulat, tidak membentuk siku untuk memudahkan pembersihan dan agitasi. Bahan
kolam dapat beragam, asal kedap air dan aman bagi kesehatan. Bergantung pada
intensitas cahaya, perlu dipasang atap plastik atau lembaran poliester transparan untuk
melindungi kultur. Atap tersebut juga berguna melindungi kolam dari kontaminasi kotoran
atau hujan. Kondisi kultur perlu diatur agar suhu ≥ 25 – ≤ 38°C dipasang kasa nyamuk di
sekeliling kultur untuk menghindari berkembangnya jentik nyamuk. Kasa nyamuk ini
sekaligus dapat mengurangi paparan cahaya. Pengadukan dapat dilakukan dengan
tenaga listrik atau secara manual. Pengadukan manual minimal dilakukan 4 kali sehari,
untuk meratakan paparan cahaya dan suhu kultur. Pengaturan
2
Gambar 4 . Contoh Kolam Terbuka untuk Kultivasi Spirulina : 20 m menghasilkan 200 g
Spirulina kering per hari, cukup untuk suplemen nutrisi 150 anak
pH dan penggantian air yang hilang akibat penguapan dapat dilakukan sekaligus. Air
yang digunakan haruslah air yang mengandung banyak mineral. Nilai pH dijaga agar
berada pada kisaran 8.5-10.5, dengan penambahan natrium bikarbonat atau urea.
Natrium bikarbonat dapat diganti dengan air abu kayu, sedangkan urea dapat diganti
dengan urin manusia (jika kultivasi bukan untuk tujuan pangan).
Konsentrasi alga dalam kultur tidak boleh terlalu sedikit, sebab akan mempengaruhi
pertumbuhan. Jika inokulum tersedia dalam jumlah sedikit, maka volume kultur
ditingkatkan secara bertahap. Pengukuran konsentrasi Spirulina dilakukan dengan
mencelupkan piringan putih (secchi disc) pada kedalaman 5 cm. Konsentrasi alga sesuai,
jika piringan tidak terlihat pada kedalaman 5 cm atau kurang, biasa disebut konsentrasi
alga secchi 5 atau kurang. Bentuk dan cara pengukuran dengan metode secchi disc
dapat dilihat poda Gambar 5.
21
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
Gambar 5. Metode Secchi Disc
Panen dapat dilakukan saat kedalaman kultur mencapai 15 cm dan piringan tidak terlihat
pada kedalaman sekitar 3 cm. Panen dapat dilakukan dengan menyaring kultur
menggunakan kantong poliester atau nilon. Sebelumnya, perlu dipasang saringan
berukuran besar untuk menyingkirkan kotoran yang mungkin ada. Filtrat akan tersaring
dan masuk kembali ke kolam. Filtrat ini perlu diperbaharui selang beberapa waktu untuk
menjamin ketersediaan nutrisi. Spirulina dapat langsung dikonsumsi atau disimpan dalam
lemari es dengan menambahkan 5–10% garam dapur dan memberi lapisan minyak.
Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 6.
Penyiapan kolam
Bahan, ukuran, letak
Penyiapan biang
10% volume
Penyiapan medium
Komposisi, jumlah
Pencampuran biang dan
medium ke kolam
Pengaturan kondisi
Atap, pH, penggantian air,
agitasi, cahaya
Pemeliharaan
Rendah
Secchi > 5
Pengukuran konsentrasi sel
Metode secchi disc
Panen
Mencukupi
Secchi 3
Paskapanen
Konsumsi, penyimpanan,
proses
Gambar 6. Diagram Alir Kultivasi Spirulina Sederhana
22
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
BIBLIOGRAFI
Babu, T.S., Kumar, A., Varma, A.K. 1991. Effect of Light Quality on Phycobilisomes Components
of The Cyanobacterium Spirulina platensis. Plant Physiol. 95:492-497.
Belay. A. 2001. Unique Features of Microalgae Culture System: Organic Spirulina Production.
NOSB Meeting. California.
Costa, J.A.V., Colla, L. M., Filho, P.D. 2003. Spirulina platensis Growth in Open Raceway Ponds
Using Fresh Water Supplemented with Carbon, Nitrogen and Metal Ions. Z. Naturforsch.
58 c: 76-80.
Challem, J.J. 1981. Spirulina. A Keats Good Health Guide. Keats Publ. Connecticut.
Chen, F., Zhang, Y., and Guo, S. 1986. Growth and Phycocyanin Formation of Spirulina platensis
in Photoheterotrophic Culture. Biotechnol. Letters. Vol.18. No. 5: 603.608.
Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. Microbiol. Rev. Vol. 47. No.4: 551-574.
Cogne, G., Lehmann, B., Dussap, C.G., and Gross, J. B. 2003. Uptake of Macrominerals and
Trace Elements by the Cyanobacterium Spirulina platensis (Arthrospira platensis PCC
8005) Under Photoautotrophic Conditions: Culture Medium Optimization. Biotech and
BioEng. Vol 81. No 5.
Danesi, E.D.G., Rangel-Yagui, C.de.O., de Carvalho, J.C.M., Sato, S. 2002. An Investigation of
Replacing Nitrate by Urea in The Growth and Production of Chlorophyll by Spirulina
platensis. Biomass and Bioenergy 23: 261-269.
Dao-lun, F., and Zu-cheng, W. 2006. Culture of Spirulina in Human Urine for Biomass Production
and O2 Evolution. J. Zhejiang.
Donati, G. and Paludetto, R. 1999. Batch and Semi-Batch Catalytic Reactors (from Theory to
Practice). Catalysis Today. Vol 52: 183-195.
Fabregas, J. Patino, M., Morales, E.D., Dominguez, A. and Otero, A. 1996. Distinctive Control of
Metabolic Pathways by Chlorella autotrophica in Semicontinuous Culture. Canadian
Journal of Microbiol. Vol 42: 1087-1090.
Hills, C. 1980. The Secret of Spirulina. Univ. of Trees Press. California.
Jetley, U.K., Choudhary, M., Fatma, T. 2004. The Impact of Physical Stresses on The Growth of
Spirulina platensis-S5. J. Environ. Sci. Eng. 46 (4): 303-311.
Marg, R., Swamy, Murthy, Ravishankar. 2006. An Economic and Efficient Method of Mass
Production of Spirulina. World Intellectual Property Organization. 018668 A1.
Masojidek, J., Papacek, S., Sergejevova, M., Jirka, V., Cerveny, J., Kunc, J., Korecko, J.,
Verbovikova, O., Kopecky, J., Stys, D. and Torzillo, G. 2003. A Closed Solar
Photobioreactor for Cultivation of Microalgae Under Supra-high Irradiance: Basic Design
and Performance. Journal of Applied Phycology. Vol. 15: 239-248.
Miao, J.R. 2003. A High Productivity Photobioreactor.Jianxhi.
Olaizola, M. and Duerr, E.O. 1990. Effects of Light Intensity and Quality on the Growth Rate and
Photosynthetic Pigment Content of Spirulina platensis. Journal of Appl. Phycology. Vol.2.
No.2: 97-104.
Olguin, E.J., Galicia, S., Mercado. G. Perez, T. 2003. Annual Productivity of Spirulina
(Arthrospira) and Nutrient Removal in A Pig Wastewater Recycling Process Under
Tropical Condition. J. Appl. Phycology. 15 (2-3): 249-257.
Pichel, F.G., Mechling, M. and Castenholz, R.W. 1994. Diel Migrations of Microorganism within a
Benthic, Hypersaline Mat Community. Appl. And Env. Microbiol. 60 (5): 1500-1511.
Rafiqul, I.M., Jalal, K.C.A., and Alam, M.Z. 2005. Environmental Factors for Optimization of
Spirulina Biomass in Laboratory Culture. Biotechnol. 4 (1): 19-22.
Rangel-Yagui, C.O., Danesi, E.D.G., de Carvalho, J.C.M., and Sato, S. 2004. Chlorophyll
Production from Spirulina platensis: Cultivation with Urea Addition by Fed-batch Process.
Bioresource Technology. Vol. 92. Issue 2: 133-141.
Reichert, C.C., Reinehr, C.O., and Costa, J.A.V. 2006. Semicontinuous Cultivation of the
Cyanobacterium Spirulina platensis in A Closed Photobioreactor. Brazilian Journal of
Chemical Eng. Vol. 23. No.1: 23-28.
Sinha, R.P., Klisch, M. Helbling, E.W., Hader, D.P. 2001. Induction of Microspore-like Amino
Acids in Cyanobacteria by Solar Ultraviolet-B Radiation. J. Photochem. Photobiol. 60: 129135.
Soletto, D., Binaghi, L., Carvalho, J.C.M., and Converti, A. 2005. Batch and Fed-Batch
Cultivations of Spirulina platensis Using Ammonium Sulphate and Urea as Nitrogen
Sources. Aquaculture 243: 217-224.
23
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
Tredici, M.R. and Zitteli, G.C. 1998. Efficiency of Sunlight Utilization: Tubular vs Flat
Photobioreactors. Biotechnol. Bioeng. 57 (2):187-197.
Tripanji and Suharyanto. 2001. Optimization Media from Low Cost Nutrient Sources for Growing
Spirulina platensis and Carotenoid Production. Menara Perkebunan 69 (1): 18-28.
Torzillo, G., Accola, P., PInzani, E., and Masojidek, J. 1996. In Situ Monitoring of Chlorophyll
Fluorescence to Assess The Synergistic Effect of Low Temperature and High Irradiance
Stresses in Spirulina Cultures Grown Outdoors in Photobioreactors. Journal of Appl.
Phycology 8: 283-291.
Wu, H., Gao, K., Villafane. V. E., Watanabe, T. and Helbling, E.W. 2005. Effects of Solar UV
Radiation on Morphology and Photosynthesis of Filamentous Cyanobacterium Arthrospira
platensis. Appl. and Environ. Microbiol. 71 (9): 5004-5013.
Zarrouk, C. 1966. Influence of Diverse Physical and Chemical Factors on The Growth and
Photosynthesis of Spirulina maxima. Doctoral Thesis. University of Paris.
24
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
KULTIVASI Spirulina
Cultivation of Spirulina
1)
2)
Venny Santosa1,2 dan Leenawaty Limantara1
Program Magister Biologi, Program Pascasarjana – Universitas Kristen Satya Wacana
PT Pasific Millenia Indonesia
Pendahuluan
Proses bioteknologi terhadap ganggang biru hijau makin berkembang dan diminati akhirakhir ini. Perkembangan ini dipicu oleh makin terkuaknya potensi besar yang dimiliki oleh
spesies-spesies di dalamnya. Di antara spesies tersebut, Spirulina merupakan strain
yang memiliki potensi besar. Selain sebagai alternatif sumber makanan baru, strain ini
memiliki kandungan bahan aktif yang dapat digunakan untuk berbagai terapi kesehatan.
Kandungan bahan aktif tersebut terdapat dalam pigmennya (klorofil, karoten dan
fikosianin).
Semakin majunya teknologi dan pengetahuan manusia, tuntutan terhadap kesehatan pun
bertambah. Makanan yang tersedia diharapkan masuk dalam kelompok ‘makanan sehat’,
yaitu makanan yang tidak berbahaya dan memberikan efek positif bila dikonsumsi.
Spirulina termasuk dalam makanan sehat karena telah menjalani uji klinis dan
memberikan efek seperti peningkatan energi dan kesegaran.
Kultivasi Spirulina demi kepentingan manusia telah dilakukan sejak dahulu kala.
Perkembangan pengetahuan memungkinkan pengembangan teknik kultivasi
konvensional untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi, maupun manipulasi
komposisi sel sesuai tujuan kepentingan.
Habitat Alami Spirulina dan Persyaratan Tumbuh
Strain Spirulina umum ditemukan secara alami di perairan beralkalinitas tinggi, yang
mengandung karbonat atau bikarbonat. Sampai saat ini sudah diidentifikasi 35 spesies
Spirulina. Spesies-spesies yang banyak dikenal antara lain: S. platensis, S. major, S.
princes, S. laxissima, S. subtilissima, S. caldaria, S. curta, S. subsalsa dan S.
spirulinoides. Ciri-ciri sel Spirulina ialah sebagai berikut: sel berbentuk silinder dan
bersepta, berwarna biru kehijauan, diameter 6–8 µm (S. platensis), 4–6 µm (S. maxima),
memunyai granula sitoplasma berisi gas. Sel membentuk filamen tidak bercabang
berbentuk heliks, dengan ukuran 3–5 mm. Filamen motil, meluncur sepanjang aksisnya
dan tidak ditemui heterosista. Kondisi pertumbuhan tertentu dapat menyebabkan
perubahan pada bentuk spiralnya, diameter sel, maupun kandungan selnya. Spesies
yang banyak dikutivasi adalah S. platensis. Alasan pemilihan spesies tersebut di antara
banyak spesies Spirulina, karena S. platensis ditemui di berbagai lokasi dengan
Korespondensi penulis:
Venny Santosa
Program Magister Biologi, Program Pascasarjana
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga, 50711
Telp. +62 - 298 321212, Fax: +62 – 298 321433; e-mail; [email protected]
14
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
kondisi lingkungan yang berbeda. Realita ini mengindikasikan bahwa Spirulina mudah
ditumbuhkan, tidak membutuhkan terlalu banyak persyaratan tumbuh. Selain S.
platensis, spesies yang sudah digunakan dalam produksi masal adalah S. maxima.
Spesies ini merupakan penghubi asli Danau Texcoco, Meksiko dan juga banyak
ditemukan di berbagai lokasi di alam. Tujuan awal pemanfaatan danau ini mula-mula
untuk ekstraksi soda, namun kemudian diperoleh hasil sampingan S. maxima, yang
tumbuh subur tanpa perawatan. Dengan luas permukaan 900 ha dan diameter 3 km,
produksi harian S. maxima mencapai 2 ton berat kering.
Spirulina subsalsa
Spirulina maxima
Spirulina jenneri
Spirulina platensis
Gambar 1. Perbesaran mikroskopik Spirulina
Salah satu habitat alami Spirulina adalah Danau Chad, Afrika. Zarrouk menganalisis
nutrien yang terdapat pada danau tersebut dengan hasil sebagai berikut: kandungan
natrium 9.64 g/l, kalium 0.54 g/l, klorida 1 g/l, nitrat 120 mg/l, sulfat 2.98 g/l, fosfat 64
mg/l, karbonat 5 g/l, bikarbonat 11 g/l dengan pH 9.5.
Penelitian strain Spirulina setelah itu umumnya mengikuti komposisi standar di atas.
Beberapa penelitian lanjutan mencoba untuk menyempurnakan komposisi medium
tersebut untuk mencapai produktivitas lebih tinggi. Salah satunya dengan komposisi akhir
seperti terlihat pada Tabel 1. Pertumbuhan Spirulina dikatakan paling baik dicapai pada
nisbah C:N:P: Mg = 1:3:0.3:0.2.
Beberapa peneliti lain menambahkan atau mengganti bahan dalam medium, misalnya
menggunakan amonium sulfat dan urea sebagai sumber nitrogen. Penggunaan urea
meningkatkan pertumbuhan dan kandungan klorofil dan γ-asam linolenat. Penggunaan
urea juga meminimalkan penumpukan amonia sebagai metabolit sekunder sel yang
menghambat pertumbuhan. Urea akan dihidrolisis menjadi amonia pada kondisi alkali,
yang pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan keracunan sel. Selain itu, volatilitas
amonia pada kolam terbuka dapat menyebabkan defisiensi nutrien. Oleh karena itu,
beberapa penelitian mencoba menggunakan KNO3 sebagai sumber N. Pertumbuhan
terbaik diperoleh pada penambahan urea secara eksponensial. Penambahan urea 1 g/l
justru menimbulkan penghambatan pertumbuhan akibat akumulasi amonia. Usaha lain
untuk memanipulasi pertumbuhan Spirulina dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
15
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
dengan variasi periode penyinaran, spektrum cahaya dan metode kultur. Masing-masing
usaha tersebut mempunyai implikasi sendiri-sendiri dan penggunaannya disesuaikan
dengan tujuan kepentingan kultivasi.
Tabel 1. Komposisi Medium Zarrouk yang Dimodifikasi
No.
Jenis Bahan
Jumlah Bahan (g/l)
1.
NaCl
1
2.
CaCl2
0.03
3.
K2SO4
1
4.
MgSO4.7H20
0.08
5.
K2HPO4
0.5
6.
NaNO3
2.5
7.
NaHCO3
10.5
8.
Na2CO3
7.6
9.
EDTA
0.08
10.
FeSO4.7H2O
0.01
Ditambah elemen mikro sebagai berikut: (1 ml per liter medium)
1.
MnCl2.4H2O
0.23
2.
ZnSO4.7H2O
0.22
3.
CuSO4.5H2O
0.03
Secara umum, Spirulina dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 8-11, dengan
intensitas cahaya 2000-3500 lux. Periode penyinaran yang umum digunakan adalah 12
jam, walau beberapa peneliti menyatakan bahwa pertumbuhan terbaik diperoleh pada
periode penyinaran 16 jam dengan waktu gelap 8 jam pada intensitas cahaya 2000 ± 200
lux, temperatur 30 ± 1°C dan pH 9.1.
Pertumbuhan seluler dan konsentrasi seluler klorofil optimal dicapai pada intensitas
cahaya 3500 lux. Terjadi fotoinhibisi pertumbuhan di atas 4000 lux, namun pembentukan
fikosianin berjalan optimal. Fotoinhibisi disertai pelepasan panas, penurunan hasil
fotokimia dan asimilasi CO2.
Pertumbuhan pada spektrum warna berbeda memberikan hasil berturut-turut kuning >
merah > hijau > biru. Cahaya merah dan biru meningkatkan konsentrasi -karoten,
sedangkan menyatakan bahwa cahaya hijau meningkatkan pembentukan fikosianin,
sedangkan cahaya merah dan putih tidak berpengaruh.
Pertumbuhan dengan Sistem Curah, Semikontinu dan Kontinu
Spirulina dapat ditumbuhkan pada medium sintetik dengan sistem curah, semikontinu
atau kontinu. Sistem kontinu menghasilkan produk yang homogen dari waktu ke waktu,
sistem ini sering tidak memungkinkan secara ekonomis maupun teknis. Sistem
semikontinu lebih memungkinkan aplikasi lapangan. Pada sistem ini, sebagian kultur
(25–50% v/v) diambil setelah sel mencapai konsentrasi tertentu (0.50 – 0.75 g/l) dan
sejumlah medium baru ditambahkan. Kultur yang tersisa menjadi awal kelanjutan kultur,
sehingga menjamin rasio inokulum yang tinggi. Jumlah medium yang ditambahkan
disebut ‘tingkat pembaruan’ dan konsentrasi biomassa pada saat penambahan medium
disebut ‘konsentrasi pencampuran’. Keuntungan penggunaan kultur semikontinu yaitu
mempertahankan jumlah inokulum dan memungkinkan mikroorganisme yang dikulturkan
dipertahankan pada laju pertumbuhan tertentu. Konsentrasi biomassa yang rendah (0.5
16
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
g/l) dan laju pembaruan yang tinggi (50% v/v) menghasilkan laju pertumbuhan yang
tinggi yaitu sebesar 0.111/hari. Nilai ini 4 kali lebih tinggi daripada yang diperoleh dengan
kultivasi curah sederhana. Pertambahan laju ini lebih disebabkan karena pembaharuan
nutrien dan bukan karena keterbatasan nitrogen. Beberapa hasil penelitian tentang
produksi biomassa dan produktivitas S. platensis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsentrasi Biomassa dan Produktivitas Spirulina platensis pada berbagai Kondisi
Pertumbuhan (Skala Laboratorium)
No
Kondisi Pertumbuhan
1.
Fotobioreaktor, cahaya berlebih, semikontinu
Biomassa (g/l)
Produktivitas (g/l/hari)
1.2-2.2
0.5
-
0.423
Zarrouk, 35º C
2.
Fotobioreaktor, semikontinu, 30°C, 2.5 klx
Zarrouk, 50% v/v, 12 jam penyinaran
3.
Batch, Zarrouk, 36°C, 88 W/m2
4.
Batch, Zarrouk yang dimodifikasi, 0.2 mol C
-
0.0134
3.6
-
-
-
-Real Human Urine (RHU)
2.32
0.266
-Synthetic Human Urine (SHU)
2.40
0.236
-Zarrouk
3.74
0.342
6.
Batch, Zarrouk, 2.5 klx, 32°C, pH 9
2.7
-
7.
Batch, medium Paoletti et al, 3.5 klx, agitasi
-KNO3 sebagai sumber N
1.027-1.158
0.698-0.792
-Urea sebagai sumber N
0.942-1.591
0.557-0.963
Medium Schlosser, 8 klx, 30°C, batch, pH
0.240 (5 hari)
-
Air Lagoon Manguiera, Brazil
0.78
-
-Ditambah NaHCO3 2.88 g/l
0.82 (16 hari)
-
-Ditambah NaHCO3, fosfat dan ion logam
1.23-1.34 (31 hari)
5.
Fotobioreaktor kolom, lama penyinaran 14
jam, 30°C 444,4 w/m2, kecepatan alir 1.8
l/menit
18 rpm, pH 9.5, 27-33°C
8.
9.5 N 1.1 mM dari ammonium sulfat / urea
9.
10.
Zarrouk, ditambah urea 0.06 g/l
0.32
-
Zarrouk, ditambah urea 0.3 g/l
1.16
-
Zarrouk, ditambah urea 1.2 g/l
0.51
-
Produksi Masal Spirulina pada Kolam Terbuka dan Fotobioreaktor
Produksi industrial Spirulina pertama kali dilakukan pada tahun 1979 di Meksiko. Produk
Spirulina yang dihasilkan berupa bubuk halus. Pada tahun 1993, produksi dunia
mencapai 1000 ton/tahun, terutama dihasilkan oleh Meksiko, California, Thailand, Hawaii,
India dan Israel. Jepang merupakan negara konsumen terbesar. Spirulina digunakan
sebagai pengganti daging di beberapa masakan. Eropa menggunakan Spirulina terutama
untuk produk kimia dan makanan kesehatan.
Produk Spirulina kering berbau, seperti bau produk ikan, yang muncul saat proses
pengeringan. Bau tersebut akan hilang jika produk dicampurkan dengan bahan lain,
17
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
misalnya saus dan minuman, tanpa mempengaruhi cita rasa bahan lain tersebut. Namun
demikian, Spirulina tetap akan memberi warna hijau pada bahan pokok yang diberi
penambahan, yang dapat mempengaruhi penampilan. Produk Spirulina berupa kapsul
tidak mempunyai sifat tersebut, namun harganya puluhan kali lebih mahal.
Nutri
Air
Pemadat
Tahap 1
Taha
Kolam
Taha
Corong
Pengering
Prod
Gambar 2. Sistem kultivasi sederhana Spirulina
Metode kultur yang diklaim ekonomis dan efisien untuk produksi masal Spirulina
dijabarkan oleh Marg dkk. Metode tersebut menggunakan medium berbahan dasar air
laut yang ekonomis dengan pH berkisar 6.5 8, mengandung natrium bikarbonat 1,2–3%
w/v, konsentrasi nitrogen 0.1–0.3% w/v, kandungan fosfor 0.1–0.3% w/v, kandungan
kalium 0,1– 0,3% w/v, dengan metode kultur sebagai berikut:
a. Menumbuhkan Spirulina pada agar miring medium Zarrouk pada suhu 25–35°C,
radiasi cahaya 1000–2000 lux, dengan lama penyinaran 12-16 jam perhari selama
25–40 hari.
b. Memindahkan kultur ke medium berbahan dasar air laut dengan A560 sebesar 0,1
c. Menumbuhkan kultur pada suhu 25–35 °C, radiasi cahaya 2000–3000 lux, dengan
lama penyinaran 12–16 jam perhari sampai diperoleh kultur dengan A560 sebesar 1,
umumnya 6-12 hari.
d. Memindahkan kultur ke jalur semen terbuka yang berisi medium berbahan dasar air
laut sampai A560 sebesar 0.1
e. Mengaduk kultur dengan kecepatan 20–25 cm/detik menggunakan roda pedal, suhu
20–25 °C, radiasi cahaya 3000–4500 lux sampai diperoleh kultur dengan A560
sebesar 2.
f. Memanen kultur
Pengaturan kultur pada produksi masal umumnya diusahakan mirip dengan habitat
aslinya, sebagai berikut: daerah yang panas dan kering, kolam buatan dengan pH dan
alkalinitas tinggi, konsentrasi nutrien terlarut yang tinggi, dengan pengaduk pedal. Sistem
tertutup, tidak ada pembuangan ke luar sistem. Tidak ada kontak dengan tanah untuk
meminimalisasi kontaminasi dan tidak digunakan pestisida/herbisida. Penggunaan
energi, tanah dan air lebih efisien daripada di pertanian konvensional.
Metode kultivasi dengan sistem terbuka umum digunakan untuk produksi, seperti
misalnya di Jepang, Taiwan, Auroville dan Meksiko. Pertumbuhan Spirulina di kolam
terbuka menunjukkan migrasi dengan cahaya sebagai penginduktor utama. Jika cahaya
18
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
terlalu berlebih, maka Spirulina akan bermigrasi ke kedalaman yang intensitas cahayanya
cocok, lalu tetap tinggal di situ sampai senja. Pada saat senja, terjadi migrasi ke arah
permukaan.
Di Gurun Negev, kultur ditumbuhkan pada saluran plastik hitam dangkal (0,2 m)
sepanjang 50–300 m. Luas keseluruhan 5-10 hektar. Kemiringan saluran diatur sehingga
kecepatan alir 30 ml/menit. Pada ujung saluran, kultur dipompa kembali ke titik tertinggi.
Agitasi penting untuk meningkatkan pertumbuhan, terutama pada kultur berkepadatan
tinggi, karena meningkatkan proporsi sel yang terpapar cahaya. Tidak adanya agitasi
menyebabkan hanya 3 cm kultur di bagian atas (sekitar 20% populasi) yang menerima
cahaya.
Negara 4 musim mengalami masalah untuk kultivasi sehubungan dengan iklimnya.
Kolam terbuka pada Gurun Negev di atas hanya berproduksi pada bulan Desember –
Februari. Suhu udara rata-rata hanya 18°C dibandingkan 40°C pada musim panas. Pada
malam hari, suhu dapat turun sampai 5°C. Jika suhu siang hari ditingkatkan sampai
25°C, pertumbuhan yang diperoleh menyerupai musim panas. Peningkatan suhu pada
malam hari tidak meningkatkan pertumbuhan jika suhu siang hari tidak mencukupi.
Kultivasi dengan sistem di atas menghasilkan produksi tahunan sebesar 62 ton per
hektar (produksi harian 40 g dan 10 g untuk musim panas dan dingin). Pada iklim yang
lebih hangat, seperti Israel, produksi tahunan dapat mencapai 74 ton/hektar. Salah satu
upaya mengatasi rendahnya suhu ini dilakukan dengan memasang tutup polietilen di atas
kolam, menghasilkan kenaikan suhu sebesar 5–7°C. Selain itu, dikembangkan sistem
saluran baru dengan tabung polietilen, tebal 0.3 cm dengan diameter 14 cm. Tabung ini
berfungsi sebagai penangkap cahaya matahari, mengurangi kontaminan dan penguapan.
Namun pada musim panas, suhu dapat mencapai 40–45°C, sehingga tabung perlu
dinaungi atau didinginkan dengan air. Sistem tabung ini menghasilkan produk 40–50
ton/hektar, walau kandungan proteinnya relatif lebih rendah dibandingkan kultur di kolam
terbuka.
Kultivasi di kolam luar ruangan tersebut membutuhkan kontrol kondisi yang ketat. Walau
demikian, sulit dicapai kondisi ideal bagi pertumbuhan. Pada intensitas cahaya yang
terlalu tinggi akan terjadi fotoinhibisi, sedangkan pada intensitas cahaya terlalu rendah,
terjadi penurunan aktivitas fotosintesis.
Salah satu mekanisme pertahanan diri terhadap radiasi UV adalah produksi senyawa
fotoproteksi, misalnya MAA (microspore like amio acid) dan scytonemin. Konsentrasi
MAA lebih rendah pada kultur yang ditumbuhkan pada kolam terbuka, mengindikasikan
adanya fungsi proteksi yang lain, yaitu penyesuaian struktur. Strain Spirulina yang
memiliki struktur heliks yang rapat lebih toleran terhadap intensitas cahaya daripada
strain dengan spiral longgar. Strain dengan spiral yang longgar tersebut dapat
bertransformasi menjadi bentuk per rapat saat dipindahkan pada kondisi paparan tinggi.
Perubahan struktur yang diinduksi oleh UVR atau cahaya tampak tersebut berhubungan
dengan strategi pertahanan diri dengan mempersempit permukaan terpapar. Morfologi
Spirulina sering dikaitkan dengan kualitas produknya. Panjang filamen spiral sangat
penting untuk efisiensi panen.
Sistem tertutup fotobioreaktor dikembangkan supaya kondisi lingkungan dapat lebih
dikontrol. Namun, masih ditemui hambatan, misalnya penumpukan oksigen (lebih dari 20
ppm) dalam medium dan naiknya temperatur kultur pada paparan matahari (> 38°C).
Fotobioreaktor yang dirancang Miao dikhususkan untuk mencapai produktivitas tinggi.
Fotobioreaktor ini mempunyai keunggulan seperti konsumsi energi yang lebih rendah,
tahan lama dan fleksibel, dapat disesuaikan dengan besar skala produksi, serta mudah
disterilisasi. Desainnya terdiri dari 3 bagian yaitu: sistem tabung kaca spiral yang
19
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
berfungsi sebagai penangkap cahaya matahari dengan kapasitas 1000 ml, menara kaca
yang dihubungkan dengan bagian tabung untuk ekstraksi oksigen terlarut dalam medium
dan pengaturan parameter pertumbuhan untuk mencapai kondisi optimum, dilengkapi
sistem pompa yang memompa medium tanpa merusak sel. Ruang yang diperlukan
2
seluas 5 m , hanya 8% dari luas kolam yang diperlukan untuk memperoleh hasil yang
sama. Tabung dan menara terbuat dari materi modifikasi Boron dan Silikon, dengan rasio
40% permukaan terhadap volume, dengan desain khusus untuk menangkap cahaya
secara maksimal sehingga dapat memperpanjang jam penyerapan cahaya dan tingkat
fotosintesis yang efisien.
Reaktor berbentuk tabung memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibanding
dengan reaktor datar. Bentuk yang melengkung menyebarkan cahaya dengan lebih baik,
sehingga dapat dijadikan solusi untuk mengatasi cahaya berlebih, di samping skala
volume dan permukaan. Jenis reaktor lain yang dikembangkan ialah untuk iradiasi supra
tinggi. Fotobioreaktor tersebut dikembangkan dengan atap penangkap cahaya dengan
konversi energi berlebih untuk sistem pemanasan air.
Gambar 3. Fotobioreaktor Rancangan Miao (2003) berkapasitas 1000 L
Selain dikhususkan untuk produksi biomassa, Spirulina juga dapat digunakan untuk
membantu regenerasi nutrien dari limbah, misalnya urin manusia. Spirulina platensis
adalah mikroalga yang paling umum digunakan dalam sistem pendukung kehidupan
biologis karena kandungan nutrisinya yang tinggi dan potensinya untuk menggantikan
makanan konvensional. Spirulina juga dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah dan
dilaporkan dapat tumbuh dengan baik pada urin manusia. Regenerasi nutrien berjalan
baik, terjadi asimilasi CO2 yang menghasilkan oksigen, bahkan tingkat pelepasan
oksigennya lebih tinggi daripada di medium Zarrouk yang umum digunakan. Bahan
limbah lain yang dapat digunakan untuk menumbuhkan Spirulina adalah serum lateks.
Limbah ini perlu diperkaya dengan penambahan makro dan mikronutrien tertentu, namun
memberikan keuntungan ganda, membantu pengolahan limbah, murah dan
menghasilkan konsentrasi karoten yang tinggi pada biomassa. Limbah peternakan babi
juga dapat digunakan untuk menumbuhkan Spirulina. Terjadi peruraian NH4-N dan P
yang cukup signifikan pada limbah.
Pengembangan Budidaya Spirulina di Indonesia
Indonesia yang terletak di daerah beriklim tropis memungkinkan kehadiran cahaya yang
relatif konstan sepanjang tahun dengan suhu dan intensitas yang sesuai untuk
persyaratan tumbuh Spirulina. Tidak terdapat resiko timbulnya masalah akibat kurangnya
cahaya, seperti yang dialami negara 4 musim. Resiko yang perlu diwaspadai justru ekses
cahaya dan akumulasi panas di kolam kultivasi. Cahaya yang berlebih akan
menyebabkan proses fotosintesis menjadi jenuh, sehingga justru menurunkan perolehan
fotosintesis. Pada tingkat ini, energi yang berlebih akan dilepaskan sebagai panas. Pada
20
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
tingkat yang ekstrim, dapat terjadi ‘photobleaching’ yang mengakibatkan kematian sel.
Suhu yang tinggi dapat menyebabkan akumulasi panas dalam kolam kultivasi yang
terpapar cahaya. Sampai tingkat tertentu, akumulasi panas ini menguntungkan
pertumbuhan Spirulina, yang memiliki suhu pertumbuhan optimum sebesar 35°C. Namun
perlu diwaspadai akumulasi panas berlebih 38°C, dapat menyebabkan terhentinya
pertumbuhan dan, bahkan menimbulkan kematian sel.
Proses produksi yang mudah dan ekonomis adalah sebagai berikut: kolam kultivasi
2
mempunyai luas permukaan minimal 10 m dan kedalaman minimal 20 cm. Sisi-sisinya
membulat, tidak membentuk siku untuk memudahkan pembersihan dan agitasi. Bahan
kolam dapat beragam, asal kedap air dan aman bagi kesehatan. Bergantung pada
intensitas cahaya, perlu dipasang atap plastik atau lembaran poliester transparan untuk
melindungi kultur. Atap tersebut juga berguna melindungi kolam dari kontaminasi kotoran
atau hujan. Kondisi kultur perlu diatur agar suhu ≥ 25 – ≤ 38°C dipasang kasa nyamuk di
sekeliling kultur untuk menghindari berkembangnya jentik nyamuk. Kasa nyamuk ini
sekaligus dapat mengurangi paparan cahaya. Pengadukan dapat dilakukan dengan
tenaga listrik atau secara manual. Pengadukan manual minimal dilakukan 4 kali sehari,
untuk meratakan paparan cahaya dan suhu kultur. Pengaturan
2
Gambar 4 . Contoh Kolam Terbuka untuk Kultivasi Spirulina : 20 m menghasilkan 200 g
Spirulina kering per hari, cukup untuk suplemen nutrisi 150 anak
pH dan penggantian air yang hilang akibat penguapan dapat dilakukan sekaligus. Air
yang digunakan haruslah air yang mengandung banyak mineral. Nilai pH dijaga agar
berada pada kisaran 8.5-10.5, dengan penambahan natrium bikarbonat atau urea.
Natrium bikarbonat dapat diganti dengan air abu kayu, sedangkan urea dapat diganti
dengan urin manusia (jika kultivasi bukan untuk tujuan pangan).
Konsentrasi alga dalam kultur tidak boleh terlalu sedikit, sebab akan mempengaruhi
pertumbuhan. Jika inokulum tersedia dalam jumlah sedikit, maka volume kultur
ditingkatkan secara bertahap. Pengukuran konsentrasi Spirulina dilakukan dengan
mencelupkan piringan putih (secchi disc) pada kedalaman 5 cm. Konsentrasi alga sesuai,
jika piringan tidak terlihat pada kedalaman 5 cm atau kurang, biasa disebut konsentrasi
alga secchi 5 atau kurang. Bentuk dan cara pengukuran dengan metode secchi disc
dapat dilihat poda Gambar 5.
21
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
Gambar 5. Metode Secchi Disc
Panen dapat dilakukan saat kedalaman kultur mencapai 15 cm dan piringan tidak terlihat
pada kedalaman sekitar 3 cm. Panen dapat dilakukan dengan menyaring kultur
menggunakan kantong poliester atau nilon. Sebelumnya, perlu dipasang saringan
berukuran besar untuk menyingkirkan kotoran yang mungkin ada. Filtrat akan tersaring
dan masuk kembali ke kolam. Filtrat ini perlu diperbaharui selang beberapa waktu untuk
menjamin ketersediaan nutrisi. Spirulina dapat langsung dikonsumsi atau disimpan dalam
lemari es dengan menambahkan 5–10% garam dapur dan memberi lapisan minyak.
Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 6.
Penyiapan kolam
Bahan, ukuran, letak
Penyiapan biang
10% volume
Penyiapan medium
Komposisi, jumlah
Pencampuran biang dan
medium ke kolam
Pengaturan kondisi
Atap, pH, penggantian air,
agitasi, cahaya
Pemeliharaan
Rendah
Secchi > 5
Pengukuran konsentrasi sel
Metode secchi disc
Panen
Mencukupi
Secchi 3
Paskapanen
Konsumsi, penyimpanan,
proses
Gambar 6. Diagram Alir Kultivasi Spirulina Sederhana
22
Vol.1, No. 2, Tahun 2007. Hal 14 - 24
Kultivasi Spirulina
BIBLIOGRAFI
Babu, T.S., Kumar, A., Varma, A.K. 1991. Effect of Light Quality on Phycobilisomes Components
of The Cyanobacterium Spirulina platensis. Plant Physiol. 95:492-497.
Belay. A. 2001. Unique Features of Microalgae Culture System: Organic Spirulina Production.
NOSB Meeting. California.
Costa, J.A.V., Colla, L. M., Filho, P.D. 2003. Spirulina platensis Growth in Open Raceway Ponds
Using Fresh Water Supplemented with Carbon, Nitrogen and Metal Ions. Z. Naturforsch.
58 c: 76-80.
Challem, J.J. 1981. Spirulina. A Keats Good Health Guide. Keats Publ. Connecticut.
Chen, F., Zhang, Y., and Guo, S. 1986. Growth and Phycocyanin Formation of Spirulina platensis
in Photoheterotrophic Culture. Biotechnol. Letters. Vol.18. No. 5: 603.608.
Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. Microbiol. Rev. Vol. 47. No.4: 551-574.
Cogne, G., Lehmann, B., Dussap, C.G., and Gross, J. B. 2003. Uptake of Macrominerals and
Trace Elements by the Cyanobacterium Spirulina platensis (Arthrospira platensis PCC
8005) Under Photoautotrophic Conditions: Culture Medium Optimization. Biotech and
BioEng. Vol 81. No 5.
Danesi, E.D.G., Rangel-Yagui, C.de.O., de Carvalho, J.C.M., Sato, S. 2002. An Investigation of
Replacing Nitrate by Urea in The Growth and Production of Chlorophyll by Spirulina
platensis. Biomass and Bioenergy 23: 261-269.
Dao-lun, F., and Zu-cheng, W. 2006. Culture of Spirulina in Human Urine for Biomass Production
and O2 Evolution. J. Zhejiang.
Donati, G. and Paludetto, R. 1999. Batch and Semi-Batch Catalytic Reactors (from Theory to
Practice). Catalysis Today. Vol 52: 183-195.
Fabregas, J. Patino, M., Morales, E.D., Dominguez, A. and Otero, A. 1996. Distinctive Control of
Metabolic Pathways by Chlorella autotrophica in Semicontinuous Culture. Canadian
Journal of Microbiol. Vol 42: 1087-1090.
Hills, C. 1980. The Secret of Spirulina. Univ. of Trees Press. California.
Jetley, U.K., Choudhary, M., Fatma, T. 2004. The Impact of Physical Stresses on The Growth of
Spirulina platensis-S5. J. Environ. Sci. Eng. 46 (4): 303-311.
Marg, R., Swamy, Murthy, Ravishankar. 2006. An Economic and Efficient Method of Mass
Production of Spirulina. World Intellectual Property Organization. 018668 A1.
Masojidek, J., Papacek, S., Sergejevova, M., Jirka, V., Cerveny, J., Kunc, J., Korecko, J.,
Verbovikova, O., Kopecky, J., Stys, D. and Torzillo, G. 2003. A Closed Solar
Photobioreactor for Cultivation of Microalgae Under Supra-high Irradiance: Basic Design
and Performance. Journal of Applied Phycology. Vol. 15: 239-248.
Miao, J.R. 2003. A High Productivity Photobioreactor.Jianxhi.
Olaizola, M. and Duerr, E.O. 1990. Effects of Light Intensity and Quality on the Growth Rate and
Photosynthetic Pigment Content of Spirulina platensis. Journal of Appl. Phycology. Vol.2.
No.2: 97-104.
Olguin, E.J., Galicia, S., Mercado. G. Perez, T. 2003. Annual Productivity of Spirulina
(Arthrospira) and Nutrient Removal in A Pig Wastewater Recycling Process Under
Tropical Condition. J. Appl. Phycology. 15 (2-3): 249-257.
Pichel, F.G., Mechling, M. and Castenholz, R.W. 1994. Diel Migrations of Microorganism within a
Benthic, Hypersaline Mat Community. Appl. And Env. Microbiol. 60 (5): 1500-1511.
Rafiqul, I.M., Jalal, K.C.A., and Alam, M.Z. 2005. Environmental Factors for Optimization of
Spirulina Biomass in Laboratory Culture. Biotechnol. 4 (1): 19-22.
Rangel-Yagui, C.O., Danesi, E.D.G., de Carvalho, J.C.M., and Sato, S. 2004. Chlorophyll
Production from Spirulina platensis: Cultivation with Urea Addition by Fed-batch Process.
Bioresource Technology. Vol. 92. Issue 2: 133-141.
Reichert, C.C., Reinehr, C.O., and Costa, J.A.V. 2006. Semicontinuous Cultivation of the
Cyanobacterium Spirulina platensis in A Closed Photobioreactor. Brazilian Journal of
Chemical Eng. Vol. 23. No.1: 23-28.
Sinha, R.P., Klisch, M. Helbling, E.W., Hader, D.P. 2001. Induction of Microspore-like Amino
Acids in Cyanobacteria by Solar Ultraviolet-B Radiation. J. Photochem. Photobiol. 60: 129135.
Soletto, D., Binaghi, L., Carvalho, J.C.M., and Converti, A. 2005. Batch and Fed-Batch
Cultivations of Spirulina platensis Using Ammonium Sulphate and Urea as Nitrogen
Sources. Aquaculture 243: 217-224.
23
BioS: Majalah Biologi Populer, Oktober 2007
Vol. 1, No. 2, Tahun 2007
Program Magister Biologi – Universitas Kristen Satya Wacana
Tredici, M.R. and Zitteli, G.C. 1998. Efficiency of Sunlight Utilization: Tubular vs Flat
Photobioreactors. Biotechnol. Bioeng. 57 (2):187-197.
Tripanji and Suharyanto. 2001. Optimization Media from Low Cost Nutrient Sources for Growing
Spirulina platensis and Carotenoid Production. Menara Perkebunan 69 (1): 18-28.
Torzillo, G., Accola, P., PInzani, E., and Masojidek, J. 1996. In Situ Monitoring of Chlorophyll
Fluorescence to Assess The Synergistic Effect of Low Temperature and High Irradiance
Stresses in Spirulina Cultures Grown Outdoors in Photobioreactors. Journal of Appl.
Phycology 8: 283-291.
Wu, H., Gao, K., Villafane. V. E., Watanabe, T. and Helbling, E.W. 2005. Effects of Solar UV
Radiation on Morphology and Photosynthesis of Filamentous Cyanobacterium Arthrospira
platensis. Appl. and Environ. Microbiol. 71 (9): 5004-5013.
Zarrouk, C. 1966. Influence of Diverse Physical and Chemical Factors on The Growth and
Photosynthesis of Spirulina maxima. Doctoral Thesis. University of Paris.
24