Tentang Revolusi Pemikiran

Tentang Revolusi Pemikiran
Oleh: Nurul H. Meihasih
Sejak reformasi di Indonesia bergulir, wacana penerapan syari'at Islam kembali menghangat.
Akan tetapi masih banyak masyarakat yang masih meragukan kembalinya Islam. Masih banyak
orang yang ragu dan menganggap bahwa penerapan syari'at Islam di Indonesia pada khususnya,
adalah hal yang sangat sulit. Apalagi jika kita bicara dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu
mewujudkan Islam di seluruh muka bumi, maka ide ini dianggap sebagai sebuah ide utopis yang
hanya diemban oleh orang-orang yang mimpi di tengah siang bolong.
Fakta tarik-ulur wacana negara Islam memang marak sejak keruntuhan rezim Soeharto pada
tahun 1998. Banyak partai didirikan dengan label Islam. Begitu pun dengan gerakan/organisasi
Islam yang menyerukan diterapkannya syari'at Islam. Para pendukung ide ini hampir sebanding
jumlahnya dengan para penentangnya. Sebagian besar masyarakat masih saja menganggap bahwa
pluralitas masyarakat Indonesia adalah salah satu kendala untuk menerapkan syari'at Islam.
Keberagaman suku, ras dan agama menjadi salah satu isu yang digunakan oleh para penentang
ide penerapan syari'at Islam. Apakah benar, jika Islam diterapkan, maka seluruh rakyat harus
memeluk Islam? Apakah benar, jika Islam diterapkan, maka kaum non Islam harus diperangi dan
diusir dan negara Islam? Benarkah fakta yang menyebutkan bahwa negara Islam akan
menimbulkan kecemburuan sosial dan keagamaan? Tulisan di bawah ini akan menguraikan
bagaimana perjuangan yang seharusnya ditempuh untuk membangun suatu masyarakat Islam,
terutama dalam suatu masyarakat yang beragam (plural).
Secara tinjauan faktual, pada dasarnya kondisi masyarakat pada zaman Nabi, yaitu pada saat

didirikannya daulah (negara) Islam Madinah, tidak jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Pada
saat itu ada tiga kelompok masyarakat yang hidup dalam naungan daulah Islam. Pertama,
kelompok muslim dan kalangan Muhajirin dan Anshar. Kedua, kelompok musyrik yang terdiri
atas bani Aus dan Khajraj. Dan ketiga adalah kelompok Yahudi, yang terbagi dalam empat
golongan, yaitu bani Khaibar, Qainuqa’, Nadhir, dan Quraizhah.
Secara fakta dapat kita lihat bahwa pada saat penerapan syari'at Islam pertama di Madinah,
terdapat begitu banyak suku, agama, kepercayaan, adat, dan aturan hidup yang berkembang. Akan
tetapi, mengapa keberagaman itu bisa melebur menjadi satu dan diatur dengan satu sistem, yaitu
sistem Islam? Jika kita teliti lebih lanjut, ternyata ide, cara hidup, budaya, dan agama yang ada
saat itu dapat melebur menjadi satu pemikiran dan tunduk dengan Islam, karena pada dasarnya
masyarakat Arab pada waktu itu telah mengalami revolusi pemikiran. Yaitu perombakan total
pemikiran, dari pemikiran yang rendah (hewani) menuju taraf pemikiran yang cemerlang
(mustaniir). Pemikiran mayoritas bangsa Arab yang masih terkontaminasi oleh adat yang jahili
dan budaya yang sesat serta khurafat yang mendominasi kehidupan mereka, dihapus dan
diluruskan oleh Islam.
Perombakan total yang diciptakan Islam dalam diri para pemeluknya dilakukan dengan
membangkitkan potensi akal mereka, lalu di tengah mereka diletakkan akidah Islam. Di atas
landasan pemikiran Islam inilah semua pemikiran cabang dibangun. Kebaikan dan keburukan
pemikiran dinilai dengan standar Islam, sehingga mereka mengalami transformasi akidah dan
peribadatan. Dari keimanan yang sekedar muncul dan perasaan menuju keimanan yang rasional.

Dari penyembahan berhala, api, trinitas, dan bentuk-bentuk penyembahan lainnya yang tidak
rasional, menuju penyembahan Allah semata.
Dengan adanya revolusi pemikiran ini, masyarakat Arab yang masih menyimpan adat jahili,
memeluk agama yang tidak sesuai dengan akidah Islam, dan memecahkan masalah-masalah
hidupnya dengan aturan yang berasal dari manusia, berubah secara alamiah dengan mengganti
seluruh peradaban mereka dengan peradaban Islam. Dan peradaban inilah yang telah membawa
mereka menuju umat yang berperadaban tinggi dan berhasil mengendalikan dunia selama kurang
lebih tigabelas abad.

Dengan demikian telah terbukti dengan jelas, bahwa penerapan Islam dalam suatu masyarakat
yang plural bukan suatu hal yang utopis. Rasul telah memberikan tuntunan yang sedemikian
detilnya, agar usaha untuk mengembalikan Islam senantiasa berada dalam jalan yang benar dan
tidak mengalami kegagalan.
Demikian juga perjuangan penerapan Islam di Indonesia. Usaha penerapan syari'at Islam di
negeri dengan beraneka ragam budaya, agama, suku, dan cara hidup ini, hendaknya senantiasa
bercermin pada metode yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw, yaitu dengan menjalankan
revolusi pemikiran masyarakat terlebih dahulu, sebelum mengajak mereka menerapkan syari'at
Islam. Ketika masyarakat telah sadar akan pentingnya hidup mereka diatur dengan aturan Islam,
maka secara alamiah, perasaan mereka akan cenderung dengan Islam, dan sebaliknya, mereka
akan membenci setiap adat, budaya maupun cara hidup yang tidak islami. Akhirnya, dengan

sendirinya mereka akan menuntut penerapan Islam secara total.
Selain itu penerapan syari'at Islam tidak mungkin akan menimbulkan kecemburuan sosial
dan keagamaan, karena umat telah faham akan pentingnya kehidupan mereka diatur dengan
akidah Islam. Dan Islam tidak pernah menuntut setiap warga negara harus memeluk Islam, karena
memang dalam Islam tidak pernah ada pemaksaan dalam memeluk agama (QS.2:256). Begitu
pun dalam urusan mu'amalah, 'uqubat termasuk jinayat, Islam tidak pernah menganggap berbeda
antara muslim dengan non muslim. Seorang hakim, ketika ia merumuskan kebijakan atau
memutus suatu perkara, maka ia tidak boleh memandang perbedaan antara muslim dengan non
muslim. Begitu pula seorang kafir dzimmi (orang kafir tapi tunduk dengan aturan Islam) akan
memiliki hak mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan secara gratis, sebagaimana yang
telah diperoleh saudaranya yang muslim.
Berdirinya daulah Islam adalah sebuah janji Allah (QS. 24:55). Bagaimana penerapan syari'at
Islam dalam masyarakat plural adalah suatu hal yang tidak perlu diperdebatkan. Rasulullah saw
telah memberikan contoh yang sangat nyata dan mampu dilaksanakan secara sempurna selama
kurang lebih tiga belas abad lamanya. Dengan demikian tak perlu lagi ada alasan kecemburuan
sosial dan keagamaan akibat penerapan syari'at Islam. Wallahu a’lam.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002