PARADOKSALITAS DI BALIK KEMEGAHAN BOROBUDUR | Suharto | Jurnal Kawistara 3928 6354 1 SM

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

KAWISTARA
VOLUME 2

No. 1, April 2012

Halaman 1-14

PARADOKSALITAS DI BALIK KEMEGAHAN
BOROBUDUR
Bambang Suharto
Universitas Negeri Gorontalo
Email: unikbali@hotmail.com

ABSTRACT
This article aimes at exploring the destination organization management of Borobudur temple. The approach method
used in this writing is descriptive interpretative of organization behavior. The data was collected from literature
study, participated observation, and the discussions in the seminars. The research’s findings show that the success
of organizations managing Borobudur has been focused on the fulfillment of legal and economic responsibilities
rather than social ones, as mandated by the Ministry of State-Owned Enterprises in law Nomor 40 of 2007 and

Law Nomor 10 of 2009. Moreover, it is aggravated by the behavior of urban society, members of which all have
their own interets. Finally, the local community will become more marginalized if the government does not take
any serious actions taken to empower them immediately.
Keywords: Management, Organization, Destination, Welfare

ABSTRAK
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui tata kelola organisasi destinasi candi Borobudur.
Pendekatan metode yang digunakan dalam penulisan, yaitu deskriptif interpretatif mengenai perilaku
organisasi yang datanya didapat dari studi literatur, pengamatan terlibat, dan diskusi-diskusi dalam
seminar. Hasil temuan menunjukkan bahwa kesuksesan organisasi mengelola candi Borobudur, tidak
sebanding dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya karena perilaku organisasi Taman Wisata Candi
Borobudur lebih fokus menjalankan tanggung jawab hukum dan ekonomi dari pada tanggung jawab sosial
yang diamanahkan oleh visi Kementrian Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomer 40 Tahun
2007, dan Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2009. Hal ini juga diperburuk oleh perilaku masyarakat
urban yang juga mempunyai kepentingan. Masyarakat lokal akan terus semakin termarginalkan apabila
tidak segera dilakukan langkah-langkah pemberdayaan secara serius.
Kata Kunci: Tata Kelola, Organisasi, Destinasi, Kesejahteraan

PENGANTAR
Belakangan ini penelitian tentang

destinasi telah banyak dikaji dalam hal basis
teknologi informasi (Bhairawa, Mulatsih,
dan Rahayu, 2009; Chen dan Sheldon,
1997), pemasaran (Buhalis, 2000; Fodor
dan Werthner, 2005), maupun tata kelola
daerah tujuan wisatanya (Getz, Anderson,
dan Sheehan, 1998; McElroy, 2003).

Namun, penelitian tentang daerah tujuan
wisata, khususnya mengenai pengelolaan
organisasinya jarang ditemukan, padahal
organisasi ini mempunyai peran sentral yang
tidak kalah pentingnya dengan destinasi
(Presenza, Sheehan, dan Ritchie, 2005).
Mereka menyatakan bahwa seringkali

1

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14


kesuksesan sebuah destinasi bergantung
kepadanya. Organisasilah yang menjadi aktor
penentu pengembangan atraksi, akses, dan
amenitas.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
organisasi pengelola daerah tujuan wisata
mampu membuat destinasi bermanfaat
secara optimal dan berkelanjutan. Organisasi
inilah yang pertama-tama akan mewadahi,
menggerakkan, dan memerankan pemangku
kepentingan dalam mengelola berbagai
permasalahan sebuah destinasi. Keberadaan
organisasi ini dapat mengakselerasikan
kebijakan daerah tujuan wisata dengan
memperhatikan kebijakan yang lain secara
terarah dan terkoordinasi, seperti undangundang, peraturan, renstra, dan programprogram pariwisata yang lain. Organisasi
juga dapat mengintegrasikan rencana
pembangunan dan pemasaran daerah tujuan
wisata dari pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/ kota dalam mewujudkan tujuan

pariwisata secara terpadu dan berkelanjutan
(Budpar, 2010). Barangkali karena alasan
itu pulalah organisasi pengelola sebuah
destinasi ini penting, bahkan diperebutkan
oleh stakeholder-nya, ingin dilibatkan dan
diperankan sebagai pengelola destinasi
tersebut.
Kompleksitas organisasi pengelolaan
destinasi ini melibatkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mendapatkan prioritas
yang diuntungkan. Mereka membentuk
kelompok-kelompok untuk memperkuat
kepentingannya. Kepentingan kelompok
yang beragam dengan karakteristik produk
dan pemahaman yang bermacam-macam
sering menimbulkan konflik. Konflik ini
kian hari tampak semakin memanas dan tak
kunjung datang penyelesaiannya.
Akar pemicu konflik ialah dugaan
akan kurang terintegrasinya pengelolaan

organisasi destinasi dalam suatu sistem
yang mampu mengoptimalkan kepentingan
bersama. Kesenjangan kepentingan muncul
ketika optimalisasi pengembangan Candi

2

Borobudur membuat gaya hidup masyarakat
semakin konsumtif dan termarginalkan
tanpa diimbangi dengan pemberdayaan
mereka. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya
penghargaan yang diraih oleh TWC (Taman
Wisata Candi) Borobudur, namun, data
persentase angka kemiskinan di Kecamatan
Borobudur tercatat sebesar 61,7%, peringkat
17 kategori masyarakat miskin dari 22
kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah (Kurniawati, 2008).
Masyarakat yang merasa tergusur
dan terampas kesejahteraannya melakukan

perlawanan menuntut ketidakadilan.
Ancaman muncul berkali-kali, antara lain
warga masyarakat akan melakukan aksi
tutup jalan menuju pintu Candi Borobudur
(Aji dalam kapanlagi.com, 2006). Desas-desus
revolusi Borobudur pun mulai didengungkan
dengan keras dan mulai menghimpun basis
kekuatan (suara audien dalam focus group
discussion dan sarasehan, 2011). Gejolak
kepentingan individu dan kelompok tertentu
yang sudah diwadahi dalam organisasiorganisasi nonpemerintah semakin berani
menyuarakan perihal ketidakadilan. Hal
ini dikuatirkan akan memuncak dan
berakhir pada tindakan anarkis, khususnya
terhadap organisasi pengelola destinasi TWC
Borobudur. Pengelola Candi Borobudur
diduga kurang merespons kepentingan
masyarakat setempat. Kalaupun pada
akhirnya tindakan anarkis terjadi, semua
akan rugi dan citra pariwisata lagi-lagi

tercoreng. Oleh karena itu, penting adanya
tata kelola organisasi daerah tujuan wisata
yang biasanya dikenal dengan istilah MDO
(Management of Destination-Organization).
Presenza, Sheehan, dan Ritchie (2005)
merupakan peneliti pertama yang mengkaji
model DMO (Destination-Management
Organization) dari sudut pandang EDM
( External-Destination Marketing) dan IDD
(Internal- Destination Development). Mereka
menggali berbagai pandangannya, yaitu
pendekatan IDD dari produk pada sisi

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

penawaran dan pendekatan EDM dari
pemasaran pada sisi permintaan. Peneliti
DMO yang lain adalah Ritchie dan Crouch
(2007) dengan latar perencanaan pengelolaan
daerah tujuan wisata yang dikenal dengan

model DMP ( Destination-Management
Planning). Crouch lebih menitikberatkan
kajiannya pada pemasaran dan tata kelola
alam untuk menciptakan pariwisata yang
berkelanjutan dan daerah tujuan wisata yang
mempunyai daya saing. Pendekatan DMP
didasarkan pada dua pilar penyangganya,
yaitu destination marketing dan destination
management. Namun demikian, perhatian
kedua penelitian itu terpusat pada unsur
objek dan bukan subjek kepariwisataan
sehingga kurang mampu menafsir lebih luas
penentu keadaan dalam konflik Borobudur
ini. Sehubungan dengan hal itu, penulis
lebih akrab menggunakan istilah MDO.
MDO lebih cenderung melihat permasalahan
ada pada organisasinya. Dengan demikian,
perlu penyelesaian agar organisasi sebagai
subjek dapat bekerja dengan baik bersama
stakeholder-nya dalam mencapai tujuan. Bisa

jadi, permasalahan ada pada sisi internal atau
sisi eksternal. Hal ini berbeda dengan DMO,
seperti dikemukakan oleh kedua peneliti
sebelumnya yang cenderung menekankan
permasalahan pada destinasi.
Ancangan analisis MDO ini dipilih
karena dapat mengungkapkan pengelolaan
organisasi dikaitkan dengan kemajuan suatu
destinasi di Borobudur dan kesejahteraan
masyarakatnya (Bhairawa, Mulatsih, dan
Rahayu, 2009). Selanjutnya, keterkaitan
unsur-unsur tersebut membentuk nilai
(Pitana, 2002) dan secara empiris teruji dapat
menyejahterakan masyarakat sekitarnya
(Semercioz, Donmez, dan Dursun, 2008;
Damanik, 2010).
Lebih khusus, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tata kelola organisasi
daerah tujuan wisata Candi Borobudur.
Pengorganisasian destinasi yang baik

merupakan jaminan kesuksesan suatu

pengelolaan destinasi (Greech, 1995:517).
Kesuksesan pengelolaan destinasi dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang berkepentingan
secara adil dan merata, termasuk kesejahteraan
masyarakat sekitarnya (Bhairawa, Mulatsih,
dan Rahayu, 2009; Pitana, 2002; Semercioz,
Donmez, dan Dursun, 2008; Damanik, 2010).
Akhirnya, diharapkan hasil penelitian ini
dapat memberikan masukan langsung kepada
organisasi pengelola destinasi, masyarakat,
pemerintah, akademisi, dan elemen-elemen
terkait.

K o n s e p Ta t a K e l o l a O r g a n i s a s i
Destinasi
Ada tiga konsep penting yang perlu
disepakati maknanya berkenaan dengan

kajian ini, yaitu (a) konsep manajemen,
(b) konsep organisasi, dan (c) konsep
destinasi. Pemaknaan konsep diperlukan
untuk mencegah bias arti kata-kata tersebut.
Kata management merupakan kata benda
yang berasal dari bahasa Inggris dan telah
diindonesiakan menjadi manajemen, artinya
penggunaan sumber daya secara efektif dan
efisien untuk mencapai sasaran. Sebagian
masyarakat mengartikan bahwa manajemen
sama dengan pengelolaan, yaitu proses
sistemik perbuatan mengelola. Asumsi
dasar dari pengelolaan organisasi destinasi
pariwisata ini adalah sebuah sistem, yaitu
satu kesatuan dari unsur-unsur yang saling
berinteraksi untuk tujuan mengoptimalkan
nilai-nilai penghidupan, kehidupan,
kemanusiaan, keruangan yang berupa alam
semesta, dan ketuhanan serta mendapatkan
manfaat dari nilai tersebut secara adil (Baiquni,
2009). Nilai ini membentuk model bahwa
keadilan manfaat dapat menentukan kuatnya
dukungan terhadap organisasi pengelola
destinasi pariwisata tersebut.
Kata organization merupakan kata
benda yang berasal dari bahasa Inggris dan
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kata kerja organisasi yang secara harfiah

3

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14

berarti mengatur. Secara khusus Gibson,
Ivancevich, dan Donnelly (2011) menyatakan
bahwa organisasi adalah suatu wadah yang
mengatur dan memungkinkan kesatuan dari
orang-orang atau kelompok orang dalam
suatu perkumpulan berperilaku agar dapat
meraih hasil optimal yang sebelumnya tidak
dapat dicapai oleh individu. Pendekatan
pengaturan organisasi dalam penelitian ini
melalui perilaku keorganisasian. Perilaku
keorganisasian didefinisikan sebagai studi
tentang manusia bertindak dalam organisasi
yang ditujukan bagi kemanfaatan orang
(Tampubolon, 2004). Dari segi perilaku
organisasi dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu lingkungan eksternal dan
lingkungan internal (Tampubolon, 2004:3).
Pengertian kata destinasi pariwisata dalam
kaitannya dengan tata kelola organisasi dapat
berupa tempat tujuan wisatawan, produk
dan pelayanan yang menarik wisatawan,
termasuk peradaban masyarakatnya, atau
satu kesatuan pengalaman yang didapat
oleh wisatawan yang dikelola oleh organisasi
tersebut (Manente dan Minghetti, 2000).
Hal ini juga ditegaskan dalam undangundang Nomer 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan Pasal 1 Angka 6, yang
menyatakan bahwa destinasi pariwisata
adalah kawasan geografis yang berada dalam
satu atau lebih wilayah administratif yang di
dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas
umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas,
serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
Jika ketiga kata tersebut dirangkaikan
menjadi satu kesatuan makna MDO
( Management of Destination-Organization),
artinya adalah suatu sistem pengelolaan
organisasi kepariwisataan terpadu yang
mengintegrasikan fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan secara inovatif serta sistemik.
Semua itu dijalankan melalui jaringan yang
terpimpin secara terpadu dengan melibatkan
peran masyarakat, asosiasi, industri,

4

akademisi, dan pemerintah. Tujuannya ialah
meningkatkan fungsi nilai sebagai tujuan
akhir dan fungsi nilai yang dimaksud, sebagai
berikut, (1) Berfungsi sebagai penggerak
ekonomi lokal dalam menghasilkan
pendapatan daerah, lapangan pekerjaan,
dan penghasilan pajak. (2) Berfungsi sebagai
pemasar lokal yang membentuk citra destinasi.
(3) Berfungsi sebagai koordinator industri
yang berkemampuan untuk meningkatkan
pertumbuhan industri daerah dengan
mendatangkan hasil dan keuntungan daerah
melalui bisnis pariwisata. (4) Berfungsi sebagai
lembaga yang mewakili pengelola destinasi
pariwisata dalam berhubungan dengan
pengunjung. (5) Berfungsi membangun dan
menggali nilai kearifan lokal yang dapat
memperkuat identitas kedaerahan dan
menjadi kebanggaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
holistik dengan metode deskriptif-interpretatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi
literatur, wawancara secara mendalam,
observasi terlibat, dan penjaringan data
melalui diskusi kelompok. Studi literatur
dilakukan terkait dengan berbagai data,
termasuk beragam pandangan dan analisis
dari para ahli sebelumnya tentang potensi
kepariwisataan dan organisasi pengelolanya
di Desa Borobudur, baik berupa buku, jurnal,
laporan penelitian, kliping media massa,
proceding seminar, dan informasi dari internet.
Wawancara secara mendalam dilakukan
terhadap informan untuk mengetahui
lebih jelas dan rinci dalam mengungkap
bukti-bukti dan data dari informasi yang
ada. Upaya penggalian data dan informasi
pun juga dilakukan dengan pengamatan
secara langsung terlibat dalam kegiatan
masyarakat di sekitar kampung dan di
situs Candi Borobudur. Fenomena yang
terjadi diamati terkait perihal sosiokultural
dan organisasi yang ada. Pengamatan ini
dilakukan dengan cara mengamati, mencatat,
dan menghubungkannya dengan beberapa
data maupun informasi yang ada di lapangan.

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

Diskusi kelompok dilakukan melalui
beberapa acara temu sarasehan, workshop,
dan presentasi seminar untuk membahas
beragam pandangan. Forum-forum informal
sebanyak lima kali didesain berupa diskusi
dan perdebatan sebagai cara untuk menguji
argumen, mengklarifikasi data dan informasi,
dan menemukan pandangan baru dari proses
berpikir kritis.

PEMBAHASAN
Berdasarkan pemahaman konsep
manajemen organisasi destinasi di atas,
data perilaku organisasi dari sudut
pandang lingkungan internal dan eksternal
diteliti untuk mengetahui pola tata kelola
organisasinya.

pengelolaan Kementerian BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) dan pengawasan
Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif.
Tatanan lingkungan internal organisasi pada
tiap-tiap candi dikepalai oleh seorang kepala
unit dan dibantu seorang wakil kepala unit.
Penelitian ini fokus pada TWC Borobudur.
Tugas dan fungsi masing-masing jabatan
dijalankan oleh satuan yang ada pada
Subbagian Tata Usaha, Seksi Pelayanan
Teknis, dan Kelompok Tenaga Fungsional
dalam suatu sistem yang cukup baik.
Mereka semua bekerja dengan
mengemban satu visi PT Taman Wisata Candi
Borobudur.
Menjadikan perusahaan yang mempunyai
kemampuan dan kompetensi yang tinggi serta
profesional dengan dukungan sumber daya
manusia yang berkualitas untuk menjadikan
taman dan candi sebagai objek dan daya tarik
wisata yang mampu bersaing secara global
(Kurniawati, 2008).

Tata Kelola Organisasi di Candi
Borobudur
Hasil analisis ini tersaji pada Bagan
1 dalam struktur organisasi PT. TWCPBB
(Perseroan Terbatas. Taman Wisata Candi
Prambanan, Borobudur, dan Boko) di bawah

Berdasarkan visi ini, TWC Borobudur
mengalami kemajuan pesat. Mereka

Bagan 1

Sumber : Data Lapangan Candi Borobudur

5

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14

melakukan pembenahan dan penataan
terhadap lingkungan candi melalui
pembangunan Taman Wisata Candi
Borobudur ini. Pada 23 Februari 1983
pemugaran Candi Borobudur diresmikan
oleh Presiden Soeharto. Selanjutnya, pada 13
Desember 1991 Candi Borobudur terdaftar
sebagai The World Cultural Heritage dengan
nomor registrasi C.592 (Ibrahim dan Chaeosti,
1997:2526). Berbagai piagam dan penghargaan
diraihnya, bahkan terakhir memenangkan
kompetisi internasional Gold Awards sebagai
pengelola heritage terbaik dari PATA (Pacific
Asia Trade Association) di Beijing, Cina pada
11 April 2011.
Fenomena lingkungan internal tanpa
melihat lingkungan eksternalnya menjadi
sesuatu yang paradoksal bila dijadikan
referensi untuk menilai perkembangan
destinasi Borobudur yang hingga sekarang
masyarakat di sekitarnya masih miskin.
Penguatan visi ini hanya akan memperkuat
kesenjangan antara kemegahan Candi
Borobudur dan kemiskinan masyarakatnya.
Dukungan masyarakat yang semula
diharuskan mengorbankan tanahnya untuk
kepentingan yang lebih besar dengan ganti
rugi yang tidak seberapa (Kompas, 6 Februari
1981) tidak dimaknai dengan baik dalam
visi tersebut. Williams dan Lawson’s (2001)
mengatakan hal tersebut sebagai berikut.
...If it is known why residents support or
oppose the industry, it will be possible to
select those developments which can minimise
negative social impacts and maximise support
for such alternatives. As such, quality of life for
residents can be enhanced, or at least maintained,
with respect to the impacts of tourism in the
community.

Visi organisasi yang ideal bukan
hanya mengobsisi pikiran dan tindakan
internal organisasi, tetapi juga eksternalnya,
yaitu segenap pihak terkait (Kaho, 2002;
Nasikun, 2003). Visi TWC Borobudur sebagai
perusahaan BUMN tidak terintegrasi dengan

6

visi Kementerian BUMN, yaitu meningkatkan
peran BUMN sebagai instrumen negara
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat
berdasarkan mekanisme korporasi. Visi
TWC Borobudur juga tidak mendukung
rumusan visi pariwisata Indonesia, yaitu
menumbuhbinakembangkan kesejahteraan
(Agenda 21 Sektoral, 2000). Hal ini agaknya
mengisyaratkan bahwa penentuan visi
seharusnya mampu menyejahterakan
masyarakat, yang barangkali dapat dikaitkan
dengan arti penting pariwisata dan dukungan
masyarakat ketika mengorbankan tanahnya.
Pariwisata dimaksudkan bukan sebagai tujuan,
tetapi merupakan salah satu jalan menuju
kesejahteraan masyarakatnya (Suharto,
2011). Seiring dengan pendapat tersebut,
amanah Undang-Undang Nomer 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan menegaskan
bahwa peninggalan purbakala, peninggalan
sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki
bangsa Indonesia merupakan sumber daya
dan modal pembangunan kepariwisataan
untuk peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Ada pengulangan
yang juga memperkuat pendapat tersebut,
yaitu Crouch dan Ritchie (1999) menyatakan
sebagai berikut.
...not only will tourism be a major contributor to
global prosperity, but also ... the very nature of
the tourism phenomenon will shape the lifestyles,
societal structures, and inevitably the quality of
life...of many citizens of the world during the first
segment of the third millennium.

Sehubungan dengan itu, pembangunan
kepariwisataan berkontribusi terhadap
kemakmuran sosial (societal prosperity)
serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global. Negara mempunyai kewajiban
menjalankan dan mengawasi hal tersebut.
Hartanto (1997:49) menyatakan bahwa
semakin optimal kontribusi tersebut, semakin
banyak lingkup jumlah manusia, luas, dan
lama intensitas terkena kontribusi tersebut.

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

Berdasarkan hipotesis studi ini, terlihat
bahwa dibandingkan dengan masyarakat
yang ada di desa-desa yang lain di Kabupaten
Magelang, yang letaknya lebih jauh dari
candi Borobudur tempat pengembangan
pariwisata ini, seharusnya masyarakat di
sekitar Candi Borobudur makmur dan
sejahtera terlebih dahulu. Namun, hasil
penelitian ini menunjukkan realitas lain.
Realitas itu dapat dijelaskan melalui
faktor kepemimpinan. Peran pemimpin
TWC Borobudur merupakan salah satu kunci
sukses untuk menggerakkan segenap potensi
dengan syarat mutlak mengetahui karakter
pranata sosial, budaya, dan adat setempat.
Misalnya, Dirut TWC Borobudur direkrut
dari masyarakat lokal yang mempunyai
kualifikasi di bidang tersebut dan memahami
adat setempat (Best practice dari Bali Tourism
Development Corporation dan Sekolah Tinggi
Pariwisata Bali). Apabila masyarakat tidak
pernah diberikan kepercayaan dan tanggung
jawab memimpin, selamanya mereka tidak
akan pernah bisa. Pemimpin tidak hanya
membutuhkan keahlian manajerial dan
teknis saja, namun keahlian non teknis,
seperti pemahaman karakteristik pranata
sosial masyarakat di sekitar Candi Borobudur
penting. Sentuhan-sentuhan bersifat
kedaerahan dalam suasana kekeluargaan
dan dialog kerap kali terbukti mampu
menyelesaikan kebekuan organisasi dan
distorsi kepentingan tersebut (Satrya, 2011).
Seiring dengan berjalannya waktu,
perekrutan, dan pergantian generasi sumber
daya manusia sejak 1973 masih kurang
mengoptimalkan masyarakat sekitarnya
dengan alasan tidak tersedianya kesesuaian
pendidikan dan keahliannya (Kepegawaian
TWC Borobudur, 2011). Namun, hal ini terjadi
bertahun-tahun tanpa ada kaderisasi dan
regenerasi dari masyarakat sekitar sebagai
karyawan atau pimpinan sesuai dengan
kualifikasinya. Warga masyarakat di dua
puluh dusun sekitar Borobudur, tercatat 95%
masih membutuhkan pekerjaan (Kurniawati,

2008). Sementara itu, kegiatan program
diklat, bintek, pemagangan diprogramkan
secara berkelanjutan dengan anggaran
yang cukup besar oleh TWC Borobudur
untuk karyawannya yang bukan berasal
dari masyarakat sekitar Borobudur (BKPCB,
2011). Kroc dalam Hunger dan David (1995)
menyatakan bahwa keberanian mengambil
keuntungan dari suatu daerah, harus ada
imbal baliknya agar keuntungan tersebut
berkelanjutan. Selanjutnya dikatakan bahwa
ketidakmampuan masyarakat sekitarnya
dipekerjakan oleh suatu perusahaan
merupakan konsukuensi tanggung jawab
sosial perusahaan mendidiknya. Hal itu
konsekuensi perusahaan mengambil
keuntungan di daerah tersebut, kecuali
mereka tidak menginginkannya karena
masyarakat daerah tersebut sudah makmur.
Data hasil wawancara mendalam dengan
informan sebagai berikut.
Saya dibantu istri bekerja mencari batu di sungai
untuk makan setiap hari. Anak dititipkan ke
pondok pesantren biar jadi orang baik, karena
tidak punya biaya banyak untuk sekolah. Ingin
sebenarnya bekerja dekat-dekat di kawasan candi
Borobudur biar bisa kumpul keluarga, namun
tidak sekolah, tidak punya kenalan, dan tidak
punya uang untuk modal kan tidak bisa.

(wawancara mendalam dengan informan)
Hal lain yang harus dicermati oleh
pemimpin TWC Borobudur adalah program
CSR (Corporate Social Responsibilities). Program
CSR ini baru berupa jasa melayani dan
mendampingi tamu-tamu dinas, tamu kantor,
hari besar waisak, dan kegiatan pemanfaatan
Candi Borobudur untuk acara festival (Seksi
Pelayanan Masyarakat TWC Borobudur,
2011). Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan
kepada masyarakat hanya berupa pemberian
informasi dalam mengemban kepentingan
organisasi pengelola Candi Borobudur.
Berbagai acara baik murni ritual maupun
ritual yang sekedar untuk menyemarakkan
pariwisata dilakukan oleh masyarakat di

7

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14

sekitar Candi Borobudur, seperti Ruwatan
Borobudur, Sedekah Kedung Winong,
Sedekah Gunung, Sedekah Kali Sibendha,
Pasar Ngumandang Mirunggan, Jamasan
Keris, Tetesan, Ritual Gaib, Renungan
Dharma Budaya Siwi, Sedekah Tuk Pitu,
Sedekah Punthuk Setumbu, dan masih
banyak lagi tanpa bantuan TWC Borobudur.
Padahal ritual ini juga suatu atraksi yang
berpotensi yang mempunyai relevansi dengan
keberadaan Candi Borobudur (Sucoro, 2011).
TWC Borobudur belum memandang potensi
masyarakat dan tanggung jawab sosial
sebagai sesuatu yang semakin aktual dan
relevan ketika dikaitkan dengan sasaran
strategis bisnis yang mengemban asas
keadilan sosial sebagaimana diamanatkan
juga dalam Undang-Undang Nomer 40 Tahun
2007 Bab V Pasal 74 tentang Tanggung Jawab
Sosial Perseroan Terbatas.
Program CSR TWC Borobudur
seharusnya didefinisikan bersama warga
yang dikenai tanggung jawab sosial tersebut,
seperti halnya konsep 3P, yaitu potensi,
peluang, dan proteksi (Suharto, 2011). TWC
Borobudur melakukan pengembangan
kapasitas potensi masyarakat. Masyarakat
yang sudah berpotensi harus diberi akses
untuk mengaktualisasikan kebolehannya.
Mereka ini penting untuk dilindungi agar
yang baru saja mempunyai potensi tidak
tersaingi oleh pesaing di pasar bebas yang
lebih kuat serta berpengalaman.
Perilaku lain yang direkomendasikan
kepada organisasi TWC Borobudur ini,
khususnya bagian keuangan adalah melakukan
program kajian dengan merangsang,
membina, dan memberikan pinjaman modal,
sarana dan prasarana, informasi usaha,
kemitraan, perizinan usaha, kesempatan
berusaha, pendampingan, promosi dagang,
serta dukungan kelembagaan kepada
masyarakat pengusaha mikro di sekitar Candi
Borobudur. Program kemitraan dengan
usaha kecil dan program bina lingkungan
didasarkan pada Peraturan Menteri Negara

8

BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 dan
Undang-Undang UMKM (Usaha Mikro
Kecil dan Menengah) Nomer 20 Tahun
2008 pasal 7 tentang usaha mikro, kecil, dan
menengah. Dana program kemitraan ini,
disisihkan dari laba BUMN setelah dikurangi
pajak maksimal 1%-5% (rata-rata 2%) atau
hasil bunga pinjaman, bunga deposito,
dan jasa giro dari dana kemitraan setelah
dikurangi beban operasional. Usaha mikro
diarahkan untuk menumbuhkembangkan
usaha kreatif rumahan atau industri jasa
pariwisata di bawah pengelolaan LWG
(Lokal Working Group) di 20 dusun yang ada
di Desa Borobudur tersebut, seperti konsep
amoeba (Pearce, 1989; Mclalland, 2008).
Program ini didorong untuk menginspirasi
kesadaran pola pikir masyarakat bahwa
mereka tidak hanya menjadi pedagang
di Borobudur saja, tetapi justru menjadi
pengusaha jasa kepariwisataan lain di
rumahnya atau di desanya sendiri yang jauh
lebih menguntungkan. Usaha-usaha kreatif
inilah yang harus mendominasi aktivitas dan
kegiatan kepariwisataan di Bhumisambhara
ini. Mereka yang mempunyai usaha-usaha
kreatif ini juga menjadi pengelola destinasi
di usahanya masing-masing.
Mereka yang mempunyai usaha kreatif
jasa kepariwisataan sejenis di tingkat lokal
ini dapat membentuk asosiasi sebagai
wadah untuk mencari penyelesaian ke
arah pengembangan usahanya. Misalnya,
ketua organisasi-organisasi yang terdiri
dari perwakilan pengusaha pariwisata,
asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi,
LWG sejenis, dan asosiasi lain yang terkait
tersebut membentuk asosiasi yang lebih
besar lagi, yaitu GIPD (Gabungan Industri
Pariwisata Daerah) di tingkat provinsi
dan GIPI ( Gabungan Industri Pariwisata
Indonesia) di tingkat pusat. GIPD dan GIPI
dipilih oleh anggotanya yang mencerminkan
prinsip-prinsip partisipatif, transparan,
demokratis, akuntabilitas, berorientasi
hasil, dan berkelanjutan melalui tahapan

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

perintisan.
Organisasi yang sudah dirintis tersebut
perlu diberi dukungan, legalisasi, dan
akses operasional. Fungsi kedua asosiasi ini
penting sebagai mitra kerja TWC Borobudur,
Pemerintah daerah, dan Pemerintah Pusat
yang independen. GIPD dan GIPI berfungsi
sebagai wadah komunikasi, menyalurkan
aspirasi, memelihara kerukunan, konsultasi
para anggota, mengemban kepentingan,
dan pengawasan bersama dalam rangka
keikutsertaannya dalam penyelenggaraan
pembangunan kepariwisataan. Keberadaan
GIPD dan GIPI juga dapat mengurangi
kecenderungan kepemimpinan yang otoriter.
Asosiasi ini juga dapat mengurangi pihakpihak yang cenderung tidak transparan yang
memungkinkan praktik kolusi dan nepotisme
sebagai sumber permasalahan ketidakadilan.
Kedua organisasi itu bersifat mandiri dan
dalam melakukan kegiatannya bersifat nirlaba.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk,
keanggotaan, susunan kepengurusan, dan
kegiatannya diatur dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (UU No 10 Th 2009).

Tata Kelola Organisasi Destinasi
Terintegrasi
Keterkaitan TWC Borobudur dan
asosiasi pengusaha menjadi satu kesatuan
MDO yang terintegrasi bersama asosiasi
profesi, akademisi, dan pemerintah, seperti
pada bagan 2.
Walaupun struktur organisasi MDO
terbentuk, permasalahan tetap saja tak
kunjung tuntas diatasi ketika dihadapkan
pada persoalan kontribusi pengelola destinasi
candi di tengah-tengah tradisi dan praktik
kehidupan masyarakat yang diidealkan
adil dan sejahtera. Sering terjadi dalam
suatu organisasi bahwa bila berkait dengan
hal kewenangan selalu berebut dan bila
dihadapkan pada tanggung jawab atau
masalah saling melimpahkan atau cuci tangan.
Dalam kaitan ini, agaknya mengisyaratkan
bahwa karakter TWC Borobudur sebagai

aktor bisnis dituntut mampu memberikan
contoh kepada swasta dalam merespons hal
tersebut.
Setiap proses pemilihan pemimpin yang
akan duduk pada struktur organisasi yang
ada pada MDO seharusnya mencerminkan
prinsip-prinsip partisipatif, transparan,
demokratis, akuntabilitas, berorientasi hasil,
dan berkelanjutan. Koordinator asosiasi
lokal dalam panduan DMO Budpar 2010 ini
adalah seseorang yang ditunjuk oleh Proyek
Manager. Penunjukan langsung ini membuat
pimpinan koordinator ini cenderung bekerja
mengabdi kepadanya, bukan kepada anggota.
Pemilihan dengan penunjukan langsung
tersebut sulit untuk mendapatkan dukungan,
akses operasional, dan sulit untuk menjalin
sinkronisasi program pengembangan
kemitraan. Cara-cara ini hanya akan
memperkuat kekuasaan yang terjalin antara
destinasi TWC Borobudur, Pemerintahan
Kabupaten, Pemerintahan Provinsi, dan
Pemerintahan Pusat. Pada bagan struktur
organisasi DMO Budpar, antara destinasi
TWC Borobudur atau destinasi (n) dengan
masyarakat lokal atau kelompok-kelompok
subunit LWG atau organisasi lokal hanya
mengenal garis pengendalian. Para pemangku
kepentingan dari kelompok-kelompok
subunit asosiasi lokal berada pada sistem
yang tidak mempunyai kekuatan, mereka
tersandera oleh ketergantungan kebijakan
like/dislike destinasi TWC Borobudur. Usahausaha untuk menjalin kerja sama yang tidak
henti-hentinya dilakukan kelompok asosiasi
lokal melalui pertemuan-pertemuan formal
dan nonformal bukan hal yang bersifat wajib
bagi TWC Borobudur. Namun demikian,
kebutuhan sinergitas ini penting (Utami,
1998). Data hasil wawancara mendalam
dengan informan sebagai berikut.
Saya sering mengundang Bapak Dirut TWC
maupun Bapak Kepala Unit TWC Borobudur
untuk menghadiri acara ritual masyarakat
seperti sedekah Punthuk Setumbu, Mirunggan,

9

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14

Bagan 2

Sumber : Modifikasi DMO Budpar, 2010

10

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

Workshop dengan tema CSR, Sarasehan rembuk
desa, dan lokakarya pengelolaan candi Borobudur,
namun tidak pernah hadir. Pernah sekali seminar
DMO dari Budpar, namun, masyarakat tidak
mengerti apa itu DMO. Sebagian dari meraka
datang ingin menyuarakan keluhan yang hingga
kini belum tuntas dan sebagian lagi yang penting
datang, makan-makan, dan dapat uang saku.
(Wawancara mendalam dengan informan)

Hal ini mengisyaratkan bahwa proses
koordinasi dan sosialisasi tidak berjalan baik.
Berdasarkan pola ini, telah terjadi kesenjangan
pada Bagan 2, terutama pada tataran lokal,
yaitu antara Local Working Group (LWG)
dengan petugas fungsional, struktural, dan
pelaksana pengelola destinasi. Petugas fungsional
melibatkan tim Pokja (Kelompok Kerja), KMP
(Konsultan Manajemen Pusat), dan KMW
(Konsultan Manajemen Wilayah. Petugas
struktural meliputi Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, Dirjen Pengembangan
Destinasi Pariwisata, Sekditjen Pengembangan
Destinasi Pariwisata, Projek Manager,
dan Koordinasi asosiasi lokal. Petugas
pelaksana pengelola destinasi adalah TWC
Borobudur. Petugas fungsional, struktural,
dan pengelola destinasi tampaknya kurang
mampu berinteraksi dengan masyarakat,
yang barangkali dapat dikaitkan dengan arti
penting integritas organisasi yang selama ini
masih lemah, semrawut, dan tidak berjalan
di tingkat lokal atau LWG sebagaimana pada
tataran konseptual.
Mengacu pada tupoksi panduan (DMO,
2010), integritas pengelola organisasi ini
dapat diidentifikasi dari karakter dasar yang
melekat pada setiap aktor. Ketidaksesuaian
ditunjukkan ketika melihat temuan tugas
pokok dan fungsi panduan DMO Budpar
dengan munculnya permasalahan yang
mengisyaratkan hal-hal berikut. Tim
pengarah kurang mengawasi dan kurang
mengevaluasinya dengan melakukan tindak
turun tangan yang diperlukan. Konsultan
manajemen pusat yang ditugaskan kurang
melakukan analisis, koordinasi, dan kurang

memberikan masukan kepada Pemerintah
Pusat berupa visi yang mengembangkan
kepariwisataan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Unit
Manajemen Proyek DMO dianggap kurang
melakukan koordinasi, pengawasan, dan
kurang melakukan kajian evaluasi untuk
sinkronisasi pada asosiasi yang ada di daerah.
Begitu juga, Konsultan manajemen wilayah
kurang melakukan analisis, koordinasi, dan
konsultasi kepada Pemerintah Daerah berupa
masukan untuk mengembangkan kemitraan
LWG. Padahal, LWG berfungsi sebagai
wadah koordinasi penyelesaian masalah dan
mitra kerja jajaran Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata di tingkat operasional yang
paling bawah dan terpenting.
Dapat diamati dari Bagan nomor 2
dalam kaitannya dengan persepsi masyarakat
bahwa cenderung ada pergeseran iritasi indeks
dari masyarakat yang sebelumnya bersikap
euphoria berubah menjadi apathy, kemudian
annoyance, dan sekarang antagonism (Doxey, 1975
dalam Monterrubio-Cordero, 2008). Persepsi
antagonism ini diperkuat oleh tipe pengelolaan
wisata dengan sistem tertutup yang berdampak
pada interaksi sosial yang cenderung rendah
(PAU-UGM, 1991). Hal ini terlihat pada
kompleks zona candi yang didesain sedemikian
rupa sehingga memiliki posisi eksklusif yang
berjarak dengan kehidupan masyarakat di
sekelilingnya (Gunn, 1994). Kemudian, desain
dan pembiaran ini membangun persepsi
masyarakat tentang pengelolaan organisasi
destinasi di Borobudur yang bersifat sentralistis.
Panjangnya aturan birokrasi dan egoisme dari
kepentingan politis dalam pengelolaan hanya
berada di seputar pejabat pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan pengusaha destinasi
(Peer Discussion, 2011).
Dugaan kepentingan yang
menguntungkannya sebagai alibi politis
adalah mereka bekerja secara normatif pada
sistem kebijakan yang sudah ada, seperti
Keputusan Presiden Nomer 1 Tahun 1992,
Peraturan Daerah Kabupaten Magelang

11

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14

Nomer 17 Tahun 2002, dan Surat Keputusan
Direksi Perseroan Terbatas Taman Wisata
Candi Borobudur Nomer 4 Tahun 2003
(Tupoksi, 2011). Keputusan Presiden Nomer
1 Tahun 1992 mengatur tentang kewenangan
Taman Wisata Candi Borobudur dalam
pengelolaannya di zona II. Peraturan Daerah
Kabupaten Magelang Nomer 17 Tahun 2002
mengatur tentang tata tertib secara umum.
Adapun tata tertib secara khusus sebagai
tindak lanjut dari Peraturan Daerah tentang
pengelolaan, keamanan, dan ketertiban
di lokasi objek wisata diatur oleh Surat
Keputusan Direksi TWC Borobudur. Artinya,
segala bentuk kebijakan perencanaan,
pengembangan, dan pengelolaan kawasan
sudah menjadi kewenangannya.
Hasil analisis dan temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa pemimpin pemegang
kewenangan tersebut gagal dalam menjalankan
tanggung jawab sosialnya. Pemimpin TWC
Borobudur lalai dalam menjalankan visi
BUMN, UU No. 40 Tahun 2007, dan UU No. 10
Tahun 2009. Dari segi perilaku keorganisasian,
TWC Borobudur kurang berkomitmen
menjalankan tupoksi panduan DMO 2010,
CSR, dan misi BUMN mengenai UMKM.
Analisis ini mengisyaratkan pentingnya
perubahan kebijakan perekrutan (Satrya, 2011;
Hunger dan David, 1995), perubahan visi (Visi
BUMN, 2011; UU No. 40 Tahun 2007; UU No.
10 Tahun 2009), ketepatan program CSR yang
dilakukan oleh organisasi (Suharto, 2011) dan
penguatan bantuan modal lunak kepada usahausaha kreatif UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah) dalam memberdayakan masyarakat
di lingkungan Candi Borobudur (Damanhuri,
2011), dan diperlukan aplikasi modifikasi
struktur organisasi DMO, seperti terkait pada
Bagan 2. Sehubungan dengan hal itu, tata kelola
organisasi daerah tujuan wisata yang baik akan
menghasilkan pengelolaan destinasi yang
baik. Hal itu akan membawa manfaat pada
kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Greech,
1995:517; Bhairawa, Mulatsih, dan Rahayu,
2009; Pitana, 2002; Semercioz, Donmez, dan

12

Dursun, 2008; Damanik, 2010).

SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa pengembangan organisasi
Candi Borobudur yang baik, juga akan
memunculkan perilaku keorganisasian yang
baik. Perilaku keorganisasian yang baik akan
mempunyai komitmen yang baik terhadap
tanggung jawab hukum, tanggung jawab
ekonomi, dan tanggung jawab sosialnya.
Komitmen organisasi yang baik ini akan
menjalankan proses pengelolaan destinasi
dengan baik. Organisasi yang menjalankan
pengelolaan destinasi yang baik akan
menghasilkan kesuksesan destinasi yang baik.
Kesuksesan destinasi yang baik ialah apabila
mampu memberikan manfaat seoptimal
mungkin secara adil dan merata. Keadilan
dan pemerataan manfaat destinasi ini akan
mendukung keberlanjutan pengembangan
organisasi yang baik. Sistem yang sudah
terbangun tersebut dapat diterapkan dengan
model struktur organisasi MDO yang sudah
dimodifikasi pada Bagan 2. MDO hasil
modifikasi tersebut merupakan rujukan
alternatif bagi para pengelola destinasi
pariwisata daerah agar selalu menjadi lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, M, 2009, Belajar dari Pasang Surut
Peradaban Borobudur dan Konsep
Pengembangan Pariwisata Borobudur,
Forum Geografi, Jurnal Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Vol. 23, No. 1, Juli, hlm.25—40.
Bhairawa, P., Mulatsih, S., dan Rahayu,
S, 2009, “Destination Management
Organization (DMO): Paradigma Baru
Pengelolaan Pariwisata Daerah Berbasis
Teknologi Informasi”, Seminar Nasional
Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI),
Yogyakarta, 20 Juni.
Buhalis, D, 2000, The Competitive Destination

Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur

of the Future, Tourism Management, 21
(1), hlm. 97—116.
Chen, H, dan Sheldon, P.J, 1997, Destination
Information System: Design Issue
and Directions, Journal of Management
Information Systems, Vol. 14, No. 2, hlm.
151-17.
Crouch, G. dan J.R.B. Ritchie, 1999, Tourism,
Competitiveness, and Societal Prosperity,
Journal of Business Researc. 33(3), hlm.
137—152.
Damanhuri, D., S, 2011, “Kemitraan Usaha
Skala Besar (USB) dengan Usaha Kecil
dan Menengah (UKM) dalam Perspektif
Pemberdayaan Masyarakat”, Bunga
Rampai Pemberdayaa Masyarakat
Jawa Barat, hlm. 145—156, Belum
diterbitkan.

J.H, 2011, Organisasi: Perilaku, Struktur,
dan Proses, Edisi ke-8, Jakarta: Binarupa
Aksara.
Greech, B, 1995, The Five Pillars of Total Quality
Management, Jakarta: Binarupa Aksara.
Gunn, C., A. 1994, Tourism Planning, Basics
Concepts Cases, Washington: Taylor &
Francis.
Hartanto, F., M, 1997, Towards Sustainable
Tourism Development: A Policy Planning
Perspective, Bandung: ITB.
Hunger, W, dan David, J, 1995, Strategic
Management, USA: Addison-Wesley.
Ibrahim, M., dan Chaerosti, L, 1997, Borobudur
dalam Data, Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Damanik, J, 2010, “Merancang Format Baru
Pariwisata yang Menyejahterakan
Rakyat”, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UGM.

Kurniawati, R. 2008, “Geger Bhumisambhara:
Ketegangan Relasi dan Sinergi antara
Rakyat, Perusahaan, dan Negara dalam
Pengelolaan Kawasan Pariwisata
Borobudur”, Skripsi.

Budpar, 2010, “Pedoman Pembentukan
dan Pengembangan Destination
Management Organization (DMO)”,
D i r j en Pen gemban gan Des t in a s i
Pariwisata, Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata.

Manente, M. dan Minghetti, V, 2000,
Destination Management Organizations
and Actors, http://www.download-it,
Org/ learning-resources.

Fodor, O. dan Werthner, H, 2005, Harmonise:
A Step Toward an Interoperable
E-Tourism Marketplace, International
Journal of Electronic Commerce, Vol. 9, No.
2, pp, hlm. 11-39.

McElroy, J.L, 2003, Tourism Development
in Small Islands Across the World,
Geografiska Annaler, Series B, Human
Geography, Vol. 85, No. 4, Special Issue:
Nature-Society Interactions on Islands,
hlm. 231-242.
Monterrubio-Cordero, J.C. 2008, Recidents’
Perception of Tourism: A Critical
Theoretical and Methodological Review,
Ciencia Ergo Sum, Marzo-Junio, Ano/
Vol.15, Numero 001, pp. 35—44.

Getz, D., Anderson, D., dan Sheehan, L,
1998, Roles, Issues, and Strategies for
Convention and Visitors Bureaux in
Destination Planning and Product
Development: A Survey of Canadian
Bureaux, Tourism Management, 19 (4),
hlm. 331—340.

PAU-UGM, 1991, Penyusunan Indikator Sosial
Ekonomi dan Sosial Budaya di Bidang
Pariwisata.

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., dan Donnelly,

Pearce, A, 1989, Tourism A Community Approach

13

Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14

2nd Ed, USA: Longman Harlow.
Pitana, I., G, 2002, Apresiasi Kritis terhadap
Kepariwisataan Bali, Bali: PT The
Works.
Presenza, A., Sheehan, L., dan Ritchie, J., R., B,
2005, Towards a Models of The Role and
Activities of Destination Management
Organization, Destination Stakeholders:
Exploring Identity and Salience, Annals
of Tourism Research. 32 (3), 711—734.
Ritchie, J., R. dan Crouch, G., I, 2007, A National
Framework For Best Practice Destination
Management Planning, The Competitive
Destination – A Sustainable Tourism
Perspective, Wallingford, UK: CAB
International, Oxfordshire Publishing.
Satrya, D., G, 2011, Perilaku Keorganisasian
Surabaya Tourism Promotion Board,
Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia,
Vo. 40, No. 4, Juli.
Semercioz, F., Donmez, D., dan Dursun,M,
2008, Relationships Between Destination
Management Organizations and
Destination Stakeholders A Research in

14

Regions of Marmara in Turkey, Journal
of Commerce & Tourism Education Faculty,
No.1, hlm. 87—1001.
Suharto, B, 2011, Kontribusi Hotel terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Lokal,
Jurnal Kepariwisataan Indonesia,
Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Kepariwisataan. Vol.6, No.1, hlm. 27—
42.
Tampubolon, M., P, 2004, Perilaku
Keorganisasian, Jakarta: Ghalia.
Utami, S., D. 1998, “Pelaksanaan Koordinasi
antar- Pelaku Pariwisata dalam
Pengembangan Obyek Wisata di Daerah
Istimewa Yogyakarta”, Tugas Akhir.
UU No. 10 Tahun 2009, Tentang
Kepariwisataan.
UU No. 40 Tahun 2007, Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perseroan Terbatas.
Williams, J dan R. Lawson, 2001, Community
Issues and Resident Opinions of
Tourism, Annuals of Tourism Research,
28(2): 269—290.