RANCANGAN PERMENDIKBUD TENTANG PMP DASMEN

DAFTAR ISI
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar

ii
iv
v

BAB 1 Pendahuluan

1

1.1 Latar Belakang
1.2 Identiikasi Masalah
1.3 Landasan Hukum
BAB 2 Kondisi Mutu Pendidikan Di Indonesia
2.1 Jumlah Sekolah, Siswa, dan Guru
2.2 Kompetensi Lulusan: Kesenjangan antara
Hasil Ujian Nasional dan Ujian Sekolah
2.3 Kompetensi Siswa: Kesenjangan dengan

Kompetensi Siswa Global
2.4. Kualitas Guru
2.5. Peta Mutu Pendidikan Nasional
2.6. Sistem Penjaminan Mutu

ii

3
6
15
21
24
25
26
32
34
40

BAB 3 Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan
Menengah

3.1 Konsep Penjaminan Mutu Pendidikan
3.2 Mekanisme Penjaminan Mutu Pendidikan
3.3 Penjaminan Mutu Pendidikan di Berbagai
Negara
3.4 Membangun Budaya Mutu Pendidikan

45
47
55
58
64

BAB 4 Muatan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Tentang Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Dasar dan Menengah

69

4.1 Ketentuan Umum
4.2 Butir-butir Materi Yang Akan Diatur


71
73

BAB 5 Penutup

75

Daftar Pustaka

81

iii

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah

24


Tabel 2.2 Jumlah Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah

24

Tabel 2.3 Jumlah Guru Pendidikan Dasar dan
Menengah

25

Tabel 2.4 Peringkat Indonesia dalam PISA

28

Tabel 2.5 Peringkat Lengkap PISA 2012

29

Tabel 2.6 Capaian Nilai SNP Nasional 2013 Tingkat SD


35

Tabel 2.7 Capaian Nilai SNP Nasional 2013 Tingkat SMP

38

iv

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1

Perbandingan Hasil Ujian Nasional
dengan Ujian Sekolah

26

Gambar 2.2

Statistik Hasil UKG 2012


33

Gambar 2.3

Posisi Capaian SNP Nasional Tingkat SD

35

Gambar 2.4

Distribusi Jumlah SD Berdasarkan Level
Capaian SNP Tingkat Nasional

36

Gambar 2.5

Capaian Standar Proses Per Indikator
Per Pertanyaan


37

Gambar 2.6

Posisi Capaian SNP Nasional Tingkat SMP

38

Gambar 2.7

Distribusi Jumlah SMP Berdasarkan
Level Capaian SNP Tingkat Nasional

39

Gambar 2.8

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

41


Gambar 3.1

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Terintegrasi

56

Gambar 3.2

Sistem Penjaminan Mutu Internal dan Eksternal
dalam Siklus Perbaikan Mutu Berkelanjutan

58

Gambar 3.3

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar
dan Menengah


58

Gambar 3.4

Kerangka Sistem Penjaminan Mutu
di Hongkong

64

v

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang


Akses pendidikan dasar di Indonesia sebenarnya
sudah baik. Angka partisipasi kasar (APK) untuk SD
sudah mencapai 115,88% dan angka partisipasi
murni (APM) mencapai 95,71%. Sementara untuk
tingkat SMP APKnya sudah mencapai 100,16%
namun APM 78,43%. Untuk pendidikan menengah
memang belum sebaik pendidikan dasar, namun
dapat dikatakan cukup baik. APKnya menunjukkan
angka 78,19% dan APMnya 58,25%.
Sudah cukup lama kita melakukan pembangunan
pendidikan dengan fokus pada perluasan akses.
Beberapa kemajuan telah kita capai terkait
perluasan akses, khususnya pendidikan dasar.
Selanjutnya fokus utama sudah harus bergeser
pada peningkatan mutu sambil terus membenahi
akses, khususnya untuk daerah-daerah yang akses
pendidikannya masih bermasalah.
Membangun pendidikan berorientasi mutu bagi
bangsa Indonesia, selain merupakan amanat
konstitusi, juga menjadi sebuah keharusan dalam

menghadapi tuntutan global yang mensyaratkan
tampil
dan
berperannya
manusia-manusia
berkualitas serta mampu menunjukkan eksistensi
dan integrasinya di tengah-tengah persaingan

3

yang semakin ketat di kancah internasional. Sistem
pendidikan yang baik dan bermutu di samping
harus dibangun di atas prinsip-prinsip yang kokoh
dengan paradigma yang jelas, juga mesti berusaha
diletakkan sesuai tuntutan dan perubahan zaman1.
Peningkatan mutu tentu membutuhkan biaya
terutama untuk memenuhi mutu sarana dan
prasarana dan memenuhi biaya pengelolaan
sekolah. Siapa yang paling bertanggung jawab
untuk memenuhinya? Undang-undang No.
2/2015 tentang perubahan atas Undang Undang
No. 14 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
jelas menyebutkan bahwa tugas pengelolaan
sekolah adalah pada pemerintah daerah,
artinya pemenuhan sarana dan prasarana serta
pembiayaan seharusnya menjadi beban daerah.
Beberapa daerah dengan kemampuan iskal
yang rendah terbukti memiliki APK rendah pula,
artinya daerah tersebut sudah jelas tidak mampu
menyediakan sarana-prasarana pendidikan sesuai
kebutuhan dan sangat membutuhkan intervensi
pemerintah pusat.
Sesungguhnya kebijakan peningkatan mutu
pendidikan ini telah terprogramkan dalam
kebijakan pembangunan nasional. Pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 kebijakan ini tercantum secara
eksplisit. Target peningkatan mutu pendidikan
dalam RPJMN 2015-2019 diukur dengan proporsi
sekolah yang dapat mencapai akreditasi minimal B

1

Lihat, Pembukaan UUD 1945 alinea keempat; dan UUD 1945
pasal 31 ayat (3); juga UU Nomor 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 angka (2).

4

dan persentase satuan pendidikan yang meningkat
indeks efektifitasnya. Target-targetnya adalah
sebagai berikut:




Persentase sekolah terakreditasi minimal B
Tahun 2015-2019 : SD: 75%, SMP: 70%, SMA:
85%, dan Paket keahlian SMK :65%
Persentase satuan pendidikan yang meningkat
indeks efektiitasnya berdasarkan SNP sebesar
95%

Peningkatan mutu pendidikan tidak akan banyak
berarti jika tidak disertai dengan penjaminan mutu
pendidikan. Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa penjaminan
mutu pendidikan merupakan tugas sekolah,
sedangkan pemerintah pusat dan daerah bertugas
memfasilitasi peningkatan mutu sekolah. Beberapa
peraturan pemerintah sebagai turunannya juga
mengamanatkan hal yang sama yaitu satuan
pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu
pendidikan sesuai dengan kebijakan pendidikan
baik tingkat kabupaten/kota, tingkat propinsi
maupun pusat.
Penerapan Penjaminan Mutu Pendidikan di sekolah
akan memastikan bahwa pengelolaan sekolah,
proses pembelajaran dan program-program
lainnya dijalankan dengan standar mutu tertentu.
Pertanyaannya, apakah sekolah telah melakukannya?
Berdasarkan hasil pemantauan, sebagian besar
sekolah baik di tingkat pendidikan dasar maupun
pendidikan menengah belum melaksanakan
penjaminan mutu baik untuk pengelolaan maupun
untuk pembelajaran. Belum dilaksanakannya

5

penjaminan mutu pendidikan ini disebabkan oleh
masih lemahnya pemahaman/kesadaran sekolah
tentang pentingnya mutu pendidikan yang sedang
mereka jalankan. Mutu pendidikan ini mencakup:




Mutu pengelolaan sekolah
Mutu pembelajaran yang dilaksanakan
Mutu proses pembentukan karakter peserta
didik

Peningkatan mutu pendidikan ini merupakan
tanggung jawab dari setiap komponen di
satuan pendidikan. Peningkatan mutu di satuan
pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa
adanya budaya mutu pada seluruh komponen
sekolah. Untuk peningkatan mutu sekolah secara
utuh dibutuhkan pendekatan khusus agar seluruh
komponen sekolah bersama-sama memiliki budaya
mutu. Untuk itu dibutuhkan program Implementasi
Penjaminan Mutu Pendidikan di seluruh sekolah di
Indonesia dengan pendekatan pelibatan seluruh
komponen sekolah (whole school approach).

1.2 Identiikasi Masalah
Dalam konteks mutu dan penjaminan mutu,
permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi
adalah seperti berikut ini:
1. Masalah yang terkait dengan makna
penjaminan mutu:


banyak terjadi kesalahpahaman ditingkat
satuan pendidikan mengenai penjaminan
m u t u . M i s a l n y a , s e rt i f i k at I S O y a n g
diperoleh satuan pendidikan berbagai
tingkatan dipandang sebagai legitimasi

6

yang tinggi bahwa satuan pendidikan
bersangkutan telah mendapat jaminan dan
pengakuan internasional mengenai mutu
pendidikan yang dimilikinya. Padahal ISO
merupakan standar layanan, bukan lembaga
penjaminan mutu pendidikan, terutama
yang terkait dengan praktek akademik
satuan pendidikan;
• delapan Standar Nasional Pendidikan
(SNP) belum dipahami secara utuh dan
belum mampu diterapkan dengan baik dan
luas oleh setiap program dan/atau satuan
pendidikan;
• visi, misi, dan program yang dirumuskan
serta dimiliki oleh setiap satuan pendidikan
seringkali bersifat abstrak dan kurang
berkorelasi dengan kegiatan peningkatan
dan penjaminan mutu program dan/atau
satuan pendidikan.
2. Masalah yang terkait dengan regulasi:


adanya berbagai peraturan pendidikan yang
kurang progresif, konsisten, dan terintegrasi
sehingga relatif menyulitkan bagi pihakpihak berkepentingan dalam pelaksanaan
penjaminan mutu;
• belum adanya standar mutu internal, ‘key
performance indicators’, dan sasaran mutu
akademik dan non-akademik di setiap
jenjang, jalur, dan jenis pendidikan yang
siap memacu mutu pendidikan;
• belum adanya pengembangan sistem
penilaian kinerja secara berjenjang, mulai
dari kinerja institusi, unit, dan individu;

7



BSNP belum menyiapkan penjabaran
standar secara menyeluruh untuk semua
jenis, jenjang, dan jalur pendidikan yang
akan menjadi dasar penyelenggaraan
penjaminan mutu.

3. Masalah yang terkait dengan penentuan dan
implementasi kebijakan penjaminan mutu:


peningkatan mutu pendidikan belum
berjalan dengan baik dan terpadu terutama
di tingkat satuan pendidikan;
• keberadaan satuan pendidikan bertaraf
internasional belum jelas tolak ukurnya
dan belum melalui assessment oleh badan
akreditasi nasional/internasional;
• praktik program dan/atau satuan pendidikan
dan/atau kelas internasional di Indonesia
selama ini lebih bersandar pada rezim
perizinan yang dikeluarkan oleh birokrasi
pendidikan, bukan berdasarkan akreditasi.
Di negara-negara maju, hal itu dilakukan
berdasarkan hasil akreditasi oleh badan
akreditasi independen dan profesional.
4. Masalah yang terkait dengan esensi data:


data mutu pendidikan yang terjamin
akurasi, kelengkapan, dan updating-nya
belum dikelola dengan baik oleh program
dan satuan pendidikan, unit kerja di
lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kota/Kabupaten, dan unit-unit utama di
lingkungan Pemerintah;
• data mutu pendidikan belum dianalisis
oleh pemangku kepentingan, walaupun

8







seringkali digunakan untuk perumusan
serta implementasi kebijakan, program, dan
penganggaran pendidikan. Penggunaan
data yang mentah sifatnya dan belum
“bunyi” dalam pengambilan kebijakan
berdampak pada rendahnya mutu serta
tidak tepatnya kebijakan yang dirumuskan
dan dilaksanakan saat ini;
belum terbangunnya budaya proses
pengambilan keputusan berdasarkan data.
Di tingkat satuan pendidikan, pengambilan
keputusan lebih berdasarkan keinginan,
otoritas, dan apa yang menjadi bayangan
pemimpin satuan pendidikan serta
berdasarkan tuntutan dari birokrasi
pendidikan (pusat dan daerah) dan tidak
banyak mengacu pada realitas obyektif;
hasil pemetaan mutu pendidikan belum
dimanfaatkan secara optimal untuk
penentuan kebijakan, penyusunan program
dan alokasi anggaran pendidikan;
monitoring dan evaluasi internal di setiap
satuan pendidikan belum berjalan optimal
sehingga menghasilkan data dasar untuk
perbaikan mutu berkelanjutan.

5. Masalah yang terkait dengan kejujuran/
obyektivitas:




Program dan/atau satuan pendidikan kurang
jujur dalam mengevaluasi dirinya, sehingga
peringkat mutu yang ada dan dipublikasikan
selama ini belumlah sepenuhnya terpercaya;
hasil akreditasi yang dilakukan oleh badan
akreditasi terhadap satuan pendidikan, baik
di tingkat program studi, jurusan maupun
institusi, belum mencerminkan kenyataan

9



yang sesungguhnya. Sikap kompromi dan
pertimbangan-pertimbangan subyektif
(tetapi merasa perlu ditempuh) masih turut
berbicara dalam kegiatan akreditasi;
kegiatan penjaminan mutu kurang ditopang
aspek pembiayaan yang memadai, sehingga
mengganggu tingkat kejujuran, obyektivitas,
profesionalitas, dan kesungguhan kerja unit
penjaminan mutu dan badan akreditasi.

6. Masalah yang terkait dengan kelembagaan:










belum terlalu jelasnya pembagian peran
dan fungsi antar lembaga terkait serta
antara pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan;
kapasitas pemerintah daerah masih sangat
bervariasi dan belum terstandarisasi
prosedur dan operasionalnya dalam
menjalankan penjaminan mutu pendidikan;
penjaminan mutu cenderung ditekankan
pada tingkat program dan/atau satuan
pendidikan semata, tetapi kurang
m e n e k a n k a n p e ra n p e m e r i n t a h d a n
pemerintah daerah di dalamnya. Padahal
program dan/atau satuan pendidikan,
t e r u t a m a s w a s t a , m a s i h membutukan
fasilitasi dan peran pemerintah dalam proses
penjaminan mutu;
siklus penjaminan mutu (internal dan
eksternal) masih terpisah dan belum berjalan
secara sinergis untuk penjaminan dan
peningkatan mutu berkelanjutan melalui
RKS dan RKAS;
sangat banyak – untuk tidak mengatakan
s e m u a – p ro g ra m d a n / at a u s at u a n

10











pendidikan yang tidak memiliki sistem dan
organisasi penjaminan mutu internal;
belum melembaganya tim pengembang
pada program dan/atau setiap satuan
pendidikan. Kalaupun ada program dan/
atau satuan pendidikan yang memiliki tim
pengembang, pada umumnya masih pada
tataran formalitas dan belum berfungsi
sebagaimana diharapkan;
fungsi pemetaan dan fasilitasi oleh lembaga
pembinaan penjaminan mutu seperti LPMP
belum terintegrasi dan berjalan efektif;
lembaga akreditasi seperti BAN-S/M
belum mampu berkoordinasi dalam
mengakreditasi program dan satuan
pendidikan s e cara me n ye lu ru h dan
berkelanjutan dan melakukan kolaborasi
dalam menjamin pelayanan akses terhadap
data mutu pendidikan kepada publik
untuk penelitian dan pengembangan mutu
pendidikan;
lembaga evaluasi eksternal atau akreditasi
selain BAN seperti ABET, ACCB, Cambridge
Examination Syndicate dan lain-lain belum
diatur secara baik dalam bentuk prosedur
operasional standar dan dikembangkan
untuk percepatan dan perluasan akreditasi
mutu setiap satuan pendidikan;
RSBI, SBI, dan kelas-kelas internasional belum
memiliki standar keinternasionalannya
(terakreditasi secara internasional) dan
belum menegakkan akuntabilitasnya.

11

7. Masalah yang terkait dengan budaya mutu:


bu da y a mutu belum tum bu h dan
ber ke mba ng seca ra o ptim al dalam
pen gel ola a n da n peny elen ggaraan
pen di di ka n;
• kurangnya kesadaran (awereness) dan
komitmen pemimpin satuan pendidikan
dan penyelenggara pendidikan di daerah
maupun pengelola pendidikan di pusat
terhadap pentingnya penjaminan mutu.
8. Masalah yang terkait dengan layanan khusus:


penjabaran standar untuk Pendidikan
Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) belum
diatur penjaminan mutunya;
• penjaminan mutu untuk pendidikan jarak
jauh dalam berbagai bentuk misalnya
berbasis modul dan e-learning belum
berjalan secara efektif;
• penjaminan mutu untuk pendidikan
keagamaan sesuai dengan PP No. 55/2007
belum berjalan secara efektif;
• penjaminan mutu pendidikan informal
belum ditegaskan dalam peraturan
perundang-undangan yang ada.

9. Masalah yang terkait dengan standar mandiri:


belum dikembangkannya standar mandiri
dalam sistem penjaminan mutu pendidikan.
Standar mandiri sesungguhnya penting
dikembangkan, mengingat selain ada
program dan satuan pendidikan negeri juga
terdapat program dan satuan pendidikan

12



swasta, dan dalam praktik standar mandiri
itu dikembangkan program dan satuan
pendidikan tertentu;
program dan satuan pendidikan kebanyakan
belum mampu merumuskan dan menentukan
standar mutu pendidikan (akademiknya)
sendiri, sehingga proses pembelajaran
berlangsung tanpa target yang pasti dan
titik ukuran yang konsisten untuk memantau
kemajuan yang sedang dilakukan sekarang
dan akan dicapai secara berkelanjutan di
masa mendatang.

10. Masalah yang terkait dengan akuntabilitas
publik:






penjaminan mutu yang ada dan berlangsung
sela ma in i be lu m me mas u kan dan
mempertimbangkan akuntabilitas publik
di dalamnya, sehingga masyarakat seperti
kehilangan hak, kesempatan, proporsi, dan
kurang terlindungi dalam penjaminan mutu
pendidikan;
program dan/atau satuan pendidikan
kurang terbuka dalam menjelaskan dan
mempublikasikan hasil evaluasi dirinya;
badan-badan akreditasi kurang terbuka
dalam mengumumkan secara rinci ke publik
mengenai proses, metode, ukuran, indikator,
dan hasil akreditasi yang dilakukan.

11. Masalah yang terkait dengan keengganan
melakukan penjaminan mutu:


ada kecenderungan program dan/atau satuan
pendidikan seperti tidak memiliki waktu untuk

13





melakukan penjaminan mutu internal dan atau
evaluasi diri karena sudah terlalu disibukan
oleh rutinitas yang cukup padat. Mereka
umumnya juga kurang memiliki motivasi
dalam melakukan evaluasi diri;
kegiatan penjaminan mutu seringkali
dipandang sebagai beban yang memberatkan
dan merepotkan program dan/atau satuan
pendidikan dan belum menerapkan sanksi
dan penghargaan terhadap kinerja setiap
program dan/atau satuan pendidikan;
kegiatan penjaminan mutu tidak jarang
dilakukan karena merasa ada semacam
ancaman internasional, termasuk semakin
banyaknya peserta didik berbakat dari
keluarga kaya yang lebih memilih belajar
di luar negeri daripada di dalam negeri.
Ada pula yang melakukannya hanya dalam
rangka mendapatkan bantuan Pemerintah,
Pemer i nta h Da era h, ata u le mbaga
internasional dalam melaksanakan RSBI,
SBI atau program dan satuan pendidikan
berkeunggulan lokal lainnya

12. Masalah yang terkait dengan kepentingan
dan pragmatisme elite:


di daerah-daerah, program dan/atau
satuan pendidikan – terutama di tingkat
pendidikan dasar dan menengah –
seringkali diintervensi oleh birokrasi
pendidikan (Dinas Pendidikan), dan
tak jarang pula pendidik dan tenaga
kependidikan yang menjadi alat politik
dari elite kekuasaan lokal. Intervensi elite
kekuasaan dan birokrasi dapat dan telah
mengganggu konsentrasi program dan

14

satuan pendidikan dalam mencapai dan
memelihara pendidikan yang bermutu
tertentu.

1.3

Landasan Hukum

1. UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Undang Undang Dasar 45 pasal 31 ayat 1
jelas-jelas menyebutkan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan.
2. NAWA CITA PRESIDEN 2015-2019
Kua litas pe n didikan akan s an gat
berpengaruh pada kualitas SDM dan pada
akhirnya mempengaruhi kualitas hidup
sebuah bangsa. Hal ini telah tertuang
pada NAWA CITA PRESIDEN RI 2015-2019
khususnya Nawa Cita ke 3, 5, 6 dan 8 yang
bunyinya adalah sebagai berikut:
3. Membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui program Indonesia
Pintar dengan wajib belajar 12 tahun
bebas pungutan.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan
daya saing di pasar Internasional sehingga
bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit
bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa
melalui penataan kurikulum pendidikan
nasional.

15

Oleh karena itu membangun budaya mutu
pendidikan hukumnya wajib dijalankan oleh
semua pemangku kepentingan.
3. UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
Beberapa pasal dalam Undang Undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional secara implisit menghendaki adanya
penjaminan mutu pendidikan dijalankan untuk
memastikan pendidikan dapat berjalan sesuai
dengan kebijakan yang telah digariskan.
Klausul-klausul yang terkait mutu berikut
evaluasi dan penjaminan mutu pendidikan
menjelaskan hal-hal berikut:


Pasal 1 angka (1 dan 21):
a. Ayat (1), pendidikan adalah usaha
sa d a r d a n t e re n c a n a u n t u k
mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
b. Ayat (21), evaluasi pendidikan adalah
kegiatan pengendalian, penjaminan, dan
penetapan mutu pendidikan terhadap
berbagai komponen pendidikan pada
setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan.

16



Pasal 35 ayat (1 -3):
a. Ayat (1), standar nasional pendidikan
terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi kelulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan
berkala.
b. Ayat (2), standar nasional pendidikan
digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolahan, dan pembiayaan.
c. Ayat (3), pengembangan standar
nasional pendidikan serta pemantauan
dan pelaporan pencapaiannya secara
nasional dilaksanakan oleh suatu
badan standarisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan.



Pasal 40 ayat (2):
Pendidik dan tenaga kependidikan
berkewajiban:
1. menciptakan suasana pendidikan yang
bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis;
2. m e mpu n yai komit me n s e cara
profesional untuk meningkatkan mutu
pendidikan; dan
3. memberi teladan dan menjaga nama
baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang
diberikan kepadanya.

17



Pasal 41 ayat (1):
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang
diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu



Pasal 50 ayat (1, 2, 3, dan 5):
a. Ayat (1) Pengelolaan sistem pendidikan
nasional merupakan tanggung jawab
Menteri.
b. Ayat (2), pemerintah menentukan
kebija ka n na sio na l da n s t an dar
nasional pendidikan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional.
c. A y at ( 3 ) , p e m e r i n t a h d a n / at a u
pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional.
d. Ayat (5), pemerintah Kabupaten/Kota
mengelola pendidikan dasar dan
pendidikan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan
lokal.



Pasal 58 ayat (1 dan 2):
a. Ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.
18

b. Ayat (2), evaluasi peserta didik, satuan
pendidikan, dan program pendidikan
dilakukan oleh lembaga mandiri secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistemik untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan.


Pasal 59 ayat (1 dan 2):
a. Ayat (1), pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan.
b. Ayat (2), masyarakat dan/atau organisasi
profesi dapat membentuk lembaga
yang mandiri untuk melakukan evaluasi
sebagaimana dimaksudkan pasal 58.

4. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19
TAHUN 2005 TENTANG STANDAR
NASIONAL PENDIDIKAN


Pasal 91 ayat (1, 2, dan 3):
a. Setiap satuan pendidikan pada jalur
formal dan nonformal wajib melakukan
penjaminan mutu pendidikan.
b. Pe n j a m i n a n m u t u p e n d i d i k a n
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan untuk memenuhi atau
melampaui standar nasional pendidikan.
c. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertahap, sistematis, dan terencana dalam
suatu program penjaminan mutu yang
memiliki target dan kerangka waktu yang
jelas.

19

5. Renstra Kemdikbud 2015-2019
Visi: “terbentuknya insan serta ekosistem
pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter
dengan berlandaskan gotong royong”
Misi: 1. Mewujudkan pelaku pendidikan dan
kebudayaan yang kuat
2. Mewujudkan akses yang meluas dan merata
3. Mewujudkan pembelajaran yang bermutu
4. Mewujudkan pelestarian kebudayaan dan
pengembangan bahasa
5. Mewujudkan penguatan tata kelola serta
peningkatan efektivitas birokrasi dan
pelibatan publik

20

2

BAB 2
KONDISI PENDIDIKAN
DI INDONESIA

Selama beberapa dekade belakangan ini
telah banyak yang dilakukan oleh pemerintah
untuk pembangunan pendidikan di Indonesia.
Perbaikan kurikulum terus dilakukan untuk
menyesuaikan kompetensi siswa dengan tuntutan
kemajuan zaman. Pembinaan guru juga terus
dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas
dan kesejahteraannya. Berbagai intervensi juga
terus dilakukan untuk meningkatkan layanan
sekolah kepada siswa dan masyarakat.
Pembangunan sarana prasarana juga terus
dilakukan. Pembangunan ruang kelas baru, renovasi
sekolah, revitalisasi sekolah, pengadaan sarana
laboratorium, pengadaan sarana TIK dan sarana lain
untuk meningkatkan layanan pembelajaran telah
banyak dilakukan. Tak kalah pentingnya, berbagai
peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis dan berbagai aturan lain tentang
pengelolaan sekolah dan peningkatan proses
pembelajaran juga telah banyak dihasilkan.
Namun semua intervensi yang pernah dilakukan
tersebut lebih banyak berpengaruh terhadap
peningkatan akses terhadap layanan pendidikan.
Menyangkut mutu memang ada peningkatan,
namun belum terlalu menggembirakan.
Berikut ini adalah beberapa gambaran tentang
kondisi pendidikan di Indonesia.

23

2.1

Jumlah Sekolah, Siswa, dan Guru

Jumlah sekolah untuk tingkat pendidikan dasar
dan menengah sangat besar. Sesuai dengan aturan
yang berlaku sesuai dengan Undang Undang
Pemerintahan Daerah, pengelolaan sekolah ini
menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah
daerah sesuai tingkatannya. Untuk pendidikan
dasar (SD dan SMP) menjadi tanggung jawab
pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan untuk
pendidikan menengah (SMA dan SMK) tanggung
jawab pemerintah provinsi. Rincian jumlah sekolah
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Jumlah

Tingkat/Jenis
Sekolah

Negeri

1.

SD

133.597

13.229

146.826

2.

SMP

20.594

13.074

33.668

3.

SMA

5.570

6.084

11.654

4.

SMK

2.697

7.559

10.256

Jumlah sekolah keseluruhan

212.404

No.

Swasta

Total
Tabel 2.1: Jumlah
Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah
Sumber: Indonesia
Educational Statistics
in Brief 2011/2012

Jumlah siswa pendidikan dasar dan menengah
di seluruh Indonesia juga sangat besar. Mereka
tersebar di seluruh Indonesia. Rincian jumlah siswa
ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:
Jumlah

No.

Tingkat/Jenis
Sekolah

1.

SD

2.

SMP

4.794.353

4.630.983

3.

SMA/SMK

4.279.912

3.935.712

Laki-laki
14.210.822

Perempuan

Total
Tabel 2.2: Jumlah
Satuan Pendidikan
9.425.336 Dasar dan Menengah

13.373.097 27.583.919

Jumlah sekolah keseluruhan

24

8.215.624 Sumber: Indonesia
Educational Statistics
45.224.879 in Brief 2011/2012

Untuk mengajar di sejumlah sekolah dan sejumlah
siswa tersebut di atas, diperlukan sejumlah besar
guru. Sesuai dengan ketentuan undang-undang,
para guru tersebut harus memiliki kualiikasi S1.
Sayangnya belum semua guru memiliki kualiikasi
seperti yang dipersyaratkan. Rincian jumlah guru
ini dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3: Jumlah
Guru Pendidikan
Dasar dan Menengah

Jumlah

Tingkat/Jenis
Sekolah

No.
1.

SD

2.

SMP

< S1
729.281

Sumber: Indonesia 3. SMA/SMK
Educational Statistics
in Brief 2011/2012 Jumlah guru keseluruhan

2.2

<
_ S1

Total

820.995 1.550.276

79.434

434.397

513.831

35.741

404.427

440.168

844.456 1.255.819 2.504.275

Kompetensi Lulusan: Kesenjangan
antara Hasil Ujian Nasional dan Ujian
Sekolah

Kompetensi lulusan dapat dilihat dari hasil ujian
baik ujian sekolah maupun ujian nasional. Namun
berdasarkan hasil kedua jenis ujian tersebut, sulit
untuk menentukan apakah capaian kompetensi
lulusan sudah sesuai dengan yang diharapkan.
Melihat empat mata pelajaran yang diujikan –
Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan
Sains – terlihat adanya kesenjangan yang cukup
besar antara kedua jenis ujian tersebut. Rincian
hasil ujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1
berikut:

25

Gambar 2.1:
Perbandingan Hasil
Ujian Nasional
dengan Ujian Sekolah

Kesenjangan hasil UN dan Ujian Sekolah yang
lebar menunjukkan bahwa ada permasalahan
dalam instrumen maupun alat pengukuran hasil
belajar siswa. Ada indikasi intervensi sistematik
untuk mencapai nilai kelulusan dengan pola yang
beragam antar daerah.

2.3

Kompetensi Siswa: Kesenjangan
dengan Kompetensi Siswa Global

Dibandingkan dengan siswa dari berbagai
negara, peringkat kompetensi siswa di Indonesia,
khususnya di bidang matematika, membaca, sains
dan pemecahan masalah, masuk dalam kelompok
terendah. Peringkat ini dihasilkan oleh tes yang
dilakukan oleh Programme for International Student
Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh
OECD (Organisation for Economic Co-operation
and Development) atau perkumpulan negaranegara maju dan negara ekonomi berkembang.
PI S A mer u p a ka n suatu penila ia n   s e cara
internasional terhadap keterampilan dan
kemampuan siswa usia 15 tahun. Keterampilan
dan kemampuan dalam PISA yang dinilai meliputi


matematika (mathematics  literacy), 

26

• membaca (reading   literacy), dan  
• sains (science  literacy).
• literasi pemecahan masalah (problem solving
literacy) dan literasi inansial (inancial literacy).
(ditambahkan pada PISA 2012)
PISA   pertama kali dilaksanakan pada tahun
2000 dan berkala. PISA 2012 bertema ”Evaluating
School Systems to Improve Education” diikuti
34 negara anggota OECD dan 31 negara mitra
(termasuk Indonesia) yang mewakili lebih dari
80 persen ekonomi dunia. Murid yang terlibat
sebanyak 510.000 anak usia 15 tahun yang
mewakili 28 juta anak usia 15 tahun di sekolah dari
65 negara partisipan.
PISA tahun 2012 yang dipublikasikan oleh The
Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD), menghasilkan peringkat 10
besar PISA 2012 didominasi negara di Asia. Anakanak di Shanghai menduduki ranking pertama,
diikuti Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea
Selatan, Makau, dan Jepang. Urutan ke-8 ditempati
Liechtenstein, Swiss (urutan ke-9), dan Belanda
(urutan ke-10). Finlandia yang selama ini dikenal
memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia
berada di posisi ke-12, Inggris ke-26, dan Amerika
Serikat ke-36. Indonesia pada peringkat ke 64 dari
65 negara, satu level di atas Peru.
Rata-rata skor matematika anak-anak Indonesia
375, rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata
skor untuk sains 382. Padahal, rata-rata skor OECD
secara berurutan adalah 494, 496, dan 501.
Walaupun Indonesia belum menjadi anggota
OECD, Indonesia telah berpartisipasi dalam PISA

27

sejak pertama kali penilaian skala internasional ini
dilaksanakan yaitu sejak tahun 2000.  Namun, dari
hasil penilaian yang dilakukan oleh tim PISA sejak
tahun 2000 hingga tahun 2012, capaian siswa
Indonesia sangat mengecewakan. Berikut adalah
daftar peringkat Indonesia dalam PISA khususnya
pada bidang matematika

Tahun

Peringkat Indonesia

Jumlah Negara
yang berpartisipasi

2000

39

43

2003

38

41

2006

50

57

2009

61

65

2012

64

65

Kecakapan matematika yang diharapkan dunia
melalui tes PISA itu berbeda dengan yang
diajarkan di sekolah dan yang diujikan dalam ujian
nasional. Ini tidak berarti matematika di Indonesia
lebih mudah daripada di negara lain yang meraih
ranking lebih tinggi dalam PISA. Namun, sekolah
Indonesia terlalu fokus mengajarkan kecakapan
yang sudah kedaluwarsa, seperti menghafal dan
berhitung ruwet.

28

Tabel 2.4: Peringkat
Indonesia dalam PISA
Sumber:
Kemendikbud, OECD

29
Tabel 2.5: Peringkat Lengkap PISA 2012
Sumber: (Kemendikbud, OECD)

30

Beberapa faktor yang menjadi penyebab dari
rendahnya prestasi siswa Indonesia dalam PISA yaitu:
1. Lemahnya kemampuan pemecahan masalah soal
non-routine atau level tinggi. Soal yang diujikan
dalam PISA terdiri atas 6 level (level 1 terendah
dan level 6 tertinggi) dan soal-soal yang diujikan
merupakan soal kontekstual, permasalahannya
diambil dari dunia nyata. Sedangkan siswa di
Indonesia hanya terbiasa dengan soal-soal rutin
pada level 1 dan level 2 .
2. Sistem evaluasi di Indonesia yang masih
menggunakan soal level rendah. Lemahnya
kemampuan
pemecahan
masalah
juga
dipengaruhi oleh sistem evaluasi di
Indonesia. Tes baik yang dilakukan oleh guru
ataupun pemerintah (UN), biasanya hanya
menggunakan level 1 dan level 2. Sehingga
untuk soal-soal level tinggi siswa Indonesia tidak
mampu menjangkaunya.
3. Siswa terbiasa memperoleh dan menggunakan
pengetahuan matematika formal di kelas. Dalam
proses belajar mengajar, pada umumnya guru
biasanya memberikan rumus formal kepada
siswa, tanpa siswa mengetahui bagaimana cara
memperoleh rumus tersebut? Apa kegunaan
rumus tersebut dalam kehidupan sehari-hari?.
Berbeda halnya dengan soal PISA yang diawali
dengan permasalahan  sehari-hari, kemudian
dari permasalahan tersebut siswa diminta
untuk berikir dengan bebas menggunakan
berbagai cara untuk menyelesaikannya,
belajar memberikan alasan, belajar membuat
kesimpulan, dan belajar menggeneralisasi
formula atau membuat rumus umum dari
permasalahan yang diberikan.

31

4. Kurang tersedianya soal-soal PISA yang
berbahasa Indonesia. Jika dilakukan pencarian
terhadap soal PISA di internet,  maka banyak
diperoleh soal yang masih berbahasa Inggris.
Untuk menyelesaikan soal-soal tersebut tentunya
dibutuhkan pengetahuan bahasa Inggris.
5. Belum adanya website di Indonesia yang
secara khusus menggunakan PISA online.
PISA online untuk matematika atau yang lebih
dikenal dengan Computer Based Assessment
of Mathematics (CBAM) merupakan penilaian
dengan menggunakan internet, dimana siswa
dapat menjawab langsung soal-soal yang ada
pada website secara online. 

2.4

Kualitas Guru

Statistik pendidikan tahun 2011/2012 menunjukkan
bahwa pada tahun 2011/2012 masih terdapat
844.456 orang guru atau kurang lebih 33,7% dari total
2.504.275 orang guru belum memenuhi kualiikasi
2
pendidikan S1 . Selain itu hasil uji kompetensi
terhadap 878.525 orang guru tahun 2012
menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh
guru adalah 45,82 dalam skala 1 – 100 dari target
3
nilai rata-rata 70 . Angka-angka tersebut menyiratkan
bahwa masih banyak guru yang belum memenuhi
kualiikasi minimal sesuai standar yang ditetapkan dan
sebagian besar guru masih memiliki kompetensi yang
rendah.

2

Ministry of Education and Culture, Indonesia Educational
Statistics In Brief 2011/ 2012, (Jakarta: MOEC, 2012) h. 145

3

Diolah dari Data Hasil Uji Kompetensi Guru Tahun 2012, (Jakarta:
Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2012)

32

Gambar 2.2: Statistik Hasil UKG 2012
4
4

Ministry of Education and Culture, Indonesia Educational
Statistics In Brief 2011/ 2012, (Jakarta: MOEC, 2012) h. 145

33

Angka-angka tersebut menyiratkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan keguruan belum
sepenuhnya dapat menghasilkan guru yang
kompeten.

2.5

Peta Mutu Pendidikan Nasional

Peta mutu pendidikan di dapat dari hasil pemetaan
mutu pendidikan berbasis pada Evaluasi Diri Sekolah.
Pelaksanaan pemetaan mutu pendidikan secara
nasional terakhir dilakukan pada tahun 2013. Pemetaan
mutu ini dilakukan dengan pendekatan sensus dengan
sasaran seluruh sekolah, seluruh guru, seluruh kepala
sekolah, dan sejumlah siswa sebagai sampel. Sasaran
dari pemetaan mutu ini hanya menyangkut 6 standar
yaitu standar kompentensi lulusan, standar isi, standar
proses, standar penilaian, standar PTK, dan standar
pengelolaan. Keenam standar tersebut dianggap
mempunyai kontribusi paling besar terhadap mutu
pendidikan secara keseluruhan.
Hasil dari pemetaan mutu tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sekolah Dasar
Jumlah sekolah yang masuk dalam sistem adalah
sebanyak 145.715 SD, 136.172 kepala sekolah SD,
1.500.491 guru, dan 4.585.271 siswa SD. Data yang
lengkap diisi oleh kepala sekolah, guru maupun siswa
adalah sebanyak 132.568 sekolah. Dari data sekolah
yang lengkap teridentiikasi jumlah kepala sekolah
yang mengisi angket sebanyak 132.862 kepala
sekolah,1.379.464 guru, dan 4.358.251 siswa. Dari
data lengkap ini, teridentiikasi jumlah kepala sekolah
lebih banyak dari jumlah sekolah. Kondisi ini terjadi

34

karena ada beberapa sekolah yang diisi oleh lebih
dari 1 kepala sekolah.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
pembobotan standar dan pembobotan indikator,
diperoleh capaian nilai SNP tingkat Sekolah Dasar
nasional pada tahun 2013 sebesar 5,94 seperti terlihat
pada Tabel 2.6. Capaian tersebut bila digambarkan
dengan diagram jaring laba-laba adalah seperti
terlihat pada Gambar 2.3.

Tabel 2.6: Capaian
nilai SNP Nasional
2013 Tingkat SD

Standar

Nilai

Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

5,05

Standar Isi

5,81

Standar Proses

5,49

Standar Penilaian

6,65

Standar PTK

6,44

Standar Pengelolaan

6,67

SNP

5,94

STANDAR
PENGELOLAAN

10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00

STANDAR
KOMPETENSI LULUSAN

STANDAR ISI

STANDAR
PROSES

STANDAR PTK

Gambar 2.3: Posisi
Capaian SNP
Nasional Tingkat SD

STANDAR PENILAIAN

Dengan mengacu pada diagram kuadran pada
Gambar 2.3 diperoleh komposisi jumlah SD yang

35

masuk ke dalam Level“Menuju SNP 1”, Level“Menuju
SNP 2”, Level“Menuju SNP 3”, Level “SNP”, dan Level
“>SNP”. Pada Gambar 2.4 terlihat bahwa sebagian
besar SD di Indonesia yaitu sebanyak 74.624 SD
atau 56.4 % masih berada pada level “Menuju SNP
1”. Sebanyak 2.547 SD atau 1.9 % berada pada
level“Menuju SNP 2”, sebanyak 37.845 SD atau 28,6
% berada pada level “Menuju SNP 3”, dan hanya
17.354 SD atau 13.2 % yang sudah mencapai level
“SNP” atau level “>SNP”. Hanya 334 SD di seluruh
Indonesia yang sudah berada pada level “< SNP”.
74624

80000
70000
60000
50000

37845

40000
30000

17020

20000
10000

2547

334

0
MENUJU
SNP 1

MENUJU
SNP 2

MENUJU
SNP 3

SNP

DI ATAS
SNP

0,3%
12,9%
MENUJU SNP 1
MENUJU SNP 2
28,6%

56,4%

MENUJU SNP 3
SNP
DI ATAS SNP

1,9%

Capaian nilai SNP pada tingkat SD secara nasional
masih belum memuaskan. Nilai Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yang dicapai adalah 5,05. Dua dari
lima standar penunjangnya menunjukan nilai
kurang dari 6. Nilai yang paling rendah dicapai oleh

36

Gambar 2.4:
Distribusi Jumlah SD
Berdasarkan Level
Capaian SNP Tingkat
Nasional

Standar Proses, yaitu 5,49. Angka ini menunjukkan
bahwa secara umum proses pembelajaran di
sebagian besar SD di Indonesia belum berjalan
dengan baik.
Gambar berikut menunjukkan kondisi proses
pembelajaran di SD di seluruh Indonesia pada
tahun 2013.

Gambar 2.5: Capaian Standar
Proses Per Indikator Per Pertanyaan

b. Sekolah Menengah Pertama
Jumlah data sekolah yang masuk dalam sistem
adalah sebanyak 33.385 SMP, 27.553 kepala
sekolah SMP, 553.237 guru SMP, dan 1.003.830
siswa SMP. Data yang lengkap diisi oleh kepala
sekolah, guru maupun siswa adalah sebanyak
26.009 sekolah. Dari data sekolah yang lengkap
teridentiikasi jumlah kepala sekolah yang

37

mengisi angket sebanyak 26.194 kepala sekolah
dan 483.943 guru serta 890.325 siswa. Dari data
lengkap ini, teridentiikasi jumlah kepala sekolah
lebih banyak dari jumlah sekolah. Kondisi ini terjadi
karena ada beberapa sekolah yang diisi oleh lebih
dari 1 kepala sekolah.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan
menggunakan pembobotan standar dan
pembobotan indikator, diperoleh capaian nilai
SNP tingkat Sekolah Menengah Pertama pada
tahun 2013 seperti terlihat pada Tabel 2.7. Capaian
tersebut bila digambarkan dengan diagram jaring
laba-laba adalah seperti terlihat pada Gambar 2.7.
Standar

Nilai

Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

4,95

Standar Isi

7,21

Standar Proses

5,50

Standar Penilaian

6,76

Standar PTK

6,49

Standar Pengelolaan

6,75

SNP

6,22

STANDAR
PENGELOLAAN

10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00

Tabel 2.7: Capaian
Nilai SNP Nasional
2013 Tingkat SMP

STANDAR
KOMPETENSI LULUSAN

STANDAR ISI

STANDAR
PROSES

STANDAR PTK

STANDAR PENILAIAN

38

Gambar 2.6: Posisi
Capaian SNP
Nasional Tingkat SMP

Dengan mengacu pada diagram kuadran pada
Gambar 2.7 diperoleh komposisi jumlah SMP
yang masuk ke dalam Level “Menuju SNP 1”, Level
“Menuju SNP 2”, Level “Menuju SNP 3”, Level “SNP”,
dan Level “> SNP”. Terlihat bahwa sebagian besar
SMP di Indonesia yaitu sebanyak 13.255 SMP atau
51,3 % masih berada pada level “Menuju SNP 1”.
Sebanyak 220 SMP atau 0,9 % berada pada level
“Menuju SNP 2”, sebanyak 9.800 SMP atau 38,0
% berada pada level “Menuju SNP 3”, dan hanya
2.545 SMP atau 9,8 % yang sudah mencapai level
“SNP” atau level “>SNP”. Dari sini terlihat bahwa
hanya 54 SMP di seluruh Indonesia yang sudah
berada pada level “> SNP”.

13255

14000
12000

9800

10000
8000
6000

2491

4000
2000

220

54

0
MENUJU
SNP 1

MENUJU
SNP 2

MENUJU
SNP 3

SNP

DI ATAS
SNP

0,2%
9,6%
MENUJU SNP 1
MENUJU SNP 2

Gambar 2.7:
Distribusi Jumlah
SMP Berdasarkan
Level Capaian SNP
Tingkat Nasional

38,0%

51,3%

MENUJU SNP 3
SNP
DI ATAS SNP

0,9%

39

Walaupun secara keseluruhan capaian nilai SNP
(6,22) sedikit lebih baik dibandingkan dengan
kondisi pada tingkat SD (5,94), capaian nilai SNP
pada tingkat SMP secara nasional juga masih
belum memuaskan. Capaian nilai SKL SMP lebih
rendah dari capaian nilai SKL SD, yaitu hanya 4,95.
Satu dari lima standar penunjangnya menunjukkan
nilai kurang dari 6, yaitu pada Standar Proses, yang
merupakan paling rendah. Angka ini menunjukkan
bahwa secara umum proses pembelajaran di
sebagian besar SMP di Indonesia belum berjalan
dengan baik.

2.6

Sistem Penjaminan Mutu

Sistem penjaminan mutu belum berjalan di tingkat
satuan pendidikan untuk semua jenjang. Pemetaan
mutu sekolah berdasarkan data evaluasi diri
sekolah yang mencakup semua elemen 8 Standar
Nasional Pendidikan belum dilakukan. Pemetaan
mutu sekolah ini merupakan dasar untuk menyusun
rencana peningkatan mutu sekolah, sebagai dasar
penyusunan rencana peningkatan mutu pengelolaan,
mutu pembelajaran dan mutu sarana prasarana untuk
mencapai mutu hasil belajar sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan.
Penjaminan mutu pendidikan di Indonesia diatur
dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.
63 tahun 2009. Disebutkan dalam peraturan tersebut
bahwa tugas penjaminan mutu pendidikan adalah
oleh satuan pendidikan dimana penyelenggaraan
pendidikan harus mengacu kepada 8 Standar
Nasional Pendidikan. Dalam peraturan tersebut tidak
dijelaskan secara detil bagaimana mekanismenya.

40

a. Sistem Penjaminan Mutu Internal
Berdasarkan survei ke beberapa sekolah dan diskusi
sekolah umumnya memang belum melaksanakan
penjaminan mutu secara utuh. Dalam beberapa
diskusi Kepala Sekolah atau guru juga tidak tahu
standar mutu yang harus mereka capai seperti apa.
Peningkatan mutu dianggap bukan tugas sekolah
namun menjadi tanggung jawab pemerintah.
Perencanaan yang dituangkan dalam Rencana
Kerja Sekolah tidak sepenuhnya merencanakan
peningkatan mutu sekolah untuk memenuhi 8
SNP. Sebagai akibatnya guru akan mengajar sesuai
kemampuannya dengan fasilitas seadanya, bahkan
alat-alat bantu pembelajaran yang mereka miliki
terkadang tidak mereka gunakan.

SEKOLAH

???

Rencana
Perbaikan Mutu

Implementasi
Perbaikan Mutu

???

Gambar 2.8: Sistem
Penjaminan Mutu
Pendidikan

Evaluasi Diri
Sekolah:
Peta Mutu
Eksisting

Peta mutu Pendidikan Di Wilayah
Prov/Kabupaten/Kota*)

???

Belum tentu berdasarkan
Hasil EDS

Audit
Mutu

Rencana Program
Peningkatan Mutu
Pendidikan

Tindakan
Perbaikan

Tidak

Pemerintahan
Kabupaten/Kota

Pemerintah
Provinsi

Pemerintah
Pusat

Comply ?

Iya

Fasilitasi Peningkatan Mutu
Pendidikan**)

Penetapan Standar
Mutu Baru

QA

???

Sekolah favorit umumnya telah mampu melakukan
pengelolaan sekolah dengan baik, namun sebagian
besar sekolah (umumnya bukan sekolah favorit) tidak
tahu bagaimana melakukan pengelolaan sekolah
sesuai standar mutu pengelolaan. Kontrol pada
seluruh kegiatan di sekolah belum dilakukan dengan

41

baik dan kalaupun dilakukan oleh kepala sekolah
umumnya mereka tidak memiliki catatan tentang
kekurangan yang terjadi, misalnya:









apakah guru kelas atau mapel telah melakukan
proses pembelajaran sesuai dengan standar
mutu
apakah praktikum yang djalankan telah sesuai
dengan standar mutu yang seharusnya
apakah metode pembelajaran yang dijalankan
oleh guru dijamin dapat membuat siswa paham,
terampil dan telah membentuk sikap siswa
(berani mengemukakan pendapat, menghargai
pendapat orang lain dsb)
apakah sarana–prasarana yang dimiliki telah
terkelola dengan baik, misalnya apakah kantin
cukup sehat, ruang kelas, ruang guru, dan
fasilitas umum cukup bersih dan nyaman,
sarana sanitasi bersih, taman dan ruang terbuka
hijau terkelola, sampah sudah terkelola dengan
baik dsb
bagaimana perilaku siswa, apakah masih
terjadi perkelahian antar siswa, bullying, tidak
disiplin, kurang hormat atau sopan, tidak bisa
bekerjasama, tidak menghormati hak orang
lain dsb.

Artinya review terhadap mutu pendidikan secara
keseluruhan belum dilakukan oleh sekolah,
dengan kata lain sekolah belum memiliki
peta mutu pendidikan. Sebagai akibatnya
perencanaan tahunan yang dibuat tidak ditujukan
untuk peningkatan mutu, terutama peningkatan
mutu pembelajaran dan pengelolaan sekolah
untuk dapat menghasilkan lulusan yang bermutu.

42

Pengawasan oleh pengawas sekolah belum
sepenuhnya mampu membaca bagaimana mutu
pengelolaan dan proses pembelajaran sekolah.
Demikian juga pendampingan yang dilakukan
oleh pengawas sekolah, belum secara signiikan
bisa meningkatkan mutu sekolah dan dapat
ditunjukkan dengan ukuran yang jelas. Hasil review
oleh pengawas tidak disatukan dengan Evaluasi
Diri Sekolah yang datanya dikelola oleh Pusat
Penjaminan Mutu Pendidikan.
b. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal
Mutu hasil proses pembelajaran secara
nasional diukur dengan Ujian Nasional yang
diselenggarakan di jenjang pendidikan SMP, SMA,
dan SMK termasuk pendidikan kesetaraannya.
Sedangkan untuk jenjang SD dilakukan Ujian Akhir
Berbasis Standar Nasional Pendidikan UABSNP.
Ujian Nasional diselenggarakan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan bekerja sama
dengan Pusat Penilaian Pendidikan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Ujian Nasional
hanya mampu mengukur pengetahuan lulusan
sedangkan keterampilan diukur dengan ujian
sekolah. Sikap dan perilaku siswa dipantau
selama siswa berada di sekolah dan hasilnya
dituangkan dalam rapor siswa.
Hasil Ujian Nasional dapat digunakan sebagai
da sa r pere n can aan pe n in gkat an mu t u
pembelajaran karena bisa mencerminkan
kelemahan pembelajaran oleh guru di sekolah.

43

Namun demikian, sejauh ini analisis dari hasil
nilai UN belum tersosialisasikan ke pihak-pihak
yang membutuhkan (sekolah, dinas pendidikan,
direktorat teknis di tingkat kementerian).

44

3

BAB 3
SISTEM PENJAMINAN MUTU
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

3.1

Konsep Penjaminan Mutu Pendidikan

Penjaminan mutu pendidikan adalah suatu
mekanisme yang sistematis, terintegrasi dan
berkelanjutan untuk memastikan bahwa seluruh
proses pendidikan sesuai dengan standar mutu
dan aturan yang ditetapkan. Penjaminan mutu
(quality assurance) pendidikan merupakan upaya
sistematik untuk memenuhi standar mutu atau
melampauhinya sehingga segenap stakeholder
pendidikan mendapatkan kepuasan. Satuan
pendidikan bermutu, dapat dimaknai sebagai
kapasitas program dan satuan pendidikan
dalam memanfaatkan sebaik mungkin berbagai
sumber daya yang dimiliki untuk menciptakan
proses pembelajaran yang baik, menyenangkan,
dan optimal berikut menghasilkan output dan
outcomes sesuai atau melalui standar yang
ditetapkan. Pencapaian mutu merupakan proses
berkelanjutan dan terus-menerus yang dapat
dicapai dengan hadirnya kesadaran bersama serta
bekerjanya secara optimal para pelaku dalam
program dan satuan pendidikan5.
Dalam konteks pendidikan, penjaminan mutu,
seperti dikatakan Rowley (1995), adalah “all the
policies, systems and process directed towards
5

Lihat, Arcaro. 2007. Manajemen Mutu Pendidikan. Yogyakarta:
... hlm. 8-9; Edward Sallis. Op.cit.. hlm. 20-33; dan Ace Suryadi
dan Dasim Budimansyah. 2009. Paradigma Pembangunan
Pendidikan: Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan
Publik. Bandung: Widya Aksara Press, hlm. 197-202.

47

ensuring the maintenance and enhancement of
the quality of educational provision. For example,
course design, staff development, the collection
and use of feedback from students, staff and
employes” [keseluruhan kebijakan, sistem dan
proses yang diarahkan untuk menjamin terpelihara
dan meningkatnya mutu pendidikan. Sebagai
contoh adalah rancangan kursus, pengembangan
staf, serta pengumpulan dan pemanfaatan umpan
balik dari siswa, staf, dan karyawan). Secara lebih
tegas, Piper (1993), menjelaskan penjaminan mutu
pendidikan sebagai “the total of those mechanism
and procedures adopted to assure a given quality
or the continued improvement of quality, which
embodies the planning, deining, encouraging,
assessing of quality”. [Keseluruhan mekanisme
dan prosedur yang diadopsi untuk menjamin
tersedianya mutu atau berlanjutnya perbaikan
mutu, yang meliputi perencanaan, pendeinisian,
pendorong, dan penilaian mutu]6.
Dalam implementasi penjaminan mutu pendidikan
dapat dirumuskan sebagai keseluruhan aktivitas
dalam berbagai bagian dari sistem untuk
memastikan bahwa mutu produk atau layanan yang
dihasilkan selalu konsisten sesuai dengan yang
direncanakan. Dalam jaminan mutu terkandung
proses penetapan dan pemenuhan standar mutu
pengelolaan pendidikan secara konsisten dan
berkelanjutan, sehingga seluruh stakeholders
memperoleh kepuasan 7 . Contoh lain standar
6

Lihat, A. Hanief Saha Ghafur, dkk. 2011. Arsitektur Organisasi
Penjaminan Mutu Pendidikan Nasional: Sebuah Konstruksi
Untuk Model Aplikasi. (Hasil Kajian, belum dipublikasikan).
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, hlm. 6-7.
7

Lihat, Institut Pertanian Bogor. 2004. Sistem Penjaminan Mutu
Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB, hlm. 1.

48

manajemen mutu akademik diimplementasikan
dengan berpedoman bahwa penyelenggaraan
kegiatan akademik dilakukan secara mandiri,
eisien, efektif, dan akuntabel untuk memenuhi
8
standar permintaan dan kepuasaan stakeholders .
Tujuan akhir dari sistem penjaminan mutu ialah
terwujudnya budaya mutu (quality culture) dalam
dunia pendidikan. Budaya mutu, terutama mutu
akademik, mencitrakan dunia pendidikan sebagai
arena yang memiliki nilai tinggi baik moral maupun
sosial. Suatu dunia yang bergerak dalam proses
pencarian dan penemuan kebenaran yang tiada
henti berikut penciptaan sumberdaya manusia
yang memiliki life skill yang membuatnya mampu
membangun kehidupan yang lebih baik, maju,
dan dinamik. Dengan demikian, dunia pendidikan,
khususnya satuan pendidikan seharusnya tampil
sebagai institusi yang berwibawa dan menjadi
simbol kebenaran sekaligus kemajuan.
Sistem penjaminan mutu terbagi atas dua kategori
yaitu sistem penjaminan mutu internal dan
sistem penjaminan mutu eksternal. Penjaminan
mutu internal