ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA.
ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS
DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Argo Pambudi, Joko Kumoro
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : [email protected], [email protected]
Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : [email protected]
ABSTRACT
This research is motivated by a deep desire of understanding the changes of policy content of the Limit of Retirement Age of civil servants in the Government of the city of Yogyakarta. Substantive analysis of this research focused on the acceptability of the regulation of the Limit Age of Retirement. The purpose of this study is to contribute to the empowerment of the state apparatus through a intensification of existing civil servants, preventing civil servants who are still productive to leave the bureaucratic structure in earlier - which means a waste of state finances - and to propose alternative arrangements of future policy of retirement age for civil servants. The research method used in this study is a Mixed Methods Analysis, which is a combination of both Survey Method with Qualitative Descriptive research methods. Informants and respondents of this study is the structural and functional officials in the city government that is actually involved in the problems associated with the implementation of this regulatory changes. The results of this research showed that most civil servants who was observed received this new rules, but from the perspective of the municipal government organization this policy raises a number of internal problems, especially problems related to fulfilment structural positions pertaining with limited in number of the existing number of civil servants.
Keywords :
(2)
ANALISIS PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS
DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Argo Pambudi, Joko Kumoro
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : [email protected], [email protected]
Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail : [email protected]
RINGKASAN
Penelitian ini dilatar-belakangi keinginan untuk memahami contens kebijakan tentang Batas Usia Pensiun PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam rangka implementasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sasaran analisisnya ditekankan pada akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP PNS. Tujuannya adalah menyusun masukan untuk pemerintah dalam menentukan strategi implentasi peraturan BUP itu di lapangan.
Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian analisis deskriptif kualitatif dengan metode penelitian survai.
Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP itu begitu tinggi, namun gagal menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II
nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut
untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.
Kata kunci :
(3)
LAPORAN AKHIR TAHUN I PENELITIAN HIBAH BERSAING
AKSEPTABILITAS SUBSTANTIF
PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
Dalam rangka Implementasi UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
TIM PENELITI
Drs. Argo Pambudi, M.Si., NIDN : 0024026207 Joko Kumoro, M.Si., NIDN : 0026066009
Dibiayai oleh DIPA
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor DIPA-023.04.1.673453/2015, tanggal 14 November 2014
DIPA revisi 01 tanggal 03 Maret 2015
Skim : Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2015
Nomor : 062/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/II/2015 Tanggal 5 Februari 2015
FAKULTAS ILMU SOSIAL
(4)
(5)
KATA PENGANTAR
Bismilahirohmannirohim. Ucap syukur alhamdlulillah tim peneliti haturkan kepada
Allah SWT atas terselesaikannya penelitian tahun I ini. Kiranya tanpa ijin dari-Nya mustahil penelitian ini bisa selesai dengan baik.
Banyak data empiris, pengalaman dan tambahan pengetahuan yang berhasil kami dapatkan selama berlangsungnya proses penelitian ini. Banyak pihak telah berjasa mendukung keberlangsungan penelitian ini. Kesempurnaan substansi maupun metodologi penelitian ini banyak sekali berasal dari masukan para pihak tersebut, baik yang berupa kritik, saran, komentar maupun masukan-masukan lain yang inspiratif untuk didesiminasikan lebih lanjut. Sekecil apapun masukan tersebut ternyata memiliki manfaat yang besar melalui proses desiminasi dan pengembangan kreatif – yang sebelumnya
unpredictable. Presentasi proposal pertama kali di depan reviewer pada 19 Maret 2015 dan seminar hasil penelitian pada tanggal 7 November 2015 telah memberi banyak masukan terutama berupa penyempurnaan metode penelitian yang dipakai penelitian ini. Pada awalnya metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian kuantitatif (survey) pada tahun I dan direncanakan akan dielaborasi dengan metode penelitian analisis deskriptif kualitatif pada tahun ke II. Namun demikian oleh reviewer diberi masukan bahwa alur penggunaan metode penelitian yang seperti itu bukanlah cara berpikir mix methods analysis pada umumnya. Memang ada diskusi ketika itu, namun akhirnya disimpulkan bahwa metode penelitian yang rencananya dipakai untuk 2 tahun dimampatkan untuk dilaksanakan dalam 1 tahun saja. Sebagai
(6)
konsekwensinya, pada tahun ke II penelitian ini akan menggunakan metode penelitian
content analysis dan meta analysis.
Pengalaman pengumpulan data lapangan, terutama melalui teknik wawancara, juga sangat bermanfaat memperkaya wawasan kedalaman makna yang sesungguhnya dipahami responden/informan. Dari sinilah proses kreatif menemukan sesuatu untuk memperkaya hasil penelitian berlangsung.
Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP yang baru begitu tinggi, namun tidak bisa menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.
Selanjutnya pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini, terutama kepada :
1. Bapak Dr. Mukminan dan Ibu Dr. Mami Hajaroh – reviewer internal UNY – yang telah memberikan kritik, saran dan berbagai masukan pada seminar proposal penelitian ini.
2. Bapak DR. Maman Suryaman, M. Pd dan Bapak DR. Heru Kuswanto, M.Si selaku nara sumber seminar hasil penelitian tahun I ini yang memberikan banyak masukan
(7)
demi penyempurnaan hasil penelitian ini dan penyusunan proposal untuk tahun ke II penelitian ini.
3. Para PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah meluangkan waktu di sela kesibukannya untuk mengisi angket pengumpul data dan aktif memberi masukan dalam focused group discussion (FGD) penelitian ini.
Demikianlah kata pengantar ini. Sekali lagi peneliti sampaikan bahwa penelitian ini masih terbuka bagi banyak semua pihak untuk memberikan kritik, saran, masukan demi kesempurnaan untuk aplikasinya nanti.
Tim Peneliti : Argo Pambudi Joko Kumoro
(8)
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL --- i
HALAMAN PENGESAHAN --- ii
KATA PENGANTAR --- iii
DAFTAR ISI --- vi
RINGKASAN --- viii
BAB I PENDAHULUAN --- 9
A. LATAR BELAKANG --- 9
B. TUJUAN DAN URGENSI PENELITIAN --- 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA --- 13
BAB III METODE PENELITIAN --- 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN --- 34
A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN --- 33
B. KEADAAN KEPEGAWAIAN PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA --- 54
C. AKSEPTABILITAS SUBSTANSIAL PERUBAHAN BUP BERDASAR DATA EMPIRIS --- 55
D. PERSOALAN KUALITATIF DARI KACAMATA PEMERINTAH --- 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN --- 72
A. KESIMPULAN --- 72
B. SARAN --- 74
(9)
LAMPIRAN-LAMPIRAN --- 80 - Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian
- Lampiran 2 : Daftar Pertanyaan dan Panduan Wawancara
- Lampiran 3 : Surat Edaran Kepala BKN NOMOR : K.26-30 lV.7 -3199 Tanggal 17 Januari 2OI4
- Lampiran 4 : UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
(10)
RINGKASAN
Tujuan utama penelitian ini adalah memahami contens kebijakan tentang Batas Usia Pensiun PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam rangka implementasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sasaran analisisnya ditekankan pada akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP PNS. Tujuan selanjutnya adalah menyusun masukan untuk pemerintah dalam menentukan strategi implentasi peraturan BUP itu di lapangan.
Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian analisis deskriptif kualitatif dengan metode penelitian survai.
Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP itu begitu tinggi, namun tidak bisa menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.
Kata kunci :
(11)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Usia pensiun merupakan tahapan penting dalam perjalanan karier setiap PNS di jajaran birokrasi pemerintahan. Dibandingkan tahap-tahap sebelumnya, seperti rekruitmen, pembinaan, promosi jabatan, dan sebagainya, tahap memasuki masa pensiun ini bisa lebih bermakna. Dari sudut pandang kepentingan PNS itu yang bersangkutan, usia pensiun biasanya merupakan “puncak karier”. Sementara itu dari sudut pandang kepentingan negara, saat-saat menjelang pensiun tersebut efektivitas pembinaan PNS dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pembinaannya juga sedang berada pada “posisi puncak”. Artinya, pada saat-saat itu pengalaman, wawasan, kematangan mental, serta banyak aspek lain dari PNS yang bersangkutan sedang mencapai puncaknya dan sangat dibutuhkan oleh negara. Sementara itu pada saat yang sama garis finish sudah tampak di depan matanya. Dalam banyak kasus finish pada usia tertentu itu belum tentu dikehendaki, dan bukan merupakan tujuan utama PNS yang bersangkuta pada saat itu. Kondisi ini kiranya tidak terlalu baik sebagai pemacu prestasi PNS di akhir masa pengabdiannya. Pada kondisi ini sudah pasti konsentrasi PNS yang bersangkutan terpecah yang berakibat kontra-produktif.
Fenomena tersebut di atas sebenarnya bisa sama artinya dengan penyalah-gunaan
(abuse) atau inefficiency pemanfaatan SDM birokrasi. Karena puncak pengalaman, puncak
kematangan jiwa, serta puncak keluasan wawasan PNS menjelang purna tugas itu tidak dimanfaatkan dengan baik untuk negara.
(12)
Usia pensiun yang tidak dikehendaki PNS yang bersangkutan bisa berakibat kontra-produktif bagi pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi pada umumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa PNS yang memasuki usia pensiun dari berbagai aspek masih memenuhi syarat untuk bekerja dengan baik. Hanya karena peraturan pemerintah sajalah yang memaksa mereka tidak melanjutkan pengabdiannya.
Pada 15 Januari 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Di dalamnya antara lain mengatur Batas Usia Pensiun (BUP) Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satu diantaranya yang paling urgent adalah ketentuan Pasal 90 huruf a yang menentukan bahwa “PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun, yaitu 58 tahun bagi Pejabat Administrasi”. Disebut yang paling urgent karena batas usia pensiun 58 tahun tersebut merupakan ketentuan yang paling awal bagi setiap PNS memasuki masa pensiun dalam keadaan normal atau tanpa sebab khusus. Sebab khusus yang dimaksud adalah meninggal dunia, atas permintaan sendiri, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini, dan dinilai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui bagaimana Akseptabilitas Substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Sebagai informasi tambahan, selain batas usia pensiun yang 58 tahun itu, pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 menentukan pula 2 pengecualian yaitu BUP untuk Pejabat Pimpinan Tinggi adalah 60 tahun dan BUP pejabat fungsional ditentukan sesuai dengan ketentuan
(13)
peraturan perundang-undangan (lain) yang berlaku. Oleh karena itu di tingkat implementasi terdapat banyak variasi, diantaranya terlihat pada tabel 1.
Akibat adanya variasi tersebut maka dimungkinkan munculnya
ketidak-harmonisan suasana hati yang dikalangan PNS, yaitu manakala mereka membandingkan
dan menilai ada diskriminasi oleh si perancang dan pembuat kebijakan BUP tersebut. Suasana yang tidak harmonis ini lebih sering bersifat latent daripada terbuka, karena doktrin birokrasi yang mengharuskan PNS taat pada peraturan per-UU-an yang berlaku. Namun demikian dampaknya sudah pasti, yaitu mempengaruhi perilaku produktif PNS secara langsung ataupun tidak langsung. Berdasarkan latar belakang inilah maka ide penelitian ini hendak dikembangkan.
Tabel 1 :
Variasi Batas Usia Pensiun dan Dasar Hukumnya
No. Jabatan BUP Dasar Hukum
1. Dosen Lektor/Lektor Kepala 65 tahun UU No. 14/2005
2. Guru Besar 70 tahun UU No. 12/2012
3. GB Emiritus 70 tahun Permendiknas No. 09/2008
4. Guru 60 tahun UU No. 14/2005
5. Widyaiswara Utama/Utama Madya 65 tahun Keppres No. 63/1986 6. Widyaiswara Utama Pratama/
Madya/Muda
60 tahun Keppres No. 63/1986 7. Auditor Madya dan Utama 60 tahun Perpres no.41/2012 8. Arsiparis Madya dan Utama 60 tahun Perpres No. 42/2012 9. Pemeriksa Madya dan Utama 60 tahun Perpres No. 52/2012 10. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim
Pengadilan Agama
62 tahun UU No. 3/2006 11. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim
Pengadilan Tinggi Agama
65 tahun UU No. 3/2006
12. Jaksa 62 tahun UU No. 16/2004
13. Peneliti Madya dan Utama 65 tahun PP No. 65/2008
14. Dokter 60 tahun PP No. 65/2008
Catatan :
(14)
B. TUJUAN DAN URGENSI PENELITIAN
- Tujuan :
Tujuan utama penelitian ini adalah memahami secara lengkap dan mendalam akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Selanjutanya pemahaman yang mendalam itu dimanfaatkan untuk : (a) Mengantisipasi dan mencegah berubahnya potensi masalah implementasi peraturan BUP menjadi masalah nyata berupa penurunan produktivitas kerja birokrasi pemerintah ; (b) Menyusun bahan asistensi pemerintah dalam menyusun strategi penerapan peraturan BUP di lapangan. Kesemuanya itu dimaksudkan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas dan produktivitas peraturan BUP tersebut.
- Urgensi :
Prediksi berubahnya potensi masalah menjadi masalah nyata di kemudian hari menyulut interpretasi prediktif bahwa peraturan BUP bagi PNS yang tingkat akseptabilitasnya rendah tidak akan mampu memberdayakan fungsi birokrasi secara optimal. Peraturan ini tidak akan berdampak positip pada peningkatan efektivitas, efisiensi serta peningkatan produktivitas kerja pemerintahan di kelak kemudian hari. Dalam batas-batas tertentu pemberlakukan peraturan BUP yang dipaksakan justru bisa kontra-produktif atau menjadi penghambat pelaksanaan fungsi-fungsi birokrasi yang ideal. Dengan penelitian ini kekawatiran prediktif tersebut bisa diantisipasi dan dicegah kehadirannya. Inilah urgensi penelitian ini.
(15)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemerintah di semua negara senantiasa dituntut meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja jajaran birokrasi-nya. Banyak cara telah diadopsi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Banyak bidang telah digarap untuk memenuhi tuntutan birokrasi tersebut, mencakup bidang organisasi, tata-kerja, pengembangan SDM, dan seterusnya termasuk penyempurnaan perangkat aturan untuk menjadi pedomannya. Peraturan Batas Usia Pensiun (BUK) Pegawai Negeri Sipil yang diformalkan dalam beberapa pasal UU No. 5 Tahun 2014 kiranya merupakan salah satu kebijakan yang ditujukan untuk itu. Dalam bab ini akan diuraikan konstruksi penjelasan teoritis yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di muka. Materi yang digunakan diambil dan dikembangkan dari teori birokrasinya Weber, teori kebijakan publik dari Ripley (1985), teori Implementasi Kebijakan publik dari Merilee Grendle (1991), Larson, Van Horn dan Mazmanian & Sabatier (1983).
Pensiun dan Batas Usia Pensiun (BUP)
Selama kurun waktu lama sebelum terbitnya UU ASN usia pensiun PNS di Indonesia berkisar antara 56 sampai dengan 70 tahun, sedangkan di negara barat usia pensiun ada dalam kisaran lebih tinggi dari itu. Pada usia pensiun itu secara psikologi perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir (late adulthood). Orang Indonesia
(16)
pada usia pensiun itu pada umumnya masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka itu masih mempunyai tanggung jawab mengasuh anak-anak yang masih remaja ataupun yang sudah berkeluarga namun masih belum mandiri. Sangat mudah dipahami bahwa pada masa-masa itu sebenarnya masih banyak tantangan bagi PNS untuk memasuki masa pensiun dengan tanpa masalah. Terlebih jika seorang PNS itu masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan menurun.
Terdapat beberapa pengertian terkait dengan konsep pensiun dan batas usia pensiun ini. Secara empiris maupun normatif pensiun memiliki arti yang berbeda-beda, minimal tidak sama persis. Pandangan dari kacamata PNS sebagai individu dan pandangan dari kacamata PNS sebagai pejabat birokrasi saja menghasilkan pemahaman yang berbeda. Secara normatif, jika seorang PNS itu diangkat menjadi pejabat birokrasi, ia dituntut harus "menanggalkan" kepentingan pribadinya demi menjaga independensi untuk memperjuangkan kepentingan umum. Tidak boleh ada konflik kepentingan dalam konteks itu. Sementara itu dalam kenyataan empiris pada umumnya, tidak mungkin seorang PNS itu mampu menanggalkan kepentingan pribadinya secara "tuntas" demi independensi perjuangan kepentingan umum tersebut. Apalagi dalam konteks terkini terdapat perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat yang besar, hingga berakibat meningkatnya kebutuhan pribadi PNS yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah, mampukah keduanya berjalan beriringan melaksanakan ketentuan BUP baru dalam UU No. 5 Tahun 2015
(17)
tersebut ? Secara lebih operasional, mampukah regulasi BUP baru itu meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja organisasi pemerintah ?
Pertama, dari kacamata personal PNS, konsep pensiun ini lazim diartikan sebagai
akhir masa kerja seorang PNS dengan hak pensiunnya. Bila tanpa hak pensiun
pengertiannya tidak disebut dengan istilah pensiun, seperti pengunduran diri, pemberhentian dengan hormat ataupun pemecatan. Pengertian pensiun ini juga bermakna empiris berakhirnya masa pengabdian seseorang dalam status PNS dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan berakhirnya status dan jabatan tersebut maka berakhir pula gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan jabatan yang biasa mereka terima. Dihentikannya gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan itu berarti pula turunnya besaran pendapatan yang selama ini menopang kehidupan mereka. Oleh karena itu, bagi sementara personalia PNS masa pensiun ini bisa merupakan keadaan yang mencemaskan
– bahkan menakutkan.
Sebaliknya, bisa pula masa pensiun ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, menjadi awal "hidup baru" dengan suasana dan lingkungan baru, serta dengan pekerjaan/penghasilan yang "baru" pula.
Sering kali masa pensiun ini digunakan sebagai kesempatan untuk "berpindah" profesi ke bidang lain yang lebih sesuai dengan hobby dan harapan lama yang terpendam, profesi yang lebih "bergengsi" ataupun pekerjaan lain yang secara finansial lebih menjanjikan penghasilan lebih besar, atau secara sosial "lebih terhormat" dan lain sebagainya. Banyak fakta bisa membuktikan statemen teoritis ini. Setelah memasuki masa pensiun, pegawai negeri – baik PNS, TNI maupun Polri – langsung aktif bergabung dengan
(18)
partai politik, mencalonkan diri menjadi Gubernur, menjadi Bupati/Walikota, menjadi anggota DPR, bersedia diangkat menjadi duta besar, menjadi menteri, menjadi anggota dewan komisaris perusahaan, dan lain sebagainya. Jadi artinya masa pensiun ini bukan berarti berakhirnya masa produktif seseorang. Hanya karena faktor harus menaati peraturan per-UU-an saja seorang PNS itu harus pensiun dan meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal.
Kedua, dari kacamata birokrasi pemerintah yang mewakili negara memperjuangkan kepentingan publik, konsep pensiun ini diberi pengertian sebagai pelaksanaan peraturan per-UU-an yang terkait dengan pemberhentian PNS dengan hak
pensiun. Pertimbangan utamanya adalah misi melaksanakan norma per-UU-an itu, bukan
pertimbangan misi birokrasi ingin menyelesaikan masalah publik yang dihadapinya. Jadi ada perbedaan motivasi yang sangat mendasar dan substansial di antara keduanya. Walau demikian, idealnya di antara keduanya harus seiring dan sejalan, saling mendukung serta tidak saling bertentangan. Dengan kata lain pemecahan masalah publik oleh aktor birokrasi harus selalu sesuai dengan peraturan per-UU-an yang berlaku. Penyelesaian masalah publik oleh aktor birokrasi yang bertentangan dengan hukum positif merupakan tindakan yang illegal. Walaupun tindakan itu efektif, efisien dan produktif untuk pemecahan masalah publik di mata semua pemangku kepentingan. Bilamana tindakan itu menimbulkan kerugian negara dan menguntungkan individu birokrasi pelaksananya, maka hal itu lazim disebut dengan istilah korupsi. Singkatnya, pelaksanaan setiap peraturan per-UU-an harus selalu berdampak menyelesaikan masalah yang dituju, dan tidak menimbulkan masalah baru. Ketentuan atau regulasi BUP yang dituangkan dalam UU No.
(19)
5 Tahun 2014 itu merupakan salah satu content kebijakan publik yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah aparatur negara dan tidak memunculkan masalah baru di lingkungannya.
Ketentuan regulatif BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara itu merupakan salah satu content kebijakan publik tingkat negara,
bersifat major dan strategis. Artinya, kebijakan itu mengatur materi berskala nasional, berimplikasi luas pada peningkatan beban rakyat, berimplikasi pada alokasi pos pengeluaran APBN dan penggunaan sumberdaya publik lainnya. Oleh karena itu proses penyusunan UU tersebut – mulai dari artikulasi ide, perumusan, pembahasan, pengambilan keputusan, proses legitimasi hingga ratifikasinya – tidak hanya melibatkan lembaga
executive atau pemerintah saja, namun juga melibatkan lembaga legislative (DPR).
Ketentuan BUP dalam UU ASN ini diatur dalam pasal 87 dan 90. Esensiya berbunyi bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun (Pasal 87 ayat 1 huruf c). Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan :
a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ;
c. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional. Memang disamping alasan telah mencapai batas usia pensiun, masih ada lagi beberapa alasan lain yang dipergunakan, yaitu meninggal dunia, atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini atau dinilai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak
(20)
dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Namun alasan-alasan lain itu kebanyakan bersifat "forcemajor" yang tidak bisa diprediksi oleh PNS yang menjadi kelompok sasarannya.
Ketentuan-ketentuan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang menjadi kelompok sasarannya. Dalam kaitan ini PNS Pejabat Administrasi adalah pihak yang menjadi kelompok sasaran dan sekaligus menjadi kelompok pelaksananya (Pasal 90). Jadi dalam pelaksanaan ketentuan BUP ini rawan terjadi konflik kepentingan antara kepentingan PNS sebagai individu yang tergabung dalam kelompok sasaran dan kepentingan rakyat/negara yang hendak direalisir melalui implementasi peraturan BUP tersebut dan dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi birokrasi.
Banyak kemungkinan bisa terjadi. Posisi kepentingan individu PNS – sebagai kelompok sasaran atau pihak yang diatur – bisa berjalan seiring dengan kepentingan publik/pemerintah/negara – sebagai pihak yang mengaturnya. Namun bisa pula terjadi, kepentingan-kepentingan tersebut tidak sejalan, bahkan bisa bertentangan satu sama lain. Akibatnya, berpotensi memunculkan banyak masalah pada tahap implementasi selanjutnya. Bentuk masalah implementasi dan tingkat kesulitan pemecahannya sangat bergantung pada kesesuaian maksud, tujuan dan kemampuan kebijakan itu mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut secara berkeadilan.
Kesesuaian (suitable) antara kepentingan individu dengan kepentingan publik/pemerintah/negara yang terkandung dalam kebijakan tersebut mutlak diperlukan demi tercapainya efektivitas maksimal implementasi kebijakan tersebut. Kesesuaian itu tercermin dalam tingkat akseptabilitas substansial (acceptability) atau penerimaan individu
(21)
kelompok sasaran terhadap materi regulasi dalam kebijakan tersebut (able to be agreed on,
able to be tolerated or allowed). Bilamana tidak tercapai kesesuaian antara policy statute
dengan kepentingan, keinginan dan harapan individu PNS kelompok sasaran maka tingkat akseptabilitas mereka akan menurun. Sebaliknya sikap resistensi mereka akan meningkat.
Akseptabilitas Substantif UU dalam Kontek Birokrasi
Nilai kepatuhan pada peraturan per-UU-an (compliant) dan nilai herarkhis dalam organisasi birokrasi ideal ala Weber sangat dijunjung tinggi. Misi mengimplementasikan peraturan per-UU-an dan misi menjalankan perintah atasan adalah sumber legitimasi aktivitas birokrasi yang lebih utama daripada misi memecahkan masalah publik yang dihadapi di lapangan. Oleh karena itu perubahan peraturan yang mengintervensi kepentingan aparatur birokrasi itu – seperti halnya perubahan BUP ini – sensitif untuk dibicarakan. Artikulasi dan aktualisasi beda pendapat/ketidak-setujuan – apalagi penolakan – pada sebuah peraturan per-UU-an baru kebayakan bersifat internal saja, tertutup dan tidak muncul di permukaan (latent). Nyaris tidak pernah terdengar berita ada PNS mengajukan gugatan ke PTUN ataupun judicial review terhadap peraturan per-UU-an, meskipun UU tersebut kurang menguntungkan dirinya. Walaupun tidak menguntungkan, peraturan itu tetap dilaksanakan pada setiap jenjang hierarki organisasi birokrasi. Singkat kata, sesuai model birokrasi ideal ala Weber, aparatur pada setiap jenjang organisasi birokrasi itu tugasnya "hanya" menjalankan peraturan atau ketetapan yang sudah dibuat oleh lembaga legislatif (regeling) dan ketetapan yang sudah dibuat oleh pejabat birokrasi atasannya (beslissing). Artinya pula, tidak ada kreativitas yang dibolehkan
(22)
"menabrak" aturan dan perintah atasan yang sudah ditetapkan secara formal tersebut, walaupun secara nyata kreativitas itu bisa lebih mampu memecahkan masalah publik di lapangan.
Bagaimana kalau kreativitas itu datang dari pucuk struktur hierarki organisasi birokrasi ? Berbicara masalah kreativitas birokrat dalam sistem hierarki birokrasi, khususnya birokrat tingkat atas yang memiliki kewenangan luas, maka netralisasi birokrat tersebut diuji. Dia harus mendasarkan diri pada peraturan perundang-UU-an dan tetap netral di atas semua kepentingan subjektif individu dan kelompok yang ada. Namun demikian birokrasi memiliki kewenangan melakukan discretion, yaitu keleluasaan membuat kebijakan manakala menemui kasus persoalan publik yang tidak/belum ada aturan penyelesaiannya. Melalui celah inilah kreativitas birokrasi mendapat tempat. Selanjutnya aparatur birokrasi tingkat bawahan wajib melaksanakan keputusan diskresi tersebut secara hierarki.
Persoalan baru muncul manakala ada kepentingan lain, selain kepentingan publik, yang mengganggu netralitas birokrasi tersebut, seperti tekanan dari partai politik, masukan dari kelompok kepentingan dan kelompok penekan, dan kepentingan pribadi aparat birokrasi itu sendiri dan lain sebagainya. Kreativitas birokrat akan mengarah pada optimalisasi kepentingan siapa yang lebih berkuasa atau kelompok atau personal yang dominan mempengaruhinya. Dalam konteks penelitian ini, kepentingan individu PNS yang terkena dampak perubahan BUP itu, yaitu Pejabat Administrasi, yang patut diduga bisa menjadi faktor yang memperlancar atau menghambat implementasi BUP baru tersebut, tergantung pada tingkat akseptabilitas substansialnya.
(23)
Struktur penjelasan pelaksanaan peraturan per-UU-an dalam kontek organisasi birokrasi di atas menghasilkan proposisi sebagai berikut :
Akseptabilitas formal peraturan per-UU-an itu relatif mudah terjaga, sedangkan akseptabilitas substansialnya lebih sulit didapatkan, karena merupakan respon individual, bagian inhern dari kebebasan bersikap setiap individu birokrat. Oleh karena itu akseptabilitas substansial ini bisa sangat bervariasi, tergantung pada seberapa besar kemampuan peraturan per-UU-an itu mengakomodasi kepentingan individu-individu tersebut. Jadi artinya, substansi norma regulatif peraturan per-UU-an itu bisa diterima dan bisa pula ditolaknya. Idealnya, tingkat akseptabilitas formal dan substansialnya itu sama-sama tinggi. Bila hal ini terwujud maka pada tahap implementasi berikutnya akan mendapatkan dukungan maksimal dari semua individu yang menerima. Artinya tidak akan muncul masalah yang terkait dengan variabel ini. Kondisi seperti ini sangat ideal dan menjadi harapan semua pihak. Namun sebaliknya, apabila akseptabilitasnya substansialnya rendah, maka akseptabilitas formalnya akan cenderung bersifat formalitas belaka. Pada kondisi seperti ini tingkat kepatuhan cenderung bersifat "semu", perilaku pelaksananya cenderung bersifat mekanistis atau prosedural belaka. Para pelaksana hanya sekadar menjalankan peraturan saja, tidak peduli apakah pelaksanaan aturan itu efektif, efisien, berkeadilan dan produktif bagi pemecahan masalah publik yang dituju oleh peraturan per-UU-an itu atau tidak. Improvisasi nilai dan norma perilaku akan beku dan seolah-olah mati. Norma yang sifatnya soft tidak tertulis – yang sifatnya memang tidak bisa ditulis secara definitif – seperti nilai kewajaran, nilai etika, konvensi, karakteristik khusus kasus
(24)
persoalan publik yang dihadapi, nilai-nilai kearifan lokal dan lain sebagainya tidak digunakan sebagai pertimbangan dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi.
Keadaan bisa menjadi lebih parah lagi manakala di tubuh birokrasi itu sendiri – yang seharusnya netral kepentingan – terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan lain
yang disusupkan oleh pihak tertentu, seperti partai politik, kelompok kepentingan (interest
group), kelompok penekan (pressure group), ataupun individu aparatur birokrasi itu
sendiri. Dengan kontaminasi itu, birokrasi akan tidak efektif mengakomodasi kepentingan umum dan berubah menjadi alat kekuasaan, alat politik dan/atau alat bagi individu birokrat yang berpengaruh untuk memperjuangkan kepentingannya.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik makna bahwa kebijakan publik yang mengandung perdebatan pendapat (debatable), mengandung perbedaan kepentingan
(conflict of interest) dan tidak mampu mengakomodasi dan menyatukan banyak
kepentingan yang terlibat maka tingkat acceptability-nya akan rendah pula – minimal tidak diterima sepenuhnya oleh pejabat birokrasi (pelaksana) dan oleh kelompok sasarannya. Oleh karena itu efektivitas implementasinya bisa diprediksi tidak akan maksimal. Maksud, tujuan dan bahkan semangat kebijakan yang diimplementasikan tidak akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan para pembuatnya.
Dari aspek proses implementasinya, substansi kebijakan yang masih dalam perdebatan – terbuka maupun latent – itu akan dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati. Dalam kondisi seperti ini tidak akan tumbuh semangat memecahkan realitas masalah publik sasaran kebijakan tersebut secara lebih efektif dan lebih efisien. Kegiatan pelaksanaan cenderung minimalis, "mengalir" hanya sekedar melaksanakan aturan tertulis
(25)
sebagai tugas normatif birokrat saja. Proses ini bisa menjadi indikator yang menunjukkan produktivitas aparatur birokrasi itu stagnant, tidak meningkat, dan bahkan bisa menurun.
Harmoni Kepentingan sebagai Faktor Determinan Akseptabilitas Substantif UU
Berdasarkan logika deduktif hubungan sebab-akibat yang terurai di atas, dapat ditarik kesimpulan tentatif bahwa rendahnya akseptabilitas substansial contents UU itu ditentukan oleh banyaknya kepentingan yang tidak harmonis dan tidak terakomodasi oleh kebijakan itu sendiri. Semakin banyak kepentingan yang tidak terakomodasi maka semakin besar kemungkinan ketidak-harmonis hubungan terjadi, yaitu antara UU itu dengan kelompok kepentingan yang menjadi sasarannya. Dengan demikian dukungan terhadap implementasi kebijakan tersebut cenderung menurun. Sejalan dengan itu semakin besar kemungkinan munculnya perdebatan mempersoalkan efektivitas pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan itu, bagaimana kemampuan UU itu memecahkan masalah yang disasar, bagaimana UU itu menciptakan rasa keadilan, menumbuhkan semangat kebersamaan dan menumbuhkan semangat kerja PNS, dan lain sebagainya. Dalam kondisi
given yang harus segera dilaksanakan, yaitu ketika RUU sudah disetujui DPR dan sudah
disahkan oleh presiden, maka akan berakibat munculnya masalah derivatif yang berupa sikap yang tidak mendukung dan banyaknya perilaku "terpaksa" dalam menjalankan tugas demi ketaatan pada peraturan perundang-UU-an dan perintah atasan khas birokrasi. Demikianlah maka sudah barang tentu semangat dan produktivitas aparatur birokrasi menjadi stagnant, tidak meningkat, dan bahkan menurun walau tidak melanggar UU.
(26)
Perbedaan Interpretasi karena Perbedaan Kepentingan
Keadaan yang lebih parah bisa terjadi bilamana perbedaan kepentingan itu berlanjut hingga menyulut perbedaan interpretasi di kalangan mereka yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Statemen ini merupakan generalisasi bebas dari pendapat Charles O. John yang mengatakan bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri (John : 1984). Dalam konteks kebijakan publik yang sudah given, sebagaimana pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 ini, bias kepentingan akan terjadi pada pembuatan kebijakan di tahap implementasinya yang sarat dengan interpretasi substansi kebijakan awal tersebut.
Kepentingan adalah fungsi dari sikap, dan selanjutnya sikap tersebut tercermin dalam tindakan yang dilakukan oleh setiap orang atau lembaga. Jadi sikap dan tindakan mereka yang terlibat bisa menjadi faktor pendukung dan bisa juga justru menjadi faktor penghambat proses implementasi. Tergantung pada kepentingan apa yang terkait dengan substansi UU itu. Bilamana dipandang "merugikan", penjabaran pasal-pasal dalam UU itu akan cenderung bias – lebih tepatnya dibiaskan – ke arah optimalisasi kepentingan subjektif pelaksananya. Jadi ada kemungkinan tidak sesuai dengan maksud, tujuan dan semangat si pembuat UU yang sudah given tersebut. Statemen bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri. Akan terjadi kapan saja dan dimana saja. Tidak mungkin kebijakan yang dibuat itu nantinya justru merugikan kepentingan aktor pembuatnya sendiri, kecuali ada tekanan atau kontrol dari pihak lain yang lebih berkuasa.
(27)
Terkait dengan pelaksanaan regulasi BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 – sebagai salah satu bentuk kebijakan publik – rumusan materi UU itu akan diinterpretasikan dan dijabarkan sesuai dengan kepentingan subjektif setiap implementornya, sementara itu kepentingan publik yang seharusnya lebih dikedepankan justru terabaikan. Namun, karena
keterbatasan kodifikasi hukum positif, maka batasan interpretasi yang subjektif ini sering
kabur. Antara tindakan memperjuangkan kepentingannya dengan patuh pada aturan hukum sering sulit dibedakan dan bersifat "abu-abu". Dalam konteks ini pemahaman hanya dengan pendekatan hukum formal saja sering menemui kegagalan. Hanya logika, etika dan moral yang dipahami masyarakat saja yang mampu membedakannya, namun hal ini sering tidak diakomodasi secara hukum. Sebaliknya, kepentingan pribadi birokrat dan kepentingan lain yang merasa dirugikan justru dimasukan melalui berbagai celah kelemahan hukum positif tersebut. Bentuk akomodasi dari kepentingan ini bisa dimasukkan dalam peraturan per-UU-an lain yang secara yuridis tidak melanggar isi kebijakan yang sudah given tersebut. Misalnya dituangkan dalam UU yang lain, RUU perubahan yang diusulkan, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, dan peraturan pelaksana lainnya. Berhadapan dengan kepentingan partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam masyarakat dalam konteks ini, netralitas birokrasi menghadapi ujian berat. Terkadang birokrasi sebagai lembaga, dan/ataupun sebagai individu, susah sekali untuk bertindak netral karena desakan kepentingan-kepentingan itu.
Meminjam teori perilaku dan partisipasi politik, dimana perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Surbakti, 1992), maka institusi birokrasi, yang sebagian besarnya isinya
(28)
adalah para PNS, bisa dikatakan sebagai salah satu aktor dalam proses pembuatan kebijakan politik tersebut. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan kebijakan politik tersebut adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dirancang dan disusun dalam forum legislasi, disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden (aktor politik). Sedangkan kelompok sasaran UU itu adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai institusi pelaksana UU dan hampir semua keputusan politik pada umumnya. Demikianlah maka birokrasi pemerintah dimana saja memiliki peran sentral dalam melaksanakan peraturan per-UU-an semacam ini. Di sisi lain, peluang melakukan interpretasi “lain” atau
“berbeda” dengan maksud, tujuan dan semangat si pembauat UU itu – karena kepentingan yang berbeda – sangat mudah dilakukan. Hal ini sangat rawan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengakomodasi kepentingan lain yang selama kurun waktu sebelumnya merasa terpinggirkan.
- Faktor-faktor yang Memepengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik
Terdapat banyak faktor atau variabel yang bisa mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik semacam peraturan BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 ini – lihat Gambar 1 di bawah ini dan beberapa tabel berikutnya. Menurut Grindle (1980) efektivitas atau keberhasilan setiap kebijakan publik itu ditentukan oleh 2 kelompok variabel, yaitu variabel-variabel yang tergabung di dalam kelompok policy content dan kelompok policy
(29)
Gambar 1 :
Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik
Sumber : Grindle (1980)
Selanjutnya variabel policy content itu bisa dijabarkan lebih lanjut ke dalam variabel-variabel yang lebih kongkrit, yaitu ketidak-jelasan konsep yang dipakai dalam pasal-pasal kebijakan tersebut
(vague), tujuan yang tidak realistis, kontradiksi antara policy studs (kebijakan awal) dan target (objectives), Presisi dan kejelasan sasaran, dan Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang
dipakai. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel rangkuman teori berikut ini Variabel Kebijakan
(Policy content) :
- Materi Kebijakan
- Variabel
Implementasi Kebijakan
Variabel Lingkungan Kebijakan (Policy context)
Keberhasilan Kebijakan Publik Merealisir Tujuannya
Peraturan Batas Usia Pensiun PNS
(30)
Tabel 2 :
Variabel Kebijakan
Tabel 3 :
Variabel Lingkungan (context) Implementasi
Larson Edward Mazmanian & Sabatier
Perubahan lingkungan ekonomi Komunikasi 1. Transisi 2. Kejelasan 3. Konsistensi
1. Variasi hukum
2. Perhatian media massa 3. Dukungan publik
4. Jumlah dukungan dan sumber daya 5. Dukungan “penguasa”
Sumber : Mazmanian & Sabatier (1983 : 22), dengan adaptasi penyajian
Materi teori kebijakan tersebut di atas kiranya bisa untuk menjelaskan tingkat akseptabilitas kebijakan pembatasan usia pensiun di kalangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi obyek penelitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini nanti teori tersebut akan dikembangkan sedemikian rupa menjadi instrumen pengumpulan data untuk mengetahui tingkatan dan format akseptabilitas peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan dijawab juga pertanyaan apakah penerimaan – atau penolakan – peraturan batas usia pensiun itu disebabkan oleh policy
content yang kurang pas.
Larson Van Horn Mazmanian & Sabatier
1. Ketidak-jelasan
(Vague) 2. Tujuan yang
tidak realistis
1. Clarity
2. Kontradiksi antara policy studs (kebijakan awal) dan target (objectives)
3. Spesifikasi prosedur
1. Presisi dan kejelasan sasaran
2. Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang dipakai
(31)
BAB III
METODE PENELITIAN
a. Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahapan selama 2 tahun – selengkapnya lihat Bagan
Alir Penelitian. Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian kuantitatif sederhana (survai) dengan metode penelitian analisis deskriptif kualitatif. Tahap I atau tahun pertama penelitian ini menggunakan metode survai sebagai instrumen utama penelitian. Data kuantitatif merupakan sasaran utama yang akan dianalisis. Oleh karena itu kuesioner tertutup digunakan sebagai instrumen utama pengumpulan data. Data kuantitatif yang terkumpul dianalisis dengan metode analisis statistik deskriptif untuk kemudian diinterpretasikan dan disimpulkan hasilnya. Untuk aspek-aspek yang tidak mampu dijelaskan dengan instrumen survai ini, ditindak-lanjuti dengan penjelasan menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif. Di samping itu, penjelasan menggunakan metode deskriptif kualitatif ditujukan untuk memperdalam pemahaman dan melengkapi aspek-aspek pemahaman yang tidak mampu dijangkau metode penelitian survai. Karena pada dasarnya berlaku asumsi bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan ini bisa dijelaskan dengan metode kuantitatif secara memuaskan.
Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap para pejabat struktural dan fungsional di lingkungan Pemerintah Kota yang benar-benar mengalami persoalan terkait dengan implementasi peraturan perubahan batas usia
(32)
pensiun ini. Di samping itu metode wawancara juga digunakan sebagai sarana cross check dengan data lain yang validitasnya perlu diperkuat lagi.
Gambar 2 :
Bagan Alir Penelitian
Tabel 4 :
Tahap-tahap Penelitian
Tahun I– Tahap I Output/Luaran/Indikator tercapainya tujuan 1. Problem structuring yang meliputi latar
belakang, identifikasi masalah, kebutuhan, serta eksplorasi potensi yang berkaitan dengan penerapan Peraturan BUP di lingkungan pemerintahan daerah, khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.
1. Tersusunnya proposal penelitian yang terdiri dari :
a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d. Tinjauan Pustaka e. Metode Penelitian Problem structuring
Output :
•Tersusunnya Proposal dan Penyempurnannya. Meliputi : (1) Latar Belakang Masalah ; (2) Rumusan Masalah ; (3) Tujuan Penelitian ; (4) Tinjauan Pustaka ; (5) Metode Penelitian
Penelitian survai
tentang organisasi pemerintah daerah sertarelevansinya dengan ketentuan BUP PNS
Output :
•Tersusunya laporan studi tentang kesesuaian antara tugas pokok, fungsi, struktur dantata-kerja organisasi pemerintah daerah dengan peraturan BUP
•Tersusunnya Pengembangan Instrumen Penelitian •Tersusunnya laporan
penelitian Tahun I : Survai tentang akseptabilitas substansial peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta
Telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I untuk penelitian lanjutan
Output :
•Penentuan informan dan sasaran wawancara kelanjutan dari hasil penelitian survai pada tahun I
•Wawancara mendalam terstruktur
•Wawancara bebas •FGD
•Tersusunnya laporan telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I
Penelitian Analisis Deskriptif Kualitatif
dan Pengintegrasian dengan hasil Penelitian Tahun I
Output :
Tersusunnya laporan komprehensif penelitian Analisis Deskriptif Kualitatif tentang Akseptabilitas Subtantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNSdi Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta
(33)
2. Penelitian analisis deskriptif kualitatif atas kontek atau lingkungan dimana kebijakan BUP PNS itu diimplementasikan
3. Penelitian survai tentang tugas pokok, fungsi, struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah serta relevansinya dengan ketentuan BUP PNS
4. Penelitian survai tentang akseptabilitas (resistensi, penolakan dan/atau
penerimaan) substansi peraturan BUP yang terbaru
2. Tersusunnya laporan tentang lingkungan dimana kebijakan BUP PNS itu
diimplementasikan
3. Tersusunya laporan studi tentang kesesuaian antara tugas pokok, fungsi,
struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah dengan peraturan BUP.
4. Tersusunnya pengembangan Instrumen Penelitian pemahaman akseptabilitas peraturan BUP yang valid dan komprehensif.
5. Tersusunnya laporan penelitian survai tentang akseptabilitas substansial peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta
Tahun II– Tahap II Output/Luaran/Indikator tercapainya tujuan 1. Telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I
untuk penelitian lanjutan
2. Penguatan validitas isi hasil penelitian tahun I
3. Penentuan informan dan sasaran
wawancara dalam penelitian pada tahun II 4. Wawancara mendalam terstruktur
5. Wawancara bebas 6. FGD
7. Penyusunan rencana strategis implementasi UU No. 5 Tahun 2014, khususnya hal-hal yang terkait dengan implementasi norma BUP untuk PNS.
1. Tersusunnya laporan telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I
2. Tersusunnya instrumen penelitian untuk tahun II
3. Tersusunnya laporan komprehensif penelitian Analisis Akseptabilitas Subtantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.
4. Tersusunnya naskah akademik tentang rencana strategis implementasi
peraturan BUP untuk PNS yang
ditujukan kepada Pemerintah pusat, c.q. Kementerian Pendayagunaan
Aparaturnya Negara RI.
5. Artikel dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi atau jurnal ilmiah nasional tidak terakreditasi namun diterbitkan
(34)
terhadap pembinaan aparaturnya negara, seperti : Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Kementerian Dalam Negeri, dan lain sebagainya.
b. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh PNS di lingkungan organisasi pemerintah Kota Yogyakarta. Sampel yang diambil adalah PNS yang berusia 50 tahun atau lebih. Usia 50 tahun atau lebih dalam penelitian ini diasumsikan berada dalam proses memasuki usia pensiun. Jumlah satuan elementernya ditentukan pada saat penelitian ini sudah memasuki tahap pencarian data.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel ditentukan secara Propotionate Stratified
Random Sampling. Cara ini dilakukan karena kondisi satuan elementer dalam populasi
tersebar di banyak unit organisasi dengan lokasi geografis yang tidak beraturan pula. Ada yang berada di Balai Kota sebagai kantor pusat dan ada pula yang berada di Kantor Dinas, di Kecamatan dan di Kelurahan. Oleh karena itu pengambilan sampel di kantor pusat saja, atau di Kecamatan saja kurang representatif. Maka dari itu pengambilan sampel dengan cara Propotionate Stratified Random Sampling adalah yang paling tepat.
Mengenai satuan elementer sampel yang selanjutnya di jadikan responden adalah sebagai berikut :
(35)
Tabel 5 :
Satuan Elementer Sampel Penelitian
No. Unit Jumlah Responden
1. Balai Kota 20
2. Kecamatan Danurejan 10
3. Kecamatan Gedongtengen 10
4. Kecamatan Gondokusuman 10
5. Kecamatan Gondomanan 10
6. Kecamatan Jetis 10
7. Kecamatan Kotagede 10
8. Kecamatan Kraton 10
9. Kecamatan Mantrijeron 10
10. Kecamatan Mergangsan 10
11. Kecamatan Ngampilan 10
12. Kecamatan Pakualaman 10
13. Kecamatan Tegalrejo 10
14. Kecamatan Umbulharjo 10
15. Kecamatan Wirobrajan 10
Jumlah 160
Catatan :
Jumlah responden keseluruhan yang hanya 160 orang ini dipandang telah representatif karena hanya digunakan untuk melihat karakteristik populasi saja.
(36)
c. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik menyebar daftar pertanyaan (kuesioner) kepada responden sampel yang sudah dijelaskan pada bagian Sampel dan Populasi di atas. Selanjutnya, untuk data yang tidak mungkin dikumpulkan melalui daftar pertanyaan pengumpulannya dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara lapangan secara langsung dengan informan, serta telaah dokumen-dokumen yang tersedia. Ketiga-tiganya kemudian dipadukan sebagai sarana crosscheck validitas data yang terkumpul.
Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat kualitatif, misalnya data berupa deskripsi tentang berbagai bentuk persoalan terkait dengan BUP ini digunakan teknik wawancara mendalam. Informan yang dijadikan nara sumber adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta dan beberapa personalia PNS yang terlibat langsung dalam persoalan terkait dengan BUP ini.
d. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2. Pada penelitian tahap I analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif. Selanjutnya pada tahap ke 2 dilakukan analisis deskriptif kualitatif sebagai kelanjutannya. Teknik analisis deskriptif kualitatif ini meliputi content analysis dan fenomenologi sebagai kelanjutan hasil analisis data survai sebelumnya.
(37)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini mengkaji akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP (Batas Usia Pensiun) bagi PNS Pejabat Administrasi. Tujuannya adalah memberi masukan pada usaha intensifikasi pemberdayaan aparatur negara. Secara lebih khusus mencegah PNS yang masih produktif – dan masih ingin dan sanggup bekerja – meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal. Asumsi yang digunakan adalah bahwa akseptabilitas substantif atas peraturan itu adalah fungsi dari perilaku produktif mereka. Jadi dengan memahami karakteristik akseptabilitas substantif mereka dapat diketahui kepatutan mereka
(appropriateness, convenances, consideration) untuk bisa tetap dipertahankan dalam
struktur birokrasi atau harus diberhentikan. Keputusan untuk tetap mempekerjakan, atau memberhentikan PNS dengan pertimbangan BUP yang acceptable, selalu berdampak pada peningkatan kapasitas profesional PNS yang bersangkutan. Ujungnya akan meningkatkan kontribusi mereka terhadap peningkatan produktivitas pemerintah. Apabila PNS yang masih produktif dan masih sanggup bekerja itu harus meninggalkan struktur birokrasi secara lebih cepat hanya karena kewajibannya menaati peraturan BUP sebagai standar tunggal adalah pemborosan sumber daya manusia PNS, yang berarti pula pemborosan keuangan negara.
Hasil penelitian ini menunjukkan temuan bahwa akseptabilitas substantif BUP PNS di lokasi penelitian terlihat tinggi, namun berada dalam kontek yang tidak kondusif untuk
(38)
pengembangan profesionalitas PNS di lokasi penelitian. Selengkapnya tergambar dalam gambar 3 berikut ini.
Gambar 3 :
Aksestabilitas Substantif BUP yang Tinggi Berada dalam Lingkungan yang Kurang Kondusif. Tidak bisa menjadi Momentum Peningkatan Profesionalitas PNS
Gambar 3 di atas merupakan abstraksi dari fakta temuan penelitian ini. Berikut ini fakta empiris yang mendukung temuan penelitian tersebut.
A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014
Kajian teori dengan logika deduktif atas berbagai aspek kebijakan BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 yang dipadukan dengan analisis data lapangan menghasilkan beberapa temuan penelitian sebagai berikut :
Rangkuman Fakta Lingkungan :
a. Konsep Norma BUP yang terlampau definitif.
b. Posisi UU-ASN tidak jelas. Apakah sebagai UU Pokok atau sebagai pelengkap ?
c. Sistem Regulasi ASN kurang mendukung. BUP dijadikan standar tunggal, tidak ada opsi lain
d. Overlapping UU. Ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP PNS
e. UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu substansi masalah sebelumnya masih langgeng.
(Fakta) Tinggi
(39)
1. Abstraksi Konsep yang Terlampau Definitif : Mengandung Potensi Masalah
Ketentuan BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara merupakan kebijakan publik level negara. Proses penjaringan aspirasi,
penyusunan agenda pembahasan hingga ratifikasi kebijakan itu idealnya tidak hanya melibatkan lembaga executive (pemerintah) saja, tetapi juga melibatkan DPR sebagai lembaga legislative yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan regulasi ini bersifat general karena berlaku untuk seluruh wilayah hukum Republik Indonesia – kecuali ditentukan lain secara khusus. Kebijakan ini lebih banyak menuntut format regulasi yang bersifat mayor, konsepsual dan strategis di tingkat nasional, daripada format teknis operasional khusus yang langsung bisa diterapkan di lapangan (Dunn, 1981). Oleh karena itu konsep-konsep yang dipergunakan seharusnya adalah konsep dengan tingkat abstraksi yang tinggi dan general. Namun demikian tetap tidak boleh mengandung kemungkinan multi-tafsir yang tidak sejalan – apalagi berlawanan – dengan filosofi, semangat dan tujuan regulasi itu sendiri. Fakta temuan penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumusan regulasi BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 ini terlalu teknis dan menggunakan konsep dengan tingkat abstraksi yang terlalu kongkrit dan operasional. Hal ini terlihat dalam pasal 90 UU tersebut. Dalam pasal itu BUP diatur dengan menyebut angka BUP secara definitif, yaitu : (a) 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat
Administrasi ; (b) 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ; dan (c) sesuai
dengan ketentuan peraturan per-UU-an bagi Pejabat Fungsional. Pengaturan yang definitif bagi Pejabat Administrasi dan Pejabat Pimpinan Tinggi dalam UU ini secara
(40)
teoritis tidak tepat, karena menutup peluang diskresi untuk penyelesaian persoalan khusus yang unik dan kasus-kasus lain yang sebelumnya tidak diperkirakan kemunculannya
(unpredictable). Oleh karena itu pasal ini berpotensi memunculkan masalah implementasi
di lapangan yang mendorong munculnya pelanggaran substansi pasal 90 itu sendiri. Pada sisi lain, pengaturan BUP untuk PNS Pejabat Fungsional sudah lebih baik. Tuntutan teoritis sifat general, konsepsual dan strategis di tingkat nasional itu telah
ter-cover pasal 90 huruf c. Pada tahap implementasinya nanti bisa dibuat peraturan
pelaksanaan yang lebih operasional dan diskresi – bilamana diperlukan – untuk menghadapi persoalan-persoalan khusus yang unpredictable. Jadi kemungkinan munculnya masalah pada tahap implementasi di kemudian hari menjadi lebih kecil.
Pengaturan menggunakan batasan konsep yang ketat dan operasional membuat ketentuan itu bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu terbitnya peraturan pelaksananya. Namun demikian format aturan BUP yang seperti itu memberikan ruang gerak yang lebih terbatas bagi para pelaksananya ketika mereka harus membuat keputusan
yang “berbeda” dengan definisi ketat aturan UU itu. Tidak ada lagi variasi aturan pelaksanaan yang bisa ditemui. Tidak ada lagi "tawar-menawar" dan kompromi di tahap implementasi – walau mungkin ada pertimbangan lain yang lebih urgent. Di satu sisi ketentuan hukum yang ketat ini lebih baik karena menciptakan kepastian hukum yang seragam dan mudah dilaksanakan, namun di sisi lainnya sistem regulasi menjadi tidak
flexible dan mandul ketika menghadapi kasus unik atau khas, di luar prediksi para pembuat
kebijakan publik itu. Fakta empiris persoalan yang berkembang di lapangan itu bisa tidak seragam, bisa memiliki ke-khas-an masing-masing. Menghadapi keanekaragaman
(41)
persoalan lapangan yang seperti ini, pola pengaturan yang detail akan tidak berdaya dan bahkan kontra-produktif, dan bisa jadi memunculkan masalah baru. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan bagi pejabat pelaksananya di lapangan untuk kreatif mengambil keputusan khusus (discretion) bilamana harus mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Rumusan definitif yang terlampau ketat tentang BUP bisa ditemukan dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014.
Bila dibandingkan dengan UU yang digantikannya, yaitu UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian – dan perubahannya berdasarkan UU Nomor 43 Tahun
1999 – pengaturan BUP dalam UU ini jauh lebih longgar. Keterangan selengkapnya
sebagai berikut :
Batas Usia Pensiun (BUP) substansi UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak diaturnya secara rinci, namun hanya secara umum saja. Norma umum yang relevan dengan BUP itu hanya ada pada pasal 23 ayat (1) huruf b dan pasal 36 saja. Bagian pasal 23 yang terkait dengan BUP ini berbunyi :
1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. Permintaan sendiri ;
b. Telah mencapai usia pensiun ;
c. Adanya penyederhanaan organisasi pemerintah ;
d. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.
2) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.
Pada pasal 23 itu jelas terlihat bahwa BUP tersebut tidak diatur secara rinci. Sementara itu pada pasal-pasal lain dan penjelasannya juga tidak ditemukan perinciannya. Satu-satunya
(42)
pasal dalam UU itu yang relevan dan merupakan kelanjutan dari norma pasal 23 tersebut adalah pasal 36. Secara lengkap berbunyi :
"Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan".
Demikianlah format regulasi BUP yang terkandung di dalam UU No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena format yang longgar seperti itu maka pada tahap
implementasinya masih dibutuhkan peraturan pelaksana yang lebih khusus, lebih rinci dan bersifat lebih operasional. Dalam kontek sistem hierarki peraturan perundang-UU-an di Indonesia dewasa ini peraturan per-UU-an yang dibutuhkan adalah Peraturan Pemerintah
(PP), Keputusan Presiden (Kepres), atau peraturan pelaksanaan yang lainnya. Ada 2
konsekwensi logis yang harus dihadapi. Keduanya bisa menguntungkan namun sekaligus bisa menyulitkan dan menjadi tantangan birokrat yang melaksanakan :
a. Pola pengaturan BUP seperti ini memiliki keunggulan dan kelemahan inherent di dalamnya. Keunggulannya adalah peraturan seperti ini tidak mudah usang atau
ketinggalan jaman karena relatif mampu menyesuaikan diri dengan perubahan bentuk
dan struktur permasalahan yang disasar melalui fleksibilitas peraturan pelaksanaannya. Fleksibilitas peraturan pelaksana bisa didapatkan karena proses pembuatannya jauh lebih sederhana dan peraturan pelaksanaan UU itu dibuat belakangan. Selain itu peraturan pelaksana UU itu sekaligus bisa berfungsi mengantisipasi dan/atau merespon munculnya masalah nyata di lapangan yang dinamis dan munculnya belakangan pula. Oleh karena itu substansi peraturan pelaksanaan tersebut bisa dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan khas di lapangan tanpa melanggar pasal, semangat dan tujuan UU itu. Disamping itu peraturan pelaksanaan UU itu bisa di-"mainkan" atau
(43)
dijadikan instrumen untuk memecahkan masalah sesuai dengan dinamika, bentuk dan pola persoalan yang unpredictable pada saat penyusunan UU tersebut.
b. Ditinjau dari aspek sistem dan prosedur penyusunannya, penyusunan peraturan pelaksanaan itu jauh lebih sederhana karena hanya berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan/atau peraturan pelaksana lainnya. Proses penyusunan dan prosedur perubahannya hanya perlu melibatkan unsur kekuasaan
eksekutif saja, sementara itu bila substansi peraturan BUP itu telah definitif atau
terperinci dalam UU, proses amandemen atau perubahannya harus melibatkan unsur eksekutif dan legislatif (DPR). Hal ini jelas membutuhkan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak, serta kemungkinan "benturan" kepentingan yang lebih besar antara unsur birokrasi (pemerintah) dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.
2. Overlapping Peraturan BUP
Disamping telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara masih ada UU lain yang juga mengatur BUP PNS ini dengan jabatan tertentu, yaitu : UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
(44)
Tinggi dan UU No. 3/2006 Peradilan Agama dan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi peraturan BUP di Indonesia
dewasa ini masih belum benar-benar terintegrasi. Secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap implementasi UU ASN ini, karena mengatur hal yang sama. Data lengkap yang mendukung temuan penelitian itu bisa dibaca dalam tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 :
Dasar Hukum Pelaksanaan Peraturan BUP PNS di Indonesia sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara – menunjukkan 3 pola masalah: (a) Penyusunannya tidak terintegrasi; (b) Adanya overlapping pengaturan; (3) Bersifat perpanjangan dari aturan utama.
No. Jabatan BUP Dasar Hukum Keterangan
1. Dosen 65 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Pasal 67 ayat (4) :
Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
2. Guru Besar 70 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Pasal 67 ayat (5) : Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun Pasal 72 ayat (4) :
Batas usia pensiun Dosen yang menduduki
jabatanakademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.
3. GB dan GB Emiritus
70tahun Permendiknas No. 38/2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perpanjangan BUP Guru Besar dan
(45)
Pasal 2 :
(1) Batas usia pensiun Guru Besar dapat diperpanjang sampai dengan usia 70 (tujuh puluh) tahun.
(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(Diusulkan setiap tahun mulai ybs berusia 65 tahun hingga 70 tahun)
Permendiknas No. 09/2008 tentang Perpanjangan BUP PNS yang Menduduki Jabatan Guru
Besar/Profesor dan Pengangkatan Guru besar/Profesor Emiritus
Sesuai Permendiknas No. 9 tahun 2008 Perpanjangan BUK pertama berlaku untuk 2 tahun, yaitu usia 65 tahun hingga 67 tahun, seterusnya diusulkan setiap tahun hingga mencapai 70 tahun
4. Guru 60 tahun UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Pasal 30 ayat (4) :
Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:a. meninggal dunia;b. mencapai batas usia pensiun;....dst.
Ayat (4) :
Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukanpada usia 60 (enam puluh) tahun.
5. Widyaiswara Utama/Utama Madya
65 tahun Keppres No. 63/1986 tentang BUP PNS yang menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian
Pasal 1 (1) :
BUP untuk Pemberhentian PNS :
a) 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (1) Widyaiswara Utama; (2) Widyaiswara Utama Madya
b) 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang dengan jabatan :
a) Widyaiswaran utama Muda b) Widyaiswara Utama Pratama c) Widyaiswara Madya
d) Widyaiswara Muda e) Widyaiswara Pratama
f) Penyuluh Pertanian Utama Muda g) Penyuluh Pertanian Utama Pratama h) Penyuluh Pertanian Madya
i) Penyuluh Pertanian Muda j) Penyuluh Pertanian Pratama. 1.
(46)
6. Semua PNS 56 tahun Ketentuan awal
PP No. 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS.
Keterangan :
PP tersebut disebut sebagai ketentuan awal karena materi dalam PP tersebut menjadi sumber pembuatan ketentuan berikutnya yang lebih pasti.
BUP PNS ditentukan 56 (lima puluh enam) tahun (Pasal 3 ayat 2). Dalam UU yang dilaksanakannya – UU No. 8 Tahun 1974 – belum memuat ketentuan BUP yang definitif seperti ini.
1. Dapat diperpanjang sampai dengan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (opsi) :
a) Ahli Peneliti dan Peneliti
b) Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;
c) 60 (enam puluh) tahun PNS yang memangku jabatan :
d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
e) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara;memangku jabatan tertentu.
f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden; g) Jaksa Agung
h) Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
i) Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen; Eselon I dalam jabatan
strukturil, Eselon II dalam jabatan strukturil; j) Dokter yang ditugaskan secara penuh pada
Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya;
k) Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; l) Guru yang ditugaskan secara penuh pada
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah LanjutanTingkat Pertama
m) Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama n) Guru yang ditugaskan secara penuh pada
Sekolah Dasar
o) Jabatan lain yang ditentukan olehPresiden. 2. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi PNS yang
(47)
a) Hakim pada Mahkamah Pelayaran b) Hakim pada Pengadilan Tinggi c) Hakim pada Pengadilan Negeri
d) Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding
e) Hakim Agama pada Pengadilan Agama f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden. 7. Auditor Madya
dan Utama
60 tahun Perpres no.41/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Auditor
Perpanjangan
8. Arsiparis Madya dan Utama
60 tahun Perpres No. 42/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Arsiparis
Perpanjangan
9. Pemeriksa Madya dan Utama
60 tahun Perpres No. 52/2012 tentang Perpanjangan BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa
Perpanjangan
10. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama
62 tahun UU No. 3/2006 tentang
Peradilan Agama
Ketentuan awal
11. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama
65 tahun UU No. 3/2006
Peradilan Agama
Ketentuan awal
12. Jaksa 62 tahun UU No. 16/2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Ketentuan awal
13. Peneliti Madya dan Utama
65 tahun PP No. 65/2008 tentang Perubahan kedua atas PP No. 32. Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS
Perpanjangan
14. Dokter 60 tahun PP No. 65/2008 Perpanjangan
(48)
Paling tidak, ada 3 hal penting sebagai temuan penelitian ini yang harus dicatat dalam berbagai peraturan yang terkait dengan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Adanya overlapping pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang berbentuk perpanjangan dari aturan utama) yang dipermanenkan.
a. Penyusunan Kebijakan yang Tidak Terintegrasi
UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, UU No. 16/2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi adalah contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Di antara ke 5 UU
tersebut seolah-olah berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai kepentingan sektoralnya saja tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti :
1) Pada diktum menimbang/mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak dicantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi peraturan pelaksanaannya – pada hal ke dua peraturan UU itu mengatur obyek yang sama.
2) Sama halnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU ini lebih parah lagi, yaitu hanya mencantumkan materi pertimbangan pasal 20, 21 dan 31 UUD 1945 saja. Hal ini berarti mengabaikan peraturan lain yang setingkat, padahal mengatur materi BUP yang sama.
(49)
3) UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama juga sama keadaannya. legislator atau perancang atau pembuat UU ketika itu, secara etis seharusnya memasukkan UU
lain yang pengatur obyek yang sama dalam diktum “menimbang”. Sehingga dalam
pembuatan peraturan pelaksanaan ke 2 UU tersebut (UU no. 3/2006 dengan UU No. 8 Tahun 1974) nantinya tidak memunculkan disharmoni, baik yang bersifat
overlap maupun antagonist. Dalam UU No. 3 tahun 2006 yang mengatur BUP
Aparatur Negara (Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama) itu justru tidak memasukkan UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagai bahan yang harus diingat. Padahal banyak UU lain
dimasukkan dalam diktum “menimbang”, yaitu : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan
Pasal 25 UUD Tahun 1945, UUU 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai catatan : mungkin persoalan ketidakterpaduan penyusunan UU yang menyangkut pemberhentian ASN ini tidak menjadi persoalan ketika tidak ada pihak yang dirugikan. Namun bilamana suatu saat ada pihak yang merasa dirugikan dan menuntut judisial review ke MA/MK – dan dikabulkan oleh MA/MK – maka hal ini akan menjadi persoalan besar. Kita masih ingat kasus pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supanji tanpa SK Presiden pada kabinet Indonesia Bersatu jilid
(50)
II tahun 2009. Hal itu baru menjadi persoalan ketika dituntut oleh Mantan Menteri HAM Yusril Izha Mahendra ke MK dan kemudian dikabulkan.
4) Overlapping Pengaturan di Tingkat UU
Penyusunan kebijakan publik – yang kemudian dilegalisir dalam bentuk UU – yang tidak terintegrasi mengisyaratkan kepentingan publik yang diperjuangkan di dalam masing-masing rancangan UU itu dipersepsikan atau diasumsikan oleh para legislatornya bersifat independen dan tidak terkait satu sama lainnya. Padahal asumsi dan persepsi itu tidak pernah terwujud dalam satu waktu tertentu. Dengan kata lain dalam kehidupan nyata independensi absolut antar sektor dalam kepentingan publik itu tidak pernah ada di lapangan. Hanya soal waktu saja kapan dependensi antar sektor itu terungkap sudah dalam bentuk masalah nyata.
3. Keharusan Pensiun Absolut vs Opsi Keputusan Pensiun PNS
Selanjutnya, kelemahan yang bisa ditemui dalam pola pengaturan BUP yang longgar seperti itu adalah adanya kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan pembuatan peraturan pelaksana norma BUP itu. Namun sejauh ini belum pernah ditemui kasus penyalahgunaan kewenangan yang signifikan mengganggu semangat dan tujuan eksistensi peraturan BUP ini. Namun demikian tetap saja potensial terjadi. Apalagi dalam kontek
implementasi kebijakan otonomi daerah dewasa ini, dimana jumlah pejabat pembina
kepegawaian bertambah menjadi begitu banyak – yang berarti semakin mempersulit pengawasan dan pengendaliannya. Masalah yang bisa ditemui baru sebatas munculnya
(51)
kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan saja dan kecemburuan di kalangan PNS di
instansi-instansi tertentu yang menggunakan standar BUP berbeda yang dinilai tidak adil
– data selengkapnya bisa dilihat dalam tabel 6 di atas.
Dibandingkan dengan UU No. 8 Tahun 1974, norma BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 menggunakan batasan yang lebih ketat dan lebih operasional. Menghadapi keanekaragaman persoalan lapangan, pola pengaturan yang ketat ini menunjukkan kelemahannya. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan
pejabat pelaksananya di lapangan untuk mengambil keputusan khusus (discretion)
bilamana ingin mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Perhatikan rumusan definitif Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014 berikut ini, khususnya tidak digunakannya kata "dapat" dalam pasal tersebut.
Pasal 87
(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. mencapai batas usia pensiun;
d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau
e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
Bandingkan hal yang sama dengan pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974. Dalam pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 itu didapati ketentuan yang sifatnya pilihan (option). Penggunaan kata
“dapat" menunjukkan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 itu masih memberikan alternatif
keputusan lain yang dianggap perlu, yaitu bilamana ada pertimbangan yang lebih urgent pada tahap implementasinya. Rumusan selengkapnya Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 1974 itu sebagai berikut :
(52)
Pasal 23
Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. permintaan sendiri;
b. telah mencapai usia pensiun;
c. adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah; d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat
menjalankankewajiban sebagai Pegawai Negerl Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.
4. Norma BUP Ketat menjadi Alasan Tunggal Pemberhentian PNS : Tidak berdampak pada peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas
Pasal 87 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena 5 alasan, yaitu : (a) meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri; (c) mencapai batas usia
pensiun; (d) perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; (e) tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Di antara alasan-alasan pemberhentian dengan hormat tersebut,
alasan mencapai batas usia pensiun adalah satu-satunya alasan yang tidak terkait secara
langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas pekerjaan PNS yang bersangkutan.
Selanjutnya pada Pasal 90 batas usia pensiun (BUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan secara definitif :
a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan ; dan
(53)
Dengan aturan definitif itu maka tertutup kemungkinan pemberlakuan BUP di luar ketentuan tersebut kecuali ditentukan lain dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) dan/atau UU yang lain. Bahkan PNS yang tidak menduduki jabatan tertentu sebagai Pejabat Administrasi, Pejabat Pimpinan dan Pejabat Fungsional tidak diatur dalam UU ASN ini.
Aturan BUP itu tidak terkait secara langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas PNS karena faktor kemampuan SDM PNS dan efektivitas pelaksanaan tugas PNS itu tidak selalu berkorelasi langsung dengan faktor usia, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor lain, seperti faktor kesehatan, faktor motivasi dan semangat kerja, dan lain sebagainya. Jadi bisa saja seorang PNS itu sudah mencapai BUP namun masih produktif, sebaliknya ada pula seorang PNS berusia relatif muda, masih jauh dari BUP namun sakit-sakitan sehingga tidak mampu lagi bekerja dengan baik. Oleh karena itu, dihadapkan pada persoalan seperti ini UU No. 5 Tahun 2014 itu akan menghadapi masalah implementasi. Ujung-ujungnya pelaksanaan peraturan BUP secara konsisten tidak berdampak pada peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan substansi tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Namun hanya sekedar melaksanakan peraturan yang bersifat prosedural saja. Oleh karena itu peningkatan kinerja organisasi pemerintahan (birokrasi) tidak bisa diharapkan dari pelaksanaan ketentuan BUP ini.
Selanjutnya, pelaksanaan regulasi BUP semacam ini bisa pula dikategorikan bertentangan dengan kaidah profesionalisme PNS. Usia produktif setiap orang itu berbeda-beda, tergantung faktor kesehatan – baik kesehatan fisik maupun mental – dan kesanggupan/komitmen PNS yang bersangkutan untuk bekerja. Jadi dengan asumsi ini
(54)
tidak ada alasan kuat menetapkan masa pensiun berdasarkan faktor usia sebagai standar tunggal. Seharusnya perlu dipertimbangkan pula faktor kemampuan melaksanakan tugas pekerjaan secara simultan. Apa urgensi ditetapkannya batas usia pensiun itu secara definitif ? pertanyaan ini tidak bisa dijawab dari sisi peningkatan efektivitas organisasi. Persoalan yang disasar oleh perubahan BUP UU ini tidak jelas.
5. Regulasi BUP dalam Bentuk UU : Sulit dilakukan amandemen
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa UU itu adalah salah satu bentuk kebijakan publik level negara, dimana proses penyusunan hingga ratifikasinya tidak hanya melibatkan lembaga executive saja, tetapi juga melibatkan DPR sebagai lembaga legislative. Ditinjau dari aspek proses penyusunannya, penyusunan UU jauh lebih rumit dibandingkan dengan proses penyusunan kebijakan bentuk lainnya. Hal demikian berlaku juga untuk proses penyusunan berbagai bentuk amandemen, seperti revisi, terminasi ataupun restrukturisasi UU. Sebaliknya, penyusunan peraturan pelaksana UU, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan/atau peraturan pelaksana lainnya jauh lebih sederhana, karena hanya perlu melibatkan unsur kekuasaan eksekutif saja. Jadi dikaitkan dengan temuan penelitian ini, substansi peraturan BUP yang telah dirumuskan secara terperinci dalam UU No. 5 Tahun 2014 itu – bilamana membutuhkan perubahan – maka proses perubahannya akan jauh lebih sulit dilakukan dan membutuhkan waktu dan tenaga lebih besar karena harus melibatkan unsur eksekutif dan legislatif (DPR) secara bersamaan. Selanjutnya, terdapat pula kemungkinan hambatan lain, berupa kemungkinan "benturan" kepentingan yang lebih besar antara unsur birokrasi (pemerintah)
(55)
dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Norma BUP yang sangat umum dalam UU No. 8 Tahun 1974 justru sangat menguntungkan. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat regulatif dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.
6. Norma Regulasi BUP Tidak Terkoordi-nasi, Tidak Terintegrasi dan Overlap
Paling tidak, terlihat 3 pola permasalahan yang perlu dicatat terkait dengan aturan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 itu, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Terdapat overlap pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang dipermanenkan – hasil perpanjangan aturan utama. Sementara itu UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Selain diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 masih ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP ini. Artinya, secara langsung ataupun tidak langsung BUP PNS di Indonesia selama ini diatur dengan peraturan ganda (overlap). Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 BUP PNS – dalam UU itu PNS dikategorikan sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara – telah diatur dalam beberapa UU, namun masing-masing tidak saling
berhubungan. Ketika dicermati secara lebih dalam diktum “menimbang” dan “memperhatikan” semua UU yang mengatur obyek BUP PNS itu ternyata semuanya tidak
(56)
memasukkan unsur keterkaitan atau kebersamaan mengatur (juncto). Hal ini menunjukkan bahwa proses penyusunan regulasi/peraturan BUP PNS tersebut selama ini tidak terkoordinasi sehingga tidak membentuk satu kesatuan sistem regulasi yang terintegrasi. Substansinya overlap satu sama lain. Selanjutnya menjadi tidak jelas terlihat dimana posisi UU ASN ini dalam sistem regulasi BUP di Indonesia. Apakah UU ASN ini menjadi UU pokok (lex generalis) yang berfungsi memayungi UU yang lain, ataukah UU ASN ini hanya sekedar aturan pelengkap saja.
UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian – sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 – UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Legislasi ke 5 UU tersebut seolah-olah berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan sektoralnya masing-masing, tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti :
a. Pada diktum menimbang dan mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak mencantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi mengingat peraturan pelaksanaannya. Padahal ke dua UU itu mengatur obyek yang sama.
b. Sama halnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU ini lebih parah lagi, karena hanya mencantumkan materi pertimbangan pasal 20, 21 dan 31
(1)
(2)
82 LAMPIRAN – 2 :
(3)
(4)
(5)
LAMPIRAN – 3 :
(6)
86 LAMPIRAN – 4 :