T1 652008002 Full text

Subtitusi Buah Sukun (Artocapus altilis Forst) Dalam Pembuatan Mie Basah
Berbahan Dasar Tepung Gaplek Berprotein
Subtitution of Breadfruit (Artocapus altilis Forst) As an Additional Ingredient in The
Process of Manufacturing Wet Noodles From Protein Cassava Flour
Frahma Safitri*, Sri Hartini**
*Mahasiswa Progdi Kimia, FSM-UKSW , Salatiga
** Dosen Progdi Kimia, FSM-UKSW , Salatiga
frahma90@gmail.com

ABSTRACT
In the effort Indonesia food diversify hence conducted by research of making wet
noodles from bread-fruit subtitution to produce wet noodles with good physical
characteristic and have fiber rate and also high protein rate. The purpose of this research is
to determine he best concentration addition of bread-fruit as an ingredent in making a wet
noodle made from protein cassava flour. Data were analyzed using Randomized
Completely Block Design (RCBD) with time analyse

as a group and concentration

addition of breadfruit as a treatment, as a breadfruit additional substitution as follows :
control , 20 % , 25 % , 30 % , 35 % and 40 %, and analysis time used repeat the study. The

Honestly Significant Differences (HSD) test at 5 % level of significance used to compared
treatment average. Parameter perceived is

water rate, dusty rate, rehidrasi energy,

elasticity, protein rate, and fibre rate. From result of research show the average water rate
is : 54, 10 - 58,93% dusty rate : 2,23%-2,89% fibre rate : 10,32-20,61%. Addition most
optimal of Bread-Fruit seen from water absorpsion, cooking lose, broken time and long
addition of noodles is the addition of 40 % bread-fruit.
Key word : bread-fruit, Protein cassava Flour, Protein, Fiber, Wet Noodle

PENDAHULUAN

Mie merupakan makanan yang banyak digemari oleh masyarakat terutama di
Indonesia. Mie merupakan hasil olahan dari tepung dan dapat disajikan sebagai bahan
pengganti nasi karena mempunyai nilai gizi dan sumber karbohidrat. Ditinjau dari segi
kandungan airnya,mie dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie kering dan mie basah.
Kedua jenis mie ini mempunyai perbedaan pokok yakni pada tingkat keawetannya. Bila

disimpan pada suhu ruang, mie kering akan awet sampai berbulan-bulan, sedangkan mie

basah hanya tahan disimpan selama satu sampai dua hari. Mie basah adalah produk
makanan yang terbuat dari terigu baik dengan atau tanpa penambahan bahan baku lain, dan
bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta mempunyai kadar air maksimal 35%.
(Widyaningrum, 2005). Mie yang baik mempunyai sifat yang elastis dan tidak mudah
putus. Beberapa hal yang mempengaruhi kualitas mie (tekstur) adalah besarnya daya
regang mie, kemampuan mie dalam menyerap air dan besarnya padatan yang keluar mie
akibat pemanasan.
Besarnya konsumsi terigu, khususnya untuk produksi mie menyebabkan naiknya
impor gandum Indonesia sehingga mengakibatkan tersedotnya sebagian devisa negara.
Sebagai salah satu upaya mengurangi impor gandum tersebut perlu dilakukan penelitian
tentang penggunaan komoditi sumber karbohidrat yang dapat diproduksi di dalam negeri
seperti singkong, sagu, ubi jalar, dan sebagainya. Penelitian tentang pemanfaatan tepung
gaplek berprotein sebagai bahan pengganti tepung terigu telah dilakukan. Berdasarkan
penelitian

Hadinataria (2011) kondisi optimum pembuatan tepung gaplek berprotein

adalah dengan perbandingan 5:25 %. Salah satu kendala dalam pemanfaatannya dalam
pembuatan mie tepung gaplek berprotein yang dihasilkan belum memberikan tekstur yang
kuat. Hal ini dikarenakan kandungan serat yang terdapat dalam tepung gaplek berprotein

masih rendah. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kondisi optimum mie basah
yang mempunyai tekstur yang baik dan meningkatkan kandungan seratnya.
Mie basah pada umumnya mengandung karbohidrat dan energi, dengan kadar
serat yang rendah. Konsumsi serat pangan yang kurang akan menyebabkan masalah gizi
buruk yang sering terjadi di masyarakat Indonesia. Serat merupakan unsur terpenting yang
harus ada didalam tatanan gizi suatu produk pangan. Selain itu pada pembuatan suatu
produk mie, adanya kandungan serat didalam bahan juga dapat mempengaruhi
pembentukan tekstur mie yang dihasilkan. Penelitian Goesti (2006) kadar serat yang baik
pada suatu produk mie basah adalah 2,430 %. Salah satu bahan lokal yang terdapat di
Salatiga yang mengandung serat yang tinggi adalah sukun.
Buah sukun merupakan buah yang mudah tumbuh dan buahnya yang mudah
dijumpai, akan tetapi pemanfaatan dari buah ini masih belum banyak dikembangkan.
Buah sukun merupakan bahan pangan dengan kalori dan sumber gizi yang cukup tinggi.
Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak

0,2%, abu 1,21%, fosfor 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, fosfor 0,048%, kalsium
0,21%, besi 0,0026%, kadar air 61,8% dan serat atau fiber 2% (Hendalastuti,2006).
Sedangkan menurut penelitian Rohadi (2002) adanya penambahan tepung sukun
dapat memperbaiki tekstur dari sebuah mie, sehingga dilakukan penelitan ini untuk
menentukan konsentrasi penambahan sukun yang tepat sebagai bahan tambahan dalam

pembuatan mie basah ditinjau dari kadar serat serta protein dari bahan dasar. Mie basah
yang dihasilkan akan diukur juga karakteristik sifat fisiknya.

BAHAN DAN METODA
Bahan dan Piranti
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah ketela pohon yang didapat dari petani ketela
pohon didaerah Jembrak , Kabupaten Semarang. Sukun varietas putih yang didapat dari
Pasar Raya Salatiga dan ragi yang diggunakan adalah ragi Raprima yang didapatkan dari
Pasar Raya Salatiga . Sedangkan bahan kimia yang diggunakan adalah NaOH (PA, MerckGermany) ,CuSO4.5H2O + natrium kalium tartat (PA, Merck-Germany), aquades, H2SO4
(PA, Merck-Germany), BSA (Bovine Serum Albumin, PA, Merck-Germany).
Piranti
Piranti yang digunakan antara lain : drying cabinet, grinder, ayakan aperture 250
µm-mesh 60, centrifuge (EBA 21 Hettich Zentrifugen), kertas saring, alat gelas, Shoklet,
refluks, Spektrofotometer Optizen UV 2120, Tensile Strength Tester.

Metoda
Pembuatan Tepung
Gaplek kering dikukus dan ditambah dengan kedelai 25 gram , kemudian ditambah
dengan sukun dengan variasi konsentrasi penambahan sukun sebagai berikut : 0%, 20

%,25 %, 30% ,35% dan 40 %. Masing-masing campuran difermentasi menggunakan ragi
tempe 10 % dari berat total selama 30 jam 20 menit.

Penentuan Kadar Protein Dengan Metode Biuret (AOAC,1995)
1 gram sampel ditambah dengan 1 ml NaOH 1 M dan dilarutkan dalam 10 ml
akuades, larutan di panaskan didalam water bath selama 10 menit, kemudian larutan

dipusingkan dengan sentrifuge selama 30 menit 3000 rpm. 1 ml supernatan diambil dan
ditambahkan dengan 2 ml reagen biuret. Larutan yang sudah ditambahkan dengan reagen
diinkubasi selama 30 menit dan absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 550
nm.

Penentuan Kadar Serat (Sutrisno,dkk., 2009)
2 gram sampel yang sudah diekstraksi lemaknya dengan shoklet diambil dan
ditambahkan dengan 25 ml bufer fosfat 0.08 M pH 6.0 ditambahkan dengan 1µl termamil
dididihkan selama 30 menit kemudian ditambahkan dengan 100 ml asam sulfat 1,25 %
panas dan didihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin balik. Larutan
disaring dan dicuci dengan 100 ml akuades panas. Residu diambil dan ditambahkan
dengan 100 ml NaOH 2,75 % dan didihkan kembali meggunakan pendingin balik selama
30 menit. Larutan disaring kembali dengan kertas saring yang sudah dikeahui massanya

dan residu dicuci dengan 50 ml 1,25 % asam sulfat panas, 50 ml akuades panas dan 15 ml
etanol.

Untuk mengendapkan sampel dicuci dengan 140 ml etanol 95% yang telah

dipanaskan hingga 60°C selama 60 menit. Residu dikeringkan didalam oven pada suhu
105°C dan ditimbang sampai berat konstan.

Pembuatan Mie Basah (Anonim, 2012)
100 gram tepung ditambahkan dengan 10 % garam dapur dan soda abu 0,5 %.
Dengan ditambahkan air adonan diaduk sampai kalis selama kurang lebih15 menit dan
selanjutnya adonan diistirahatan selama 15-30 menit. Kemudian adonan yang ada di cetak
dengan alat penggiling mie

Penentuan Kadar Air (Sudarmadji dkk., 1997)
1 gram sampel ditimbang. Masing-masing sampel dikeringkan dalam oven selama 1
malam untuk pertama kali, dan dilanjutkan setiap 1 jam, kemudian ditimbang massa dari
masing-masing sempel sampai massanya konstan (+ 0,2 mg).

Analisis Mie

Karakteristik mie yang diamati adalah sifat fisik dan anilis proksimat untuk mie
basah yang paling baik. Analisis fisik meliputi daya serap air (DSA) dan kehilangan
padatan akibat pemasakan (KPAP), pemanjangan mie basah yang diukur dengan
menggunakan alat Tensile Strength Tester

Daya Serap Air (DSA)(Hardiningsih,1999)
5 gram mie direbus didalam 150 ml air selama 5 menit. Mie ditiriskan dan disiram
dengan air kemudian ditiriskan kembali. Mie ditimbang (A) dan dikeringkan pada suhu
105°C, Mie ditimbang sampai berat konstan(B).

%DSA=

) (

[(
.

.
(


)
)

x 100%

Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) (Rasper dan J.M. de Man,1980)
5 gram mie direbus selama 5 menit didalam 150 ml air, mie ditiriskan dan
dipindahkan didalam cawan. Mie ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105°C, Mie
ditimbang sampai berat konstan.
% KPAP =

(
.

)
(

)

100%


Daya Regang Mie Basah (Kekuatan Mie) (Rohadi,2002)
Daya regang mie yang dihasilkan dapat ditentukan dengan mie yang sudah diketahui
panjang awalnya diberikan suatu beban kemudian diukur pemanjangan mie dan waktu
putusnya yang dihasilkan.

Analisis Data (Steel dan Torie, 1989)
Data yang diperoleh akan dinalisa menggunakan Rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 4 perlakuan dan 6 kali pengulangan.Sebagai perlakuan adalah variasi konsentrasi
penambahan sukun 0%, 20%, 25%, 30%, 35% dan 40% . Sedangkan sebagai kelompok
adalah waktu analisa. Dan untuk menguji antar perlakuan dilakukan uji Beda nyata jujur
(BNJ) dengan tingkat kepercayaan 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Protein

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan
makronutrien lainnya (karbohidrat, lemak), protein ini berperan lebih penting dalam
Penambahan Sukun (%)


Purata
+ SE

Kontrol

20

25

30

35

40

6,8375

15,52


18,9975

15,3075

13,84

22,485

4,78473

4,03715

6,89017

4,81763

6,00613

7,25806

W=5,06
a
bc
bc
bc
b
c
pembentukan biomolekul daripada sumber energi (Erick, 2012). Bahan yang mempunyai
kandungan protein yang tinggi berperan penting dalam menetukan elatisitas suatu produk
mie basah. Kadar Protein yang diperoleh dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel. 1
dan Gambar.1

Kadar Protein (%)

Tabel 1. Rataan Kadar Protein (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun

25
20
15
10
5
0
kont rol

20

25

30

35

40

Penambahan Sukun

Keterangan= • W = BNJ 5%
• Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda
bermakna.

Gambar 1. Histogram Kadar Protein (%) Antar Berbagai Penambahan Sukun

Pada Tabel 1 dan Gambar1 terlihat bahwa hasil analisa data kadar protein dari
bahan berkisar antara 9,47 -21,51 %, apabila dibandingkan dengan kontrol, penambahan
menunjukan adanya perbedaan yang berarti dari setiap perlakuan apabila dibandingkan

dengan kontrol, ini berarti adanya penambahan sukun memberikan pengaruh terhadap
kenaikan kadar protein. Kenaikan kadar protien dapat disebabkan oleh adanya perubahan
komponen yang terdapat didalam bahan. Kandungan protein dalam suatu bahan
dipengaruhi oleh adanya proses fermentasi dan metabolisme oleh Rhizopus sp. Menurut
Ida Bagus, (2012) sukun merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan jamur dan
kapang, konsentrasi penambahan sukun yang berbeda akan menyebabkan perubahan
kandungan protein pada bahan. Komposisi substrat yang berbeda akan mempengaruhi
adanya aktivitas proteolitik kapang yang menguraikan protein menjadi asam amino dan
memenyebabkan adanya peningkatan nitrogen telarut yang menyebabkan adanya kenaikan
kadar protein terlarut (Agus,2011). Setelah proses fermentasi kandungan total asam amino
akan mengalami penurunan tetapi asam amino bebas akan meningkat dengan tajam, hal ini
disebabkan karena kapang Rhizopus sp. memakai asam amino sebagai sumber N (nitrogen)
untuk pertumbuhannya (Dwi,dkk 2012).

Kadar Air
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan karena dapat
mempengaruhi cita rasa, tekstur, aroma dan keawetan dari bahan pangan tersebut. Hal ini
merupakan salah satu sebab mengapa dalam pengolahan pangan, air tersebut sering
dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan dan pengentalan atau pengeringan.
Pengurangan kandungan air dalam bahan pangan tersebut bertujuan agar bahan pangan
lebih awet dan tahan lama (Sudamadji,1997). Kadar air dari setiap perlakuan dapat dilihat
pada Tabel. 2 dan Gambar. 2
Tabel 2. Rataan Kadar Air (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun

Penambahan Sukun (%)
Kontrol

20

25

30

35

40

Purata

55,23

54,54

54,10

58,92

57,14

55,19

+ SE

19,95

19,30

20,03

19,17

19,36

19,55

W=5,45

a

a

a

a

a

a

61
60
59
Kadar Air (%)

58
57
56
55
54
53
52
51
50
kont rol

20

25

30

35

40

Panambahan Sukun (%)

Gambar. 2 Histogram Kadar Air (%) Antar Berbagai Penambahan Sukun

Kadar air merupakan komponen terpenting dalam suatu bahan makanan, karena
kadar air mempunyai pengaruh terhadap kelembaban suatu bahan, bahan yang terlau
lembab merupakan tempat tumbuh yang baik bagi mikroba sehingga akan mempengaruhi
keawetan bahan. Menurut Winarno, (2010) kadar air yang terdapat pada mie basah tidak
boleh lebih dari 60%. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan sukun tidak
memberikan pengaruh terhadap kadar air. Akan tetapi kandungan air dari bahan dapat
dipengaruhi oleh proses fermentasi. Selain itu adanya kandungan yang berbeda dari
masing-masing bahan menyebabkan komposisi air berubah. Sedangkan dampak dari
substitusi sukun sendiri mempunyai kecenderungan pada mie yang dihasilkan akan sulit
melepaskan air bebas. Kandungan serat yang tinggi didalam suatu bahan akan
mempengaruhi kadar air dari bahan tersebut. Bahan yang mempunyai kandungan serat
yang tinggi bersifat hidrokoloid yang mampu mengikat air yang ditambahkan selama
proses pembuatan mie. Proses perebusan juga dapat meningkatkan kandungan air. Bahan
yang mengandung pati akan cenderung suka air (hidrofil), karena jumlah gugus hidroksil
dalam molekul pati sangat besar maka kemampuan dalam menyerap air juga besar yang

menebabkan air berada didalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas (Titiek,
2012).

Kadar Abu
Kadar abu menunjukan adanya komponen mineral yang terdapat didalam suatu
bahan. Kandungan mineral dari miebasah dapat dilihat pada Tabel. 3 dan Gambar. 3

Tabel 3. Rataan Kadar Abu (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun
Penambahan Sukun (%)
kontrol 20
25
30
35
40
Purata
2,32
2,39
2,22
2,23
2,54
2,98
+ SE
2,40
1,42
1,73
1,2
1,2
1,84
W=
ab
ab
a
ab
ab
b
0,44
Keterangan= • W = BNJ 5%
• Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda
bermakna.

3,5
3

Kadar Abu
( %)

2,5
2
1,5
1
0,5
0
kont rol

20

25

30

35

40

Penambahan Sukun (%)

Gambar 3. Histogram Kadar Abu (%) Antar Penambahan Sukun
Pada Tabel 3 dan Gambar 3 berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan
kadar abu

berkisar antara 2,23%-2,89 %. Dari hasil uji ditunjukan bahwa adanya

penambahan sukun tidak berpengaruh pada kadar abu dari suatu bahan, adanya
penambahan sukun hanya berpengaruh pada konsentrasi 40% . Substitusi sukun tidak

memberikan pengaruh karena sukun bukan merupakan sumber mineral, sukun hanya
mengandung berberapa mineral lain seperti kalsium dan fosfor. Kadar abu bahan dapat
dipengaruhi oleh penambahan air khi sebagai larutan alkali pada proses pembuatan mie.
Kandungan air khi anata lain garam kalsium dan natrium (Ratnaningsih, 2010). Selain itu
kandungan mineral hanya dipengaruhi oleh proses fermentasi

Rhizhopus sp yang

menghasilkan enzim fitase yang dapat membantu dalam menguraikan asam fitat yang
dapat meningkatkan beberapa mineral menjadi fosfor dan inositol. (Deliani, 2008)

Kadar Serat
Serat adalah zat non gizi yang berperan mengikat air, selulosa dan pektin. Istilah
dari serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat kasar (crude fiber)
yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Kadar serat dari hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel. 4 dan Gambar. 4

Tabel 4. Rataan Kadar Serat (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun

Purata
+ SE
W=9,44

Penambahan Sukun (%)
20
25
30
35
14,95
14,19
17,25
13,27
4,68
4,68
5,95
6,66
ab
ab
ab
ab

Kontrol
10,32
1,91
a

40
20,61
13,86
b

Keterangan= • W = BNJ 5%
• Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda
bermakna.

25
Kadar Serat (%)

20
15
10
5
0
kont rol

20

Gambar 4. Kadar Serat

25
30
Penabahan Sukun (%)

35

40

Adanya komponen serat akan membantu dalam pembentukan tekstur dari mie.
Kadar serat pada sukun akan bertambah seiring dengan tingkat ketuaan buah. Berdasarkan
dari hasil penelitian diketahui kadar serat pangan berkisar antara 10,32-20,61 %. Adanya
penambahan sukun tidak memberikan perbedaan pada penambahan 20-35 %, akan tetapi
pada konsentrasi 40% memberikan pengaruh terhadap kadar seratnya yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini berarti besarnya konsentrasi sukun yang
ditambahkan dapat berpengaruh pada kandungan seratnya. Kandungan serat yang terdapat
didalam bahan dapat dipengaruhi oleh Rhizhopus sp dan adanya komponen serat yang
terdapat di dalam sukun. Dinding sel hifa kapang Rhizopus sp sebagian besar terdiri atas
polisakarida (selulosa). Penambahan inokulum akan menghasilkan kapang Rhizopus sp
yang tumbuh serta miselium yang terbentuk sehingga kandungan selulosa dalam bahan
akan semakin besar (Hanny, 2007). Ini berarti proses fermentasi dan lamanya waktu
fermentasi dapat berpengaruh terhadap kandungan seratnya. Komponen serat pangan yang
banyak terdapat pada sukun adalah hemiselulosa dan pektin. Kandungan serat didalam
sukun sendiri dapat dipengaruhi oleh proses pematangan, penyimpanan, dan pengolahan
yang menyebabkan komponen serat (selulosa dan hemiselulosa) mengalami perubahan
komposisi kimia. Perubahan tejadi karena pada buah sukun yang sudah tua akan
mengandung jumlah pektin yang lebih tinggi (Rintha, 2012).

Karakteristik Fisik Mie Basah

Kekuatan tekstur/struktur dari suatu mie basah ditentukan oleh komponen bahan
yang digunakan. Kandungan protein dan gluten yang tinggi akan mempengaruhi suatu mie
akan mudah putus atau tidak. Akan tetapi adanya komponen serat juga dapat membantu
memperbaiki tekstur. Penggunaan bahan tambahan memungkinkan terjadinya proses
gelatinisasi pati-protein lebih sempurna sehingga dapat memperbaiki tekstur mie menjadi
lebih liat dan kenyal. Selain itu, bahan tambahan yang digunakan dapat mengikat air
sehingga menurunkan aktivitas air (Aw) akibatnya kerusakan mikrobiologis dapat dicegah.
Dari hasil penelitian diperoleh beberapa karakteristik fisik mie basah diantaranya dapat
dilihat sebagai berkut:

Hasil analisis mie basah dapat dilihat pada Tabel 5

Penambahan Sukun (%)
Kontrol

20

25

30

35

40

DSA (%)

68,19

39,93

54,13

55,68

50,15

72,95

W=25,75

±23,95

±19,98

±30,37

±44,87

±30,29

±25,90

b

a

a

a

a

b

28,36

22,98

17,57

37,00

30,86

29,95

±14,54

±14,58

±5,54

±19,07

±14,93

±20,65

a

b

b

b

KPAP(%)

W=10,42

b

a

Waktu Putus 3,63±1,5

5,4±0,7

3,99±1,9

4,83±1,0

4,55±1,7

6,95±1,1

a

a

a

a

b

(detik)
W=2,9

a

Penambahan

0,25±0,098 0,25±0,091 0,26±0,1

0,24±0,08 0,32±0,1

0,35±0,1

panjang (cm)
W=0,19

a

a

a

a

a

a

Penambahan Panjang Mie
Kekenyalan suatu mie dapat dlihat dari penambhan panjang mie, Penambahan
panjang mie dapat dilihat pada Gambar 5.

Penambahan Panjang (cm)

0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
kont rol

20

25

30

35

40

Penambahan Sukun

Gambar 5. Penambahan Panjang Mie Pada Berbagai Penambahan Suku
Waktu Putus

Selain pemanjangan mie waktu putus mie juga berpengaruh terhadap kekuatan
suatu mie basah. Waktu putus diukur tepat pada saat mie mulai putus. Hasil dari waktu
putus mie dapat dlihat dari Gambar. 6

8

W aktu Putus (detik)

7
6
5
4
3
2
1
0
kont rol

20

25

30

35

40

Penambahan Sukun

Gambar 6. Waktu Putus Mie
Daya Serap Air (DSA) Dan Kehilangan Padatan Akibat Pemanasan (KPAP)
80
70
% DSA & KPAP

60
50
40

Daya Serap Air

30
Kehilangan Padat an
Akibat Pem anasan

20
10
0
kont rol

20

25

30

35

40

Penambahan Sukun (%)

Gambar 7. Grafik Daya Serap Air (DSA) Dan Kehilangan Padatan Akibat
Pemanasan

Beberapa hal yang menentukan kekuatan dari mie adalah penambahan panjang dan waktu
putus mie dari hasil penelitian dapat dilihat dari Gambar.5 dan 6. Dari data yang diperoleh
diketahui bahwa bahwa dengan penambahan konsentrasi sukun maka penambahn panjang
mie berkisar antara 0,2-0,3 cm sedangkan waktu putus mie adalah 3,63-6,48 detik.
Adanya penambahan sukun berpengaruh pada kekuatan mie basah, hal ini dapat dilihat
dari parameter pengukuran waktu putus mie pada penambahan 40 %, sedangkan pada
penambahan panjang mie untuk setiap perlakuan tidak mempunyai berbeda ini berarti
penambahan sukun tidak berpengaruh terhadap penambahan panjang mie. Mie basah yang
terbuat dari tepung terigu mempunyai penambahan panjang mie yang baik yaitu berkisar
antara 1-2 cm, tetapi untuk mie yang terbuat dari bahan yang mengadung kadar gluten
rendah (tepung komposit, termasuk mocaf) penambahan panjang mie yang baik adalah
sekitar 0,2- 2 cm (Puji,2010). Adanya komponen serat didalam bahan akan berpengaruh
terhadap kekuatan mie basah. Hal ini disebabkan adanya komponen serat akan membantu
dalam mengikat air dan berinteraksi dengan makromoleul seperti protein yang
mempengaruhi dalam pembentukan gel. Selain itu proses pengukusan pada mie juga akan
mempengaruhi tekstur mie yang dihasilkan, pemanasan akan berpengaruh pada gelatinisasi
pati dan koagulasi protein yang memberikan sifat kenyal.(Masrhokah,2012)

Daya serap air merupakan kemampuan suatu mie untuk menyerap air secara
maksimal. Menurut Elison (2012), DSA mie yang dihasilkan sangat berkaitan dengan sifat
retrogradasi pati. Semakin tinggi nilai DSA menyebabkan mie yang dihasilkan akan
mudah lunak saat direbus. Dari hasil diketahui DSA pada mie berkisar antara 39,93 -72,95
% dan terdapat perbedaan nilai rataan dari antar perlakuan hal ini berarti penambahan
sukun berpengaruh pada besarnya nilai daya serap air. Selain kandungan serat yang tinggi
sukun juga menggandung pati yang relatif tinggi juga oleh karena itu kandungan pati
didalam sukun (bahan ) dapat berpengaruh terhadap nilai DSA. Kadar serat didalam bahan
juga dapat mempengaruhi besarnya daya serap air. Hal ini karena serat yang terkandung
didalam bahan dapat menyerap air lebih banyak, penyerapan air terjadi karena selulosa
mampu berikatan dengan molekul air (Astawan, 2012).
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) adalah banyaknya padatan yang terkandung dalam mi yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan. Mie yang
baik diharapkan mempunyai nilai KPAP yang rendah yaitu berkisar antara 24,59 – 30,16%
(Ratnaningsih,2010). Dari hasil percobaan diketahui bahwa nilai KPAP bahan berkisar
nilai 17,00 - 33,83 %, dari rataan antar perlakuan diketahui bahwa adanya penambahan

sukun pada konsentrasi 30-40% memberi pengaruh terhadap nilai KPAP dibandingkan
dengan kontrol.

Tjahja (2009) menyatakan bahwa nilai KPAP pada mie merupakan

parameter terpeting untuk produk mie basah, semakin rendah nilai KPAP mie akan
menunjukan bahwa mie tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen. Nilai KPAP
pada mie basah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kadar air dari suatu
bahan, dan retrogradasi pati. Garam alkali yang ditambahkan dalam proses pembuatan mie
juga dapat mempengaruhi nilai KPAP, hal ini disebabkan garam alkali yang berfungsi
sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga pada saat terjadi pemanasan
(perebusan) komponen-komponen tersebut tidak terlepas (Indah,2010). Pati merupakan
komponen lain yang berpengaruh pada tekstur mie basah selain serat, hal ini dikarenakan
didalam pati terdapat granula yang mampu mengikat air. Adanya peningkatan kadar air
menyebabkan peningkatan derajat gelatinisasi, sehingga amilosa yang dapat berfungsi
sebagai pengikat dan mencegah komponen-komponen mie terlepas saat dimasak.
Gelatinisasi diakibatkan oleh terjadinya dehidrasi dan konversi dari amorphous amylase
menjadi bentuk helik. Bentuk helik ini menjadi bagian yang lemah dari Kristal pada
granula pati selama pemasakkan. (Mahmudah, 2006)

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa adanya penambahan sukun
akan berpengaruh pada penambahan nilai gizi dari suatu bahan yaitu kandungan protein
dan serat. Kandungan protein yang optimum dapat dilihat pada konsentrasi penambahan
sukun sebesar 25% dan kadar serat pada penambahan 40%. Selain itu penambahan sukun
juga dapat memperbaiki sifat fisik dari mie yang dilihat dari waktu putus mie,waktu putus
mie yang paling baik terdapat pada konsentrasi penambahan 40%. Penambahan panjang,
daya serap air dan kehilangan padatan akibat pemanasan yang optimum terjadi pada
penambahan sukun 30%

Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti uji organoleptik yang meliputi
parameter-parameter standar mutu Mie basah serta pengamatan secara visual.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti pengaruh penambahan konsentrasi
air khi terhadap mutu mie basah.

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak DrsYahanes Martono S.Si , M.sc
yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

Daftar Pustaka
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemist. AOAC :Washinton DC
DPPHP, 2002. Nilai Gizi Dan Penglahan Sukun. Jakarta: Subdit Teknologi Pengolahan
[10 Januari 2012]
Ekawidiasta, Orca, 2003. Karakteristik Tepung Sukun Dengan Menggunakan
Pengering Kabinet Dan Aplikasinya dalam PeUntuk Substitusi Tepung
Terigu Pada Pembuatan Roti Tawar. [8 agustus 2012]
Hadinataria, Nerissa. 2011. Pemanfaatan Tepung Kedelai (Glycine Max (L)) Dalam
Optimalisasi Pembuatan Tepung Gaplek Berprotein Sebagai Subtitusi
Tepung Terigu. Skrpsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, FSMKimia
Hanny, 2010. Karakteristik Mie Basah. [30 Juli 2012]
Kumalasari, Indah. 2010. Perbedaan Penambahan Rumput Laut Eucheuma cottonii
Pada Mie Basah Terhadap Kekuatan Regangan (Tensile) Kadar Serat Kasar
Dan Daya Terima. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta
Fakultas-Kesehatan

Koswara,Sutrisno, 2006. Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif. Hasil
Hortikultura, Ditjen BPPHP Departemen Pertanian. (26 Januari 2012)
Krisno, Agus, 2011. Peranan Rhizopus Oryzae Pada Industri Tempe dalam
Peningkatan Gizi Pangan. [8 Agustus 2012]
Muhandri, TjahTja, 2009. Pengaruh Kadar Air, NaCl dan Jumlah Pashing Terhadap
Karakteristik Reologi Mie Jagung. [4 Juli 2012]
Ratnaningsih, dkk. 2010. Pembuatan Tepung Komposit dari Jagung, Ubi Kayu, Ubi
Jalar dan Terigu (Lokal dan Impor) untuk Produk Mi [ 20 Juli 2012]
Rohadi.2002.

Karakteristik

Mie

Kering

Yang

Dihasilkan

Dari

Substitusi

Terigu(Triticum vulgare) Dengan Pati Sukun (Artocapus comuni Lin). Jurnal
Tekhnologi Pangan dan Hasil Pertanian [6 Januari 2012]
Sarbini, Dwi. 2008. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat Kasar
Sifat Organoleptik dan Daya Terima Pada Pembuatan Tempe Kedelai
Glycine max (L) Meriil [20 desember 2012]
Sudarmadji, S., Bambang Haryono, dan Suhardi. 1997. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta
Steel, R.G.D dan J.H. Torie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia, Jakarta.
Wang, Hwa L., Doris I. Ruttle, and C. W. Hasseltine. 1968. Protein Quality of Wheat
and Soybeans After Rhizopus oligosporus Fermentation. [5 Agustus 2012]
Widaningrum, 2005. Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembuatan Mie Basah Dengan
Bahan Baku Tepung Terigu Yang Disubtitusi Tepung Garut. Jurnal
Tekhnologi Pangan dan Hasil Pertanian [6 Januari 2012]