PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL.

SKRIPSI

PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU
BIOETANOL

Oleh :

ARMAN NUGRAHA WALEULU
0752010020

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JATIM
SURABAYA
2012

.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


SKRIPSI

PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU
BIOETANOL

untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh
Gelar Sarjana Teknik ( S-1)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

Oleh :

ARMAN NUGRAHA WALEULU
0752010020

FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JATIM
SURABAYA
2012


.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

SKRIPSI
PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Oleh :

ARMAN NUGRAHA WALEULU
0752010020
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada hari :
Tanggal :

Menyetujui,
Pembimbing


Penguji I

Ir. Naniek Ratni JAR., M.Kes
NIP : 19590729 198603 2 00 1

Ir. Yayok Suryo P., MS
NIP : 19520920 198303 1 00 1
Penguji II

Mengetahui,

Okik Hendryanto C., ST, MT.
NPT : 3 7507 99 0172 1

Ketua Program Studi

Penguji III

Dr. Ir. Munawar, MT.
NIP : 19600401 198803 1 00 1


Dr. Ir. Munawar, MT.
NIP : 19600401 198803 1 00 1

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan
Untuk memperoleh gelar sarjana (S1), tanggal :.............................
Dekan Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan

Ir. Naniek Ratni J.A.R., Mkes.
NIP : 19590729 198603 2 00 1

.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

CURRICULUM VITAE
Penelit i
Nama Lengkap


:

Arman Nugraha Waleulu

NPM

:

0752010020

Tempat/ tanggal
lahir
Alamat

:

Sorong, 23 Desember 1987

:


Jln. Merpati Kel Letwaru, Masohi

Nomor Hp.

:

085343006723

Email

:

armandwaleulu@yahoo.com

Pendidik an
No

Nama Univ / Sekolah

1


FTSP UPN ”Veteran”
Jatim

Program
Studi
Teknik
Lingkungan

2

SMA Muh 8 Surabaya

3
4

Mulai

Keterangan


Dari

Sampai

2007

2012

Lulus

I PA

2004

2007

Lulus

SMPN 1 Masohi


Umum

2000

2003

Lulus

SDN 5 Masohi

Umum

1994

2000

Lulus

Tugas Ak adem ik
No.


Kegiatan

1

Kuliah Lapangan

2

KKN

3

Kerja Praktek

4

PBPAB

5


SKRI PSI

Tempat/ Judul
PT. SI ER, PT. Multi Bintang I ndonesia, PT.
Sritex, Pengolahan Limbah Domestik Sewon
Bantul, Yogyakarta
Desa Sumurmati , Kec. Sumberasih
Kab.Probolinggo
P.G Tjoekir Jombang, Pengelolaan dan
Pengolahan Limbah I ndustri Pabrik Gula
Tjoekir, Jombang
Perencanaan Bangunan Pengolahan Air
Buangan I ndustri Minuman Ringan
Pemanfaatan Limbah Sagu sebagai Bahan
Baku Bioetanol

Or ang Tua

.

Nama

:

Drs. Djamaludin Waleulu

Alamat

:

Jln. Merpati Kel Letwaru, Masohi

Telp

:

081343134688

Pekerjaan

:

PNS

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Selesai Tahun
2011
2011
2011
2012
2012

KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pemanfaatan
Limbah Sagu sebagai Bahan Baku Bioetanol.
Skripsi ini merupakan salah persyaratan bagi setiap mahasiswa Program
Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur untuk mendapatkan gelar sarjana.
Selama menyelesaikan skripsi ini, saya telah banyak memperoleh
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya,
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Naniek Ratni J.A.R., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Dr. Ir. Munawar., MT, selaku Ketua Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
3. Ir. Naniek Ratni J.A.R., M.Kes, selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah
membantu, mengarahkan dan membimbing sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Dosen Penguji saya, Bapak Ir. Yayok Suryo P., MS, Bapak Dr. Ir. Munawar.,
MT dan Bapak Okik Hendryanto, ST., MT yang telah memberikan saransaran sehingga terselesainya skripsi ini dengan baik.
5. Keluarga saya tercinta, Papa Drs. Djamaludin Waleulu, Mama Murniyati
Waleulu, Adik Cupra Nugraha Waleulu, Adik Tria Miranda Waleulu, adik
Renaldi N.P Waleulu, adik Roy S.Z Waleulu, dan Om tercinta Alm.
Najamudin Heluth yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
material dan segala doa serta pengertiannya.
6. My Brother Andera, Alcidio Luis Martin Dos Reis Amaral yang selama ini
telah memberikan semangat, doa, dan Bantuannya hingga terselesainya
skripsi ini.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7. Teman-teman seperjuangan Roby, Fahria, Yaya, Dewi , Ria, Ayu, Ajeng E,
Dewa, Rahma, Hendra, Erwin, Fasich, dan Mas Jonathan, yang selalu
memberikan semangat, dan membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung hingga terselesainya skripsi ini.
8. Ferdinan J.L, Yonie Satria, Surya Dwi Retno, Tengku Apriara, M. Kardono
Marasaoly, Nove Adi Wirata, Amin Baladewa, Reza Vegenz, Bagus S,
Dhama Rakkito dan rekan-rekan di Teknik Lingkungan angkatan 2007, 2008,
2009, 2010 maupun semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu
yang telah memberikan semangat, doa, dan banyak membantu hingga
terselesainya skripsi ini.
9. Jeffry Cornelius Junior Marien, Pongky Ario T.W yang selalu memberikan
motivasi dan semangat hingga terselesaikannya skripsi ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun akan saya terima
dengan senang hati. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila di dalam penyusunan laporan ini terdapat
kata-kata yang kurang berkenan atau kuarang dipahami.

Surabaya, Desember 2012

Arman Nugraha Waleulu.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………..……..……. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………..….... iii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………....... v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..... vi
BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang…………………………………………..........1
I.2 Rumusan Masalah..……………………………………….......2
I.3 Tujuan ..........………………………………………………. 3
I.4 Manfaat ..................................................................................3
I.5 Ruang Lingkup ......................................................................3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Potensi Sagu ........................................................…………...5
II.2. Pemanfaatan Limbah Sagu ...….....………………………....10
II.3. Pati Sagu Sebagai Sumber Bioetanol ........................……....12
II.4. Kelebihan Limah Sagu Sebagai Penghasil Bioetanol ..…….16
II.5. Pengertian Bioetanol..............................................................16
II.6. Kandungan Bioetanol ...........................................................19
II.7. Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati Non Pangan...........20
II.8. Fermentasi .............................................................................21
II.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Fermentasi.........22
II.10. Mekanisme Pembuatan Bioetanol........................................23
II.10.1. Persiapan Bahan Baku...............................23
iii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

II.10.2. Tahap Liquifikasi.......................................24
II.10.3. Tahap Sakarifikasi.....................................24
II.10.4. Tahap Fermentasi......................................25
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Alat Penelitian....... ………………………………………..26
III.2. Bahan Penelitian.....………………………………………..26
III.3. Variabel Penelitian...............................……………….........26
III.4. Parameter Penelitian..............................................................27
III.5. Prosedur Penelitian................................................................27
III.6. Rangkaian Alat Pembuatan Bioetanol..................................29
III.7. Kerangka Penelitian..............................................................30

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Uji Kadar Gula …………………………………………...31
IV.2. Uji Kadar Etanol....... ..…...……………………………….33
IV.3. Pengaruh Variasi Berat Limbah Sagu...................................35
IV.4. Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi....................................35

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan………………………………………………….37
V.2. Saran………………………………………………………...37

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................vii
LAMPIRAN............................................................................................................A
LAMPIRAN............................................................................................................B

iv

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

INTISARI
Sagu merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku bioetanol. Penelitian pembuatan etanol berbahan dasar sagu dilaksanakan dengan
menggunakan dua jenis enzim yaitu -amilase dan glukoamilase dan bahan baku berupa pati,
empulur dan serat pada skala laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya
kandungan kadar etanol yang dihasilkan dari limbah sagu. Prosedur penelitian ini terdiri dari
proses hidrolisa bahan dengan penambahan enzim alpha amilase, proses sakarifikasi dengan
penambahan enzim glukoamilase, proses fermentasi dengan penambahan Ragi dan berlangsung
selama 5 hari dengan berat limbah sagu yang digunakan adalah 1 kg, 2 kg dan 3 kg yang
merupakan variabel Peubah dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
skala laboratorium penggunaan enzim alpha amilase 100 gr, enzim glukoamilase 100 gr dan ragi
100 gr menghasilkan kadar etanol paling tinggi yaitu 1,110 % untuk pati sagu dengan berat 1 kg.
Kata kunci : Sagu, Enzim Alfa amilase, Enzim Gluko amilase, dan Bioetanol

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ABSTRACT

Sago , an endemic plant of Indonesia, is potential for bio-ethanol base material.
Bioethanol can be producted from sago core, Research-based ethanol manufacturing sago
implemented using two types of enzymes, namely-amylase and glucoamylase and raw materials
such as starch, pith and fiber at the laboratory scale. The purpose of this study was to determine
the amount of content levels of ethanol produced from sago waste. The procedure of this study
consists of the hydrolysis of the material with the addition of the enzyme alpha amylase,
saccharification process with the addition of glucoamylase enzymes, fermentation by adding
yeast and lasted for 5 days with heavy use of sago waste is 1 kg, 2 kg and 3 kg which is a
variable Variables in this study. The results showed that on a laboratory scale using 100 gr
enzyme alpha amylase, an enzyme glucoamylase 100 gr and 100 gr yeast produces ethanol levels
at least as high as 1.110% for sago starch by weight of 1 kg.Keywords: Sago, Enzyme Alpha
amilase, Enzyme Gluco amilase, Bioethanol

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang
Pemanfaatan limbah sagu di Provinsi Maluku khususnya di Desa Luhu,
Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Barat, belum optimal bahkan belum ada
pengolahan limbah sagu, disisi laim limbah sagu sangat bermanfaat sebagai
bahan baku dalam pembuatan bioetanol.
Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan
utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola
dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ ha/tahun. Produktivitas ini setara
dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang yang
produktivitas 10-15 ton/ha/tahun.
Dan dari hasil produktivitas 25 ton pati kering/ha/tahun hanya sekitar 3040% yang merupakan area penghasil pati yang produktif dengan produktivitas pati
7-10 ton/ha/tahun atau setara dengan 3.5 kl/ha/tahun, dengan pati produktif yang
dihasilkan sekitar 7 ton/ha/tahun maka hasil ikutan dari pengolahan sagu berupa
kulit, batang dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil
pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya,dengan jumlah
sekitar 5.04 ton/ha/tahun biomassa limbah sagu (Asben, 2009).
Panen sagu relatif mudah, yakni pohon ditebang, batang dipotong-potong
kemudian dihanyutkan ke pabrik pengolahan. Hanya saja batang sagu cukup

1

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

berat, rata-rata 1 ton, selain itu, lokasi tegakan alami (hutan) sagu umumnya
terpencil dan terdapat pada lahan basah sehingga sulit dijangkau.
Bioetanol merupakan bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari
biomassa yang mengandung pati, gula, dan lignoselulosa. Bahan bakar nabati
merupakan alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) konvensional,
sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada BBM konvensional.
Penggunaan BBM konvensional telah diketahui tidak dapat dipertahankan lagi
penggunaannya. Hal ini disebabkan jumlah cadangan minyak bumi semakin
berkurang dan juga kontribusinya terhadap pemanasan global akibat terakumulasinya
karbondioksida (CO ) di atmosfer hasil pembakaran minyak bumi.
2

Bioetanol dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah tersebut karena
merupakan BBN sebagai sumber BBM yang dapat diperbarui dan tidak menimbulkan
dampak pencemaran bagi lingkungan, sehingga dapat menciptakan kesehatan
lingkungan maupun keberlanjutan ekonomi. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam
Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
kajian ini adalah :
1.

Meningkatnya limbah pertanian akibat perkembangan industri pertanian
menimbulkan pengaruh pencemaran lingkungan.

2.

Limbah sagu merupakan biomassa lignoselulosa yang mengandung
komponen penting, seperti pati dan selulosa yang berpotensi sebagai sumber
BBN non-pangan dalam produksi bioetanol.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.

Memanfaatkan potensi yang terkandung pada limbah sagu sebagai penghasil
bioetanol.

2.

Mengetahui besarnya kadar gula yang dihasilkan oleh limbah sagu setelah
proses sakarifikasi

3.

Mengetahui besarnya kadar etanol yang dihasilkan oleh limbah sagu setelah
proses fermentasi.

I.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.

Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat di Maluku.

2.

Sebagai sumber informasi dalam pembuatan bioetanol dari limbah sagu.

I.5. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup penelitian ini meliputi :
1.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Program Studi Teknik
Lingkungan UPN Veteran Jawa Timur.

2.

Analisa Hasil Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi, Gedung
Robotika, ITS

3. Pengambilan bahan baku dilakukan di kebun sagu Desa Luhu, Kecamatan
Huamual, Kabupaten Seram Barat.
4.

Parameter yang diteliti pada penelitian ini adalah besarnya kandungan kadar
etanol dalam limbah sagu setelah proses fermentasi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

5.

Jenis Enzim yang digunakan adalah Enzim Alfaamilase dan Glucoamilase
yang dibeli di Tristar Chemical, Surabaya, Jawa Timur.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA

II.1. Potensi Sagu
Potensi sagu (Metroxylon sagu Rottb) sebagai sumber bahan pangan dan
bahan industri telah disadari sejak tahun 1970-an, namun sampai sekarang
pengembangan tanaman sagu di Indonesia masih jalan di tempat. Sagu merupakan
tanaman asli Indonesia. Indonesia memiliki tanaman sagu sekitar 1,128 juta ha
dan 90% dari jumlah tersebut 1,015 juta ha berkembang di Provinsi Papua dan
Maluku. ( Jermia Limbongan, 2007 ). Sementara menurut Sjahrul Bustaman
(2006), melaporkan bahwa areal sagu di Maluku mencapai 31.360 ha, yang
tersebar di Kabupaten Seram Bagian Timur seluas 9.250 ha, Seram Bagian Barat
8.410 ha, Maluku Tengah 6.425 ha, Buru 5.457 ha, Maluku Tenggara Barat 245
ha, Kepulauan Aru 1.318 ha dan Kota Ambon seluas 225 ha.
Berdasarkan peta Zona Agroekologi skala 1: 250.000, areal sagu berada
pada jenis tanah Hidraquent, Tropaquents, dan Fluvaquents. Jika diasumsikan
bahwa seluruh luasan tersebut berpotensi untuk dikembangkan

sebagai areal

sagu, karena memiliki karakteristik biofisik yang sama, maka luas potensi lahan
untuk pengembangan sagu di Maluku sampai 649.937,85 ha. Dengan sebaran di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat 948,54 ha, Kabupaten Maluku Tenggara
5.161,78 ha, Kabupaten Maluku Tengah 104.640,00 ha, Kabupaten Buru
34.887,50 ha, Kabupaten Seram Bagian Barat 36.871,20 ha, Kabupaten Seram
Bagian Timur

Strategi Pengembangan Bio-etanol Berbasis Sagu di Maluku

5

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

114.497,19 ha, Kabupaten Kepulauan Aru 351.493,64 ha dan Kota Ambon
1.436,00 ha (Sjahrul Bustaman, 2005).
Tanaman sagu memiliki kurang lebih 30 spesies tumbuhan pohon
penghasil tepung (pati). Metroxylon spp adalah penghasil pati yang tinggi dan
mutu tepungnya termasuk mutu perdagangan internasional (Louhenapessy, 1994).
Umumnya dikenal empat jenis sagu berduri yaitu M. rumphii Mart. (sagu Tuni),
M. sylvestre Mart. (sagu Ihur), M. longispinum Mart. (sagu Makanaru), dan M.
micracanthum Mart. (sagu Duri Rotan), serta satu jenis sagu tidak berduri yaitu
M. sagus Rottb. (sagu Molat). Ciri morfologi merupakan petunjuk praktis untuk
mengenal beberapa jenis sagu di lapangan. Ciri morfologi yang dapat diamati
antara lain adalah tinggi batang, lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiol,
panjang rachis dan jumlah lembar daun (Limbongan, 2007). Berdasarkan potensi
genetiknya, semua jenis sagu yang tumbuh di Indonesia, terdapat juga di Maluku.
Dua jenis sagu yang mempunyai nilai komersial tinggi yaitu M. sagu dan
M. rumphii. Diperkirakan ada 15 jenis sagu (5 jenis tidak berduri, 8 jenis berduri
pendek dan 2 jenis berduri panjang) yang tumbuh di Maluku dan Papua, dan
sekarang dijadikan sumber karbohidrat tradisional oleh penduduk setempat dan
belum dimanfaatkan secara optimal, karakter tinggi batang dapat digunakan
sebagai kriteria seleksi untuk mempertahankan sifat unggul pada regenerasi
berikutnya. Di wilayah Indonesia Timur, lebih banyak dijumpai sagu berduri
dibandingkan dengan Indonesia wilayah Barat. Sagu merupakan tanaman rumpun
karena dapat berkembang biak dengan membentuk anakan. (Bustaman, 2005).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan primordia
bunga atau kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut
daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda, (lebih tegak dan
ukurannya kecil). Perubahan lain adalah pucuk agak menggelembung, duri
semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin. Sampai saat
ini petani sagu belum dapat menentukan dengan pasti umur sagu yang tepat untuk
dipanen agar mendapat hasil yang optimal. Kandungan pati (karbohidrat) tanaman
sagu tersimpan di dalam batang, dan biasanya dipanen setelah berumur 8-10
tahun, namun jika dibudidayakan dengan baik umur panen ini dapat dipersingkat
menjadi 6-7 tahun (Flach, 1980). Menurut Bustaman (2005), rata-rata produksi
tepung basah dalam satu batang pohon sagu adalah 292 kg/pohon atau setara
dengan 172,5 kg tepung kering/pohon dan dalam satu hektar ada 82 pohon masak
tebang (siap panen). Sementara Flach (1980), dengan perbaikan kondisi lahan,
produksi tepung sagu kering dapat ditingkatkan mencapai 185 kg/pohon dan
dalam 1 hektar ada 134 pohon masak tebang. Berdasarkan sudah tersedianya
lahan sagu seluas kurang lebih 30.000 ha dan dalam satu hektar ada kurang lebih
100 pohon siap panen, diperkirakan potensi produksi sagu kering di Maluku dapat
mencapai 555.000 ton (Alfons dan Bustaman, 2005). Informasi banyaknya sagu
yang dipanen persatuan waktu (misalnya tahun, bulan) belum didapat.
Hal ini disebabkan tanaman sagu dipanen disesuaikan dengan kebutuhan
pemilik dan permintaan pasar. Selain kandungan tepung kering sagu perpohon
dan jumlah pohon masak tebang per hektar, waktu (periode) pohon masak tebang
pertama ke pohon masak tebang berikutnya dalam satu lokasi (blok yang sama),

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

merupakan satu hal yang penting yang harus diperhatikan dalam upaya
menciptakan sistem produksi berkelanjutan. Periode pohon masak tebang dalam
satu blok yang sama, berlangsung antara 2 – 3 tahun. Bahkan jika penebangan
pohon sagu hanya didasarkan pada sifat fisik pohon tanpa mempertimbangkan
tingkat kandungan tepung dalam batang, dapat menyebabkan periode pohon
masak tebang menjadi lebih lama yaitu antara 6 – 7 tahun. Tujuan pengembangan
sagu di Maluku adalah mengoptimalkan sumberdaya sagu dan menjaga
pengelolaannya secara berkelanjutan dalam upaya membangun ketahanan pangan
menurut Louhenapessy (2006),
Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan
kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang
cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Secara
alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia
dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat
di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tumbuhan ini merupakan asli
Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur
premium dan pertamax (E) atau dalam kondisi tertentu dari mesin dapat
digunakan secara penuh (E100). (Gusmailiana, 2009).
Populasi tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar
1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku (Flach,
1977). ke dua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia,
juga di beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi
budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1977) yaitu

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

9

1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta
148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan
areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara
dengan etanol 3,5 kl/ha/tahun.dengan pati produktif yang dihasilkan sekitar 7
ton/ha/tahun maka hasil ikutan dari pengolahan sagu berupa kulit, batang dan
ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil pengolahan sagu yang
masih sangat kurang pemanfaatannya,dengan jumlah sekitar 5.04 ton/ha/tahun
biomassa limbah sagu (Asben, 2009).
Perkiraan potensi produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar, karena
hal ini berkaitan dengan luas areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per
hektar per tahun, dan produksi pati kering per pohon. Sebagian besar areal sagu di
Indonesia merupakan tegakan alami sehingga produktivitasnya sangat beragam.
Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per
tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5% dari
potensi produksi.
Apabila tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk bioetanol maka dapat diperoleh bioetanol 3 juta kiloliter per
tahun. Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per
tahun. Apabila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar 10% (campuran
premium dan etanol 90:10) maka diperlukan etanol sebanyak 1,6 juta kiloliter.
Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari pati sagu saja. tentu saja angka tersebut

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

tidak realistis karena sangatlah sulit memanfaatkan seluruh potensi hutan sagu
mengingat lokasi tegakan alami sagu yang terpencil dan sulit dijangkau.
Bioetanol sebagai campuran premium tidak mengandung timbal dan tidak
menghasilkan emisi hidrokarbon sehingga ramah lingkungan. Karena dihasilkan
dari tanaman maka bioetanol dari sagu bersifat terbarukan. Hanya saja produksi
etanol dengan teknologi sederhana harus diawasi secara ketat untuk menghindari
kemungkinan penyalahgunaannya sebagai minuman keras. Pengolahan pati sagu
menjadi etanol serupa dengan pembuatan tape dari ubi kayu. Pati sagu diubah
menjadi gula menggunakan mikroba dan difermentasi lebih lanjut menjadi etanol.

II.2. Pemanfaatan Limbah Sagu
Biomassa secara sempit didefinisikan sebagai bahan (material) yang berasal
dari tumbuhan terestrial (darat). Biomassa tumbuhan sebagian besar

berupa

biomassa lignoselulosa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Selain itu pektin, protein, zat ekstraktif, dan abu juga terdapat dalam jumlah kecil.
Salah satu biomassa lignoselulosa adalah limbah sagu.
Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri
ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur
sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang
sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balak sagu
(Singhal et al, 2008).
Biasanya kulit batang sagu dikeringkan dan digunakan untuk kayu bakar,
sedangkan ampas sagu dicampur dengan bahan makanan tambahan dan digunakan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

11

sebagai makanan hewan. Kulit batang sagu dan ampas sagu juga digunakan
sebagai pengisi dalam pembuatan papan partikel (Kiat, 2006).
Kegunaan biomassa untuk memproduksi energi harus ditingkatkan jika kita
ingin mengurangi akibat pemanasan global dan dapat menyediakan energi tinggi
untuk menggantikan bahan bakar konvensional. Biomassa selalu menjadi sumber
energi utama untuk makhluk hidup dan diperkirakan berkontribusi 13% dari
pasokan energi dunia dan persentase yang lebih besar lagi bagi negara-negara
berkembang (Tsukahara dan Sawayama, 2005).
Pati sagu selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol
juga dapat digunakan sebagai bahan pangan dan berbagai keperluan lain. Selain
bagian patinya, secara tradisional tanaman sagu juga dapat dimanfaatkan dari
seluruh bagian pohonnya, seperti: daun, kulit, batang dan pelepah, tangkai daun
dan ampas sagu.
Dalam bidang industri makanan pati sagu dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan soun, campuran biskuit dan biskuit sagu. Selain itu dapat juga
dimanfaatkan dalam industri kosmetik, farmasi, pestisida dan bahan pengisi pada
industri plastik setelah pati diolah menjadi bentuk dekstrin (produk turunan pati).
Selain itu daun sagu dapat digunakan dalam pembuatan atap, plafon, keranjang,
tikar anyaman dan dinding rumah, sebelum adanya seng (rumah-rumah khususnya
di daerah penghasil sagu seperti Papua dan Maluku) terbuat dari daun sagu atau
nipah sedangkan tangkainya digunakan dalm pembuatan sapu lidi. daun sagu yang
dimanfaatkan untuk atap rumah secara ekonomis lebih memberi hasil dari pada

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

patinya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Selain itu daun sagu juga dipergunakan
untuk membungkus pati sagu basah.
Kulit paling luar dari batang sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Selain itu juga dapat digunakan untuk wadah pengendapan pati sagu dalam proses
pengolahan secara tradisonal. Sedangkan setelah batang sagu dikeringkan dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan rumah, dinding dan pagar karena dapat tahan
selama sekitar sepuluh tahun apabila tidak tersentuh tanah dan batang pati tersebut
juga dapat digunakan untuk pengendapan pati secara tradisional (Bintoro, 2008).
Ampas sagu berupa serat empulur merupakan sisa dari pemerasan pati sagu
dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Serat empulur ini mengandung
selulosa yang apabila diberikan enzim selulase dapat dijadikan gula yang
selanjutkan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pembuatan etanol, oleh karena
itu serat empulur dari ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
tambahan dalam pembuatan etanol. Ampas serat empulur yang didiamkan dalam
beberapa waktu dapat menimbulkan cendawan dalam jumlah yang banyak. Jamur
ini oleh masyarakat Maluku, dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan untuk
lauk, dan ampas yang telah lapuk karena jamur tersebut dapat digunakan sebagai
pupuk.
II.3. Pati Sagu Sebagai Sumber Bioetanol
Konsumsi minyak bumi (BBM) yang terus meningkat dan cadangan
minyak yang semakin menipis telah mendorong pengembangan dan pemanfaatan
bahan bakar nabati (BBN) sebagai bahan bakar alternatif. Salah satu contoh bahan
bakar alternatif yang saat ini mulai dikembangkan adalah bioetanol.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

Sagu merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Secara alami sagu tersebar hampir di
setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar di Papua. Sagu
semi budaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.
Keunggulan pati sagu sebagai bahan baku bioetanol ialah bahwa produktivitas
pati sagu lebih tinggi dibanding komoditas penghasil pati lainnya (sagu 25
ton/ha/tahun), padi 6 ton/ha/tahun, jagung 5,5 ton/ha/tahun, kentang 2,5
ton/ha/tahun dan ubi kayu 1,5 ton/ha/tahun. Peneliti Jepang menempatkan sagu di
urutan pertama sebagai sumber bahan baku. Pati sagu dan ubi kayu merupakan
sumber pati paling murni dibanding pati dari jenis lain, sehingga dapat
menghasilkan produksi etanol yang berlebih menyatakan bahwa sagu selain
mengandung karbohidrat yang tinggi (85%), juga memiliki kandungan kalori
sekitar 357 kalori. Diperkirakan dari 6,5 kg tepung sagu dengan kandungan
karbohidrat 85%, maka akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol, (Bustaman, 2008).
Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang dapat dibuat dari bahan
yang mengandung pati seperti sagu. Potensi produksi sagu adalah 5 juta ton pati
kering per tahun. Saat ini baru dikonsumsi sekitar 210 ton/tahun atau kurang lebih
4-5% dari total produksi. Apabila sagu dimanfaatkan secara optimal, maka akan
diperoleh 3 juta kilo liter bioetanol per tahun (faktor konversi 0,6). Bioetanol
dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga, sebagai bahan bakar
alternatif pengganti minyak tanah. Perbandingan penggunaan bioetanol dengan
minyak tanah adalah 1 : 3, dengan 21 perbandingan masa pakai yang berbeda
yaitu 1 liter minyak tanah dapat digunakan selama 2 jam, sedangkan 1 liter

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

14

bioetanol dengan kadar 90 -95% dapat digunakan selama 15 jam. Bioetanol
sebagai bahan bakar kendaraan dapat digunakan dengan perbandingan 10%
bioetanol absolut: 90% bensin. Campuran ini biasa disebut Gasohol E10. Gasohol
E-10 mampu meningkatkan tenaga menjadi 41,23 kW dibandingkan dengan
premium hanya 30,97 kW dan pertamax 40,09 kW. Etanol yang dihasilkan dari
pati sagu memiliki nilai oktan lebih tinggi 117 dibandingkan dengan premium,
yang hanya mempunyai nilai oktan sebesar 87 dan pertamax 93. Selain itu,
konsumsi bahan bakar lebih irit, hanya sekitar 30,39L/jam, dibandingkan
premium 31,03 L/jam. Molekul etanol yang dihasilkan mengandung oksigen
dengan pembakar mesin lebih sempurna sehingga mengurangi emisi gas buang.
Selain itu, bioetanol merupakan bahan bakar tidak beracun, tidak mengakumulasi
gas karbondioksida dan relatif kompatibel dengan mobil bensin atau diesel
(Mursyidin, 2007).
Kelebihan bioetanol dibandingkan dengan bensin adalah bioetanol aman
digunakan sebagai bahan bakar, titik nyala etanol 3 kali lebih tinggi dibandingkan
bensin dan emisi hidrokarbon lebih sedikit (Chemiawan, 2007). Dari data-data di
atas dapat diketahui bahwa potensi tumbuhan sagu sangat tinggi, akan tetapi
belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu peningkatan nilai tambah sagu
yaitu derivasi menjadi gula yang selanjutnya diproses lebih lanjut dijadikan
etanol. Proses dapat dilakukan secara kimia, biologi maupun dengan bantuan
enzim. Pada penelitian ini telah dilaksanakan pembuatan etanol dari sagu dengan
menggunakan dua

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

jenis enzim dengan dua macam teknik. Tujuan penelitian adalah untuk
mendapatkan jenis enzim yang efektif untuk memperoleh etanol dari pati
(tepung), empulur dan serat sagu dan alternatif pemanfaatan batang sagu sebagai
bahan baku pembuatan etanol sebagai sumber energi terbarukan.
Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi
primadona untuk mengggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya
semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya
yang tidak dapat diperbaharui. Sementara bioetanol dapat diproduksi dari berbagai
bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, selain sagu sumber potensial sagu
antara lain singkong, tebu, aren, jambu mete, jagung dan lain-lain. bioetanol dapat
dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti dari
sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan
apapun yang mengandung karbohidrat dan gula, dapat diproses menjadi bioetanol.
Melalui proses Liquefaction (perubahan pati menjadi sellulosa), sakarifikasi
(pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi,
bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol.
Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Pati
sagu lebih murni karena miskin kandungan lemak, protein dan senyawa lain,
sehingga pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan
turunan pati seperti dekstrin, dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati
sagu diekstrak dari empulur batang yang mengandung pati (27-31%), serat (2024%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

air sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. bioetanol dari sagu berasal
dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu (Gusmailiana, 2009).
II.4. Kelebihan Limbah Sagu Sebagai Penghasil Bioetanol
Pusat perhatian pengembangan sumber energi alternatif pada gula
terfermentasi dari lignoselulosa merupakan sumber karbohidrat terbarukan paling
besar yang diketahui. Bioetanol dalam cakupan industri produksi energi merujuk
pada bahan hayati yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar nabati
sehingga lebih ramah lingkungan.
Potensi sagu di Indonesia saat ini seluas 1,2 juta ha atau 55% dari 2,201 juta
ha areal sagu dunia dan pemanfaatan tanaman sagu sejauh ini cenderung terfokus
pada pati yang dihasilkannya. Pengolahan batang sagu menjadi pati hanya 1628%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72%
merupakan biomassa limbah sagu hasil industri pengolahan sagu yang masih
sangat kurang pemanfaatannya (Asben, 2009).

II.5. Pengertian Bioetanol
Bioetanol adalah cairan biokimia pada proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat dengan menggunakan bantuan mikroorganisme dilanjutkan dengan
proses distilasi. Sebagai bahan baku digunakan tanaman yang mengandung pati,
ligno selulosa dan sukrosa. Dalam perkembangannya produksi bio-etanol yang
paling banyak digunakan adalah metode fermentasi dan distilasi, dengan bahan
baku ubi kayu atau molase. Bio-etanol dapat digunakan sebagai pengganti bahan
bakar minyak (BBM) tergantung dari tingkat kemurniannya. Bio-etanol dengan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

kadar 95-99% dapat dipakai sebagai bahan substitusi premium (bensin),
sedangkan kadar 40% dipakai sebagai bahan substitusi minyak tanah. Kebutuhan
bensin nasional saat ini mencapai 17,5 miliar liter/tahun, kurang lebih 30% dari
total kebutuhan, masih impor. Hal ini mengakibatkan permintaan bioetanol sangat
tinggi.
Dalam kurun waktu 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48
miliar liter bensin dengan bio-etanol sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No.5/2006. Diperkirakan kebutuhan bio-etanol akan meningkat 10% pada tahun
20112015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3
tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bio-etanol/ bulan. Saat ini
bio-etanol baru dapat dipasok sebanyak 137.000 liter setiap bulannya (0,4%). Hal
ini berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol sebagai bahan bakar (Nurianti, 2007).
Propinsi Maluku dikenal dengan Propinsi Seribu Pulau dengan luas
wilayah 57.326.817 ha. Wilayah daratan yang hanya sepuluh persen dari total luas
wilayah merupakan kepulauan yang didominasi oleh pulau kecil. Jumlah
keseluruhan Strategi Pengembangan Bio-etanol Berbasis Sagu Di Maluku, oleh
pemerintah daerah pulau – pulau tersebut dikelompokkan dalam 12 gugus pulau.
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi dan usaha perikanan
masyarakat pada pulau-pulau ini sangat tergantung kepada pasokan BBM dari
kota Ambon. Karena sulitnya transportasi, harga BBM di daerah yang jauh dari
Ambon meningkat 50 – 100% di atas harga eceran tertingi (HET) dan waktu
pasokannya tidak menentu karena sangat tergantung cuaca laut yang tidak

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

menentu. Akibatnya sampai saat ini masih banyak daerah mempunyai biaya
transportasi yang tinggi.
Program pemerintah tentang usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) perlu
ditindaklanjuti

oleh

Pemerintah

Daerah

Maluku,

untuk

mengurangi

ketergantungan pada BBM. Beberapa faktor pendukung apabila Maluku turut
berkontribusi dalam penyediaan bio-etanol adalah sebagai berikut
a. Bahan baku cukup dan telah tersedia,
b. Teknologi pembuatan bio-etanol relatif mudah dan tersedia,
c. Pasar dan keuntungan yang menjanjikan.
Pertimbangan lainnya adalah banyak pulau kecil di Maluku, yang dapat
dijadikan sebagai pembuatan dan penggunaan BBN (bio-etanol) secara mandiri.
Umumnya pulau-pulau kecil di Maluku berpenduduk sedikit, dan mobilitasnya
rendah

sehingga

mempermudah

pengembangan,

pemanfaatan

dan

pemantauannya. Di lain pihak Pertamina wilayah Maluku dan Maluku Utara telah
bersedia menjadi penampung hasil produksi, bila Maluku ingin mengembangkan
bio-etanol. Dengan adanya usaha pembuatan bioetanol di Maluku paling tidak 10
- 20% dari kebutuhan bensin dapat disubstitusi dari bioetanol. Ini berarti memberi
peluang kerja pada masyarakat di pulau kecil, dan menghemat pengeluaran untuk
pembelian bensin dan minyak tanah bagi rumah tangga, dan transportasi umum.
Skala usaha dalam industry bio-etanol dibedakan atas
a. Rumah tangga,
b. Menengah, dan
c. Besar.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

19

Perbedaan ini didasari atas kapasitas produksi setiap bulannya. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemda Maluku dalam upaya
membangun industri bio-etanol dari bahan baku sagu. (Syahrul Bustaman, 2005).

II.6. Kandungan Bioetanol
Bioetanol adalah etanol yang. berasal dari sumber hayati. Bioetanol
bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti tebu, nira
sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung: jerami, bonggol jagung dan kayu.
Setelah melalui proses fermentasi, dihasilkan etanol.
Etanol adalah senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai derivat senyawa hidrokarbon yang
mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C2H5OH.
Etanol merupakan zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar
dan menguap, dapat bercampur dalam air dengan segala perbandingan. Adapun
sifat fisik dan kimia dari etanol yaitu :
1. Sifat sifat fisik etanol terdiri dari :
a. Rumus molekul

: C2H5OH

b. BM

: 46,07 gram/mol

c. Titik didih pada 760 mmHg : 78,4°C
d. Titik beku

: - 112°C

e. Densitas

: 0, 789 gr/ml pada 20°C

f. Kelarutan
1) air

: sangat larut

2) eter

: sangat larut

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

2. Sifat kimia
a. Dihasilkan dari fermentasi glukosa C6H12O6 → 2 C2H5OH + 2 CO2
Glukosa

etanol

karbondioksida

b. Untuk minuman diperoleh dari peragian karbohidrat, ada dua tipe yaitu
tipe pertama mengubah karbohidratnya menjadi

glukosa kemudian

menjadi etanol,
c. Pembentukan etanol
C6H12O6

ENZIM

glukosa

2CH3CH2OH + 2CO2
etanol

karbondioksida

d. Pembakaran etanol
CH3CH2OH + 3O2

2CO2 + 3H2O + energi

(Perry, 1984).

II.7. Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati Non-Pangan
Bahan bakar nabati merupakan sumber energi alternatif dalam mengatasi
kebergantungan masyarakat pada bahan bakar minyak konvensional. Menurut
Wahyuni (2007), keberlanjutan penggunaan bahan bakar minyak konvensional
(fosil) sebagai sumber bahan bakar minyak (BBM) telah secara luas diketahui
tidak akan berlangsung lama lagi, karena diketahui jumlahnya yang semakin
berkurang di bumi ini dan juga kontribusinya dalam menyumbang produksi CO2
yang berpotensi sebagai kontaminan berbahaya dalam kehidupan manusia
maupun lingkungan. Namun, kompetisi bahan bakar nabati dengan pangan dan
pakan menjadi tantangan untuk menemukan alternatif sumber BBN non-pangan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

Bioetanol merupakan etanol yang berasal dari semua jenis biomassa yang
mengandung gula, pati, dan lignoselulosa sehingga memiliki potensi sebagai
pengganti BBM kovensional (Neves 2006). Akan tetapi, sumber bahan bakar
nabati yang berasal dari tanaman dapat berkompetisi dengan pangan dan pakan.
Oleh karena itu, pemanfaaatan limbah sebagai sumber BBN non-pangan penghasil
bietanol akan mengatasi masalah perdebatan tersebut karena tidak mengganggu
ketahanan pangan, tapi justru mendukung program ramah lingkungan.
II.8. Fermentasi
Fermentasi merupakan teknologi menggunakan mikroorganisme sebagai
pemeran utama dalam suatu proses. Fermentasi dapat terjadi karena adanya
aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai.
Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai
akibat pemecaha komponen – komponen bahan tersebut. Jika cara pengawetan
lain ditujukan untuk mengurangi jumlah mikroba, maka proses fementasi adalah
sebaliknya

yaitu

memperbanyak

jumlah

mikroba

dan

menggiatkan

metabolismenya, tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu
disesuaikan dengan hasil akhir yang dikehendaki.
Proses fermentasi juga merupakan proses biokimia dimana terjadi
perubahan-perubahan atau reaksi-reaksi kimia dengan pertolongan jasad renik,
penyebab fermentasi tersebut bersentuhan dengan zat makanan yang sesuai
dengan pertumbuhannya. Akibat terjadinya fermentasi sebagian atau seluruhnya
akan berubah menjadi alkohol setelah beberapa waktu lamanya. Pati yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

22

terkandung dalam garut dapat diubah menjadi alkohol, melalui proses biologi dan
kimia (biokimia).
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan tanpa
oksigen ( anaerobik ), Secara umum fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi
anaerobic, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan
fermentasi sebagai respirasi anaerobik dalam lingkungan dengan tanpa akseptor
elektron eksternal.

Fermentasi oleh yeast, misalnya dapat menghasilkan etil alkohol Sacharomyces
cereviseae(etanol) dan CO melalui reaksi sebagai berikut:

II.9. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Proses Fer mentasi
Adapun faktor – faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi yaitu:
1. Keasaman (pH) pH 4,5 – 5,5 adalah pH optimal yang disukai bakteri
sacharomyces bekerja untuk mengurai glukosa menjadi lebih optimal.
2. Mikroorganisme
3. Suhu yakni Suhu fermentasi sangat menentukan

macam mikroba yang

dominan Pada suhu 10oC - 30oC terbentuk alkohol lebih banyak karena ragi
bekerja optimal pada suhu itu (Winarno, 1984).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

23

4. Waktu yakni laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut

spesies dan

kondisi pertumbuhannya. Pada kondisi optimal, sekali setiap 20 menit.
5. Makanan (nutrisi) yakni semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang
menyediakan: Energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung
karbon. Nitrogen, Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat digunakan
adalah urea. Mineral, mineral yang dipergunakan mikroorganisme

salah

satunya adalah asam phospat yang dapat diambil dari pupuk TSP.

II.10. Mekanisme Pembuatan Bioetanol
Teknologi produksi bioetanol berikut ini diasumsikan menggunakan Sagu
sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa
yang lain, terutama molase. Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 4
(empat) rangkaian proses, yaitu: persiapan bahan baku, tahap liquefaction, Tahap
Sakarifikasi, Fermentasi,

II.10.1. Persiapan Bahan Baku

Bahan baku untuk produksi bietanol bisa didapatkan dari berbagai
tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal
Tebu

(sugarcane),

gandum

manis

(sweet

sorghum)

atau

yang

menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan
gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku
beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi
menjadi beberapa proses, yaitu:

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

24

a. Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula.

b. Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan
susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.

c. Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan
menjadi

gula

kompleks

(Liquefaction)

dan

sakarifikasi

(Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim
hidrolisis).

II.10.2. Tahap Liquefaction atau

Pada tahap ini memerlukan penanganan sebagai berikut:

a. Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur.
b. Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim.
c. Penambahan enzim (alfaamilase) dengan perbandingan yang tepat.
o

o

d. Pemanasan bubur hingga kisaran 80 C- 90 C , dimana tepung-tepung

yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring
dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja
memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula kompleks
(dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter
dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.

II.10.3. Tahap Sakarifikasi

Pada tahap ini melibatkan proses sebagai berikut:

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

25

a. Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja.
b. Pengaturan pH optimum enzim.
c. Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat.
o

o

d. Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 28 C sd 32 C

sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula
sederhana yang dihasilkan).

II.10.4. Tahap Fer mentasi

Pada tahap ini, tepung tel