ringkasan - Ants from forests and agriculture landscapes of West Sumatra.

PENELITIAN HIBAH BERSAING 2009

Ants from forests and agriculture landscapes of West
Sumatra
Henny HERWINA1, YAHERWANDI2, Rijal SATRIA3

Department of Biology Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Andalas University,
Padang, West Sumatra, Indonesia, 25163 1, 3 Email: [email protected]
Faculty of Agriculture, Andalas University, Padang, West Sumatra, Indonesia, 25163 

BAB I. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi, akan tetapi masih sedikit sekali publikasi yang dapat
ditemukan mengenai hal itu. Khusus mengenai keanekaragaman semut di
Indonesia, baru pada tahun 2001, Ito et. al. melaporkan bahwa telah ditemukan
216 jenis semut di Kebun Raya Bogor. Pada tahun 2005, selama meneliti fluktuasi
semut pada sebuah area di dalam Kebun Raya Bogor, ditemukan pula 10 spesies
semut lainnya (Herwina dan Nakamura, 2007).
Keanekaragaman semut telah diteliti pada beberapa tipe habitat di negara
tropika lainnya, misalnya pada kanopi pohon-pohon di hutan hujan (Itino and

Yamane, 1995, Widodo et al. 2001), di lantai hutan (Yamane et al. 1996), di hutan
savanna (Andersen, 1991), pada lahan perkayuan semi arid tropika Australia
(Andersen et al. 2002). Kebanyakan penelitian semut di negara Asia Tenggara
(termasuk India dan tropical Australia) dilakukan di daerah hutan (Khoo, 1990;
Chung dan Mohamed, 1996; Basu, 1997; Bruhl, et al. 1998) dan hanya sedikit
sekali penelitian pada daerah yang telah dijamah manusia (Sota, et al. 2001, Ito et
al. 2001, Andersen, 2002).
Potensi semut sebagai bioindikator telah banyak dikembangkan di
Australia (Andersen, 2002). Di North Carolina dan Virginia ditemukan bahwa
semut berpotensi sebagai bioindikator agroekosistem. Kehadiran spesies semut di
suatu area erat kaitannya dengan faktor manajemen, variasi tanah dan praktek
penanaman (Peck et al., 1998). Semut adalah predator yang penting, dan
diprediksikan dapat melindungi tanaman dari hama jika dapat dimengerti dan
diteliti dengan benar (Philpott dan Armbrecht, 2006).

1

Pada penelitian tahun pertama di tiga lanskap pertanian yang berbeda,
telah ditemukan sebanyak 10102 individu semut yang tegabung kedalam 32
spesies, 6 sub famili, 12 tribe dan 18 genus. Dari 32 jenis yang ditemukan, 6

jenis merupakan semut predator, antara lain Odontomachus similinus,
Odontoponera denticulata, Odontoponera transversa, Leptogenys diminuta,
leptogenys peugety dan Pachychondyla sp. Walaupun demikian, belum diketahui
sejauh mana semut predator ini berpotensi secara ekologi terhadap mangsanya
(yang diprediksikan adalah hama pertanian). Untuk itu, diperlukan adanya
penelitian lanjutan, untuk mengetahui:
a. Ekologi semut predator pada lanskap pertanian dan koloninya
b. Bagaimana respon fungsional semut predator terhadap mangsanya

2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai spesies semut di hutan hujan tropika wilayah Asia
tenggara telah mulai berkembang dan telah dilaporkan adanya diversitas spesies
semut yang sangat luar biasa (e.g., Brühl et.al., 1998; Yamane, 1996). Akan tetapi,
di Indonesia, belum ada publikasi yang solid mengenai fauna semut, kecuali yang
dilaporkan oleh Ito et al. (2001) (tapi lihat juga Dammermann, 1948 untuk
wilayah Krakatau, disebutkan dalam Ito et.al., 2001). Ito et al. meneliti mengenai
fauna semut di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan 7 metode
sampling pada tahun 1985 dan antara tahun 1990 dan 1998. Secara keseluruhan,

mereka menemukan 216 spesies yang tergabung ke dalam 9 sub subfamily.
Melalui perbandingan hasil penelitian ini dengan berbagai laporan dari wilayah
hutan hujan tropika Asia, mereka menjelaskan bahwa komposisi spesies di Kebun
Raya Bogor sama dengan yang ditemukan di wilayah hutan hujan dataran rendah
lainnya di Jawa Barat, tetapi berbeda dengan yang ditemukan pada hutan hujan di
wilayah pegunungan. Jumlah spesies yang ditemukan di Kebun Raya Bogor lebih
rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan telah ditemukan pada hutan primer
dataran rendah di wilayah Asia lainnya (misalnya, Brühl et al., 1998 dan lihat Ito
et al., 2001 sebagai referensi selanjutnya). Walaupun demikian, Kebun Raya
Bogor, yang terisolasi di pusat sebuah daerah perkotaan, dengan banyak gangguan
dari manusia, menyimpan diversitas semut yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan yang di temukan di wilayah subtropika dan temperate (misalnya., 267 spp.
Untuk seluruh Jepang dan 138 pada “seasonal” hutan hujan sub tropika di bagian
barat Australia (Ito et al., 2001).
Pada penelitian tentang semut yang juga dilakukan selama 3.5 tahun di
dalam Kebun Raya Bogor (luas area 15 x 20 m2, yang ditanami dengan 30 Ipomea

3

carnea) dengan sampling yang dilakukan secara intensif (setiap satu atau dua

minggu sekali) menggunakan pitfall trap, didapatkan kurva akumulasi species
semut yang asimtot. Diperkirakan hampir semua jenis semut pada lokasi
penelitian telah terkoleksi, yaitu 55 spesies. Spesies semut yang dominan adalah
Pheidole plagiaria, Anoplolepis gracilipes dan Odontoponera denticulata
(Herwina dan Nakamura, in print). Jumlah jenis yang ditemukan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah spesies semut yang ditemukan dengan menggunakan
metoda yang sama pada beberapa lokasi di daerah hutan di Western Gath India,
yaitu 36 spesies (Basu, 1997). Penemuan ini menunjukkan keanekaragaman semut
yang sangat tinggi di Indonesia, namun penelitian dan informasi yang ada masih
sangat terbatas. Kecendrungan yang tampak ini menimbulkan keingintahuan
untuk melihat lebih jauh pengaruh habitat serta cara pemanfaatan lahan yang
berbeda terhadap keanekaragaman dan potensi semut sebagai bioindikator
lingkungan dan predator bagi serangga lainnya, khususnya predator bagi serangga
hama. Ketika semut [predator telah teridentifikasi, keefektifannya sebagai
kandidat untuk mengendalikan hama perlu dipelajari lebih lanjut melalui
ekperimen di laboratorium.

4

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai struktur komunitas dan
peranan ekologi semut sebagai predator serangga hama pada beberapa lanskap
pertanian di Sumatra Barat tahap kedua ini ini adalah sebagai berikut:
a. Melanjutkan pengambilan sampel dan identifikasi keanekaragaman spesies
semut yang terdapat pada beberapa tipe lanskap ekosistem pertanian di
Sumatera Barat.
b. Mengidentifikasi spesies semut yang berpotensi sebagai bioindikator bagi
kesehatan ekosistim pertanian
c. Mengidentifikasi dan mempelajari bioekologi semut yang berpotensi
sebagai predator bagi serangga hama di lahan pertanian.
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan sebagai bagian
informasi awal mengenai komunitas semut di lanskap pertanian dan pada
gilirannya dapat digunakan dalam upaya pengendalian hama pertanian di
Indonesia.

5

BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian peran ekologi semut ini telah dilakukan di laboratorium Taksonomi
hewan invertebrata Jurusan Biologi FMIPA Unand. Penelitian dilaksanakan
antara bulan Februari 2009 hingga November 2009. Pengambilan sampel
semut dilakukan pada tiga lanskap pertanian yaitu berturut-turut di Batu
Palano Kabupaten Agam, Aie Batumbuak Kabupaten Solok, dan Sungai
Sariak Kodya Padang, Sumatera Barat.
4.2. Penelitian tahun II: Peranan ekologi semut sebagai predator seranga hama
pertanian yang berasal dari daerah geografi dan tipe lanskap pertanian berbeda
4.2.1. Pemeliharaan Serangga Mangsa
Semut merupakan serangga predator yang generalis. Untuk itu, serangga
mangsa yang digunakan sebagai model untuk penelitian ini adalah serangga hama
tanaman Cruciferae yaitu Crocidolomia pavonana. Larva dari serangga mangsa
ini di koleksi dari lahan pertanaman Cruciferae di daerah Aia Batumbuak
Kabupaten Solok dan Batu Palano Kabupaten Agam. Larva yang diperoleh dari
lapang di bawa ke laboratorium untuk dibiakkan. Larva-larva tersebut dipelihara
di dalam suatu kotak plastik berukuran 35 cm X 27 cm X 7 cm yang sebelumnya
telah dialasi kertas stensil. Setiap fase pertumbuhan larva (instar) dipelihara pada
kotak yang terpisah. Larva yang telah memasuki masa prapupa dikeluarkan dari
kotak pemeliharaan larva tersebut, kemudian ditempatkan pada suatu wadah
khusus untuk pupa. Imago yang keluar dari pupa (jantan dan betina) selanjutnya

di pelihara dalam kurungan yang terbuat dari kain kasa berbingkai kayu dengan

6

ukuran 50 cm X 50 cm X 50 cm, sebagai tempat kawin dan peneluran imago.
Imago tersebut diberi makan larutan madu encer (madu : air = 1: 9) yang
diresapkan pada segumpal kapas. Untuk tempat peletakkan telur ke dalam
kurungan dimasukan setangkai daun caysim yang pangkalnya dicelupkan ke
dalam botol film yang telah berisi air untuk menjaga daun tetap segar. Setiap hari
telur-telur yang diletakkan imago diambil dan ditempatkan ke dalam kotak
pemeliharaan larva. Larva yang telah menetas diberi makan daun caysin sesuai
dengan kebutuhannya. Untuk selanjutnya larva-larva ini digunakan sebagai stok
populasi dan serangga uji.
4.2.2. Pengadaan semut predator
Pengadaan semut predator pada penelitian ini hanya dilakukan terhadap
spesies yang terpilih (pemilihan kandidat) dalam percobaan di lapang yaitu
spesies semut predator yang paling berlimpah dan distribusinya merata di lapang.
Semut predator untuk penelitian ini dikumpulkan secara langsung dari pertanaman
padi dan sayuran di daerah Aia Batumbuak Kabupaten Solok dan Batu Palano
Kabupaten Agam (masing-masing daerah mewakili tipe lanskap dan daerah

geografi berbeda). Semut predator yang dikumpulkan dipelihara dalam petri dish
kaca (diameter 10 cm) dan dialasi dengan kertas saring. Semut predator dari
daerah berbeda di pelihara pada petridisk berbeda. Sebagai makanan semut
predator disediakan dan madu larva C. Pavonana. Setiap hari mangsa diganti
dengan yang baru. Semut predator ini selanjutnya digunakan untuk penelitian.
4.2.3. Studi tanggap fungsional
Studi tanggap fungsional bertujuan untuk mempelajari pengaruh
kepadatan populasi mangsa terhadap kemampuan predator memakan mangsanya.
Percobaan ini dilakukan tiga seri yaitu satu, dua, dan tiga predator. Perobaan seri
pertama, sebanyak 5, 10, 15, 20, 30 larva instar 2 C. Pavonana masing-masing
dimasukkan ke dalam petridisk (diameter 10 cm). Selanjutnya dimasukkan satu
predator (hasil seleksi kandidat) yang telah dilaparkan selama 24 jam pada
masing-masing populasi C. Pavonana dan dibiarkan selama satu hari (5 jam)
untuk memakan larva yang disediakan. Selanjutnya, dicatat berapa jumlah mangsa

7

yang dimakan selama waktu 5 jam tersebut untuk masing-masing populasi
mangsa. Data yang diperoleh dianalisis mengunakan persamaan yang dikemukan
oleh Holling (1959) (lihat Holling, 1965) sebagai berikut:

Na aTN /(1  aThN )

Percobaan seri kedua dan ketiga tanggap fungsional dilakukan dengan cara
yang sama, tetapi jumlah predator ditingkatkan per kurungan menjadi dua dan
tiga individu. Untuk analisis data yang diperoleh digunakan persamaan
Holling (1959) :
Na / P aTN /(1  aThN )

dimana P adalah kepadatan predator, untuk memudahkan analisis data
persamaan Holling di atas dilinierkan sebagai berikut;

a.T.N
Na = -----------------1 + a . N . Th

1

1

1


Th

---- = --- . ---- + --Na

a

TN

T

Y = X + 
Nilai  digunakan untuk penentuan nilai a, sedangkan nilai  untuk
menentukan nilai Th. Percobaan ini diulang 30 kali.

8

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian tahap kedua ini telah ditemukan sebanyak 4292 individu
semut yang tegabung kedalam 23 spesies, 5 sub famili, 11tribe dan 17 genus pada
tiga lanskap pertanian di Sumatera Barat, yang meliputi; 1) Sebanyak 384

individu, 17 spesies, 5 subfamili, 10 tribe dan 13 genus semut telah ditemukan
pada area pertanaman padi monokultur Sungai Sariak Kotamadya Padang; 2)
Sebanyak 2124 individu, 18 spesies, 4 subfamili, 11tribe dan 12genus semut telah
ditemukan pada area pertanaman sayuran Aia Batumbuak Kabupaten Solok; dan
3) Sebanyak 1784 individu, 17 spesies, 5 subfamili, 8 tribe dan 11 genus semut
telah ditemukan pada area pertanaman campuran padi dan sayuran di Desa Batu
Palano, Kabupaten Agam.
Dari data tersebut diatas dapat dilihat bahwa jumlah spesies terbanyak
ditemukan pada area pertanaman sayur Aia Batumbuak (18 spesies), Sedangkan
pada pertanaman yang lebih kompleks, yaitu aneka sayuran dan terkadang padi
didaerah Batu Palano, hanya ditemukan 27spesies. Jumlah yang sama juga
ditemukan pada pertanaman padi Sungai sariak 17 spesies. Jumlah sepesies yang
ditemukan tahun ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun pertama,
diperkirakan karena kondisi pertanaman yang telah mengalami perubahan dan
pergiliran tanaman juga berpengaruh terhadap komunitas semut pada lokasi
tersebut.
Penelitian dengan melakukan eksperimen pada larva Crosidolomia pavana
untuk melihat efektivitas predator (Odontoponera trasversa dan Leptogenys
mutabilis) belum dapat dilaporkan disini karenadisebabkan masih sangat
kurangnya hewan uji dan jadwal eksperimen yang terganggu karena adanya
peristiwa bencana alam berupa gempa bumi pada bulan September 2009. Untuk
itu pelaporan akan kami lakukan secarta terpisah. Pembahasan selanjutkan akan

9

difokuskan pada keanekaragaman dan biologi semut yang ditemukan di lapangan,
kemudian dibandingkan pada beberapa bagian dengan hasil penelitian pada tahun
pertama.
5.1. Jumlah Individu dan spesies semut yang ditemukan pada tiga lanskap
pertanian di Sumatra Barat.
Pada penelitian tahun pertama, lokasi Aia batumbuak menempati
posisi pertama untuk jumlah individu yang dikoleksi (53.9 %), sedangkan
Sungai Sariak dan Batu Palano memiliki jumlah individu yang tak jauh
berbeda (22.42 dan 22.18 %). Pada tahun kedua ini, posisi pertama dalam
rangking jumlah individu juga ditempati Aia batumbuak (49.5 %), kemudian
diikuti oleh Batu palano (41.6 %) kemudian yang terkecil adalah Suangai
Sariak (8.9 %).
Untuk jumlah spesies pada tahun 2008, Sungai Sariak menempati
posisi pertama dengan 27 spesies (84.3 %). Kecendrungan ini menarik
untuk dibahas, karena lanskap Sungai Sariak merupakan pertanaman padi
monokultur dan hampir tanpa pemberian pestisida oleh petani, terletak pada
ketinggian sekitar 150 m dari permukaan laut. Kondisi lahan yang hampir
tanpa pemberian pestisida tampaknya baik pula bagi perkembangan jenisjenis semut tertentu. Ditambah lagi dengan kondisi vegetasi pinggir sawah
yang cukup bervariasi dari segi jenis tumbuhannya, dimana ditemukan
semak, rumput liar dan beberapa pohon seperti manggis dan durian. Kondisi
vegetasi ini sangat berbeda dengan lanskap Aia Batumbuak dan Batu Palano
yang pada masing-masingnya ditemukan 26 dan 24 spesies semut saja
(81.25 dan 75.00 %).
Lanskap Aia Batumbuak adalah lokasi pertanaman sayuran dataran tinggi
(950 m dpl) yang didominasi oleh kubis. Pada saat pengambilan sampel, petak
pertanaman tertentu terdapat pula tanaman tomat dan cabe. Pada pinggiran
pertanaman vegetasinya didominansi ilalang dan paku resam. Tidak terdapat
pohon kecuali pada lokasi pemasangan 10 trap pada jalur transek pinggiran
pertanaman. Menurut keterangan petani, pemakaian pestisida cukup tinggi di
daerah ini dengan pemakaian 2 kali perminggu. Adapun lanskap Batu Palano

10

yang terdapat pada ketinggian 900 mdpl merupakan area pertanaman sayuran
kompleks, dengan jenis sayuran beraneka sepert i kubis, tomat, cabe, bawang

daun, kacang tanah, kacang buncis, seledri, letus, dan terkadang juga padi.
Aplikasi pestisida satu kali perminggu. Diperkirakan pergiliran jenis
tanaman juga berpengaruh terhadap jumlah dan jenis semut yang
ditemukan.
Tabel 1 . Jumlah total individu, species, subfamili, tribe dan genera semut
yang dikoleksi pada tiga lanskap pertanian di Sumatra Barat
(SS=Sungai Sariak, AB=Aia Batumbuak, BP=Batu Palano) tahun
2008.

Tabel 2 . Jumlah total individu, species, subfamili, tribe dan genera semut
yang dikoleksi pada tiga lanskap pertanian di Sumatra Barat
(SS=Sungai Sariak, AB=Aia Batumbuak, BP=Batu Palano) tahun
2009.
Kategori

Ditemukan
di tiap
lanskap

Hanya
di SS

Hanya
di AB

Hanya
di BP

SS

AB

BP

Total

Total individu

384

2124

1784

4292

%

8,95

49,49

41,57

100,00

Spesies

17

18

17

23

10

1

3

2

%

73,91

78,26

73,91

100,00

47,83

4,35

13,04

8,70

Subfamili

5

5

5

5

%

100,00

100,00

100,00

100,00

11

Tribe

10

11

8

11

%

90,91

100,00

72,73

100,00

Genus

13

12

11

17

%

76,47

70,59

64,71

100,00

Pada tahun 2009, hampir tidak ditemukan perbedaan pada jumlah spesies
antar lokasi pengambilan sampel, seperti yang dapat dilihat pada tabel 2. pada
lokasi Aia Batumbuak ditemukan 18 spesies, sedangkan pada dua lokasi lainnya
masing-masing ditemukan 17 spesies. Perubahan waktu dengan perubahan pula
yang terjadi pada tanah dan pertanaman menyebabkan dinamika jumlah spesies
yang menempati area penelitian.

5.2. Jumlah jenis semut yang ditemukan per sub famili pada tiga lankap pertanian
di Sumatra Barat
Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa jumlah total spesies semut untuk
masing-masing sub famili yang ditemukan juga bervariasi. Jumlah jenis
terbesar ditemukan pada sub famili Myrmicinae, diikuti oleh Formicinae
dan Ponerinae. Sedangkan pada Tabel 4 yang menggambarkan kondisi
jumlah spesies per subfamili yang ditemukan pada 3 lanskap pada tahun
2009, jumlah jenis terbesar ditemukan pada sub famili Myrmicinae, diikuti
oleh Ponerinae dan kemudian Formicinae. Kecendrungan Myrmicinae
sebagai subfamili terbesar ini sama dengan yang ditemukan pada penelitian
Herwina dan Nakamura (2008) yang telah menggunakan pitfall trap untuk
mengoleksi semut selama 3.5 tahun di Kebun Raya Bogor, dimana
Myrmicinae merupakan sub famili dengan jumlah jenis terbanyak.
Kecendrungan yang sama juga ditemukan pada penyebaran jenis semut di
berbagai negara (Agosti et al, 2000).
5.3. Genera semut dengan jumlah jenis terbanyak ditemukan pada tiga lanskap
pertanian di Sumatra Barat
Pada setiap lanskap pengambilan sampel semut, Pheidole merupakan
genera dengan jumlah jenis terbanyak pada ketiga lokasi (Tabel 5). Kondisi
ini diperkirakan terkait erat dengan fungsi biologi dari genera semut ini
dimana Pheidole merupakan semut pemakan biji dan omnivora sehingga

12

dapat kita temukan dimana-mana (Hölldobler dan Wilson, 1990; Agosti et
al, 2000). Disamping itu, Pheidole dikenal sebagai semut yang selalu berada
pada level dominan diseluruh dunia (Generalized Myrmicinae) (Andersen,
2000).
5.4. Spesies semut dengan jumlah individu terbanyak ditemukan pada tiga
lanskap pertanian di Sumatra Barat.
Spesies semut yang dominant pada setiap lanskap pertanian
bervariasi. Tiga spesies paling dominan untuk setiap lokasi dapat dilihat
pada Tabel 6. Pada lokasi pertanaman sayuran Aia Batumbuak Pheidole sp.5
adalah yang paling dominan, disusul oleh Pheidole sp.2 dan Odontoponera
trasversa, ditempat kedua dan ketiga. Ini sedikit berbeda
Tabel 3. Jumlah total spesies semut pada tiap famili yang ditemukan pada
tiga lanskap pertanian di Sumatra Barat tahun 2008.

Tabel 4. Jumlah total spesies semut pada tiap famili yang ditemukan pada
tiga lanskap pertanian di Sumatra Barat tahun 2009.
No
1
2
3
4
5
Species

SS
1
2
9
4
1
17

AB
1
3
10
3
1
18

BP
1
2
8
5
1
17

13

Subfamily
Dolichoderinae
Formicinae
Myrmicinae
Ponerinae
Pseudomyrmicinae

Subfamily

5

5

5

dengan hasil penelitian tahun 2008 dimana Pheidole sp.2 justru yang paling
dominan. Pada pertanaman padi Sungai Sariak, sama halnya dengan pada
tahun 2008, Selenopsis geminuta adalah yang paling dominan, disusul oleh
Pheidole sp.5 dan Anoplolepis gracilipes. Pada lanskap Batu Palano,
Pheidole sp.2 merupakan spesies yang paling dominan dominan, diikuti
oleh Anoplolepis gracilipes dan Tetraponera sp. 6. Secara keseluruhan,
spesies semut yang paling dominan ditemukan selama penelitian ini adalah
Pheidole sp. 2, Pheidole sp. 5 dan Odontoponera transversa. Genus
Pheidole dan Odontoponera juga umum ditemukan pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan di Kebun Raya Bogor (Herwina dan Nakamura,
2008, Ito et al, 2001). Pheidole merupakan Generalized Myrmicinae
berdasarkan penggolongan semut dalam hubungannya dengan stress dan
perusakan habitat di Australia dan Dunia Baru. Pheidole memang sering
merupakan semut yang paling dominan dan mempunyai jumlah yang luar
biasa besar dalam komunitas semut diseluruh dunia (Andersen, 2000).
Tabel 5. Genera semut yang mempunyai jumlah spesies terbanyak pada
setiap lokasi yang dikoleksi pada tiga lanskap pertanian di
Sumatra Barat (SS=Sungai Sariak, AB=Aia Batumbuak, BP=Batu
Palano) 2009.
Lokas
i

Genera

Jumlah spesies

SS

Pheidole

4

AB

Pheidole

3

BP

Pheidole

4

5.5. Biology semut yang ditemukan pada tiga lanskap pertanian di Sumatra
Barat
Dari 23 spesies semut yang ditemukan diseluruh lanskap yang diteliti,
tenyata ditemukan 7 spesies yang dikenal sebagai predator berdasarkan

14

pengelompokan distribusi, biologi dan ekologi genera semut di dunia yang
dilaporkan oleh Brown, 2000. Ketujuh spesies tersebut, enam diantaranya

Tabel 6. Spesies semut paling dominant pada tiga lanskap pertanian di
Sumatra Barat.
Ran
k

SS

AB

BP

1

Selenopsis
geminuta

Pheidole sp. 5

Pheidole sp. 2

2

Pheidole sp. 5

Pheidole sp. 2

Anoplolepis
gracilipes

3

Anoplolepis
gracilipes

Odontoponera
transversa

Tetraponera
sp.

Table 7. Biology dari 6 species semut yang ditemukan pada tiga lanskap
pertanian berbeda di Sumatra Barat ( SP = Specialist Predator).
No
Spesies
Odontomacus
similinus
1
2 Odontoponera denticulata
3 Odontoponera transversa
Strumigenys sp.
4
5
6
7

Biology

Predators
Predators
Predators
Predators esp Colembolla
Predators of isopod and mass
Leptogenys diminuta
foraging pred. esp termite
Predators of isopod and mass
Leptogenys peugeti
foraging pred. esp termite
Predators, 1 species also harvest
Pachycondyla (sinensis)
seed

juga ditemukan pada penelitian tahap satu yaitu Odontomacus similinus,
Odontoponera denticulata, Odontoponera transeversa, Leptogenys diminuta,
Leptogenys peugety dan Pachycondyla sinensis, keculai satu tambahan yaitu
Strumigenys sp (Lampiran 1, Tabel 7).

15

BAB VI. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tahap kedua ini, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada penelitian tahap kedua ini telah ditemukan sebanyak 4292
individu semut yang tegabung kedalam 23 spesies, 5 sub famili,
11tribe dan 17 genus pada tiga lanskap pertanian di Sumatera Barat,
yang meliputi; 1) Sebanyak 384 individu, 17 spesies, 5 subfamili, 10
tribe dan 13 genus semut telah ditemukan pada area pertanaman padi
monokultur Sungai Sariak Kotamadya Padang; 2) Sebanyak 2124
individu, 18 spesies, 4 subfamili, 11tribe dan 12genus semut telah
ditemukan pada area pertanaman sayuran Aia Batumbuak Kabupaten
Solok; dan 3) Sebanyak 1784 individu, 17 spesies, 5 subfamili, 8 tribe
dan 11 genus semut telah ditemukan pada area pertanaman campuran
padi dan sayuran di Desa Batu Palano, Kabupaten Agam.
2. Jumlah spesies terbanyak ditemukan pada area pertanaman sayur Aia
Batumbuak (18 spesies), sedangkan pada pertanaman yang lebih
kompleks, yaitu aneka sayuran dan terkadang padi didaerah Batu
Palano, hanya ditemukan 7 spesies. Jumlah yang sama juga ditemukan
pada pertanaman padi Sungai Sariak , sebanyak 17 spesies.
3. Penelitian dengan melakukan eksperimen pada larva III Crosidolomia
pavana yang didedahkan pada larva semut predator (Odontoponera
trasversa dan Leptogenys mutabilis) belum dapat dilaporkan disini
karena karena kurangnya hewan uji dan jadwal eksperimen yang
terganggu karena adanya p-eristiwa bencana alam berupa gempa bumi
pada bulan September 2009.

16

DAFTAR PUSTAKA
Andersen, N. A. Hoffman, B. D. Muller, W. J. & Griffiths, A. 2002. using ants as
bioindicators in land management: simplifying assessment of ant
community responses. Journal of Applied Ecology 39: 8-17
Andersen, N. 1991. Responses of ground-foraging ant communities to three
experimental fire regime in Savanna forest of tropical Australia.
BIOTROPICA 23 (4b): 575-585
Basu, P. 1997. Seasonal and spatial patterns in ground foraging ants in a rain
forest in the Western Ghats, India. Biotropica. 29 (4): 489-500
Bruhl, C.A., Gunsalam, G. & Linsemair, K. E. 1998. Stratification of ants
(Hymenoptera, Formicidae) in primary rain forest in Sabah, Borneo.
Journal of Tropical Ecology 14: 285-297.
Chung, A. Y. C & Mohamed, M. 1996. A comparative study of the ant fauna in a
primary and secondary forest in Sabah, Malaysia. In Edward, D. S., Booth,
W. E & Choy, S.C (eds). Tropical rainforest research-Current Issues, pp
357-366. Kluwer Academic Publisher, Dodrecht, Nederlands.
Herwina, H & Nakamura, K. 2007. Ant species diversity studied using pitfall
traps in a small yard in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia .
TREUBIA, 35: 99-116
Ito, F., Yamane, S., Eguchi, K., Noerdjito, W. A., Kahono, S., Tsuji, K., Ohkawara,
K., Yamauchi, K., Nishida, T & Nakamura, K. 2001. Ant Species Diversity
in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with Descriptions of Two
New Species of the Genus Laptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics
10 (3): 379-404
Peck, S. L, McQuaid, B. & Campbell, C. L. 1998. Using Ant species
(Hymenoptera: Formicidae) as biological indicator of agroecosystem
condition. Environmental Entomology 27: 1102-1110.

17

Philpott, S. M. &Armbrecht, I. 2006. Biodiversity in tropikal agroforest and
ecological role of ants and ant diversity in predatory function. Ecological
Entomology 31: 369-377
Romero, H. & Jaffe, K. 1989/ A comparison of methods of samplinf ants
(Hymenoptera, Formicidae) in Savvanas. BIOTROPICA 21(4):348-352
Sota, T., Nakano, S., Hasyim, A., Syafril & Nakamura, K. 2001. Fluctuation in
abundance of terresterial arthrophods at an arable field in West Sumatran
Highland. Tropics 10: 463-472.
Wilson, E. O. 1976. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard
University Press. Cambridge, U. S. A.
Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P dan Prasetyo L. 2006. Analisis
spasial lanskap pertanian dan keanekaragaman Hymenoptera di Daerah
Aliran Sungai Cianjur. Jurnal Hayati 13 (4): 137 – 144
Yamane, S. 1997. A list of Bornean ants. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds).
General flowering of tropical rainforest in Serawak. Canopy Biology
Program in Serawak (CBPS): series II. Center for Ecological Research,
Kyoto University.

18

19