Regulasi Transaksi Jual Beli Secara Onli

Regulasi Transaksi Jual Beli Secara Online di Indonesia

Anggun Susila Ningsih
55415110023
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Teknik Elektro,
Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana
e-mail : sn.anggun@yahoo.com

Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA

Abstrak
Arus globalisasi yang saat ini membuat jarak antar negara bukanlah suatu
problematika lagi. Orang semakin mudah berhubungan dengan orang lain melalui
perkembangan teknologi dan komunikasi. Salah satu perkembangan yang signifikan
sekarang adalah transaksi jual beli secara online atau E-Commerce. Penjual dan
pembeli tidak perlu bertatap muka (face to face) untuk melakukan transaksi jual beli,
melainkan hanya perlu memiliki koneksi internet yang akan mempertemukan mereka
di dunia virtual. Eksistensi E-Commerce ini penting untuk dikaji aspek legalitasnya,
agar tidak menjadi sengketa hukum yang dapat merugikan berbagai pihak
secara komersial.
Kata Kunci : bisnis online, e-commerce, dunia virtual


I.

Pendahuluan

E-Commerce lahir berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara
penjual dan pembeli. Hingga saat ini masih terjadi kekosongan hukum di Indonesia,
sebab belum mengakomodir tentang syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik
secara khusus.Namun, prinsip dasar keberlakuan suatu kontrak di Indonesia
mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga dapat pula diterapkan pada
kontrak elektronik.
Adapun syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam E-Commerce diukur melalui pembeli
yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet. Hal ini dapat
diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah hubungan hukum.
E-Commerce ini secara tertuang dalam kontrak baku dengan prinsip take it or leave
it, sebab seluruh penawaran beserta persyaratan pembelian suatu produk sudah
tercantum dan pembeli dapat menyetujuinya atau tidak. Persetujuan yang diberikan


oleh pembeli ini menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga
kesepakatan dalam kontrak elektronik lahir.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum, yaitu
seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak di bawah
pengampuan. Unsur kecakapan dalam E-Commerce sulit untuk diukur, sebab setiap
orang (tanpa dibatasi dengan umur tertentu) dapat mejalankan transaksi elektronik
sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transksi Elektronik (“UU ITE”).
Berdasarkan ketentuan ini, anak-anak yang masih di bawah umur dapat
melakukan E-Commerce dan tidak memenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Oleh karena itu, kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang
mengajukan pembatalan di pengadilan.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan dapat
ditentukan jenisnya. Produk yang ditawarkan secara online tertuang dalam bentuk
gambar atau foto yang disertai dengan spesifikasi produk tersebut. Namun, tidak
ada jaminan bahwa produk tersebut pasti dikirimkan kepada pembeli sekalipun telah
membayar melalui sistem pengiriman uang atau transfer melalui bank.
4. Suatu sebab yang halal

Maksud dari suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, dan kepentingan umum. Dalam E-Commerce harus dipastikan
bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad baik oleh penjual dan
pembeli. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka kontrak elektronik batal demi hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas, E-Commerce telah sah menurut hukum sepanjang
memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat pertama dan kedua disebut dengan
syarat subjektif, sebab melekat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam ECommerce. Sedangkan, syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif,
karena melekat pada objek dalam E-Commerce. Apabila syarat pertama dan/atau
syarat kedua tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik dapat dibatalkan oleh pihak
yang berkepentingan dalam jangka waktu selama 5 (lima) tahun sesuai dengan
Pasal 1454 KUHPerdata. Dalam hal syarat ketiga dan/atau syarat keempat tidak
dipenuhi, maka kontrak elektronik batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada
dan tidak ada dasar untuk menuntut.
Pajak dalam E-Commerce
Para pelaku usaha sudah sepatutnya dikenai pajak, sebab E-Commerce sama
dengan transaksi jual beli secara konvensional. Namun, pelaku usaha ECommerce yang tidak memiliki keberadaan secara fisik layaknya pelaku usaha
konvensional menyebabkan pengenaan pajak atas transaksi E-Commerce sering
diabaikan.
Oleh karena kenyataan ini, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) menerbitkan Surat
Edaran DJP tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas TransaksiE-


Commerce Nomor SE-62/PJ/2013 pada tanggal 27 Desember 2013. Pada
prinsipnya, tidak ada pajak yang mengatur secara khusus mengenai ECommerce, melainkan menerapkan peraturan pajak yang telah ada.
SE-62/PJ/2013 memandatkan setiap pihak-pihak yang terlibat dalam ECommerce dan memenuhi syarat subjektif dan objektif berdasarkan UU Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
Ada 2 (dua) macam pajak yang dapat dikenakan atas E-Commerce, yaitu Pajak
Penghasilan (“PPh”) yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Pajak Pertambahan Nilai
(“PPN”) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“PPNBM”) yang diatur dalam UU
Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009. SE-62/PJ/2013 mengklasifikasi E-Commerce ke dalam 4 (empat)
kegiatan besar, antara lain:
1. Online Marketplace
Online marketplace atau biasa disebut marketplace adalah kegiatan
menyediakan tempat kegiatan usaha berupa Toko Internet atau Mal Internet sebagai
tempat online Maketplace Merchant menjual barang atau jasa.
Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan
pembeli.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang

dan/atau jasa, serta proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada merchant oleh
penyelenggara.
2. Classified Ads
Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk
memajang content barang dan atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang
ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara
classified Ads.
Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan
pembeli.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis penyediaan tempat dan/atau waktu untuk memajang content
baran dan/atau jasa.
3. Daily Deals
Daily deals adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs Daily
Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant menjual barang atau jasa kepada
pembeli dengan menggunakan voucher sebagai alat pembayaran.

Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan
pembeli.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM

dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang
dan/atau jasa, serta dalam proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada
merchan oleh penyelenggara.
4. Online Retail
Online retail adalah kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang diselenggarakan
oleh penyelenggara kepada pembeli di situs online retail.
Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara sekaligus merchant
(penjual) dan pembeli.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang
dan/atau jasa, serta dalam proses penjualan barang dan/atau jasa.
Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang E-Commerce
Saat ini pemerintah belum mengatur spesifik secara tegas peraturan dan ketentuan
mengenai kegiatan usaha / bisnis secara online.
Menurut Kompas yang mengutip dari Daily Social per Juni 2015, bahwa pemerintah
telah menyusun peraturan ecommerce melalui kegiatan Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP).
Selanjutnya dalam draft rancangan tersebut mengatur tentang transaksi jual beli
online (e-commerce) yang justru dikhawatirkan bakal mematikan pelaku industri
lokal.

Dimana salah satu pasal yang mewajibkan pihak penjual dan pembeli dalam
transaksi online, terverifikasi melalui input nomor KTP dan NPWP. Tahap verifikasi ini
biasa disebut dengan KYC (Know Your Customer).
Daily Social menyebut bahwa proses verifikasi yang harus dilakukan lebih dulu
dalam setiap transaksi online melalui situs e-commerce lokal, seperti Bukalapak,
Tokopedia, Kaskus, atau OLX, bisa merepotkan pengguna.
Jika pengguna merasa repot, maka dikhawatirkan mereka akan pindah ke platform
jual beli lain, seperti Facebook, Instagram, atau eBay yang prosesnya lebih
sederhana.
Dengan demikian, situs e-commerce di Indonesia akan semakin sulit bersaing
dengan situs-situs e-commerce luar seperti AliExpress, Amazon, eBay, atau situssitus yang tidak terekspos ke regulasi Indonesia.

II. Masalah
Saat konsumen melakukan belanja barang secara online, tapi barang yang di terima
tidak sama dengan yang di lihat di foto pada iklan yang dipajang, apakah itu
termasuk pelanggaran hak konsumen? Apakah konsumen dapat menuntut penjual
untuk mengembalikan uang atau mengganti barang yang di beli tersebut?

III. Pembahasan
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (“UU PK”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). PP PSTE
sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elekronik (“UU ITE”).
Pendekatan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual
Beli/Belanja secara Online
Dengan pendekatan UU PK, kasus yang tersebut dapat disimpulkan sebagai salah
satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online),
sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
a.
b.

beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;

c.


memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Terkait dengan persoalan diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku
usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian
spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto

penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha
dalam memperdagangkan barang.
konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku
usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat
dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP
PSTE
Transaksi jual beli, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP
PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Persetujuan konsumen untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan
klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang
menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan
penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan
ketentuan jual beli secara online yang dapat dikatakan juga sebagai salah satu
bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP
PSTE dianggap sah apabila:

a.
b.

terdapat kesepakatan para pihak;
dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. terdapat hal tertentu; dan
d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. data identitas para pihak;
b. objek dan spesifikasi;
c. persyaratan Transaksi Elektronik;
d.
e.
f.

harga dan biaya;
prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat
mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat
cacat tersembunyi; dan
g. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang dilakukan konsumen, dapat
menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam
menyelesaikan kasus tersebut.
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan
bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih
ditegaskan
lagi
bahwa
Pelaku
Usaha
wajib
memberikan
kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
Lalu, bagaimana jika barang yang konsumen terima tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku
Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan
barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat
tersembunyi.
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang di terima tidak
sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran),
konsumen juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual)
secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang di
lakukan dengan penjual.
Menurut Prof. R.
Subekti,
S.H. dalam
bukunya
tentang “Hukum
Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4
macam kondisi yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka konsumen secara
perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya,
barang yang di terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat
dalam display home page/web site).
Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Secara Online
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya
adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan
konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana di jelaskan sebelumnya
tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata.
Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi
lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan
eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana
penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang
baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam
setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau
melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat
juga dipidana berdasarkan Pasal
378
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITEtentang
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.”
Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).
IV. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya sebagai pengguna bisnis ecommerce, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih
mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli.

Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas
kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment
gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic commerce belum
menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi
berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu
besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online,
toko online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan
pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi
lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Kominfo.
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan
transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehatihatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli
secara online.
V. Daftar Pustaka
Ainur Rofiq, PENGARUH DIMENSI KEPERCAYAAN (TRUST) TERHADAP
PARTISIPASI PELANGGAN E-COMMERCE (Studi Pada Pelanggan E-Commerce
Di Indonesia), Universitas Brawijaya, Malang, 2007
http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-e-commerce-hukum-jual-beli-online
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-konsumendalam-e-commerce
http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/08/e-commerse-definisi-jenis-tujuan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik