REKAYASA AKUAKULTUR KEPITING BAKAU MUTAW (1)

REKAYASA AKUAKULTUR
POTENSI KEPITING BAKAU DI INDONESIA

OLEH
MUTAWALI
130330014

BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2015

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting bakau (S. serrata) merupakan salah satu biota potensial yang hidup di daerah
mangrove memiliki nilai ekonomis tinggi. Dan merupakan spesies yang khas di kawasan
hutan bakau (mangrove) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang
banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Di
Indonesia banyak sekali jenis kepiting yang tersebar, mulai dari lingkungan air tawar, laut
hingga daratan. Meskipun mampu hidup di air maupun di daratan, tetap ada tempat-tempat
yang sangat disukai oleh jenis kepiting tertentu. Setiap kepiting mempunyai tempat hidup

yang spesifik dan mungkin berbeda satu dengan yang lainnya, Pada umumnya kepiting ini
banyak ditemukan di daerah hutan bakau. Berbagai jenis kepiting dapat dijumpai di perairan
Indonesia. Diperkirakan terdapat 2500 jenis spesies di Indonesia dari total 4500 spesies yang
terdapat di seluruh dunia. Namun tak semuanya bisa dikonsumsi. Ada empat jenis kepiting
yang umumnya dikonsumsi. Mereka adalah S. serrata (duri di sikut dan dahinya sama-sama
runcing), S. tranquebarica (duri di sikut sedikit runcing dan lunak di dahi), S. paramamosain
(duri di dahi runcing tapi di siku lunak), S. olilvacea (duri di dahi dan sikutnya sama-sama
lunak). Menurut Nontji (1993), S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular
sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau
sebagai berikut;
Filum

: Arthropoda

Sub Filum


: Mandibulata

Kelas

: Crustacea

Ordo

: Decapoda

Sub Ordo

: Pleocyemata

Famili

: Portunidae

Genus


: Scylla sp

Spesies

: Scylla serrata

Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut: karapas
berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah duri-duri tajam, dan
pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat enam buah duri, sapit kanannya
lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga
pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan
bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung.
Menurut Moosa et al. (1985) dalam Mulya (2002) mendeskripsikan kepiting bakau
sebagai berikut: karapas pipih dan agak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi,
bentuk umum adalah bulat telur memanjang, karapas umumnya berukuran lebih lebar dari
panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi
anterolateral bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar, terpisah dengan jelas dari sudut

supra orbital, bergigi dua samapi enam buah, sungut kecil terletak melintang atau menyerong.

Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua ruas terakhirnya.
Perbedaan kepiting jantan dan betina terletak pada ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting
jantan berbentuk seperti segitiga sedang pada betina berbentuk sedikit membulat dan lebih
melebar
Habitat dan Daur Hidup
Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase yaitu fase telur
(embrionik), fase larva dan fase kepiting. Selanjutnya Moosa et.al. (1985) dalam Mulya
(2002) menyatakan perkembangan Scylla spp. mulai dari telur hingga mencapai kepiting
dewasa mengalami beberapa tingakat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut antara
lain tingkat zoea, tingkat megalopa, tingkat kepiting muda dan tingakat kepiting dewasa, pada
tingkat zoe membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya berganti kulit menjadi megalopa yang
bentuk tunuhnya sudah mirip kepiting dewasa. Dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting
muda membutuhkan waktu 11-12 hari.
Perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena
sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di alam biasanya kepiting
bakau yang besar akan memakan kepiting bakau yang kecil, waktu makan kepiting bakau
tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif dibanding siang hari sehingga kepiting bakau
digolongkan sebagai hewan nocturnal yang aktif makan di malam hari (Queensland
Departement of Primary Industries, 1989).
Preferensi Kepiting Bakau terhadap Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat

Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda
berdasarkan stadia pada daur hidupnya. Untuk mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau
maka perlu diketahui parameter fisik-kimia air dimana organisme ini berada.
Salinitas
Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau terutama
molting. Kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan,
namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perariran yang bersalinitas

redndah. Sebaliknya kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang
mempunyai salinitas 15‰ – 20‰ dan selanjutnya akan beruaya ke laut untuk memijah
(Kasry, 1996).
Suhu
Suhu air mempengaruhi pertumbuhan (molting), aktifitas dan nafsu makan kepiting
bakau . Suhu air yang lebih rendah dari 20◦C dapat mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan
kepiting bakau turun secara drastis (Queensland Departement of Primary Industries, 1989).
Wahyuni dan Sunaryo (1981) melaporkan di perairan Muara Dua, Segara Anakan kepiting
bakau didapatkan pada kisaran suhu 28◦C-36◦C.
Derajat Keasaman (pH)
Kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat

lumpur dengan pH rata-rata 6,50. Pendapat ini didukung oleh Walsh (1967) dalam La Sara
(1994) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0, sedang
Toro (1987) mendapatkan kepiting bakau pada pH 6,16 – 7,50.
Kedalaman Air dan Pasang Surut
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan, namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada perairan yang dangkal
Mulya (2002). Wahyuni dan Ismail (1987) mendapatkan kepiting bakau pada kedalaman 3079 cm di perairan dekat hutan mangrove dan kedalaman 30 cm- 125 cm di muara sungai.
Kepiting bakau akan terlihat menuju ke perairan dangkal pada waktu siang hari.
Kepiting bakau tahap juvenile (first crab) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk
mencari makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada saat surut (Hutching dan
Sesanger, 1987).
Substrat Dasar Perairan

Tekstur substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri dari lumpur dan liat. Hal
ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur dan liat mengendap dengan cepat karena air
disekitarnya relative tenang dan terlindungi. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat

mendukung kehidupan kepiting bakau terutama dalam melangsungkan perkawinan,
selanjutnya secara bertahap betina akan beruaya menuju laut untuk memijah sedangkan yang
jantan akan tetap tinggal di perairan (Clough et.al. 1986.) Pagcatipunan (1972) menyatakan

dalam melangsungkan perkawinan, kepiting bakau terlebih dulu akan melepaskan karapasnya
(molting) dan sebelum molting kepiting tersebut akan masuk ke dalam lubang yang
mempunyai substrat lunak hingga karapasnya kembali mengeras.

BAB III PEMBAHASAN

3.1

Prospek Keuntungan
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang

potensial untuk dibudidayakan. Kepiting bakau banyak dijumpai di perairan payau yang
banyak ditumbuhi tanaman mangrove. Kepiting bakau sangat disenangi oleh masyarakat
mengingat rasanya yang lezat dengan kandungan nutrisi sejajar dengan crustacea yang lain
seperti udang yang banyak diminati baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.
Begitu banyak hasil laut dan air tawar yang merupakan komoditas andalan suatu
daerah bahkan suatu negara seperti, ikan, kerang, udang, lobster dan kepiting. Khusus untuk
kepiting sangat jarang masyarakat kita yang membudidayakan kepiting secara khusus,
padahal jika dikelola dan dikembangkan secara terpadu, maka kepiting ini sangat
menjanjikan.

Potensi pasar yang cukup besar memberi peluang bagi pengembangan budidaya
kepiting bakau secara lebih serius dan komersial. Di sisi lain produksi kepiting selama ini
secara keseluruhan masih mengandalkan tangkapan dari alam, sehingga kesinambungan
produksinya tidak dapat dipertahankan.
Saat ini budidaya kepiting bakau ini tidak harus di laut dan di daerah bakau, namun
dapat juga dan telah berhasil dibenihkan pada bak-bak terkontrol dan dapat diproduksi di
hatchery ikan laut maupun udang windu. Kepiting bakau atau yang lebih dikenal dengan
kepiting lumpur merupakan salah satu sumber daya perikanan pantai yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi bila dikembangkan dan dibudidayakan. Pembudidayaan atau
pemanfaatan secara komersil dari komoditas ini semakin meningkatkan baik untuk
dikonsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor.
Di dalam negeri kepiting bakau ini juga telah banyak dijual di pasaran-pasaran
tradisional hingga ke swalayan mewah (supermarket), dan disajikan di rumah makan kecil di
pinggiran jalan sampai restoran bahkan sampai hotel berbintang. Untuk pangsa pasar eksport
kepiting bakau Indonesia ini antara lain Jepang, Malaysia, Prancis sampai ke Amerika Serikat
(AS), sehingga sangat wajar jika peminat kepiting tersebut sangat tinggi, karena binatang

yang berkulit keras ini selain memiliki rasa gurih, enak dan juga bergizi tinggi. Dengan
alasan tersebut, pihaknya berharap kepada Pemkab agar dapat memprogramkan bantuan
untuk budidaya kepiting para nelayan khususnya di pesisir, karena hal tersebut jelas akan

membantu dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama nelayan serta penurunan
angka pengangguran yang ada di Lampung Barat.
Budidaya kepiting ini tentunya akan menyerap tenaga kerja yang lumayan banyak jika
hal ini dikelola dan dikembangkan secara terpadu dan dalam skala besar. Oleh karena itu
komoditi ini sangat menjanjikan untuk dilaksanakan dan dicoba di Lampung Barat, terutama
di daerah pesisir barat. Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan pantai
yang mempunyai nilai ekonomis penting. Pada mulanya kepiting bakau hanya dianggap hama
oleh Petani tambak, karena sering membuat kebocoran pada pematang tambak. Tetapi setelah
mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka keberadaannya banyak diburu dan
ditangkap oleh nelayan untuk penghasilan tambahan dan bahkan telah mulai dibudidayakan
secara tradisional di tambak. Mengingat permintaan pasar ekspor akan kepiting bakau yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun maka usaha ekstensifikasi budidaya kepiting bakau
mulai dirintis di beberapa daerah.
Kepiting bakau dapat dipelihara secara terus menerus sepanjang tahun, karena
ketersediaan benih di alam saat ini cukup banyak juga lahan tambak pembesaran dapat
disiapkan dengan mudah dan cepat. Diversifikasi usaha budidaya kepiting bakau di tambak
akan menambah lapangan usaha dan mengoptimalkan potensi lahan tambak yang idle serta
dapat menyerap tenaga kerja, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat
pembudidaya.
3.2


Konstruksi Tambak
Tambak kepiting harus mempunyai konstruksi yang berorientasi pada faktor

lingkungan yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan secara normal, sehingga efisiensi
pemanfaatan lahan dan waktu saat pemeliharaan. Secara prinsip, bangunan tambak harus kuat
& kedap air.
Untuk mencegah agar kepiting tidak melarikan diri dari petak pemeliharaan dan
mencegah masuknya hama dari luar dibuat karamba bambu atau kurungan. Setiap unit
kurungan dibangun dengan ukuran 2 m x 1 m x 0,2 m hingga membentuk kare yang
ditancapkan. Karamba dipasang pada 30 cm±saluran tambak dengan kedalaman air

3.3

Teknik Budidaya

Persiapan Tambak
Pengolahan tanah dasar ditujukan memperbaiki mutu/kualitas tanah untuk
meningkatkan daya dukung lahan. Kegiatan yang dilakukan meliputi pembalikan,
penjemuran, pencucian dan pengapuran. Pembalikan tanah bertujuan untuk mempercepat

proses penguraian bahan organik dan gas-gas beracun, yang dilakukan dengan
mencangkul/membajak dengan kedalaman ± 20 – 30 cm. Penjemuran bertujuan untuk
mereduksi bahan organik dan gas-gas beracun yang dilakukan dengan sinar matahari hingga
warna tanah coklat alami. Lama penjemuran selama 5 – 7 hari. Pengapuran bertujuan
memperbaiki dan menstabilkan pH tanah hingga kisaran normal (pH 7 – 8). Jenis kapur yang
digunakan harus sesuai dengan jenis tanah dasar setempat.
3.4

Pemeliharaan

A. Pemilihan dan Penebaran Benih
Benih yang digunakan berukuran berat 30 – 50 gr/ekor atau lebar cangkang (karapas)
3 -4 cm. Ciri-ciri benih yang baik adalah :


Anggota tubuh yang lengkap



Menunjukkan tingkah laku untuk menghindar atau melawan bila akan dipegang



Warna cerah hijau kecoklatan atau coklat kemerahan.

Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari dengan padat tebar rasio
perbandingan jantan dan betina 1 : 1 berkisar antara 1 -2 ek/m2. Untuk menjamin benih bebas
dari parasit sebaiknya direndam dengan desinfektan (formalin 200 ppm selama 30 menit).
Kemudian benih disebar merata dengan cara melepas ikatan satu per satu.
B. Pemberian Pakan
Kegiatan pemberian pakan meliputi : (1) memilih jenis pakan yang sesuai dengan
kebutuhan, (2) cara pemberian pakan, (3) dosis pakan, (4) teknik sampling. Jenis pakan untuk
budidaya kepiting adalah pakan alami seperti bentos dan cacing, untuk pakan buatan dapat
diberikan ikan rucah atau pellet.

Khususnya untuk pakan ikan rucah, daging kerang dan hancuran daging siput
dilakukan dengan cara memberikan ikan setengah kering dengan kadar air berkisar 30 – 40
%. Jumlah pakan diberikan disesuaikan dengan kebutuhan, dapat dilihat dari sisa pakan yang
tidak termakan. Jika pakan dimakan seluruhnya, maka pemberian pakan selanjutnya
sebaiknya ditambah.
c. Pengendalian hama dan penyakit
Tindakan pengendalian dapat dilakukan dengan cara pergantian air yang cukup,
pengapuran secara rutin dan penyaringan air pasok dan pemberian feed aditive (vit. C 2-4
gr/kg pakan, bawang putih 15 – 20 gr/kg pakan secara periodik. Penggunaan obat-obatan
kimia (pabrik) merupakan alternatif paling akhir jika dengan cara pencegahan tidak berhasil.
3.5

Panen Dan Pasca Panen
Panen kepiting biasanya dilakukan setelah masa pemeliharaan mencapai 4-5 bulan,

dengan ukuran 3-4 ekor/kg. Cara panen kepiting dari kurungan bambu dengan menggunakan
seser atau rakkang. Pasca panen dengan mengikat kaki dan capit kepiting dengan tali secara
individu. Produk hasil panen ditempatkan di wadah yang berlobang-lobang dengan dialasi
pelepah pisang yang dibasahi air laut guna mempertahankan tingkat kelembaban, selanjutnya
kepiting dapat dipasarkan langsung ke pengumpul dalam keadaan hidup.
Sebagai komoditas ekspor kepiting memiliki harga jual cukup tinggi baik di pasaran
dalam maupun luar negeri, namun tergantung pada kualitas kepiting (ukuran tingkat
kegemukan). Penggemukan kepiting dapat dilakukan terhadap kepiting bakau jantan dan
betina dewasa tetapi dalam keadaan kosong/kurus. Untuk dapat menghasilkan kepiting yang
gemuk diperlukan waktu yang cukup pendek yaitu 10 – 20 hari. Harga jual kepiting gemuk
menjadi lebih tinggi dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani.
3.6

Teknik Budidaya Pembesaran
Faktor teknik yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan budidaya

pembesaran kepiting, antara lain :
Pemilihan Lokasi Budidaya

Pemilihan lokasi budidaya harus tepat secara teknis operasional dengan mempertimbangkan
beberapa aspek sebagai berikut :


Mutu air cukup baik



Salinitas 15 – 30 ppt



Ph air 7 – 8



Suhu 25 – 30 C



Kandungan O >3 ppm



Mudah diawasi



Substrat dasar tambak adalah lumpur berpasir



Untuk sistem karamba harus terhindar dari pengaruh banjir dan mudah terjangkau
oleh pasang surut.



Merupakan wilayah penangkapan kepiting

Tempat Pemeliharaan
Tempat pemeliharaan kepiting bisa berupa kurungan bambu, waring, maupun bak
beton. Untuk tempat pemeliharaan kepiting yang berasal dari kurungan bambu (karamba)
disarankan berukuran 1,5x1x1meter atau 2x1x1meter, hal ini bertujuan memperrmudah
pengelolaannya terutama pada waktu mengangkat karamba di waktu panen.
Pemilihan Benih
Kesehatan benih merupakan satu diantara faktor yang menunjang keberhasilan dalam
usaha penggemukan kepiting. Oleh sebab itu pemilihan dan pengelolaan benih harus benar
dan tepat. Kesehatan benih juga bisa dilihat dari kelengkapan kaki-kakinya. Hilangnya capit
akan berpengaruh pada kemampuan untuk memegang makanan yang dimakan serta
kemampuan sensorisnya. Walaupun pada akhirnya setelah ganti kulit maka kaki yang baru
akan tumbuh tetapi hal ini memerlukan waktu, belum lagi adanya sifat kanibalisme kepiting,
sehingga kepiting yang tidak bisa jalan karena sedang ganti kulit sering menjadi mangsa

kepiting lainnya. Untuk itu maka harus dipilih benih yang mempunyai kaki masih lengkap.
Benih kepiting yang kurang sehat warna karapas akan kemerah-merahan dan pudar serta
pergerakannya lamban.

Pengangkutan Benih
Walaupun kepiting bakau merupakan hewan yang tahan terhadap perubahan
lingkungan namun cara pengangkutan yang salah bisa menyebabkan kematian dalam jumlah
banyak atau mengurangi sintasan. Pengangkutan benih sebaiknya dilakukan sewaktu suhu
udara rendah dan kurang sinar matahari. Tereksposenya benih kepiting ke dalam sinar
matahari bisa menimbulkan dehidrasi yang pada akhirnya cairan dalam tubuh kepiting akan
keluar semuanya sehingga menyebabkan kematian. Tingginya kematian benih setelah sampai
tempat tujuan biasanya disebabkan karena benih yang dibeli memang sudah lemah akibat
sudah ditampung beberapa hari oleh pedagang pengumpul. Biasanya kematian kepiting
terjadi setelah hari ke-4 dalam penampungan tanpa air. Wadah yang dipakai dalam
pengangkutan kepiting sebaiknya tidak menyebabkan panas dan letakkan kepiting dalam
posisi hidup. Wadah sterofoam dengan panjang 1 m dan lebar 60 cm dapat menyimpan benih
sebanyak 100 – 150 ekor untuk benih yang diikat.Lakukan penyiraman sebanyak 2 – 3 kali
penyiraman dengan air berkadar garam 10 – 25 ppt, selama pengangkutan 5 – 6 jam.
3.7

Penebaran
Penebaran kepiting dilakukan pada pagi atau sore hari pada karamba. Benih kepiting

yang ditebarberukuran berat 200 – 300 gram per ekor. Untuk ukuran karamba 1,5 – 2 x 1 x 1
meter kepadatan tebar nya kurang lebih 15 – 25 kg atau sebanyak 60 – 70 ekor.
3.8

Pemeliharaan
Penempatan karamba dalam petak tambak disarankan diletakkan di dekat pintu

masuk/keluar air. Posisi karamba sebaiknya menggantung berjarak 15 cm dari dasar perairan
yang tujuannya agar sisa pakan yang tidak termakan jatuh ke dasar perairan tidak mengendap
di dalam karamba. Diusahakan seminggu 2 kali karamba dipindah dari posisi semula hal ini
bertujuan agar terjadi sirkulasi / pergantian air. Kegiatan dalam pemeliharaan setelah
penebaran dilakukan :



Pemberian pakan rucah lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5 -10% dari
berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore/malam hari.



Penggantian air dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air.



Sampling dilakukan setiap 5 hari untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan
kesehatan kepiting.



Dengan pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo
10 hari pertumbuhan kepiting bisa diketahui.

3.9

Pemanenan
Pemeliharaan / penggemukan kepiting di karamba dapat dilakukan selama 15 hari,

tergantung pada ukuran benih dan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan oleh jenis pakan
yang diberikan dan kualitas air tambak. Untuk memanen kepiting digunakan alat berupa seser
baik untuk tujuan pemanenan total maupun selektif. Pelaksanaan panen harus dilakukan oleh
tenaga terampil untuk menangkap dan kemudian mengikatnya. Selain itu tempat dan waktu
penyimpanan sebelum didistribusikan kepada konsumen menentukan kesegaran dan laju
dehidrasi karena kehilangan berat sekitar 3 – 4% dapat menyebabkan kematian.
3.10

Analisa Usaha
Beberapa asumsi yang digunakan dalam menghitung biaya dan pendapatan dalam

usaha penggemukan kepiting :


Lama pemeliharaan 15 hari.



Harga jual kepiting jantan Rp. 27.000,- dan kepiting betina Rp. 50.000,-



Benih yang dibutuhkan 20 kg atau 60 ekor/keramba



SR 75% atau 88 ekor, jantan 44 ekor atau 22 kg dan betina 44 ekor atau 22 kg dengan
ukuran 1-2 ekor/kg.

3.11

Analisa Laba-Rugi
A. Biaya Investasi





Pembuatan Karamba 2bh @ Rp.250.000 : Rp. 550.000
Pembelian Peralatan : 50.000
Sub total A : Rp. 550.000
B. Biaya Operasional



Benih 40 kg @ Rp. 19.000 : Rp. 760.000



Pakan 150 kg @ Rp. 1.000 : Rp. 150.000



Tenaga Kerja : 150.000



Sub total B : Rp.1.060.000
C. Penyusutan Modal 10% x A : Rp. 55.000
D. Total Biaya (B+C) : Rp.1.115.000
E. Hasil Penerimaan



Kepiting jantan 44 kg @ Rp. 27.000 : Rp. 594.000



Kepiting betina44 kg @ Rp. 50.000 : Rp.1.100.000



Sub total E : Rp.1.694.000
F. Laba Operasional (E-D) : Rp. 579.000
G. Laba dalam 1 tahun (Fx12bln) : Rp.6.948.000

3.12

Analisa Biaya



Cash Flow{G+A} : Rp.7.498.000



Rentabilitas {F:(A+B)*100%)} : 46%



B/C Rati0 {E :D} : 1,5



Pay BackPeriod {(A+B) : (G+A) x 1tahun} : 3 bulan



Break EvenPoint {(C:(1 – (B:E)} : Rp. 146.956

Cara lama menyantap kepiting telah berakhir. Anda tak perlu berjuang mengkorekkorek cangkangnya demi mengeluarkan dagingnya. Alih-alih, cangkang tersebut bisa
dimakan. Kepiting inilah yang kerap disebut sebagai kepiting soka/lunak (soft shell). Semua
bagian tubuh kepiting tersebut bisa dimakan, termasuk cangkangnya yang keras. Fakta itu tak
ayal membuat popularitas kepiting soka naik.
Permintaannya terus melonjak meski harganya cukup tinggi. Harga per kilonya bisa
mencapai sekitar Rp 60 ribu. Namun, hidangan ini belum banyak tersedia di restoran-restoran
penyaji makanan akuatik.
Pasokan kepiting soka masih rendah karena usaha budidayanya belum berkembang.
Alasannya terkendala oleh bibit yang selama ini hanya mengandalkan tangkapan alam.
Kendati demikian, usaha budidaya kepiting soka tetap menyimpan peluang besar. Apalagi
dengan kian bertambahnya penggemar Mr. crab dari hari ke hari. (fn/jp/lb/sc/tb)

BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang
potensial untuk dibudidayakan. Kepiting bakau banyak dijumpai di perairan payau yang
banyak ditumbuhi tanaman mangrove. Kepiting bakau sangat disenangi oleh masyarakat
mengingat rasanya yang lezat dengan kandungan nutrisi sejajar dengan crustacea yang lain
seperti udang yang banyak diminati baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.
Potensi pasar yang cukup besar memberi peluang bagi pengembangan budidaya
kepiting bakau secara lebih serius dan komersial. Di sisi lain produksi kepiting selama ini
secara keseluruhan masih mengandalkan tangkapan dari alam, sehingga kesinambungan
produksinya tidak dapat dipertahankan

DAFTAR PUSTAKA

Moosa, M.K., I. Aswandy dan A. Karsy. 1985. Kepiting Bakau-Scylla Serrata (Forskal) Dari
Perairan Indonesia . LON-LIPI. Jakarta.
Sulistiono. N., Watanabe, S, Yokota and R. Fusera. 1996. The Fishing Gears And Methods Of
The Mud Crab In Indonesia Cancer (S). Hal 23-26 (In Japanese)
http://ukm-blogspot.com
www.suaramedia.com