T1 712010049 Full text

“KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA
PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR”
Oleh :

Ekawati Suzanty Mbiliyora
NIM : 712010049

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi
Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana
Sains Teologi
( S.Si-Teol )

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA 2017
i

ii

iii


iv

v

Motto
“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala
sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang Gagal”

- Ayub 42 : 2 -

Persembahan
Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Kedua orang tua
saya Bapak Silas Mbiliyora dan Ibu Agustina Dingu serta kedua
adik saya Yurinius Mbiliyora dan Christine R.I Mbiliyora, trima
kasih untuk begitu banyak kasih sayang yang telah dengan
tulus diberikan.

vi


KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah
menyertai perjalanan kehidupan penulis, khususnya dalam proses penyelesaian studi hingga
sampai pada tahap ini. Banyak hal yang sudah penulis lalui selama menuntut ilmu di kampus ini.
Penulis menyadari bahwa sampai pada tahap ini bukan berarti tanggung jawab juga selesai,
namun semakin mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap-tahap selanjutnya. Banyak pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen
Satya Wacana.
2. Bapak Pdt. Izak Lattu, P.HD selaku Ketua Program Studi Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana.
3. Bapak Dr. David Samiyono selaku dosen pembimbing I dan Ibu Feriningsih B.P
Hagni, M.Th selaku pembimbing II untuk bimbingan serta arahan yang sudah
diberikan, untuk waktu yang sudah diluangkan kepada penulis selama proses
penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan limpah trima kasih untuk
bantuannya selama ini.
4. Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel dan Ibu Pdt. Cindy Quartyamina. Terima kasih
untuk waktu dan juga ketelitian sebagai reviewer yang telah membaca dan
memberikan masukan-masukan positif untuk penulisan Tugas Akhir ini.

5. Bapak Dr. David Samiyono selaku wali studi penulis, trima kasih atas
bimbingannya sejak awal bergabung bersama teman-teman Teologi 2010.
6. Seluruh dosen UKSW yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan
serta seluruh civitas akademika UKSW.
7. Masyarakat Kecamatan Kota Waingapu yang sudah bersedia meluangkan waktu
untuk membantu penulis dalam proses wawancara dan memberikan data, guna
menyusun tugas akhir ini.
8. Kedua orang tua terkasih Bapa Silas Mbiliyora dan Mama Agustina Dingu untuk
kasih sayangnya, dan untuk segala bentuk dukungan yang tidak dapat penulis
balas, trima kasih banyak. Untuk kedua adik Yurinius Mbiliyora dan Cristine R.I

vii

Mbiliyora trima kasih atas segala bentuk dukungan yang tidak pernah berhenti
diberikan.
9. Untuk keluarga besar di Sumba, Alm. Martha J. Terinate, Opa Markus Mbiliyora,
Nenek Rambu Ippu Huka Pati, Bapak Yunus Osa Dingu dan Alm. Ibu Maria
Gella, Bapak No Alfons dan Ibu Fransina Dingu, trima kasih banyak untuk segala
bentuk dukungan baik moril maupun materil yang diberikan bagi penulis selama
ini.

10. Jefrison Y. Taralandu yang selalu menolong penulis selama proses penyelesaian
Tugas Akhir ini, memberikan dukungan yang luar biasa untuk penulis. Trima kasih
banyak kaka.
11. Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) khusunya cabang
Salatiga untuk kebersamaannya selama ini, baik teman-teman maupun senior
GMKI yang sudah berbagi ilmu dan wawasan selama melakukan diskusi-diskusi
dalam organisasi, trima kasih telah menjadi keluarga untuk penulis selama di
Salatiga. Trima kasih secara khusus bagi Kecab (Apet Jomblo), Elyan Mesak Kowi
(adik laki-laki dengan segala cita-citanya), Juni ( Erik Bura), Eten (Stenly Musa),
Albert Lobo dan Chatrine Rambu Oroe serta abang Fredi B. Guti, trima kasih
untuk jalinan persaudaraan yang luar biasa.
12. Keluarga persekutuan SSBS, Kak Ranja, Kak Yermi, Kak Felix, Kak Nurti, Kak
Gery, Kak Sari, Okal, Meka, Novin, Titin dan Andri Tanggu Mara serta kakakkakak yang lain yang sudah berbagi pengalaman spiritual selama mengadakan
ibadah bersama.
13. Sahabat terdekat Novin Budjalemba dan Ulat Bulu (Beatriks Hia) trima kasih
untuk persahabatan kita selama di Salatiga. Sekalipun nanti kita tak berpijak pada
pulau yang sama, tetaplah saling merindukan. Saya mengasihi kalian berdua.
Untuk kakak terkasih K Yayie (Sary Rambu Pedi Mosa) trima kasih banyak sudah
jadi kakak yang luar biasa.
14. Untuk sahabat satu pulau since MMX, Aldoni Riwan Waluwandja, Rusdianto Turu

Paita, Melvian Umbu Nggaba dan Yosito Kameo terima kasih untuk persahaban
kita, trima kasih sudah jadi saudara laki-laki yang baik dan serba berkekurangan
untuk saya. Saya mengasihi kalian.
viii

15. Persatuan Warga Sumba di Salatiga yang sudah membantu penulis beradaptasi
dengan lingkungan yang baru sejak awal datang ke Salatiga, secara khusus
angkatan 2010.
16. Teman-teman Teologi 2010, kakak-kakak angkatan dan adik-adik angkatan, untuk
kebersamaannya bersama penulis selama menuntut ilmu di UKSW, khususnya
Leri Mardani Butar-Butar, Harsie Rambi, Brigivita Marulin, Tasya Tarigan dan
Manasye Indra Kusuma.
17. Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan Tugas Akhir ini hingga
selesai.

ix

Abstrak

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak

berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui
penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut
berperan dalam kebudayaan Pahamang. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis
untuk penelitian ini yaitu metode penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam
masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dan studi dokumentasi yang berhubungan dengan budaya Pahamang. Melalui
wawancara penulis mencoba mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh
penulis dan narasumber. Penulis juga akan menggunakan studi dokumentasi yaitu suatu metode
pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku maupun dokumen–dokumen yang
berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.
Dari penelitian yang dilakukan penulis menemukan bahwa Kebudayaan Pahamang
sebagai salah satu tradisi yang ada dianut oleh masyarakat Sumba turut menunjukkan perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih berperan pada rana publik dan peran
perempuan hanya dibatasi pada rana dosmestik. Keterbatasan peran perempuan

dalam

kebudayaan merupakan hal yang wajar saja bagi masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan

kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat.
Konstruksi masyarakat membuat perempuan merasa dirinya tidak mengalami apa yang disebut
dengan ketertindasan karena mereka telah larut dalam pengajaran budaya yang secara turun
temurun diberikan.

Kata Kunci: Pahamang, Peran perempuan.

x

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Penggesahan ……………………………………………………………..
Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ………………………………………………….
Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ……………………………………………
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………………………...
Motto ………………………………………………………………………………
Kata Pengantar ……………………………………………………………………..
Abstrak ……...……………………………………………………………………...
Daftar Isi ….………………………………………………………………………..
Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………………...

Bagian I. Pendahuluan …………………………………………………………….
Latar Belakang ……………………………………………………………..
Bagian II. Teori Peran dan Teori – Teori Feminis ………………………………...
Kebudayaan Sebagai Bagian dari Masyarakat …………………………….
Teori Peran ………………………………………………………………...
Peranan Perempuan dalam Mayarakat …………………………………….
Gerakan – Gerakan Feminis ………………………………………………
Feminis Liberal …………………………………………………………….
Feminis Radikal ……………………………………………………………
Feminis Sosialis ……………………………………………………………
Bagian III. Budaya Pahamang dalam Adat Kematian dan Peran Perempuan dalam
Budaya Sumba Timur …………………………………………………..
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………………….
Masyarakat Sumba ………………………………………………………...
Budaya Masyarakat Sumba ………………………………………………..
Kematian bagi Orang Sumba ………………………………………………
Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur ………………...
Bagian IV. Peran Perempuan dalam Kebudayaan Pahamang ……………………..
Bagian V. Kesimpulan dan Saran ………………………………………………….
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………...


xi

i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
1
1
6
8
8
9
11
11

13
15
16
16
17
18
19
20
26
29
33

I.

Pendahuluan

Latar Belakang
Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di bagian Timur Indonesia. Pulau Sumba terdiri
dari empat kabupaten,yaitu: Kabupaten Sumba Timur,


Sumba Tengah, Sumba Barat, dan

Kabupaten Sumba Barat Daya. Keempat kabupaten ini memiliki budaya yang cenderung sama
dan memiliki agama suku yang sama yaitu Marapu yang merupakan kepercayaan terhadap Dewa
atau Ilah tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan–
kekuatan sakti1 dan kepercayaan ini merupakan "kepercayaan asli" yang masih hidup dan masih
dianut oleh sebagian masyarakat yang ada di Sumba.
Berbicara tentang masyarakat tentunya ada kebiasaan yang dianut oleh masyarakat yang
kemudian menjadi kebudayaan dan turut membentuk nilai–nilai dalam masyarakat dan nilai–
nilai ini dianut oleh setiap individu dalam masyarakat itu. Kebudayaan itu sendiri merupakan
keseluruhan hasil kreatifitas manusia yang sangat kompleks, didalamnya berisi struktur–struktur
yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman dalam
kehidupan.2 Budaya kemudian terbentuk menjadi aturan atau norma–norma yang terus mengikat
masyarakat. Karena itu budaya turut mempengaruhi pola tingkah laku bahkan sangat
berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang menganut kebudayaan tersebut.
Budaya juga menolong masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara bertindak dalam
masyarakat.
Kebudayaan setiap komunitas menunjukkan jati diri masyarakat yang menganut
kebudayaan tersebut. Sekalipun kebudayaan dianut secara terus menerus oleh masyarakat namun
budaya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Demikian juga
yang terjadi pada masyarakat yang ada di Sumba, masih ada yang melestarikan dan juga yang
telah meninggalkan kebudayaan yang ada. Sebagai contoh, yaitu kepercayaan Marapu yang
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba. Sebagian masyarakat Sumba yang telah
menganut agama Kristen Prostestan atau agama resmi lainnya telah meninggalkan kepercayaan
ini, bagi masyarakat yang menganut agama Kristen yang menjadi alasan mereka meninggalkan
kepercayaan ini dikarenakan bertentangan dengan Iman Kristen. Salah satu ajaran yang
1

F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 42.
Drs.Tri Widiarto, M.Pd.Pengantar Antropologi Budaya,(Salatiga:Widya Sari Press,2005), 11.

2

1

bertentangan yaitu tentang kepercayaan bahwa nasib manusia ditentukan oleh roh–roh atau ilah–
ilah lain. Dalam ajaran agama Kristen, Tuhan Allah yang menentukan nasib manusia dan bukan
oleh roh–roh leluhur3 seperti yang dipercayai oleh kepercayaan Marapu. Kebudayaan yang juga
mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sumba yaitu upacara penarikan batu kubur. Upacara
penarikan batu kubur yang dahulu nya ditarik oleh sekumpulan orang kini telah disesuaikan
dengan kemajuan teknologi yaitu tidak ditarik melainkan diangkut menggunakan alat–alat
berukuran besar. Bahkan sekarang kuburan–kuburan orang Sumba tidak lagi memakai batu-batu
yang ditarik tetapi sudah dari bahan semen dan keramik.4
Beberapa kebudayaan telah ditinggalkan masyarakat Sumba namun nilai yang
terkandung dalam kebudayaan itu sendiri masih terus dipegang oleh masyarakatnya dan masih
ada kebudayaan yang terus dilestarikan. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih dilestarikan
oleh masyarakat Sumba Timur adalah Pahamang. Pahamang merupakan bagian dari adat Sumba,
yaitu suatu keadaan dimana berkumpulnya keluarga besar (dalam hal ini laki–laki atau bapak)
dalam rumah adat (tikar adat) untuk melakukan musyawarah bersama dalam rangka mengambil
beberapa keputusan terkait dengan adat istiadat dan berbagai macam hal yang berhubungan
dengan acara perkawinan atau acara penguburan. Pahamang sendiri dilakukan pada acara
perkawinan dan juga acara kematian. Secara khusus penulis ingin memfokuskan penelitian ini
pada Pahamang untuk kematian. Alasan penulis mengambil kematian karena terdapat beberapa
fase kehidupan yang dipercayai oleh masyarakat Sumba diantaranya, yaitu kelahiran, masa
kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan.5 Dilihat dari fase ini maka bisa
disimpulkan bahwa salah satu fase kehidupan terpenting bagi

masyarakat Sumba yaitu

kematian, masyarakat Sumba percaya bahwa kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada
ilah tertinggi yang juga memegang nafas manusia. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai
panggilan dan kehendak ilah tertinggi sementara orang yang meninggal kembali kepada
penciptanya.6 Melihat bagaimana pandangan orang Sumba tentang kematian, maka dapat
disimpulkan bahwa adat kematian merupakan bagian penting bagi masyarakat Sumba, karena
itulah penulis tertarik untuk meneliti Pahamang yang merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat Sumba sendiri.
3

Wellem, 2004, 295.
Umbu Pura Woha,Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, Kupang, Cipta Sarana Jaya, 2008)
5
Wellem, 2004, 55.
6
Wellem, 2004, 79.

4

2

Dalam suatu acara kematian Pahamang seringkali dilakukan karena merupakan bagian
dari adat Sumba sendiri, adapun hal-hal yang dibicarakan pada Pahamang untuk kematian adalah
tentang proses penguburan orang yang telah meninggal, berapa hewan yang akan disembelih
(merupakan bagian dari adat) dan menentukan orang–orang yang terlibat dalam adat kematian
dalam hal ini undangan bagi keluarga maupun kerabat terdekat dari orang yang telah meninggal
dan masih banyak lagi hingga pada urusan teknis dalam menjalankan upacara adat kematian,
penguburan dan setelah upacara adat penguburan.
Satu hal yang cukup menarik dalam proses ini yaitu dimana kurangnya keterlibatan
perempuan didalamnya. Ketika proses Pahamang ini berjalan sebagian besar yang terlibat yaitu
laki–laki dan setiap keputusan adat yang didapat dalam diskusi ini bersifat mutlak yang berarti
harus diterima oleh semua keluarga. Dalam proses diskusi ini perempuan tidak berada ditikar
adat bersama dengan laki–laki dan perempuan hanya boleh menunggu di luar rumah adat
bersama anak–anak atau berada didapur untuk memasak makanan bagi semua orang.
Penulis tertarik untuk mencari tahu mengapa hanya laki–laki yang terlibat dalam proses
Pahamang, mengapa dalam proses pembagian kerja hanya laki–laki saja yang terlibat dalam
ritual atau pada tikar adat (publik). Mengapa perempuan tidak dapat mengambil bagian dalam
proses diskusi atau perundingan ini dan mengapa peran perempuan hanya dibatasi pada hal-hal
yang bersifat privat seperti mengurus hal–hal yang bersifat domestik contohnya memasak,
mengurus anak dan mengurus perlengkapan ritual.
Masyarakat Sumba sendiri menganut budaya patriaki yang merupakan dominasi atau
kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya dan
statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pengertian ini kemudian dibakukan
dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki. Selain itu sistem ini seakan-akan menjadi
ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan.7 Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Sumba laki-laki selalu memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat kalaupun perempuan memiliki peran, hal itu tidak
akan melebihi atau mendominasi laki-laki. Adanya sistem tradisi yang dihidupi terkadang
membuat perempuan Sumba larut dalam penguasaan kaum pria, bahkan mereka merasa cukup
puas dengan keadaan, kebiasaan, atau tradisi yang dihidupi, sebagian mereka tidak menyadari
7

Ro he Modheh, Me e aska Pere pua dari Jerat Adat: Sebuah Tinjauan Dari Ajaran Sosial Gereja (
2012), Diakses Februari 17, 2016,
ttp://elvismeo.blogspot.co.id/2012/05/meneropong-budaya-dan-tradisi.html

3

Mei

bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang
kehidupan.8
Jika kita berbicara tentang pembagian peran antara laki–laki dan perempuan di Sumba
dalam sebuah keluarga tugas seorang perempuan adalah mengurus hal–hal yang berkaitan
dengan kelangsungan hidup sehari-hari dari anggota keluarga (tugas domestik), dan tugas laki–
laki adalah mengurus hal–hal yang berkaitan dengan cara menaklukkan atau menyiasati
ancaman–ancaman yang datang dari luar rumah demi mempertahankan kehidupan keluarga
tersebut (tugas publik) 9 laki-laki juga diidentikan dengan pencari nafkah, pengambil keputusan
dalam keluarga sehingga secara tidak langsung membuat laki-laki merasa lebih berkuasa dalam
keluarga. Laki-laki atau bapak sebagai tuan dalam keluarga. Jika kita berbicara tentang peran
antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Sumba dapat dilihat bagaimana seorang
imam atau tua adat dalam masyarakat Sumba yaitu orang yang sudah tua dan laki–laki serta
berasal dari golongan bangsawan dan orang merdeka, perempuan tidak akan menjadi imam
sekalipun ia menguasai ritus–ritus keagamaan.10 Dari apa yang dijelaskan di atas secara tidak
langsung perempuan telah diidentikkan dengan urusan domestik yang berarti perempuan hanya
ada di belakang dan tidak diizinkan atau tidak mempunyai kesempatan untuk berada dalam ruang
publik.
Perempuan terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang tunduk, loyal, lembut
pasrah dan mengabdi, serta tempat yang dianggap sesuai untuk perempuan adalah rumah, peran
yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan rumah tangga. 11
Perempuan

biasanya

diidealisasikan,

diharapkan

untuk

melayani

orang

lain

dan

mengesampingkan kebutuhan mereka sendiri. Karena berbagai faktor penyebab perempuan sulit
untuk tidak melayani orang lain, sehingga sulit pula untuk mengatakan apakah wanita secara
pribadi melayani karena pilihan atau karena tidak bisa menggelaknya.12

8

Modheh, 2012.
Ir.John R.Lahade,Msc.Perempuan, Kuda dan Tenun,Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat
Wewewa,Sumba,(Salatiga:Widya Sari Press,2011), .96
10
Wellem, 2004, 50.
11
Ag es Djarkasi, Peran Perempuan dalam Kesetaraan Jender:Suatu Ti jaua Historis di Sulawesi Utara”Wo e
i Pu li Se tor ”,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 115.
12
Anne Borrowdale,Tugas Rangkap Wanita Mengubah Sikap Orang Kristen(Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia.
9

1993), 30.

4

Dari penjabaran di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang peran
perempuan dalam Budaya Pahamang (untuk Kematian) di Sumba Timur ditinjau dari kajian
Sosio-Feminis.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak
berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui
penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut
berperan dalam kebudayaan Pahamang.
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk penelitian ini yaitu metode
penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekwensi atau
penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat13
Jenis penelitian pada penulisan ini yaitu jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian
ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah
dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan
fenomena yang diteliti.14
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dan studi dokumentasi. Menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan
sebagai sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggung
jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi.15 Melalui wawancara penulis mencoba
mendapatkan informasi melalui

komunikasi yang dilakukan oleh penulis dan narasumber.

Penulis memberikan pertanyaan dan narasumber akan diberikan kebebasan untuk menjawab
pertanyaan sesuai dengan apa yang diketahui dan pengalaman narasumber. Narasumber yang
digunakan penulis yaitu Tua–tua adat, beberapa masyarakat Sumba yang mengerti tentang
budaya Sumba dan juga beberapa perempuan Sumba. Penulis juga akan menggunakan studi
dokumentasi yaitu suatu metode pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku
maupun dokumen–dokumen yang berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.16 Hal ini
juga berguna untuk menyusun landasan teori yang menjadi tolak ukur dalam menganalisa data
penelitian untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis.
Koentjaraninggrat,Metode – metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Penerbit PT Gramedia,1981),42.
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – ilmu Sosial,(Jakarta:Salemba Humanika,2010),9
15
Herdiansyah, 2010,118.
16
Herdiansyah, 2010, 143.

13

14

5

Sistematika penulisan yang coba dibuat oleh penulis, yaitu: Bagian pertama penulis
memaparkan latar Pendahuluan berupa latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian dua penulis menjelaskan tentang
landasan teori. Bagian tiga penulis memaparkan hasil penelitian lapangan yang berupa
masyarakat Sumba, gambaran umum budaya Pahamang dalam adat Sumba Timur dalam hal ini
peran perempuan dalam budaya tersebut. Bagian keempat penulis menganalisa data yang
diperoleh d lapangan dengan menggunakan teori yang terdapat pada bagian kedua. Bagian lima
penulis akan menyimpulkan pembahasan dalam bagian sebelumnya dan memberikan saran.

II.

Teori Peran dan Teori-teori Feminis
Pada bagian selanjutnya penulis mencoba memaparkan teori yang akan digunakan dalam

proses analisa terhadap data lapangan. Adapun teori yang dibahas oleh penulis pada bagia ini,
yaitu: Kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat, teori peran dan teori-teori feminis gelombang
pertama.

Kebudayaan sebagai bagian dari Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa manusia sebagai
makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk keberlangsungan kehidupannya, dari kenyataan
ini kemudian manusia membentuk hubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu kemudian
membentuk kelompok-kelompok dan pada tiap-tiap kelompok tersebut terdiri dari kelompokkelompok yang lebih kecil. Apabila kelompok-kelompok kecil itu mengadakan persekutuan
dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah apa yang kita kenal dengan “masyarakat”. 17
Ketika menjadi sebuah masyarakat maka ada kebiasaan-kebiasaan dan kesepakatan-kesepakatan
yang terbentuk dalam masyarakat tersebut yang dibakukan menjadi kebudayaan dan dianut oleh
masyarakat tersebut.
Kebudayaan itu sendiri terbentuk dari proses kehidupan yang dialami manusia dalam
menghadapi dan mengatasi berbagai macam masalah hidupnya, baik yang timbul dalam
hubungannya dengan sesama (sosial), dengan lingkungan (natural/fisik), maupun dengan
berbagai hal yang sifatnya misteri dan gaib (supranatural/metafisik).18 Sementara kebudayaan itu

17

H. Hartomo dan Dra. Arnicun Aziz. Ilmu Sosial Dasar. (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), 94
Vi tor “ilae .
5. Pe a gu a Ber asis Ide titas Budaya Nasio al , PAX Humana Vol.II, No. 1(Januari), 12.

18

6

sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta
menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan
tindakan-tindakannya.19 Oleh karena itu masyarakat akan selalu menjadikan kebudayaan yang
dianut sebagai tolak ukur dalam setiap tindakannya baik untuk memenuhi kebutuhan hidup,
untuk menghadapi dan mengatasi masalah dalam hidupnya.
Kata “kebudayaan” sendiri menurut Koentjaraninggrat berasal dari kata Sansekerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti “budi” atau “ilmu”. Dengan demikian

kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Istilah culture, yang
merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere”
yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu yang dimaksud kepada keahlian
mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah

alam”.20 Seorang Antropologi bernama E.B Taylor memberikan definisi mengenai kebudayaan
yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat. 21
Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari dalam kehidupan manusia (enkulturasi),
juga diwariskan secara sosial (bukan genetik) dari satu generasi ke generasi berikutnya. 22 Oleh
karena itu seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan itu sendiri mengalami perubahan.
Namun sekalipun berubah kebudayaan sendiri tidak menghilang karena terus dilestarikan melalui
tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu bentuk pelestarian kebudayaan adalah
dengan mewariskannya dalam keluarga sebagai contoh para orang tua akan menanamkan
pedoman-pedoman kebudayaan yang dipegangnya dengan mendidik, mengajari, menanamkan

19

Richard G. Mayopu, Jur alis e A tar Budaya “e agai Jala Me uju Tolera si Ber a gsa da Ber egara , PAX
Humana Vol.II,No. 3(September 2015), 223.
20
Koentjaraninggrat, Pengantar Antropologi Jilid I, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), 195.
21
Mayopu, 2015, 224.
22
Silaen, 2015, 13.

7

nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak-anaknya, selain secara teori diturunkan dalam keluarga,
kebudayaan itu sendiri turun lewat pengalaman yang dialami dalam masyarakat tempat ia berada.
Ketika kita berbicara tentang kebudayaan tentu hal ini tidak terlepas dari apa yang di
sebut dengan adat istiadat. Dilihat dari peran dan fungsinya adat merupakan “sesuatu” yang
digunakan oleh masyarakat dalam rangka memelihara keutuhan dan keharmonisan hubungan
diantara sesama anggotanya.23 Adat dan kebudayaan merupakan kebiasaan dan berlaku dalam
konteks lingkungan sosial setiap masyarakat yang memilikinya, oleh karena itu setiap adat dan
kebudayaan yang berlaku pada suatu tempat tidak akan sama dengan tempat yang lain. Namun
kebudayaan itu sendiri juga turut berubah seiring dengan perkembangan zaman dan perubahanperuban yang dialami oleh masyarakat tempat kebudayaan itu dibentuk.
Berkaitan dengan judul yang akan dibahas oleh penulis tentang peran perempuan dalam
kebudayaan, maka penulis mencoba membahas tentang teori peran guna mendukung tulisan ini
dalam pembahasan selanjutnya.

Teori Peran
Manusia adalah makhluk sosial, yang biasanya manusia akan menjadi apa dan siapa,
tergantung pada lingkungan sekitarnya atau pada siapa ia bergaul. Manusia tidak bisa hidup
sendirian, sebab terdapat adanya rasa saling ketergantungan satu sama lain. Dalam pergaulan
hidup, manusia menduduki fungsi yang bermacam-macam dan manusia itu sendiri berperan
sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat
tempat ia berada. Oleh karena itu maka setiap individu mempunyai kumpulan peranan tertentu
ketika ia berhadapan dengan dengan orang-orang disekitarnya.
Istilah peranan sendiri dipinjam dari sandiwara, dimana seorang pemain memainkan
suatu peranan sebagai pahlawan atau sebagai penjahat. Untuk menjelaskan lebih jauh lagi
peranan apa yang dimainkan, sipemain ini memakai topeng. Topeng ini masih dipakai oleh
penari Jawa atau Bali dan juga dulu dipakai oleh pemain Yunani. Pada zaman itu topeng tersebut
dinamakan “persona”. Persona berarti pernyataan lahir, pernyataan keluar seseorang atau dalam
bahasa Inggris “social self” ini diwujudkan dalam kumpulan peranan atau “set of roles”
seseorang, dimana ia sebagai obyek menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku.24

23

Silaen,2015, 17.
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), 22

24

8

Menurut Soejono Soekamto, Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan
individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang
dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam

masyarakat,

peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing
seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.25 Ini berarti bahwa peran yang dilakukan oleh
individu tidak hanya berasal dari dirinya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat
ia bertumbuh.
Namun peran sendiri tidaklah bersifat dinamis melainkan ia bersifat statis atau berubahubah sesuai dengan tahap perkembangan hidup seseorang, contohnya peran seseorang dari ketika
ia kecil, akan berubah ketika ia menjadi seorang remaja, dewasa kemudian dalam keluarga dan
juga perannya dalam ligkungan dari rumah, sekolah kemudian kantor tentu perannya akan
berbeda-beda. Perubahan peran seseorang tidak hanya berdasarkan pada individu itu sendiri
tetapi juga berdasarkan pada perkembangan kebudayaan tempat ia berada, seperti dari yang
primitif sampai yang canggih, dari yang tradisional sampai pada yang modern.26 Karena itu
kumpulan peranan berubah tergantung tempat dan serta umur individu tersebut.
Perilaku individu dalam kesehariannya, hidup bermasyarakat berhubungan erat dengan peran
, karena peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani seorang individu dalam
bermasyarakat. Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku juga di
masyarakat.
Adapun Tiga macam fungsi norma menurut Hommes, yaitu :
1. Mengatur cara pergaulan. Karena seringkali peranan berbentuk pasangan yang saling
mempengaruhi, misalnya suami-istri; orang tua-anak; guru-murid dan sebagainya. Jika
salah ,satunya tidak berperan, maka yang lain tidak bisa berperan.
2. Mengendalikan anggota masyarakat dalam proses menyesuaikan diri dengan normanorma yang pantas. Misalnya, kemauan seorang individu dikendalikan demi
kewajibannya terhadap keadaan yang baik di masyarakat.

25

http://fahir-blues.blogspot.co.id/2013/06/teori-peran-dan-definisi-peran-menurut.html
Diakses September 05-2016
26
Hommes, 1992, 20.

9

3. Meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.
Misalnya, seorang suami sudah mengharapkan isterinya akan menyiapkan makanan
karena peranannya adalah memasak.27
Sistem peranan, menurut Hommes dapat menjamin kehidupan masyarakat yang teratur
dan harmonis. Namun tidak dapat kita pungkiri juga bahwa seiring dengan perubahan sosial
yang terjadi turut mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam arti bahwa peran yang
dijalankan seseorang dapat berubah-rubah seperti yang layak dulu bisa jadi tidak diterima
lagi pada masa kini.

Peranan Perempuan dalam masyarakat
Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan pola tingkahlaku yang
berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. Pembagian peran
ini berfungsi melengkapi kekurangan-kekurangan kedua jenis manusia ini, supaya persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik (Manwell). 28
Masyarakat memahami secara mendasar, perempuan adalah ibu rumah tangga. Pria adalah
pencari nafkah, perempuann adalah penjaga dan pembagi makanan. Dia adalah seseorang yang
mengambil alih setiap persoalan. Seni mengasuh tunas bangsa merupakan tugas utama
perempuan dan satu-satunya hak istimewa.29 Pemahaman tentang peran perempuan seperti ini
yang kemudian menyebabkan perempuan terus menganggap tempat mereka mereka adalah
dalam bidang domestik dan mereka tidak berperan dalam rana publik.
Berhubungan dengan peran laki-laki dan perempuan, secara hirarki status laki-laki lebih
tinggi dari pada si perempuan. Misalnya, kedudukan seorang ibu rumah tangga tetap berada
dibawah kedudukan seorang bapak, sebagai kepala keluarga. Walaupun si ibu seorang
perempuan berkarir dia tetap dibebani dengan banyak kewajiban, seperti membesarkan anak,
mengurus rumah tangga, serta mendampingi suaminya.
Adapun salah satu lingkungan terkecil dalam masyarakat yang juga mempengaruhi
kehidupan seorang individu yaitu keluarga, keluarga merupakan lingkungan pertama tempat
peran seseorang dimulai dan keluarga berfungsi memenuhi pelbagai kebutuhan manusiawi mulai
dari kebutuhan primer (sandang, pangan serta papan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk
27

Hommes, 1992, 21.
Arief Budiman, Pembagian Kerja secara Seksual, (Jakarta: Gramedia, 1985), 24.
29
Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 48.

28

10

mencintai serta dicintai, kebutuhan akan harga diri, sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri.
Banyak orang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup dilingkungan rumah tangga.
Tugas alami yang kemudian dimiliki oleh perempuan adalah melahirkan dan membesarkan anakanak di dalam lingkungan rumah tangga, serta memasak dan memberi perhatian kepada
suaminya, supaya sebuah rumah tangga yang tenteram dan sejahtera dapat diciptakan.30 Hal ini
tidak dapat kita pungkiri jika melihat dari peran perempuan yang terbentuk dalam masyarakat
yang menganut budaya patriaki.
Perempuan selalu diberikan tanggung jawab untuk perawatan sehari-hari kaum pria dan
anak-anak di tengah-tengah keluarganya sendiri maupun dalam masyarakat. Mereka terus
menerus dituntut untuk mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.
Naluri keibuan yang mengharuskan kesiapsediaan untuk menyampingkan kebutuhannya sendiri
demi melayani orang lain.31 Perempuan adalah makhluk yang ditugaskan untuk menyediakan
semua kebutuhan rumah tangga, mendidik anak-anak dengan mengesampingkan kepentingannya
sendiri. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan patriaki menjadi semakin kuat dalam sebuah
keluarga.

Gerakan-gerakan Feminisme
Feminisme bukanlah istilah baru, sebaliknya istilah-istilah feminis telah ditemukan
berabad-abad yang silam. Kata feminis berasal dari kata latin feminia (perempuan) yang
mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan”, dan mulai dipakai istilah tersebut pada tahun
1890an disebuah publikasi The Athenaeum, 27 April 1895. Walaupun pada saat itu istilah
feminisme baru merupakan sebuah kesadaran dan belum merupakan sebuah kesadaran politik
apalagi teoritis.32
Secara umum, Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat
dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidak adilan
karena jenis kelaminnya. Dibawah payung lebar berbagai feminisme menawarkan berbagai
analisis mengenai penyebab, pelaku, dari penindasan perempuan. 33 Pemikiran-pemikiran
sosiologis, ekonomi, dan politik dapat dilihat secara mengental di dalam teori-teori feminis
30

Budiman, 1985, 7.
Borrowdale, 1.
32
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku Kompas,2006),412
33
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,2002), 158.
31

11

Liberal, Radikal dan Marxisme, teori-teori ini kemudian digolongkan sebagai teori-teori feminis
gelombang pertama, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan
perempuan di dalamnya, dan juga telah mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan
dimasyarakat, terutama persoalan hak-hak sipilnya. Pada gelombang kedua, pemikiranpemikiran feminisme bukan lagi memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan melakukan
pergerakan politis seperti pada pertanyaan-pertanyaan melakukan pergerakan politis seperti pada
gelombang pertama. Perspektif pada gelombang kedua kemudian melahirkan “perempuan dan
laki-laki sama” atau setara. Perspektif ini ingin mendorong masyarakat untuk menerima
perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki.
Adapun gerakan-gerakan feminis gelombang pertama yang dijadikan penulis sebagai
landasan teori diantaranya yaitu, :

Feminis Liberal
Aliran ini mendasari prinsip-prinsip falsafah liberalisme yaitu rasionalitas, bahwa semua
orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, setiap orang harus punya kesempatan yang sama
untuk memajukan dirinya, dan berpendapat bahwa perempuan juga sama rasionalnya dengan
laki-laki. Feminis liberal beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini belum diberikan kepada wanita,
karena itu mereka menuntut supaya prinsip-prinsip ini segera dilaksanakan sekarang
juga.34Wanita harus sadar akan hak-haknya, wanita harus menuntut apa yang menjadi haknya.
Tuntutan ini akan menyadarkan kaum laki-laki, dan kalau kesadaran ini sudah merata maka
dengan kesadaran baru ini, manusia akan membentuk suatu masyarakat baru dimana laki-laki
dan wanita bekerjasama atas dasar persamarataan.35
Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil
dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam masyarakat seperti itu, perempuan
dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hak yang sama
juga dengan laki-laki.

34

Budiman, 1985, 36.
Budiman, 1985, 36.

35

12

John Stuart Mill dan Harriet Taylor (Mill) dalam tulisannya mengikuti Wolstonecraft
dalam hal merayakan nalar, akan tetapi mereka memandang nalar tidak saja secara moral,
sebagai kapasitas untuk mengambil keputusan secara otonom, tetapi juga melalui pemikiran yang
hati-hati, sebagai pemenuhan diri atau penggunaan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Mill dan Taylor mengklaim cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan yang total
(kebahagiaan/kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang
mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses
pencapaian tersebut. Jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual, atau keadilan gender
maka masyarakat harus memberikan perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan
yang sama yang dinikmati oleh laki-laki.36
National organization for Women (NOW, Organisasi Nasional untuk Perempuan) mereka
menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat
kebiasaan dam hambatan hukum, yang membatasi masuknya serta keberhasilan perempuan pada
apa yang disebut dunia publik. Feminis liberal menekankan, pertama-tama, bahwa keadilan
gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, sedangkan kedua, untuk
memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat
dirugikan secara sistematis; keadilan gender tidak menuntut kita untuk memberikan hadiah bagi
pemenang dan yang kalah.37
Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang
opresif-yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk
memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi
perempuan dalam lingkup publik. Mereka menekankan bahwa masyarakat patriakal mencampur
adukkan seks dan gender, dan menganggab hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan
dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan.38

Feminis Radikal
Berdasarkan pada karya-karya Kate Millet dan Shulamith Firestone
Gerakan ini beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab pembagian kerja
secara seksual adalah sistem Patriakal. Feminis radikal mengklaim bahwa sistem patriarkal
36

Rosemarie Putnam Tong. Feminis Thought, ed. Aquarini Priyatna Prabasmoro(Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 23.
Tong, 1998, 36.
38
Tong, 1998, 48-49.
37

13

ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi.39 Sistem patriakal tidak dapat dibentuk
ulang, tetapi harus dicabut sampai akar dan cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur hukum dan
politis patriarki saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan bagi pembebasan perempuan.
Lembaga sosial kultural (terutama keluarga, gereja dan akademi) harus juga dicabut dari akarakarnya.40
Basis teori ini adalah bahwa sistem patriakal tersebut datang dari perbedaan biologis
antar jenis kelamin, khususnya peran perempuan dalam reproduksi. Intinya adalah penindasan
secara kelamin (seks), dimana perempuan ditindas oleh laki-laki.
Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan wanita yang berjuang didalam
realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya. Karena itu gerakan ini terutama
mempersoalkan bagaimana caranya untuk menghancurkan patriarki sebagai sebuah sistem nilai
yang melembaga di dalam masyarakat.41
Feminis radikal meyakini bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental dari
penindasan terhadap perempuan. Menurut Alisom Jaggar dan Paula Rothenberg, memberikan
penjelasan ketertindasan yang mendasar yang dialami kaum perempuan, yaitu:
1. Bahwa perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas;
2. Bahwa ketertidasan perempuan sangat meluas dihampir seluruh masyarakat manapun;
3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan yang paling dalam dan bentuk ketertindasan
yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan
sosial seperti penghapusan kelas tertentu;
4. Bahwa ketertindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat
terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitaif, walaupun kesengsaraan
tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan, baik yang dilakukan oleh pihak
penindas maupun yang tertindas;
5. Bahwa penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual
untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan.42

39

Tong, 1998, 3.
Tong, 1998, 3.
41
Budiman, 1985, 42.
42
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku Kompas,2006),5
40

14

Dapat disimpulkan bahwa aliran ini menekankan

penindasan terhadap perempuan terjadi

melalui kekuasaan seksualitas laki-laki yang diikuti upaya laki-laki mengontrol tubuh
perempuan.
Dalam buku nya “Sexsual Politics”, Millet menyatakan bahwa hubungan laki-laki dan
wanita di dalam masyarakat merupakan hubungan politik. Dia mendefinisikan politik sebagai
hubungan didasarkan pada struktur kekuasaan suatu sistem masyarakat di mana satu kelompok
manusia dikendalikan oleh kelompok manusia yang lainnya. Nama struktur kekuasaan dimana
laki-laki mengendalikan wanita adalah Patriarki. Lembaga utama dari sitem Patriarki ialah
keluarga. Millet melihat Patriarki sebagai sistem kebudayaan, tapi dia terutama menekankan
aspek psikologisnya. Patriarki merupakan simpang pertemuan antara psikologi (kebiasaan
rohani) dan kebudayaan (cara kehidupan).43
Menurut Millet: Harus dipahami bahwa arena revolusi seksual terutama ada didalam
kesadaran manusia, bukan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang diciptakan
manusia, meskipun lembaga-lembaga ini memainkan peran yang penting, sistem
Patriakal di tanamkan di dalam diri manusia, dan sebuah struktur kepribadian
tertentu diciptakan didalam diri baik laki-laki maupun wanita, yang membuat sistem
patriakal ini menjadi sebuah kebiasaan rohaniah dan sebuah cara kehidupan manusia.
Karena itu, patriarki kurang atau tidak tampak sebagai suatu sistem politik yang
eksplisit, patriaki lebih tampak sebagai hakekat manusia itu sendiri.44

Akan tetapi gerakan ini terlalu memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa laki-laki
mendapat banyak keuntungan dari sistem patriakal. Kaum feminis radikal terlalu melihat lakilaki sebagai musuh mereka yang utama. Karena itu, kaum feminis radikal seakan tidak bisa atau
tidak mau melihat bahwa sistem patriakal juga menindas laki-laki.45 Laki-laki diberi peran
didalam keluarga sebagai orang yang harus bekerja untuk memperoleh penghasilan untuk
menjaga kestabilan ekonomi dari keluarganya, sehingga membuat ia tidak bisa melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan uang.

Feminis Sosialis
Mendasarkan perjuangannya pada teori Engels atau lebih tepatnya pada teori Marxis.

43

Budiman, 1985, 42.
Budiman, 1985, 38.
45
Budiman, 1985, 42.
44

15

Feminis Marxis dan sosialisasi mencoba menteorikan kapitalisme dan patriarki secara
bersama-sama untuk mengeksplorasi hubungan antara ketidaksetaraan kelas dan gender.46
Kaum feminis sosialis memberi perhatian yang besar pada kondisi sosial ekonomi. Mereka
percaya, berdasarkan teori substruktur (dasar-dasar materil dari masyarakat yakni sistem sosial
ekonomi dan masyarakat tersebut, dan siapa yang diuntungkan oleh sistem ini) dan super struktur
(organisasi masyarakat yang mendukung sistem pembagian hasil-hasil produksi yang pincang
ini, misalnya sistem nilai-nilai masyarakat tersebut, sistem hukum yang ada dan sebagainya)
bahwa pembagian pekerjaan berdasarkan seksual hanyalah merupakan bagian dari super struktur
yang akan hancur dengan sendirinya bila substrukturnya berubah.47
Meskipun kaum feminis sosialis mengutamakan perjuangannya pada perubahan sistem
sosial ekonomi, ini tidak berarti bahwa perjuangan melawan patriarki tidak ada dalam daftar
perjuangan kaum-kaum feminis sosialis. Tapi pada dasarnya kaum feminis sosialis menganggab
bahwa sistem patriakal bukanlah sesuatu yang mendapat prioritas pertama dalam daftar
perjuangannya.48Teori sosial Feminis memberi perhatian pada upaya memahami ketidaksetaraan
yang mendasar antara laki-laki dan perempuan, juga analisis terhadap kekuasaan laki-laki atas
perempuan. Dasar pemikirannya adalah dominasi laki-laki berasal dari tatanan sosial, ekonomi,
dan politik yang khas dalam masyarakat tertentu.49
Marxisme menawarkan analisis mengenai penindasan sebagai sesuatu yang sistimatis dan
menyatu dalam struktur masyarakat, karena ketertindasan perempuan dilihat memiliki asal usul
sosial, dimana hal ini tidak terjadi secara alamiah dan bukan pula dibentuk secara kebetulan
antara laki-laki dan perempuan.
Feminis Marxis dan sosialis mengklaim bahwa adalah tidak mungkin bagi setiap orang
terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam masyarakat yang berdasarkan
kelas, masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak berkekuasaan (yang jumlahnya
banyak) berakhir ditangan berkekuasaan ( yang jumlahnya sedikit). Refleksi dari keadaan ini
mengisyaratkan bahwa kapitalisme sendiri bukan hanya sekedar aturan sosial yang lebih besar
yang lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan

adalah penyebab dari opresi

(penindasan) terhadap perempuan. Sistem kapitalis harus digantikan oleh sistem sosialis yang
46

Joanne Hollows. Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer, (Jalasutra, 2010), 11.
Budiman, 1985, 43.
48
Budiman, 1985, 44.
49
Stevi Jackson dan Jackie Jones. Teori-teori Feminis Kontemporer. (Yogyakarta. Jala Sutra. 2009), 21.
47

16

akan mengatur alat produksi sebagai milik satu semua. Karena tidak lagi bergantung secara
ekonomi pada laki-laki, maka perempuan akan menjadi sebebas laki-laki. Feminis sosialis setuju
dengan feminis Marxis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi terhadap perempuan, dan
dengan radikal feminis bahwa Patriarki adalah sumber dari opresi terhadap perempuan.50
Dengan diterapkannya sistem kapitalisme menyebabkan kaum perempuan tidak
mempunyai nilai ekonomi dalam keluarga dan masyarakat, sehingga ia merasa tertindas dan
memiliki ketergantungan dengan laki-laki karena mereka adalah kelas yang bekerja. Sehingga
menurut Marx, yang membawa perubahan bagi perempuan dan kaum tertindas adalah aspek
material bukan ide, pikiran dan nilai-nilai manusia.51Perempuan tidak dapat membentuk dirinya
sendiri apabila secara secara sosial dan ekonomi masih bergantung pada laki-laki.

III.

Budaya Pahamang dalam adat kematian dan Peran Perempuan dalam Budaya
Sumba Timur

Gambaran Umum Lokasi Penelitan
Sumba Timur adalah salah satu kabupaten diantara empat kabupaten yang ada di Pulau
Sumba yang diantaranya, yaitu Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
Sumba sendiri termasuk dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten Sumba Timur sendiri berada diantara

45 -

LS. Luas Kabupaten Sumba Timur hingga kini yaitu 7.000,5

52 BT dan

16 -

20

atau 700.050 Hektare (luas

daratan). Berdasarkan geografisnya, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut :
1. Sebelah utara berbatasan dengan selat Sumba
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Hindia
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupatan Sumba Tengah
4. Sebelah Timur berbatasan dengan laut Sabu.
Seperti ha