Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban

manusia serta merupakan ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban
manusia serta sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu
negara.Terorisme saat ini bukan saja merupakan suatu kejahatan lokal atau
nasional tetapi sudah merupakan kejahatan transnasional atau internasional,
banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan
sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Terorisme juga selalu identik dengan kekerasan.Bahkan terorisme ini
merupakan puncak dari aksi kekerasan itu sendiri.Karena bisa saja kekerasan
terjadi tanpa aksi terorisme, tetapi tidak ada aksi terorisme yang tanpa kekerasan. 1
Adapun pelaksanaan serangan teroris adalah berupa aktivitas terorisme
yang terbagi menjadi; serangan teroris konvensional yang mana dilakukan dengan
cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau
kekerasan, baik oleh individu maupun kelompok, serta menimbulkan akibat
berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan

sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Selanjutnya serangan non-konvensional melalui cyberspace atau cyberterror yang

1

https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Definisi_terorisme&oldid=5609532
pada tanggal 4 Februari 2016, pukul 11:58 WIB

diakses

Universitas Sumatera Utara

dilakukan dengan cara menebarkan secara meluas di cyberspace dan serangan
terhadap komputer, sistem komputer yang mengakibatkan terganggunya data,
sistem, dan infrastruktur vital yang mengakibatkan korban jiwa dan material yang
besar untuk kepentingan teroris. 2
Kesan pertama yang timbul dalam benak setiap orang yang mendengar dan
membahasakan tentang terorisme adalah; destruksi, kekalutan, bencana, dan
instabilitas.Mana mungkin terorisme melalui aksi teror dan penggunaan

kekerasannya, berkeinginan menjaga stabilitas negara dan masyarakat.Realitas
historis, riwayat munculnya pergerakan serta aksi teror, tidak pernah senyap
dalam lintasan ingatan masyarakat, mulai dari skala local, nasional, regional,
hingga ke tataran global.Benang kusut mencari akar penyebab lahirnya terorisme
terus dikaji oleh para pakar, pemerhati dan pihak keamanan, untuk menemukan
secara kompehensif penyebab dasar dari aksi terorisme tersebut. Teror dalam
sejarah melintasi ranah kajian berbagai disiplin ilmu, mulai dari kajian historis,
ekonomi, politik, agama, ideologi, dan kultural. 3
Indonesia sendiri merupakan salah satu dari banyaknya negara di dunia
yang pernah terkena aksi teror oleh sekelompok teroris.Salah satu kasus yang
pastinya tidak dapat kita lupakan adalah saat terjadinya Bom Bali yang memberi
gambaran kepada negara atau pemerintah untuk lebih meningkatkan pengamanan
terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Sebagai akibat dari tragedi Bom Bali
pemerintah berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas pelaku tindak pidana

2

Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme Ke Cyberspace, (Jakarta: YPKIK, 2015),

hal.37

3

John Haba, “Kata Pengantar”, dalam Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI, CMB
Press, (Jakarta: CMB Press, 2013), hal. 17

Universitas Sumatera Utara

terorisme, dengan cara memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa
tersebut. Hal ini tentunya menjadi prioritas utama dalam suatu usaha penegakan
hukum.Untuk melakukan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang mengatur
tentang tindak pidana terorisme, agar nantinya para aparat penegak hukum dapat
menjadikan perangkat hukum tersebut sebagai suatu pedoman dalam menjalankan
tugas dan fungsinya sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Posisi Indonesia di era transisional menjadi perdebatan, berakhir pada
pemanfaatan kepentingan. Indonesia dikategorikan sebagai weaken state (negara
lemah) terancam mengarah pada kondisi failed state index dan majalah Foreign
Policy, dari 170 negara, Indonesia berada pada urutan ke-64 dengan skor 81. Yang
termasuk negara gagal adalah negara yang memperoleh nilai 90 keatas.Kendati
Indonesia belum mencapai kategori negara gagal, tetapi sudah masuk dalam
kategori negara gagal, tetapi sudah masuk dalam kategori “warning” atau

memiliki resiko gagal bila terjadi krisis. 4 The US Departement of State Indonesia
2001, Country Report on Human Rights Practices, menyebutkan bahwa akibat
kegagalan negara mengelola dan meredam konflik selama proses transisi pasca
pemerintahan Presiden Soeharto, menyebabkan ribuan rakyat meninggal dunia,
sekitar 1,5 juta orang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. 5 Indikatornya
terlihat dari beberapa konflik komunal berskala besar di Indonesia pasca
pemerintahan Orde Baru, yaitu konflik suku dayak dan pendatang dari Madura di
wilayah Sambas Kalimantan Barat, menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia
paling tidak 500 korban jiwa manusia, 80.000 orang Madura mengungsi, 319
4

Kompas, Indonesia Negara Lemah. Benarkah?, 20 Juli 2011, hal.14
Sukardi Rinakit, Soegeng Sarjadi (ed.), Meneropong Indonesia 2020, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional,2003), hal. 275
5

Universitas Sumatera Utara

rumah terbakar, 197 unit rumah rusak berat akibat konflik berkepanjangan sejak
Desember 1998 sampai akhir 2003 antara sesama warga Maluku, menyebabkan

13.428 orang meninggal dunia, 330.758 orang atau 57.571 kepala keluarga
mengungsi pada awal tahun 2002 (Crisis Center Keuskupan Maluku) demikian
juga dengan konflik Poso Sulawesi Tengah. 6Kondisi tersebut erat kaitannya
dengan dampak resesi ekonomi dunia dan reformasi yang terjadi di Indonesia
memperburuk ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri.Kondisi krisis ekonomi
maupun politik yang terjadi di era transnasional seperti yang dialami Indonesia
sekarang inilah yang sangat memungkinkan bagi berkembangnya jaringan
terorisme global. Keadaan yang menguntungkan bagi gerakan terorisme ini
didukung oleh latar sosial akan maraknya seperti konflik antar etnik, ras, maupun
agama baik karena dimunculkan oleh motif perbedaan kultur dan etnik, terutama
perebutan resource ekonomi maupun politik. 7Akumulasi persoalan pada masa
transisional ini semakin menyatu dengan maraknya aksi terorisme global yang
secara terbuka dimulai dari serangan terhadap menara kembar World Trade
Centre dan Pentagon tanggal 11 September 2001 merambat dengan cepat ke
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Pada pihak lain, Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan bahwa konsep
negara lemah mengarah pada negara gagal, tidak lengkap, dan bersifat ahistoris.
Maksudnya keberhasilan dan kegagalan seharusnya bisa dimaknai sebagai sebuah
proses sejarah yang dinamis. Suatu negara dapat mengalami penurunan legitimasi
karena beberapa masalah, tetapi negara tersebut tentu tetap memiliki potensi untuk

6

Majalah Devender, Konflik Indonesia, 20 April 2008, Edisi 27, hal.21
Sukardi Rinakit, Soegeng Sarjadi (ed.), op.cit. hal.278

7

Universitas Sumatera Utara

kembali menguatkan legitimasinya.Seperti halnya Indonesia pada masa transisi
mengalami gejolak yang sangat hebat membuat kaum teroris manca negara
memanfaatkan peluang tersebut sebagai “ladang terorisme”. 8
Sebelum keluarnya UU No. 15 Tahun 2003, Tindak Pidana Terorisme ini
lebih didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana
belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas
Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena itu pemerintah Indonesia merasa perlu
untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4
April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut kini telah menjadi bukti
konkrit pemerintah yang demi menjaga kedaulatan Bangsa dan Negara,
melindungi segenap warga negara serta demi terciptanya keamanan dan
kesejahteraan rakyat maka memutuskan untuk mengambil langkah dalam
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hasil penelitian putusan perkara Nomor :1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel
yang memuat putusan kasus Terorisme, dalam putusan perkara tersebut pelaku
memenuhi rumusan Pasal 15 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang.

8

Kompas, Indonesia Ladang Terorisme, 20 Juli 2011. Hlm.7

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Latar Belakang Permasalahan tersebut, maka penulis tertarik
untuk meneliti tentang penerapan unsur-unsur Pasal 15 jo. Pasal 9 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
sebab menurut penulis kasus ini adalah kasus yang menarik untuk diteliti, penulis

juga tertarik untuk meneliti hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dan hal-hal
yang melatarbelakangi penerapan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana
Terorisme dalam kasus yang menjadi bahan studi penulis yaitu putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.
B.

Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas terdapat beberapa pokok permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1.

Bagaimana pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam beberapa
peraturan?

2.

Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
terorisme dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel?


C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.

Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :

a.

Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam
beberapa peraturan.

Universitas Sumatera Utara

b.


Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
terorisme dengan melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan
hakim dalam perkara dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Nomor 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.

2.

Manfaat Penulisan
Secara teoritis manfaat dari penulisan ini diharapkan penulis dapat menjadi

bahan bacaan dan penambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca khususnya bagi
kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penulisan ini.Selain
itu penulisan ini juga diharapkan dapat berguna dan bermanfaat sebagai bahan
acuan untuk perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang Tindak Pidana
Terorisme dan apabila dimungkinkan dapat juga bermanfaat bagi perkembangan
pengaturan tentang pemberantasan Terorisme di Indonesia.
Sedangkan secara praktis penulisan ini bermanfaat sebagai kerangka acuan
dan landasan bagi penulis lanjutan dan dapat memberikan masukan kepada
praktisi, civitas akademika serta seluruh pihak yang terkait dalam pemberantasan
Terorisme di Indonesia. Serta melalui penulisan ini diharapkan dapat menambah

wawasan pembaca khususnya dalam pemahaman akan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Terorisme dalam hukum pidana Indonesia.
D.

Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara, tidak ada judul skripsi ataupun tesis yang sama dengan judul skripsi
penulis, yaitu “Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Universitas Sumatera Utara

Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
1477/Pid.Sus./2013/PN.Jkt.Sel)”.
Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis
secara pribadi tanpa ada penjiplakan yang dapat merugikan pihak tertentu. Oleh
karena itu skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri yang disusun secara
terperinci dengan mempelajari, membaca, mengutip data-data yang ada dalam
buku-buku, literature-literatur, dan peraturan perundang-undangan dan pihak lain
yang berkaitan dengan judul skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini asli dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
E.

Tinjauan Kepustakaan

1.

Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit”.Para ahli hukum mengemukaan istilah yang
berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami
Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan
baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur
hukum sebagai terjemahan dari istilah starfbaar feit, yaitu sebagai berikut: 9
a.

Tindak Pidana, dapat dikatan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak
Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan
9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hal.2 dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan:
USU Press, 2015), hal. 77

Universitas Sumatera Utara

lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.
Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.;
b.

Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R.
Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana” Mr. Drs. H.J van
Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”,
Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk
UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS
1950 Pasal 14 ayat 1;

c.

Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan
untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.
Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E.
Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni
peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin
dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Prof. Moeljatno pernah juga
menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan
Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan
istilah perbuatan pidana;

d.

Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H. Tirta Amidjaja
yang berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana;

e.

Perbuatan yang boleh dihukum, istilah tersebut digunakan oleh M. Karni
dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga
Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana
Indonesia”;

Universitas Sumatera Utara

f.

Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);

g.

Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai
tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.
Istilah yang dipergunakan oleh konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari

istilah strafbaar feit adalah tindak pidana.
Secara khusus memang tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh
karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu,
yang sampai saat ini belum ada keseragaman perndapat. Pengertian tindak pidana
penting

dipahami

untuk

mengetahui

unsur-unsur

yang

terkandung

di

dalamnya.Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya
menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.
Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan
tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.Sudarto
mengemukakan,

bahwa

unsur

pertama

dari

tindak

pidana

adalah

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi pengertian
berbuat dan tidak berbuat, sehingga definisi itu tetap akan kurang lengkap atau
berbelit-belit dan tidak jelas. 10

10

Ibid., hal.78-79

Universitas Sumatera Utara

Barda Nawawi Arief menyebutkan, 11 bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak
dijelaskan.

Jadi

tidak

ada

pengertian/batasan

yuridis

tentang

tindak

pidana.Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau
pendapat para sarjana.
Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, namun adakalanya tindak pidana
ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang, misalnya:
a.

Pada tanggal 13 Juli 1938 Rb. Dordrecht, dalam kasus pembunuhan,
menjatuhkan pidana penjara 7 tahun pada seorang perempuan (banding
tidak diupayakan), yang dalam kapasitasnya sebagai ibu dan pengasuh
anaknya ‘secara sistematis dengan sengaja tidak member anaknya yang
berumur 4 bulan makanan yang ia perlukan sehingga anak tersebut mati’;

b.

Seseorang ditunjuk menjadi pengawas toko, namun membiarkan terjadinya
pencurian kopi: HR 21 Februari 1921, NJ 1921, 465, W 10717.
Menurut R. Tresna, pertimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan-

perbuatan terlarang, yang mentapkan mana yang harus ditetapkan sebagai
peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat
berubah-ubah tergantung dari keadaan, tempat, dan waktu atau suasana serta

11

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana,2008) hal. 73-74, dalam Mohammad
Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 79

Universitas Sumatera Utara

berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum. Apa yang
pada suatu waktu di tempat itu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus
dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa
berubah dan dianggap sebagai suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi
dianggap sebagai suatu kerjahatan, di waktu yang lain, karena keadaannya
berubah, dianggap tidak merupakan suatu hal yang membahayakan. UndangUndang harus mencerminkan keadaan, pendapat atau anggapan umum, dan
meskipun pada umumnya Undang-Undang selalu terbelakang dalam mengikuti
perkembangan gerak hidup di dalam masyarakat, akan tetapi terhadap beberapa
perbuatan, ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya
pembunuhan, dari dulu kala sampai sekarang, tetap dianggap sebagai sesuatu
perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut agama atau moral, maupun dilihat dari
sudut sopan santun, sehingga sudah semestinya terhadap perbuatan yang demikian
itu diadakan ancaman hukuman pidana. 12
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis. 13
Adapun unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian
unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan UndangUndang (rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
tersebut dalam rumusan Undang-Undang, yang dalam bahasa Belanda disebut

12

R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), hal. 29-30 dalam
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 80
13
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press,
2015), hal. 81

Universitas Sumatera Utara

elementen van de wettelijk delictsome schrijving, misalnya: unsur-unsur (dalam
arti sempit) dari tindak pidana pencurian ialah unsur-unsur yang tercantum dalam
Pasal 362 KUHP. 14
Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam
suatu perbuatan pidana, adalah: 15
a.

Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan);

b.

Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c.

Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

d.

Unsur melawan hukum yang objektif;

e.

Unsur melawan hukum yang subjektif
Kelima unsur atau elemen diatas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke

dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. 16
Unsur objektif dapat dibagi menjadi:
a.

Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai
berikut:

1)

Act, ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif; dan

2)

Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif;

b.

Akibat perbuatan manusia

Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah
membahayakan

atau

menghilangkan

kepentingan-kepentingan

yang

14

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal.9 dalam
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 107
15
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (1982), hal.1, dalam Mohammad Ekaputra,
Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal.43
16
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1991), hal.6-7, dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2,
(Medan: USU Press, 2015), hal.115

Universitas Sumatera Utara

dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak
milik/harta, atau kehormatan;
c.

Keadaan-keadaan
Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:

1)

Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan

2)

Keadaan setelah perbuatan dilakukan;

d.

Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan

terdakwa dari hukuman.Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni
berkenaan dengan larangan atau perintah.
Sedangkan unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum
pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (an act does not make guilty unless
the mind is guilty; actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang
dimaksud pada konteks ini adalah:
a.

Kesengajaan, yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu:

1)

Sengaja sebagai maksud;

2)

Sengaja sebagai kepastian;

3)

Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis);

b.

Kealpaan, yang merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada
kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:

1)

Tidak berhati-hati; dan

2)

Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

Universitas Sumatera Utara

Berkaitan dengan kasus yang sedang penulis teliti, jika diaplikasikan ke
dalam rumusan tindak pidana yang disebutkan didalam Pasal 15 PERPU No. 1
Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU No.
15 Tahun 2003 maka dapat disimpulkan unsur-unsur nya adalah sebagai berikut:
Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003 jo. PERPU No. 1 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan,
atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”
Maka dapat diuraikan unsur subjektif dari pasal tersebut adalah melakukan
permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan. Sedangkan unsur objektif nya
adalah setiap orang, melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud
pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Dengan demikian maka jika seseorang memenuhi kesemua unsur tersebut
maka ia dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana Terorisme.
2.

Ruang Lingkup Terorisme

a.

Pengertian Terorisme
Sampai sekarang pembatasan dan pengertian terorisme belum disepakati

secara universal, karena di samping banyaknya elemen terkait, juga karena banyak
pihak mempunyai kepentingan menterjemahkan terminologi terorisme dari sudut
pandang dan kepentingannya termasuk setiap negara atau lembaga merumuskan
definisinya sendiri-sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Paul Wikinson yang
dikutip oleh Agus Hendrijanto, salah satu persoalan pokok dalam mendefinisikan

Universitas Sumatera Utara

terorisme terletak pada sifat subyektif teror itu sendiri. Ini disebabkan karena
manusia mempunyai latar kekuatan yang berbeda, pengalaman-pengalaman
pribadi dan latar belakang budaya yang berbeda membuat image yang berbeda
satu dengan yang lain. Kendati terdapat perbedaan pemahaman tentang terorisme,
ada beberapa definisi yang dapat menjadi rujukan.Kata terorisme berasal dari
bahasa Latin, yaitu “terrere” atau teror yang berarti membuat rasa takut yang
mencekam, keadaan yang menakutkan; kegentaran. 17Lebih lanjut dikatakannya
kata teror sebagai kata benda mengandung arti sebuah ketakutan yang amat sangat
(extreme fear); kemampuan untuk menimbulkan ketakutan. Untuk kata kerja
transitif, terrorize berarti mengancam atau memaksa dengan teror atau dengan
ancaman (to intimidate or coerce by terror or by threats of terror).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta, teror adalah
perbuatan orang-orang atau lembaga (pemerintah dan sebagainya) yang
berwenang. Sedangkan terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror;
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
tujuan (terutama untuk tujuan politik). Dalam prespektif hukum, menurut Black’s
Law Dictionary, tindak pidana terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur
kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang
melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk pertama, mengintimidasi
penduduk

sipil;

kedua,

mempengaruhi

kebijakan

pemerintah;

ketiga,

mempengaruhi penyelenggara negara dengan cara penculikan dan pembunuhan. 18

17

Gunawan Budi, Terorisme, Mitos, dan Konspirasi, (Jakarta: Forum Media Utama,
2006), hal.1-2
18
Muladi, Demokrasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Habibie
Center, 2002), hal.173

Universitas Sumatera Utara

Menurut konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk
tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas. 19
Mengacu pada Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, yang dimaksud
dengan tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang dalam
pengertian perseorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang
bertanggung jawab secara individual atau korporasi dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban secara massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda
orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek
vital yang strategis atau ingkungan hidup serta fasilitas publik dan fasilitas
internasional. 20
Selain itu istilah Terorisme ini juga dapat didefinisikan sebagai setiap
tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas
kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan, baik yang diorganisir
maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau
psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity). 21

19

Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI, (Jakarta: CMB Press, 2013), hal.11
Ibid., hal. 11
21
Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme Ke Cyberspace, (Jakarta: YPKIK, 2015), hal.
20

2

Universitas Sumatera Utara

Kendati belum tercapai kesepakatan akhir dari rumusan pengertian
terorisme, dapat disimpulkan beberapa kesamaan universal dari pengertian
terorisme dengan beberapa elemen kunci sebagai berikut: Pertama, adanya
aktivitas terencana dan sistematis, bukan kegiatan yang dilakukan secara
impulsive atau dorongan sesaat. Kedua, bermotivasi politis sebagai tujuan utama,
bukan kriminal.Permintaan uang tebusan hanya sebagai sasaran antara untuk
memperkuat tujuan dan merubah tatanan politik yang mapan.Ketiga, dilakukan
oleh perorangan terutama kelompok yang memiliki jaringan yang terorganisir
dengan militansi yang amat kuat.Keempat, korbannya dipilik secara acak, tidak
pandang bulu, sehingga seluruh lapisan masyarakat berpotensi menjadi
korban.Kelima, memiliki cara yang berubah-ubah dengan tujuan taktis (jangka
pendek), strategis (jangka panjang), maupun gabungan dari jangka pendek dan
panjang. Keenam, memperoleh peliputan dari media, seluruh aksi terorisme
diupayakan menjadi pemberitaan ke khalayak ramai. 22
b.

Bentuk- Bentuk Terorisme
Untuk mencapai hasilnya, para teroris menggunakan model/bentuk aksi

gerakan yang tidak sama dan berubah-ubah, dalam kenyataannya paling tidak
terdapat enam belas bentuk aksi teror, yaitu: 23

1)

Peledakan Bom
Taktik ini merupakan model yang paling banyak dilakukan para teroris,

karena pekerjaannya yang tersembunyi, tidak membutuhkan jumlah orang yang
22

Marthen Luther Djari, op. cit., hal. 13
Ibid., hal.20-28

23

Universitas Sumatera Utara

banyak, bahannya yang mudah diperoleh dan biaya yang relatif murah, tidak
memerlukan keahlian yang tinggi, mempunyai daya ledak yang dahsyat dengan
korban yang amat banyak. Bom sebagai saran digunakan dalam terorisme sudah
dikenal pada era Napoleon, untuk memperluas kekuasaan yang melebihi
sasarannya sendiri.Pada tahun 1858 Orsini berusaha membunuh Napoleon III,
menyebabkan delapan orang yang tidak bersalah mati ikut mati terbunuh. 24
2)

Bom Waktu dan Bom Buku
Bentuk

ini

menggunakan

getaran

sesuai

dengan

waktu

yang

dikehendaki/timer, ada pula yang menggunakan bom bunuh diri dengan cara
melilitkan bom pada bagian badan yang siap diledakan baik oleh pemakainya atau
oleh pihak lain sesuai skenario dan yang terakhir ini berkembang adalah bom
buku, yaitu bom yang dimasukan dalam kotak berbentuk buku yang dikirimkan ke
alamat sesuai target. Dalam dekade terakhir ini tercatat lebih dari 67% dari aksi
teror dilaksanakan berhubungan dengan bom.
3)

Bom Bunuh Diri/suicide bomb
Menurut Institute for Counter-Terrorism (ICT), peledakan bom bunuh diri

adalah sebuah “metode operasi dengan penyerangan bergantung pada kematian
pelaku. Pelaku sepenuhnya menyadari bahwa jika ia tak tewas, rencana
penyerangan tidak akan dapat dilaksanakan.” Robert A. Pepe menulis, terorisme
bunuh diri merupakan bentuk terorisme yang sangat agresif. Dalam terorisme
bunuh diri dengan menggunakan bom-pelaku, teroris tidak mengharapkan akan
lolos dari maut. Pelaku pasti mati.Bom bunuh diri sudah mulai digunakan sejak
24

A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.,(Jakarta: Buku
Kompas, 2009), hal. 45

Universitas Sumatera Utara

abad ke-11.Cara serupa dipergunakan pada saat pecah Revolusi Belgia tahun
1830.Pada saat Perang Dunia II, serangan bom bunuh diri menjadi mode, terutama
dipergunakan oleh pilot-pilot Jepang. Mereka menggunakan kamikaze dengan
cara menjadikan diri mereka sebagai peluru kendali manusia. Mereka
menerbangkan pesawat yang sarat dengan bahan peledak dan menabrak pesawat
pada kapal-kapal musuh dan yang spektakuler adalah bom bunuh diri yang
dilakukan dengan menabrak menara kembar WCT dan Pentagon pada 11
September 2001.
Di Indonesia, bom bunuh diri marak dipergunakan mulai dari bom bunuh
diri di Bali 12 Oktober 2002, berlanjut 5 Agustus 2003 di hotel J.W. Marriot dan
Ritz Carlton Jakarta yang mengakibatkan 9 orang tewas dan puluhan orang
mengalami luka-luka. Cara ini digunakan karena, selain biaya yang sangat rendah,
juga tidak membutuhkan teknologi canggih dan korban bisa dalam jumlah besar.
4)

Pembajakan
Aksi pembajakan populer dilakukan sejak tahun 1960 yang sampai sekarang

masih ditemukan. Dalam kurun waktu 1960 sampai dengan 1975 tercatat 439
peristiwa pembajakan di seluruh dunia. Umumnya aksi ini dilakukan atas pesawat
terbang, kapal laut, kereta api, dan mobil. Pembajakan kereta api yang cukup
terkenal terjadi di Belanda oleh sekelompok warga yang menamakan diri
Republik Maluku Selatan (RMS) pertama kali terjadi pada 21 Desember 1975,
pemerintah Belanda menyebutnya sebagai kidnappings: around the world. Dalam
insiden tersebut, kelompok ini menembak masinis kereta api, namun seluruh
pembajak berhasil ditangkap.

Universitas Sumatera Utara

5)

Penembakan
Taktik penembakan banyak ditemukan di daerah-daerah konflik seperti di

Aceh, Maluku, Poso, dan Papua.Seperti yang baru saja terjadi, penembakan
terhadap pesawat Twin Otter PK-YRF Trigana di pegunungan Mulia Jayawijaya
Papua pada Minggu 8 April 2012 tujuannya menghabisi para pihak yang
dipandang sebagai lawannya dan menimbulkan rasa takut di kalangan rakyat atau
orang-orang

yang

menjadi

target.Para

penembak

merupakan

kelompok

terlatih/snipper seperti yang banyak terjadi di daerah konflik di Maluku, Poso,
Aceh, dengan senjata yang canggih.
6)

Perampokan
Aksi perampokan biasanya dilakukan para teroris dengan merampas uang

dalam jumlah yang besar untuk mendukung kegiatan operasi kaum teroris.Dalam
aksi ini tidak segan-segan mereka menghabisi orang-orang yang berhubungan
dengan perampokan tersebut. Perampokan umumnya dilakukan atas mobil
pembawa uang, atau barang berharga dan toko-toko emas, bank atau tempattempat yang dipandang memiliki dana yang besar. Selain emas, sasaran
perampokan juga senjata api, seperti yang dilakukan pada 25 Mei 2011 di
halaman depan Bank BCA Cabang Palu yang menembak tiga anggota polisi yang
sedang bertugas kemudian merampas senjata polisi yang menjadi sasaran
mereka. 25
7)

Pembunuhan

25

Kompas, Aksi Teoris di Palu, 26 Mei 2011, hal.2

Universitas Sumatera Utara

Aksi teror pembunuhan merupakan bentuk teror yang paling tua, menurut
catatan sejarah sudah berlangsung pada jaman Kain dan Habel ribuan tahun
sebelum Masehi.Taktik tersebut masih ditemukan sampai saat ini.Sasaran
pembunuhan biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu. Setelah terjadi
pembunuhan, para teroris akan mengumumkan bertanggung jawab atas insiden
pembunuhan tersebut. Pembunuhan umumnya dilakukan secara terpilih/selektif
terhadap target terpilih atas figur yang dikenal dalam masyarakat seperti pejabat
pemerintah, pejabat diplomat, aparat kepolisian, tokoh agama, tokoh masyarakat,
aparat keamanan, politisi, atau para pengusaha. Apabila aksi terlaksana akan
membawa dampak pemberitaan yang sangat luas, sehingga aksi teroris akan
semakin dikenal dan diketahui masyarakat luas. Semakin tinggi tingkatan target
pembunuhan, akan semakin tinggi efek sosial bagi kehidupan masyarakat.
Menurut catatan, dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi 246 insiden pembunuhan
di seluruh dunia. 26
8)

Penyanderaan
Merupakan salah satu taktik dan metode tradisional yang dipergunakan

kaum teroris menangkap, mengurung target yang menjadi korban, baik pribadi
atau kelompok di satu atau beberapa tempat yang dirahasiakan dengan sejumlah
tuntutan

kepada

pemerintah,

lembaga,

organisasi,

ataupun

perorangan.Pembebasan dapat diberikan apabila tercapai kesepakatan.Penyandera
dapat berkomunikasi melalui media yang tersedia, sambil mengajukan berbagai
tuntutan, sekaligus menyampaikan ancaman yang dilakukan bila tidak memenuhi
26

Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan, Membongkar Jaringan Terorisme, (Jakarta:
Abdika Press, 2009), hal. 17

Universitas Sumatera Utara

tuntutan penyandera.Di Indonesia aksi penyanderaan sudah sering dilakukan oleh
sekelompok orang terhadap satu atau beberapa orang yang tidak selalu ada
kaitannya dengan para penyandera. Seperti penyanderaan tim ekspedisi Lorentz
oleh kelompok orang di daerah Mapnduma kabupaten Wamena Irian Jaya, antara
penyandera dengan pihak yang disandera tidak saling mengenal dan
berkepentingan. Ketika itu penyandera mengajukan permintaan bahan makanan,
obat-obatan, uang, tetapi yang utama adalah tuntutan untuk merdeka dari NKRI.
Penyanderaan dapat berlangsung sangat lama, umumnya mereka mengulur-ulur
waktu, sering meminta di mediasi oleh LSM atau lembaga sosial/Palang Merah
Internasional atau pihak lain yang menguntungkan kelompok penyandera.
9)

Penculikan
Penculikan ini merupakan taktik yang dilakukan para teroris dengan

melakukan penghadangan terhadap orang atau kelompok orang tertentu, diikuti
dengan tuntutan tebusan berupa uang, benda atau tuntutan politik seperti yang
dilakukan oleh kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina. 27Aksi penculikan di
Indonesia banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan motif ekonomi, tebusan
uang, atau balas dendam, tidak berkaitan dengan jaringan internasional seperti AlQaeda.
10)

Penghadangan
Penghadangan merupakan satu bentuk teror yang dilakukan oleh

perorangan atau kelompok perorangan terhadap orang atau kelompok orang
dengan menggunakan senjata tajam, senjata api, atau benda-benda lain yang
27

Dr. A.C. Manulang, Menguak Tabu Intelijen: Teror, Motif, dan Rezim, (Jakarta: CMB
Press, 2001), hal. 180

Universitas Sumatera Utara

membuat calon korban atau korban terjebak, tertembak. Aksi penghadangan
biasanya dipersiapkan dengan matang melalui perencanaan medan dan waktu,
penggunaan sarana, dan latihan, sehingga hasilnya lebih terjamin. Tujuan
menciderai, menakut-nakuti, atau membunuh.Biasanya penghadangan dilakukan
karena tidak puas terhadap suatu kebijakan atau suatu protes terhadap
penguasa.Pada beberapa bulan terakhir ini penghadangan banyak terjadi di daerah
Papua dan Aceh.Di lintasan Timika menuju pusat penambangan Free Port sering
terjadi penghadangan dengan tujuan meminta perhatian pihak manajemen agar
memberi perhatian yang lebih besar kepada masyarakat sekitar kawasan
penambangan.
11)

Pembakaran
Metode pembakaran ini banyak disukai oleh kelompok turis tertentu.

Selama kurun waktu dua puluh tahun, hampir 14% insiden teroris disebabkan oleh
pembakaran dengan menggunakan alat bom pembakar untuk memulai terjadinya
api. Kelompok teroris Ku Klux Klan dan beberapa kelompok teroris terkenal di
Amerika membakar sejumlah gereja dan kelompok minoritas dan beberapa
kelompok teroris ternama di Amerika melakukan aksi pembakaran sejumlah
gedung gereja kelompok minoritas.Pada waktu terjadi konflik horizontal di
Maluku, metode membakar marak dipergunakan oleh kelompok bertikai, baik dari
kalangan Muslim yang berada di wilayah penduduk mayoritas Kristen banyak
yang dibakar.Demikian juga beberapa perkampungan berpenduduk Kristen yang
diapit oleh pemukiman penduduk mayoritas Muslim habis terbakar, sehingga
sampai sekarang masih tampak segmentasi penduduk berdasarkan agama.

Universitas Sumatera Utara

12)

Sabotase
Aksi teror dengan sabotase sangat efektif digunakan untuk melawan

negara-negara industry. Penggunaan taktik ini dimulai dari pemilihan satu atau
beberapa target yang memiliki potensi dipilih karena target tersebut mudah
diserang dan sulit dilindungi. Bila aktivitas sabotase ini berhasil, maka akan
dipublikasi secara luas. Kegiatan sabotase ini pernah dilakukan di Montana oleh
sekelompok orang dengan cara menembak ke dalam transformator pada proyek
irigasi datar, menyebabkan 1.500 galon oli tumpah. Kerugian materil atas
penembakan tersebut mencapai US $300.000 juga beberapa aktivitas dalam radius
50km tidak berfungsi. 28
13)

Intimidasi atau Ancaman
Intimidasi atau ancaman ini merupakan salah satu bentuk teror yang

banyak dipraktekan untuk melakukan tindakan menakut-nakuti atau mengancam
orang perorangan atau kelompok orang dengan menggunakan kekerasan, sehingga
para korban atau calon korban terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk
mencapai maksud yang ditetapkan.Taktik ini sering dilakukan oleh kelompok
teroris, termasuk di Indonesia. Berulang kali terdengar ada penelepon gelap
memberitahukan bahwa dalam beberapa saat lagi akan meledak bom yang
tersimpan di salah satu tempat. Mendengar informasi tersebut, dengan berdesakdesakan orang akan lari ke luar bangunan.
14)

Serangan Bersenjata

28

Adjie. S., Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 80

Universitas Sumatera Utara

Bentuk ini masih sering ditemukan sampai sekarang. Teroris Sikh di India
melakukan serangan bersenjata menembak dan membunuh seluruh penumpang
bus termasuk wanita, anak-anak, dan warga lanjut usia yang beragama Hindu.
Taktik serupa juga digunakan oleh kelompok Tamil di Sri Lanka di Negara Peru
oleh “Shining Path” atau “Sendaro Luminoso” mengaku bertanggung jawab atas
meninggalnya 10.000 orang dalam kurun waktu Sembilan tahun. 29Di Indonesia
dapat dilihat di lintasan jalur dari Timika ke lokasi penambangan Free Port dan di
pegunungan Mulia Papua.Diberitakan bahwa banyak penduduk sipil dan aparat
yang mati tertembak.Sering juga kelompok bersenjata ini menjadikan pos polisi
militer (oleh GPK) sebagai sasaran dengan tujuan merampas senjata dari aparat
keamanan.
15)

Serangan Gas
Serangan gas adalah penggunaan senjata kimia, biologi, radioaktif, senjata

nuklir atau bom berkekuatan besar, seperti yang terjadi dengan serangan gas
beracun (gas syaraf) sarin oleh sekte Aum Shinrikyo yang disemprotkan oleh lima
anggota kelompok yang menumpang kereta bawah tanah Tokyo pada 20 Maret
1995 yang menewaskan 13 orang dan melukai 6000 orang. Pemerintah Kanada,
Uni Eropa, dan Amerika Serikat memasukan sekte Aum ke dalam kelompok
teroris. Melalui rangkaian penyelidikan, kepolisisan Jepang menemukan bahwa
zat sarin yang digunakan mempunyai kesamaan dengan zat yang digunakan pada
peristiwa

29

penyerangan

di

Matsumoto

tahun

1994.

Kelompok

ini

Ibid., hal. 71

Universitas Sumatera Utara

mempertimbangkan menyerang stasiun kereta api bawah tanah Kasumegaseki,
karena tempat ini menjadi pusat aktivitas pemerintah. 30
16)

Bioterorisme
Bioterorisme ini merupakan aksi pelepasan secara sengaja kuman

penyebab penyakit, seperti virus, bakteri, atau kuman lain dengan tujuan
menimbulkan kesakitan, atau bahkan kematian kepada semua mahluk hidup
terutama manusia. Kuman pathogen dapat disebarkan melalui udara, sumber air,
dan makanan. Aksi ini pernah dijadikan senjata biologis pada tahun 1520 dalam
peperangan oleh seorang jendral Spanyol, Fransisco Pizarro yang ketika itu
memimpin pasukan dalam rangka menaklukan kerajaan Inca di Peru dengan cara
memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang-orang
Inca. 31Ancaman ini juga pernah terjadi di Jakarta, melalui kiriman amplop
bertuliskan anthrax ke Kedutaan Besar Perancis di Jakarta pada Senin 23 April
2012.Kendati Polisi menyatakan hasilnya negatif, namun Kepala BIN (Badan
Intelijen Negara), mengatakan bahwa anthrax telah menjadi ancaman. 32
c.

Motif atau Faktor Penyebab Terorisme
Perang melawan teroris adalah perang dalam benak atau pikiran

seseorang.Disini peranan motivasi menjadi penting bagi seseorang untuk memilih
antara bertindak radikal atau tidak. Terdapat unsur-unsur yang dapat dijabarkan
secara psikologis, mengapa ada seseorang dapat berubah menjadi berpaham

30

Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme, (Jakarta: YPKIP, 2009), hal. 10-11
Kompas 27 Juli 2009, I Made Artika; Mengatasi Ancaman Bioterorisme, hal.1
32
http://www.beritasatu.com/asia/44410-bin-paket-ke-kedubes-prancis-bukananthrax.html diakses pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 12:01 WIB
31

Universitas Sumatera Utara

radikal sehingga rela membunuuh dirinya sendiri dan orang lain demi mencapai
suatu tujuan. 33
U.S. Army Training and Doktrine Command pada tahun 2007
menyebutkan beberapa alasan memunculkan motivasi terjadinya pergerakan
teroris, antara lain: separatisme, etnosentrisme, nasionalisme, dan revolusioner.
Hoffman mengidentifikasi enam motivasi aksi terorisme yang dituangkan dalam
tabel klasifikasi motivasi terorisme yaitu meliputi; Nasionalis-separatis, religious,
ideologi, single issue, negara sponsor, dan penderita sakit jiwa. 34
Mencermati pandangan para ahli tentang motif dan sasaran terorisme
dihadapkan pada berbagai kejadian maka dapat diuraikan sebagai berikut: 35
Pertama, budaya kekerasan yang tumbuh dalam satu negara dapat menjadi
motif terjadinya aksi terorisme.Hal itu disebabkan oleh munculnya kesadaran
kolektif bahwa kekerasan itu adalah tradisi warisan sejarah dan fakta sosial.
Kedua, aksi terorisme sering dipicu oleh hal-hal yang bersifat politis dan
non-politis.
Ketiga, berupa intimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah dan
meyakinkan ideologi sendiri.
Keempat,

sebagai

akumulasi

dari

penindasan,

peminggiran,

dan

penderitaan.Kelompok yang mendapat diskriminasi secara konstitusional biasanya
menjadi faktor determinan meluasnya terorisme.Semula, para teroris berasal dari
kelompok minoritas termarginal, namun secara perlahan-lahan membentuk
kelompok yang dapat menjadi kelompok mayoritas. Di Indonesia, “barisan sakit
33

Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terosisme, (Jakarta: YPKIK, 2009), hal. 115
Petrus Reinhard Golose, op.cit., hal. 7-8
35
Marthen Luther Djari, op.cit., hal. 29-30

34

Universitas Sumatera Utara

hati” kelompok DI/NII yang telah dibersihkan sampai tahun 1980-an kembali
menyatu dengan kelompok JI sebagai pengembangan dari Al-Qaeda menjadi
kekuatan baru.
Kelima, kelemahan komitmen pemerintah melawan terorisme membuat
gerakan terorisme semakin meluas.Kelemahan pemerintah dimaksud bukan
karena pemerintah belum berbuat apa-apa, tetapi yang dilakukan belum secara
intensif, bahkan kerja keras untuk membatasi gerak terorisme dan menjamin
tersedianya keamanan cenderung lamban, ragu, dan tidak seluruhnya menjadi
peluang bagi aktivitas teroris.
Keenam, tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah menarik perhatian
media masa dan perhatian publik.
Ketujuh, tuntutan kaum teroris biasanya ditujukan kepada sasaran dan
pihak tertentu.
Kedelapan, tujuan aksi teroris adalah untuk tercapainya tujuan
mereka.Umumnya teroris tidak memilih korban.Mereka tidak peduli apakah itu
warga sipil atau bukan, yang utama adalah tercapainya tujuan, yaitu menakutnakuti mempengaruhi, dan menghancurkan.
Kesembilan, para teroris selalu berupaya menciptakan perasaan tidak
nyaman, gangguan fisik, maupun psikologis masyarakat.
Kesepuluh, aktivitasnya selalu bernilai mengagetkan (shockvalue) untuk
menarik perhatian publikasi secara besar-besaran, sehingga public menjadi takut,
panik, dan gelisah.Media tentunya menjadi corong pengeras suara kampanye
propaganda bagi kaum teroris.

Universitas Sumatera Utara

Kesebelas, menjadikan tempat keramaian seperti tempat pembelanjaan,
tempat ibadah, fasilitas publik sebagai sasaran penghancuran dan teror. 36
Sedangkan Tb. Ronny R. Nitibaskara dalam Jurnalnya mengatakan bahwa
berbagai corak ragam motif-motif dilancarkannya terorisme timbul akibat
banyaknya ragam pelaku. Adapun secara umum motif-motif tersebut adalah
sebagai berikut: 37
a.

Motif Politik
Terorisme yang dilakukan atas dasar motif politik sesuai dengan kelompok-

kelompok organisasi yang merupakan gerakan perlawanan yang sering dituduh
melaksanakan terorisme, seperti Liberation Front di Salvador dan Irish Repulican
Army (IRA) di Eropa.
b.

Motif Ekonomi
Teroris yang bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan secara material
sebanyak-banyaknya,

biasanya

dilakukan

oleh

organisasi-organisasi

kejahatan (crime organizations) seperti Mafia, Yakuza, kartel-kartel
perdagangan obat terlarang dan sejenisnya.
c.

Motif Penyelamatan (Salvation)
Motif ini bertalian erat dengan ajaran sekte-sekte aliran kepercayaan.Contoh
terorisme dengan motif penyelamatan yang paling menggentarkan adalah
yang dilakukan oleh sekte Aum Shinrikyo di Jepang dengan pimpinannya
Shoko Asahara. Kelompok sekte ini pada bulan Maret 1995 melakukan teror
36

Budi Gunawan, Terorisme, Mitos dan Konspirasi, (Jakarta: Forum Media Utama), hal.

8-10
37

Tb. Ronny R. Nitibaskara, Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah : Suatu
Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2, 3(Desember,
2002), hal. 16

Universitas Sumatera Utara

dengan gas sarin di stasiun bawah tanah Tokyo yang menewaskan 10 orang
dan melukai 5000 orang lainnya.
Pelaku ini sama sekali tidak menganggap tindakannya sebagai teror. Dalam
keyakinan mereka, manusia hidup senantiasa dalam keadaan sengsara dan
terpenjara.Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kematian yang cepat
untuk penyelamatan.
d.

Motif Balas Dendam
Terorisme dengan motif ini biasanya dilakukan pelaku individual, atau
kelompok-kelompok kecil yang terorganisir maupun organisasi-organisasi
kejahatan.Pelaku individual dengan motif balas dendam salah satu
contohnya adalah Unabomber. Pelaku yang nama sebenarnya adalah
Theodore John Kecynski ini merasa kecewa dengan lembaga riset
universitas tertentu yang dirasakannya telah memperlakukannya secara
kurang layak. Selanjutnya ia merasa terdorong untuk menumpahkan
kemarahannya berupa terorisme berantai.

e.

Kegilaan (Madness)
Pelaku dengan motif ini biasanya melakukan terorisme berakar dari adanya
penyimpangan psikologis. Teroris dari Spanyol, Carlos, yang sempat
merajalela ditahun 1970 diduga memiliki motif ini

Universitas Sumatera Utara

3.

Pelaku Terorisme
Pelaku terorisme disebut teroris yang dapat diartikan sebagai seseorang atau

biasanya anggota suatu kelompok yang menggunakan atau membela terorisme,
atau seseorang yang meneror atau menakuti orang lain. 38
Sedangkan menurut Stanislaus Riyanta, teroris adalah orang yang
menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan
politik.39
Meski jika dikaji dengan ilmu kriminologi, maka dapat disimpulkan bawha
pelaku dalam kejahatan ini dapat dibedakan antara individu dan organisasi.Secara
kualitatif, rage of terror (rasa takut yang mendalam akibat teror) yang disebabkan
oleh pelaku individu tak kalah menggentarkan dibanding pelaku-pelaku lain yang
terdiri dari kelompok terorganisir. Misalnya Theodore John Kacynski yang
melakukan serangkaian terror bom selama hampir 15 tahun hanya seorang diri
atau Timothy Mc. Veigh yang berhasil menghancurkan gedung bertingkat delapan
belas di Oklahoma City pada Tahun 1995 dan dicatat oleh pers sebagai “The
Worst Domestic Terrorism in American History”.

40

Munculnya berbagai pelaku terorisme individual tersebut, secara konseptual
akan mempengaruhi definisi terorisme. Batasan untuk menekan terorisme hanya
untuk mencapai tujuan politik tampaknya perlu ditinjau kembali.Hal ini
diakibatkan semakin beragamnya motif yang mendasari dilakukannya kejahatan

38

Petrus Reinhard Golose., op. cit., hal. 5
Stanislaus Riyanta, Apa Itu Terorisme?, dalam http://jurnalintelijen.net/2015/09/07/apaitu-terorisme/ , diakses pada tanggal 21 Februari 2016 pukul 15:21 WIB
40

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel)

0 26 136

Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Register Perkara Nomor : 1765/Pid.B/2009/PN.JKT.SEL Tentang Penjatuhan Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat.

0 1 1

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)

0 0 9

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)

0 0 1

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)

0 0 37

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)

0 0 4

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

0 0 45

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

0 0 21

PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KLATEN Nomor : 19Pid.Sus 11PN.Klt)

0 0 12