150513 Policy Brief Perhutanan Sosial ID

STRATEGI PERCEPATAN PERLUASAN
AKSES KELOLA MASYARAKAT
ATAS KAWASAN HUTAN NEGARA
Policy Brief

RINGKASAN
Untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencapai target alokasi 12,7 juta hektar
kawasan hutan untuk skema Perhutanan Sosial, maka diperlukan perubahan cara pikir dari
pembuat kebijakan kehutanan agar tidak menjadikan masyarakat sebagai objek tetapi
subjek. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengevaluasi berbagai
kebijakan terkait perhutanan sosial selama ini baik di tingkat nasional maupun daerah.
Pemerintah perlu memberikan kepastian wilayah kelola kepada rakyat yang hidup di dalam
dan di sekitar kawasan hutan negara untuk menjamin penghidupan mereka. Ini memerlukan
pengarusutamaan desa serta struktur desa sebagai subyek dari kebijakan perhutanan sosial.
Pemerintah direkomendasikan agar menggunakan skema Kesatuan Pengelola Hutan (KPH)
untuk mengimplementasikan upaya pencapaian kepastian alokasi wilayah kelola rakyat
dalam kawasan hutan negara. KPH dapat berperan penting untuk mendukung upaya ini
karena status kelembagaannya yang berlokasi di tingkat tapak, dan sekaligus terintegrasi
dalam struktur kebijakan dan perencanaan dari tingkat daerah ke tingkat nasional serta
memiliki mandat pengelolaan hutan negara berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Untuk itu diperlukan sejumlah upaya untuk mereformasi dan memperkuat kapasitas KPH

agar dapat berperan efektif dalam memastikan akses masyarakat terhadap kawasan hutan
negara melalui kegiatan pemetaan sosial ekonomi, mengintegrasikan kegiatan
pemberdayaan dan kepastian wilayah kelola rakyat dan KPH yang dikembangkan bersama
masyarakat, memfasilitasi kelembagaan masyarakat serta perizinan untuk menjamin akses
rakyat terhadap sumberdaya hutan.

1

STRATEGI PERCEPATAN PERLUASAN
AKSES KELOLA MASYARAKAT ATAS KAWASAN HUTAN NEGARA

Pengantar
Salah satu program prioritas Pemerintahan Republik Indonesia saat ini adalah mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
menjadi salah satu agenda prioritas. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 pemerintah
berkomitmen untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk
pengembangan berbagai skema Perhutanan Sosial seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR),
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Rakyat (HR) serta Hutan Adat dan
lainnya.

Dengan adanya target pemerintah di atas, berarti luas kawasan hutan yang dikelola rakyat akan
meningkat drastis sekitar 14 kali lipat dibandingkan angka luasan pada periode pemerintah
sebelumnya. (Data Tahun 2009-2013 : 892.636 Ha, Data Tahun 2015-2019 : 12.700.000 Ha)

2015-2019: 12.700.000 HA

2009-2013: 892.636 HA

(Sumber : Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2013, Direktorat Jenderal Planologi)

Ambisi ini tidak mungkin dapat tercapai tanpa adanya suatu strategi kerja yang baru. Strategi
ini mensyaratkan perlu adanya perubahan mendasar dalam landasan berpikir dan cara kerja
pemerintah dalam konteks memberikan kepastian akses kelola masyarakat atas hutan. Strategi
ini perlu dipikirkan secara matang agar: i) manfaat program dinikmati secara nyata oleh rakyat
yang bermukim di dalam dan sekitar hutan; ii) pemberian akses kepada masyarakat perlu
dipastikan agar tidak berkontribusi pada bertambah rusaknya fungsi ekologis dari hutan dan
lingkungan sekitarnya; iii) ada jaminan bahwa distribusi akses dan kontrol atas lahan
mengedepankan prinsip keadilan distribusi dari manfaat lahan dan hutan secara lebih merata
dan adil diantara warga masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan termasuk
perempuan dan kelompok miskin serta rentan yang kehidupannya tergantung dari lahan dan

sumber-sumber hutan, dan iv) berkontribusi secara nyata pada perbaikan dari tata kelola
hutan yang menjamin berlangsungnya prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam konteks
sosial, ekonomi, dan ekologis tidak hanya untuk hari ini tetapi juga untuk generasi dimasa
depan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan tantangan yang tidak mudah ini agar apa yang
diamanatkan RPJMN tersebut dapat terwujud? Apa strategi kerja yang sebaiknya dipilih? Apa
saja perubahan yang dibutuhkan sebagai konsekuensi untuk melaksanakannya?
Tulisan ini menawarkan strategi yang harus ditempuh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) dalam lingkup untuk mempercepat perluasan akses kelola masyarakat atas
hutan, khususnya di kawasan yang diklaim sebagai Hutan Negara, di luar lingkup Hutan Adat.i
Strategi ini mensyaratkan semua pihak untuk terbuka dengan gagasan baru. Adapun langkah
strategis yang diusulkan akan diuraikan sebagai berikut:

Mengubah Cara Berpikir tentang Subyek dari Program dan Kebijakan
Target pemerintah untuk mencapai minimal 12,7 juta hektar kawasan hutan negara untuk
rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari
kebijakan ini.

2


POLICY BRIEF

Selama ini bidang kebijakan kehutanan didominasi oleh tiga doktrin utama : pertama, doktrin
yang mengutamakan kayu sebagai unsur utama (timber primacy)", kedua, doktrin "jangka
panjang (the long term)" yang dipengaruhi konteks masa tumbuh pohon, dan ketiga "standar
mutlak (absolute standard)."ii Doktrin ini awalnya bersumber dari sarjana kehutanan Eropa
(dalam hal ini Jerman) yang kemudian diadopsi di Amerika Utara sebelum akhirnya menyebar
ke seluruh dunia. Ketiga doktrin tersebut membentuk kerangka dasar kurikulum bagi
pendidikan kehutanan dan menjadi dasar landasan hukum kebijakan kehutanan yang
diterapkan di banyak negara termasuk di Indonesia.
Doktrin timber primacy menekankan hanya kayulah sebagai hasil utama hutan sehingga hanya
barang dan jasa lainnya dari hutan yang merupakan turunan dari kayu sebagai hasil utama yang
lebih diprioritaskan dalam pengelolaan hutan. Doktrin ini tidak memberikan opsi adanya
beragam manfaat hutan selain kayu maupun beragam paradigma dalam praktek pengelolaan
hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki
kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda untuk mengelola dan memanfaatkan hutan.
Doktrin kehutanan yang terpusat pada kayu memaksa perlunya waktu jangka panjang dalam
praktek pengelolaannya (the long term). Konsekuensinya pendekatan kehutanan dilakukan
secara kaku (dan cenderung tidak dinamis) dan enggan untuk mengakomodasi kepentingan
sosial lain yang juga terkait dengan hutan. Sarjana kehutanan menginginkan adanya kondisi

sosial stabil yang dijamin oleh otoritas sosial serta negara yang kuat serta cenderung
mengkriminalisasi siapapun yang tidak sejalan dengan tujuan ini.iii Salah satu sikap konservatif
rimbawan yang lain adalah pandangan kritis mereka terhadap demokrasi dan kebebasan
(libertarianisme) dan cenderung tidak percaya sifat pluralisme kepentingan. Rimbawan juga
cenderung mempertahankan pendekatan kapitalistik dalam pengelolaan hutan.iv
Doktrin absolute standard memberikan gagasan bahwa ilmu kehutanan adalah satu-satunya
sumber yang harus diterapkan dalam manajemen pengelolaan hutan. Rimbawan --yang
menganggap dirinya memiliki otoritas ilmu mengenai hutan-- menempatkan dirinya sebagai
mediator antara hutan dan masyarakat. Landasan manajemen pengelolaan hutan lebih
didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas
dengan tidak mempertimbangkan bahwa
masyarakat memiliki kepentingan yang
berbeda-beda terhadap hutan.v Akibatnya,
kebijakan kehutanan cenderung direduksi
menjadi silvikultur (menanam dan mengatur
tegakan hutan) dan negara diharapkan
menggunakan dasar pengetahuan itu sebagai
kerangka pembuatan undang-undang. Salah
satu rimbawan misalnya berkata: "Silvikultur
harus dijadikan dasar hukum."vi

Oleh karenanya, senantiasa terjadi gap antara
apa yang dihasilkan dalam pelaksanaan
program/kegiatan pemerintah dengan apa
yang dibutuhkan masyarakat. Situasi demikian
itu telah berlangsung dari tahun ke tahun. Hal
ini terlihat dari pelaksanaan kebijakan dan

Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.37/Menhut-II/2007 jo.
P.18/Menhut-II/2009 tentang Hutan
Kemasyarakatan, No. P.49/Menhut-II/2009
tentang Hutan Desa serta
No.P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara
Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan
Tanaman, penyelenggaraan HKm, HD dan HTR
bertumpu pada inisiatif masyarakat lokal.
Peran pemerintah, khususnya pemerintah
pusat, cenderung pasif. karena baru akan
bergerak jika ada usulan masyarakat yang
masuk. Mengharapkan inisiatif dari kelompok

masyarakatseperti ini telah terbukti tidak akan
dapat mencapai target yang telah dicanangkan
sebelumnya.

peraturan-perundangan yang lebih bertumpu pada logika benar-salah dari sudut pandang
ketiga doktrin di atas, tanpa menghiraukan perspektif dan kepentingan masyarakat. Contoh
paling aktual adalah tercapainya penetapan kawasan hutan negara sekitar 60% di tahun 2014
dari sebelumnya hanya sekitar 18% di tahun 2001. Akan tapi pencapaian ini tidak

3

STRATEGI PERCEPATAN PERLUASAN
AKSES KELOLA MASYARAKAT ATAS KAWASAN HUTAN NEGARA

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat
sebagai subjek, yang terjadi adalah standar penetapan kebijakan dan prosedur pelaksanaan
bagi pelayanan untuk masyarakat disamakan begitu saja dengan standar untuk usaha/industri
besar. Pemerintah tidak juga merasa perlu melakukan tindakan proaktif, hanya sekedar
menunggu datangnya permohonan izin. Hal inilah yang menyumbang pada terjadinya
ketimpangan yang serius dalam alokasi pemanfaatan hutan yang 97 persennya dinikmati usaha

besar sementara rakyat hanya menguasai 3% (lihat Tabel di bawah). Rendahnya respon
masyarakat untuk memenuhi prosedur yang ditetapkan pemerintah justru dianggap sebagai
hambatan. Hal ini seharusnya perlu dilihat sebagai persoalan yang mesti dijawab dengan
mencari dan mengembangkan cara baru yang lebih pas dengan karakteristik masyarakat. Inilah
tanggungjawab yang harusnya dijalankan Pemerintah guna memenuhi kewajibannya dalam
memberikan pelayanan publik.
Pemanfaatan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Tahun 2013
Jenis Pemanfaatan

Unit / Lokasi

Ha

%

a. IUPHHK-HA

287

22.760.622


66,63

b. IUPHHK-HTI

254

10.106.540

29,59

c. IUPHHK-RE

9

397.878

1,17

Total presentase Usaha Besar dan Kepentingan Umum


550

33.265.040

97,39

a. Pencadangan HTR

121

702.519

2,06

b. Hutan Desa

104

108.642


0,31

c. Hutan Kemasyarakatan

90

81.475

0,24

Total presentase Usaha Kecil dan Masyarakat Lokal/Adat

315

892.636

2,61

1. Usaha Besar & Kepentingan Umum

2. Usaha Kecil dan Masyarakat Lokal/Adat

Total Keseluruhan

34.157.677,21 100,00

Sumber : Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2013, Direktorat Jenderal Planologi

Oleh karena itu target pemerintah untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan
hutan negara untuk rakyat akan sulit tercapai tanpa adanya perubahan secara mendasar dari
cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek
perlu berubah menjadi masyarakat sebagai subyek dari program dan kebijakan KLHK. Dengan
begitu maka struktur kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, aturan main, pedoman kerja
pemerintah saat ini menghadapi tantangan berat untuk sampai pada titik dimana masyarakat
diposisikan sebagai subyek.

Menempatkan Desa Sebagai Subyek
Sebagai salah satu konsekuensi logis dari perubahan paradigma yang telah disebutkan pada
langkah pertama, program kerja dari Kementerian LHK adalah memberikan kepastian wilayah
kelola kepada rakyat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan negara untuk menjamin
ketersediaan pangan dan penghidupan keluarga mereka. Wilayah Indonesia yang ditetapkan
pemerintah sebagai kawasan hutan negara bukanlah sebuah ruang kosong dari pemukiman
manusia. Data resmi pemerintah sendiri menunjukkan setidaknya ada 18.718 desa di dalam,
tepi, dan sekitar kawasan hutan negaravii. Tidak bisa dinegasikan bahwa untuk percepatan
perhutanan sosial ini perlu menempatkan desa ini sebagai subjek sentral dari strategi kerja
Kementerian LHK ke depan.
Dari sisi aturan negara, hal ini juga berarti strategi kerja dari KLHK ke depan perlu juga mengacu
pada berbagai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Desa yang telah diresmikan tahun
2014 yang lalu. Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan desa adalah:
4

POLICY BRIEF

“kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1).

Dalam konteks ini hutan termasuk salah satu aset desa yang juga diatur dalam undang-undang
ini (pasal 76 ayat 1). Sehingga skema pengelolaan hutan dalam rangka pemberian kepastian
kelola rakyat ke depan seharusnya tidak lagi hanya terbatas pada HD, HKm dan HTR saja.
Namun, terbuka skema lain sesuai potensi lokal di desa tersebut.
Langkah ini penting dilakukan dalam upaya untuk menjamin adanya kepastian wilayah kelola
masyarakat serta memastikan bahwa masyarakat sebagai warga negara Indonesia yang sah
juga memperoleh manfaat yang adil dari pengelolaan hutan yang berada di dalam wilayah
mereka.

Menghadirkan Negara di Tingkat Tapak
Dengan menjadikan masyarakat dan desa sebagai subjek yang masuk dalam urusan dari
Kementerian LHK, maka perlu ada kejelasan lembaga pengelolaan hutan di tingkat daerah yang
dapat memastikan negara hadir untuk melayani masyarakat. Lembaga ini diperlukan agar cara
kerja Kementerian LHK di masa lalu yang cenderung pasif untuk melayani rakyat dapat diubah
menjadi lebih pro-aktif. Untuk dapat bekerja secara pro-aktif diperlukan kelembagaan tingkat
daerah yang berperan untuk memfasilitasi kegiatan pendataaan sosial, ekonomi, serta
penyelesaian berbagai persoalan lainnya terkait dengan masyarakat dan pengelolaan hutan.
Selain memastikan program kerja Kementerian LHK ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
lembaga ini juga bertugas untuk memastikan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat dapat berlangsung dengan baik termasuk memastikan agar fungsi hutan dapat
terjaga serta pola pemanfaatan alam yang lestari dapat berlangsung. Lembaga ini juga harus
dapat berperan dalam memastikan bahwa proses pengajuan izin dapat berlangsung secara
transparan, tepat sasaran, dan memastikan proses pendampingan yang tepat untuk
masyarakat setelah izin telah diperoleh. Lembaga ini sebaiknya bukan lembaga ad hoc yang
bersifat semntara, dan tidak memiliki struktur yang jelas baik dengan Kementerian LHK di
tingkat pusat maupun dengan struktur pemerintah di daerah. Lembaga ini haruslah masuk
dalam bagian dari struktur perencanaan kelembagaan di pusat maupun di daerah yang telah
ada agar dapat dipastikan sumber pandanaannya dan kewenangannya dalam aturan
pemerintah dan perundang-undangan Agar keberlangsungan perannya terjamin, lembaga ini
juga diakui dalam dokumen perencanaan pemerintah seperti RPJMN dan RPJMD.
Atas dasar alasan tersebut di atas, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) layak dipertimbangkan
sebagai lembaga di tingkat daerah yang memastikan negara hadir melayani masyarakat di
dalam dan sekitar hutan.Dari sisi regulasi, berdasarkan Undang-undang Kehutanan No
41/1999, KPH adalah unit pengelolaan hutan yang berada di tingkat kabupaten dan provinsi
(pasal 17). Selain itu, dari sisi anggaran dan program, pengembangan infrastruktur
kelembagaan KPH ini telah masuk dalam salah program RPJMN. Hingga tahun 2014 telah
terbangun 80 KPH Produksi, 40 KPH Lindung dan 50 KPH Konservasi. Ke depan, berdasarkan
RPJMN 2015-2019 akan dibangun total sebanyak 600 KPH di seluruh Indonesia. Semua fungsi
pengelolaan hutan akan berada dalam pengelolaan KPH mulai dari perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan hutan dan konservasi termasuk
pula didalamnya fungsi pelayanan kepada masyarakat untuk pemanfaatan sumberdaya hutan.
Oleh karena itu tidak terlalu berlebihan untuk mendayagunakan KPH sebagai salah satu
lembaga yang bertanggungjawab agar masyarakat yang berada dalam wilayah pengelolaannya
mendapatkan akses yang cukup dan kepastian yang memadai atas wilayah kelola hutan di
sekitar mereka untuk tujuan beragam seperti pangan, agroforestry, usaha jasa lingkungan
lainnya. Tidak semua kegiatan masyarakat ini diarahkan harus bermitra dengan pihak lain.

5

STRATEGI PERCEPATAN PERLUASAN
AKSES KELOLA MASYARAKAT ATAS KAWASAN HUTAN NEGARA

Dengan kata lain, sebagai upaya untuk menghadirkan negara di tingkat tapak Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) sejogjanya berfungsi untuk mengalokasi ruang secara lebih akurat
sesuai dengan pontensi dan kondisi sosial dan budaya yang riil di lapangan. KPH sebagai
institusi di tingkat tapak juga seharusnya berperan dalam memfasilitasi dan memberikan
layanan kepada masyarakat lokal agar memastikan mereka memiliki hak kelola yang pasti dan
memadai untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. KPH juga selayaknya berperan sebagai
mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan
dilapangan dapat segera ditangani oleh pemerintah dan tidak melakukan pembiaran yang
berlarut yang mengakibatkan masalah tersebut makin komplek dan meluas yang tidak segera
terselesaikan (unsolved problem). KPH sebagai wakil pemerintah selayaknya hadir secara nyata
untuk rakyat. Prioritas untuk berinvestasi selayaknya diberikan kepada rakyat yang hidup dan
tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Dalam konteks tertentu, KPH dapat juga memfasilitasi
memasarkan hasil produksi dari rakyat setempat. Untuk itu tentunya KPH harus didukung
dengan ketersedian tenaga terampil termasuk penyuluh yang handal. Dalam menjalankan
fungsinya ini, mestinya terbuka peluang KPH bermitra dengan Organisasi Masyarakat Sipil/LSM
yang memiliki kapasitas maupun dengan perguruan tinggi yang ada.
KPH dengan visi dan misi serta program yang jelas untuk pelayanan masyarakat seperti di atas
saat ini belum sepenuhnya ada. Pengarusutamaan pemikiran tentang pengembangan KPH
saat ini juga belum juga mengarah ke sana. Oleh karenanya perlu dilakukan evaluasi dan revisi
mendasar terhadap pengembangan kelembagaan KPH agar memiliki program kerja dan
paradigma yang jelas untuk melayani rakyat. Apabila KPH hadir dengan misi yang jelas untuk
melayani rakyat maka masyarakat akan merasakan kehadiran negara ditengah-tengah mereka.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa menempatkan masyarakat sebagai subyek/pelaku utama
berbasis administrasi desa dengan bingkai KPH sebagai unit manajemen hutan yang hadir
dilapangan adalah salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan secara serius. Dengan strategi
ini diharapkan program pemerintah untuk meningkatkan sedikitnya 12,7 hektar kawasan hutan
untuk wilayah kelola rakyat dapat tercapai.

Rekomendasi
1.

Perlu menggalang terus-menerus perubahan dalam pola pikir dan pola kerja melalui
berbagai tingkat kepemimpinan di dalam Kementerian LHK

2.

Perlu ditetapkan dan diterapkan ukuran kinerja baru yang menginternalisasikan
kebutuhan dan kepuasan masyarakat didalamnya

3.

Perlu digali informasi yang akurat terkait kondisi dan karakteristik masyarakat di
desa-desa di dalam dan disekitar hutan dan mengiintegrasikan informasi ini ke dalam
statistik kehutanan pusat dan daerah sebagai bentuk dari visualisasi masyarakat
sebagai subyek agar diperolehpemahaman akan perubahan kondisinya dari waktu ke
waktu.

4.

Dikarenakan tidak ada peraturan-perundangan yang sempurna dan sesuai dengan
kondisi di lapangan, maka perlu dikembangkan strategi kerja baru dimana pejabat di
lapangan (street level bureaucracy) diperkenankan pada tingkat tertentu melakukan
penyesuaian (diskresi) kegiatan sesuai dengan kondisi di lapangan setempat dengan
disukung data dan analisa lapangan yang kuat sebagai tolok ukur yang menjadi dasar
kebenarannya.

5.

Mengevaluasi praktek dan kebijakan masa lalu terkait dengan relasi Kementerian LHK
dengan Pemerintah Daerah setempat serta Kementerian lainnya untuk mendiagnosa
akar masalah. Hasil ini diperlukan untuk menyusun langkah strategis dan terobosan
yang penting dilakukan untuk membangun strategi kerjasama dan koordinasi yang
efektif dan implementatif yang tidak berhenti di atas kertas atau di meja pertemuan
belaka.
6

POLICY BRIEF

6.

Perlu mempertimbangkan beragam potensi lokal dalam strategi meningkatkan akses
bagi wilayah kelola masyarakat. Oleh karena itu skema nya tidak hanya dibatasi pada
HKM, HD, HTR semata.

7.

Perlu merevisi sejumlah kebijakan, antara lain UU 23 Tahun 2014, untuk memastikan
cukup dekatnya kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat dilapangan.

8.

Perlu mereformasi KPH secara fundamental, agar dapat dipastikan KPH menjalankan
berbagai program dan kegiatan sebagai berikut:
a. Mengalokasikan akses masyarakat terhadap kawasan hutan yang dimasukkan ke
dalam proses tata hutan dan rencana pengelolaan hutan di KPH sesuai dengan
PP 6/2007 Jo PP 3/2008.
b. Memastikan pelaksanaan alokasi akses masyarakat oleh KPH di Rencana
Pengelolaan KPH sesuai PP 6/2007 Jo PP 3/2008 pasal 83
c. Melaksanakan inventarisasi sosial ekonomi dan budaya bersama masyarakat
dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui
mekanisme zonasi/blok pemberdayaan di KPH melalui skema izin HD, HKM, HTR
dan Kemitraan dengan KPH maupun skema lainnya sesuai dengan potensi
setempat.
d. Merevisi peraturan tentang NSPK pengelolaan hutan di KPHP dan KPHL agar
disebutkan secara eksplisit tentang pasal alokasi akses masyarakat di dalam
pengelolaan hutan oleh KPH.
e. Memetakan wilayah kelola mayarakat bersama para pihak terkait dalam
penyusunan penataan hutan dan rencana pengelolaan hutan sehingga
kepastian akses masyarakat terjamin dalam pengelolaan KPH
f.

Menyusun rencana dan pelaksanaan pengelolaan hutan dengan melibatkan
para pihak di wilayah KPH terutama masyarakat lokal dan masyarakat adat.

g. Memfasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat, yang dituangkan dalam
rencana pengelolaan KPH
h. Membuka akses pasar terhadap produk yang dihasilkan oleh pemanfaatan
masyarakat di kawasan hutan.
i.

Mendampingi proses perizinan terkait kepastian akses kelola masyarakat di
kawasan hutan.

Daftar Pustaka
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan – Direktorat Jenderal
Planologi Kehutanan – Kementerian Kehutanan. 2014. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun
2013. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Glück, P. 1987. Social Values in Forestry.
Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. 2013. Identifikasi Desa di Dalam dan Sekitar
Kawasan Hutan dalam rangka Survei Kehutanan (SKH) 2014. Jakarta: Kementerian Kehutanan dan BPS.
RPJMN 2015-2019
Task Force. 2015.
i
Penegasan ini sejak awal perlu dilakukan, mengingat Hutan Adat tidak dapat terlepas dari putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang
memberi pengertian bahwa status hutan adat tidak lagi berada di dalam kawasan hutan negara. Sementara, sampai dengan saat ini,
posisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menggunakan Peraturan Daerah (Perda) sebagai instrumen
pengakuan hutan adat. Hal ini menjadi perdebatan yang belum selesai, mengingat kepentingan politik di daerah juga serupa dengan
di pusat, lebih mementingkan pelayanan perizinan perusahaan besar daripada memastikan ruang hidup masyarakat. Sehingga
dibutuhkan satu tulisan tersendiri yang menawarkan strategi terkait perluasan akses rakyat untuk kelola hutan dalam konteks Hutan
Adat.
ii
Glück, P. 1987. Social values in forestry. Ambio, 16(2/3):pp. 158-160.
iii
Kalaora, B. 1981 dan Pleschberger, W. 1981 dalam Gluck 1987.
iv
Pleschberger, W. 1981 dalam Gluck 1987.
v
Gluck 1983 dalam Gluck 1987.
vi
Kalaora, B. 1981 dalam Gluck 1987.
vii
Kementerian Kehutanan dan BPS, 2013.

7