J00676

PEM BERDAYAAN PEREM PUAN DALAM PENANGGULANGAN
H I V /AI DS DI KOTA SALATI GA

Oleh: Betty W ahyu Nilla Sari, Sri Suwartiningsih

Abstract

Nowadays, Human Immunodeficiency Virus spreads not only among
prostitute women worker but also housewife. The condition due to
gender gap so that women depend to men to access scarcity. It
makes women have to obey men as a compensation. Further, it
makes woman have no right of their reproduction health. Therefore,
the condition asks for strategies to empowered women to save them
from HIV/AIDS. This essay tries to compose women empowering
strategies to cope with the spreading of HIV/AIDS.
Kata kunci: perempuan, pemberdayaan, HIV/AIDS, strategi

Pendahuluan

Pada hakikatnya, pembangunan merupakan proses mengubah
keadaan yang belum ideal menjadi ideal. M asyarakat merupakan salah satu

modal dasar dan sekaligus faktor utama pembangunan. M asyarakat
memiliki peranan yang sangat penting sebagai obyek sekaligus subyek atau
pelaku pembangunan. M eskipun demikian, ada golongan masyarakat yang
belum sepenuhnya tersentuh oleh pembangunan. Salah satu golongan
masyarakat tersebut adalah kaum perempuan. Hal tersebut disebabkan
berbagai hal, khususnya berkaitan dengan faktor sosial budaya.
M aimunah dkk (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan potensi
perempuan lokal dalam penanggulangan epidemi virus HIV/AIDS di
Jayapura, Papua, penting dilakukan mengingat angka prevalensi virus
HIV/AIDS di Provinsi Papua tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, ada
beberapa alasan yang membuat pemberdayaan perempuan untuk
menanggulangi dan mencegah penularan HIV menjadi menarik untuk
diangkat sebagai topik, yaitu:
1. Di Kota Salatiga, jumlah pengidap virus ini dari tahun ke tahun selalu
bertambah dan merupakan fenomena gunung es sebagaimana data yang
akan ditunjukkan dalam bagian lain tulisan ini;
118

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga


2. Perempuan adalah pihak yang dituduh sebagai penyebar virus tersebut,
khususnya perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial;
dan
3. Peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS menjadi bukti bahwa
pembangunan di bidang kesehatan belum menunjukkan keberhasilan
yang signifikan.
Kajian ini menjadi penting karena salah satu rekomendasi untuk
pencapaian pembangunan M DGs (M illenium Development Goals) adalah
meningkatkan peran perempuan dalam proses pembangunan. Program
pembangunan akan berhasil apabila dapat meningkatkan posisi perempuan
dalam masyarakat sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan M DGs
2015 yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Dalam M DGs tersebut, kesehatan merupakan unsur dominan. Dari delapan
agenda M DGs, lima di antaranya berkaitan langsung dengan kesehatan,
dan tiga yang lain terkait secara tidak langsung. Lima tujuan/goals yang
berkaitan langsung dengan kesehatan itu adalah Goal ke-1 (M emberantas
kemiskinan dan kelaparan), Goal ke-4 (M enurunkan angka kematian anak),
Goal ke-5 (M eningkatkan kesehatan ibu), Goal ke-6 (M emerangi HIV dan
AIDS, M alaria, dan penyakit lainnya), serta Goal ke-7 (M elestarikan
lingkungan hidup), yang untuk mencapai target diperlukan peran dan

pemberdayaan perempuan. Hal tersebut selaras dengan Goal ke-3 M DGs
yaitu Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Pembangunan.
HIV merupakan salah satu agenda dalam Goal ke-6. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang dan secara
bertahap merusak kekebalan tubuh. HIV terdapat pada darah, cairan
sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus ini dapat menular melalui
cairan kelamin, jarum suntik, transfusi darah, luka, dan ASI. HIV/AIDS
tidak menular melalui air ludah, udara, keringat, peralatan makan, atau
bertukar handuk.
Peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS berkorelasi terhadap
keberhasilan pelaksanaan pembangunan pada umumnya. Hal ini karena
peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS mengandung beberapa akibat
yang kontraproduktif terhadap pelaksanaan pembangunan, yaitu:
1. Peningkatan jumlah pengidap HIV berarti peningkatan pengeluaran
negara untuk biaya pengobatan yang mencapai Rp 500.000,00 – Rp
119

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135


650.000,00 per orang per bulan untuk obat lini pertama, Rp
2.000.000,00 per orang per bulan untuk obat lini kedua, dan Rp
15.000.000,00 per orang per bulan untuk obat lini ketiga;
2. Peningkatan jumlah pengidap HIV berarti peningkatan jumlah sumber
daya manusia yang tidak dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan
akibat perasaan minder, takut, kecewa, bahkan ditolak oleh
lingkungan; dan
3. Peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS akan menyebabkan
produktifitas menjadi rendah dan tingkat harapan hidup menjadi
pendek sehingga menurunkan daya saing bangsa.
Pengidap virus HIV bukan hanya kaum laki-laki, tetapi juga kaum
perempuan. Semula kasus HIV dan AIDS didominasi laki-laki. Kini, jumlah
penderita perempuan terus meningkat. Fenomena feminisasi epidemi HIV
ini menempatkan ibu rumah tangga berpotensi menjadi kelompok
pengidap HIV/AIDS yang besar. Ini akan meningkatkan jumlah bayi yang
tertular HIV (Anonim, 2012) sehingga dapat memutus rantai generasi
penerus bangsa. Oleh karena itu, sangat diperlukan peningkatan peran,
akses, dan kontrol perempuan dalam pembangunan bidang kesehatan serta
peningkatan manfaat pembangunan kesehatan bagi kaum perempuan.
Selanjutnya, perlu dirumuskan strategi yang diperlukan untuk

meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan di bidang kesehatan,
khususnya dalam penanggulangan penyebaran HIV/AIDS. Oleh karena itu,
melalui kajian ini diharapkan dapat tersusun strategi pemberdayaan
perempuan untuk menanggulangi dan mencegah penularan HIV/AIDS di
Kota Salatiga.

H IV dan AIDS di Kota Salatiga

Penemuan kasus 1 HIV/AIDS di Kota Salatiga terus meningkat.
Total jumlah penemuan penderita HIV/AIDS yang merupakan warga Kota
Salatiga per Juli 2013 mencapai 157 penderita. Gambar tersebut
menunjukkan betapa pengidap HIV sangat rentan untuk terserang infeksi

Penemuan kasus tidak sama dengan penemuan penduduk. Kasus HI V/AIDS dapat
ditemukan di Kota Salatiga meskipun pengidapnya bukan penduduk Kota Salatiga. Tetapi
pada karya tulis ini, penemuan kasus yang dikemukakan adalah penemuan penderita
HI V/AIDS yang merupakan warga Kota Salatiga.

1


120

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

ikutan sehingga menjadi pasien AIDS karena dari 157 pengidap HIV, 90
orang (57 persen) di antaranya menjadi pasien AIDS. Selain itu, 49 orang
penderita HIV/AIDS meninggal dunia.
M enurut data resmi Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga,
penyebab penularan HIV adalah, 40 persen ditularkan melalui penggunaan
narkoba suntik (penasun/IDU’s), 50 persen ditularkan melalui aktivitas
heteroseksual, tujuh persen ditularkan melalui aktivitas homoseksual, dan
tiga persen ditularkan dari ibu kepada bayinya melalui persalinan
(perinatal). Secara umum, kasus penularan HIV/AIDS melalui hubungan
seksual ternyata memiliki porsi paling tinggi. Hal ini berarti diperlukan
intervensi yang lebih ketat untuk mencegah bertambahnya kasus
penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Penularan melalui
heteroseksual yang mencapai angka 52 persen mengindikasikan adanya
orang-orang yang sebenarnya tidak berperilaku berisiko tetapi tertular.
Sebagai bukti adalah, ternyata ada ibu rumah tangga 2 yang tertular
HIV/AIDS sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Ibu rumah tangga

yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah ibu rumah tangga murni.

Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga, Juli 2013

Gambar 1. Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Pekerjaan
di Kota Salatiga s.d. Juli 2013

Dari Gambar 1 dapat diketahui bahwa HIV adalah virus yang tidak
mengenal status sosial maupun profesi. HIV sudah merambah ke semua
golongan masyarakat, mulai dari kaum terpelajar, pegawai negeri, dan
Ibu rumah tangga adalah perempuan yang benar-benar berprofesi sebagai ibu rumah
tangga dan tidak memiliki perilaku berisiko (KPA Kota Salatiga, 2012).

2

121

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Orang yang tidak berperilaku

berisiko pun dapat tertular, seperti halnya ibu rumah tangga murni yang
tertular dari suaminya. Jika demikian, berarti jumlah ibu rumah tangga
yang tertular HIV sebenarnya jauh lebih banyak daripada jumlah yang
sudah ditemukan. Hal ini karena setiap ada laki-laki menikah yang tertular
HIV maka istrinya pun akan tertular. Pengidap HIV umumnya ditemukan
dalam kondisi menderita AIDS. Artinya, masih ada pengidap HIV yang
belum ditemukan yang berarti juga masih ada pasangan pengidap HIV yang
juga belum ditemukan. Hal inilah yang menyebabkan HIV/AIDS dikatakan
sebagai fenomena gunung es.
Pengguna narkoba suntik (penasun) memainkan peranan yang
penting dalam penyebaran HIV di Indonesia.3 Kelompok ini bukan saja
memiliki risiko tinggi terinfeksi karena perilaku berbagi jarum suntiknya,
tetapi juga memiliki risiko akibat hubungan seksual berganti pasangan dan
tidak menggunakan kondom.

Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga, Juli 2013.

Gambar 2. Jumlah Penderita HIV/AIDS di Kota Salatiga
Berdasarkan Jenis Kelamin s.d Juli 2013


Pergeseran pola pengidap HIV/AIDS dari lebih banyak laki-laki
menjadi lebih banyak perempuan, tampak dari Gambar 2. M enurut gambar
tersebut, jumlah laki-laki penderita HIV/AIDS memang lebih banyak
Hasil penelitian Pusat Penelitian HI V/AI DS Unika Atma Jaya yang dipaparkan dalam
Seminar Perilaku Sehat dan Jaringan Seksual Pengguna Napza Suntik: Adakah persoalan
Unmet Needs? di Jakarta, 22 Maret 2010. Dikutip dari artikel berjudul Perilaku Seksual
Penasun Rawan Penyebaran AIDS, http://www.satudunia.net/
3

122

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

daripada perempuan, tetapi peningkatan jumlah penderita yang ditemukan
cenderung lebih tinggi pada perempuan. M eskipun pada tahun 2011 dan
2012 jumlah penemuan perempuan penderita HIV/AIDS tidak lebih
banyak daripada jumlah laki-laki penderita HIV/AIDS tidak serta merta
berarti bahwa jumlah perempuan penderita HIV/AIDS pasti lebih sedikit
daripada laki-laki. Hal ini karena HIV/AIDS selalu melibatkan pasangan
laki-laki dan perempuan sehingga jika ada satu laki-laki terinfeksi

HIV/AIDS, sangat besar peluangnya ada satu bahkan lebih perempuan
yang menderita HIV/AIDS. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan pada tahun 2012 menempatkan ibu rumah tangga pada urutan
pertama (622 kasus), karyawan (587 kasus), (544 kasus), petani (273), buruh
(251), dan PSK hanya pada urutan keenam (140). Kondisi di Kota Salatiga
mungkin tidak jauh berbeda dengan data nasional pada tahun 2012
tersebut.

Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga, Juli 2013.

Gambar 3. Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Umur
Di Kota Salatiga s.d. Juli 2013

Dari Gambar 3, dapat diketahui bahwa 70 persen penderita
HIV/AIDS berusia 20-34 tahun dari seluruh kasus penemuan di Kota
Salatiga. Virus HIV memiliki periode jendela. Periode jendela adalah
periode di mana virus tersebut tidak dapat terdeteksi melalui pemeriksaan
laboratorium. Periode jendela virus HIV adalah tiga sampai enam bulan.
Seseorang yang tertular virus HIV baru akan diketahui setelah tiga hingga
enam bulan terinfeksi virus melalui pemeriksaan antibodi di laboratorium.

Pengidap baru juga tidak akan merasakan atau menunjukkan gejala apa
pun. Oleh karena itu, penderita yang ditemukan pada usia 20-34 tahun
tersebut sangat mungkin sebenarnya sudah tertular pada usia yang lebih
123

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

muda namun baru diketahui satu atau 10 tahun berikutnya dalam keadaan
menderita AIDS.
Penumpukan jumlah penderita HIV/AIDS pada usia muda tersebut
dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perilaku anak muda yang
cenderung penasaran dan ingin mencoba, yang diperparah dengan
kurangnya informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh tentang
kesehatan reproduksi. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh hasil
penelitian Synovote Research pada tahun 2004 tentang perilaku seksual
remaja di empat kota (Surabaya, Jakarta, Bandung, M edan) yang
menyatakan 44 % responden mengaku punya pengalaman seksual ketika
berusia 16-18 tahun dan 16 % lainnya punya pengalaman seksual ketika
berusia 13-15 tahun.4 Keadaan ini diperparah dengan adanya informasi dan
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS yang tidak
tepat. Remaja yang sedang berada dalam masa pubertas dan memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi dapat melakukan hubungan seks yang tidak aman
yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, HIV/AIDS maupun
Infeksi M enular Seksual (IM S) dapat menjerumuskan mereka dalam
lingkaran narkoba, termasuk narkoba suntik yang digunakan secara
bergantian yang merupakan salah satu media penularan HIV/AIDS.5
Kedua, pengguna narkoba juga memiliki kecenderungan
melakukan hubungan seksual secara bebas sehingga berisiko tertular
HIV/AIDS. Ketiga, pada penderita HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretroviral, rata-rata usia harapan hidup adalah sembilan hingga 11
tahun, tergantung faktor lain seperti tipe virus HIV dan lain-lain. Namun
dengan pengobatan, pemantauan ketat, dan gaya hidup yang benar maka
penderita HIV berusia muda di tahap awal memiliki usia harapan hidup 2050 tahun. Bila penderita sudah diketahui dalam keadaan lanjut atau sudah
mengidap AIDS, tanpa pengobatan yang benar dan teratur, maka usia
harapan hidup individu tersebut adalah antara enam hingga 19 bulan.
Namun dengan pengobatan yang teratur, usia harapan hidup dapat
meningkat hingga mencapai 10 tahun, tergantung faktor-faktor lain.6
Synovote Research dalam Thesis berjudul Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan
terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja di SMA Negeri 1 Baturraden dan SMA
Negeri 1 Purwokerto karya I ka Nur Chaerani Tunggal Dewi, Mahasiswa Program Studi
Magister Promosi Kesehatan Undip, 2009, hlm: 2.

4

5

Ibid.

6

Dikutip dari website resmi internis http://internis.org, 2013.

124

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

Sudah
barang tentu, keadaan ini menjadi kontra-produktif
terhadap pembangunan di bidang kesehatan. Terlebih, infeksi HIV/AIDS
bersifat permanen. Selain itu, biaya yang harus ditanggung negara untuk
pengobatan dan perawatan HIV/AIDS juga berpotensi membengkak. Secara
logika, seseorang yang sudah mengidap HIV/AIDS pada usia yang masih
sangat muda, dia berpotensi menularkan virus HIV kepada pasangannya
apabila menikah. Selanjutnya, dari pasangan tersebut juga berpotensi
terlahir bayi yang terinfeksi HIV/AIDS (meskipun tidak selalu). Oleh
karena itu, penyebaran HIV/AIDS yang tidak terkendali harus dicegah.
Perempuan yang cenderung menanggung beban psikologis lebih berat
dalam kasus-kasus penularan HIV/AIDS perlu diberdayakan agar mampu
melindungi dirinya.
Di Kota Salatiga sendiri ditemukan kasus satu keluarga yang terdiri
atas seorang bapak, seorang ibu, dan seorang anak meninggal dunia karena
HIV/AIDS. Kasus pertama ditemukan pada sang Bapak (sebutlah K)7 yang
terinfeksi HIV/AIDS akibat kebiasaannya melakukan hubungan seksual
berisiko di luar rumah tangganya. Ketika ditelusuri oleh tim medis,
ternyata K memiliki istri yang sedang hamil (sebutlah C). 8 Setelah C
diobservasi, ternyata juga telah terinfeksi HIV/AIDS. Ketika anak mereka
lahir, ternyata si anak juga terinfeksi HIV/AIDS. Saat ini, ketiganya telah
meninggal dunia dalam waktu yang tidak bersamaan.
Semakin banyaknya jumlah pengidap HIV/AIDS dari tahun ke
tahun memang dipengaruhi banyak faktor. Salah satu faktor yang
berpengaruh adalah pemahaman masyarakat tentang HIV yang kurang
tepat. Salah satu pengidap HIV/AIDS di Kota Salatiga (sebutlah D) 9
mengakui bahwa sebelum terinfeksi HIV/AIDS, yang bersangkutan
menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit biasa yang dapat sembuh seperti
penyakit lainnya. D baru menyadari bahwa pandangannya salah setelah dia
mengalami sendiri penderitaan sebagai pengidap HIV/AIDS dengan infeksi
oportunis tuberkulosis pada tahun 2006. D merasa sangat bersalah karena
ternyata sang istri (sebutlah Q)10 pun positif mengidap HIV/AIDS akibat
tertular dari dirinya.

Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk melindungi identitas yang bersangkutan.
Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk melindungi identitas yang bersangkutan.
9 Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk melindungi identitas yang bersangkutan.
10 Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk melindungi identitas yang bersangkutan.

7

8

125

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

M enurut pengakuan Q, dirinya sudah paham bahwa HIV/AIDS
adalah penyakit yang belum ada obatnya. Dia juga mengetahui bahwa
sebelum menjadi suaminya, D adalah seorang pengguna narkoba suntik
sehingga termasuk golongan berisiko tertular HIV/AIDS. Q tidak pernah
menyangka bahwa ternyata penyakit HIV/AIDS begitu dekat dengan
mereka. Namun, pasangan ini masih sangat bersyukur karena, hingga saat
ini, buah hati mereka negatif HIV/AIDS. M enyadari betapa berbahayanya
HIV/AIDS, pasangan ini sepakat untuk mencegah agar HIV/AIDS yang
berdiam di badan mereka tidak menular kepada orang lain. Baik D maupun
Q saat ini masih sama-sama menjadi karyawan di perusahaan yang berbeda.
M ereka sama-sama belum terbuka kepada perusahaannya karena jika
diketahui, belum tentu mereka masih dapat bekerja di perusahaan tersebut.
Sementara, bagi D dan Q yang pengidap HIV/AIDS, sulit memperoleh surat
keterangan sehat dari dokter jika mereka harus melamar pekerjaan lagi di
tempat lain, karena dokter dituntut jujur dalam memberikan keterangan
sehat.
Narasumber lain (sebutlah R) 11 —yang mengaku tidak pernah
berperilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS—menyatakan bahwa dirinya
memang tidak tahu terlalu mendalam tentang HIV/AIDS. Sejauh yang dia
pahami, HIV/AIDS adalah penyakit yang belum ada obatnya. Oleh karena
itu, sejak sebelum menikah, hingga sekarang sudah berkeluarga dengan dua
orang anak, R menyatakan tidak pernah melakukan hubungan seksual
bebas ataupun terlibat narkoba. R juga tidak ingin dekat-dekat dengan
pengidap HIV/AIDS karena khawatir tertular.

Pemberdayaan Perempuan dan Gender

Isu pemberdayaan perempuan tidak bisa terlepas dari isu gender.
M enurut Rubin,12 gender adalah pembedaan perempuan dan laki-laki yang
dibentuk oleh konstruksi sosial dan kebudayaan, jadi bukan karena
konstruksi yang dibawa sejak lahir (Nugroho, 2011: ix). Chafetz (1990: 28)
mendefinisikan gender sebagai komponen yang dikonstruksi secara
sosiokultural yang dilekatkan pada masing-masing jenis kelamin. Hal ini

Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk melindungi identitas yang bersangkutan.
Gayle Rubin (1975). Rubin tercatat sebagai orang pertama yang memopulerkan konsep
gender.

11

12

126

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

berbeda dengan jenis kelamin yang didefinisikan Chafetz sebagai
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.
Ulfah (2010: 16) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan
adalah:
“Upaya penguatan perempuan dalam berbagai bentuk kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan keterkaitan antara
kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang berlaku.”

Selanjutnya Hastuti dan Dyah Respati (2009: 9) menyatakan bahwa
pemberdayaan perempuan berhadapan dengan sistem nilai tentang
perempuan dan laki-laki di masyarakat terkait distribusi kekuasaan. Budaya
patriarki mendominasi masyarakat Jawa menempatkan perempuan dengan
tugas utama sebagai istri didukung nilai yang dikembangkan melalui
agama, kepercayaan, dan kebijakan yang menaungi. Pemberdayaan
perempuan merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan, yaitu
pendekatan partisipatif, dimana dalam pembangunan partisipatif
dimungkinkan untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat dalam
pembangunan di kawasan atau lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan
uraian yang dikemukakan oleh Friedmann dalam Pranarka dkk (1996: 58)
sebagai berikut:
“…involves a process of social and political empowerment whose
long term objectives is to re-balance the structure of power in
society by making state action more accountable, strenghthening,
and making corporate bussines more socially responsible”

Berkaitan dengan upaya pemberdayaan perempuan, Gunawan
Sumodiningrat dalam Nugroho (2011: xxi-xxii) menyatakan bahwa untuk
melakukan pemberdayaan perlu tiga langkah yang berkesinambungan
yaitu :
1. Pemihakan, artinya harus ada keberpihakan pada perempuan melalui
pemberdayaan.
2. Penyiapan, artinya pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan
untuk dapat mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dn mengambil
manfaat
3. Perlindungan, artinya memberikan proteksi sampai dapat dilepaskan.
Dalam upaya pemberdayaan perempuan, ketiga tahapan tersebut
harus dapat dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, karena
ketiga hal tersebut saling berkait satu dengan lainnya.
127

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

Strategi Pemberdayaan Perempuan

Salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan
seksual yang melibatkan alat reproduksi manusia. Kenyataan yang terjadi
selama ini, laki-laki berhak atas alat reproduksinya sedangkan perempuan
tidak sepenuhnya berhak atas alat reproduksinya. Akar masalahnya adalah
terdapat ketimpangan gender sehingga perempuan tidak berdaya termasuk
terhadap kesehatan reproduksinya sendiri (Mujiran, 2012).
Budaya patriarkhi yang dipelihara oleh dalil agama dan lingkungan
sosial menyebabkan perempuan kurang memiliki akses terhadap sumber
daya. Dengan demikian, perempuan memiliki ketergantungan terhadap
laki-laki untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkannya (Chafetz,
1990: 83). Laki-laki dalam hal ini adalah suami bagi ibu rumah tangga atau
pelanggan bagi perempuan pekerja seks komersial. Selanjutnya, laki-laki
(suami atau pelanggan) yang berkuasa atas sumber daya mempunyai posisi
tawar lebih tinggi. Sebaliknya, perempuan (ibu rumah tangga atau PSK)
yang tergantung kepada laki-laki untuk memperoleh sumber daya,
memiliki posisi tawar yang rendah terhadap laki-laki, termasuk dalam hal
kesehatan reproduksinya.
Akibat lebih lanjut dari rendahnya posisi tawar perempuan
terhadap laki-laki, perempuan rentan tertular penyakit menular seksual
(PM S), salah satunya adalah HIV/AIDS. Hal ini berimbas kepada sulitnya
bagi perempuan untuk membujuk pasangan (suami atau pelanggan) mereka
menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang berisiko HIV/AIDS, 13 padahal, penularan HIV/AIDS
melalui hubungan seksual dapat dicegah dengan penggunaan kondom.
Oleh karena itu, baik ibu rumah tangga maupun perempuan PSK perlu
diberdayakan agar mereka memiliki hak atas kesehatan reproduksinya.
Perlu dipahami bahwa kegiatan pemberdayaan perempuan bukan
berarti tidak melibatkan kaum laki-laki. Selama ini, kegiatan
pemberdayaan perempuan lebih menekankan perhatian kepada perempuan
saja dan mengesampingkan peran laki-laki. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perubahan dengan menggunakan strategi yang lebih
menekankan perhatian kepada masalah hubungan laki-laki dan perempuan

Dalam makalah ini, maksud hubungan seksual yang berisiko adalah hubungan seksual
antara istri (ibu rumah tangga) dengan suami yang perilakunya berisiko tertular HI V atau
hubungan seksual antara perempuan PSK dengan pelanggannya.
13

128

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

daripada perhatian yang hanya ditujukan kepada perempuan saja
(Nurhidayati, 1999: 31-42).
Pemerintah, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat umum, baik
secara perorangan, kelompok, maupun organisasi LSM , harus menjalin
kerja sama yang efektif untuk mendorong keberhasilan upaya
pemberdayaan perempuan. Keberhasilan program-program pemberdayaan
perempuan sangat ditentukan oleh campur tangan kelompok elit,
khususnya yang terlibat dalam pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang
pro-pemberdayaan perempuan dalam pembangunan di bidang kesehatan
sangat diperlukan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Pada era otonomi daerah, keterlibatan pemerintah daerah otonom
dalam pemberdayaan perempuan untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS menjadi sangat penting. Pemerintah daerah otonom sebagai
level pemerintahan terdekat dengan masyarakat memiliki kewenangan
yang lebih dari cukup untuk menentukan strategi pemberdayaan
perempuan
dalam
pembangunan
kesehatan
melalui
kegiatan
pengarusutamaan gender.
Iffe (1995: 4) mengusulkan tiga strategi yang dapat dilakukan untuk
mengalirkan power terhadap disadvantaged yakni melalui: (1) Kebijakan
dan Perencanaan (Policy and Planning), (2) Aksi politik dan sosial (Social
and Political Action), dan (3) Pendidikan dan peningkatan kesadaran
(Education and Consciousness Raising). Selaras dengan usulan Iffe, terdapat
tiga aspek yang perlu menjadi fokus perhatian dalam pemberdayaan dan
perlindungan hak perempuan untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS yaitu aspek politik, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi.
Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang integral dan saling
terkait, sehingga dalam pelaksanaannya tidak dapat dilaksanakan secara
parsial.

Aspek Politik
Sejauh ini, sebenarnya sudah cukup banyak kebijakan pemerintah
yang berusaha menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Salah satunya
diwujudkan melalui pembentukan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS
(KPA). M eskipun demikian, masih ada beberapa hal yang perlu dilakukan
oleh pemerintah untuk menyetarakan peran perempuan dan laki-laki.
Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut.
129

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

1.

Peningkatkan keterwakilan perempuan melalui lembaga legislatif
sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya perempuan yang duduk
di lembaga legislatif. Peningkatan jumlah perempuan di kelompok elit
diharapkan berkorelasi dengan peningkatan akses, partisipasi, dan
kontrol perempuan pada umumnya terhadap sumber daya dan
meningkatkan manfaat yang diterima perempuan dari sumber daya
tersebut. Harapan berikutnya, perempuan di kelompok elit juga dapat
mempengaruhi persepsi dan pemikiran laki-laki dalam organisasinya
sehingga terbentuk kesadaran terhadap kesetaraan gender.

2.

M enyusun peraturan daerah tentang keterwakilan perempuan dalam
setiap kelembagaan masyarakat di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Selama ini, kaum perempuan memang dilibatkan dalam banyak
kegiatan di tingkat kelurahan maupun kecamatan, seperti musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang). Namun demikian, dalam
kegiatan-kegiatan tersebut, perempuan cenderung hanya sebagai
pelengkap daftar hadir.

3.

M ensyaratkan penggunaan teknologi dan sistem kerja yang pro gender
terhadap investor baru maupun investor yang akan memperpanjang
ijin usahanya sehingga setiap pekerjaan dapat dilakukan secara sama
oleh laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, dalam
pengumuman lowongan kerja, tidak perlu lagi dicantumkan jenis
kelamin tertentu.

Aspek Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya turut membentuk kesenjangan gender
dalam masyarakat. Dalam aspek ini, beberapa strategi yang lebih
menekankan perhatian kepada masalah hubungan laki-laki dan perempuan
adalah sebagai berikut.
1.

130

M emberikan pelayanan konseling yang profesional kepada ibu rumah
tangga dan PSK agar kedua kelompok rentan ini dapat menghargai diri
dan hidupnya sama dengan mereka menghargai pasangannya.
Diharapkan, akan terbentuk kesadaran pada ibu rumah tangga dan
PSK tentang bagaimana kehidupan dan kesehatan mereka sangat
berharga sehingga setiap orang harus memperlakukan mereka secara
manusiawi.

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

2.

M emberikan pelayanan konseling dan mobile voluntary counseling
test (VCT) untuk memudahkan mereka yang ingin melakukan tes VCT
tetapi tidak tahu caranya.

3.

M eningkatkan pemahaman tentang HIV/AIDS secara komprehensif
melalui sosialisasi pada semua jenjang pendidikan dan masyarakat
(termasuk ibu rumah tangga dan PSK) terkait masalah penularan,
pencegahan, dan pendeteksian HIV/AIDS sejak dini. Pemahaman yang
salah di kalangan masyarakat akan menyebabkan penilaian yang tidak
benar kepada sesamanya yang telah terinfeksi HIV/AIDS.

4.

M emberikan pendampingan bagi ibu rumah tangga dan PSK yang
terinfeksi HIV/AIDS sehingga tidak menjadi sumber daya manusia
yang merasa inferior, putus asa, tetap percaya diri, berpikir positif, dan
tidak berpikir untuk secara sengaja menularkan HIV/AIDS kepada
orang lain.

5.

Pemantauan kesehatan PSK dan pelanggan. Pemantauan dapat
berbentuk pemeriksaan dan perawatan serta pengobatan kesehatan
PSK maupun pelanggan secara rutin. Saat ini, pemeriksaan kesehatan
secara rutin Kota Salatiga baru diberikan kepada PSK, namun belum
diberikan kepada pelanggan. Pemeriksaan ini menjadi media yang
tepat untuk mendeteksi keberadaan penyakit menular seksual (PM S).

6.

M eningkatkan dan memperluas sosialisasi penggunaan kondom
perempuan sebagai pengganti kondom laki-laki karena secara
fungsional
lebih
menguntungkan
perempuan
sebagaimana
rekomendasi W ulansari (2009).

7.

M eningkatkan pemahaman tentang hak atas kesehatan reproduksi di
kalangan masyarakat, khususnya pada kaum laki-laki. Pemahaman
tentang kesehatan reproduksi di kalangan laki-laki sangat diperlukan
agar mereka menghormati dan turut menjaga serta melindungi hakhak reproduksi perempuan selain hak-hak reproduksi mereka sendiri.
Perlu ditekankan bahwa apabila laki-laki melindungi dan menjaga
kesehatan reproduksinya, berarti dia juga melindungi dan menjaga
kesehatan reproduksi pasangannya, yang selanjutnya juga berarti
menjaga kesehatan generasi-generasi penerusnya.

131

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

Aspek Pendidikan
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam
menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati
hak-hak reproduksi diri sendiri maupun lawan jenis.
1.

M enerbitkan buku panduan pendidikan seks sejak dini untuk setiap
tahapan tumbuh kembang anak. Pemahaman seks yang benar dalam
setiap tahap tumbuh kembang anak, mencegah anak-anak mencari
informasi dari sumber yang tidak jelas. Dalam jangka panjang, setelah
remaja dan dewasa, mereka akan tahu dan paham tentang hak
reproduksinya serta bagaimana seharusnya menjaga, merawat, dan
menghormati organ reproduksinya.

2.

M engintegrasikan pendidikan tentang hak atas kesehatan reproduksi
dan kesetaraan gender dalam kurikulum pada semua jenjang
pendidikan.

3.

M eningkatkan kesadaran kaum perempuan maupun laki-laki bahwa
pekerjaan domestik bukanlah pekerjaan nonproduktif. Oleh karena itu,
ibu rumah tangga tidak perlu memberikan kompensasi atas sumber
daya yang diperoleh melalui suaminya.

4.

M emberi pembekalan kepada setiap pasangan yang akan menikah
tentang perlunya menghormati dan menjaga kesehatan reproduksi diri
sendiri dan pasangan.

Aspek Ekonomi
Ketidakberdayaan untuk mengakses sumber daya membuat
perempuan tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap laki-laki. Oleh
karenanya, pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi agar tidak
tergantung kepada laki-laki untuk mengakses sumber daya menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari upaya penanggulangan penyebaran
HIV/AIDS. Beberapa strategi yang perlu disusun aspek ekonomi adalah
sebagai berikut.
1.

132

Peningkatan kualitas tenaga kerja perempuan melalui pendidikan dan
pelatihan agar memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja
sehingga tenaga kerja perempuan tidak lagi dianggap sebagai tenaga
kerja pengganti yang murah.

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

2.

M embentuk kelompok usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi
yang pada gilirannya juga akan meningkatkan pendapatan.

3.

M enjalin kerja sama dengan masyarakat dunia usaha untuk kegiatan
pasca produksi hasil produksi ibu rumah tangga maupun (mantan) PSK
sekaligus mendorong penyusunan standar kualitas dan harganya,
sebagai awal untuk mengakses pasar.

4.

Penyediaan dana usaha dalam bentuk dana bergulir atau pinjaman
lunak perseorangan maupun kelompok usaha.

5.

Peningkatan investasi daerah dalam rangka penciptaan lapangan kerja
bagi masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Semakin banyak
tenaga kerja perempuan yang terserap di sektor formal maupun
informal, diharapkan semakin mengurangi jumlah perempuan yang
berprofesi PSK.

Penutup

Akar masalah atas ketidakberdayaan perempuan dalam melindungi
dirinya dari virus HIV/AIDS adalah keterbatasan mereka mengakses
sumber daya dan kungkungan budaya patriarkhi. Oleh karena itu,
pemberdayaan perempuan yang mengintegrasikan aspek politik, sosial
budaya, pendidikan, dan ekonomi mutlak diperlukan.
Pemberdayaan perempuan harus berorientasi kepada kesetaraan
gender, sehingga pemberdayaan perempuan tidak menekankan perhatian
kepada perempuan saja, melainkan kepada hubungan antara perempuan
dan laki-laki. Upaya pemberdayaan perempuan ini tidak cukup dengan
peran pemerintah saja. Pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat
luas, baik lembaga swadaya masyarakat, komunitas atau kelompok
masyarakat, perorangan, lembaga pendidikan, maupun dunia usaha.

Referensi
Chafetz, Janet Saltzman, 1990. Gender Equity: An Integrated Theory of Stability
and Change, Newbury Park: Sage Publication.
Dewi, Ika Nur Chaerani Tunggal, 2009, Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan
Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja di SMA Negeri 1

133

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII No. 2, 2013: 118-135

Baturraden dan SMA Negeri 1 Purwokerto, Thesis, Semarang: Magister
Promosi Kesehatan, Universitas Diponegoro.
Gamble,Sarah. 2010. Sebuah Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme,
Yogyakarta : Jalasutra
Hardisman, 2012. Peranan Pemberdayaan Perempuan dan Analisis Gender pada
Penentuan Kebijakan Pengentasan Malnutrisi Anak di Indonesia,
Universitas Andalas, http://garuda.dikti.go.id.
Hastuti dan Dyah Respati, 2009. Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Berbasis
Pemanfaatan Sumberdaya Perdesaan Upaya Pengentasan Kemiskinan di
Perdesaan (Studi di Lereng Merapi Daerah Istimewa Yogyakarta),
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri
Yogyakarta.
Hendrya, Pepi, tanpa tahun. Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), Dalam Perspektif Ketahanan Individu, Studi
Kasus Perempuan Korban KDRT Klien P2TP2A DKI Jakarta, Thesis,
Jakarta: Universitas Indonesia, http://garuda.dikti.go.id.
Hikmat, Harry. 2010. Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora
Utama
--------, dan Adimiharja, Kusnaka., 2006. Partisipatory Research Appraisal dalam
Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat, Bandung:Humaniora
Hubeis, Aida Vitayala S., Pendekatan Gender dan Pembangunan dalam
Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, IPB Press, Bogor, 2010
--------,Pemberdayaan Perempuan Dari Masa ke Masa, IPB Press, Bogor, 2010.
Iffe, Jum, 1995. Community Development: Creating Community Alternatives –
Vision, Analysis and Practice, Longman, Australia: Longman
Jones, PIP, 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Juliastuti, Nuraini, 2000. Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah,
Newsletter KUNCI, 8 September 2000, hlm. 4.
Kartasasmita, Ginanjar., 1996. Pembangunan untuk
Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta : CIDES.

Rakyat: Memadukan

Maimunah; Iskandar Nugraha; Diah Ariani A; dan Lina Puryanti, tanpa tahun.
Pemberdayaan Perempuan Lokal Dalam Penanggulangan Epidemi Virus
HIV/AIDS Di Propinsi Papua, Surabaya: Universitas Airlangga.
Martalalu, Bondan, 2011. Implementasi Pemberdayaan Perempuan melalui PNPNMD (Program Nasional PemberdayaanMasyarakat Mandiri Perdesaan) di

134

Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga

Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, Skripsi,
Semarang: Universitas Diponegoro, http://garuda.dikti.go.id.
Mosse, Julia Cleves, 2007. Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerja sama dengan Rifka Annisa W omen’s Crisis Centre, Cetakan V.
Nope, C.Y. Marselina, 005. Jerat Kapitalisme Atas Perempuan, Yogyakarta: Resists
Book
Nugroho, Riant, Dr., 2011. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan II.
Nurhidayati, Sri Endah, 1999. “Profil Kedudukan dan Peranan Perempuan di
Bidang Ekonomi, Kesehatan dan KB di Kabupaten Gresik,” Jurnal
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 31-42,
Surabaya: Universitas Airlangga.
Paulus Mujiran, 2012. Perempuan, Anak dan HIV/AIDS, Solopos.
Pocha, Sophia, 2010. Feminisme dan Gender dalam Gamble, Sarah. 2010. Sebuah
Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, Yogyakarta:
Jalasutra
Pranarka, AMW ., dan Onny S. Prijono, 1996. Pemberdayaan Konsep, Kebijakan
dan Implementasi, Jakarta:CSIS
Soekirno, Dewi Candraningrum, 2003. Menolak Universalisme ‘Perempuan’:
Perempuan Indonesia ‘bukan’ Perempuan Jawa, Jakarta.
W astutiningsih, Sri Peni, 2009. Model Pemberdayaan Perempuan Melalui
Penguatan Lembaga Lokal Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan Di
Kabupaten
Jember,
Yogyakarta:
Universitas
Gadjah
Mada,
http://garuda.dikti.go.id.
W ulansari, Suci, 2009. Kondom Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam
Kesehatan Reproduksi, Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59 (4),
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan
Kesehatan,Departemen Kesehatan RI.

135

Dokumen yang terkait