Edisi 7

Majalah

DAFTAR ISI
Edisi 7 | Oktober 2015

Dr. H. MUKHTAR ZAMZAMI, S.H., M.H.
Pedagang Asongan Jadi Hakim Agung
LAPORAN UTAMA:
Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia

INSPIRASI:
Prof. Dr. H. M. ATHO MUDZHAR, MSPD

PENGADILAN AGAMA BARABAI
Tonggak Sejarah Pengadilan Agama

DAFTAR ISI ......................................................................................
SALAM REDAKSI ...........................................................................
EDITORIAL ........................................................................................
LAPORAN UTAMA .........................................................................
TOKOH BICARA ..............................................................................

FENOMENAL ...................................................................................
PERADILANMANCANEGARA ..................................................
OPINI ....................................................................................................
WAWANCARA KHUSUS ...........................................................
TOKOH KITA .....................................................................................
INSPIRASI ..........................................................................................
PROGRAM PRIORITAS.................................................................
POSTUR ...............................................................................................
PA INSPIRATIF ................................................................................
KILAS PERISTIWA .........................................................................
AKTUAL .............................................................................................
KISAH NYATA .................................................................................
EKONOMI SYARIAH .....................................................................
JINAYAH ............................................................................................
RESENSI .............................................................................................
POJOK DIRJEN .................................................................................

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

1

2
3
4
27
28
34
44
53
58
63
66
69
71
76
80
84
87
90
93
95


1

SalamRedaksi

Dinamika Kita
Assalamu'alaikum wr. wb.
Apa lagi yang baru dan menarik dari Majalah Peradilan Agama?
Pertanyaan itu dilontarkan seorang pembaca setia majalah ini, beberapa waktu
lalu.
Selalu tidak mudah menjawab pertanyaan klise semacam itu. Lebih tidak mudah
lagi jika pertanyaan itu disempurnakan menjadi: apa yang baru, menarik dan
sekaligus penting?
Tiga hal itu--baru, menarik dan penting--memang sifat dasar yang melekat pada
tiap-tiap publikasi yang terbit secara berkala. Tak terkecuali majalah ini, yang
terbit berkala tiap empat bulan.
Kami tidak hendak menjawab pertanyaan itu di ruang yang terbatas ini. Kami
lebih suka mempersilakan para pembaca untuk membuat penilaian sendiri:
mana isi majalah ini yang baru, menarik dan penting. Mana pula yang mungkin
sudah usang, membosankan dan tidak berguna.

Pada edisi kali ini, kami menyuguhkan tema besar tentang pembaruan hukum
Islam dalam bidang keluarga. Relevansinya dengan tugas pokok peradilan
agama sungguh nyata. Yang kami olah dan sajikan tak cuma pengulangan dan
penambalan terhadap tulisan-tulisan serupa di berbagai buku dan jurnal. Kami
berjuang untuk menonjolkan sisi-sisi baru, atau setidak-tidaknya mengurai
persoalan lama dengan menggunakan perspektif baru yang menarik dan
penting.
Penerbitan majalah ini pada edisinya yang ketujuh didahului dengan diskusi
hukum berskala nasional. Pola serupa pernah kami pakai sebelumnya, namun
dalam beberapa edisi mutakhir, penerbitan majalah ini tidak disatupaketkan
dengan diskusi serupa. Tentu, ada pelbagai sebab yang melatarbelakanginya.
Kali ini kami menghadirkan pula wawancara khusus dengan Dirjen Badilag yang
pertama: Pak Wahyu Widiana. Ia peletak dasar fondasi keterbukaan informasi,
pembudayaan TI dan akses terhadap keadilan bagi kelompok-kelompok rentan
di peradilan agama.
Ada pula sajian-sajian lain dalam pelbagai rubrik yang kami yakini punya daya
pikat, sekaligus bernilai guna buat para pembaca. Seluruh suguhan itu
menunjukkan bahwa peradilan agama terus berdinamika.
Oya, kami Tim Redaksi juga berdinamika. Sebagian di antara kami menjalani
mutasi, sebagian lainnya dianugerahi promosi. Seperti bus, ada yang pindah

antarkota dalam provinsi; ada pula yang hijrah antarkota antarprovinsi.
Kami sadar betul, sumbangsih kami kepada institusi kita melalui majalah ini
masih tidak seberapa dibandingkan dengan sumbangsih Ibu-ibu dan Bapakbapak. Meski demikian, kami selalu berharap, sumbangsih kami yang kecil ini di
kemudian hari dapat menjadi noktah-noktah yang turut mewarnai cerahburamnya masa depan institusi kita.
Selamat membaca!

2

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

DEWAN PAKAR :
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum.
Dr. H. Ahmad Kamil, S.H., M.Hum.
Dr. H. Habiburrahman, S.H., M.Hum.
Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H. M.H.
Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H.
Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.M., M.H.
PENASEHAT :
Drs. H. Abdul Manaf, M.H.
PENANGGUNG JAWAB:

H. Tukiran, S.H., M.M.
REDAKTUR SENIOR :
Dr. H. Hasbi Hasan, S.H., M.H.
Dr. H. Fauzan, S.H., M.M., M.H.
Drs. H. Hidayatullah MS, M.H.
Drs. H. Abd. Ghoni, S.H., M.H.
Arief Gunawansyah, S.H., M.H.
H. Arjuna, S.H., M.H.
Dr. H. Abu Tholhah, M.Pd.
Asep Nursobah, S.Ag., M.H.
REDAKTUR PELAKSANA :
Achmad Cholil, S.Ag., LL..M.
EDITOR :
Rahmat Arijaya, S.Ag., M.Ag.
Hermansyah, S.HI.
Mahrus Abdurrahim, Lc., M.H.
Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag.
DEWAN REDAKSI :
Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.SI.
Dr. Sugiri Permana, M.H.

Achmad Fauzi, S.HI.
Ade Firman Fathony, S.HI., M.SI.
Alimuddin, S.HI., M.H.
Edi Hudiata, Lc., M.H.
M. Isna Wahyudi, S.HI. M.SI.
Mohammad M. Noor, S.Ag.
SEKRETARIAT :
Hirpan Hilmi, S.T.
DESAIN GRAFIS/FOTOGRAFER :
Ridwan Anwar, S.E.
Iwan Kartiwan, S.H.
SIRKULASI/DISTRIBUSI :
H. Dadang Syarif
Hendra Friza
DITERBITKAN OLEH:
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung RI
ISSN 2355-2476
ALAMAT REDAKSI:
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI lt.6

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 bypass
Cempaka Putih, Jakarta Pusat
Telp. (021) 290 79277; Fax. (021) 290 79211
Email: redaksi@badilag.net, majalah.badilag@gmail.com
www.badilag.net

Editorial

Hakim Peradilan Agama,
Pembaru Hukum Keluarga
di Indonesia

S

udah lebih dari empat dekade, UndangUndang Perkawinan (UU No. 1/1974) yang
dianggap sebagai titik awal reformasi hukum
keluarga (Islam) di Indonesia belum juga
diamandemen. Padahal sudah bisa dipastikan,
kondisi dan situasi masyarakat sekarang sudah
jauh berbeda dengan kondisi dan situasi saat

Undang-Undang tersebut disahkan.
Perubahan kondisi sosial masyarakat
Indonesia akibat semakin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi seiring
dengan pengaruh globalisasi dan reformasi di
berbagai bidang, meniscayakan kebutuhan adanya
norma hukum yang sesuai dengan perkembangan
zaman. Dan Undang-Undang ciptaan manusia yang
dibuat empat puluh tahun lalu memiliki
kemungkinan besar gagap dalam menyikapi
persoalan hukum yang datang di masa kini.
Akibatnya, akan semakin bermunculan
kekosongan hukum karena absennya normanorma hukum keluarga yang sesuai dengan
kebutuhan zaman. Sedangkan di sisi lain,
kebutuhan masyarakat terhadap solusi atas
persoalan hukum yang membelit mereka tidak
bisa ditunda lagi.
Jika dirunut ke belakang, usaha untuk
merevisi Undang-Undang Perkawinan sebenarnya
sudah beberapa kali dilakukan. Termasuk juga

revisi atas Kompilasi Hukum Islam (KHI). Akan
tetapi semua usaha itu menemui jalan buntu.
Usulan amandemen yang diajukan Pemerintah dan
DPR selalu saja gagal.
Sebagaimana kelahiran Undang Undang
Perkawinan pada tahun 1974 yang diiringi dengan
kontroversi dan pertentangan sengit dari berbagai

kelompok yang berbeda, usaha untuk
mengamandemen UU No. 1/1974 dan KHI sampai
sekarang selalu saja menuai kontroversi yang luas.
Alhasil, sejauh ini usaha pembaruan hukum
keluarga melalui legislasi terbukti gagal. Dan ke
depan, kita tidak bisa berharap banyak reformasi
hukum keluarga itu terwujud melalui Parlemen.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika terdapat
kekosongan hukum atas suatu persoalan hukum
keluarga di Peradilan Agama?
Di sinilah letak signifikannya peran hakim
Peradilan Agama dalam mereformasi hukum

keluarga di Indonesia. Jika dilihat berbagai
putusan dan penetapan yang dibuat oleh hakimhakim Peradilan Agama di seantero Indonesia,
banyak pembaruan hukum keluarga yang sudah
dilakukan.
Pembaruan hukum itu dilakukan para hakim
melalui proses judicial activism dengan metode
penemuan hukum, terobosan hukum maupun
penafsiran hukum. Mungkin saja banyak yang
belum menyadari proses pembaruan hukum
keluarga yang dilakukan institusi Peradilan Agama
selama ini. Tapi satu hal yang pasti, reformasi itu
terjadi hari per hari melalui proses penyelesaian
hukum keluarga yang kian hari makin kompleks.
Ke depan, hakim Peradilan Agama diharapkan
terus berani melakukan penemuan dan terobosan
hukum manakala aturan yang ada dirasa belum
memenuhi rasa keadilan bagi para pencari
keadilan khususnya dan masyarakat pada
umumnya. []

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

3

LAPORAN UTAMA

Mengenal Hukum
Keluarga Islam
Istilah hukum keluarga sejatinya pertama kali muncul dari sistem hukum yang
berlaku di Eropa dan memiliki pengaruh cukup kuat dalam proses kodifikasi hukum
di negara-negara berpenduduk Muslim.

4

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

LAPORAN UTAMA

H

ukum
keluarga
Islam
merupakan bidang hukum
Islam yang paling banyak
diterapkan secara luas dan langsung
oleh negara-negara Muslim di dunia,
termasuk Indonesia. Hukum keluarga
Islam telah menjadi dasar bagi
masyarakat Muslim selama berabadabad dan merepresentasikan bagian
paling pokok dari syari'ah (Schacht,
1982: 101).
Karena itu, perbincangan seputar
hukum keluarga dengan segala
dimensi kajiannya selalu menarik
untuk didiskusikan di kalangan
akademisi maupun praktisi hukum.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, misalnya, beberapa waktu lalu
(4/8/2015) menyelenggarakan
diskusi hukum bertema “Pembaruan
Hukum Keluarga di Indonesia”. Hadir
sebagai pembicara pakar sosiologi
hukum Islam Prof. Dr. H.M. Atho
Mudzhar, MA. Dalam pemaparannya
pembicara menyempitkan cakupan
bahasan pembaruan hukum keluarga
yang luas itu khusus mengenai hukum
perkawinan di Indonesia.
Latar belakang penyelenggaraan
diskusi hukum itu tidak terlepas dari
semakin kompleksnya persoalan
d a l a m l i n g k u p ke l u a r g a ya n g
menuntut adanya pembaruan hukum
keluarga sesuai kebutuhan zaman. Hal
ini sejalan dengan pendapat Eugen
Ehrlich dalam W. Friedman bahwa
pembaruan hukum keluarga
hendaknya menyesuaikan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (Friedman, 1953: 191).
Peradilan agama tentu memiliki
kepentingan mengawal arus
pembaruan ini karena tidak
dimungkiri pembaruan hukum Islam
di Indonesia yang paling dominan
salah satunya dilakukan melalui
putusan sebagai wujud ijtihad hakim.
Asal-usul istilah
Dalam berbagai literatur fikih klasik,
hampir tidak ditemukan adanya
nomenklatur hukum keluarga (alahwal al-syakhsyiyah-personal law),
meskipun bahasan-bahasan yang
menjadi isi dari istilah tersebut telah
dikemukakan. Hal ini menguatkan

dugaan bahwa istilah tersebut muncul
dari sistem hukum lain dan kemudian
dipergunakan dalam kodifikasi hukum
Islam.
Dugaan ini semakin kuat, ketika
diketahui istilah tersebut muncul di
masa ketika pengaruh Eropa cukup
kuat terhadap negara-negara Islam.
Menurut N.J. Coulson, pada abad ke-19
dan seterusnya, berlangsung kontak
yang semakin akrab antara peradaban
Islam dan Barat , sehingga
perkembangan hukum dipengaruhi
secara perlahan dan menjadi bahasan
dalam hukum Islam (C oulson,
1964:149).

Munculnya istilah hukum
keluarga di dunia Islam pertama kali
pada tahun 1893 ketika seorang hakim
terkemuka Mesir, Muhammad Qadri
Pasha mengkompilasi kaidah-kaidah
hukum keluarga dalam tulisannya
berjudul al-Ahkam al-Shar'iyyat fi alAhwal al-Syakhsyiyyat ala Mazhab alImam Abi Hanifa al-Nu'man. Kompilasi
ini memuat 646 pasal yang berisi
kaidah-kaidah hukum berdasarkan
mazhab Hanafi tentang perkawinan,
perceraian, mahar, larangan, wasiat
dan warisan (Odeh, 2004: 1101).
Menurut Joseph Schacht,
ko m p i l a s i
tersebut
b a nya k
dipengaruhi oleh formulasi dalam
tradisi Barat, khususnya dalam
penyusunan kaidah-kaidah hukum
dalam
bentuk
pasal-pasal,
sebagaimana juga terjadi dalam
kodifikasi Majallah al-Ahkam al-

Adliyah (Schacht, 1982 : 101).
Mengenai asal-usul al-Ahwal alSyakhsyiyyat, literatur Arab juga
mengakui bahwa istilah tersebut tidak
dikenal pada masa ulama terdahulu.
Istilah tersebut baru dikenal pada
abad ke-12 dan ke-13. Beberapa
pendapat ulama masyhur seperti
Ahmad Salamah, Muhammad Beltagi
Hasan, Muhammad Azmi Al Bakri dan
Wahbah Zuhaili, sebagaimana dikutip
situs Islamic Bank and Financial
Institution
Information
(www.ibisonline.net ), sebagaimana
berikut:

Belakangan, pada tahun 1917
Turki meresmikan undang-undang
hukum keluarga yang berjudul Qanun
Qarar al-huquq al-Ailah alusmaniyyah. Undang-undang ini
memuat 156 pasal tentang hukum
keluarga, minus ketentuan-ketentuan
mengenai kewarisan. Berbeda dengan
kompilasi Qadri Pasha yang berbasis
pada ketentuan hukum mazhab
Hanafi, undang-undang ini justru
bersifat lintas mazhab dengan
menggunakan prinsip tahayyur
(eclectic choice) sebagai pendekatan
keberanjakannya (Tahir Mahmood,
1995: 82). Meskipun undang-undang
ini tidak berlangsung lama, karena
pergolakan politik Turki, tetapi
memiliki kedudukan penting dalam
perkembangan hukum keluarga Islam
di dunia Islam lainnya.
Penggunaan terminologi hukum
keluarga (al-ahwal al-syakhsyiyahpersonal law) sebagaimana dimulai
oleh Muhammad Qadri Pasha tersebut
berlanjut pada serangkaian kodifikasi

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

5

LAPORAN UTAMA
hukum keluarga lainnya di berbagai
belahan dunia Islam, seperti di
Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, Irak
dan Pakistan.
Definisi dan ruang lingkup
R.
Subekti
(1987: 16)
mendefinisikan hukum keluarga
sebagai hukum yang mengatur ihwal
hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan,
perkawinan beserta hubungan dalam
lapangan hukum kekayaan antara
suami dan isteri, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian dan
curatele.
Dalam literatur Arab, Wahbah
Zuhaili melalui buku al-fiqh al-Islami
wa
Adillatuhu
(2001: 33),
mendefinisikan hukum keluarga atau
yang biasa dikenal dengan al-ahwal alsyakhshiyyah sebagai berikut:

Di situs Maktabah Syamilah
online, www.shamela.ws juga terdapat
pengertian mengenai al-ahwal alsyakhshiyyah yang dikutip dari Ahmad
Salamah (al-Ahwal Al-syakhshiyyah
lilmuwatinin ghairu la-muslimin),
sebagai berikut:

Munculnya istilah
hukum keluarga di dunia
Islam pertama kali
pada tahun 1893 ketika
seorang hakim
terkemuka Mesir,
Muhammad Qadri Pasha
mengkompilasi
kaidah-kaidah hukum
keluarga.
Ada pula yang menambahkan wakaf
dan perwalian dalam cakupannya.
Dalam kitab-kitab fikih klasik
dijumpai pembagian ruang lingkup
yang berbeda-beda sebagai bagian
dari bidang hukum keluarga. Salah
seorang ulama dari mazhab Maliki
yaitu Ibnu Jaza al-Maliki, misalnya,
memasukkan perkawinan dan
perceraian, wakaf, wasiat, dan fara'id
(pembagian harta pusaka) dalam
kelompok mu'amalah. Sedangkan
ulama' Syafi'iyah menjadikan hukum
keluarga sebagai bahasan tersendiri,
yakni munakahat. Bab ini terbagi
dalam empat bagian, yakni: ibadah
(hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah),
muamalah (hukum yang mengatur
hubungan sesama manusia di bidang
kebendaan dan pengalihannya),
munakahat (hukum yang mengatur
hubungan antar anggota keluarga),

Hukum keluarga Islam sejatinya
memiliki cakupan yang luas. Namun
para ahli di bidang hukum Islam
terutama di bidang hukum keluarga
m e m i l i k i p e rb e d a a n p e n d a p a t
terhadap ruang lingkup/cakupan
hukum keluarga Islam. Ada yang
berpendapat cakupan hukum keluarga
hanya tiga pokok bahasan:
perkawinan, perceraian dan warisan.

6

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

'uqubah (hukum tentang keselamatan,
jaminan jiwa dan harta benda, serta
urusan publik dan kenegaraan
(Nasution, 2010: 9)
Seorang ulama kontemporer,
Mustafa
Ahmad
al-Zarqa,
mengelompokkan fikih menjadi dua
bagian, yaitu ibadah dan muamalah.
Kemudian membagi lebih rinci lagi
menjadi tujuh kelompok, dan salah
satunya adalah hukum keluarga (alahwal al-syakhsiyah), yaitu hukum
perkawinan (nikah), perceraian (talak,
khuluk dll.), nasab, nafkah, wasiat, dan
waris. (al-Zarqa, t.t: 55-56).
Secara umum jika mengacu
kepada pandangan para ahli hukum
Islam, ruang lingkup hukum keluarga
(al-ahwal as-syakhsiyah), meliputi tata
cara meminang, syarat-syarat dan
rukun-rukun nikah, mahar, mahram,
nikah yang sah dan nikah tidak sah,
poligami, hak dan kewajiban suami
dan isteri, dan nafkah. Di samping itu,
meliputi perceraian, 'iddah, ruju',
hubungan anak dan orang tua,
pemeliharaan dan pendidikan anak
(hadhanah), subyek-subyek yang
berhubungan dengan kehidupan
rumah tangga, serta masalah waris
(Nasution, 2010: 13-14).
Setelah menilik berbagai
pendapat para ahli di bidang hukum
keluarga Islam mengenai ruang
lingkupnya, maka dapat disimpulkan
bahwa cakupan hukum keluarga Islam
meliputi: pertama, perkawinan yang
terdiri dari peminangan, syarat dan
rukun nikah, mahar, mahram dan

LAPORAN UTAMA
status nikah. Kedua, kehidupan rumah
tangga yang mencakup hak dan
kewajiban suami, isteri dan anak,
p o l i ga m i , d a n n a f ka h . Ke t i ga ,
perceraian atau proses penyelesaian
permasalahan dalam rumah tangga.
Keempat, hadhanah/pengasuhan
anak. Kelima, tentang penyelesaian
masalah harta setelah terjadinya
kematian yang meliputi waris, wasiat,
wakaf, dan transaksi penyerahan/
penerimaan lain.



Ada dua kompilasi
Hukum Islam yang populer
yang berhasil disusun oleh
pejabat Belanda, yaitu
Compendium van Clookwijck
dan Compendium Freijer.



Kodifikasi hukum keluarga Islam di
Indonesia
Pa s c a - e ra
ko l o n i a l i s m e ,
fenomena yang terjadi di negaranegara Muslim adalah kodifikasi
hukum Islam. Seperti di berbagai
negara Muslim lainnya, hukum
keluarga Islam di Indonesia juga
mengalami kodifikasi, yaitu
penyusunan materi hukum secara
sistematis ke dalam bentuk undangundang. Kodifikasi hukum keluarga
Islam di Indonesia bahkan terjadi
sejak masa penjajahan Belanda.
Ada dua kompilasi hukum Islam
yang populer yang berhasil disusun
oleh pejabat Belanda, yaitu
Compendium van Clookwijck, yang
dihasilkan atas usaha Clookwijck,
gubernur Sulawesi tahun 1752-1755,
dan Compendium Freijer yang proses
p e ny u s u n a n nya d i m u l a i s e j a k
gubernur jenderal Jacob Mossel tahun
1754 dan diproduksi oleh Freijer pada
1760, setelah berkonsultasi dengan
penghulu, ulama, dan tokoh-tokoh
masyarakat. Pada tahun 1750 juga
dibuat sebuah kompilasi hukum Islam
di Semarang yang diberi nama
Mogharraer (Nurlaelawati, 2010: 45).

Di era kemerdekaan, kodifikasi
hukum keluarga Islam mewujud
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1
Tahun 1991, yang terdiri dari tiga
buku, Buku I tentang Perkawinan,
Buku II tentang Kewarisan, dan Buku
III tentang Perwakafan.
Selain UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI, ada RUU Hukum Materiil
Peradilan Agama (HMPA) Bidang
Perkawinan yang telah diajukan ke
DPR untuk pembahasan pada tingkat
nasional, dan RUU HMPA Bidang
Kewarisan yang masih dalam
perumusan dan pengkajian oleh para
ahli hukum.
Kodifikasi merupakan ciri utama
di negara yang menganut tradisi
hukum sipil. Indonesia sebagai bekas
jajahan Belanda yang menganut
tradisi hukum sipil, cenderung untuk
mengikuti tradisi hukum sipil. Namun
demikian, tradisi hukum di Indonesia
juga mengakui sumber hukum di luar
undang-undang. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup
di masyarakat. Dalam praktik,
pembaruan hukum keluarga Islam di
bidang kewarisan Indonesia justru
lebih banyak dilakukan melalui
putusan hakim yang kemudian
menjadi yurisprudensi. Lantas
bagaimana gambaran dinamika

pembaruan hukum keluarga di
negara-negara Muslim lainnya?
|Achmad Fauzi, M. Isna Wahyudi, Edi Hudiata, M. Noor,
Ahmad Zaenal Fanani |

Daftar Pustaka:
Coulson, N. J., A History of Islamic Law,
Edinburg: Edinburg University
Press, 1964.
Friedman W., Legal Theory, Terjemah
Muhammad Arifin dengan judul
Teori dan Filsafat Hukum. Cet. II.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994.
Mahmood, Tahir, Statutes Personal Law in
Islamic Countries (History, Texs and
Comparative Analysis), New Delhi :
Academi of Law and Religion, 1995.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan
Pe m i k i r a n H u k u m Ke l u a r g a
(Perdata) Islam Indonesia,
Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA,
2010.
Nurlaelawati, Euis, Modernization,
Tradition, and Identity: The
Kompilasi Hukum Islam and Legal
Practice in the Indonesian Religious
Courts, Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2010.
Odeh, Lama Abu, Modernizing Muslim
Family Law: The Case of Egypt
dalam Vanderbilt Journal of
Transnational Law, Vol. 37, 2004.
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic
Law, Clarendon: Oxford University
Press, 1982.
Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Jakarta: PT Intermasa, cet. XXI,
1987.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr alMu'ashir, 2001.
www.ibisonline.net

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

7

LAPORAN UTAMA

Sejarah & Reformasi
Hukum Keluarga Islam
di Dunia

M

odernisasi hukum keluarga di
dunia Islam yang meliputi
aspek
perkawinan,
perceraian, dan waris secara
fenomenal telah dimulai sejak awal
abad 20 (John L. Esposito: 2001, 5156). Secara umum, pembaruan
tersebut dilakukan dengan
memodifikasi hukum fiqh yang telah
berabad-abad diterapkan. Tahir
Mahmood mengistilahkan hal ini

8

dengan point of departure (titik
keberanjakan) dari fiqh konvensional
(klasik) ke perundang-undangan
modern.
Pembaruan hukum keluarga yang
paling awal di dunia Muslim terjadi di
Turki ketika diterbitkannya Ottoman
Law 1917. Turki melakukan modifikasi hukum keluarga dengan
mengadopsi hukum-hukum Barat
sehingga Turki lebih mirip dengan

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

negara-negara Eropa. Karakeristik
sekuler terpatri dalam konstitusi di
Turki. Pembuat hukum di Turki tidak
berusaha menjustifikasi pembaruan
hukum dengan bergantung pada fiqh
klasik. Ini berbeda dengan kebanyakan negara Muslim yang tetap
menjadikan fiqh klasik sebagai
sumber hukum yang relevan untuk
diterapkan.

LAPORAN UTAMA
Kehadiran Undang-Undang
Hukum Keluarga Turki: Ottoman Law
of Family Right (Qanun Qarar alHuquq al-'A'ilah al-Utsmaniyyah) pada
tahun 1917 menjadi pemantik
gerakan pembaruan dan modernisasi
hukum keluarga di negara-negara
Muslim lainnya. (Tahir Mahmood:
1972, 115-116). Negara-negara yang
sebelumnya berada dibawah
kekuasaan kerajaan Turki Utsmani
yang kemudian memerdekakan diri,
seperti: Libanon
yang
juga
mengadopsi hukum yang sama
(1919). Negara-negara lain yang juga
m e lakukan p e m bar uan h ukum
keluarga adalah Mesir (Law of
Maintenance and Personal Status/
Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah wa
jinayah,1920), Yordania (Jordanian
Law of Family Right, 1951), Syiria
(Syirian Law of Personal Status, 1953),
Maroko (Family Law of Marocco,
1957), Pakistan (Family Law of
Pakistan, 1955), Irak (Law of Personal
Status for Iraq, 1955), Tunisia (Code of
Personal Status, 1957), Sudan (Sudan
Family Law, 1960), Malaysia (Undangundang Perkawinan Masing-Masing
Negeri, dimulai tahun 1983).

Pembaruan hukum
keluarga Islam di dunia
muslim dapat dikategorikan
dalam dua model:
intra-doctriner reform dan
extra-doctrinal reform.

Pembaruan hukum Islam di
negara Muslim tampak unik dalam tiga
kategori negara-negara Muslim.
Pertama, beberapa negara yang sama
sekali tidak melakukan reformasi
hukum Islam dan tetap mengaplikasi-

kan hukum yang ada dalam kitab-kitab
fiqh sesuai dengan mazhab yang
mereka anut. Negara yang termasuk
dalam kategori ini adalah Saudi Arabia
(Qatar dan Bahrain, Yaman, dan
Oman). Kedua, beberapa negara yang
meninggalkan hukum Islam dan
menggantikannya dengan hukum
sekuler yang biasa diterapkan di
Eropa. Turki, Somalia, albania adalah
negara dalam ketegori ini. Ketiga,
beberapa negara yang mereformasi
hukum Islam dengan mengkombinasikannya dengan hukum
sekuler.Negara yang termasuk dalam
kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq,
Syiria, Indonesia dan lainnya.
(Anderson, 1975:82-91).
Metode Pembaruan
Melanjutkan
pemikiran
Mohammad Atho Mudzhar dan
Muhammad Amin Suma, Ahmad
Tholabie Kharlie (2013 : 8-9)
m e r u m u s k a n b a h wa d a r i s i s i
substansi reformasi, pembaruan
hukum keluarga Islam di dunia muslim
dapat dikategorikan dalam dua model:
Pertama, intra-doctriner reform, yakni
reformasi yang dilakukan dengan cara
menggabungkan aneka pendapat
mazhab utama dan pada saat yang
sama mengambil pendapat di luar
mazhab utama, banyak ditemukan di
sebagian besar negeri muslim, seperti
Turki meskipun mazhab Hanafi
menjadi mazhab utama, namun
beberapa aspek hukum keluarga
mengadopsi di luar mazhab Hanafi.
Demikian pula Indonesia dan Mesir,
dalam beberapa hal keluar dari
mazhab Syafi'i.
Kedua, extra-doctrinal reform,
yakni pembaruan hukum dengan cara
memberikan penafsiran yang sama
sekali baru terhadap nash yang ada.
Penerapan hukum sipil Barat oleh
Turki diklaim oleh sarjana Turki
bukan sebagai penyimpangan dari
hukum keluarga Islam, melainkan
sebagai bentuk tafsir baru dari teks
suci hukum Islam. Demikian pula
aturan-aturan yang berkenaan dengan
kriminalisasi hukum keluarga, seperti

di Tunisia dinyatakan sebagai bentuk
inovasi dalam penafsiran.
Kajian yang dilakukan oleh
Khoiruddin, ada lima metode yang
digunakan untuk melakukan
pembaruan hukum keluarga di dunia
Muslim yaitu: (1) takhayyur, (2) talfiq,
(3) takhsis, (4). siyasah syar'iyah, dan
(5). reinterpretasi nash.
Strategi takhayyur lebih
ditekankan pada pemilihan aturan
yang cocok dari pada hanya mengikuti
aliran hukum tertentu.Strategi ini
digunakan pada hukum keluarga
Mesir tahun 1920 dan 1929. Di Mesir,
wanita dapat mengajukan gugatan
cerai ke pengadilan dan pengadilan
dapat mengabulkan gugatan tersebut
tanpa adanya izin dari suami. Umum
dalam mazhab fiqh klasik, suami dapat
menceraikan istrinya secara sepihak
kapanpun ia inginkan dengan alasan
apapun. Sementara, berkenaan
dengan hak istri mengajukan
perceraian dimana suaminya tidak
menginginkan perceraian, tidak
dijumpai pada semua mazhab fiqh.
Dalam mazhab Hanafi yang menjadi
mazhab resmi di Mesir waktu itu,
wanita tidak dapat mengajukan
perceraian dengan alasan telah
diabaikan suaminya. Sementara dalam
mazhab Maliki, wanita dapat
mengajukan perceraian dengan alasan
pengabaian suami, kurangnya nafkah,
dan kekerasan yang dilakukan suami.
Di negara-negara Muslim Sunni,
metode takhayyur ini bisa dilakukan
dengan beberapa alternatif. Pertama,
meninggalkan aturan yang ada dan
mencari pendapat alternatif yang ada
dalam satu tradisi mazhab yang sama.
Ini dilakukan dengan meninggalkan
pendapat dominan dan beralih kepada
pendapat yang tidak populer dalam
satu mazhab. Kedua, Jika cara pertama
tidak dapat dilakukan, takhayyur
dilanjutkan dengan mencari
pandangan yang berkembang dan
populer dalam mazhab sunni
(ortodoks). Ketiga, jika cara kedua
tidak dapat dilakukan, maka
dilanjutkan dengan mencari pendapat
dari mazhab sunni yang tidak populer.

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

9

LAPORAN UTAMA

Keempat, jika tidak menemukan
pendapat seperti dalam cara ketiga,
maka pencarian hukum dilanjutkan
dengan melihat pendapat fuqaha'
khalaf. Kelima, jika semua cara
tersebut tidak dapat dilakukan, maka
pencarian hukum dilakukan dengan
mengadopsi aturan hukum yang
berkembang dalam tradisi Syi'ah
(Anderson, 1976:51).
Talfiq dilakukan dengan
mengambil dua atau lebih aturan dari
mazhab hukum yang berbeda lalu
dibuat sebuah aturan hybrid
baru.Dalam beberapa pandangan usul
fiqh, metode ini tidak kenal bahkan
tidak diperbolehkan.
Metode talfiq dilakukan dengan
menggabungkan beberapa pendapat
dalam satu ketentuan. Ini dapat dilihat
dalam Edaran Hukum Sudan No.49
Tahun 1939 mengenai bagian waris
untuk saudara/saudari kandung atau
seibu jika bersama dengan kakek dari
garis ayah. Surat edaran ini lebih
memilih untuk memberikan hak waris
kepada saudara/ saudari tersebut
bersama dengan kakek dengan
mengadopsi pendapat Abu Yusuf, alSyaibani danulama Syafi'iyah dan
malikiyah sesuai dengan prinsip Zaid
bin Tsabit. Contoh talfiq yang lain
mengenai aturan waris Muslim dan
non Muslim di Mesir. Muslim tidak
mewarisi dari non Muslim dan
sebaliknya. Tetapi non Muslim boleh
saling mewarisi. Sedangkan
perbedaan negara tidak menjadi
penghalang untuk mewarisi, kecuali
jika negara (asing) tersebut membuat

10

peraturan demikian. Aturan ini
merupakan penggabungan beberapa
pendapat yang
berkembang
dikalangan sunni (Ibid.,1976:48-49).
Demikian juga aturan mengenai radd
untuk pasangan (suami/isteri)
dalamaturan hukum Tunisia tahun
1956.

Pembaruan hukum keluarga
mayoritas nyaris bertujuan
untuk 'meningkatkan status'
perempuan dalam
segala aspek kehidupan
dan hukum keluarga.

Takhshîshal-qadlâ adalah hak negara
membatasi kewenangan peradilan
baik dari segi orang, wilayah,
yurisdiksi, dan hukum acara yang
diterapkan (Anderson, 1971:4,12-13).
Negara dapat mengambil kebijaksanaan dan prosedural untuk membatasi
peradilan agar tidak menerapkan
ketentuan hukum keluarga dalam
situasi tertentu, tanpa bermaksud
mengubah substansi hukum Islam
tersebut dan bertujuan untuk
kemaslahatan umat.
Siyâsah syar'îyah adalah
kebijakan penguasa (ruler/uli alamr)menerapkan peraturan yang

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

bermanfaat bagi rakyat dan tidak
bertentangan dengan syari'ah. Namun
ada juga peneliti yang menyebut
takhshîsh al-qadlâ atau siyâsah
syar'îyah dengan penetapan
menggunakan administrasi. Sebab
penetapan penguasa dan pembatasan
kewenangan peradilan umumnya
terjadi dalam administrasi.
Hak penguasa(ruler/uli al-amr)
membatasi menerapkan peraturan
yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak
bertentangan dengan syari'ah ini
(takhshîsh al-qadlâ dan siyâsah
syar'îyah) sejalan dengan apa yang
telah dirumuskan ulama ushulal fiqh
dalamqaidahfiqhiyah,
Sedangkan maksud reinterpretasi nash (penafsiran ulang
terhadap nash) adalah melakukan
penafsiran/pemahaman ulang
terhadap nash (al-qur'an dan sunnah
nabi Muhammad SAW). Adapun dasar
pertimbangan yang digunakan dalam
menggunakan metode- metode
tersebut di atas ada minimal dua (2),
yakni: (1) mashlahah mursalah, dan
(2) konsep yang lebih sejalan dengan
tuntutan dan perubahan zaman.
Bila dilihat dari polanya, ada satu
hal yang dapat digaris bawahi, bahwa
pembaruan hukum keluarga
mayoritas nyaris bertujuan untuk
'meningkatkan status' perempuan
dalam segala aspek kehidupan dan
hukum keluarga. Meski tujuan ini tidak
disebutkan secara eksplisit, tapi
terlihat dari materi hukum yang
dirumuskan bahwa undang-undang
seputar hukum keluarga yang dibuat
(umumnya) merespon sejumlah
tuntutan status dan kedudukan
perempuan yang lebih adil dan setara.
Ambil contoh Undang-undang
Perkawinan Indonesia jelas
menggulirkan tujuan tersebut.
Tujuan lain yang dimiliki negaranegara Islam dalam memperbarui
hukum keluarga adalah unifikasi
hukum, karena masyarakatnya
menganut bermacam-macam mazhab
atau bahkan agama yang berbedabeda. Sehingga upaya unifikasi hukum
perkawinan ditujukan untuk semua
warga negara tanpa memandang
perbedaan madzhab/aliran/agama.

LAPORAN UTAMA
Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam undang-undang keluarga di
negara-negara Muslim, menurut
Thahir Mahmood ada tiga belas aspek,
yaitu batasan umur minimal boleh
kawin, pembatasan peran wali dalam
perkawinan, pembatasan kebolehan
poligami,
nafkah
ke l u a r g a ,
pembatasan hak cerai suami, hak-hak
dan kewajiban para pihak karena
perceraian, masa kehamilan dan
implikasinya, hak wali orang tua, hak
waris keluarga dekat, wasiat wajibah
dan pengelolaan zakat.
Beberapa Aspek Pembaruan
Ada beberapa aspek pembaharuan
hukum Islam yang dilakukan di
negara-negara Islam, diantaranya:
1. Batasan Umur Minimal Boleh
Kawin
Di Tunisia, umur minimal
perkawinan 20 tahun untuk laki-laki
dan 17 tahun untuk perempuan).Syria
tidak hanya mengatur usia minimal
pernikahan, tetapi juga mengatur
selisih umur antara kedua calon
mempelai yang akan menikah. Jika
perbedaan usia di antara keduanya
terlalu jauh, maka pengadilan dapat
melarang terjadinya pernikahan. Ini
adalah salah satu aturan yang dinilai
sangat maju dalam hukum keluarga
Syria.
Maroko juga menetapkan batas
usia minimum pernikahan bagi lakilaki dan perempuan adalah sama, 18
tahun (sebelumnya perempuan 15
tahun, laki-laki 17 tahun). Itu berarti
pernikahan dini juga dapat ditekan.
Salah satu pembaruan hukum
keluarga Yordania yang unik adalah
tentang
pembatasan
umur
perkawinan. Selain batas umur
minimal menikah 16 tahun (laki-laki)
dan 15 tahun (perempuan),
dinyatakan juga bahwa jika selisih
umur pasangan itu 20 tahun atau lebih
sementara calon istri belum berumur
30 tahun maka perkawinan itu harus
mendapat izin khusus dari pengadilan.
Pakistan juga melarang
seseorang kawin dengan seseorang di
bawah umur (Child Marriage), yaitu
jika salah satu pasangannya berumur
kurang dari 18 tahun bagi laki-laki dan

kurang dari 16 tahun bagi perempuan.
Jika seseorang laki-laki mengawini
seorang perempuan berumur di
bawah 16 tahun diancam dengan
hukuman penjara paling lama satu
bulan dan atau denda paling banyak
1000 Rupees. Kemudian bagi mereka
yang memimpin pelaksanaan atau
mengarahkan terlaksananya Child
Marriage itu diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya
satu bulan dan atau denda paling
banyak 1000 Rupees.
2. Pembatasan Kebolehan
Poligami
Ada dua hal yang menonjol
dalam pembaruan hukum keluarga di
Tunisia, yaitu keharusan perceraian di
pengadilan dan larangan poligami
secara mutlak.
Poligami dilarang sama sekali
dan bagi pelanggarnya diancam denda
240 ribu Frank Tunisia dan penjara
satu tahun (Pasal 18 UU Status
Pribadi/Code of Personal Status tahun
1956). Demikian juga diberikan
ancaman hukuman yang sama bagi
perempuan yang melakukan
perkawinan lagi, sedangkan ia masih
berstatus sebagai istri orang lain.
Tunisia berpendapat bahwa institusi
perbudakan dan poligami dalam
masyarakat Islam hanya berlaku pada
awal Islam. Dan juga, “keadilan”
sebagai prasyarat poligami hanya
dapat dipenuhi oleh Nabi Muhammad
saw.
Tidak berbeda dari Tunisia,
salah satu hal progress yang ada dalam
UU sipil Turki/1926 adalah tentang
pelarangan poligami secara mutlak.
Bahkan sebelum Tunisia, Turki telah
lebih dulu menggulirkan hal tersebut.
D i M e s i r, Po l i ga m i h a nya
dibolehkan jika mendapatkan izin
istri, sebagaimana yang terjadi di
Indonesia. Di samping itu, hukum
keluarga Mesir juga memberikan
ancaman sanksi kepada orang yang
memberi pengakuan palsu tentang
status perkawinan atau alamat istri
atau para istri yang dicerai. Pegawai
pencatat perkawinan yang lalai atau
gagal melakukan tugasnya juga dapat
dihukum dengan hukuman penjara
maksimal satu bulan dan hukuman

Tujuan lain yang dimiliki
negara-negara Islam dalam
memperbarui hukum keluarga
adalah unifikasi hukum,
karena masyarakatnya
menganut bermacam-macam
mazhab atau bahkan agama
yang berbeda-beda.

denda maksimal 50 pound Mesir; serta
pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.
Kebijakan ini tampaknya bisa
menghambat terjadinya “pernikahan
liar” atau pernikahan yang tidak
dicatatkan; baik yang dilakukan dalam
rangka nikah sirri, kawin kontrak,
ataupun perkawinan poligami yang
dilakukan tanpa seizin istri.
Di Irak, adapun tentang
poligami, hukum berpoligami tanpa
izin pengadilan maka nikahnya fasid,
dan istri dapat menggugat cerai
suaminya dengan alasan “suami
berpoligami tanpa izin pengadilan”.
Jika sang suami telah mendapatkan
izin pengadilan, maka suami wajib
menyediakan rumah untuk masingmasing istrinya.
Di Pakistan, poligami juga bisa
dilakukan namun harus dengan izin
pengadilan dan izin istri pertama.
Apabila melakukan poligami tanpa
izin maka wajib segera melunasi
seluruh maharnya dan, atas laporan
dari pihak istri, diancam dengan
hukuman penjara paling lama setahun
dan atau denda 5000 Rupees.
Di Malaysia, seorang pria yang
melaksanakan poligami/menikah lagi
tanpa izin tertulis dari pengadilan
akan dijatuhi hukuman denda
maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara
maksimal 6 bulan; atau dijatuhi
hukuman keduanya sekaligus (Pasal
123 UU Hukum Keluarga Islam
[Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun
1984).

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

11

LAPORAN UTAMA
Dasar
pertimbangan
pengadilan untuk memberikan izin
p o l i ga m i
berkaitan
d e n ga n
kondisi/prilaku istri dan suami. Dari
sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2)
Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari
segi jasmani untuk bersetubuh; 4)
Sengaja tidak mau memulihkan hakhak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/
gila. Sedangkan pertimbangan pada
sudut suami adalah: 1) Mampu secara
ekonomi untuk menanggung istri-istri
dan anak keturunan, 2) Mampu
berlaku adil kepada para istri 3)
Perkawinan itu tidak menyebabkan
maqashid as-syar'iah (bahaya bagi
agama, nyawa, badan, akal pikiran atau
harta benda) istri yang telah lebih
dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu
tidak akan menyebabkan turunnya
martabat istri-istri atau orang-orang
yang terkait dengan perkawinan,
langsung atau tidak berdasarkan
(Pasal 23 ayat (4) UU Hukum Keluarga
Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU
304) tahun 1984).
3. Perceraian di Luar Pengadilan
Mayoritas negara-negara Islam
melarang perceraian yang terjadi di
luar pengadilan (extra judicial
divorce). Pengucapan talak di depan
pengadilan baru dapat dilakukan
setelah pengadilan melakukan
pemeriksaan secara seksama dan
gagal mendamaikan pasangan suami
istri itu.
Beberapa negara, seperti Syiria,
juga memberikan hak kepada istri
untuk mengajukan gugatan cerai
kepada suaminya karena beberapa
sebab:
a. Suami menderita penyakit yang
dapat menghalangi untuk
hidup bersama;
b. Penyakit gila dari suami;
c. Suami meninggalkan istri atau
dipenjara lebih dari tiga tahun;
d. S u a m i
d i a n g ga p
ga ga l
memberikan nafkah;
e. Penganiayaan suami terhadap
istri.

Pakistan tercatat sebagai negara yang
menerapkan pidana ba gi para
pelanggarnya. Di Yordania, apabila
pernikahan tidak dicatatkan kepada
kantor atau petugas yang berwenang
maka orang yang memimpin
pelaksanaan akad nikah itu dan para
pihak yang melakukan akad nikah
serta para saksinya diancam dengan
hukuman kurungan badan antara satu
sampai dengan enam bulan dan denda
tidak lebih dari 100 Dinar Yordania.
(Pasal 17 ayat (3) Law of Family Rights)
Sebaliknya, pada Pasal 17 ayat
(4) disebutkan bahwa Petugas
Pencatatan Perkawinan yang tidak
mencatat secara resmi suatu akad
nikah yang telah berlangsung secara
sah dan telah membayar uang
pendaftaran sesuai persyaratan dan
ketentuan yang ada, diancam dengan
hukuman sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Yordania Pasal 279 yaitu kurungan
badan antara satu sampai enam bulan
dan denda tidak lebih dari 100 Dinar
Yordania serta diberhentikan dari
jabatannya.
Sedangkan di Pakistan,
kegagalan para pihak yang melakukan
p e r k aw i n a n u n t u k m e l a ku k a n
pencatatan diancam dengan hukuman
kurungan badan paling lama tiga bulan
dan denda paling banyak 1000 Rupees
(Pasal 5 Muslim Family Law Ordinance
(MFLO) tahun 1961).
Di Malaysia (Negara Bagian
Perak), penduduk atau warga Negeri
Perak yang melakukan akad nikah di
luar Negeri Perak dalam waktu enam

4. Pencatatan Pernikahan
Meskipun mayoritas negaranegara Islam mewajibkan pencatatan
perkawinan, namun Yordania dan

12

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

bulan sejak akad nikah itu tidak
mencatatkan
p e r k aw i n a n nya
dihadapan Pejabat (Kantor)
Pendaftar Perkahwinan, Perceraian,
dan Rujuk Orang Islam terdekat atau
perwakilannya di luar negeri maka ia
diancam dengan hukuman denda
1000 Ringgit Maslaysia dan atau
penjara paling lama enam bulan (UU
Keluarga Islam tahun 1984, Pasal 33).

Meskipun mayoritas
negara-negara Islam
mewajibkan pencatatan
perkawinan, namun
Yordania dan Pakistan
tercatat sebagai negara
yang menerapkan pidana
bagi para pelanggarnya.

LAPORAN UTAMA

Brunei Darussalam,
memberikan ancaman
terhadap setiap orang yang
memaksa seseorang untuk
kawin dengan seseorang
yang lain atau melarang
seseorang untuk tidak kawin
dengan seseorang yang lain
dengan hukuman denda
sebesar 2000 Ringgit Brunei
dan atau penjara paling
lama enam bulan.
Brunei Darussalam melakukan
pendekatan lain: Suatu akad nikah
hanya boleh dilangsungkan dengan
dipimpin oleh orang yang diangkat
oleh Sultan dan yang Di-Pertuan dan
diberi kewenangan untuk memimpin
pelaksanaan akad nikah. Kemudian
pada ayat (2) dikatakan bahwa tidak
boleh ada akad nikah dilaksanakan
sebelum mendapat izin dari Petugas
Pencatat Perkahwinan dari distrik di
mana calon mempelai bertempat
tinggal. Lalu pada ayat (3) dikatakan
bahwa wali dapat memimpin akad
nikah hanya dihadapan Petugas
Pencatat Nikah (Jurunikah) yang
berwenang, setelah perempuan yang
akan dinikahkan itu memberikan
persetujuannya (UU Hukum Keluarga
Brunei tahun 2000, Pasal 8).
Selanjutnya, pada Pasal 37 dikatakan
bahwa barangsiapa memimpin
upacara akad nikah sedangkan ia tidak

mempunyai kewenangan dari Sultan
untuk itu maka ia diancam dengan
denda sebesar 2000 Ringgit dan atau
penjara paling lama enam bulan.
5. Hak Asuh Anak
Irak tercatat sebagai salah satu
n e ga ra ya n g m e m b e r i ka n h a k
istimewa kepada perempuan untuk
mengasuh dan mendidik anak selama
perkawinan berlangsung dan begitu
juga setelah perceraian, dengan
catatan tidak berbuat aniaya terhadap
anak, sehat, dapat dipercaya, dan
mampu bertanggung jawab dan
melindungi anaknya, dan juga belum
menikah lagi dengan laki-laki lain.
6. Perjanjian Perkawinan
Praktek pembuatan perjanjian
seperti ini sekarang sudah umum
diberlakukan di Negara-negara
Muslim, biasanya terkait kesepakatan
percampuran atau pemisahan harta
dan penjaminan kesetaraan derajat
wanita. Di sementara Negara isi
perjanjian seperti itu boleh menyebut
misalnya bahwa selama perkawinan
itu masih berlangsung maka si suami
tidak boleh melakukan poligami dan
pelanggaran terhadap itu otomatis
menyebabkan perceraian melalui
pengadilan. Penegasan seperti ini
mungkin perlu dilakukan karena janji
untuk tidak berpoligami itu dapat
diperdebatkan apakah
telah
melanggar batas-batas hukum, agama
dan kesusilaan sebagaimana di atur di
atas.
7. Pembatalan Perkawinan
Malaysia (Negara Bagian Perak
m i s a l nya )
m e n ga t u r
b a hwa
barangsiapa memaksa orang lain
dengan kekerasan untuk melakukan

akad nikah dengan seseorang atau
melarang orang lain untuk tidak
melakukan akad nikah dengan
seseorang sedangkan diantara para
pihak yang akan berakad-nikah itu
tidak ada penghalang sesuai hukum
yang berlaku maka ia diancam dengan
hukuman denda paling besar 1000
Ringgit Malaysia dan atau penjara
tidak lebih dari enam bulan. (Pasal 35
UU Keluarga Islam).
Pun
demikian
Brunei
Darussalam, memberikan ancaman
terhadap setiap orang yang memaksa
seseorang untuk kawin dengan
seseorang yang lain atau melarang
seseorang untuk tidak kawin dengan
seseorang yang lain sedangkan antara
pasangan itu tidak ada halangan
hukum apa pun dan mereka telah
memnuhi batas usia minimal kawin
maka orang yang memaksa tersebut
diancam dengan hukuman denda
sebesar 2000 Ringgit Brunei dan atau
penjara paling lama enam bulan. (UU
Hukum Keluarga tahun 2000, Pasal
35).
*****
Selain hal-hal tersebut diatas,
masih banyak hal lain yang
mendapatkan aspek pembaharuan
hukum di negara-negara Islam,
misalnya Pembatasan Peran Wali
Dalam Perkawinan, Pembatasan Hak
Cerai Suami, Hak-Hak Dan Kewajiban
Para Pihak Karena Perceraian, Hak
Waris Keluarga Dekat, dan Wasiat
Wajibah.
Tampaknya bentuk dan materi
hukum perkawinan secara khusus dan
hukum keluarga secara umum sangat
bervariasi antara satu negara dengan
negara Islam (atau negara dengan
mayoritas penduduk muslim) lainnya.
Walaupun begitu, dapat disimak
beberapa konsep dasar dari
pembaruan hukum keluarga yang
dilakukan oleh negara-negara Islam
yang telah disebutkan diatas,
diantaranya:
1. Pembaruan hukum dilakukan baik
terhadap substansi hukumnya
maupun penambahan pencantuman sanksi bagi pelanggarnya.

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

13

LAPORAN UTAMA
2. Pembaruan hukum hanya
difokuskan pada penambahan dan
pencantuman ancaman sanksi atas
pelanggaran terhadap berbagai
pengaturan yang ada dalam UU itu,
sedangkan substansi dibiarkan
sebagaimana adanya untuk
menghindari resistensi yang
terlalu keras.
3. Pembaruan hukum dilakukan
seminimal mungkin dan terhadap
beberapa pasal saja seperti batas
usia minimal kawin, sedangkan
focus pembaruan diletakkan pada
penambahan ancaman sanksi atas
pelanggaran terhadap berbagai
pengaturan yang ada di dalamnya.

Sebagai catatan akhir, Musdah
Mulia dalam Menuju Hukum
Perkawinan
Ya n g
Adil:
M e m b e rd a y a ka n
Pe re m p u a n
Indonesia, (Jakarta, 2006) memberikan tiga penekanan penting:
1. Upaya pembaruan hukum keluarga
di negara-negara Islam selalu
mendapatkan tantangan dari
kelompok Islam tradisional dan
f und ame ntal
yang
s e la lu
mempertahankan status quo.
2. Pembaruan hukum keluarga
tersebut selalu berujung pada
kelahiran undang-undang baru
yang materinya berbeda dengan
ketentuan hukum sebagaimana
yang terdapat dalam kitab-kitab

fiqh klasik.
3. Pembaruan hukum keluarga yang
dilakukan oleh negara-negara
Islam (maupun mayoritas/
minoritas penduduk muslim),
semuanya termotivasi oleh hal
yang sama yaitu membangun
masyarakat sipil yang berkualitas
dan
beradab,
sekaligus
memperbaiki
status
dan
kedudukan perempuan serta
melindungi anak-anak.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana
dengan Indonesia?
|Rahmat Arijaya, Ade Firman Fathony, Alimuddin|

Daftar Pustaka:
Abdurrahman Adi Saputera, “SEJARAH
KEBERLAKUAN HUKUM KELUARGA
ISLAM DAN TINJAUAN HUKUM
PERNIKAHAN DI BRUNEI
DARUSSALAM,” Disertasi tidak
diterbitkan Universiti Islam
Shultan Syarif Ali Bandar Seri
Begawan Brunei Darussalam,2013.
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit
Aulawi, Hukum Perkawinan
Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta,
1978.
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan
Perempuan, Serambi, Jakarta,
2005.
J.N.D. Anderson, Law Reform in The
Modern World, Anthone Press,
London, 1967, dalam Musdah
Mulia, Menuju Hukum Perkawinan
Yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia, Jakarta,
2006.
John L. Esposito, Women in Muslim
Family Law, Syracuse University
Press, New York, 2001
Khoiruddin Nasution, “Sejarah Singkat
Pembaruan Hukum Keluarga
Muslim”, dalam M. Atho Mudzhar
dan Khoiruddin Nasution (ed),
Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari
Kitab-Kitab Fikih, Ciputat Press,
Jakarta, 2003, hlm. 10-11.

14

Komnas Perempuan, Konsultasi
Nasional: Mencapai Hukum
Keluarga yang Adil dan Setara
Gender, yang diselenggarakan di
Hotel Harris, Jakarta, 3-4 Februari
2009.
Lane, Jan-Erik, Hamadi Redissi, Riyad
Saydawi. Religion and Politics:
Islam and Muslim Civilization.
Farnham/Burlington: Ashgate
Publishing Company, 2009.
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwafatwa Majelis Ulama Indonesia,
Leiden INIS, Jakarta, 1993
Muhammad Amin Suma, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam,
Rajawali Press, Jakarta, 2004.
Muhammad Zain dan Mukhtar
Alshodiq, Membangun Keluarga
Humanis: Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam yang
Kontroversial Itu, Grahacipta,
Jakarta, 2005.
Muhammad Zaki Saleh (Mahasiswa
Prog. Doktor UIN Syahid Jakarta),
Trend Kriminalisasi dalam Hukum
Keluarga di Negara-negara Muslim,
Dipresentasikan pada Annual
Conference Kajian Islam, Lembang
– Bandung, 2006.
Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran
Islam, dalam Iqbal Abdurrauf
Saimima (Ed.) Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam,
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988.
Nasaruddin Umar, Refleksi Penerapan
Hukum Keluarga di Indonesia,

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

dalam
http://www.komnasperempuan.or
.id/wp-content/uploads/2009/
02/refleksi-penerapan-hukumkeluarga-diindonesia_nasaruddin-umar.pdf
Prof. Dr. Atho' Mudzhar, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Arab Saudi
(Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari
Kitab-kitab Fikih).
Prof. Dr. Atho' Mudzhar, Personal Law in
Islamic Countries, ada juga Pemikir
dan Ilmuwan Indonesia, (2003).
Tahir Mahmood, Family Law Reform in
Muslim World, Tripathi, Bombay,
1972
Tahir Mahmood, Personal Law in
Islamic Countries, dalam Musdah
Mulia, Menuju Hukum Perkawinan
Yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia, Jakarta,
2006.
Welchman, Lynn. Women and Muslim
Family Laws in Arab States: A
Comparative Overview of Textual
Development and Advocacy.
Amsterdam: ISIM/Amsterdam
University Press, 2007.
Women Living under Muslim Law,
Knowing Our Rights,
diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh SCN, LKIS, dan
WEMC dengan judul Mengenali
Hak Kita (2008).

LAPORAN UTAMA

Pembaruan

Hukum Keluarga
Melalui Legislasi
Sejarah pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia
melewati banyak etape dan tantangan tersendiri.
Pasca-kemerdekaan, sistem hukum di Indonesia cenderung
mengikuti civil law dengan kodifikasi sebagai ciri utama.
Hal ini akibat dari positivisme hukum atau legisme,
di mana sumber hukum satu-satunya adalah
legislasi negara.

Sumber foto : www.hukumonline.com

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015

15

LAPORAN UTAMA

A

16



Awal mula pembaruan
hukum keluarga Islam
di Indonesia melalui legislasi
dapat dilacak sejak lahirnya
UU No. 22 Tahun 1946 dan
UU No. 32 Tahun 1954.



wal pembaruan hukum keluarga
Islam di Indonesia melalui
legislasi dapat dilacak sejak
lahirnya UU No. 22 Tahun 1946 dan UU
No. 32 Tahun 1954 yang mengatur
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk dengan memuat sanksi.
Pengaturan ini termasuk pembaruan
dalam hukum keluarga Islam, karena
belum diatur dalam kitab-kitab fikih.
Sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berlaku secara efektif
pada 1 Oktobe