Workshop Persiapan Akreditasi Puskesmas: Diskusi Seru Terkait Akreditasi mpdf

SYNCORE - always deliver value
Workshop Persiapan Akreditasi Puskesmas: Diskusi Seru Terkait Akreditasi
posted by danik on April 28, 2017

Pada Sabtu, 22 April 2017 SYNCORE mengadakan workshop bertemakan Persiapan Akreditasi
Puskesmas di Ruang Abimanyu III, Hotel Grage Yogyakarta.
Kegiatan tersebut dinarasumberi oleh drg. Hunik Rimawati, seorang praktisi akreditasi dari
Dinkes Kab. Kulon Progo.
Ada hal yang istimewa disini. Sebelum memaparkan materi mengenai akreditasi, drg. Hunik
Rimawati memberikan kesempatan pada peserta untuk menyampaikan kendala yang dialami
masing-masing puskesmas terkait akreditasi puskesmas.
Ini adalah sesi diskusi seru antara peserta dengan narasumber.

Cerita Ibu Erice (Dinkes Bintan)
Saya sehari-sehari di Dinkes Kab. Bintan di Seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK),
kebetulan untuk akreditasi ini saya belum punya pengalaman karena masih baru itulah sebabnya
saya mengikuti workshop ini.

Cerita Bapak Bambang (Dinkes Bintan)
Saya kasi rujukan dan mutu, membawahi tentang akreditasi puskesmas dan akreditasi rumah


sakit , ujar dr. Bambang.
Sudah BLUD ya? tanya drg. Hunik.
"Puskesmas saya sudah BLUD dari tahun 2014. Pengalaman akreditasi adalah masalah tentang
komitmen. Puskesmas berkomitmen, ternyata ada beberapa dari Dinkes kurang komitmen, jadi
hanya instruksi dari atas, ujar dr. Bambang
"Kami akreditasi sementara mereka sendiri tidak tau akreditasi itu apa. Akhirnya saya sampai
ekspose mengenai akreditasi ke Dinkes sendiri. Melalui ekspose tersebut baru mereka faham
mengenai akreditasi. Oh, akreditasi ini ternyata tidak bisa sendiri-sendiri, ada keterkaitan antar
Dinkes dengan puskesmas. Karena akreditasi itu adalah catat apa yang dikerjakan dan kerjakan
apa yang dicatat serta ada bukti. Setelah ekspose Dinkes baru tahu kalau akreditasi itu seperti
ini."
Tadinya waktu di tunjuk untuk akreditasi, asal tunjuk atau ada SK-nya? , tanya drg. Hunik.
Ditunjuk, karena puskesmas kami menjadi percontohan di KEPRI yang telah BLUD dan sudah
ISO, sehingga dari provinsi menunjuk puskesmas kami. Kami sendiri jadi kalang kabut. Untuk
mengetahui mengenai akreditasi, kami mengirim misalnya admin kami ke puskesmas yang sudah
akreditasi ke Jawa. , Jawab Bapak Bambang.
Itu tanpa bantuan Dinkes? tanya drg. Hunik.
"Itu dari kami sendiri, karena kita sudah BLUD jadi mempunyai anggaran untuk membiayai
sendiri. Ketika menjelang penilaian baru ada tim pendamping dari Dinkes. Kami ditunjuk untuk
akreditasi sejak tahun 2015, tetapi belum bisa akreditasi karena belum ada pendamping. Baru

pada 2016 ada pendamping, begitu ada pendamping kami langsung diminta untuk penilaian."
"Kelemahan kami memang ada di pokja admin, dimana kurang faham mengenai Rencana Usulan
Kegiatan (RUK) dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK). Kelemahan kami karena tidak tercatat
serta tidak ada bukti otentiknya. Sebenarnya hal itu sudah dilakukan setiap bulan. Misalkan
logmin lintas sektor memang setiap 4 bulan sekali kami melakukan logmin lintas sektor. Kami
sering melakukan rapat, karena hanya dilingkungan puskesmas, kami tidak menggunakan
undangan. Padahal undangan penting sebagai bukti otentik adanya rapat. Disitulah
kelemahannya, akhirnya saat keluar hasilnya, kami mendapat akreditasi dasar."

Cerita Ibu Kania (Dinkes Kab. Garut)
Dari pengalaman lalu-lalu memang betul untuk komitmen menjadi satu itu susah sekali. Selain itu
terkadang arahan dari tim pendamping berbeda. Untuk akreditasi, yang utama harus membuat
pedoman manual mutu. Tim pendamping itu kurang bisa mengarahkan bagaimana harus
menyusun pendoman manual mutu. Jadi belum memahami pedoman akreditasi itu bagaimana?
Dinas harusnya itu sudah paham mengenai arah akreditasi, jadi ketika konsultasi tidak dilempar.
Kelemahan puskesmas saya itu admin. Kita mungkin kurang terstruktur dari awal. Kemudian
SDM itu sebagian besar di isi Jabatan Fungsional Tertentu (JFT) Jabatan Fungsional Umum (JFU)
jadi kurang mampu untuk jadi admin.

Cerita Ibu Sri (Dinkes Kab. Garut)

Saya dari Dinkes Garut. Kendala yang kami hadapi adalah jumlah tim pendamping yang sedikit.
Direncanakan bulan depan bisa dilatih 6 tim untuk pendamping sehingga total pendamping
menjadi 8 tim. Selain itu, presepsi dari tim pendamping sendiri dan cara pendampingan perlu di
evaluasi. Untuk itu kami mengharapkan evaluasi itu dari pusat, tim pendamping dari provinsi
maupun dari kabupaten sudah sama atau belum karena ini juga masukan dari 7 puskesmas yang
akan di survei tahun ini.
Kendala lainya yakni bahwa untuk pendampingan akreditasi 100% dari Dana Alokasi Khusus
(DAK). Kami harapkan adalah ada evaluasi antara survei dari Kemenkes dan DAK, jadi jika
menunggu dana DAK turun kita hanya punya waktu 3 bulan untuk melaksakan pendampingan
sampai dilaksanakan survei. Walaupun untuk 7 puskesmas ini mendapatkan survei bulan April.
Apakah sudah BLUD? tanya drg. Hunik.
Sudah semuanya. Keluhan kami, menurut panduan yang kami baca, untuk panduan akreditasi 6-8
bulan siap untuk di survei, untuk Kabupaten Garut tidak semuanya bisa karena ada kendala
internal dan eksternal yang kami hadapi. Permasalahan internal yang saya rasakan baru awal
2017 untuk advokasi tingkat pemda tingkat pemerintah kabupaten Garut yang kemarin saya
perkirakan advokasinya sudah bagus ternyata setelah saya lihat untuk akreditasi ini sendiri
dukungannya masih kurang bagus. Yang kedua persiapan internal memang kami harus
persiapkan. Itu mungkin kendala dari kami sehingga saya harapkan mendapat pencerahan dari
workshop ini mengenai akreditasi karena saya masih baru.


Tanggapan drg. Hunik Rimawati
Ternyata sebagian besar mempunyai alasan sama. Langkah yang harus kita lakukan yakni
Pertama, menyenangi dulu, kalau kita melakukan dengan terpaksa akan terasa berat. Tapi kalau
kita menyenangi dulu, mau kendala apapun akan terasa indah.
Kedua, kalau kita melihat tadi, ada miss antar kedua belah pihak. Pihak puskesmas
mengharapkan begini, Dinkes maunya begitu. Ini yang saya dulu di bidang pengembangan hadapi
salah satunya ada di mutu. Ketika mau pelatihan pendamping, pertama kita dilatih 2 tim, waktu
itu saya bilang ke kepala Dinkes, semua kepala harus ikut pelatihan. Karena apa? Karena nanti
yang akan ditata ya bidang-bidangnya mereka. Kalau kepala bidangnya tidak tahu akreditasi,
nanti bawahannya akan susah. Selanjutnya adalah kasi-kasi, jadi kita yang jadi pendamping itu
kepala bidang dan kasi.
Ada satu kelemahan di admin, selama ini berada di perencanaan, kalau kita baca manajemen
puskesmas ada yang namanya perencanaan, ada loka karya mini, ada penilaian kinerja. Hampir
semua tidak dilakukan. Yang dimaksud perencanaan itu mereka hanya Plan of Action (POA)
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), karena itu yang wajib. Padahal bukan, itu hanya bagian
dari perencanaan.
Manajemen kelemahannya selalu di evaluasi. Padahal evaluasi itu dipakai dasar untuk
perencanaan berikutnya. Penilaian kinerja selama ini dilakukan atau tidak, dianalisis atau tidak.
Analisis itu ibarat jam terbang. Semakin sering kita melakukan analisis, maka semakin tajam.
Semakin tajam analisis maka semakin mengenai sasaran untuk interpensinya. Semakin ada


interpensinya maka semakin jelas daya ungkit.
Harusnya puskesmas jangan mencoret pengajuan (Plan of Action) POA-nya puskesmas.
Masalahnya puskesmas sudah melakukan analisis belum. Kalau sudah melakukan analisis,
biasanya tidak akan dicoret. Kenapa? karena yang paling tau masalahnya adalah puskesmas
sendiri.
Saya dulu ketika menjadi kepala puskesmas, ketika di Dinas dicoret, saya marah. Kenapa harus
dicoret? Ini harusnya begini. Yang paling tau masalahnya adalah saya, saya sudah analisis akar
permasalahnnya. Jadi Dinkes harus tau masalah akreditasi.
Yang paling penting itu kita sudah melakukan analisis dan sudah membuat rencana tindak lanjut
yang kita usulkan ke Dinas. Sebetulnya di akreditasi pada manajemen mutu itu adalah proses.
Tidak harus bagus atau sempurna, tapi proses pemeliharaan dan proses pengurusan itu ada.
Kita sudah melakukan analisis, oh ini kurang memenuhi syarat, itu bukan lagi wewenang kita.
Ada yang memang wewenang kita, ada yang bukan wewenang kita langsung kita tindak lanjuti.
Indikator komitmen ada dua yakni, mau terlibat dan mau meluangkan waktu. Jadi kepala
puskesmas itu leader. Ketika membangun sistem, peran leader untuk membangun sistem minimal
75%. Jadi semua tergantung leadernya. Setelah itu, sedikit demi sedikit dikurangi peran leader.
Kemudian motivasikan mereka untuk bersaing.
Itulah petikan diskusi antara peserta dan narasumber pada Workshop Persiapan Akreditasi
Puskesmas lalu. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing puskesmas

mempunyai kendala tersendiri terkait akreditasi puskesmas.

Apabila anda tertarik dan ingin mengadakan workshop dengan materi yang sama, Anda dapat
kontak kami:
Diana Septi A
CP: 0877 38 900 800 /training@syncore.co.id
Tags:
Permalink | Comments (0) | Last updated on April 28, 2017