T1 802012106 Full text

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL ORANGTUA
DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENIKAH
AKIBAT KEHAMILAN DILUAR NIKAH

OLEH
SITI NADHIROH
802012106

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

HUBUNGAN DUKUNGAN EMOSIONAL ORANGTUA DENGAN
RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENIKAH AKIBAT

KEHAMILAN DILUAR NIKAH

Siti Nadhiroh
Heru Astikasari S. Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak
Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara dukungan emosional orangtua
dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah.
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan skala dukungan emosional
orangtua yang menggunakan teori Sarafino (2007) yang berjumlah 25 item dan skala
resiliensi menggunakan skala oleh Wagnild & Young (1993) yang berjumlah 25 item.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan uji korelasi Spearman
untuk melakukan perhitungan korelasi antara dukungan emosional orangtua dengan

resiliensi. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai korelasi Spearman sebesar 0,231 dan
signifikansi sebesar 0,219 (p> 0,05). Kesimpulan sebagai hasil akhir penelitian ini
adalah bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan emosional orangtua
dengan resiliensi.
Kata kunci : Dukungan emosional orangtua, resiliensi, remaja yang menikah akibat
kehamilan diluar nikah

i

Abstract
The aim of this research was to know the correlation between parental emotional
support with resilience to the married adolescents due to pregnancy outside of
marriage. The collecting data in this research used the scale parental emotional
support used the theori Sarafino (2007) that the amount were 25 item and scale
resilience used scale by Wagnild & Young (1993) that the amount sere 25 item. This
study uses a quantitative method with Spearman correlation test to perform correlations
between of parental emotional support with resilience. From the calculation of
Spearman correlation we had result values of 0,231 and a significance of 0,219
(p>0,05). Conclusions as the end result of this research, there is no correlation of
parental emotional support with resiliensce to the married adolescents due to

pregnancy outside of marriage
Keywords : Parental Emotional Support, Resilience, Married Adolescents Due To
Pregnancy Outside Of Marriage

ii

1

PENDAHULUAN
Masa remaja sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Masa ini
ditandai dengan berubahnya bentuk fisik dan hormonal. Perubahan hormonal inilah
yang biasanya mempengaruhi tingkat emosional pada remaja. Remaja seringkali
mempunyai emosi yang kurang stabil, memiliki mood yang sering berubah-ubah dan
mulai memiliki dorongan seksual seperti, timbulnya rasa ketertarikan terhadap lawan
jenis. Rasa ketertarikaan inilah yang biasanya menjadi awal mula pasangan remaja
untuk menjalin hubungan yang lebih intim lagi, yang biasanya dikenal dengan istilah
“pacaran”. Pacaran diartikan sebagai masa pendekatan antar individu dari kedua lawan
jenis yang ditandai dengan mengenal satu sama lain dari masing individu (Santrock,
2007).
Dalam era modern ini, istilah pacaran merupakan hal yang dianggap biasa dan

wajar terjadi dan tidak dianggap sebagai hal yang tabu. Gaya berpacaran pasangan
remaja sekarang punlebih berani dan terbuka, sangat berbeda dengan gaya berpacaran
remaja jaman dahulu. Hal ini disinyalir semakin mendorong maraknya seks bebas
dikalangan remaja. Selain itu, semakin maraknya video porno, kemudahan dalam
mengakses situ-situs porno dan kurangnya pendidikan seks dikalangan remaja turut
berpengaruh pada perilaku dan pola pikir remaja dalam berpacaran yang seringkali
melewati batas seperti mengartikan sebuah hubungan “pacaran”. Seringkali para remaja
menjadikan status “pacaran” sebagai momen untuk melegalkan perilaku seksual, yang
sebenarnya melanggar norma seperti bersentuhan, berciuman, bercumbu, dan
melakukan hubungan badan. Perilaku-perilaku semacam inilah yang kemudian dapat
mengakibatkan terjadinya “kehamilan” yang tidak diharapkan. Perilaku seks bebas saat
ini sudah menjadi hal yang biasa dan marak dilakukan oleh para remaja, baik yang
sedang menjalin hubungan berpacaran, ataupun hanya sekedar mencari kesenangan
sesaaat (Dewi, 2015).
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012,
menunjukkan adanya peningkatan jumlah angka kehamilan diusia remaja yaitu sekitar
12,8 persen remaja perempuan berusia 15-19 tahun sudah menikah dan hampir 10
persen diantaranya telah melahirkan. Temuan ini disinyalir karena maraknya pernikahan
dini dan kecenderungan seks pranikah.


2

(Anna,

Tingginya Kematian Ibu Terkait Nikah Usia Dini, 2015,

http://health.kompas.com/read/2015/10/16/150000523/tingginya.kematian.ibu.terkait.ni
kah.usia.dini?utm_source=bola&utm_medium=bp&utm_campaign=related&

diakses

pada 11 Maret 2016). Selain itu, berdasarkan hasil Survei Badan Pusat Statistik tahun
2012 (dalam Jurnal Perempuan, 2013) mengungkapkan angka kehamilan remaja pada
usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1000 kehamilan (Ramadhan, Meningkatnya Usia
Kehamilan

Remaja,

2013,


http://www.jurnalperempuan.org/meningkatnya-usia-

kehamilan-remaja.html diakses pada 11 Maret 2016).
Fenomena kehamilan sendiri merupakan konsekuensi dari perilaku seks
pranikah yang dilakukan remaja, yang kehadirannya bisa menjadi suatu dambaan
apabila didapatkan setelah adanya pernikahan yang sah. Namun, akan dinilai sebagai
aib apabila kehamilan tersebut diperoleh sebelum adanya pernikahan yang sah atau
terjadi sebagai akibat dari seks pranikah (Dewi, 2015). Berdasarkan data di pengadilan
Agama (PA) Ambarawa selama kurun waktu 2015 tercatat sebanyak 173 anak dibawah
umur mengajukan dispensasi nikah dan mayoritas disebabkan adanya kehamilan diluar
nikah, data tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang terdapat 139 kasus
pengajuan dispensasi nikah. Sehingga dapat disimpulkan bila dirata-rata terdapat 15
anak-anak dibawah umur yang menikah setiap bulannya (Ranin, Pemohon Dispensasi
Nikah

Tinggi,

2015,

http://berita.suaramerdeka.com/pemohon-dispensasi-nikah-


tinggi/diakses pada 11 Maret 2016)
Begitu juga yang terjadi Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tercatat dalam kurun
waktu Januari-Juni 2015 misalnya, tercatat 73 anak dibawah umur mengajukan
dispensasi nikah dan jika dibandingkan dengan tahun 2013, pada 2014 telah terjadi
peningkatan yaitu total pengajuan dispensasi nikah sebanyak 146. Berdasar penuturan
Wakil Panitera PA Klaten Ibu Uswatun Chasanah, tidak menampik bahwa pengajuan
dispensai nikah tersebut terjadi lantaran kondisi wanita yang terlanjur hamil bahkan
terdapat beberapa permintaan dispensasi yang baru dilakukan setelah sang wanita
melahirnkan (Arifiani, Setengah Tahun PA Klaten Terima 73 Permintaan Dispensasi
Kawin, 2015, http:/www.solopos.com/2015/07/27/pernikahan-dini-pa-klaten-setahunterima-73-permintaan-dispensasi-kawin-62745 diakses pada 11 Maret 2016)

3

Berdasarkan data yang penulis peroleh di KUA Kecamatan Tuntang, selama
tahun 2015 tercatat sebanyak 38 pasangan mendaftarkan pernikahannya di KUA
Kecamatan Tuntang lantaran sang wanita yang terlajur hamil terlebih dahulu sehingga
diputuskan untuk menikahkannya. Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan
oleh Komite Perlindungan Anak Indonsia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan
(Kemenkes) pada Oktober 2013 menunjukkan, bahwa sekitar 62,7% remaja di

Indonesia telah melakukan hubungan seks diluar nikah. 20% dari 94.270 perempuan
yang mengalami hamil diluar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21%
diantaranya melakukan aborsi (Rumah Belajar Persada, 63 Persen Remaja Di Indonesia
Melakukan Seks Pra Nikah, 2015, http://kompasiana.com/rumahbelajar-persada/63persen_-emaja-di-indonesia-melakukan-seks-pranikah__54f91d77a33311fc078b45fd
Diakses pada 11 Maret 2016)
Data-data tersebut sesuai dengan data dari pilar PKBI 2012 yang menunjukkan
bahwa angka kehamilan pranikah yang tidak diinginkan pada remaja semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Solusi yang seringkali dilakukan oleh para remaja yang
mengalami kehamilan pranikah adalah dengan menikahkan atau ada juga yang memilih
melakukan aborsi. Walaupun kenyataan dilapangan lebih banyak remaja putri yang
memilih untuk melakukan aborsi. Meski sebenarnya wanita manapun yang memilih
melakukan aborsi pada hakikatnya sedang dalam kondisi terjepit (terpaksa). Tidak ada
satupun wanita yang menginginkan aborsi. Tetapi dipihak lain wanita tersebut takut
pada dampak yang akan terjadi jika memilih untuk tidak melakukan aborsi (Sarwono,
2002).
Kehamilan semacam ini membuat remaja atau calon ibu tidak ingin dan tidak
siap untuk hamil sehingga, mereka berusaha mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Hamil sebelum menikah sebagai imbas dari adanya pergaulan bebas saat ini dan sebagai
salah satu akternatif untuk menutupi aibnya ialah dengan menikahkannya . Pernikahan
yang akhirnya dilaksanakan tanpa adanya persiapan terlebih dahulu ini dapat

menyebabkan beberapa permasalahan pada pasangan remaja yang tidak jarang dapat
menimbulkaan konflik atau pertengkaran (Srijauhari, 2008).
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Srijauhari (2008)
pada subjek pasutri yang menikah karena hamil di luar nikah ditemukan beberapa

4

konflik permasalahan yang sering menyebabkan pasangan remaja ini bertengkar seperti
permasalahan ekonomi keluarga, suami belum bekerja, kecurigaan yang berlebihan
pada suami, dan reaksi suami yang tidak suka ketika istri bercerita tentang kejelekan
suami kepada temannya. Sedangkan dampak dari permasalahan tersebut bagi pasangan
remaja ini diantaranya adalah saling tidak tegur sapa dengan pasangan, perasaan
jengkel, komunikasi yang memburuk, rasa percaya kepada pasangan yang berkurang.
Agar permasalahan tidak semakin meruncing dan memperparah hubungan mereka, para
pasangan biasanya mensiasatinya dengan bercandaan guna meredam kemarahan dan
memperbaiki hubungan, saling mendukung tugas dan peran masing-masing, mengajak
pasangan untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan, serta meminta saran untuk
permasalahan yang dirasa sulit untuk mereka selesaikan kepada orang tua atau kepada
orang yang mereka percayai.
Namun hal tersebut berbeda dengan subjek yang penulis temui pada 20 Februari

2016. Dari partisipan tersebut, penulis memperoleh gambaran mengenai apa saja yang
dirasakan partisipan sebagai remaja yang harus menikah karena faktor kehamilan
terlebih dahulu. Partisipan mengaku hampir setiap hari mereka bertengkar untuk
permasalahan yang terbilang sepele seperti, pembagian dalam mengatur tugas rumah
tangga, mengasuh anak, masalah keuangan yang kurang karena suami yang belum
mempunyai pekerjaan yang tetap, pasangan yang mudah cemburu dengan kedekatan
salah satu pasangan dengan temannya yang lain, serta sikap pasangan yang kurang bisa
menerima kondisi fisik suami dan penghasilan yang diberikan oleh suami yang dirasa
subjek tidak cukup untuk menutup semua kebutuhan yang diperlukan sehari-hari. Dari
permasalahan-permasalahan tersebut, selama pernikahannya yang sudah menginjak
hampir 3 tahun, subjek mengaku sudah lebih dari 3 kali meninggalkan rumah dan pergi
ke tempat orang tuanya, selain itu subjek juga mengaku pernah mengutarakan
keinginnnya

untuk

berpisah

dengan


suaminya

hingga

pernah

melakukan

perselingkuhan. Permasalahan-permasalahan tersebut tetap terjadi meski keluarga dan
orangtua subjek selalu memberikan dukungan dan pengarahan kepada subjek serta
memberikan gambaran mengenai dampak yang mungkin terjadi apabila mereka terus
bertengkar bagi perkembangan buah hati mereka. Dukungan yang diberikan orangtua
atau keluarga tersebut tidak hanya berupa dukungan moriltetapi juga materiil. Hingga

5

saat ini, orangtua subjek serta mertua subjek masih turut andil dalam pembiayaan
kebutuhan sehari-hari serta biaya sekolah anak subjek.
Permasalahan-permasalahan yang dialami pasangan remaja yang menikah tanpa
adanya persiapan ini tentu akan membuat pasangan remaja lebih mudah tertekan dengan
beragam resiko yang mengancam perkembangan psikologis mereka (Dlori, 2005).
Dalam menghadapi berbagai masalah diperlukan kemampuan individu agar dapat
beradaptasi terhadap setiap kondisi guna dapat meningkatkan potensi diri setelah
menghadapi situasi penuh tekanan (Rew & Horner, 2003). Kemampuan itulah yang
dimaksud dengan resiliensi. Janas (dalam Dewi, dkk, 2004) mendefinisikan resiliensi
sebagai suatu kemampuan untuk mengatasi rasa frustasi dan permasalahan yang dialami
oleh individu. Individu yang resilien akan lebih tahan terhadap stress sehingga lebih
sedikit mengalami gangguan emosi dan perilaku (Hauser, 1999). Dalam keadaan
tertekan diharapkan remaja memiliki resiliensi yang baik, namun pada kenyataannya
masih terdapat pasangan remaja yang tidak resilien, mereka cenderung kurang mampu
dalam menghadapi masalah sehingga berdampak pada kehidupan sehari-harinya (Aisha,
2014). Resiliensi penting agar seseorang dapat menghadapi stress dalam menjalani
kehidupan serta penting untuk memperkaya pegalaman hidup seseorang. Individu yang
resilien merupakan orang-orang yang terus berjuang beriringan dengan kekecewaan,
penderitaan dan tantangan. Dalam menghadapi penderitaan dan tantangan tersebut
terdapat kemungkinan ditemuinya kegagalan dan kekecewaan

yang mungkin

menghadang dan dengan adanya kemampuan resiliensi tersebut memungkinkan
individu untuk terus menerus bangkit dari kekecewaan dan kegagalan yang mungkin
dihadapinya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang resilien lebih mampu
untuk menunjukkan sifat-sifat positif dalam menghadapi lingkungan yang beresiko.
Penelitian yang dilakukan oleh Aimi (2008) mengenai resiliensi remaja “High Risk”
ditinjau dari faktor protektif (keterampilan sosial, ketrampilan menyelesaikan masalah,
autonomy, kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktifitas kelompok, hubungan
yang hangat dan harapan yang tinggi dari lingkungan) menunjukkan hasil bahwa remaja
yang memiliki tingkat resiliensi yang tinggi lebih mampu menyelesaikan masalah
dengan baik, otonom, dan sense of purpose yang jelas, memiliki harapan yang tinggi
serta lebih hangat dalam berhubungan.

6

Hal yang sama juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Sasongko dan
Febriana (2011) yang meneliti mengenai resiliensi pada wanita usia dewasa awal pasca
perceraian ditemukan bahwa mereka yang mempunyai resiliensi yang baik mampu
menyelesaikan dan menghadapi permasalahan, dapat mengambil hikmah dari keputusan
perceraian yang dialami serta lebih mensyukuri apa yang dimiliki saat ini dan selalu
positif dalam menjalani kehidupan. Menurut Resnick, Gwyther & Roberto (dalam Iqbal,
2012) salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah dukungan sosial. Baron &
Byrne (2005) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan
psikologis yang diberikan oleh teman/anggota keluarga. Dukungan sosial ini dapat
dilihat dari banyaknya kontak sosial yang terjadi atau yang dilakukan individu dalam
menjalin hubungan dengan individu lain yang berada dalam lingkup lingkungannya
(Adicondro & Purnamasari, 2011). Menurut Johnson & Johnson (dalam Adicondro &
Purnamasari, 2011) dukungan sosial dapat berasal dari orang-orang penting yang dekat
(significant others) bagi individu yang memerlukan bantuan misalnya dirumah seperti
orangtua dan anggota keluarga yang lain. Orangtua sebagai figur yang lekat kehidupan
individu, sehingga dukungan orangtua merupakan salah satu sumber dukungan yang
dapat memberikan fungsi signifikan dalam hidup remaja (Arjani, 2015).
Terdapat beberapa fungsi dukungan sosial yang berkaitan dengan ketahanan atau
resiliensi individu dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan hidup termasuk yang
dialami oleh remaja yang mengalami kehamilan diluar nikah. Dengan adanya dukungan
sosial, akan membantu individu untuk menurunkan distress psikologis yang diakibatkan
oleh peristiwa sulit yang dialami, serta membantunya untuk bangkit kembali dari
kejadian yang menghambat rencana hidupnya (Nasution dalam Arjani, 2015).
Dukungan sosial juga berfungsi untuk mendukung kesejahteraan individu untuk
beradaptasi terhadap kesulitan atau dengan cara menahan (buffer) hubungan antara
stressor dan dampak merugikan (Johnson & Johnson dalam Arjani, 2015). Fungsi
dukungan sosial sebagai pencegah distress serta buffer terhadap stressor lebih mengarah
kepada bentuk dukungan emosional (dalam Arjani, 2015).
Sarafino (2007) menyebutkan bentuk-bentuk dukungan sosial ada lima,
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan
informasi, dan dukungan jaringan. Dari berbagai macam bentuk dukungan sosial,

7

dukungan emosional menjadi faktor paling penting bagi remaja. Dukungan emosional
ini meliputi ekspresi empati misalnya, kemampuan mendengarkan, bersikap terbuka,
menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi
kasih sayang serta perhatian. Dengan adanya dukungan emosional akan membuat si
penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa remaja yang memperoleh dukungan emosional yang baik tentunya
akan mempunyai kemampuan resiliensi yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Yenni (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan kejadian stroke
pada lansia hipertensi yang mendapatkan dukungan emosional yang baik.
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Arjani (2015) yang meneliti
mengenai dukungan emosional orangtua dengan resiliensi mahasiswa dalam pengerjaan
skripsi. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang
positif signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi mahasiswa
dalam pengerjaan skripsi. Mahasiswa yang memperoleh dukungan emosional orangtua
akan mempunyai kemampuan resiliensi yang lebih baik dibandingkan dengan yang
tidak

memperolehdukungan emosional orangtua. Orangtua

sebagai figur terdekat

dengan kehidupan individu diartikan bahwa peran dukungan orangtua sangat signifikan
terhadap kemampuan resiliensi seseorang (Arjani, 2015). Dengan adanya dukungan
emosional yang diberikan oleh orangtua sebagai lingkungan terdekat akan membuat
individu merasa nyaman, tidak menanggung beban sendirian karena ada orangtua yang
selalu mendukung dan menyertainya. Faktor dukungan emosional orangtua ini
merupakan faktor yang paling efektif sebagai pendukung resiliensi dalam menghadapi
tekanan-tekanan dan permasalahan yang sedang dialami (Arjani, 2015).
Berdasarkan uraian diatas, dukungan emosional khususnya orangtua merupakan
salah satu hal yang berkaitan dengan resiliensi seseorang. Maka berdasarkan pemaparan
diatas, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara dukungan emosional
orangtua dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah
yang bertempat tinggal di Kec. Tuntang, Kab. Semarang.

8

TINJAUAN PUSTAKA
Resiliensi
Menurut Grotberg (1995) resiliensi merupakan kemampuan atau aktivitas insan
yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak
yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan atau bahkan mengubah kondisi
kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Selain itu
resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat bertahan dalam
menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang
setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat (Tugade &
Frederikson, 2004).
Karakteristik Resiliensi
Karakteristik resiliensi menurut Wagnild & Young (1993) yaitu:
1.

Ketenangan hati (equanimity)

Ketengangan hati diartikan dalam bentuk berpegang teguh pada pendirian dalam hidup.
2.

Ketekunan/kekerasan hati (perseverance)

Ketekunan/kekerasan hati diartikan dengan keberlanjutan untuk berusaha keras
mengatasi kesulitannya.
3.

Kepercayaan diri (self reliance)

Kepercayaan diri meliputi keyakinan seseorang terhadap kemampuannya.
4.

Kesendirian (existensial aloneness)

Perasaan sendiri adalah pengungkapan keunikan masing-masing individu dan keyakinan
atas keberlanjutan kehidupannya
5.

Spiritualitas (spirituality/meningfulness)

Spiritualitas memiliki peran yang penting dalam resiliensi yaitu melalui kemampuan
individu untuk membangun kesimpulan atas kejadian yang terjadi pada dirinya juga
mencakup kebutuhan individu akan perubahan, fleksibilitas, dan tumbuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi
Menurut Resnick, Gwyther & Roberto (dalam Iqbal, 2012) terdapat 4 faktor yang
mempengaruhi resiliensi pada individu yaitu :
1.

Self Esteem

9

Memiliki self esteem yang baik pada membantu individu dalam menghadapi
permasalahan. Berdasarkan data dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Collins &
Smyer (2005) yang bertujuan menggali self esteem sepanjang rentang kehidupan
manusia (yang dilakukan selama periode 3 tahun) pada individu yang mengalami stres
pada usia lanjut (memiliki beban finansial). Para partisipan menyelesaikan alat ukur self
esteem nilai dan perasaan kehilangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
terjadi sedikit penuruan self esteem pada individu meskipun mereka menghadapi
kehilangan. Kemudian, ketika mereka mengalami kehilangan yang sangat berarti,
seperti merasa terpukul” tidak mengurangi self esteem yang dimiliki meskipun individu
tersebut teridentifikasi sebagai individu yang sehat begitu juga pada individu yang
memiliki penyakit tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada self esteem.

2.

Dukungan Sosial (Social Support)
Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi (Hildon et al, 2009;

Maddi et al, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa resiliensi dan dukungan
emosional (bukan dukungan instrumental) menghasilkan kualitas hidup yang lebih
tinggi pada individu usia lanjut (Natuveli & Blane, 2008). Penelitian pada orang dewasa
di New York, Poindexter dan Shippy (2008) yang dilakukan pada partisipan yang
mengalami positiv HIV menunjukkan bahwa jaringan dukungan sosial yang unik
berkontribusi pada resiliensi. Para peneliti juga melakukan penelitian pada lima
kelompok yang memiliki jaringan dukungan sosial informal yang terdiri atas individuindividu yang kebanyakan mengidap positif HIV.Meskipun upaya untuk memperoleh
dukungan sosial menurun karena ketakutan dan stigma yang dialami namun mereka
mampu merelokasi sumber daya dan mengisi dukungan melalui sumber daya HIV
positif pada komunitas mereka. Para partisipan menunjukkan bahwa kehilangan anggota
untuk memperkuat ikatan dukungan.
Dukungan sosial ini mempunyai berbagai macam bentuk, menurut Sarafino
(2007) bentuk-bentuk dukungan sosial ada lima yaitu, dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan. Dari
berbagai macam bentuk dukungan sosial, dukungan emosional menjadi penting bagi
remaja karena melalui dukungan emosional, remaja dapat merasakan kenyamanan,
kepastian, merasa dimiliki dan dicintai pada saat remaja tersebut mengalami kesulitan.

10

3.

Spiritualitas (Spirituality)

Faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dalam menghadapi tekanan dan penderitaan
adalah ketabahan (hardiness) dan keberagamaan (religiousness) serta spiritualitas
(spirituality) (Maddi et al, 2006). Spiritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam
semesta, suatu pandangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri. Selain itu
spiritualitas juga berarti ketaatan pada suatu ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian
tentang ketabahan, keberagamaan dan spiritualitas menunjukkan kualitas yang
membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam hidup dan menyediakan
perlindungan pada individu dalam menghadapi depresi dan stres (Maddi et al. 2006).
Aspek positif dari spiritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan
perasaan kontrol diri saat sakit dan membantu perkembangan adaptasi saat sakit kronis
dan tidak seimbang (Crowther et al, 2002). Pada suatu hasil penelitian, spiritualitas
memiliki hubungan erat dengan resiliensi pada orang yang selamat dari penyakit kanker
meskipun individu tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan
kecemasan, tetapi tingkat spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih baik setelah
pemulihan (Costanzo et al. 2009).
4.

Emosi Positif (Positive Emotion)

Bereaksi dengan emosi positif

saat mengalami krisis dapat menjadi cara dalam

menurunkan dan mengatasi respon stres secara lebih efektif (Davis et al. 2007).
Kemudian, emosi positif juga dapat menjadi pelindung menghadapi ancaman terhadap
ego. Parangkat teori ini dibangun

dan dikembangkan oleh Frederickson (1998)

menyatakan bahwa sebagai manusia yang berkembang, emosi positif telah membantu
dalam beradaptasi pada situasi-situasi stres. Secara speisifik, respon negatif terhadap
stres (respon melawan atau menghindar) adalah sifat yang terbatas, karena memilih
respon positif selama mengalami stres memungkin beragam respon yang lebih luas.
Dalam serangkaian penelitian, Tugade dan Frederickson (2004), menemukan
bahwa respon positif saat mengalami stres berhubungan dengan menurunnya tegangan
secara fisiologis dan mendukung adanya hubungan antara pikiran dan tubuh. Kemudian
coping stres diketahui lebih tinggi saat individu diinstruksikan untuk melihat situasi
stres sebagai sebuah tantangan yang dapat membantu mereka tumbuh dengan lebih baik
daripada sebagai suatu ancaman yang merugikan. Kerangka kognitif tersebut dapat
menjadi cara untuk meningkatkan resiliensi. Studi berikutnya menunjukkan suatu bukti

11

adanya hubungan antara emosi positif dan penilaian positif. Melalui beberapa penelitian
tersebut, menunjukkan bahwa individu yang memiliki resiliensi lebih baik, lebih
memungkinkan untuk mengalami emosi positif dan memanfaatkannya untuk mengatasi
stres.
Dukungan Emosional
Sarafino (2007) menyebutkan dukungan emosional adalah dukungan yang
melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu
merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti
memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.
Dukungan emosional menyediakan keamanan, kepastian, dimiliki dan dicintai pada saat
orang tersebut mengalami permasalahan.
Dari berbagai macam bentuk-bentuk dukungan sosial, dukungan emosional
menjadi dukungan yang penting karena dukungan emosional memberikan kenyamanan
dan perasaan dicintai bagi orang yang mendapatkannya. Aspek-aspek dukungan
emosional menurut Sarafino (2007) adalah sebagai berikut :
1.

Emphaty

: Merasakan seperti apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga

seolah-olah juga mengalami hal yang sama seperti yang dialaminya. Rasa empati ini
hanya ikut merasakan tanpa adanya tindak lanjut yang dapat meringankan beban.
2.

Caring : Sikap dan tindakan menghargai apa yang dibutuhkan orang lain, sikap

ini merupakan tindakan langsung yang diberikan pada orang yang sedang mengalami
permasalahan.
3.

Concern

: Sikap positif untuk memfokuskan diri pada orang lain. Sikap ini

ditunjukkan hanya sebatas perhatian yang diberikan pada orang lain. Sikap ini
ditunjukkan hanya sebatas perhatian yang diberikan kepada yang mengalaminya.
4.

Positive Regard : Penghargaan positif berupa kehangatan, penghargaan,

penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Sikap yang ditunjukkan seperti
memberikan kasih sayang, cinta, pujian atau persetujuan dari orang lain. Sikap yang
ditunjukkan seperti memberikan kasih sayang, cinta, pujian, atau persetujuan dari orang
lain dan kecewa jika mendapatkan celaan dan kurang mendapatkan kasih sayang.
5.

Encouragement Toward The Person : Sikap yang mendorong, mengarahkan

orang lain agar fokus dalam mencapai tujuannya sehingga orang yang mendapatkan
permasalahan merasa tertolong dan nyaman.

12

Remaja Yang Menikah Akibat Hamil Diluar Nikah
Masa remaja yang dimulai saat anak berusia 12-21 tahun (Monks dkk, 2001),
dimana pada usia 13 tahun merupakan batas usia pubertas yang secara biologis sudah
mengalami kematangan seksual (Mohammad dalam Lubis, 2012). Sementara itu, pada
remaja kematangan rahim mulai mengalami kematangan sejak umur 14 tahun yang
ditandai dengan dimulainya menstruasi dan terus mengalami perubahan ukuran sejalan
dengan pertambahan umur dan perkembangan hormonal (Kusmiran, 2011). Pada masa
ini, remaja perempuan secara biologis masa reproduksinya

sudah dapat berfungsi

sebagaimana mestinya atau mengalami kehamilan apabila terjadi pembuahan (Lubis,
2012). Meski begitu, pada rentang usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum bisa
dikatakan stabil. Hal ini terlihat pada periode menstruasi yang belum teratur. Pada
periode ketidakteraturan ini apabila terjadi kehamilan, dapat menyebabkan kehamilan
yang tidak stabil, mudah terjadi pendarahan, dan terjadilah abortus atau kematian janin.
Kehamilan pada remaja mempunyai risiko medis yang cukup tinggi karena pada masa
remaja ini, alat reproduksi belum cukup matang untuk melakukan fungsinya. Rahim
(uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah umur 20 tahun karena pada usia ini
fungsi hormonal telah melewati masa kerjanya yang maksimal (Kusmiran, 2011).
Kehamilan yang terjadi pada usia remaja ini selain mempunyai resiko medis
yang cukup tinggi juga beresiko pada kondisi psikologis remaja itu sendiri apabila
kehamilan yang terjadi merupakan kehamilan yang terjadi diluar nikah. Pada kehamilan
seperti ini, terdapat rasa malu dan perasaan bersalah yang berlebihan dapat dialami
remaja. Apalagi jika kehamilan tersebut telah diketahui oleh pihak lain selain orangtua.
Hal yang memperberat masalah adalah terkadang orang tua atau orang yang mengetahui
tidak mampu menghadapi persoalan tersebut secara proporsional, bahkan cenderung
mengakibatkan suatu tindak kekerasan yang traumatik pada anak. Hal ini tentu
berpotensi menambah tekanan psikologis yang berat yang mengarah pada depresi atau
rasa tertekan yang mendalam (Kusmiran, 2011).
Ketika memutuskan untuk menikah, secara otomatis remaja akan berhenti
sekolah karena harus mengurusi anaknya. Padahal pada masa ini remaja seharusnya
masih belajar dalam rangka meraih karir yang diinginkan. Hal ini, menyebabkan remaja
semakin frustasi. Mereka yang menikah otomatis memiliki tanggung jawab dan terjadi
peralihan peran yang baru, tidak lagi sebagai anak yang biasanya meminta kebutuhan

13

pada orang tua tetapi mau tidak mau harus siap menjadi istri, ibu, suami, maupun ayah.
Mereka seharusnya masih memiliki waktu untuk bersenang-senang tetapi diminta untuk
menjadi dewasa lebih cepat (Domenico & Jones dalam Sonata, 2014).
Ratnadita dalam Sonata (2014), mengungkapkan bahwa remaja yang hamil
diluar nikah cenderung merasa terisolasi. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang
turut membicarakan kehamilan yang mereka alami. Padahal pada fase ini merupakan
fase remaja untuk menemukan jati diri, remaja memerlukan fidelity yang merupakan
kekuatan utama seorang remaja. Sedangkan disisi lain relasi significant pada masa ini
yaitu teman-teman sepergaulannya. Karena hal tersebut teman-temannya ini
menjauhinya, hal ini menyebabkan remaja semakin terpuruk dan sulit untuk melewati
masa krisisnya sehingga menyebabkan remaja semakin tidak percaya pada orang lain
(Feist & Feist dalam Sonata, 2014).
Apabila remaja memperoleh dukungan, terutama dari keluarga mereka dapat
mengalami emosi positif dan mampu beradaptasi dengan situasi

yang dialaminya

(Perez, Lopez dkk dalam Sonata 2014). Jika remaja mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal ini akan membuat individu yang menikah
pada tahap ini merasa lebih tertekan dibandingkan individu yang menikah ditahap
dewasa (Perez, Lopez dkk dalam Sonata 2014). Akibatnya mereka tidak merasa
memperoleh cukup kasih sayang yang dapat membuat mereka merasa bahagia.
Kesulitan penyesuaian diri menyebabkan mereka merasakan ketidakbahagiaan
(Soesilowati, dalam Sonata 2014).
Hubungan Antara Dukungan Emosional Dengan Resiliensi Pada Remaja Yang
Menikah Akibat Kehamilan Diluar Nikah
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi, salah satunya adalah
dukungan sosial khususnya dukungan emosional orangtua. Menurut Sarafino (2007)
dukungan emosional melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu
sehingga individu merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Selain itu dukungan
emosional juga diartikan sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan
yang diberikan oleh orang-orang sekitar individu untuk menghadapi setiap
permasalahan dan krisis yang terjadi (Pierce, dalam Sundari 2015).

14

Dukungan emosional orangtua sangat penting perannya bagi remaja yang
menikah akibat kehamilan diluar nikah yang dialami remaja memiliki dampak
psikologis khususnya bagi remaja putri. Seperti adanya rasa malu, perasaan bersalah
yang berlebihan, ketidaksiapan untuk bertanggungjawab dan peralihan peran sebagai
orangtua tentunya dapat menimbulkan perasaan stress dan rasa tertekan serta perasaan
terisolasi karena faktor lingkungan yang

turut membicarakan kehamilan mereka

sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang mengancam perkembangan psikologis
(Sonata, 2014).
Remaja yang mengalami kehamilan diluar nikah pasti merasakan perasaan
ketidaknyamanan atas yang dialami dan saat ini masih dianggap sebagai aib bagi
sebagian orang karena termasuk melanggar norma dan agama yang diyakini. Dengan
adanya dukungan emosional orangtua maka remaja akan merasa dihargai dan tetap
diterima keberadaannya dalam keluarga tersebut serta secara psikologis lebih sehat
sehingga sangat bagus bagi kesehatan ibu dan bayinya. Melalui bentuk dukungan
emosional yang diberikan, akan membuat individu memiliki keyakinan bahwa mereka
dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai serta menjadi bagian dalam suatu ikatan
sosial yang akan menjadi sumber pertahanan dalam menghadapi situasi yang sulit
(Cobb, dalam Arjani 2015).
Orangtua sebagai lingkungan terdekat dengan individu sangat besar perannya
bagi resiliensi seseorang khususnya remaja yang menikah akibat kehamilan diluar
nikah. Dengan adanya dukungan emosional orangtua, akan membuat remaja merasa
mempunyai dukungan, kekuatan, dan perlindung yang aman sehingga membuat mereka
merasa tidak hanya dirinya sendiri yang menanggung beban tetapi ada orangtua yang
menolong dan membantunya sehingga remaja akan merasa lebih mampu untuk
menghadapi, mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan terburuk dan berusaha
meminimalkannya, berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan atau bahkan mampu
menghilangkan dampak-dampak yang mungkin merugikan dari kondisi yang tidak
menyenangkan menjadi suatu hal yamg wajar untuk diatasi.

15

Hipotesis
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, hipotesis yang diajukan adalah “ada
hubungan signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi pada remaja
yang menikah akibat kehamilan diluar nikah.” Artinya, semakin tinggi dukungan
emosional orangtua maka akan semakin tinggi resiliensi remaja yang menikah akibat
kehamilan diluar nikah.
Metode Penelitian
A.

Identifikasi Variabel Penelitian

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu dukungan emosional orangtua sebagai
variabel bebas dan resiliensi sebagai variabel terikat.
B.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri yang tinggal di kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang yang menikah akibat kehamilan diluar nikah. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Snowball Sampling. Sampel
yang dipilih yaitu remaja perempuan yang berusia 12-21 tahun, usia perkawinan antara
0-5 tahun, subjek merupakan pasangan yang menikah akibat kehamilan dilkuar nikah
serta berdomisili di Kecamatan Tuntang-Kabupaten Semarang serta masih tinggal
bersama dengan orangtuanya.
Singarimbun dan Efendy (1995) mengungkapkan bahwa dalam penelitian
korelasional digunakan subjek minimal 30 kasus. Dengan demikian besarnya sampel
dalam penelitian ini minimal 30 orang, yang semuanya merupakan remaja putri. Alasan
difokuskannya penelitian pada subjek remaja putri karena, kehamilan yang dialami
remaja putri yang belum adanya ikatan pernikahan selain mereka merasa malu, perasaan
bersalah yang berlebih, belum memiliki kesiapan untuk melahirkan serta merawat
anaknya dengan baik (Srijauhari, 2008). Selain itu, remaja putri juga memperoleh
tekanan psikologis yang lebih berat dibandingkan dengan remaja laki-laki sehingga
dapat membahayakan kondisi kesehatan janin dan dirinya sendiri (Kusmiran, 2011).
Selain hanya difokuskan pada subjek remaja putri, penelitian ini juga difokuskan pada
subjek yang menikah kurang dari 5 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia perkawinan 0-5
tahun merupakan proses penyesuaian dan adaptasi diri bagi pasangan yang baru

16

menikah ( Sadarjoen, dalam Dewanti, 2012) dan juga berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Lathifah (2013) yang mendapati hasil bahwa banyak terjadi perceraian
pada usia pernikahan antara 0 - 5 tahun dengan prosentase tinggi yaitu 36,8%.
Sehingga, apabila remaja tidak berhasil dalam melakukan penyesuaian dan adaptasi
dengan pasangannya maka dikhawatirkan akan berpengaruh dengan hubungan dan
keharmonisan pernikahannya serta dapat berujung pada perceraian.
C. Alat Ukur dan Prosedur Pengambilan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yaitu skala. Skala
Resiliensi disusun berdasarkan aspek-aspek resiliensi oleh Wagnild & Young (1993)
yaitu, ketenangan hati, (equanimity), ketekunan / kekerasan hati (perseverence),
kepercayaan diri (self relience), kesendirian (existential aloneness), spiritualitas
(spirituality/meaningfulness). Skala psikologi ini terdiri dari 25 item yang semuanya
merupakan item favorable. Skala dukungan emosional yang digunakan disusun
berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Sarafino (2007) dengan aspek-aspek :
Emphaty, caring, concern, positive regard, encoragement toward the person. Skala
psikologi ini terdiri dari 25 item, yang terdiri dari 20 item favorable dan 5 item
unfavorable.
Metode yang digunakan yaitu skala Likert, dengan menggunakan empat respon :
sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Jika pernyataan bersifat
favorable maka masing-masing diberi skor berturut-turut 4,3,2, dan1. Sebaliknya jika isi
pernyataan unfavorable, maka masing-masing respon diberi skor 1,2,3 dan 4. Penelitian
ini menggunakan try out terpakai, sehingga pengambilan data hanya dilakukan satu kali.
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan hasil try out yang telah dilakukan
sebagai bahan dalam menganalisis data.
Alat Ukur Resiliensi. Berdasarkan uji validitas item yang telah dilakukan
sebanyak dua kali terhadap 25 item angket resiliensi, 12 item bertahan sedangkan 13
item dinyatakan gugur. Kemudian, pengujian terhadap reliabilitas alat ukur
menggunakan cronbach’s alpha. Dari hasil uji reliabilitas didapatkan hasil koefisien
reliabilitas sebesar 0,768.Maka, alat ukur resiliensi termasuk dalam kategori reliabel.

17

Alat Ukur Dukungan Emosional Orangtua. Berdasarkan uji validitas item
yang telah dilakukan sebanyak dua kali terhadap 25 item angket dukungan emosional
orangtua, 23 item bertahan sedangkan 2 item dinyatakan gugur. Kemudian, pengujian
terhadap reliabilitas alat ukur ini dengan menggunakan cronbach’s alpha. Dari uji
reliabilitas didapatkan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,869.Maka alat ukur
dukungan emosional orangtua termasuk dalam kategori reliabel.
HASIL PENELITIAN
Hasil Analisis Deskriptif
a.

Resiliensi

Variabel resiliensi memiliki 12 item yang tidak gugur dengan jenjang skor antara 1
sampai dengan 4. Pembagian skor tertinggi dan terendah adalah sebagai berikut,
Skor tertinggi : 4 X 12 = 48
Skor terendah : 1 X 12 = 12
Pembagian interval dilakukan menjadi 5 kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah,
dan sangat rendah. Pembagian interval dilakukan dengan mengurangi jumlah skor
tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori. Untuk
menghitung interval menurut Hadi (2000) digunakan rumus sebagai berikut :

Berdasarkan hasil pembagian interval tersebut, maka didapati data resiliensi remaja
sebagai berikut :
Tabel 1.
Kategorisasi Hasil Pengukuran Skala Resiliensi
No.
1
2

Interval
40,8 x
33,6

48
40,8

Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi

Mean
37,10

Frekuensi
7
20

Presentase
23,33%
66,67%

18

3
4
19,2
5
Jumlah
SD : 4, 003

33,6
19,2

Sedang
Rendah
Sangat Rendah
MIN : 28

3
0
0
30
MAX : 45

10%
0
0
100%

Berdasarkan hasil kategori diatas, diketahui terdapat 7 remaja (23,44%)
memiliki resiliensi dalam kriteria sangat tinggi, 20 remaja (66,67) memiliki resiliensi
tinggi, dan sebanyak 3 remaja (10%) memiliki resiliensi yang berada pada kategori
sedang. Rata-rata dari skor resiliensi sebesar 37,10 %. Berdasarkan hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa rata-rata subjek memiliki resiliensi yang masuk dalam kategori
tinggi.

b.

Dukungan Emosional Orangtua.

Variabel dukungan emosional orangtua memiliki 23 item yang tidak gugur dengan
jenjang skor antara 1 sampai dengan 4. Pembagian skor tertinggi dan terendah adalah
sebagai berikut :
Skor tertinggi : 4 X 23 = 92
Skor terendah : 1 X 23 = 23

Pembagian interval dilakukan menjadi 5 kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah,
dan sangat rendah. Pembagian interval dilakukan dengan mengurangi jumlah skor
tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori. Untuk
menghitung interval menurut Hadi (2000) digunakan rumus sebagai berikut :

Berdasarkan hasil pembagian interval tersebut, maka didapati data dukungan emosional
orangtua sebagai berikut :

19

Tabel 2.
Kategorisasi Hasil Dukungan Emosional Orangtua
No.
Interval
Kategori
1
Sangat Tinggi
78,2 x 92
2
64,4
78,2 Tinggi
3
64,4 Sedang
4
Rendah
36,8
5
Sangat Rendah
36,8
Jumlah
SD : 7,186
MIN : 58

Mean
71,23

Frekuensi
5
20
5
0
0
30
MAX : 86

Presentase
16,67%
66,67%
16,67%
0
0
100%

Berdasarkan hasil kategori diatas, diketahui terdapat 5 remaja (16,67%) memperoleh
dukungan emosional orangtua dalam kategori sangat tinggi, 20 remaja (66,67%)
memperoleh dukungan emosional orangtua dalam kategori tinggi serta sebanyak 5
remaja (16,67 %) memperoleh dukungan emosional orangtua

sebesar 71,23.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek memiliki
dukungan emoisonal orangtua yang masuk dalam kategori tinggi.

Uji Asumsi
1.

Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov. Dari hasil uji
tersebutdidapatkan hasil yaitu varibel resiliensi dengan K-S-Z yang memiliki
signifikansi 0,628 (p>0,05) dan variabel dukungan emosional orangtua
dengan K-S-Z yang memiliki signifikansi 0,542 (p > 0,05). Ini berarti bahwa
kedua variabel berdistribusi normal.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
linear antara variabel dukungan emosional orangtua (variabel bebas)
terhadap variabel resiliensi (variabel tergantung). Peneliti mendapatkan hasil
bahwa kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang tidak linear, yaitu
variabel

resiliensi

dengan

dukungan

signifikansi sebesar 0,028 (p< 0,05).

emosional

orangtua

memiliki

20

Uji Korelasi
Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan Spearman Correlation, maka
didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 3.
Uji Korelasi antara Dukungan Emosional Orangtua dengan Resiliensi
Correlations

Resiliensi
Spearman's rho Resiliensi

Dukungan
_Emosiona
l_Orangtua

Correlation
Coefficient

1.000

.231

Sig. (2-tailed)

.

.219

N

30

30

.231

1.000

Sig. (2-tailed)

.219

.

N

30

.30

Dukungan_Emosional_ Correlation
Orangtua
Coefficient

Tabel diatas menunjukkan bahwa taraf signifikansi hubungan antara dukungan
emosional orangtua dengan resiliensi dengan n = 30 sebesar 0,219 (p >0,05) dan nilai
Spearman Correlation 0,231.Nilai signifikansi 0,219 (p>0,05), maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan emosional orangtua dengan
resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah, dalam hal ini
hipotesis ditolak.
PEMBAHASAN
Dari hasil perhitungan korelasi Spearman diperoleh nilai signifikansi sebesar
0,219 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Arjani, (2015),

21

Ozbay dkk, (2007), Lestari, (2007) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara dukungan emosional dengan resiliensi. Hal ini dapat disebabkan bahwa
sebenarnya tidak hanya dukungan emosional orangtua saja yang menjadi faktor dalam
terbentuknya resiliensi tetapi ada beberapa kemungkinan mengapa tidak ada hubungan
atau korelasi yang signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi.
Diantara beberapa kemungkinan tersebut yaitu, karena subjek tidak hanya memperoleh
dukungan emosional hanya dari orangtua saja, tetapi juga dari suami, saudara kandung,
serta kakek dan nenek subjek yang juga masih tinggal serumah dengan keluarga subjek.
Selain itu, penulis juga mencoba mencari tahu penyebab terjadinya hipotesis penelitian
yang tidak terbukti, yaitu dengan mewawancarai beberapa subjek yang menikah akibat
kehamilan diluar nikah di Kecamatan Tuntang.

Berdasarkan wawancara yang

dilakukan oleh peneliti kepada beberapa subjek melalui wawancara tersebut didapatkan
beberapa kesimpulan yaitu :
Pertama, subjek cenderung menganggap bahwa permasalahan-permasalahan
yang ada memang harus dihadapi dan diselesaikan.Mereka juga menyadari bahwa
pernikahan tidak selamanya berjalan dengan lancar tanpa adanya permasalahan. Subjek
juga menyampaikan bahwa mereka cenderung lebih nyaman
permasalahan

menyelesaikan

dengan pasangan atau menyelesaikannya sendiri tanpa melibatkan

orangtua. Meskipun mereka menyadari bahwa orangtua sangat terbuka dan tidak segan
untuk membantu apabila subjek sedang menemui permasalahan. Selain itu, meski
subjek masih tinggal bersama dengan orangtua tetapi subjek berusaha untuk
menghasilkan uang sendiri dengan cara berjualan online ataupun bekerja menjadi
karyawan pabrik. Hal ini sesuai dengan pendapat Bernard (dalam Haningrum dkk,l
2014) yang menyebutkan bahwa autonomy (kemandirian) merupakan salah satu ciri dari
individu yang resilien.
Kedua, subjek mempunyai kemampuan menilai kemampuan diri sendiri atau
yang disebut dengan self-efficasy, hal ini terlihat dari keyakinan dan upaya subjek
bahwa mereka bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menekan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura (1997) yang menyebutkan bahwa ciri individu
yang resilien yaitu mereka memiliki self efficasy. Ketiga, subjek mempunyai
spiritualitas yang baik, hal ini terlihat dari keaktifan narasumber dengan ikut terlibat

22

aktif dalam pengajian rutin yang dilakukan dilingkungan sekitarnya serta dalam
kesehariannya subjek mengaku berusaha menjaga dan melakukan ibadah secara
kontinu.Selain itu, subjek juga mengaku dalam kesehariannya berusaha untuk rutin
membaca Al-Quran dan buku-buku keagamaan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Gwyther & Roberto (dalam Iqbal 2010) yang menyatakan bahwa spiritualitas
merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi resiliensi seseorang. Dimana
spiritualitas yang tinggi akan mempengaruhi cara berfikir, bagaimana mengelola emosi
serta bagaimana berperilaku yang baik. Individu yang mempunyai spiritualitas yang
tinggi akan cenderung memandang permasalahan yang dihadapinya dengan sudut
pandang positif, lebih bijak dalam mengelola emosi dan bagaimana mereka nantinya
berperilaku dan bertindak. Serta mereka akan berusaha menjalani kehidupannya dengan
sebaik mungkin karena mereka percaya, bahwa setiap kejadian baik ataupun buruk
merupakan kehendak Tuhan yang harus diterima dan dijalani dengan sebaik mungkin.
Hal ini sesuai dengan pendapat Aman (dalam Pustakasari, 2014) yang menyatakan
bahwa spiritualitas yang matang akan mengantarkan seseorang untuk bisa
menempatkan diri pada situasi atas peristiwa dan melakukan apa yang seharusnya
dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan. Keempat, adanya emosi positif.
Individu yang memiliki spiritualitas yang tinggi akan mengubah permasalahanpermasalahan yang menekannya menjadi emosi positif sehingga mereka tidak akan
lekas menyerah pada keadaan yang menekannya. Individu yang mempunyai emosi
positif, akan berusaha berfikir secara positif meski sedang ditimpa permasalahan yang
rumit sekalipun. Pada diri subjek, hal ini terlihat pada cara berfikir subjek yang
memandang segala permasalahan yang dihadapinya sudah disesuaikan dengan
kemampuannya serta pasti mampu untuk mereka selesaikan dan mereka lalui. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoiriyah (2013) yang menyatakan
bahwa adanya emosi positif akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan secara
keseluruhan baik secara kognitif, fisik maupun sosial.
Beberapa temuan tersebut menjawab persoalan dalam penelitian ini mengenai
tidak adanya hubungan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi remaja
yang menikah akibat kehamilan diluar nikah. Bahwa terdapat faktor-faktor lain seperti
dukungan emosional suami, kemandirian (autonomy), self efficasy, spiritualitas dan
emosi positif yang lebih berdampak pada resiliensi remaja.

23

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat
korelasi yang signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi pada
remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah di Kec. Tuntang. Temuan lain dari
penelitian ini adalah sebagian besar subjek yaitu 66,67% memiliki dukungan emosional
orangtua dan resiliensi yang tinggi sehingga dapat dikatakan besar tidaknya dukungan
emosional orangtua tidak berpengaruh signifikan pada resiliensi remaja yang menikah
akibat kehamilan diluar nikah.

SARAN
Bagi Remaja
Dengan adanya hasil tingkat resiliensi yang tinggi, diharapkan remaja untuk
mempertahankan atau meningkatkan resiliensinya dengan cara lebih terbuka terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, ti