BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Internalisasi Nilai-nilai Islam - PELAKSANAAN INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM KEPADA SISWA AUTIS DI SLB C-C1 YAKUT PURWOKERTO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Internalisasi Nilai-nilai Islam

  1. Pengertian internalisasi Internalisasi merupakan suatu proses yang harus terjadi dalam pendidikan. Internalisasi bukan hanya sekedar transformasi ilmu pengetahuan oleh pihak pendidik kepada peserta didik, tetapi menekankan kepada penghayatan serta pengaktualisasian ilmu pengetahuan yang merupakan nilai sehingga nilai tersebut menjadi kepribadian dan prinsip dalam hidupnya.

  Internalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar nilai tersebut tertanam dalam diri setiap manusia. Karena pendidikan agama Islam berorientasi pada pendidikan nilai sehingga perlu adanya proses internalisasi tersebut. Jadi internalisasi merupakan ke arah pertumbuhan batiniah atau rohaniah peserta didik. Pertumbuhan itu terjadi ketika siswa menyadari sesuatu nilai yang terkandung dalam pengajaran agama dan kemudian nilai-nilai itu dijadikan suatu sistem nilai diri sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku, dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini (Nurdin, 2014 : 124-125).

  Menurut Muhadjir (1993 : 103). Internalisasi adalah interaksi yang memberikan pengaruh pada penerimaan atau penolakan nilai

  7

  (values), lebih memberi pengaruh pada kepribadiannya, fungsi evaluatif menjadi dominan. Sedangkan menurut Ahmad Tafsir dalam Nurdin (2014 : 125) internalisasi adalah upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan ketrampilan melaksanakan (doing) ke dalam pribadi seseorang (being).

  Internalisasi diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

  Dapat disimpulkan bahwa internalisasi adalah menyatukan keberhargaan nilai ke dalam diri seseorang melalui pembiasaan, penanaman, pengorganisasian, penghayatan, terhadap suatu ajaran untuk dijadikan sebagai sikap, perilaku, ucapan dan perbuatan sesuai dengan ajaran Islam.

  2. Tujuan internalisasi nilai Setiap proses yang dilakukan dalam pendidikan harus dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan. Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat (Daradjat, 2008 : 29).

  Sedangkan menurut Mujib dan Mudzakkir (2006 : 75-77) menyangkut internalisasi nilai-nilai, yang di dalamnya terdapat iman, Islam, dan ihsan serta ilmu pengatahuan menjadi pilar-pilar utamanya. Secara teoritis, tujuan akhir di bedakan menjadi tiga bagian, yaitu :

  a. Tujuan normatif. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma- norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak di internalisasi, misalnya :

  b. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk mengfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi : c. Tujuan operasional. Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial.

  Dari berbagai tujuan di atas maka guru akan lebih mudah untuk melaksanakan internalisasi nilai-nilai yang akan dicapai dalam sebuah proses pembelajaran, aspek ini lebih menekankan pada kesadaran siswa untuk mengamalkannya. Selain melalui proses pendidikan di sekolah perlu adanya kerja sama dengan pihak orang tua siswa, mengingat waktu siswa lebih banyak digunakan di luar sekolah. Dalam kajian psikologi, kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu akan muncul tatkala tindakan tersebut telah dihayati (terinternalisasi).

  3. Tahapan dan langkah-langkah internalisasi nilai-nilai Menurut Muhaimin (2012 : 178) tahap-tahap dalam internalisasi nilai adalah : a. Tahap transformasi nilai : pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal.

  b. Tahap transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dan guru bersifat timbal balik.

  c. Tahap transinternalisasi, yakni bahwa tahap ini jauh lebih dalam dari pada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di hadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya).

  Jadi, dalam tahapan-tahapan ini guru tidak sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal tetapi juga melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dan guru yang bersifat timbal balik.

  Menurut Muhaimin (2012 : 179) tahap-tahap internalisasi ini diupayakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menyimak (receiving), yakni kegiatan siswa untuk bersedia menerima adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam sikap efektifnya.

  b. Menanggapi (responding), yakni kesediaan siswa untuk merespons nilai-nilai yang ia terima dan sampai ke tahap memiliki kepuasan untuk merespons nilai tersebut.

  c. Memberi nilai (valuing), yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespons nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru terhadap nilai-nilai yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

  d. Mengorganisasi nilai (Organization of value), yakni aktivitas siswa untuk mengatur berlakunya sistem nilai yang ia yakini sebagai kebenaran dalam laku kepribadiannya sendiri sehingga ia memiliki suatu sistem nilai yang berbeda dengan orang lain.

  e. Karakteristik nilai (characterization be a value complex), yakni dengan membiasakan dengan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan yang diorganisir dalam laku kepribadiannya sehingga nilai tersebut sudah menjadi watak (kepribadiannya), yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya.

  Menurut Krathwohl (1964) sebagaimana di kutip Lubis (2009 : 19-21) bahwa tahapan-tahapan lain dalam menginternalisasi nilai dapat dikelompokkan dalam 5 tahap, yakni : a. Tahap receiving (menyimak). Pada tahap ini seseorang aktif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenomena-fenomena, sedia menerima secara aktif dan selektif dalam memilih fenomena. b. Tahap responding (menanggapi). Pada tahap ini, seseorang sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi secara aktif stimulus dalam bentuk respons yang nyata.

  c. Tahap valuing (memberi nilai). Kalau pada tahap pertama dan kedua lebih banyak masih bersifat aktivitas fisik biologis dalam menerima dan menanggapi nilai, maka pada tahap ini seseorang sudah mampu menangkap stimulus itu atas dasar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan mulai mampu menyusun persepsi tentang objek.

  d. Tahap mengorganisasikan nilai (organization). Yaitu satu tahap yang lebih kompleks dari tahap ketiga di atas. Seseorang mulai mengatur sistem nilai yang ia terima dari luar untuk diorganisasikan (ditata) dalam dirinya sehingga sistem nilai itu menjadi bagian yang tidak terpisahankan dalam dirinya.

  e. Tahap karakterisasi nilai (Characterization). Yang ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk mengorganisasir sistem nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan, ajek dan konsisten sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya.

  Tahapan-tahapan proses pembentukan nilai ini lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana seseorang menerima nilai-nilai dari kemudian menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam dirinya. Dalam tahapan internalisasi nilai ini seorang guru melakukan suatu pembiasaan pemahaman kepada siswanya agar tahapan-tahapan tersebut terlaksana sesuai dengan yang di harapkan. Seorang guru ketika menginternalisasi nilai membutuhkan proses yang lama untuk menjadikan nilai itu tetap melekat dalam dirinya.

B. Nilai-nilai Islam

  1. Pengertian nilai-nilai Islam Demikian luasnya implikasi konsep nilai ketika dihubungkan dengan konsep lainnya, ataupun dikaitkan dengan sebuah statement.

  Konsep nilai ketika dihubungkan dengan dengan logika menjadi benar- salah, ketika dihubungkan dengan estetika menjadi indah-jelek, dan ketika dihubungkan dengan etika menjadi baik-buruk. Kata value, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi nilai, berasal dari bahasa Latin valere atau bahasa Prancis kuno valoir (Encyclopedia of Real Estase Terms, 2002). Sebatas arti denotatifnya,

  

valere, valoir, value, atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. (Mulyana,

2011 : 7).

  Menurut M.Z. Lawang dalam Nurdin (2014:36) yang pasti bahwa nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut.

  Nilai atau value (bahasa inggris) atau valere (bahasa latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai ini adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2008 : 28).

  Sedangkan menurut Kupperman, 1983 sebagaimana di kutip Mulyana (2011 : 9) nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.

  Sidi Gazalba dalam Lubis (2009 : 17) bahwa mengartikan nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, dan ideal. Nilai bukan benda konkret, bukan fakta, tidak hanya sekedar soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, yang disenangi dan tidak disenangi.

  Islam secara teologis merupakan rahmat bagi manusia dan alam semesta. Letak kerahmatannya pada kesempurnaan Islam itu sendiri Islam mempunyai nilai-nilai universal yang mengatur semua aspek kehidupan manusia. Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., diyakini oleh umat manusia sebagai ajaran yang dapat menjamin bagi terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin, dunia akhirat.

  Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti. Di tinjau dari segi normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, haq dan bhatil. Sedangkan ditinjau dari operatif nilai mengandung lima pengertian kategorial yang menjadi perinsip perilaku manusia yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Pada dasarnya struktur dalam islam lebih banyak memberikan ruang gerak yang luas dalam menentukan pilihan tingkah laku perbuatan seorang muslim. (diakses tanggal 01 Desember 2015 pukul 0 : 02 WIB).

  Nilai-nilai keagamaan merupakan salah satu nilai yang ada sebagaimana dijelaskan pada uraian terdahulu. Nilai-nilai keagamaan di sini dimaksudkan sebagai nilai-nilai Islam. Studi tentang nilai-nilai Islam secara kaffah merupakan pekerjaan yang amat besar, karena nilai-nilai Islam tersebut menyangkut berbagai aspek dan memerlukan kajian dan telaah yang luas. Oleh karena itu, kajian nilai-nilai Islami di sini tidak mengupas aspek-aspek tersebut secara terperinci, namun dibatasi pada nilai-nilai pokok ajaran Islam yang sewajarnya ada dan dimiliki oleh seorang muslim.

  Nilai-nilai pokok ajaran Islam tersebut meliputi iman, Islam dan ihsan, sebagai satu kesatuan integral yang tidak dapat di pisahkan atara satu dengan yang lain. Keterkaitan ketiga komponen di atas digambarkan oleh Allah SWT dalam sebuah perumpamaan dalam Al-

  Qur‟an, “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membawa perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin Tuhan. Allah membawa perumpamaan- perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (Q.S.

  Ibrahim : 24-25). Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan muslim dari Umar bin Khathab ra bahwa nilai-nilai pokok ajaran agamaIslam secara keseluruhan mencakup tiga hal :

  a. Iman, meliputi enam rukun : 1) Imam kepada Allah 2) Iman kepada Malaikat-malaikat Allah 3) Iman kepada Kitab-kitab Allah 4) Iman kepada Rasul-rasul Allah 5) Iman kepada Hari akhir 6) Iman kepada Qadar baik dan Qadar buruk

  b. Islam, meliputi rukun Islam 1) Mengucapkan dua kalimat syahadat 2) Mendirikan shalat 3) Membayar zakat 4) Mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan 5) Mengerjakan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melaksanakannya. c. Ihsan yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah dan jika kita tidak dapat melihatnya, kita meyakini, bahwa Allah melihat kita. (Lubis, 2009 : 20).

  Islam berasal dari kata aslama, yaslimu yang berarti mengarah, tunduk dan patuh. Islam mengandung makna yang umum bukan hanya nama dari suatu agama. Ketundukan, ketaatan dan kepatuhan merupakan makna Islam. Dengan demikian Islam segala sesuatu yang tunduk dan patuh terhadap kehendak Al-

Qur‟an mempunyai beberapa arti : Tunduk dan Patuh ( Q.S. Al-

  Baqarah : 131, berserah diri) (Q.S. Yunus : 72) (Q.S. Yunus : 84) (Q.S. Ali-Imran) dan Islam (Q.S. Yusuf : 101) (Q.S. Al-Maidah : 3) (Q.S. Al-Maidah : 19) dan (Q.S. Al-Baqarah : 208)

  Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya berasal dari Allah SWT diwahyukan kepada utusannya (Rasul) dan lanjutannya disampaikan kepada manusia. Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh para Nabi pada setiap zamannya yang berakhir dengan kenabiian Muhammad SAW. Peranan agama Islam bagi para Nabi didasarkan kepada firman Allah. Rangkaian ayat-ayat yang ada dalam firman Allah SWT menggambarkan bahwa agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui para Rasul dan pada saat terakhir agama ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi Islam dalam pengertian lain ajaran yang diwahyukan Allah SWT Kepada Nabi Muhammad SAW.

  Agama Islam adalah risalah atau pesan-pesan yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul sebagai petunjuk dan pedoman ysang mengandung hukum-hukum. Risalah- risalah tersebut sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tata cara kehidupan manusia, yang mengatur hubungan manusia dengan khaliq, manusia dengan makhluq (manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya).

  Sebagai sumber nilai, agama Islam merupakan petunjuk, pedoman dan pendorong bagi manusia dalam menciptakan dan mengembangkan budaya, serta memberikan pemecahan terhadap segala persoalan hidup dan kehidupan. Agama Islam mengandung ketentuan-ketentuan keimanan, muamalah dan pola tingkah laku dalam berhubungan dengan sesama makhluk dan menentukan proses berpikir, dan lain-lainnya (Lubis, 2009 : 21).

  Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan yang dapat mempengaruhi perilaku sosial meliputi iman, Islam dan ihsan, sebagai satu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan atara satu dengan yang lain.

  2. Sumber nilai-nilai Islam Menurut Daradjat (2008 : 19) setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan untuk tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu nilai-nilai

  Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan nilai-nilai Islam itu dihubungkan, landasan itu terdiri dari Al-Q ur‟an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah, al mursalah, istihsan, qiyas , dan sebagainya.

  a. Al- Qur‟an

  Al- Qur‟an ialah firman Allah SWT berupa wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan amalan itu disebut Syari‟ah.

  Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam Al- Qur‟an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh (syari‟ah). Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari‟ah ini ialah ; ibadah untuk perbuatan yang langsung berhubungan selain dengan Allah, dan akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan.

  b. As-Sunnah As-Sunah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan

  Rasul Allah SWT. Yang dimaksud pengakuan itu ialah kejadian atas perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-

  Qur‟an, sunnah juga berisi a qidah dan Syari‟ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk keselamatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah- daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan muslim dan masyarakat Islam.

  Oleh karena itu sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemugkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang berkaitan dengan pendidikan.

  Dari kedua sumber nilai-nilai Islam di atas setiap aktivitas yang disengaja harus mempunyai sumber dan landasan tempat berpijak yang kukuh dan kuat, karena manusia selalu berpedoman kepada pandangan hukum-hukum dasar yang dianutnya dan kedua sumber di atas itulah yang akan menjadi pegangan dasar di dalam kehidupan manusia.

  3. Ruang lingkup nilai-nilai Islam Dasar-dasar agama Islam pada hakikatnya adalah membicarakan kerangka umum dari ajaran Islam seluruh dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran Islam adalah penting dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Apabila diklasifikasikan ada bagian yang penting. Dalam tulisan ini akan dibahas secara berurutan secara mulai dari bagian yang paling mendasar dan sekaligus merupakan bagian yang paling penting.

  Menurut Alim (2011 : 124) yaitu :

  a. Nilai akidah/ keimanan Akidah secara etimologi berarti yang terkait. Setelah terbentuk menjadi kata, akidah berarti perjanjian yang teguh dan kuat, dan tertanam dalam lubuk hati yang paling dalam. Secara terminologis berarti credo, creed, keyakinan hidup iman dalam arti khas, yakni pengikraran yang bertolak dari hati, menentramkan jiwa, dan menjadi keyakinan yang tidak tercampur dengan keraguan.

  Akidah atau iman adalah pondasi dalam kehidupan umat Islam, sedangkan ibadah adalah menifestasi dari iman. Kuat atu lemahnya ibadah seseorang ditentukan oleh kualitas imannya.

  Dengan demikian, iman harus mencakup empat komponen yaitu ; ucapan, perbuatan, niat (keyakinan) dan sesuai dengan Sunnah Rasul. Sebab iman apabila hanya berbentuk ucapan tanpa amal, berarti kafir; ucapan dan amal tapi tanpa niat adalah munafik; sementara ucapan, amal dan niat tapi tidak sesuai dengan Sunnah Rasul adalah bid‟ah.

  b. Nilai ibadah Secara harfiyah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT, karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.

  Sedangkan menurut majelis Tarjih Muhammadiyah yang dikutip oleh Muhammad Alim di dalam bukunya definisi ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya.

  Ketentuan ibadah termasuk salah satu bidang ajaran Islam di mana akal manusia tidak berhak campur tangan, melainkan hak dan otoritas milik Allah sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini mematuhi, mentaati, melaksanakan dan menjalankannya dengan penuh ketundukan sebagai bukti pengabdian dan rasa terimakasih kepada-Nya. Ini selaras dengan makna Islam, yaitu berserah diri, patuh dan tunduk guna mendapatkan kedamaian dan keselamatan. Ketenangan jiwa, rendah hati, menyandarkan diri kepada amal saleh dan ibadah bukan kepada nasab tertentu, semuanya adalah hasil dari pengamalan ibadah.

  Dengan demikian visi Islam tentang ibadah adalah merupakan sifat, jiwa dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas sang pencipta manusia, sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya. Peraturan ibadah dalam Islam terdiri dari :

  1) Rukun Islam : mengucapkan syahadatain, shalat, zakat, puasa dan haji.

  2) Ibadah lainnya dan ibadah yang berhubungan dengan rukun Islam. Hal ini terbagi menjadi dua, pertama ibadah badaniyah atau bersifat fisik (bersuci meliputi wudhu, mandi, tayamum, pengaturan penghilangan najis, peraturan air, adzan, iqamah, doa, pengurusan mayat dan lain-lain). Kedua ibadah maliyah (bersifat kebendaan/materi) seperti kurban, akikah, sedekah, wakaf, fidyah, hibah dan lain-lain.

  Ibadah secara umum berarti mencakup seluruh aspek kehidupan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang merupakan tugas hidup manusia. Dalam pengertian khusus ibadah adalah perilaku manuasia yang dilakukan atau perintah Allah dan dicontohkan oleh Rasululllah, atau disebut ritual (ibadah vertikal, habluminallah).

  c. Nilai akhlak Salah satu tujuan risalah Islam ialah menyempurnakan kemulian-kemuliaan akhlak. Akhlak mulia dalam ajaran Islam pengertiannya adalah perangai atau tingkah laku manusia yang sesuai dengan tuntutan kehendak Allah. Akhlak dalam Islam mulai dari akhlak yang berkaitan dengan diri pribadi, keluarga, sanak famili, tetangga, masyarakat, lalu akhlak yang berkaitan dengan flora dan fauna hingga akhlak yang berkaitan dengan alam yang luas ini. Dan di atas itu semua akhlak yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT.

  Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa arab yang berarti : (a) perangai, tabiat, adat (diambil dari kata dasar

  

khuluqun ), (b) kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar

khalqun ). Adapun pengertian akhlak secara terminologis, para ulama

  telah banyak mendefinisikan, di antaranya Ibn Maskawaih dalam bukunya Tahdzib al-akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan (Alim, 2011 : 151).

  Akhlak adalah merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

  Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku dalam jiwa manusia yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan- perbuatan tanpa didahului pertimbangan dan pemikiran manusia itu sendiri, dimana perbuatan-perbuatan itu sudah tertanam di dalam jiwanya.

  Dari beberapa pendapat diatas maka penulis menarik kesimpulan bahwa tujuan internalisasi nilai-nilai Islam adalah menanamkan atau menyatukan nilai-nilai Islam seperti; aqidah (keimanan), nilai ibadah, nilai akhlak (moral), nilai sosial untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi manusia yang selalu dekat dengan Allah SWT. Komponen dalam ruang lingkup nilai-nilai Islam seperti akidah, ibadah dan akhlak ketiganya merupakan suatu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

C. Anak Autis

  1. Pengertian autis Monks dkk.,dalam Novan (2014 : 187) mengungkapkan bahwa autisme berasal dari kata autos yang berarti aku. Pada pengertian non ilmiah kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa semua anak yang mengarah pada dirinya sendiri disebut dengan autisme. Sementara itu, Berk mengartikan autisme dengan istilah absorbed in the self atau keasyikan dalam dirinya sendiri. Sementara Wall mengartikan autisme sebagai

  aloof atau withdrawn, yang mana anak-anak dengan gangguan autisme

  ini tidak tertarik dengan dunia sekelilingnya. Kemudian Tilton mengungkapkan bahwa pemberian nama autisme karena hal ini diyakini dari “keasyikan yang berlebihan” dalam dirinya sendiri.

  Autisme adalah gangguan perkembangan berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi

  (berhubungan) dengan orang lain. Sutadi, 2011 bagaimana di kutip Sujarwanto (2005 : 167). Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan untuk mengerti perasaan orang lain. Lebih lanjut bahwa sutadi mengemukakan bahwa autisme merupakan gangguan proses perkembangan yang terjadi dalam tiga tahun pertama, yang menyebabkan gangguan pada bahasa, kognitif, sosial dan fungsi adaptif, sehingga anak-anak tersebut semakin lama tertinggal perkembangannya dibandingkan teman-teman seusia mereka.

  Menurut Yatim (2002) dalam Sujarwanto (2005 : 168) mengemukakan bahwa autisme merupakan kumpulan gejala kelainan perilaku dan perkembangan dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri serta terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasive).

  Sedangkan menurut Yuniar (2002) dalam Sujarwanto (2005 : 169) mengemukakan autisme adalah ganguan perkembangan yang kompleks, mempengaruhi perilaku dengan akibat kekurangmampuan, komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.

  Dapat disimpulkan bahwa Autis adalah gangguan perkembangan yang muncul di awal kehidupan seorang anak, yang ditandai oleh ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, masalah dalam hal komunikasi, dan adanya pola tingkah laku tertentu yang diulang- ulang. Anak dengan gangguan autis secara sepintas tampak tidak bermasalah. Namun bila dicermati lebih mendalam akan terlihat bahwa mereka mengalami keterlambatan perkembangan (khusunya dalam hal bahasa) serta mereka menunjukkan perilaku aneh (misalnya sering mengkibas-kibaskan tangan, bergerak berputar-putar, atau sering memandang dengan sudut mata).

  2. Sejarah autis Dalam memahami autis, sejarah munculnya autis menjadi penting sekali untuk kita ketahui jalan ceriteranya. Sejarah munculnya terminology autistik pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler seorang Psikitiatik Swiss pada tahun 1991, dimana terminology ini digunakan pada penderita schizopherenia anak remaja. Pada tahun 1943, Dr. Leo Kanner dari Johns Hopkins University mendeskripsikan tentang autistik pada masa anak-anak awal (Infantile Autism). Penemuannya didasarkan pada hasil observasi dari 11 anak-anak dari tahu 1938-1943. Selanjutnya, Kanner meredusir poin-poin di atas menjadi dua ciri-ciri utama, yakni

  

maintenance of sameness in children’s repetitive routine dan extreme

aloneness, with onset within the first two years.

  Dalam waktu yang sama, seorang psychiatrist dari Jerman Hans Asperger mengenalkan pola perilaku abnormal dalam kelompok remaja diman aia menyebutnya dengan

  “Autistic Psychopathy” (kepribadian

  yang tidak normal). Tulisan yang dipublikasikannya terkenal adalah

  

Autism and Asperger Syndrome” yang di edit oleh Uta Frith tahun

  1991. kedua tulisan Hans Asperger dan Kanner mendiskripsikan aspek kondisi yang sama. Digby Tantam dalam publikasinya National Autistic Socienty yang memberi kesan bahwa bagaimana dari keberadaan orang- orang dengan autis itu dapat bersosialisasi, perilaku yang janggal, ketrampilan secara verbal dan mengembangkan ketertarikan khusus. Dia menggunakan terminologi “Asperger Syndrome” untuk menentukan individu dalam kelompok “difficulties”. (Yuwono, 2009 : 8-11).

  Sejak sekitar tahun 1977 masalah autis mulai dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia. Ini terlihat dengan banyak beredarnya informasi mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi, terbentuknya yayasan-yayasan yang peduli dan menangani individu autis, sampai seminar-seminar nasional yang membicarakan masalah ini dengan pakar- pakar dari dalam dan luar negeri. Penanganan terhadap permaslahan anak autis semakin dapat diberikan secara terpadu dan terarah. Intervensi yang dulu dianggap „mustahil‟ kini sudah dapat dilakukan sendiri oleh orang tua sejak usia sangat dini. Perubahan ini memberikan dampak sangat positif bagi perkembangan anak, sehingga mereka dapat dipadukan untuk meraih masa depan yang lebih baik.

  Menurut Hidayat, dkk (2006 : 71) istilah autisme ini baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner. Pada saat itu jumlahnya masih sedikit dan mereka mempunyai karakteristik yang khas. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini masalah autis meningkat sangat pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Juga pada tahun 90-an jumlah anak penyandang autis adalah 15-20 per 10.000 anak, maka tahun 2000 akan diperkirakan ada 1 per 150 anak penyandang autis (Amerika Serikat). Berdasarkan penelitian psikiater di Jakarta selama tahun 2000 tercatat jumlah pasien baru autis sebanyak 103 kasus di RSCM dibandingkan dengan 6 bulan terakhir tahun 1998 yang hanya ditemukan 1 kasus baru.

  Masalah Pada tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah anak terutama penyandang autisme. Mengingat di Negara kita belum ada upaya yang sistimatis untuk menanggulangi kesulitan belajar anak autisme, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan secara umum. Peningkatan pelayanan pendidikan itu diharapkan dapat menampung anak autisme lebih banyak serta meminimalkan problem belajar terutama pada anak-anak autisme (learning problem). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dan pendidikan anak autisme diperlukan pendidikan integrasi dan implementasinya dalam bentuk group/kelas (sekolah), individu (one on one) serta pembelajaran individual melalui modifikasi perilaku.

  3. Penyebab utama autis Kalat, 1992 ; Rutter & Schopler, 1987 dalam Siti (2002 : 58) mengenai penyebab autisme yang sebenarnya kurang diketahui dengan jelas. Yang dapat dipastikan adalah bahwa gangguan yang ada pada autisme tidak disebabkan oleh faktor lingkungan, misalnya pendidikan, tetapi lebih disebabkan oleh faktor organis. Meskipun prognosanya kurang baik, tidaklah baik keadaanya tidak mungkin dapat berubah. Telah diadakan percobaan untuk pengobatan dengan fenfluramine yang dilakukan oleh Dukler, et al. (1991) tidak terdapat kemajuan apapun dari

  

fenfluramine terhadap orang-orang autistic hyperserotonergis yang

termasuk lemah ingatan tingkat madya dan tinggi.

  Autisme adalah suatu penyakit yang dalam satu abad yang lalu hampir tidak terdengar sama sekali, namun kini sudah hampir menjadi suatu yang normal. Perkembangan penyebab autis pada manusia makin melejit di beberapa dekade terakhir. Secara umum, anak yang mengalami gangguan autis ini akan mengalami efek pada sistem pencernaan, syaraf, dan kekebalan tubuh.

  4. Ciri-ciri anak autis Ketiga gangguan utama autisme, yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dang gangguan perilaku memiliki keterkaitan. Jika perilaku bermasalah, dalam perkembangan aspek interaksi sosial dan komunikasi akan mengalami masalah. Sebaliknya jika kemampuan komunikasi anak tidak berkembang, anak akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan perilaku dan interaksi sosial yang bermakna.

  Demikian juga jika anak memiliki kesulitan dalam berinteraksi sosial. Menurut Novan (2014 : 187) berikut ini merupakan ciri-ciri anak-anak dengan gangguan autis : a. Interaksi sosial 1) Cuek terhadap lingkungan.

  2) Kontak mata sangat kurang, bahkan tidak mau menatap mata lawan bicara. 3) Ekspresi muka kurang hidup. 4) Tidak mau bermain dengan teman sebayanya. 5) Suka bermain dengan dirinya sendiri. 6) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru. 7) Tidak memiliki empati atau tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. b. Komunikasi 1) Terlambat bicara.

  2) Tidak memiliki usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara. 3) Jika bicara, bicaranya tidak untuk berkomunikasi. 4) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. 5) Tidak dapat memahami pembicaraan orang lain.

  c. Perilaku 1) Cuek terhadap lingkungan.

  2) Perilaku tak terarah, seperti suka mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, melompat-lompat, dan lainnya. 3) Seringkali sngat terpukau pada benda-benda yang berputar atau benda-benda yang bergerak. 4) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang. 5) Terpaku pada satu kegiatan rutin yang tidak ada gunanya. 6) Mempertahankan satu permintaan atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan.

  Hal-hal lain yang berkaitan dengan ciri-ciri anak autistik yang menyertainya seperti gangguan emosional seperti tertawa dan menangis tanpa sebab yang jelas, tidak dapat berempati, rasa takut yang berlebihan dan sebagainya. Hal lainnya adalah koordinasi motorik dan persepsi sensoris misalnya kesulitan dalam menangkap dan melempar bola, melompat, menutup telinga bila mendengar suara tertentu ; car call, klakson mobil, suara tangisan bayi dan sirine, menjilat-jilat benda, mencium benda, tidak dapat merasakan sakit, tidak memahami bahaya dan sebagainya serta gangguan perkembangan kognitif anak (Yuwono, 2009 : 30).

  5. Pelaksanaan pendidikan anak autis Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual artinya dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ira Christiana Kepala sekolah khusus autis, “AGCA Centre” Bekasi, mengatakkan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Diantaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya.

  Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Jika penyandang autis di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

  Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A, dan melafalkan konsonan (Santoso, 2012 : 56).

  Dengan berkembangnya pandangan masyarakat terhadap anak/orang berkelainan/ luar biasa, maka sistem layanan pendidikan yang diberikan pun berubah. Masyarakat percaya bahwa penyandang kelainan/ cacat dapat dilatih dan dididik sehingga mereka mulai memberikan layanan secara khusus dan dilakukan di tempat atau institut (lembaga) yang khusus. Pada masa ini penanganan secara khusus di tempat yang khusus dianggapnya sebagai cara yang paling tepat dan efektif.

  Pendidikan luar biasa merupakan canbang dari pendidikan umum, sebagaimana disiplin ilmu pendidikan lainnya, ilmu pendidikan luar biasa telah berkembang secara pesat. Perkembangan yang secara pesat tersebut disebabkan adanya kecenderungan dari para ahli pendidikan melakukan kajian untuk menjadi ilmu pendidikan luar biasa sebagai disiplin ilmu yang mandiri.

  Dalam Undang-Undang RI No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Luar Biasa ialah ; Pendidikan “.......yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental”. Pendidikan tersebut menurut PP. No.27 tahun 1991 bertujuan “........membantu peserta didik agar mampu mengembangkan sikap dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan dalam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”. Pendidikan luar biasa yang dimaksud di atas diwujudkan dalam bentuk-bentuk sekolah khusus bagi anak tuna netra, tunarungu-tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan tunaganda, bahkan pada saat ini telah bertambah dengan pendidikan untuk anak autis. (Hidayat, dkk. 2006 : 11).

  Pada prinsipnya, sekolah yang tepat ditentukan oleh kemampuan dan kebutuhan anak. Menentukan sekolah tidak bisa dilakukan hanya dengan berdasarkan cerita orang lain, tetapi harus datang ke sekolah, bicara dari hati ke hati dengan orang tua anak lain yang sudah masuk di sekolah tersebut, serta bertemu dan berdiskusi dengan kepala sekolah dan guru kelas. Dari situ anda akan memiliki gambaran yang lebih baik tentang sekolah tersebut.

D. Penelitian Terdahulu

  1. Skripsi Khairatun Nisa yang berjudul Internalisasi Nilai-nilai Islam Terhadap Anak Autis (Studi di Tempat Pelatihan Autisme dan Anak dengan Kebutuhan Khusus Rumah Sakit UNISMA).

  Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui strategi yang diterapkan di tempat pelatihan autisme dan anak dengan berkebutuhan khusus dalam internalisasi nilai-nilai Islam terhadap anak didik, faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat internalisasi nilai-nilai Islam pada anak didik, dan usaha-usaha yang dilakukan oleh tempat pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus dalam mengatasi kendala-kendala internalisasi nilai-nilai Islam terhadap anak didik.

  Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, sumber data adalah ketua, wakil ketua, enam terapis tempat pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus, dan orang tua anak didik, serta situasi sosial lingkungan tempat pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus. Untuk tekhnik pengumpulan data, menggunakan observasi langsung, interview dan dokumentasi. Analisa data dengan reduksi data, display data kesimpulan dan verifikasi.

  Berdasarkan hasil penelitian, strategi yang diterapkan oleh tempat pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus internalisasi nilai- nilai Islam terhadap anak didik adalah : memberikan meteri-materi yang berkaitan keseharian dibentuk suasana pembiasaan kehidupan Islami seperti ; doa sehari-hari, surat-surat pendek, pengenalan huruf hijayyah, pengenalan rukun Iman, rukun Islam, wudhu, shalat berikut prakteknya, serta memberikan contoh yang baik pada anak didik.

  Yang menjadi faktor pendorong dalam internalisasi nilai-nilai Islam terhadap anak autis adalah telah tersedianya kurikulum dengan materi-materi ajaran Islam dari tempat pelatihan autisme dan anak dengan kebutuhan khusus (intern) itu sendiri, orang tua, dan lingkungan masyarakat. Sedangkan penghambat adalah berasal dari anak didik, orang tua, dan lingkungan sekitar. Adapun usaha-usaha yang dilakukan dalam mengatasi kendala atau penghambat internalisasi nilai-nilai Islam terhadap anak didik adalah terapis berusaha keras membimbing anak didik dengan bekerja sama dengan orang tua dan linkungan masyarakat, serta selalu mengadakan evaluasi bersama-sama setiap habis meberi materi terhadap anak didik, baik satu kali atau dua kali dalam seminggu.

  Perbedaan pada penelitian terdahulu diatas dengan penelitian penulis yang berjudul pelaksanaan internalisasi nilai-nilai Islam kepada siswa autis di SLB C-C1 Yakut Purwokerto adalah peneliti terdahulu megambil penelitian di rumah sakit sedangkan penulis mengambil penelitian di lembaga pendidikan untuk mengetahui internalisasi nilai- nilai Islam terhadap siswa autis yang dilakukan oleh SLB C-C1 Yakut Purwokerto dalam mengatasi internalisasi nilai-nilai Islam terhadap siswa autis.

  2. Skripsi Wildan Nabet yang berjudul Internalisasi Nilai-nilai Islam pada Lembaga Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate di Ranting Sampang Kabupaten Cilacap.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai Islam apa saja yang ada dan bagaimana proses internalisasi nilai-nilai Islam pada PSHT terhadap siswanya?.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa PSHT Ranting Sampang dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam kepada siswanya dilakukan melalui dasar atau azaz PSHT, yaitu persaudaraan, olahraga, kesenian, beladiri, dan kerohanian. Dalam prakteknya proses internalisasi nilai- nilai pendidikan Islam pada PSHT Ranting Sampang dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : pralatihan seperti ; berwudhu, penghormatan, dan doa sebelum latihan. Kegiatan inti meliputi ; pemanasan latihan tekhnik dan kerohanian. Terakhir adalah penutup meliputi ; meditasi, shalat asar berjamaah, penghormatan, doa penutupdan berjabat tangan. Adapun kegiatan lainnya seperti ; doa bersama, tasyakuran (doa), zakat fitrah, halal bihalal, latihan. Dari tahapan dan berbagai kegiatan tersebut nilai-nilai yang tertanam meliputi ; nilai ibadah, nilai akhlak kepada Allah, nilai akhlak kepada sesama, nilai sosial.

  Perbedaan pada penelitian terdahulu diatas dengan penelitian penulis yang berjudul internalisasi nilai-nilai Islam terhadap siswa autis di SLB C-C1 Yakut Purwokerto adalah peneliti terdahulu mengarahkan pada Lembaga Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate sedangkan penulis pada siswa autis untuk mengetahui pelaksanaan internalisasi nilai-nilai islam kepada siswa autis yang dilakukan oleh SLB C-C1 Yakut Purwokerto dalam mengatasi internalisasi nilai-nilai Islam terhadap siswa autis.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - ANALISIS KAPASITAS DRAINASE DENGAN METODE RASIONAL DI PERUMAHAN PURI HIJAU PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 2 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanfaatan Internet 1. Pengertian Pemanfaatan Internet - PEMANFAATAN INTERNET SEBAGAI SUMBER BELAJAR MATA P ELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP NEGERI 4 PURWOKERTO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 - repository perpustakaan

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu - ANALISIS EFEKTIVITAS SIMPANG TAK BERSINYAL JALAN GATOT SUBROTO DAN JALAN GEREJA DI PURWOKERTO UNTUK 10 TAHUN - repository perpustakaan

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rumah Sakit 1. Pengertian Rumah Sakit - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BOR PADA PASIEN UMUM RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT ISLAM PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rumah Sakit 1. Pengertian rumah sakit - HUBUNGAN MUTU PELAYANAN DENGAN KEPUASAN PASIEN DI INSTALASI RAWAT INAP RSI PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 5 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS KANDUNGAN BABI PADA KORNET DAGING SAPI DI WILAYAH PURWOKERTO DENGAN METODE REAL TIME PCR - repository perpustakaan

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fraktur terbuka 1. Definisi - EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN FRAKTUR TERBUKA DI RUMAH SAKIT TK III 04.06.01 WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO TAHUN 2011 - repository perpustakaan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Susu - IDENTIFIKASI CEMARAN BAKTERI PADA SUSU MURNI, SUSU PASTEURISASI, DAN SUSU UHT DALAM BERBAGAI KEMASAN YANG TERDAPAT DI PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PENG ARUH EDUKASI LEAFLET TERHADAP KETEPATAN PEMBERIAN DOSIS ANTIBIOTIK OLEH CAREGIVER KEPADA PASIEN ISPA DI POLI ANAK RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2012 - repository perpustakaan

1 10 39