BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas - Syamsul Ma'arif BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas Menurut Sitanggang dkk., (2003 : 3), kata religiusitas berasal dari kata religio

  atau relego (bahasa latin) yang berarti “memeriksa, menimbang, menimbang keberatan hati nurani”. Manusia religius secara sederhana dapat diartikan sebagai manusia yang berhati nurani serius, taat, shaleh dan teliti dalam pertimbangan batin.

  Jika demikian halnya, kata religius belum mengacu pada konteks agama tertentu. Namun, apabila pada kata religius diimbuhkan kata Islam, misalnya, sehingga menjadi religius Islam, pengertian religius di sini menjadi lebih tegas, yaitu mengacu pada keyakinan, berhati nurani, dan shaleh menurut ajaran agama Islam.

  Formulasi pengertian religiusitas sering terjadi kekeliruan. Kekeliruan yang paling mendasar ialah bahwa religiusitas dibedakan dengan agama sehingga religiusitas dianggap representasi sikap orang tidak beragama. Padahal, apabila dikaji lebih mendalam, religiusitas sangat koheren dengan agama karena keduanya sama- sama berorientasi pada tindakan penghayatan intens terhadap Yang Tunggal, Yang di Atas, atau Sang Pencipta (Tuhan). Oleh karena itu, ketika membahas aspek religiusitas dalam sastra, orang cenderung membatasi data hanya pada karya-karya yang di dalamnya terdapat ungkapan yang menunjuk agama (tertentu) (Sudaryani, 2008).

  Religi diartikan lebih luas daripada agama. Religi menurut asal kata berarti ikatan atau pengikatan diri. Dari sini pengertiannya lebih pada masalah personalitas, hal yang pribadi. Oleh karena itu, ia lebih dinamis karena lebih menonjolkan eksistensinya sebagai manusia (Subiyantoro, 1989 : 123).

  5 Ancok dan Suroso (1995 : 77) mendefinisikan religius sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), akan tetapi ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu dalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya kekuatan- kekuatan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya.

  Religiusitas seseorang yang diaplikasikan dalam berbagai dinamika kehidupan bertujuan untuk mencapai kesempurnaan (ahsanu al-taqwin) seorang hamba di hadapkan otoritas Supreme Being, Tuhan Yang Adi Kodrati. Spesifikasi yang hendak dicapai bukan saja seseorang lebih yakin dengan agamanya (having religion), akan tetapi lebih jauh diharapkan mereka mampu meningkatkan religius dalam segala perbuatannya (being religious) (Suparman, 2004 : 41).

  Jika dilacak dari berbagai peristiwa sejarah manusia dalam upayanya meraih dimensi terdalam dan paling eksistensial pada dirinya, merupakan sesuatu yang (a) melintasi agama, (b) melintasi rasionalisasi, (c) menciptakan keterbukaan antar manusia, dan (d) tidak identik dengan sikap pasifisme, Moeldjanto dan Sunardi (dalam Rumi, 2002 : 28).

  Ada beberapa kriteria religius . Atmosuwito dalam Rumi (2002 : 34) mengemukakan kriteria-kriteria religius adalah : (a). Penyerahan diri, tunduk dan taat pada Sang Pencipta, (b). Kehidupan yang penuh kemuliaan, (c). Perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, (d). Perasaan berdosa, (e). Perasaan takut, (f). Mengakui kebesaran Tuhan. Secara mendalam Chaplin (1999 : 47) mengatakan bahwa religi merupakan sistem yang kompleks yang terdiri atas kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam sikap dan melaksanakan upacara-upacara keagaman dengan maksud untuk dapat berhubungan dengan Tuhan.

  Oleh karena itu, sikap religiusitas sesungguhnya merupakan suatu sikap atau tindakan manusia yang dilakukan secara terus menerus dalam upaya mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek eksistensialnya. Akan tetapi, jawaban atas sejumlah pertanyaan itu tidak pernah dapat diperoleh karena bagaiakan bayangan yang melintas di batin manusia. Dengan demikian, menurut Najib dalam Sudaryani (2008 : 25)., religiusitas lebih menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius, sehingga yang muncul adalah rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak.

  Dari beberapa definisi yang diungkapkan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang dan tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.

B. Aspek dan Dimensi Religiusitas

  Seseorang dikatakan religius jika memiliki sifat-sifat yang hubungannya dengan Sang Pencipta (Tuhan) dan makhlukNya. Ketika seseorang meyakini adanya Tuhan dan mematuhi apa yang menjadi perintah dan laranganNya merupakan salah satu dari sifat religius.

  Menurut Caroline (1999 : 27) religiusitas agama Islam terdiri atas lima aspek:

  1. Aspek ilmu yang menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran agama.

  2. Aspek amal menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, membela orang lemah, bekerja dan sebagainya.

  3. Aspek ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan, dan lain-lain.

  4. Aspek Islam menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa, dan zakat.

  5. Aspek iman menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi, dan sebagainya.

  Menurut Glork dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 1995 : 56), dimensi religiusitas di antaranya adalah:

  1. Dimensi keyakinan (Ideologis). Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.

  2. Dimensi praktik agama (Ritualistik). Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

  3. Dimensi pengalaman (Experensial). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau diidentifikasikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan.

  4. Dimensi pengamalan (Konsekuensi). Dimensi ini berkaitan dengan sejauhmana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.

  5. Dimensi pengetahuan agama (Intelektual). Dimensi ini berkaitan dengan sejauhmana individu mengetahui, memahami tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci dan sumber lainnya.

C. Tokoh dalam Karya Sastra

  Sebuah cerita tentu terdiri atas peristiwa atau kejadian. Suatu peristiwa terjadi karena aksi dan reaksi tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, mungkin antara tokoh dengan tokoh, tokoh dengan lingkungan atau alam sekitarnya, atau mungkin pula tokoh dengan dirinya sendiri, dan tokoh dengan Yang Maha Kuasa, tanpa tokoh tidak mungkin ada cerita.

  Tokoh-tokoh yang dijadikan pelaku dalam sebuah cerita rekaan hendaknya tokoh yang hidup, bukan tokoh yang mati (boneka di tangan pengarang). Tokoh yang hidup ialah tokoh yang berpribadi, berwatak dan memilki sifat-sifat tertentu (Mido, 1994 : 21).

  Oemaryati (dalam Mido, 1994 : 21) mengemukakan bahwa seorang tokoh atau pelaku secara wajar dapat diterima bila dapat dipertanggungjawabkan dari dimensi fisiologi dan psikologi, yaitu :

  1. Dimensi fisiologi Dimensi fisiologi adalah ciri-ciri fisik sang tokoh, seperti jenis kelamin, umur, tampang, keadaan tubuh, ciri-ciri tubuh, rambut, raut muka, dan sebagainya.

  Selain itu termasuk pula pakaian dan segala perlengkapan yang dipakai oleh sang tokoh seperti sepatu, topi, jas, tas, jam tangan, perhiasan, dan sebagainya.

  2. Dimensi psikologi Dimensi psikologi yaitu unsur-unsur seperti mentalitas, norma-norma moral yang dipakai, perasaan-perasaan dan keinginan pribadi, sikap dan watak, kecerdasan, keahlian, kecakapan khusus, dan lain-lain. Dimensi ini berhubungan dengan faktor kejiwaan atau rohani.

  Cerita rekaan pada umumnya berkisah tentang seseorang atau beberapa orang. Orang yang melakukan perbuatan dan mengalami peristiwa dalam cerita itulah yang dinamakan pelaku cerita atau tokoh cerita. Tokoh menurut Sudjiman (1991:16) adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa di dalam berbagai peristiwa cerita.

  Suatu peristiwa tidak akan terjadi bila tokoh tidak hadir di dalamnya, karena cerita itu tidak akan bisa berkembang tanpa kehadiran seorang tokoh atau beberapa orang tokoh. Dengan demikian disebutkan bahwa tokoh berfungsi sebagai motor penggerak plot cerita (Tjahjono, 1998 : 135).

  Menurut Nurgiantoro, (1998 : 176) berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaan dalam suatu cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kehadirannya lebih sedikit dibanding tokoh utama. Kehadirannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung. Sedangkan jenis-jenis tokoh cerita dalam karya sastra yaitu sebagai berikut :

  1. Tokoh utama dan tokoh tambahan Tokoh utama (central character atau main character) yaitu tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini merupakan yang paling banyak diceritakan dan senantiasa hadir dalam dalam setiap kejadian. Tokoh tambahan (peripheral character) yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitanya dengan tokoh utama.

  2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis Tokoh protagonis yaitu tokoh yang digambarkan sebagai hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal, yakni sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan konflik, beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tak langsung dan bersifat fisik ataupun batin.

  3. Tokoh sederhana atau tokoh bulat Tokoh sederhana (simple atau flat character) yaitu tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, sifat dan tingkah lakunya bersifat datar dan monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu, mudah dikenal dan dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotip. Tokoh bulat (complex atau round character) yaitu tokoh yang memiliki watak dan tingkah laku bermacam-macam, perwatakannya sulit dideskripsikan secara tepat, bahkan dapat bertentangan dan sulit diduga.

  4. Tokoh statis dan tokoh berkembang Tokoh statis atau biasa disebut tokoh tidak berkembang (static character) yaitu tokoh yang memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang dari awal hingga akhir cerita. Tokoh ini juga kurang terlibat dan tidak berpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antar manusia. Tokoh berkembang (developing character) yaitu tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan watak, sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot. Tokoh ini secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, dan lainnya, yang kesemuanya akan mempengaruhi sikap, watak dan tingkah lakunya. Sikap dan watak dari tokoh berkembang mengalami perkembangan dan perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita.

  5. Tokoh tipikal dan tokoh netral Tokoh tipikal (typical character) yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaanya. Tokoh netral (neutral charcter) yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini dihadirkan semata-mata demi cerita, bahkan dialah empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.

  Tokoh berdasarkan cara penampilannya dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh datar (flat character) dan tokoh bulat (round character). Tokoh datar (flat character) adalah tokoh yang bersikap di dalam perkembangan lakuan, watak tokoh itu sedikit sekali berubah bahkan adakalanya tidak berubah sama sekali. Selanjutnya, tokoh bulat (round charcter) adalah tokoh yang berbagai segi wataknya tidak ditampilkan sekaligus, tetapi berganti-ganti. Dengan demikian, tokoh bulat mampu memberi kejutan dari segi wataknya yang tidak terduga-duga (Sudjiman, 1991:20-21).

  Menurut Aminuddin (1990: 79-83) tokoh terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan bentuk dan fungsinya tetapi peneliti membatasi pengertian tokoh menurut peranannya yaitu :

  1. Tokoh inti atau tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita.

  2. Tokoh tambahan atau tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama.

  Dari beberapa pendapat tersebut, bahwa tokoh dalam karya sastra merupakan suatu inti dari sebuah cerita atau peristiwa. Tanpa adanya tokoh tidak akan ada cerita atau peristiwa.