Pembuktian Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) oleh Penuntut Umum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Jeneponto) - Repositori UIN Alauddin Makassar

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENEBANGAN LIAR

  (ILLEGAL LOGGING) OLEH PENUNTUT UMUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Jeneponto) Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum

  UIN Alauddin Makassar Oleh

MUHAMMAD ZUBAIR HUSAIN

  NIM. 10500108030

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2012

  PERSETUJUAN PEMBIMBING Muhammad Zubair Husain

  Pembimbing penulisan skripsi Saudara , NIM: 10500108030, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi skripsi

  (Illegal

  yang bersangkutan dengan judul, “ Pembuktian Tindak Pidana Penebangan Liar

  

Logging) oleh Penuntut Umum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Jeneponto)

  ,” memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidang munaqasyah.

  Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.

  Gowa, Juli 2012 Pembimbing I Pembimbing II

  Dr. H. Kasjim Salenda, SH, M.Th.I Andi Safriani, SH, MH

  NIP. 196008171992031001 NIP.198311222009122002

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

  Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

  Gowa, Juli 2012 Penyusun,

MUHAMMAD ZUBAIR HUSAIN

  NIM : 10500108030

  PENGESAHAN SKRIPSI

  Skripsi yang berjudul, “Pembuktian Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) oleh Penuntut Umum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Jeneponto),” yang disusun oleh Muhammad Zubair Husain, NIM: 10500108030, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 30 Juli 2012 M, bertepatan dengan 10 Ramadhan 1433 H, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Jurusan Ilmu Hukum (dengan beberapa perbaikan).

  Gowa, 30 Juli 2012 M.

  10 Ramadhan 1433 H.

DEWAN PENGUJI:

  Ketua : Prof. Dr, H. Ali Parman, MA. (…………………………) Sekretaris : DR. Hamsir, SH., M.Hum. (…………………………) Munaqisy I : DR. H. Lomba Sultan, MA. (…………………………) Munaqisy II : DR. Marilang, SH., M.Hum. (…………………………) Pembimbing I : DR. H. Kasjim Salenda, SH., M.Th.I (…………………………) Pembimbing II : Andi Safriani, SH, MH. (…………………………)

  Diketahui oleh: Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr, H. Ali Parman, MA.

  NIP. 195704141986031003

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ........................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................ iii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................. iv KATA PENGANTAR ......................................................................... v DAFTAR ISI ...................................................................................... viii ABSTRAK ........................................................................................... ix BAB

  I PENDAHULUAN …………………….………………. 1-10

  A. Latar Belakang ………………………..……………

  1 B. Rumusan Masalah ………………………………….

  7 C. Ruang Lingkup Penelitian ………..………………..

  8 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …….…………….

  8 E. Garis Besar Isi ………………..…………………….

  10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………11-24

  A. Tinjauan Tentang Pembuktian …………………………

  11 B. Tinjauan Tentang Kejaksaan …………………………

  19 C. Tinjauan Tentang Penebangan Liar (Illegal Logging)..

  21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………………….25-27 A. Jenis Penelitian ……………………………………….

  25 B. Metode Pendekatan Penelitian ……………………….

  25 C. Metode Pengumpulan Data ………………………..…

  26 D. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……………....

  27 BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN…………..28-68 A. Tinjauan Umum Pengadilan Negeri Jeneponto…....….

  28 B. Ketentuan Hukum Acara Tentang Pembuktian Dalam Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) ….......................................................

  30 C. Pelaksanaan Hukum Acara Tentang Pembuktian Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) (Study Nomor : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO) di Pengadilan Negeri Jeneponto . …………………....…

  36 D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Pembuktian Dan Tindak Pidana …………………... Penebangan Liar (Illegal Logging)

  63 BAB V PENUTUP …………………….………………………69-70 A. Kesimpulan ………………………………………..

  69 B. Implikasi Penelitian ……………………………….

  69 DAFTAR PUSTAKA ………………..………………………………71-72

  LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………..…………………………

  73

  

ABSTRAK

NAMA PENYUSUN : MUHAMMAD ZUBAIR HUSAIN NIM : 10500108030

JUDUL SKRIPSI : Pembuktian Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal

  Logging) oleh Penuntut Umum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Jeneponto).

  Pada penelitian ini penulis membahas mengenai ketentuan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) dan pelaksanaan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging ) (Study Nomor : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO) di Pengadilan Negeri Jeneponto.

  Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Jeneponto dengan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada kuantitas atau banyaknya data. Data sekunder dan data primer yang bersumber dari dokumen, buku-buku, literatur, internet, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi kasus . Penulis menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam proses pembuktian pada pemeriksaan tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) di persidangan berdasarkan pasal 183 dan 184 KUHAP Bab XVI, sebagaimana ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam proses pembuktian tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) di persidangan pengadilan negeri Jeneponto dalam kasus Nomor : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO, untuk mengungkap fakta maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah sesuai dengan pasal 184 KUHAP yakni, Saksi, Keterangan Ahli, Petunjuk berupa Barang Bukti serta Keterangan Terdakwa. Sesuai dengan alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan maka terdakwa didakwa dengan pasal 78 ayat (5) jo pasal 50 ayat (3) huruf f Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

  Penegakan hukum pidana pada umumnya di persidangan harus berdasarkan pada pasal 183 dan pasal 184 Bab XVI Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk itu mengenai tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) ketentuannya diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, akan tetapi mengenai tentang penegakan hukum tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) di pengadilan harus tetap berdasarkan pada pasal 183 dan pasal 184 Bab XVI Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti dengan tindak pidana pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum, karena hukumlah yang mempunyai arti

  penting terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan idiologi dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa di era pembangunan saat ini, setiap negara dituntut untuk dapat meningkatkan pembangunan agar dapat mengejar atau menyamai negara-negara yang dianggap mapan dalam rangka menopang stabilitas Internasional. Pembangunan tersebut diarahkan secara spesifik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur di masing-masing negara tidak terkecuali di Indonesia dengan memperhatikan segala aspek termasuk aspek lingkungan hidup, seperti yang dijelaskan di dalam pasal 33 ayat 3 Undang- Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yaitu : ” ...Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

  1

  sebesar-besar kemakmuran rakyat... ” Aspek lingkungan ini penting didasarkan pada upaya pelestarian dan perlindungan terhadap kekayaan alam sebagai hak bersama untuk dinikmati dan wajib 1 Yasir Arafat, Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 (t.t: Permata Press, t.th), h. 34.

  2 dijaga agar dapat terus memberi faedah dalam kesehariannya. Tidak terlepas dari itu, bidang kehutanan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi manusia. Hal ini diakibatkan banyaknya manfaat yang dapat diambil dari hutan.

  Misalnya, hutan sebagai penyangga paru-paru dunia, dari hutan kita bisa mengambil kayu, hutan sebagai penyangga cadangan air tanah terbesar, dan banyak manfaat lainnya yang dapat dimanfaatkan. Dengan banyak manfaat tersebut, hutanpun menjadi sangat idola bagi pemanfaatan sumber daya kekayaan alam. Faktor ini pun menjadi alasan utama penebangan hutan. Padahal jika dipahami keberadaan hutan, tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomis saja tetapi juga dari sosial budaya, dimana hutan sebagai tempat tinggal berbagai macam mahluk hidup, binatang, dan tumbuhan serta dari sisi kesehatan sebagai paru-paru dunia, senjata ampuh bagi pemanasan global serta banyak manfaat lain. Yang menjadi masalah saat ini pengelolaan hutan yang dilakukan secara illegal telah membuat dampak buruk bagi semua pihak baik dari segi ekonomi, kesehatan, sosial budaya dan sisi lainnya.

  Banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana akibat dari Illegal Logging di Indonesia. Hutan yang tersisa sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam curah yang besar, dan pada akhirnya banjir menyerang pemukiman penduduk.

  Para penebang liar hidup di tempat yang mewah, sedangkan masyarakat yang hidup di daerah dekat hutan dan tidak melakukan Illegal Logging hidup miskin dan menjadi korban atas perbuatan jahat para penebang liar. Hal ini merupakan ketidakadilan sosial yang sangat menyakitkan masyarakat. Berdasarkan citra satelit 1995-1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia pada 432 HPH mencapai 14,2 juta hektar, sedangkan kerusakan pada hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 5,9 juta hektar. Dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia yang diterbitkan akhir tahun 2001 oleh Forest

  3 Watch Indonesia diungkapkan laju kerusakan hutan pada era tahun 1980-an di Indonesia adalah sekitar satu juta hektar/tahun, kemudian pada awal tahun 1990-an tingkat kerusakan mencapai 1,7 juta hektar/tahun. Lalu, sejak tahun 1996 meningkat lagi menjadi rata-rata dua juta hektar/tahun. Hutan yang sudah terdegradasi dan gundul di Indonesia ada di Sumatera (terdegradasi 5,8 juta hektar dan gundul 3,2 juta hektar), di Kalimantan (degradasi 20,5 juta hektar dan gundul 4,3 juta hektar), di Sulawesi (degradasi dua juta hektar dan gundul 203.000 hektar), di Nusa Tenggara (degradasi 74.100 hektar dan gundul 685 hektar), di Papua (degradasi 10,3 juta hektar dan gundul 1,1 juta hektar); dan di Maluku (degradasi 2,7 juta hektar dan gundul 101.200 hektar). Kerusakan itu disebabkan oleh pemilik HPH melanggar prosedur, penebangan Ilegal, perambahan hutan, pembukaan hutan skala besar, kebakaran hutan, serta banyaknya lokasi tambang di daerah hutan lindung dan daerah konservasi meskipun dilarang berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999. Kondisi ini

  2 diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu.

  Dengan pemanfaatan hasil hutan secara tidak sah (Illegal) oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan seperti yang telah dijelaskan di atas, oleh sebab itu diperlukan pengaturan untuk menjaga kelestarian lingkungan terutama di bidang kehutanan agar hutan tetap bisa dilestarikan sebagai sumber daya alam yang sangat menunjang kelangsungan hidup manusia. Selain itu, dengan adanya aturan tentan kehutanan maka kerusakan hutan dapat berkurang, terlebih dahulu telah dijelaskan dalam pandangan Islam tentang lingkungan secara garis besar, seperti yang telah dijelaskan didalam Al- Qur’an Surah

  :

  Ar-Ruum (30) ayat 41

  2 http://Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 . Di akses pada 23-Oktober-2011

  4

  

            

 

  Terjemahannya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari

  3 (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar.

  Selain itu, dengan pemerintah membentuk undang-undang tentang kehutanan karena dinilai memerlukan sumber hukum yang sangat diperlukan untuk melindungi hutang di Indonesia. Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan- aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan

  4

  menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Untuk saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana kehutanan sudah

  • – spesifik atau khusus pengaturannya yaitu Undang Undang Nomor 41 tahun 1999

  Tentang Kehutanan. Akan tetapi peraturan mengenai tindak pidana kehutanan masih

  • – tetap mengacu pada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

  berlaku didalam menegakkan hukum pidana di Indonesia. Dengan hadirnya Undang- undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan maka pemerintah berharap agar masyarakat bisa menyadari bahwa betapa pentingnya melestarikan hutan. Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan mengatur tentang tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) agar tidak dilakukannya perbuatan yang semena-mena terhadap hal kehutanan. Dengan adanya landasan hukum tersebut maka dapat diharapkan meminimalisir terjadinya kerusakan hutan yang berimplikasi luas terhadap lingkungan hidup. Landasan hukum ini tentunya sangat baik dengan 3 4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tejemahnya (Semarang: PT. Toha Putra, 1989), h. 647 Sutrisno R. Pardoen, Pengntar Ilmu Hukum (Buku Panduan Mahasiswa) (Jakarta: PT

  5 ditunjangnya aspek Pidana didalamnya yang dapat membatasi dan mengatur penerapan penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pengrusakan dan pencemaran hutan.

  Istilah kerusakan hutan yang dimuat berbagai peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan yang berlaku, ditafsirkan bahwa perusakan hutan mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang berdampak negatif (merugikan) adalah suatu tindakan nyata melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan atau tanpa adanya persetujuan pemerintah, kerusakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif didalam pembangunan yang bewawasan lingkungan. Di antara sifat negatifnya digolongkan sebagai tindakan yang

  5

  bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan pengertian melawan hukum menurut Pompe dan Jokers adalah sebagai kesalahan dalam arti luas di samping

  

“sengaja” atau “kesalahan” (schuld) dan dapat dipertanggungjawabkan

(teorekeningsvatbaar heid) atau istilah Pompe teorekenbaar. Tetapi kata Pompe,

  melawan hukum (wederrechtelijkheid) terletak diuar pelanggaran hukum sedangkan sengaja, kelalaian (onachtzaamleid) dan dapat dipertanggungjawabkan terletak didalam pelanggaran hukum. Lalu sengaja dan kelalaian (onachtzaamheid) itu harus

  

dilakukan secara melawan hukum supaya memenuhi unsur “kesalahan” dalam arti

  6 luas.

  Dari penjelasan tersebut diatas, mengenai masalah tindak pidana pada umumnya dalam pemeriksaan di muka pengadilan, pembuktian adalah bagian yang

  5 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan (Jakarta: PT. Rineka cipta, 2000), h.

  5

  6 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana ( Jakarta: PT. Rineka cipta, 2008), h. 104

  6 sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Karena tujuan dari pemeriksaan perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya. Pembuktian merupakan salah satu cara untuk mencapai itu, dimana hakim menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran

  • – yang sesungguhnya dari tindak pidana tersebut yang berdasarkan pada Kitab Undang

  Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab

  XVI

  pasal 183 dan 184, begitupun juga dalam pemeriksaan terhadap tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging). Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan. Seperti yang telah dijelaskan didalam pasal 183 KUHAP :

  Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

  7 melakukanya.

  Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa karena penuntut umum berdasar atas alat bukti yang ditentukan oleh Undang-undang. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman pidana sesuai dengan pasal yang diancamkan. Sesuai dengan sistem peradilan yang ada di Indonesia berdasarkan atas KUHAP / UU No. 8 Tahun 1981 maka tindak pidana penebangan

7 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yuridisprudensi MA dan Hoge

  7 liar (Illegal Logging), dalam pelaksanaan pembuktiannya dilakukan sesuai dengan

  Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian secara mendalam terhadap permasalahan yang berkaitan dengan proses pembuktian perkara tindak pidana penebangan liar (Illegal logging) termasuk mengenai alat bukti yang digunakan oleh penentut umum. Sehubungan dengan hal tersebut, Penulis mengkaji proses pembuktian perkara penebangan liar pada umumnya dan proses pembuktian perkara penebangan liar di pengadilan negeri Jeneponto. Untuk itu Penulis melakukan penelitian dalam bentuk Penulisan Hukum atau Skripsi yang berjudul : “ Pembuktian

  Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) Oleh Penuntut Umum (Study Kasus Di Pengadilan Negeri Jeneponto)”

B. Rumusan Masalah

  Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan hasil dari penelitian dapat sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimana ketentuan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging)?

  2. Bagaimana pelaksanaan hukum acara tentang tindak pidana pembuktian dalam tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) (Nomor : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO) di Pengadilan Negeri Jeneponto?

  3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hukum pembuktian dan tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging)?

  8 C. Ruang Lingkup Penelitian Untuk membatasi cakupan penelitian maka pada penelitian ini, penulis meneliti mengenai ketentuan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) dan pelaksanaan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) (Nomor : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO) di Pengadilan Negeri Jeneponto dengan target waktu penelitian yang dilakukan dari tanggal 20 juni sampai dengan 25 juli 2012.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas.

  Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

  a. Tujuan Obyektif 1) Untuk mengetahui ketentuan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) 2) Untuk mengetahui pelaksanaan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging) (Study Nomor

  : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO) di Pengadilan Negeri Jeneponto.

  b. Tujuan Subjektif 1) Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar sarjana di bidang Ilmu Hukum pada

  9 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

  2) Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis.

  3) Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi Ilmu hukum terkhusus untuk hukum pidana.

2. Kegunaan penelitian

  a. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

  b. Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para mahasiswa dan mahasiswi yang berminat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hukum pada umumnya dan khususnya terutama dalam hukum acara pidana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

  c. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas permasalahan tindak pidana penebangan liar (Illegal Logging).

  10 E. Garis Besar Isi

  Bab I yaitu Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, dan garis besar isi.

  Berikutnya bab II yaitu tinjauan pustaka yang berisikan uraikan mengenai tinjauan tentang pembuktian, tinjauan tentang kejaksaan, dan tinjauan tentang penebangan liar (Illegal logging).

  Kemudian bab III yakni metodologi penelitian, dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai jenis penelitian, metode pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan metode pengolahan dan analisis data.

  Selanjutnya pada bab IV adalah hasil penelitian dan pembahasan dalam bab ini penulis menguraikan mengenai tinjauan umum Pengadilan Negeri Jeneponto, ketentuan hukum acara tentang pembuktian dalam tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging), pelaksanaan hukum acara tentang pembuktian tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) (Study Nomor : 72 / Pid.B / 2009 / PN.JO) di Pengadilan Negeri Jeneponto), pandangan hukum islam terhadap hukum pembuktian dan tindak pidana Penebangan Liar (Illegal Logging).

  Terakhir pada bab V yaitu penutup dalam bab ini penulis menguraikan kesimpulan dan Implikasi Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pembuktian

1. Pengertian Hukum Pembuktian

  Secara etimologi “pembuktian” berasal dari kata dasar bukti dengan memberikan imbuhan awalan pem dan akhiran an yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dirumuskan sebagai suatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa ; keterangan nyata. Secara terminologi pengertian “pembuktian” menurut Subekti (1989: 78) yang menyebutkan sebagai upaya untuk meyakinkan hakim tentang

  1 kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu pesengketaan.

  “Pembuktian” yakni segala proses, dengan menggunakan alat -alat bukti

  yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna

  2 mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan.

  Hukum “Pembuktian” merupakan seperangkat kaidah hukum yang

  mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna 3 . mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan

  Dalam hukum acara pidana pembuktian adalah dalam rangka mencari

  4 kebenaran material, kebenaran yang sejati.

  1 H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 107 2 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia

  (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h. 21 3 4 Ibid Kurnianto, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek (Jakarta: Usaha

  12 Dalam hukum acara perdata pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran formil siapa yang mengaku mempunyai hak atau membantah hak orang lain harus membuktikan (pasal 163 HIR, pasal 283 R. Bg, dan pasal 1865 BW).

5 Hukum Pembuktian adalah memuat dan mengatur tentang berbagai unsur

  pembuktian yang tersusun dan teratur saling berkaitan dan behubungan sehingga membentuk suatu kebulatan perihal pembuktian, yang jika dilihat dari segi keteraturan dan keterkaitannya dalam suatu kebulatan itu dapat juga disebut dengan sistem pembuktian.

  6

2. Alat-alat Bukti Yang Sah Dalam Proses Pembuktian

  Dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dalam persidangan di pengadilan maka proses pembuktian harus dengan alat-alat bukti yang ditentukan atau diatur oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP / UU No. 8 Tahun 1981, meliputi :

1. Keterangan Saksi

  Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP yaitu : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya ini.

  7 Jika diteliti KUHAP maka mengenai keterangan saksi ini diatur

  oleh Pasal 108, 116, 160, s.d 165, 167, 168, 169, 170, 173, 174, 185 KUHAP. Dari pasal-pasal diatas, yang terutama diketahui adalah orang 5 Ibid 6 H. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Bandung: PT. Alumni,

  2008), h. 24 7 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yuridisprudensi MA dan Hoge

  13 yang dapat menjadi saksi. Pada umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti sah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana dicantumkan pasal 184 ayat (1) a

  KUHAP atau sebagai “petujuk sebagaimana dim aksud Pasal 184 ayat (1)

  d KUHAP. Hal ini tercantum pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah,

  8 maka dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

  2. Keterangan Ahli

  Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP yaitu : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

  9 membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

  Jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, yakni diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyelidikan atau permintaan penyidik. Ahli membuat laporan atau Visum

  et revpertum dan dibuat oleh ahli yang bersangkutan, yang bernilai sebagai

  alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keterangan ahli yang diminta dapat disampaikan di sidang peradilan, diajukan oleh penuntut umum,

  10 pensihat hukum.

  3. Surat

  Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah

  11

  jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah : (1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat 8 dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau 9 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 29 10 R. Soenarto Soerodibroto, Loc.cit. 11 Alfitra, op. cit, h. 75-76 R. Soenarto Soerodibroto, Op.cit, h. 439

  14 keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang kejadian itu;

  (2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

  (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya;

  (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

  Di dalam KUHAP, alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat di dalam

  12 Pasal 188 yang berbunyi sebagai berikut :

  (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;

  (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: (a) Keterangan saksi ; (b) Surat ; (c) Keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

12 Ibid,

  h. 440

  15

5. Keterangan Terdakwa

  Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam

  13 Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut :

  (1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain. Oleh karena itu, pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian. Jadi, meskipun seorang terdakwa mengaku, tetap harus dibuktikan dengan alat

  14 bukti lain karena yang dikejar adalah kebenaran material.

3. Asas–asas Pembuktian

  Di dalam pembuktian pidana ada beberapa prinsip yang harus diketahui,

  15

  yaitu : 1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

  Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi 13 : “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Notoire 14 Ibid 15 Alfitra, Op.Cit, h. 120

  http://www.Asas-asas-pembuktian-dalam-hukum-pidana.com ( Diakses pada

  02Oktober

  16 adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pengalaman umum

  feiten

  bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut Undang-Undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa.

  2. Menjadi saksi adalah kewajiban Diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan: ”saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

  sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Dengan demikian syarat

  seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

  3. Satu saksi bukan saksi Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

  terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

  Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktek, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau di dukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah, maka kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan penuntut umum.

  4. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

  Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian terbal ik “ atau lebih tepatnya ”pembalikan beban pembuktian” yang tidak dikenal

  17 hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

4. Teori atau Sistem Pembuktian

  Sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian pembuktian yang mengandung isi yang,

  16 demikian dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian.

  17 Ada beberapa sistem pembuktian yakni :

  1. Sistem keyakinan (Conviction Intime) Aliran ini sangat sederhana. Hakim tidak terikat atas alat-alat bukti apa pun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, walaupun hakim secara logika menpunyai alasan-alasan, tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan menyebut alasan-alasan tersebut. Penilaian berdasarkan sistem ini betul-betul tergantung pada penilaian subjektif dari hakim tersebut. Kecuali atas sistem ini adalah bahwa pengawasan terhadap putusan hakim, sangat teliti. Sistem ini dahulu dianut di Pengadilan Distrik dan pengadilan Kabupaten.

  2. Sistem Positif (Positif Wettelijk) Sistem ini berdasarkan undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian.

  Dengan perkataan lain, jika alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang- undang dan dipergunakan menurut ketentuan undang-undang maka hakim wajib menetapkan hal itu “sudah terbukti” meskipun bertentangan dengan keyakinan itu sendiri dan sebaliknya. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan.

  16 17 H. Adami Chazawi, Loc. cit

  18

  3. Sistem Negatif (Negatif Wittelijk) Hakim ditentukan / dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat- alat bukti tertentu telah ditentukan oleh undang-undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai / menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh undang-undang.

  Akan tetapi ini pun masih kurang, hakim harus mempunyai keyakinan atas

  adanya “kebenaran”. Meskipun alat bukti sangat banyak, jika hakim tidak berkeyakinan atas “kebenaran” alat -alat bukti atau atas kejadian / keadaan,

  hakim akan membebaskan terdakwa. Sistem ini dianut oleh Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP / UU No. 8 Tahun 1981) yang

  dirumuskan dalam Pasal 183 yakni : “Hakim tidak boleh menjatuhkan

  pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terd akwalah yang bersalah melakukanya.” Dahulu, dimasa berlakunya HIR (Sebelum KUHAP), sistem ini pun dianut, yang diatur oleh Pasal 294 HIR yang berbunyi sebagai berikut.

  (1) Tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana, kecuali apabila hakim dengan mempergunakan alat-alat bukti yang termuat dalam undang-undang mendapat keyakinan bahwa sungguh- sungguh terjadi suatu peristiwa itu. (2) Tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana berdasarkan atas suatu persangkaan belaka ataupembuktian yang tidak sempurna.

  4. Sistem Pembuktian Bebas (Vrijbewijs/Conviction Intime) Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat bukti.

  • Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” atas dasar alasan alasan yang logis yang dianut dalam putusan. Jadi, keyakinan hakim tersebut disertai alasan-alasan yang berdasarkan logika. Berdasarkan Pasal

  183 KUHAP maka KUHAP memakai “sistem negatif”, yakni adanya

  bukti minimal dan adanya bukti keyakinan hakim. Bukti minimal tersebut adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Pengertian dua alat bukti yang sah dapat terdiri atas misalnya 2 orang saksi atau 1 orang saksi

  19 dan satu surat, atau 1 orang saksi dan keterangan ahli, dan sebagainmya.

  Rumusanya adalah “dua alat bukti” bukan dua jenis alat bukti.

B. Tinjauan Tentang Kejaksaan

  1. Pengertian Kejaksaan

  Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang

  

Kejaksaan Republik Indonesia ”Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang

  melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang- Undang.”

  18

  2. Tugas dan Wewenang Kejaksaan

  Didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 30 ayat (1). Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

  19

  1) Melakukan penuntutan; 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

  3. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

  Menurut Pasal 1 butir (6) KUHAP,

  18 Leden Marpaung, Op.cit, h. 191 19 Ibid , h. 265

  20 Jaksa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini

  20 untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

4. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

  Di dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa tugas dan wewenang

21 Penuntut Umum adalah :

  1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada pada penyidikan dengan memperhatiakan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

  3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan mengubah status penahanan lanjutan dan mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

  4) Membuat surat dakwaan; 5) Melimpahkan berkas ke pengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu sidang yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

  7) Melakukan penuntutan ; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum ; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10) Melaksanakan penetapan hakim ;

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2010-2011) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 107

Tinjauan Hukum Pidana terhadap Bantuan Hukum yang diberikan oleh Advokat Kepada Tersangka Tindak Pidana Pembunuhan( Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar ) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 81

PenyelesaianKasus Tindak Pidana Penipuan Melalui Handphone di Pengadilan Negeri Makassar dalam Perspektif Hukum Islam - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 86

Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan di Pengadilan Negeri Makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 94

Tindak Pidana Pembunuhan Berencana di Pengadilan Negeri Sengkang (Analisis Perspektif Hukum Pidana Islam) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 113

Tinjauan Hukum Perbarengan Tindak Pidana Pencurian Disertai Kekerasan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar 2012-2016) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 83

Penerapan Pidana yang Dilakukan oleh Masyarakat Adat terhadap Penebangan Pohon (Ilegal Loging) dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Pengadilan Negeri Sinjai) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 71

Tinjauan Yuridis Keterangan Saksi Korban Tindak Pidana Kejahatan Pemerkosaan di Kota Makassar (Studi Kasus 2010-2013 di Pengadilan Negeri Makassar) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 79

Tindak Pidana Pemalsuan "Pembobolan Dana" Oleh Pegawai Bank (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Makassar No.403/Pid.B/2011/PN.Mks) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 83

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Makassar) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 75