MAKALAH UNSUR KEBUDAYAAN UNIVERSAL SISTE

MAKALAH
UNSUR KEBUDAYAAN UNIVERSAL
SISTEM RELIGI MASYARAKAT TORAJA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Antropologi
Dosen :

Dra. Hj. Fatimah, M.Hum.

OLEH :

Andya Agisa [1610112220003]

FAKULTAS KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2016
1

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-Nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW. Beserta keluargaNya, para sahabatNya, dan seluruh ummatNya yang senantiasa
istiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Antropologi
berjudul “Unsur Kebudayaan Universal Sistem Religi Masyarakat Toraja”.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, khususnya kepada Ibu Dra.Hj. Fatimah, M.Hum. selaku dosen Pengantar Antropologi yang
telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya memperoleh banyak manfaat setelah menyusun makalah
ini.
Akhirul kalam, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki.
Karena itu saya mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi perbaikan makalah di masa mendatang.
Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi harapan berbagai pihak.
Demikian makalah ini saya susun, semoga bisa memberikan manfaat kepada pembaca.

Banjarmasin, 20 November 2016

Penulis


2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................2
Daftar Isi...............................................................................................................3
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang.................................................................................................5
B. Rumusan Masalah............................................................................................7
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................7
D. Sistematika Penulisan.......................................................................................7
BAB 2
Landasan Teori
A. Kebudayaan......................................................................................................8
B. Wujud Kebudayaan........................................................................................10
C. Unsur-unsur Universal dan Sifat Hakekat Kebudayaan.................................12
D. Teori-teori Religi............................................................................................18
E. Pengaruh Unsur Kebudqayaan Terhadap Masyarakat...................................24
BAB 3
Pembahasan

A. Suku Toraja....................................................................................................25
B. gama dan Kepercayaan...................................................................................27
C. Jenis-jenis Ritus..............................................................................................29
D. Proses Upacara Rambu Solo..........................................................................32
E. Pelakasanaan Upacara Rambu Solo...............................................................35

3

BAB 4
Penutup
A. Kesimpulan.....................................................................................................37
B. Saran...............................................................................................................37
Lampiran............................................................................................................38
Daftar Pustaka...................................................................................................44

4

BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan-gagasan dari konsep-konsep dalam
akalnya menyebabkan bahwa ia mampu membayangkanan dirinya sendiri terlepas dari
lingkungannnya, yang merupakan dasar dari kesadaran akan identitas dan kepribadian dirinya.
Berbagai jenis hewan juga memiliki identitas diri, namun kesadaran akan identitas itu tidaklah
setajam manusia, karena dangan akalnya manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan
peristiwa-peristiwa yang mungkin menimpa dirinya, baik yang membahagiakannya maupun yang
dapat membawa kesengsaraan baginya. Sesuatu hal yang paling ditakuti manusia adalah apa yang
pasti akan dialaminya, yaitu saat manusia menghadapi maut, yang kemudian merupakan salah satu
sebab timbulnya religi.
Sekurangnya ada dua konsep umum yang menerangkan tentang ‘kepercayaan’ kepada Tuhan
atau sesuatu yang dianggap Tuhan, yaitu antara konsep agama dan konsep religi. Koentjaraningrat
(1987), sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahawa religi
adalah sebagai bagian dari kebudayaan; dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan
beliau lebih menghindari istilah ‘agama’ , dan lebih menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu
‘religi’. Ada juga yang berpendirian bahwa suatu sistem religi merupakan suatu agama,tetapi itu
hanya berlaku bagi penganutnya saja; sistem religi Islam merupakan agama bagi anggota umat Islam,
sistem religi Hindu Dharma merupakan suatu agama bagi orang Bali; ada juga pendirian lain yang
mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara.
Sebenarnya pendapat Koentjaraningrat di atas yang mengatakan bahwa religi adalah bagian
dari kebudayaan karena beliau mengacu pada sebagain konsep yang dikembangkan oleh Emile

Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu :
1. emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2. sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat
Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3. Sistem upacara religius yang bertujuanmencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa
atau Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4. kelompok-kelompok religius

atau kesatuan-kesatuan sosial

yang menganut

sistem

kepercayaan--tersebut.
5

Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu
sistem yang terintegrasi secara bulat; emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan
jiwa manusia. Proses-proses fisiologis dan psikologis apakah yang terjadi apabila manusia terhinggap

oleh getaran jiwa tadi, agaknya belum banyak diteliti oleh orang-orang yang berkepentingan
tentangnya, namun demikianlah kira-kiranya keadaan jiwa manusia yang dimasuki cahaya Tuhan.
Terlepas dari pendapat perorangan ataupun batasan-batasan tertentu yang ditetapkan sebuah
negara tentang konsep religi atau agama ini, yang jelas menurut konsep ilmu pengetahuan dan agamaagama yang ada di muka bumi ini menyatakan bahwa suatu bentuk aktifitas manusia yang dianggap
sebagai suatu penyerahan diri terhadap Zat yang dianggap mengatur, menciptakan, atau menentukan
kehidupan manusia di dunia dimana manusia hidup dan di dunia dimana manusia sudah mati yang
mengacu kepada konsep E. Durkheim di atas dapat disebut sebagai agama.
Tidak semua perilaku keagamaan atau religi itu adalah khas manusia; untuk ajaran Islam
misalnya bahkan hampir seluruh aktifitas keagamaan itu sumbernya adalah wahyu Tuhan, dan hanya
sedikit sekali unsur-unsur gagasan manusia disana, demikian juga dengan agama-agama yang lain
yang menganggap berbagai aktifitas itu sumbernya adalah Tuhan. Disini agama itu dipisahkan dengan
kebudayaan, pada aktifitas-aktifitas tertentu yang tujuannnya adalah penyerahan diri (taat, bakti, doa,
pemujaan, penyembahan dan sebagainya) pada Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, walaupun
ada gagasan-gagasan atau tangan-tangan manusia yang turut di dalamnya merupakan aktifitas
keagamaan; dilain fihak, segala bentuk tindakan, gagasan, dan hasil tindakan khas manusia yang
relatif tidak melibatkan unsur-unsur keagamaan atau tidak dimaksudkan sebagai bentuk ritual tertentu,
itulah kebudayaan.
Sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan religi, perlu
ditekankan terlebih dahulu tentang penggunaan peristilahan, dan pendekatan dalam studi tentang
religi ini. Untuk peristilahan, dalam buku ini selanjutkan lebih banyak menggunakan istilah religi

sebagai terjemahan dari religion daripada istilah agama, karena istilah agama bagi banyak orang
Indonesia mempunyai arti tertentu seperti agama Islam atau Nasrani misalnya.
Studi tentang religi yang dikembangkan adalah merupakan tinjauan antropologis, dimana ilmu
tentang manusia ini sebagai ilmu yang mencoba merumuskan pengertian-pengertian dan konsepnya
melalui penyelidikan yang empiris, dan obyek-obyek yang akan diselidiki terutama adalah tingkah
laku dan tatakelakuan manusia. Dengan mengadakan studi komparatif, antropologi mencoba
memahami asal usul tentang religi, fungsi religi, keberadaan, persebaran, dan pengaruhnya dalam
kehidupan manusia.

6

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan agama dan kepercayaan di Toraja pada masa lampau?
2. Apa saja yang menjadi ritual-ritual penting yang sering dilaksanakan masyarakat Toraja?
3. Bagaimana Prosesi Ritual Rambu Solo di Tana Toraja?

C. TUJUAN PENULISAN
 Tujuan Umum
: Sebagai media pembelajaran mahasiswa
 Tujuan Khusus

:
- Agar mahasiswa mengetahui perkembangan agama dan kepercayaan di Toraja pada
masa lampau

-

Agar mahasiswa mengetahui Apa saja yang menjadi ritual-ritual penting yang sering

-

dilaksanakan masyarakat Toraja
Agar mahasiwa mengetahui Prosesi Ritual Rambu Solo di Tana Toraja

D. SISTEMATIKA PENULISAN
Guna memahami lebih jelas penulisan makalah Unsur Kebudayaan Universal
SistemReligi Masayarakat Toraja ini, dilakukan dengan cara mengelompokkan materi menjadi
beberapa sub bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I

: PENDAHULUAN

kan tentang informasi umum yaitu latar belakang penulisan, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
: LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan teori yang diambil dari beberapa kutipan buku,jurnal, dan artikel
yang berupa pengertian dan definisi. Bab ini juga menjelaskan konsep dasar sistem, konsep
dasar informasi, konsep dasar sistem informasi, Unified Modelling Language (UML), dan
definisi lainnya yang berkaitan dengan sistem yang dibahas.
BAB III : PEMBAHASAN DAN ANALISA MASALAH
Bab ini berisikan gambaran dan sejarah singkat mengenai Agama dan Kepercayaan
masyarakat Toraja, Jenis-jenis upacara ritual dimasyarakat Toraja, bagaimana Proses Upacara
Rambu Solo’ dan Pelaksanaan Upacara Rambu Solo
BAB I V
: PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan analisa dan optimalisasi
sistem berdasarkan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Daftar Pustaka

BAB 2
7


LANDASAN TEORI
A. KEBUDAYAAN
Istilah kebudayaan merupakan tejemahan dari istilah culture dari bahasa Inggris. Kata culture
berasa dari bahasa latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, menunjuk pada pengolahan
tanah, perawatan dan pengembangan tanaman dan ternak. Upaya untuk mengola dan mengembangkan
tanaman dan tanah inilah yang selanjutnya dipahami sebagai culture.
Sementara itu, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi. Kata buddhi berarti budi dan akal. Kamu besar Bahasa Indonesia
mengartikan kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budaya) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat – istiadat.
E.B. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adapt-istiadat, kebiasaan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Koentjaningrat (1985) kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Definisi lebih singkat terdapat pada pendapat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964),
menurut mereka kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Bila disimak lebih seksama, definisi Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi lebih menekankan
pada aspek hasil material an kebudayaan. Sementara Koentjaraningrat menekankan dua aspek

kebudayaan yaitu abstrak (non material) dan konkret (material. Pada definisi Koentjaraningrat,
tampak bahwa kebudayaan merupakan suatu proses hubungan manusia dengan alam dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam proses tersebut manusia
berusaha mengatasi permasalahan dan tantangan yang ada dihadapannya.
Terlepas dari perbedaan yang ada di antara pendapat di atas. Tampak bahwa belajar merupakan
unsur penting dari pengertian kebudayaan. Seperti terlihat pula pada definisi kebudayaan menurut
Kroeber (1948). Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara,
gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan, serta perilaku yang ditimbulkannya.
Dalam disiplin Ilmu Antropologi Budaya, pengertian Kebudayaan dan Budaya tidak
dibedakan. Adapun pengertian Kebudayaan dalam kaitannya dengan Ilmu Sosial Budaya Dasar
(ISBD) adalah: “Penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang tercakup di dalamnya
usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial”. Manusia
8

memanusiakan dirinya dan memanusiakan lingkungannya.
Herkovits yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “MAN AND HIS WORK” telah
memberikan Dalil tentang Teori Kebudayaan, yaitu:
1. Kebudayaan dapat dipelajari.
2. Kebudayaan berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen
sejarah eksistensi manusia.
3. Kebudayaan mempunyai struktur.
4. Kebudayaan dapat dipecah-pecah ke dalam berbagai aspek.
5. Kebudayaan bersifat dinamis.
6. Kebudayaan mempunyai variabel.
7. Kebudayaan memperlihatkan keteraturan yang dapat danalisis dengan metode ilmiah.
8. Kebudayaan merupakan alat bagi seseorang untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti
bagi kesan kreatifnya.

9

B. WUJUD KEBUDAYAAN
J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga ‘gejala kebudayaan’ :
yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang
mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar (2007:29-30) memberikan penjelasannya sebagai berikut :
1. Wujud Ide
Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat
diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana
kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada
tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan
ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
2. Wujud perilaku
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan
berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena
dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan
serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan
bahasa.
3. Wujud Artefak
Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik.
Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya : candi,
bangunan, baju, kain komputer dll.

10

Menurut Dimensi Wujudnya, maka Kebudayaan mempunyai 3 wujud, yaitu:
1. Wujud Sistem Budaya Sifatnya Abstrak, Tidak bisa dilihat.
Berupa kompleks gagasan, ide-ide, konsep, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya
yang berfungsi untuk mengatur,mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia serta
perbuatannya dalam masyarakat. Disebut sebagai Sistem Budaya karena gagasan, pikiran, konsep,
norma dan sebagainya tersebut tidak merupakan bagianbagian yang terpisahkan, melainkan saling
berkaitan berdasarkan asas-asas yang erat hubungannya sehingga menjadi sistem gagasan dan
pikiran yg relatif mantap dan kontinyu.
2. Wujud Sistem Sosial Bersifat Konkret, dapat diamati atau diobservasi.
Berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan selalu mengikuti pola-pola tertentu
berdasarkan adat tata kelakuan yang ada dalam masyarakat. Gotong royong, kerja sama,
musyawarah, dan sebagainya.
3. Wujud Kebudayaan Fisik
Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan
sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Hasil karya manusia tersebut pada
akhirnya menghasilkan sebuah benda dalam bentuk yang konkret sehingga disebut Kebudayaan
Fisik. Berupa benda-benda hasil karya manusia, seperti candi-candi, prasasti, tulisan-tulisan
(naskah), dan sebagainya.

11

C. UNSUR UNSUR UNIVERSAL KEBUDAYAAN dan SIFAT HAKEKAT
KEBUDAYAAN
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur
kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan (Soekanto,
2003:175). Karena itu, suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan
tata kelakuan (mores), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Luasnya bidang kebudayaan menimbulkan adanya telaahan mengenai apa sebenarnya unsurunsur kebudayaan itu. Herkovits (Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964:115) mengemukakan
adanya empat unsur pokok dalam kebudayaan, yaitu 1) alat-alat teknologi (technological equipment),
2) sistem ekonomi (economic sistem), 3) keluarga (family), dan 4) kekuasaan politik (political
control).
Selanjutnya Bronislaw Malinowski (Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964:115)
menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1) The normative system (yang dimaksudkan adalah sistem norma-norma yang memungkinkan
kerjasama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekitarnya.
2) Economic organization (organisasi ekonomi),
3) Mechanism and agencies of education (alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk
pendidikan dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama, dan
4) The organization of force (organisasi militer).
Menurut Soekanto (2003:176), untuk kepentingan ilmiah dan analisisnya, masing-masing
unsur tersebut diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok (besar) kebudayaan yang lazim disebut
cultural universal. Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat
dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini.
Kluckhohn menguraikan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural
universal, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi transportasi dan sebagainya)
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan sebagainya)
3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan)

12

4. Bahasa (lisan maupun tertulis)
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
6. Sistem pengetahuan
7. Religi (sistem kepercayaan)
(Koentjaraningrat, 1994:9; Soekanto, 2003:176)
1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi transportasi dan sebagainya)
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu
membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami
kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa bendabenda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana.
Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan
teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan sebagainya)
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting
etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata
pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Sistem ekonomi pada masyarakat tradisional, antara lain: berburu dan
meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan dan bercocok tanam menetap
dengan sistem irigasi.
Pada saat ini hanya sedikit sistem mata pencaharian atau ekonomi suatu masyarakat yang
berbasiskan pada sektor pertanian. Artinya, pengelolaan sumber daya alam secara langsung untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam sektor pertanian hanya bisa ditemukan di daerah
pedesaan

yang

relatif

belum

terpengaruh

oleh

arus

modernisasi.

Pada saat ini pekerjaan sebagai karyawan kantor menjadi sumber penghasilan utama dalam
mencari nafkah. Setelah berkembangnya sistem industri mengubah pola hidup manusia untuk
tidak mengandalkan mata pencaharian hidupnya dari subsistensi hasil produksi pertaniannya. Di
dalam masyarakat industri, seseorang mengandalkan pendidikan dan keterampilannya dalam
mencari pekerjaan.

13

3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan)
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi social merupakan usaha
antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai
kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh
adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana
dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah
kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan
digolongkan ke dalam tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi social
dalam kehidupannya.
Kekerabatan berkaitan dengan pengertian tentang perkawinan dalam suatu masyarakat
karena perkawinan merupakan inti atau dasar pembentukan suatu komunitas atau organisasi
sosial.
4) Bahasa (lisan maupun tertulis)
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk
berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai
bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia
dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang
diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat
bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa
kebudayaan

manusia.

Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia secara lisan
maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa
yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasivariasi dari bahasa itu. Ciriciri menonjol dari bahasa suku bangsa tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya
dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga.
Menurut Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah
karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat intensif dalam
berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan bahasa sering terjadi.
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
14

Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai
aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian
tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung,
ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih
mengarah pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi
etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama dalam
suatu

masyarakat.
Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni lukis,

dan seni rias. Seni musik terdiri atas seni vokal dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri
atas prosa dan puisi. Selain itu, terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat
ditangkap melalui indera pendengaran maupun penglihatan. Jenis seni tradisional adalah
wayang, ketoprak, tari, ludruk, dan lenong. Sedangkan seni modern adalah film, lagu, dan
koreografi.
6) Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup
dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia.
Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang
berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya.
Masyarakat pedesaan yang hidup dari bertani akan memiliki sistem kalender pertanian
tradisional yang disebut system pranatamangsa yang sejak dahulu telah digunakan oleh nenek
moyang untuk menjalankan aktivitas pertaniannya. Menurut Marsono, pranatamangsa dalam
masyarakat Jawa sudah digunakan sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sistem pranatamangsa
digunakan untuk menentukan kaitan antara tingkat curah hujan dengan kemarau.
Melalui sistem ini para petani akan mengetahui kapan saat mulai mengolah tanah, saat
menanam, dan saat memanen hasil pertaniannya karena semua aktivitas pertaniannya
didasarkan pada siklus peristiwa alam. Sedangkan Masyarakat daerah pesisir pantai yang
bekerja sebagai nelayan menggantungkan hidupnya dari laut sehingga mereka harus mengetahui
kondisi laut untuk menentukan saat yang baik untuk menangkap ikan di laut. Pengetahuan
tentang kondisi laut tersebut diperoleh melalui tanda-tanda atau letak gugusan bintang di langit.
Banyak suku bangsa yang tidak dapat bertahan hidup apabila mereka tidak mengetahui
dengan teliti pada musim-musim apa berbagai jenis ikan pindah ke hulu sungai. Selain itu,
15

manusia tidak dapat membuat alat-alat apabila tidak mengetahui dengan teliti ciriciri bahan
mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat tersebut. Tiap kebudayaan selalu
mempunyai suatu himpunan pengetahuan tentang alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda,
dan manusia yang ada di sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat, setiap suku bangsa di dunia
memiliki pengetahuan mengenai, antara lain: alam sekitarnya, tumbuhan yang tumbuh di sekitar
daerah tempat tinggalnya, binatang yang hidup di daerah tempat tinggalnya, zat-zat, bahan
mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat-sifat dan tingkah laku
manusia, ruang dan waktu.
7) Religi (sistem kepercayaan)
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam
masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan
gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu
melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan
kekuatan-kekuatan supranatural tersebut.
Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya
asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar
Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada
zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif.
(Koentjaraningrat, 1994:9; Soekanto, 2003:176)
Cultural universal tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih
kecil. Linton (Soekanto, 2003:177) menjabarkan unsur-unsur tersebut menjadi kegiatan-kegiatan
kebudayaan (cultural activity), yang dirinci ke dalam trait complex, dan dirinci lagi ke dalam item.
Penjabaran unsur-unsur universal selanjutnya dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama, Kegiatankegiatan kebudayaan (cultural activity). Sebagai contoh, cultural universal mata pencaharian hidup
dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni
rupa, seni suara dan lain-lain.
Kedua, trait-complex, sebagai rincian dari kegiatan-kegiatan kebudayaan dicontohkan dengan
kegiatan pertanian menetap yang meliputi unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak,
teknik mengendalikan bajak, dan seterusnya. Dan ketiga, unsur kebudayaan terkecil yang membentuk
traits adalah items. Apabila diambil contoh dari alat bajak tersebut di atas, maka bajak terdiri dari
16

gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada
hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka
bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak.
Menurut Bronislaw Malinowski tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai
kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan (Soekanto, 2003:177). Apabila
ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk
organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia.
Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda,
namun menurut Soekanto (2003:182) setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku
umum bagi semua kebudayaan di manapun berada, yaitu:
1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari peri kelakuan manusia
2) Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan
mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkahlakunya.
4) Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan
yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Berdasarkan sifat hakikat kebudayaan tersebut jelaslah bahwa kebudayaan merupakan konsep
yang sangat luas, yang meliputi aspek perilaku dan kemampuan manusia, ia menjadi milik hakiki
manusia di manapun berada dan keberlangsungan suatu budaya akan sangat ditentukan oleh
masyarakat pendukung kebudayaan itu.

17

D. TEORI TEORI RELIGI
1. Teori Religi Dalam Kehidupan Manusia Terdahulu
Edward B Tylor (1873), dianggap sebagai bapak antropologi, mengemukakan teori
tentang jiwa; dikatakannya asal mula religi itu adalah kesadaran manusia akan faham jiwa atau
soul, kesadaran mana yang pada dasarnya disebabkan oleh dua hal :
a. Perbedaan yang taampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati; suatu
mahluk

pada

satu

saat

dapat

bergerak-gerak,

berbicara,

makan,

menangis, berlari-

lari dan sebagainya, artinya mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi pada saat yang lain
mahluk itu seolah-olah tidak melakukan aktifitas apa-apa, tidak ada tanda-tanda gerak pada
mahluk itu, artinya makluh itu telah mati. Demikian lambat laun manusia mulai sadar bahwa
gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang ada di samping tubuhjasmani, dan kekuatan-kekuatan itulah yang disebut sebagai jiwa.
b. Peristiwa mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat
tidurnya. Demikian, manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di
tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ketempat-tempat lain; bagian lain
itulah yang disebut sebagai jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa jiwa
dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih berangkutan dengan tu
buh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia tidak
sadarkan diri (pingsan). Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang-leyang,
maka

tubuh

berada

dalam

keadaan

yang

lemah. Namun menurut Tylor. Walaupun melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat
seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang manusia mati, jiwa itu pergi
melepaskan diri dari hubungan tubuh-jasmani untuk selama-lamanya.
Dengan

peristiwa-peristiwa

di

atas

nyata

terlihat,

kalau

tubuh-jasmani

sudah

hancur berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti abu didalam api upacara pembakara
n mayat, maka jiwa yang telah merdeka lepas dari jasmani itu dapat berbuat

sekehendak

hatinya.

Menurut keyakinan ini maka alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka, dan
tidak disebut sebagai jiwa lagi, tetapi dikatakan sebagai mahluk halus atau spirit; demikian pikiran
manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi kepercayaan kepada
mahluk-mahluk halus.

18

Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus
itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi, yang
tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, dianggap bertubuh halus sehingga tidak dapat
tertangkap oleh panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh
manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi
obyek penghormatan, pemujaan, dan penyembahannya, dengan berbagai upacara keagamaan berupa
doa, sajian atau korban. Pada tingkat religi semacam ini oleh Tylor disebut sebagai animism.
Pada tingkat kedua di dalam evolusi religi manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga
disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu; sungai-sungai yang
mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang meletus, gempa bumi yang merusak, angin
taufan yang menderu, matahari yang menerangi bumi, berseminya tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya
semuanya

disebabkan

oleh

jiwa

alam;

dalam perkembangannya kemudian, jiwa alam ini dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia sebagai
mahluk-mahluk dengan suatu kepribadian, pikiran, dan kemauan. Mahluk-mahluk halus yang ada di
belakang gerak alam serupa ini disebut dengan Dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan
di dalam kehidupan masyarakat , timbul pula kepercayaan bahwa alam Dewa-dewa itu juga hidup di
dalam suatu susunan seperti kenegaraan di atas, serupa dengan kehidupan manusia; dengan demikian
seolah-olah ada suatu susunan pangkat Dewa-dewa mulai dari raja Dewa sebagai Dewa yang
tertinggi, sampai dengan dewa-dewa yang terendah. Suatu susunan seperti itu lambat laun akan
menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan
saja dari satu dewa yang tertinggi. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan
kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monotheisme.
2. Teori Agama Pada Kehidupan Manusia Kemudian
Teori-teori lain yang berkenaan dengan asal mula religi itu, atau dasar-dasarkepercayaan
manusia yang menganggap adanya suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, dan bentuk-bentuk
usaha manusia yang mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan itu telah menjadi perhatian
menarik dari orang-orang tertentu, terutama dari kalangan antropologi; teori-teori itu mencakup :
a. Teori Batas Akal
Teori religi tentang batas akal ini dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890) yang berpedoman
bahwa

manusia

dalam

kehidupannya

senantiasa

memecahkan

berbagai

persoalan

hidup
19

dengan perantaraan akal dan ilmu pengetahuan; namun dalam kenyataannya bahwa akal dan sistem
pengetahuan itu itu sangat terbatas sekali. Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu,
tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit. Persoalan hidup yang tidak
bisa dipecahkan dengan akal, dicoba dipecahkannya dengan melalui magic, ialah ilmu gaib.
Magic diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui
kekuatan-kekuatan yang ada pada alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya;
pada mulanya manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecehkan segala persoalan hidup
yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi waktu itu belum ada dalam
kebudayaan

manusia,

lambat

laun

terbukti

bahwa

banyak

dari perbuatan magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat itu orangmulai
percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa darinya, maka
mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus yang mendiami alam itu, dan
timbullah religi.
Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan yang besar antara magic dan religi; magic
adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai
dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi
adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan
diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti ruh-ruh, dewa, dan sebagainya.
b. Teori Masa Krisis Dalam Hidup Individu
Pandangan tentang masa-masa krisis ini disampaikan oleh M. Crawley (1905) dan A.Van
Gennep (1909) ; menurut ke dua orang ini, dalam jangka waktu hidupnya, manusia mengalami
banyak krisis yang menjadi sering obyek perhatian dan dianggap sebagai suatu yang menakutkan.
Betapapun

bahagianya

hidup

orang,

entah

sering

atau

jarang

terjadi bahwa orang itu akan ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalamhidupnya;
krisis - krisis itu terutama berupa bencana-bencana sekitar sakit dan maut (mati), suatu keadaan yang
sukar bahkan tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau harta benda kekayaan
yang mungkin dimilkinya
Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagai masa dimana kemungkinan adanya sakit
maut ini besar sekali, yaitu misalnya saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia pemuda ke dewasa,
masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Van Gennep menyebut masa-masa itu sebagai crisis
rites atau rites de passage. Dalam menghadapi masa krisis serupa itumanusia butuh melakukan
20

perbuatan

untuk

memperteguh

imannya

dan

menguatkan

perbuatan serupa itu , yang berupa upacara-upacara pada masa krisis tadi itulah

dirinya; perbuatanyang

merupakan

pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua.
c. Teori Kekuatan Luar Biasa
Pendirian ini dikemukakan oleh seorang sarjana antropologi Inggris R.R. Marett; (1909) salah
satu dasar munculnya teori ini adalah sebagai sanggahan terhadap teori religi yang dikemukakan oleh
E.B. Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia akan jiwa; menurut Marett, kesadaran tersebut
adalah hal yang bersifat terlalu kompleks bagi pikiranmanusia yang baru ada pada tingkat-tingkat
permulaan kehidupannya di muka bumi ini. Menurut Marett, pangkal daripada segala kelakuan agama
ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang
dianggap sebagai biasa dalam kehidupan manusia. Alam, tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa
itu berasal, yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang
melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia dalam alam sekelilingnya, disebut the
supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luas biasa itu dianggapakibat dari
suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa atau kekuatan sakti.
Adapun kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal, dan
peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, oleh Marett dianggap sebagai suatu kepercayaan yang ada
pada mahluk manusia sebelum ia percaya kepada mahluk halus dan ruh; dengan perkataan lain,
sebelum ada kepercayaan animisme maka ada satu bentuk kepercayaan lain yang oleh Marett
disebutnya sebagai praeanimisme.
d. Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis, Emile
Durkheim (1912), pada dasarnya sama dengan R.R. Marett adalah menyanggah teori religi yang
dikemukakan oleh Tylor; serupa dengan celaan Marett tersebut di atas, beliau beranggapan
bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan

kebudayaan

itu belum

dapat

menyadari suatu paham abstrak ‘jiwa’, sebagai suatu substansi yang berbedadari jasmani. Kemudian
Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum dapat menyadari faham abstrak
yang

lain seperti

tercobaan

dari

jiwa menjadi

ruh apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Mendasari celaan terhadap teori animisme
Tylor itu maka beliau menyatakan suatu teori baru tentang dasar-dasar religi yang sama sekali

21

berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu
berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah:
a) Mahluk manusia dalam kala ia baru timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitasreligi itu
tidak karena ia mempunyai di dalam alam pikirannya bayangan-bayanganabstrak tentang jiwa,
ialah suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak didalam alam, tetapi karena suatu
getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul didalam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh
suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b) Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan yang
mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya,terhadap masyarakatnya sendiri,
yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia hidup.
c) Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya
merupakan pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu berkobarkobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi
lemah dan laten, sehingga perlu dikobarkan kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan kembali
sentimen kemasyarakatan adalah dengan mengadakan suatu kontraksi masyarakat, artinya dengan
mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa yang bernuansa religius.
d) Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan suatu objek
tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadiobjek daripada emosi
keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan sifat megahnya,
bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum dalam masyarakat. Obyek itu salah
sesuatu peristiwa kebetulan di dalam sejarah daripada kehidupan sesuatu masyarakat di dalam
waktu

yang

lampau

menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Objek yang menjadi tujuan emosi
keagamaan itu juga mempunyai objek yang bersifat keramat, bersifat sacre (sakral) berlawanan
dengan objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu,ialah objek yang tak
keramat atau profane (profan).
e) Objek keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa
asli benua Australia misalnya, objek keramat, pusat tujuan daripada sentimen-sentimen
kemasyarakatan, sering juga sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering juga objek keramat
itu berupa benda. Oleh para sarjana objek keramat itu disebut totem (jenis binatang atau lain
objek) itu mengkonkritkan prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah
suatu kelompok tertentu di dalammasyarkat, berupa clan atau lain.

22

Pendirian-pendirian tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan, adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti
daripada tiap religi; sedangkan ketiga pengertian lainnya, ialah kontraksi masyarakat,kesadaran akan
objek keramat berlawanan dengan objek tak-keramat, dan totem sebagai lambang masyarakat,
bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem
akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan (c) mitologi.Ketiga unsur tersebut terakhir ini
menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di dalamsesuatu masyarakat tertentu.
Susunan

tiap

masyarakat

dari

beribu-ribu

suku

bangsa

di

muka

bumi

yang

berbeda- beda ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaanya
tampak lahir pada upacara, kepercayaan, atau mitologinya.

23

E. PENGARUH

UNSUR

UNSUR

KEBUDAYAAN

TERHADAP

MASYARAKAT
Unsur-unsur kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang digunakan. Raph Linton
mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan warisan sosial dari anggota masyarakat. Pengaruh
unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat adalah :
 Goodman dan Marx melihat kebudayaan sebagai warisan yang dipelajari dan ditranmisikan, jadi
kebudayaan dalam hal ini berpengaruh terhadap perkembangan generasi-generasi berikutnya.
Misalnya: bahasa dari sebuah suku akan terus dipakai oleh generasi yang akan datang pada suku
tersebut.
 M.J. Herskovits, bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang superorganic, yakni individu yang
tinggal pada tempat budaya tersebut secara langsung atau tidak langsung akan memiliki dan
menjadi anggota dari kebudayaan tersebut. Misalnya:seseorang yang tinggal di sebuah suku, maka
secara otomatis akan menjadi putra suku tersebut.
 Theodore M. Newcom, bahwa kepribadian menunjuk pada organisasi sikap-sikap seseorang untuk
berbuat, mengetahui, berpikir, dan merasakan secara khusus. Jadi Newcomb menganggap
kebudayaan lebih ke arah keindividuan sebagai salah satu kreator dari kebudayaan. Disini
pengaruh kebudayaan adalah bagaimana seorang individu itu menerapkan dan mengembangkan
kebudayaan yang ia anut.
Dari pengaruh-pengaruh di atas, dapat kita simpulkan bahwa unsur-unsur budaya sebagai
pembentuk budaya sangat berpengaruh dalam kehidupan sebuah masyarakat, karena unsur-unsur
budaya akan tetap dipakai dalam kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya: bahasa, kesenian, dan lain
sebagainya. Meskipun begitu akan terjadi pergeseran-pergeseran dalam kebudayaan. Misalnya pada
teknologi dan mata pencaharian, namun konsep dasar dari sebuah budaya akan sulit sekali untuk
dihilangkan.

24

BAB 3
PEMBAHASAN

A. SUKU TORAJA

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah
kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku
Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan
dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi)
pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar
seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi
daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja
memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh
dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok
etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar
(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang
dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an,
25

kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh
pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an
mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus
meningkat.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di
Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja
memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian
dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri
atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal
akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung
selama beberapa hari.

26

B. AGAMA dan KEPERCAYAAN
Jauh sebelum masyarakat menganut Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu
kepercayaan yang bersifat animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo.
Pada masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya sebagian kecil yang
menganut agama Islam.
Sebelum masuknya agama, baik kristen maupun Islam, masyarakat Toraja menganut
kepercayaan leluhur yang telah diwariskan turun temurun sampai saat ini. Masyarakat Toraja percaya
bahwa segala sesuatu yang ada di dunia mempunyai nyawa, bahkan selanjutnya nyawa manusia hidup
terus walaupun mereka sudah meninggal. Kepercayaan dalam keseharian seperti orang yang sudah
meninggal, biasanya diberi makan, minum bahkan ada saja yang diberikan pada jam makan. Ini
menandakan bahwa mereka percaya seolah-ola