PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERH

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN
TERHADAP MANAJEMEN LABA: TEORI KEAGENAN
VERSUS TEORI SIGNALING
Eko Widodo Lo
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta
Jalan Seturan, Yogyakarta, 55281
E-mail: eko.widodo@stieykpn.ac.id

ABSTRACT
This research investigates the influence of company financial distress on earnings
management by using agency and signaling theories. This research compares the
explanations between agency and signaling theories on this relationship. Agency theory
explains that company financial distress positively influences earnings management, but
signaling theory predicts that company financial distress negatively influences earnings
management. Company financial distress is measured by using Ohlson model. KangSivaramakrishnan model is used to measure discretionary accruals, a measure of earnings
management. Empirical data are analyzed by using ordinary least square regression and
testing of difference between two proportions from one group. Results of data analysis reject

agency theory explanation, and support signaling theory explanation. This research finds that
company financial distress negatively influences discretionary accruals.
Keywords: Financial distress, earnings management, agency theory, signaling theory

PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan meneliti
pengaruh tingkat kesulitan keuangan
perusahaan terhadap manajemen laba. Isu
penelitian ini adalah perbedaan penjelasan
mengenai pengaruh tingkat kesulitan
keuangan perusahaan terhadap manajemen
laba di antara teori keagenan dengan teori
signaling. Teori keagenan menjelaskan
bahwa
tingkat
kesulitan
keuangan
perusahaan berpengaruh positif terhadap
manajemen laba, sedangkan teori signaling
menjelaskan bahwa tingkat kesulitan

keuangan perusahaan berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba.
Indonesia mengalami krisis keuangan
pada tahun 1997 dan 1998 yang kemudian
berkembang menjadi krisis ekonomi.

Krisis ekonomi dapat menimbulkan kesulitan keuangan bagi perusahaan. Perusahaan
harus cakap menyelesaikan semua masalah
yang dihadapinya, termasuk akibat dari
krisis ekonomi yang menimpa negara yang
perusahaan
berada
di
dalamnya.
Manajemen perusahaan yang berkualitas
tinggi akan berhasil mengatasi akibat krisis
ekonomi terhadap perusahaan, dan
sebaliknya. Kegagalan manajemen dalam
mengatasi akibat krisis ekonomi terhadap
perusahaannya mengindikasikan ketidakcakapan manajemen perusahaan yang

bersangkutan. Walaupun begitu, kondisi
keuangan perusahaan yang buruk dapat
disebabkan oleh kualitas manajemen yang
jelek, bukan oleh akibat krisis ekonomi
karena manajemen yang berkualitas bagus
akan berhasil menyelesaikan semua


 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

masalah yang dihadapi perusahaan,
termasuk akibat dari krisis ekonomi.
Tingkat kesulitan keuangan perusahaan yang parah mendorong pe-megang
saham melakukan penggantian manajemen. Hal ini akan menurunkan nilai pasar
manajemen yang bersangkutan di bursa

tenaga kerja. Situasi ini mendorong
manajemen mengatur sedemikian rupa
pelaporan laba akuntansi karena laporan
keuangan merupakan salah satu ukuran
kinerja manajemen perusahaan. Tingkat
kesulitan keuangan perusahaan yang parah
dapat mendorong manajemen melakukan
manajemen laba. Para pengguna informasi
keuangan harus memahami bahwa perubahan laba akuntansi dapat dipengaruhi oleh
manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan. Berdasarkan isu
tesebut, penelitian ini bertujuan meneliti
pengaruh tingkat kesulitan keuangan
perusahaan terhadap manajemen laba.
Tingkat kesulitan keuangan perusahaan mempengaruhi manajemen laba.
Manajemen laba dilakukan dalam bentuk
manajemen laba yang menaikkan laba atau
manajemen laba yang menurunkan laba.
Teori keagenan memprediksi bahwa tingkat kesulitan keuangan perusahaan yang
parah mendorong manajemen melakukan

manajemen laba yang menaikkan laba
untuk menyembunyikan kinerja buruknya.
Akan tetapi, teori signaling memprediksi
bahwa tingkat kesulitan keuangan perusahaan yang tinggi mendorong manajemen
perusahaan melakukan manajemen laba
yang merendahkan laba untuk memberikan
sinyal kepada pihak luar bahwa perusahaan
mengalami kesulitan keuangan yang parah.
KAJIAN LITERATUR
Penjelasan Teori Keagenan terhadap
Manajemen Laba
Hubungan keagenan dalam kontrak
kerja adalah hubungan antara pemegang
saham (principal) dengan manajer (agent),

 

yang pemegang saham memperkerjakan
manajer untuk memberikan jasa kepada
pemegang saham untuk kepentingan pemegang saham. Pemegang saham melakukan

pendelegasian wewenang pembuatan keputusan kepada manajer perusahaan.
Teori keagenan mengasumsikan
bahwa manajer mementingkan diri sendiri.
Manajer akan bertindak oportunistik untuk
mencapai tujuan tertentu. Apabila kinerja
manjer buruk manajer cenderung menutupi
kinerja buruknya dengan melakukan
manajemen laba yang menaikkan laba.
Sebaliknya, apabila kinerja manajer baik,
maka manajer cenderung menunda kinerja
baiknya dengan melakukan manajemen
laba yang menurunkan laba.
Penjelasan Teori Signaling terhadap
Manajemen Laba
Teori signaling menjelaskan bahwa
pemberian sinyal dilakukan oleh manajemen untuk mengurangi asimetri informasi.
Apabila manajemen mengetahui lebih
banyak mengenai kondisi keuangan dan
prospek perusahaan daripada pemegang
saham, mereka dapat memberi-kan sinyal

dengan mencatat akrual diskresioner. Jika
kondisi keuangan dan prospek perusahaan
baik, manajemen dapat memberikan sinyal
dengan mencatat akrual diskresioner
positif untuk menunjukkan bahwa kondisi
keuangan perusahaan dan laba perioda kini
serta yang akan datang lebih baik daripada
yang diimplikasikan oleh laba nondiskresioner perioda kini. Jika kondisi
keuangan dan prospek perusahaan buruk,
manajemen memberikan sinyal dengan
mencatat akrual diskresioner negatif untuk
menunjukkan bahwa kondisi keuangan
perusahaan dan laba perioda kini serta
yang akan datang lebih buruk daripada
laba non-diskresioner perioda kini.
Manajemen menyampaikan sinyal
kabar baik maupun sinyal kabar buruk.
Dalam kondisi keuangan perusahaan
buruk, manajemen melakukan manajemen


PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

laba untuk memberikan sinyal kabar buruk
dengan tujuan memberikan informasi
kepada pasar bahwa mereka mempunyai
integritas, bertindak jujur, dan mempunyai
keyakinan dapat mengatasi masalah yang
dihadapi. Selain untuk menunjukkan
kualitas manajerial mereka, dengan memberi sinyal buruk sebagaimana adanya,
manajemen mungkin berharap memperoleh apresiasi pasar untuk menahan penurunan harga saham perusahaan.
Motivasi Manajer Mencatat Akrual
Diskresioner
Akrual diskresioner sering digunakan
sebagai proksi manajemen laba oportunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan dengan konteksnya
masing-masing, tetapi manajer mungkin
mempunyai motivasi lain untuk mencatat
akrual diskresioner yaitu untuk maksud
pemberian sinyal mengenai kondisi

keuangan dan kinerja perusahaan kini serta
yang akan datang. Chen dan Cheng (2002)
mengasumsikan manajer mempunyai dua
motivasi untuk mencatat akrual diskresioner, yaitu:
1. Motivasi signaling/kinerja (performance) yaitu bahwa manajemen mencatat akrual diskresioner untuk mencerminkan secara lebih baik impak
kejadian-kejadian ekonomi penting
terhadap laba akuntansi;
2. Motivasi manajemen laba oportunistik
yaitu bahwa manajemen mencatat
akrual diskresioner untuk memaksimalkan manfaat yang mereka dapat dengan
tidak mengungkapkan informasi privat,
misalnya menyembunyikan kinerja
buruk atau menunda pengakuan kinerja
yang bagus.
Manajemen yang mempunyai motivasi signaling mencatat akrual diskresioner
untuk mencerminkan secara lebih baik
impak kejadian ekonomi pokok terhadap
kinerja perusahaan (Guay et al., 1996).
Manajemen mencatat akrual diskresioner


untuk menyampaikan informasi privat
mengenai kemampulabaan perusahaan
yang akan datang, atau agar laba menjadi
ukuran yang lebih dapat dipercaya dan
tepat waktu mengenai kinerja perusahaan
kini daripada laba non-diskresioner. Ketika
manajer mempunyai motivasi signaling,
akrual diskresioner dicatat oleh manajer
agar laba akuntansi menjadi ukuran kinerja
yang lebih informatif. Cara pemikiran
tersebut mirip dengan pemikiran bahwa
proses akrual dapat membuat laba menjadi
ukuran kinerja yang lebih informatif
daripada arus kas operasi (Dechow, 1994;
Chen dan Cheng, 2002).
Manajemen yang mempunyai motivasi manajemen laba oportunistik mencatat
akrual diskresioner untuk memaksimalkan
utilitas mereka dengan tidak bermaksud
untuk mengungkapkan informasi privat,
misalnya menyembunyikan kinerja buruk

atau menunda pengakuan kinerja baik.
Manajemen mempunyai motivasi menyembunyikan informasi karena kekayaan,
reputasi, dan keamanan pekerjaan mereka
dipengaruhi dalam hubungan positif oleh
laba (Fudenberg dan Tirole; Weisbach
dalam Chen dan Cheng, 2002). Dorongan
untuk menunda pengakuan kinerja baik
dapat timbul untuk beberapa alasan,
misalnya laba telah melebihi batas atas
program bonus untuk manajer (Healy,
1985), manajemen tidak ingin menaikkan
ekspektasi pasar terhadap laba terlalu
tinggi agar ekspektasi laba (yang tidak
terlalu tinggi) dapat dipenuhi dalam
perioda-perioda yang akan datang (Cheng
dalam Chen dan Cheng 2002) sehingga
harga saham kurang sensitif terhadap
kejutan laba yang ekstrim (Freeman dan
Tze; Subramanyam dalam Chen dan
Cheng 2002).
Cadangan kerugian piutang dapat
digunakan untuk mengilustrasikan kedua
motivasi tersebut (Chen dan Cheng, 2002).
Manajemen menggunakan suatu tingkat
yang lebih tinggi daripada tingkat industri
normal untuk mencatat cadangan kerugian


 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

piutang. Perbedaan antara cadangan
kerugian piutang apabila tingkat industri
normal digunakan dengan cadangan
kerugian piutang yang dicatat oleh
manajemen dipertimbangkan sebagai suatu
akrual diskresioner. Apabila manajemen
yakin bahwa tingkat kerugian piutang
perusahaan lebih tinggi daripada tingkat
industri normal dan mencatat cadangan
kerugian piutang lebih tinggi untuk
mencerminkan kinerja perusahaan, maka
akrual diskresioner ini dicatat untuk
motivasi signaling. Jika manajemen
mencatat cadangan kerugian piutang lebih
tinggi untuk menunda pengakuan kinerja
yang baik ke tahun yang akan datang,
maka akrual diskresioner ini dicatat karena
adanya motivasi manajemen laba oportunistik.
Penjelasan Teori Atribusi terhadap
Manajemen Laba
Teori atribusi menggambarkan dua
macam penjelasan yang digunakan orang
untuk memahami suatu perilaku. Secara
spesifik, orang membedakan antara tindakan yang dihubungkan dengan penyebab
disposisional yaitu beberapa karakteristik
dalam diri seseorang atau perusahaan yang
menyebabkan suatu perilaku dan tindakan
yang dihubungkan dengan penyebab
situasional atau lingkungan yaitu sesuatu
dalam lingkungan atau situasi yang
menyebabkan perilaku (Koonce dan
Mercer, 2002). Teori atribusi menjelaskan
bahwa ketika seseorang mengamati suatu
perilaku, dia mencoba untuk menentukan
apakah perilaku tersebut disebabkan oleh
penyebab internal (penyebab disposisional)
atau penyebab eksternal (penyebab
situasional), misalnya laba perusahaan
meningkat dapat disebabkan oleh pengembangan produk baru (faktor internal) atau
disebabkan oleh kondisi perekonomian
yang membaik (faktor eksternal).
Teori atribusi menjelaskan bahwa
seseorang dapat mengalami bias self4 
 

serving (Miller dan Ross dalam Koonce
dan Mercer, 2002), yaitu seseorang
menghubungkan keberhasilannya dengan
faktor-faktor internal dalam dirinya dan
menyalahkan faktor-faktor di luar dirinya
sebagai penyebab kegagalan. Seseorang
memberikan atribusi disposisional untuk
hasil positif, misalnya manajer suatu perusahaan menyatakan bahwa kemampulabaan perusahaan meningkat karena
kecakapannya dan memberikan atribusi
situasional untuk hasil negatif, misalnya
manajer menyatakan bahwa laba perusahaan turun karena kondisi perekonomian
yang memburuk. Koch dalam Koonce dan
Mercer (2002) berpendapat bahwa perusahaan yang mengalami financial distress
lebih mungkin memberikan pengungkapan
laporan keuangan yang self-serving. Koch
memprediksi dan menemukan bahwa
investor mengenali pengungkapan laporan
keuangan yang self-serving dan akibatnya,
sejalan dengan tingkat financial distress
yang meningkat, mereka menjadi kurang
percaya terhadap pengungkapan sukarela
perusahaan yang bersangkutan. Hutton et
al. dalam Koonce dan Mercer (2002)
menunjukkan bahwa investor meminta
informasi pendukung yang lebih rinci
terhadap kabar baik daripada kabar buruk
dalam peramalan yang dilakukan oleh
manajemen, karena investor yakin bahwa
manajemen mempunyai insentif selfserving untuk melaporkan kabar baik.
Teori atribusi dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa manajemen melakukan manajemen laba signaling atau
oportunistik. Apabila kondisi keuangan
perusahaan tidak bermasalah, manajemen
mungkin mempunyai insentif self-serving
melalui pemberian sinyal kepada investor
bahwa kondisi keuangan perusahaan
adalah baik dan kinerja kini yang akan
datang adalah lebih baik daripada kinerja
yang diimplikasikan oleh laba nondiskresioner kini dengan manajemen laba
signaling
yang
menaikkan
laba.
Manajemen laba dengan menaikkan laba

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

yang dilakukan oleh manajer perusahaan
yang tidak bermasalah keuangan diharapkan oleh manajer yang bersangkutan dapat
dideteksi oleh investor sebagai sinyal
bahwa kondisi keuangan perusahaan
adalah baik dan kinerja kini serta yang
akan datang adalah lebih baik daripada
yang diimplikasikan oleh laba nondiskresioner. Investor diharapkan berpersepsi bahwa manajer adalah cakap dalam
mengelola perusahaan. Sebaliknya, apabila
tingkat kesulitan keuangan preusan tinggi,
manajer tidak akan memberikan sinyal
bahwa kondisi keuangan perusahaan
adalah buruk dengan manajemen laba yang
menurunkan laba dan mungkin bertindak
oportunistik dengan menyembunyikan
kinerja buruk. Manajer tidak memberikan
sinyal bahwa kondisi keuangan perusahaan
adalah buruk karena tidak mau dinilai
tidak cakap oleh investor. Dengan
demikian, teori atribusi dapat digunakan
untuk memprediksi manajemen laba
sebagai berikut ini.
1. Apabila kondisi keuangan perusahaan
tidak bermasalah, manajer akan
melakukan manajemen laba signaling
dengan menaikkan laba. Manajer
berharap investor dapat mendeteksi
sinyal tersebut dan kemudian berpersepsi bahwa manajer cakap.
2. Apabila tingkat kesulitan keuangan
perusahaan tinggi, manajer tidak
melakukan manajemen laba signaling
dengan menurunkan laba, tetapi
manajer mungkin melakukan manajemen laba oportunistik dengan menaikkan laba untuk menyembunyikan
kinerja buruk. Manajer tidak mau
dinilai tidak cakap oleh investor.
Penjelasan Kos Transaksi terhadap
Manajemen Laba
Burgstahler dan Dichev (1997)
menggunakan teori kos transaksi sebagai
salah satu penjelasan manajemen laba dalam bentuk menghindari rugi (penurunan

laba) kecil dengan melaporkan laba
(kenaikan laba) kecil. Teori kos transaksi
mendasarkan pada dua asumsi berikut ini.
1. Informasi laba mempengaruhi terms of
transaction di antara perusahaan
dengan stakeholders dan secara lebih
spesifik
terms
of
transactions
umumnya lebih menguntungkan untuk
perusahaan yang mempunyai laba yang
lebih
tinggi
dibandingkan
jika
mempunyai laba yang lebih rendah.
2. Kos penyimpanan, pengambilan, dan
pengolahan informasi adalah cukup
tinggi sehingga paling tidak sebagian
stakeholders menentukan terms of
transaction
dengan
perusahaan
berdasarkan pada heuristic cutoffs pada
tingkatan laba adalah nol atau
perubahan laba adalah nol.
Asumsi pertama bahwa perusahaan
yang mempunyai laba lebih tinggi akan
menghadapi kos yang lebih rendah dalam
transaksi dengan stakeholders adalah
konsisten dengan penelitian lain. Cornell
dan Shapiro dalam Burgstahler dan Dichev
(1997) berpendapat bahwa nilai claim
implisit stakeholders (yang secara
langsung berhubungan dengan nilai pasar
perusahaan) adalah sensitif terhadap
informasi mengenai kondisi keuangan
perusahaan. Bowen et al. dalam
Burgstahler dan Dichev (1997) mendiskusikan insentif untuk melaporkan laba
yang lebih tinggi berhubungan dengan
karyawan, pelanggan, pemasok, kreditur,
dan stakeholders lain. Contoh-contoh
insentif untuk melaporkan laba yang lebih
tinggi dalam hubungannya dengan
stakeholders adalah:
1. Jika laba perusahaan dilaporkan lebih
tinggi, pelanggan mau membayar suatu
harga yang lebih tinggi karena
perusahaan diasumsikan lebih mungkin
untuk mempertahankan komitmen jasa
dan garansi implisit;
2. Jika laba perusahaan dilaporkan lebih
tinggi, pemasok akan menawarkan


 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

terms of transaction yang lebih baik,
karena perusahaan lebih mungkin
untuk membuat pembayaran dari
pembelian kini dan karena perusahaan
lebih mungkin untuk melakukan
pembelian yang lebih besar pada masa
yang akan datang;
3. Jika laba perusahaan dilaporkan lebih
tinggi, kreditur akan menawarkan
perjanjian kredit yang lebih baik karena perusahaan mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk menunggak
atau terlambat melakukan pembayaran;
4. Jika laba perusahaan dilaporkan lebih
tinggi, karyawan yang bernilai tinggi
bagi perusahaan mempunyai kemungkinan lebih kecil akan meninggalkan
perusahaan.
Asumsi kedua menyatakan bahwa
stakeholders menggunakan heuristic untuk
menentukan terms of transactions dengan
perusahaan. Penggunaan heuristics sering
terjadi sebagai respon terhadap kos
informasi dalam model-model ekonomi
(Conlisk dalam Burgstahler dan Dichev,
1997). Ketika kos adalah tinggi bagi
stakeholders untuk mengambil dan memproses informasi rinci mengenai laba untuk
semua perusahaan yang bertransaksi
dengan mereka, Burgstahler dan Dichev
(1997)
menduga
bahwa
sebagian
stakeholders menggunakan heuristics
cutoffs pada tingkatan laba adalah nol atau
perubahan laba adalah nol.
Kedua asumsi tersebut mengimplikasikan bahwa perusahaan yang melaporkan penurunan laba atau rugi akan
menanggung kos yang lebih tinggi dalam
bertransaksi dengan stakeholders daripada
jika perusahaan melaporkan kenaikan laba
atau laba. Kedua asumsi tersebut
mendorong untuk menghindari penurunan
laba atau rugi.


 

PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan
Perusahaan terhadap Manajemen Laba
Teori keagenan memprediksi bahwa
tingkat kesulitan keuangan perusahaan
(TKKP) dapat memotivasi manajer
melakukan manajemen laba (ML) oportunistik. Apabila tingkat kesulitan keuangan
tinggi, manajemen melakukan ML yang
menaikkan laba untuk menyembunyikan
kinerja buruk dengan mencatat akrual
diskresioner positif.
Apabila tingkat
kesulitan keuangan rendah, manajemen
melakukan ML yang menurunkan laba
untuk menunda kinerja yang baik dengan
mencatat akrual diskresioner negatif.
Penjelasan teori keagenan menunjukkan bahwa kondisi keuangan perusahaan
dapat mempengaruhi manajemen laba.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dikembangkan hipotesis berikut ini.
H1: Tingkat
kesulitan
perusahaan
berpengaruh positif terhadap akrual
diskresioner.
Berdasarkan
penjelasan
teori
keagenan, hipotesis H1 diuraikan lebih
lanjut dalam dua hipotesis pendukung
dengan penjelasan berikut ini. Apabila
TKKP tinggi, manajer akan cenderung
melakukan ML oportunistik dengan
menaikkan laba untuk menyembunyikan
kinerja buruk. Apabila TKKP rendah,
manajer akan cenderung melakukan ML
oportunistik dengan menurunkan laba
untuk menunda kinerja baik. Berdasarkan
penjelasan ini, maka dikembangkan
hipotesis pendukung berikut ini.
H1a: Perusahaan dengan TKKP tinggi
cenderung melakukan ML yang
menaikkan laba (AD positif)
daripada ML yang menurunkan laba
(AD negatif).
H1b: Perusahaan dengan TKKP rendah
cenderung melakukan ML yang
menurunkan laba (AD negatif)

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

daripada ML yang menaikkan laba
(AD positif).
Teori signaling menjelaskan bahwa
jika TKKP tinggi maka manajer perusahaan akan memberikan sinyal dengan
melakukan
manajemen
laba
yang
menurunkan laba. Sebaliknya, jika TKKP
rendah maka manajer akan memberikan
sinyal dengan melakukan manajemen laba
yang menaikkan laba. Berdasarkan penjelasan ini dapat dibuat hipotesis pesaing
sebagai berikut: ”Tingkat kesulitan perusahaan berpengaruh negatif terhadap akrual
diskresioner.” Berdasarkan penjelasan

teori signaling, hipotesis pesaing tersebut
diuraikan lebih lanjut dalam dua hipotesis
pendukung berikut ini. Pertama, perusahaan dengan TKKP tinggi cenderung
melakukan ML yang menurunkan laba
daripada ML yang menaikkan laba. Kedua,
perusahaan dengan TKKP rendah cenderung melakukan ML yang menaikkan laba
daripada ML yang menurunkan laba.
Penjelasan teoretis mengenai kecenderungan manajer berkenaan dengan
manajemen laba disajikan dalam Tabel 1.
Pembentukan hipotesis H1a dan H1b disajikan dalam Gambar 1.

Tabel 1
Penjelasan Teoretis Kecenderungan Manajer terhadap Manajemen Laba
Penjelasan
Teoretis
Teori
keagenan

Teori
signaling

Kecenderungan
Manajer terhadap
Manajemen Laba
TKKP tinggi:
Menaikkan laba
TKKP rendah:
Menurunkan laba
TKKP tinggi:
Menurunkan laba

TKKP rendah:
Menaikkan laba

Teori kos
transaksi

TKKP tinggi atau
rendah: Menaikkan laba

Teori
atribusi

TKKP rendah:
Menaikkan laba

TKKP tinggi:
Menaikkan laba

Motivasi Manajer Berkenaaan
dengan Manajemen Laba
Menyembunyikan kinerja buruk dan atau kondisi
keuangan perusahaan yang buruk
Menunda kinerja baik dan atau menunda kondisi
keuangan perusahaan yang baik
Memberikan sinyal bahwa kondisi keuangan
perusahaan buruk dan laba kini/yang akan datang
lebih buruk daripada kinerja yang diimplikasikan
oleh laba non-diskresioner kini
Memberikan sinyal bahwa kondisi keuangan
perusahaan baik dan laba kini/yang akan datang
lebih baik daripada kinerja yang diimplikasikan
oleh laba non-diskresioner kini
Perusahaan yang mempunyai laba lebih tinggi
akan menghadapi kos yang lebih rendah dalam
bertransaksi dengan stakeholders
ML signaling —manajer ingin menunjukkan
kepada pemegang saham dan kreditur bahwa
kinerja baik dapat dicapai karena kecakapan
manajer
ML oportunistik —manajer tidak ingin disalahkan
atau dianggap tidak cakap sehingga berusaha
menyembunyikan kinerja buruk


 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

Menaikka
n laba —
oportunist
ik

Ya

Menurunk
an laba —
signaling

Apakah tingkat
kesulitan keuangan perusahaan tinggi?

Menaikka
n laba —
signaling

Tidak

Menurunka
n laba —
oportunistik

Argumen: (1) manajer cenderung melakukan ML
yang menaikkan laba untuk menyembunyikan kinerja
buruk —penjelasan teori keagenan, (2) manajer
cenderung melakukan ML yang menaikkan laba
untuk menyembunyikan kinerja buruk untuk
menghindari kemungkinan disalahkan oleh investor.
Manajer khawatir investor menghubungkan kinerja
buruk perusahaan dengan kecakapannya —
penjelasan teori atribusi, (3) manajer cenderung
melakukan ML yang menaikkan laba karena
perusahaan yang mempunyai laba lebih tinggi akan
menghadapi kos yang lebih rendah dalam
bertransaksi dengan stakeholders —penjelasan kos
transaksi.

*Argumen: (1) manajer melakukan ML signaling
yang menurunkan laba untuk memberikan sinyal
bahwa TKKP buruk dan kinerja kini/yang akan
datang lebih buruk daripada kinerja yang diimplikasikan oleh laba non-diskresioner —penjelasan teori
signaling

*Argumen: (1) manajer melakukan ML signaling
dengan menaikkan laba untuk memberikan sinyal
bahwa TKKP rendah dan kinerja kini/yang akan
datang lebih baik daripada kinerja yang diimplikasikan oleh laba non-diskresioner —penjelasan teori
signaling, (2) manajer melakukan ML signaling yang
menaikkan laba dengan harapan investor dapat
mendeteksi sinyal bahwa TKKP rendah dan kinerja
kini/yang akan datang lebih baik daripada yang
diimplikasikan oleh laba non-diskresioner sehingga
investor diharapkan berpendapat bahwa kinerja
bagus perusahaan disebabkan oleh kecakapan
manajer —penjelasan teori atribusi.

Argumen: (1) manajer melakukan ML oportunistik
dengan menurunkan laba untuk menunda kinerja baik
—penjelasan teori keagenan.

H1a: Perusahaan
dengan TKKP
tinggi cenderung
melakukan ML
yang menaikkan
laba
daripada
ML yang menurunkan laba.

**Perusahaan
dengan TKKP
tinggi cenderung
melakukan ML
yang menurunkan laba dari
pada ML yang
menaikkan laba.

**Perusahaan
dengan TKKP
rendah
cenderung melakukan
ML yang menaikkan laba dari
pada ML yang
menurunkan
laba.

H1b: Perusahaan
dengan TKKP
rendah
cenderung melakukan
ML yang menurunkan laba dari
pada ML yang
menaikkan laba.

Keterangan: *Penjelasan terhadap hipotesis pendukung pesaing; **Hipotesis pendukung pesaing.
Gambar 1. Pembentukan Hipotesis Pendukung Pengaruh Tingkat Kesulitan
Keuangan Perusahaan terhadap Manajemen Laba

METODA PENELITIAN
Data dan Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan data
sekunder. Data akuntansi diperoleh dari

 

laporan keuangan perusahaan yang
terdaftar di BEI. Data untuk penghitungan
indeks tingkat harga Gross National
Product diperoleh dari Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia. Indeks tersebut
diperlukan untuk menghitung skor prediksi

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

kebangkrutan model Ohlson. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan
metoda
purposive
sampling
yang
merupakan metoda pengambilan sampel
dengan menggunakan beberapa kriteria
sebagai berikut: Pertama, perusahaan
terdaftar di BEI selama perioda 1994 –
2002. Kedua, jenis perusahaan adalah
perusahaan manufaktur.
Berdasarkan kriteria tersebut, sampel
yang berhasil diperoleh sebanyak 108
perusahaan manufaktur dalam 20 jenis
industri manufaktur. Data tahun 1994
diperlukan karena dalam penghitungan
akrual diskresioner juga menggunakan
data lag 1. Analisis dilakukan terhadap
data tahun 1995 – 2002. Jumlah observasi
penelitian adalah 864 observasi.
Na’im
dan
Hartono
(1996)
menyampai-kan bahwa model akrual tidak
cocok untuk perusahaan non-manufaktur.
Walaupun model akrual fit dengan data
yang digunakan, tetapi terdapat koefisien
regresi yang tidak signifikan. Oleh karena
itu, penelitian ini hanya menggunakan data
perusahaan manufaktur.
Model dan Variabel Pengujian

Pengukuran Akrual Diskresioner.
Pengukuran akrual diskresioner (AD) tidak
mudah dilakukan karena AD sulit diamati
oleh pihak-pihak di luar perusahaan.
Secara umum, model-model yang ada
masih mempunyai masalah metodologi.
Penelitian ini mengukur AD dengan
menggunakan dua model yaitu model
Jones (1991) dan model Kang dan
Sivaramakrishnan (1995). Model Jones
dipilih karena merupakan model yang
paling populer. Keuntungan model Jones
adalah bentuknya yang sederhana dan
mudah diimplementasikan (Kang, 1999).
Bartov et al. (2000) menemukan bahwa
model Jones (1991) secara cross-sectional
lebih baik dalam mendeteksi manajemen
laba
dalam
pengujian
kualifikasi
pengauditan yang mereka lakukan. Kang
(1999) berpendapat bahwa Model Jones
(1991) mempunyai tiga masalah statistika
yaitu masalah simultanitas, errors-invariables (EIV), dan omitted variables.
Model Jones (1991). Model Jones
memandang
bahwa
akrual
nondiskresioner (AND) merupakan suatu
fungsi dari perubahan pendapatan dan
tingkat aktiva tetap, yang diestimasi
dengan model sebagai berikut:

TAi,t/Ai,t-1 = α (1/Ai,t) + β1(ΔREVi,t/Ai,t-1) + β2(GPPEi,t/Ai,t-1) + εi,t.

(1)

Keterangan:
TAi,t-1 = Akrual total perusahaan ke i pada tahun ke t.
TAi,t
= ΔCAi,t – ΔCASHi,t –ΔCLi,t – DEPi,t.
CAi,t
= Aktiva lancar perusahaan i pada tahun t.
CASHi,t = Kas perusahaan i pada tahun t.
CLi,t
= Utang lancar perusahaan i pada tahun t.
DEPi,t = Biaya depresiasi dan amortisasi perusahaan i pada tahun t.
ANDit = Akrual non-diskresioner perusahaan ke i pada tahun ke t.
ADi,t
= Akrual diskresioner perusahaan ke i pada tahun ke t.
Ai,t-1
= Aktiva total perusahaan ke i pada tahun ke t-1.
ΔREVi,t = Pendapatan perusahaan ke i pada tahun ke t dikurangi pendapatan pada tahun
ke t-1.
GPPEit = Aktiva tetap bruto perusahaan ke i pada tahun ke t.
εit
= Error term perusahaan ke i pada tahun ke t.
AND didefinisi sebagai fitted value dari persamaan di atas, sebagai berikut:

 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

ANDi,t = α (1/Ai,t) + β1(ΔREVi,t /Ai,t-1) + β2(GPPEi,t/Ai,t-1).

(2)

AD didefinisi sebagai residual dari persamaan di atas, sebagai berikut:
ADi,t = TAi,t /Ai,t-1 – [α (1/Ai,t) + β1(ΔREVi,t /Ai,t-1) + β2(GPPEi,t/Ai,t-1)].
Variabel perubahan pendapatan dan
tingkat aktiva tetap dimasukkan dalam
model untuk mengendalikan perubahan
dalam AND yang disebabkan oleh
perubahan kondisi. Pendapatan digunakan
untuk mengendalikan lingkungan ekonomi
perusahaan karena pendapatan merupakan
ukuran yang obyektif terhadap operasi
perusahaan sebelum manajer melakukan
manipulasi, tetapi pendapatan tidak
sepenuhnya bersifat eksogen. Aktiva tetap
bruto digunakan untuk mengendalikan
porsi total akrual yang berhubungan
dengan biaya depresiasi non-diskresioner.
Tingkat aktiva tetap bruto dimasukkan
dalam model ekspektasi di atas dan bukan
perubahan aktiva tetap bruto karena total
biaya depresiasi (bukan perubahan biaya
depresiasi) yang dimasukkan dalam ukuran
akrual total. Semua variabel dalam model
ekspektasi akrual diskalai dengan aktiva
lagged
untuk
mengurangi
heteroskedastistas (Defond dan Jiambalvo,
1994).
Model Kang dan Sivaramakrishnan
(1995). Kang (1999) berpendapat bahwa

model KS lebih baik daripada model
Jones. Model Jones diduga mempunyai
tiga masalah statistika yaitu masalah
simultanitas,
error-in-variables,
dan
omitted variables.
Masalah simultanitas timbul karena
kegagalan dalam menyertakan batasan
identitas (bahwa, akrual = laba – arus kas
operasi) dalam regresi (Kang, 1999).
Masalah EIV terjadi karena regresor dapat
dimanipulasi. Model Jones menggunakan
dua asumsi yang tidak realistis terhadap
variabel independennya, sebagai berikut
ini. Pertama, Pendapatan diasumsikan
tidak dimanipulasi sehingga pendapatan
digunakan sebagai variabel independen.
10 
 

(3)

Asumsi ini tidak realistis, manfaat
penggunaan pendapatan untuk mengendalikan akrual yang tidak dimanipulasi
mungkin hanya sedikit melebihi kos
potensial karena bias estimasi. Kedua,
model Jones mengasumsikan perubahan
aktiva lancar dan utang lancar dipicu oleh
perubahan pendapatan. Asumsi ini sangat
restriktif karena utang lancar lebih
mungkin berhubungan dengan biaya
daripada pendapatan.
Masalah omitted variables terjadi
karena model Jones tidak memasukkan
variabel biaya ke dalam model. Pengeluaran variabel biaya dari model Jones
menjelaskan mengapa model Jones sering
menghasilkan suatu bias yang mengarahkan pada temuan akrual diskresioner
positif dalam perekonomian yang membaik—misalnya ketika laba menaik— dan
akrual diskresioner negatif jika dalam
perekonomian yang memburuk. Jika
manajemen laba hanya terjadi dalam satu
perioda, maka masalah EIV dapat
diabaikan, tetapi masalah simultanitas dan
omitted variables masih ada karena kedua
masalah tersebut masih tetap ada walaupun
manajemen laba tidak ada. Selain itu,
model Jones sering diestimasi tanpa
menggunakan suatu intersep karena
intersep dianggap mendekati nol. Apabila
intersep ternyata tidak mendekati nol,
maka
cara
tersebut
memberikan
kemungkinan adanya bias yang lain (Kang,
1999).
Model KS mengendalikan masalah
omitted variables dengan memasukkan
variabel biaya dalam regresi. Masalah
simultanitas dan EIV dapat dikurangi
dengan menggunakan pendekatan variabel
instrumental. Model KS disajikan sebagai
berikut:

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

ACCBi,t/Ai,t-1= Φ0 + Φ1(δ1REVt /Ai,t-1) + Φ2(δ2EXPi,t /Ai,t-1) + Φ3(δ3GPPEi,t /Ai,t-1) + νi,t

(4)

dengan:
δ1 = ARTi,t-1/REVi,t-1; δ2 = OCALi,t-1/EXPi,t-1; δ3 = DEPi,t-1/GPPEi,t-1.
Keterangan:
ACCBit
Ait
CAi,t
CASHi,t
CLi,t
DEPi,t-1
ARTi,t-1
REVi,t
OCALi,t-1
EXPi,t-1
GPPEi,t

=
=
=
=
=
=
=
=
=

Saldo akrual = CAi,t – CASHi,t –CLi,t – DEPi,t.
Aktiva total tahun t.
Aktiva lancar perusahaan i pada tahun t.
Kas perusahaan i pada tahun t.
Utang lancar perusahaan i pada tahun t.
Biaya depresiasi dan amortisasi perusahaan i pada tahun t-1.
Piutang dagang perusahaan i pada tahun t-1.
Pendapatan perusahaan ke i pada tahun ke t.
Aktiva lancar – piutang dagang – kas – utang lancar perusahaan i pada tahun
t-1.
= Penjualan bersih – laba operasi – biaya depresiasi perusahaan i pada tahun
t (Thomas dan Zhang, 2000).
= Aktiva tetap bruto perusahaan i pada tahun t.

AND didefinisi sebagai fitted value dari persamaan di atas, sebagai berikut:
ANDi,t = Φ0 + Φ1(δ1REVt /Ai,t-1) + Φ2(δ2EXPi,t /Ai,t-1) + Φ3(δ3GPPEi,t /Ai,t-1).

(5)

AD didefinisi sebagai residual dari persamaan di atas, sebagai berikut:
ADi,t = TAi,t/Ai,t-1 – [Φ0 + Φ1(δ1REVt /Ai,t-1) + Φ2(δ2EXPi,t /Ai,t-1) + Φ3(δ3GPPEi,t /Ai,t-1)]. (6)
Pengukuran Tingkat Kesulitan
Keuangan
Perusahaan.
Kondisi
keuangan bermasalah (financial distress)
dapat didefinisi dalam beberapa cara
(Houghton et al., 2000). Kondisi keuangan
bermasalah merupakan suatu konsep luas
yang dapat terdiri atas beberapa bentuk
kesulitan keuangan yang dihadapi oleh
perusahaan. Istilah-istilah yang sering
digunakan untuk menunjukkan situasi
kesulitan keuangan adalah “bankruptcy”,
“failure”, “insolvency”, dan “default”
(Doumpos dan Zopounidis, 1999). Altman
(1993) dalam Doumpos dan Zopounidis
(1999) memberikan deskripsi yang lebih
lengkap mengenai istilah-istilah tersebut.
Bankruptcy kebanyakan mengidentifikasi

kepada definisi hukum terhadap financial
distress. Altman mendefinisi failure
sebagai
situasi
tingkat
kembalian
realisasian modal yang diinvestasikan
dengan allowances untuk risiko tertentu
lebih rendah secara signifikan dan
berkesinambungan
daripada
tingkat
kembalian yang berlaku untuk investasi
yang sejenis. Insolvency menggambarkan
suatu kinerja negatif yang menunjuk pada
masalah likuiditas. Insolvency dalam arti
kebangkrutan menunjuk pada aktiva bersih
negatif. Default menunjukkan situasi
penyimpangan yang dilakukan perusahaan
terhadap suatu kondisi atau perjanjian
dengan kreditur yang dapat menyebabkan
suatu tindakan hukum. Untuk mengatasi
11 

 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

perbedaan beberapa situasi tersebut,
Doumpos dan Zopounidis (1999) mendeskripsikan istilah financial distress secara
lebih umum yaitu situasi perusahaan tidak
dapat membayar kreditur, pemegang
saham preferen, pemasok, dan sebagainya,
atau perusahaan menuju kebangkrutan
menurut hukum. Penelitian ini mendefinisi
perusahaan dengan tingkat kesulitan
keuangan perusahan yang tinggi sebagai
perusahaan yang mengarah pada ketidakmampuan dalam memenuhi kewa-jiban
pembayarannya dan atau mengarah pada
kebangkrutan. Penelitian ini mengu-kur
kondisi keuangan perusahaan dengan
menggunakan model Ohlson (1980).
Skor
probabilitas
kebangkrutan
model Ohlson (1980) digunakan sebagai
proksi kondisi keuangan bermasalah oleh
Irani (2001), Koch (2002), dan Ota (2002).
Model Ohlson adalah model prediksi
kebangkrutan dengan analisis regresi logit
yang dapat diaplikasikan untuk menggo-

longkan suatu perusahaan apakah mempunyai masalah keuangan atau tidak. Begley
et al. dalam Koch (2002) menyatakan
bahwa model original Ohlson (1980) —
yang menggunakan koefisien estimasian
dengan data tahun 1970an— menunjukkan
kinerja keseluruhan yang paling kuat di
antara sejumlah model lain yang diuji
dalam memprediksi kebangkrutan pada
perioda-perioda waktu berikutnya. Begley
et al. menggunakan data tahun 1980an
untuk menguji kemampuan prediktif empat
model financial distress berikut ini.
1. Model original Ohlson (1980).
2. Model Ohlson (1980) dengan parameter yang diestimasi kembali dengan
menggunakan
data
yang
lebih
mutakhir.
3. Model original Altman (1968).
4. Model Altman dengan parameterparameter yang diestimasi kembali
dengan menggunakan data yang lebih
mutakhir.

Model original Ohlson (1980) menggunakan model logit sebagai berikut:
SPO = [1 + exp(-Yit)]-1

(7)

dengan:
Yit = α + β1 SIZEit + β2 TLTAit + β3 WCTAit + β4 CLTAit + β5 NITAit + β6 FUTLit + β7
OMTWOit + β8 OENEGit + β9 CHINit + ε.
Keterangan:
SPO
= Skor prediksi kebangkrutan model Ohlson (1980) yaitu probabilitas bahwa
suatu perusahaan akan mengalami kebangkrutan pada tahun yang akan datang.
SIZEit
= Ln (aktiva total/indeks tingkat harga GNP) pada perusahaan i tahun t.
TLTAit
= (Utang total/aktiva total) pada perusahaan i tahun t.
WCTAit = (Modal kerja/aktiva total) pada perusahaan i tahun t.
CLCAit
= (Utang lancar/aktiva lancar) pada perusahaan i tahun t.
NITAit
= (Laba bersih/aktiva total) pada perusahaan i tahun t.
FUTLit
= (Arus kas operasi/utang total) pada perusahaan i tahun t.
OMTWOit = Variabel dummy, 1 jika laba bersih adalah negatif untuk dua tahun terakhir,
dan 0 untuk sebaliknya.
OENEGit = Variabel dummy, 1 jika utang total lebih besar daripada aktiva total.
CHINit
= (Laba bersih tahun t – laba bersih tahun t-1) / jumlah nilai absolut laba bersih
tahun t ditambah nilai absolut laba bersih tahun t-1.
Koefisien-koefisien model Ohlson (1980) disajikan dalam Tabel 2.
12 
 

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

Tabel 2
Nilai Koefisien Model Ohlson (1980)
Variabel
Intersep
SIZE
TLTA
WCTA
CLCA
NITA
FUTL
INTWO
OENEG
CHIN

Koefisien
α
β1
β2
β3
β4
β5
β6
β7
β8
β9

Prediksi kebangkrutan dengan SPO
dapat dinyatakan dalam skala metriks dan
nominal. Jika proksi kesulitan keuangan
dinyatakan dalam variabel nominal maka
suatu nilai cut-off digunakan untuk menggolongkan apakah perusahaan mempunyai
masalah keuangan atau tidak. Nilai cut-off
yang digunakan adalah 0,038 (Ohlson,
1980). Jika SPO di atas 0,038 dikategorikan sebagai perusahaan bermasalah keuangan dan jika di bawah 0,038 dikategorikan sebagai perusahaan tidak bermasalah keuangan. Nilai cut-off sebesar 0,038
diidentifikasi meminimalkan total kombinasi kesalahan klasifikasi di antara perusahaan sampel yang digunakan Ohlson
(1980).
Pengujian Hipotesis Pengaruh Kondisi
Keuangan Perusahaan terhadap
Manajemen Laba
Pengujian terhadap hipotesis H1
mengenai pengaruh tingkat kesulitan keuangan perusahaan terhadap akrual diskresioner dilakukan dengan regresi kuadrat
terkecil berikut ini.
ML= β0 + β1.TKKP + ε

(8)

Keterangan:
ML = Manajemen laba diukur dengan
AD (akrual diskresioner) yang

Nilai koefisien
-1,320
-0,407
6,030
-1,430
0,076
-2,370
-1,830
0,285
-1,720
-0,521
dihasilkan oleh model Kang dan
Sivaramakrishnan.
TKKP= Tingkat
kesulitan
keuangan
perusahaan diukur dengan skor
prediksi kebangkrutan model
Ohlson (tingkat TKKP tinggi jika
skor > 0,038, dan sebaliknya).
ε = Residuals.
Pengujian
hipotesis
pendukung
pengaruh kondisi keuangan perusahaan
terhadap manajemen laba (H1a dan H1b)
dilakukan dengan membagi sampel ke
dalam dua sub sampel sebagai berikut ini.
1. Sub sampel tahun/perusahaan dengan
tingkat kesulitan keuangan perusahaan
tinggi yang terdiri dua tipe tahun/
perusahaan, yaitu:
a. Tahun/perusahaan dengan tingkat
kesulitan keuangan perusahaan
tinggi yang mempunyai AD positif
(manajer mempunyai motivasi ML
oportu-nistik).
b. Tahun/perusahaan dengan tingkat
kesulitan keuangan perusahaan rendah yang mempunyai AD negatif
(manajer mempunyai motivasi ML
signaling).
2. Sub sampel tahun/perusahaan dengan
tingkat kesulitan keuangan perusahaan
rendah terdiri atas:

13 
 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

a. Tahun/perusahaan dengan tingkat
kesulitan keuangan perusahaan
tinggi yang mempunyai AD positif
(manajer mempunyai motivasi ML
signaling).
b. Tahun/perusahaan dengan tingkat
kesulitan keuangan perusahaan rendah yang mempunyai AD negatif
(manajer mempunyai motivasi ML
oportunisti
Setelah
dilakukan
pembagian
sampel selanjutnya dilakukan uji dua beda
proporsi yang saling asing dari suatu
kelompok terhadap setiap sub sampel
sebagai berikut ini.
1. Pengujian hipotesis H1a: Pada sub sampel tahun/perusahaan dengan TKKP
tinggi, proporsi jumlah tahun/perusahaan dengan AD positif lebih besar
daripada proporsi jumlah tahun/perusahaan dengan AD negatif.
2. Pengujian hipotesis H1b: Pada sub sampel tahun/perusahaan dengan TKKP

rendah, proporsi jumlah tahun/perusahaan dengan AD positif lebih kecil
daripada proporsi jumlah tahun/perusahaan dengan AD negatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Hipotesis
Regresi Kuadrat Terkecil

dengan

Hasil analisis data dengan menggunakann regresi kuadrat terkecil untuk
menguji hipotesis H1 disajikan dalam
Tabel 3. Hasil analisis data dengan menggunakan regresi menunjukkan bahwa
koefisien variabel tingkat kesulitan perusahaan sebesar –0,62639 dengan p-value=
0,000 berarti bahwa variabel independen
tingkat kesulitan keuangan perusahaan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap akrual diskresioner yang merupakan
ukuran variabel manajemen laba.

Tabel 3
Hasil Pengujian Hipotesis H1 dengan Regresi Kuadrat Terkecil
Variabel dependen

AD
Koefisien

Variabel independen:
Intersep
TKKP
R square
Adjusted R square
Nilai F regresi
P-value regresi
Jumlah observasi

0,06363
-1,62639

Nilai t

P-value

3,9207
-17,2416

0,000
0,000
0,256431
0,255568
297,2732
0,0000
864

Keterangan:
AD= Akrual diskresioner yang diukur dengan model Kang dan Sivaramakrishnan.
TKKP= Tingkat kesulitan keuangan perusahaan yang diukur dengan skor prediksi
kebangkrutan modal Ohlson.

Dengan demikian, hasil analisis data
empirik ini tidak mendukung H1, yang
dikembangkan berdasarkan teori keagenan.
Hasil ini mendukung hipotesis pesaing
bahwa tingkat kesulitan keuangan perusa14 
 

haan berpe-ngaruh negatif terhadap akrual
diskresioner, yang dikembangkan berdasarkan teori signaling.

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

Hasil Pengujian Hipotesis dengan Uji
Dua Beda Proporsi Saling Asing
 

kelompok untuk menguji hipotesis H1a
dan H1b disajikan dalam Tabel 4 berikut
ini.

Hasil analisis data dengan menggunakan
uji beda dua proporsi saling asing dari satu

Tabel 4
Hasil Pengujian Hipotesis H1a dan H1b dengan Uji Dua Beda Proporsi Saling Asing
dari Satu Kelompok
Sub Sampel Tahun/Perusahaan dengan TKKP Tinggi
(SPO > 0,038)
ML yang menaikkan laba
ML yang menurunkan laba
(AD positif)-oportunistik
(AD negatif)-signaling
6,35% (4/63)
93,65% (59/63)
Sub Sampel Tahun/Perusahaan dengan TKKP rendah
(SPO < 0,038)
ML yang menaikkan laba
ML yang menurunkan laba
(AD positif)-signaling
(AD negatif)-oportunistik
65,17% (622/801)
34,83% (279/801)

Nilai Z

P-value

-14,207
Nilai Z

0,000
P-value

9,102

0,000

Keterangan:
TKKP= Tingkat kesulitan keuangan perusahaan
AD= Akrual diskresioner
SPO= Skor prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model Ohlson

Hasil pengujian hipotesis H1a.
Hipotesis H1a diuji dengan uji beda dua
proporsi saling asing dari satu kelompok
yang diterapkan terhadap sub sampel
tahun/ perusahaandengan TKKP tinggi,
dengan membandingkan proporsi jumlah
tahun/ perusahaan yang mempunyai AD
positif dengan proporsi jumlah observasi
tahun/ perusahaan yang mempunyai AD
negatif. Hipotesis H1a menyatakan bahwa
perusahaan
dengan
TKKP
tinggi
cenderung
melakukan
ML
yang
menaikkan laba (AD positif) daripada ML
yang menurunkan laba (AD negatif).
Uji beda dua proporsi saling asing
dari satu kelompok sub sampel
tahun/perusahaan dengan TKKP tinggi
disajikan dalam Tabel 3. Pada sub sampel
tahun/perusahaan dengan TKKP tinggi,
proporsi jumlah tahun/ perusahaan yang

menaikkan laba (AD positif) adalah 6,35%
(4/63) lebih kecil daripada proporsi jumlah
tahun/perusahaan yang menurunkan laba
(AD negatif) yaitu 93,65% (38/63) dengan
tingkat signifikansi 0,000 dan nilai Z= 14,207. Hasil analisis ini tidak mendukung
hipotesis H1a, tetapi mendukung hipotesis
pendukung pesaing.
Hasil pengujian hipotesis H1b.
Hipotesis H1b juga diuji dengan uji beda
dua proporsi saling asing dari satu
kelompok yang diterapkan terhadap sub
sampel tahun/ perusahaan dengan TKKP
rendah. Pengujian dilakukan dengan
membandingkan
proporsi
jumlah
tahun/perusahaan yang mempunyai AD
positif dengan proporsi jumlah observasi
tahun/perusahaan yang mempunyai AD
negatif. Hipotesis H1b menyatakan bahwa
15 

 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

perusahaan dengan TKKP rendah cenderung melakukan ML yang menurunkan
laba (AD negatif) daripada ML yang
menaikan laba (AD positif). Uji beda dua
proporsi saling asing dari satu kelompok
sub sampel tahun/perusahaan dengan
TKKP rendah disajikan dalam Tabel 3.
Pada sub sampel tahun/ perusahaan dengan
TKKP rendah, proporsi jumlah tahun/
perusahaan yang menaikkan laba (AD
positif) adalah 65,17% (622/801) lebih
besar daripada proporsi jumlah tahun/
perusahaan yang menurunkan laba (AD
negatif) yaitu 34,83% (279/801) dengan
tingkat signifikansi 0,000 dan nilai Z=
9,102. Hasil analisis tersebut tidak
mendukung
hipotesis
H1b,
tetapi
mendukung hipotesis pendukung pesaing.
SIMPULAN, KTERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN

kan laba daripada manajemen laba yang
menurunkan laba.
Keterbatasan Penelitian.
Penelitian ini mempunyai ketebatasan bahwa penelitian ini mengukur akrual
diskresioner dengan menggunakan model
Kang dan Sivaramakrishnan yang lebih
baik daripada model Jones (1991), tetapi
penelitian ini belum memilih model
pengukuran manajemen laba yang terbaik
di antara model-model yang sudah ada.
Demikian juga untuk pengukuran tingkat
kesulitan keuangan, pnelitian ini belum
memilih model prediksi kebangkrutan
yang terbaik di antara model-model prediksi kebangkrutan yang sudah ada. Pnelitian ini menggunakan model prediksi
kebangkrutan Ohlson (1980).
Saran.

Simpulan.
Hasil analisis data menunjukkan
bahwa hipotesis yang dikemban-gkan
bedasarkan teori keagenan tidak didukung.
Hasil analisis data mendukung hipotesishipotesis pesaing yang dikembangkan
berdasarkan teori signaling. Oleh karena
itu, penelitian ini membuat simpulan. Pertama, tingkat kesulitan perusahaan berpengaruh negatif terhadap akrual diskresioner, yang berarti bahwa semakin tinggi
tingkat kesulitan keuangan perusahaan,
maka manajemen cenderung melakukan
manaje-men laba yang menurunkan laba
untuk memberikan sinyal kepada pihak
luar bahwa kondisi keuangan perusahaan
bermasalah, dan sebaliknya. Kedua, perusahaan dengan tingkat kesulitan keuangan
tinggi cenderung melakukan manajemen
laba yang menurunkan laba daripada
manajemen laba yang menaikkan laba.
Ketiga, perusahaan dengan tingkat
kesulitan keuangan rendah cenderung
melakukan manajemen laba yang menaik16 
 

Penelitian-penelitian berikutnya yang
disarankan untuk dilakukan adalah 1)
penelitian mengenai pemilihan modelmodel pengukuran manajemen laba dan
prediksi kebangkrutan yang terbaik di
antara yang sudah ada atau pengembangan
model-model pengukuran baru yang lebih
baik. 2) penelitian yang melibatkan
variabel-variabel moderator dan mediator
untuk mempertajam analisis hubungan di
antara variabel-variabel.

DAFTAR REFERENSI
Bartov, E.F., Gul, F. dan Tsui, J. 2000.
“Discretionary-Accrual Models and
Audit
Qualifications.”
Working
paper. New York University & City
University of Hongkong.
Burgstahler, E. dan Dichev, I. 1997.
“Earnings Management to Avoid
Earnings Decreases and Losses.”

PENGARUH TINGKAT KESULITAN KEUANGAN TERHADAP.………………..………………….………………...(Eko Widodo Lo)

 

Journal
of
Accounting
Economics, 24: 99-126.

and

Chen, X. dan Cheng, Q. 2002. “Abnormal
Accrual-Based
Anomaly
and
Managers’ Motivations to Record
Abnormal
Accruals.”
Working
Paper. University of Chicago dan
University of Winconsin-Madison.
Dechow, P.M. 1994. “Accounting
Earnings and Cash Flows as
Measures of Firm Performance: The
Role of Accounting Accruals.”
Journal
of
Accounting
and
Economics, 18: 3-42.
DeFond, M.L. dan Jiambalvo, J. 1994.
“Debt Covenant Violation and
Manipulation of Accruals.” Journal
of Accounting and Economics, 17:
145-176.
Doumpos, M. dan Zoponuidis, C. 1999.
“A Multicriteria Discrimination
Method for the Prediction of
Financial Distress: The Case of
Greece.” Multinational Finance
Journal, 3 (2): 71-101.
Guay, W.R., Kothari, S.P. dan Watts, R.L.
1996. “A Market-Based Evaluation
of Abnormal Accrual Models.”
Journal of Accounting Research, 34:
83-105.

University. The University of
Western Australia. The University of
South Australia.
Jones, J. 1991. “Earnings Management
during Import Relief Investigation.”
Journal of Accounting Research, 29:
193-228. Kang, S. 1999. “Earnings
Management to Avoid Losses and
Performance of Accrual Prediction
Models.”
Working Paper. Yale
School of Management.
Kang, S. dan Sivaramakrishnan, H. 1995.
“Issues
in
Testing
Earnings
Management and an Instrumental
Variable Approach.” Journal of
Accounting Research, 33: 353-367.
Koch, A.S. 2002. “Financial Distress and
the Credibility of Management
Earnings Forecasts.” Working Paper.
Carnegie Mellon Univesity.
Koonce, L. dan Mercer, M. 2002. “Using
Psychology Theories in Archival
Financial Accounting Research.”
Working Paper. University of Texas
dan Emory University.
Na’im, A. dan Hartono, J. 1996. “The
Effect of Antitrust Investigations on
the Management of Earnings: A
Further Empirical Test of Political
Costs Hypothesis.” Kelola, 13: 126141.

Healy, P.M. 1985. “The Impact of Bonus
Schemes on the Selection of
Accounting Principles.” Journal of
Accounting and Economics, 7: 85107.

Ohlson , J.A. 1980. “Financial Ratios and
the Probabilistic Prediction of
Bankruptcy.” Journal of Accounting
Research, 18: 109-131.

Houghton, K.A., Kestel,J., Robinson, P.
dan Malcolm, S. 2000. “Economic
Recession, Coporate Distress, and
Income Incresing Accounting Policy
Choice.” Working Paper. The
University of Melbourne. Murdoch

Ota, K. 2002. “Does the Stock Market
Know the Systematic Bias in
Management Earnings Forecast?:
Empirical Evidence from Japan.”
Working paper. Kansai University
Graduate School.
17 

 

JRAK, Volume 8, No.1 Februari 2012

 
 

Thomas J. dan Zhang, X.J.. 2000.
“Identifying Unexpected