LIQUIEFACTION PADA TANAH DASAR ilmu

LIQUIEFACTION PADA TANAH DASAR
Dirangkum oleh:
Putu Tantri Kumalasari.,ST.,MT
1. Pengertian liquefaction.
Liquefaction adalah suatu kejadian dimana suatu massa tanah mengalami
kehilangan kekuatan mekanisnya pada kondisi tanah yang jenuh air, pada jenis tanah
yang non-kohesif yang disebabkan oleh kenaikan nilai pore water pressure (tegangan air
pori) pada saat mengalami beban dinamis. Menurut Sladen dkk, (1985), Liquefaction
adalah suatu fenomena dimana massa tanah mengalami kehilangan nilai shear resistance
karena adanya suatu kondisi yang bersifat monoton, berulang, siklik dan beban yang
mengagetkan (shock loading) sehingga bersifat seperti suatu cairan yang mengalir hingga
shear stress yang terjadi pada massa tanah tersebut bernilai sama rendahnya dengan nilai
berkurangnya shear resistance. Namun secara garis besar, liquefaction dapat diartikan
sebagai perubahan suatu sifat masa tanah yang awalnya bersifat solid berubah menjadi
bersifat seperti liquid yang disebabkan oleh meningkatnya nilai tegangan pori dan
berkurangnya nilai tegangan efektif pada tanah. (“Definition on terms..” 1978).
Sumber lain menyatakan bahwa liquefaction adalah suatu fenomena hilangnya
kekuatan ketahanan mekanik dari tanah sebagai akibat adanya beban siklik gempa yang
monoton. Hilangnya soil resistance tersebut ditandai dengan hilangnya tegangan efektif
antar butiran partikel tanah (’ = 0), sebagai akibat naiknya harga tegangan air pori u
hingga mencapai harga overburden presure ( u= dan u = ’) dalam suatu tanah yang


relatif jenuh (Sr = 95% - 100%). Kenaikan harga Pore Water Presure ini terjadi pada
kondisi undrained atau short time, sebagai akibat adanya beban siklik yang mendadak dan
berulang dari suatu gempa. Pada saat liquifaction perilaku tanah berubah menjadi fluid
viscus. Hilangnya ketahanan mekanik tersebut dapat dilihat melalui teori Morh Coloumb
sebagai berikut:

 = c’ + ( - u) tg ’

’ = ( - u)

Untuk pasir c’ = 0 persamaan menjadi
 = ( - u) tg ’

Pada saat liqufaction u =  maka ’ = 0 akhirnya  = 0
Beberapa kegagalan struktur bangunan tanah yang diyakini merupakan
akibat dari kejadian liquefaction ternyata sebenarnya hanya merupakan suatu cyclic

mobilitas yang merupakan akibat dari deformasi tanah yang terjadi tanpa adanya
perubahan sifat tanah menjadi seperti cairan. Pengertian pasti tentang liquefaction

sebenarnya masih dalam perdebatan para pelaku geoteknik. Beberapa investigator
berpendapat bahwa harus ada beberapa hal yang dibedakan dalam membedakan antara
liquefaction dan Cyclic mobility (Castro dan Poulos, 1977) sehingga ditetapkanlah bahwa
pengertian liquefaction adalah lebih kepada mekanisme keruntuhan yang disebabkan
oleh kenaikan tegangan pori selama terjadinya tegangan cyclic undraine (Undrained
cyclic shear) pada tanah yang jenuh air.
Seperti rumusan yang telah dijelaskan diatas, liquefaction sebenarnya disebabkan
oleh berkurangnya kekuatan suatu massa tanah yang jenuh air. Pada saat kondisi tanah
tersebut loose / lepas, butiran tanah yang jenuh air tersebar sehingga pori-pori dapat
terisi air dengan penuh. Ketika terjadi beban siklik yang monoton dan berulang seperti
gempa bumi, maka butiran-butiran tanah yang sebelumnya menyebar tersebut makin
mendekat satu sama lain sehingga pori-pori yang awalnya penuh terisi air terdesak
(Gambar 1). Sehingga air yang awalnya penuh mengisi pori-pori terdesak keluar hingga
ke permukaan tanah (Gambar 2). Jika air pori tersebut terhalangi untuk keluar maka
tegangan air pori akan meningkat secara progresif dengan adanya beban geser yang
terjadi. Hal ini mengakibatkan terjadinya pentransferan tegangan dari massa tanah ke
air pori yang menyebabkan berkurangnya nilai tegangan efektif dan tegangan geser dari
tanah. Jika tegangan geser pada tanah lebih kecil dari nilai tegangan statisnya, tegangan
geser penggerak (driving shear resistance), maka pada tanah tersebut akan terjadi
deformasi yang sangat besar sehingga massa tanah tersebut akan bersifat seperti liquid (

Martin dkk,1975 ; Seed dan Idriss, 1982). Liquefaction pada massa tanah yang lepas dan
bersifat nonkohesif dapat diteliti baik pada beban yang monotonic maupun beban geser
siklik.

Gambar 1. Proses terjadinya liquefaction pada butiran tanah. Sebelum terjadinya gempa
dimana butiran tanah masih bersifat loose; Selama terjadi gempa dimana butiran tanah mulai
mendekat satu sama lain dan menyebabkan pori-pori menjadi menyempit ; Setelah gempa
dimana tanah menjadi semakin padat sehingga terjadi perubahan volume.

Gambar 2. Proses terjadinya liquefaction pada air pori tanah. Sebelum gemba dimana pasir
lepas (loose sand) yang jenuh air tidak terjadi hal yang membahayakan. Selama gempa,
dimana butiran tanah mendekat satu sama lain dan mendesar air yang memenuhi pori untuk
keluar kepermukaan tanah. Setelah gempa, karena butiran tanah yang mendekat satu sama
lain dan air tanah yang keluar menggenang di permukaan maka terjadi perubahan volume
tanah.

Apabila suatu pasir yang bersifat dense mengalami kelebihan beban monoton,
butiran tanah akan memampat terlebih dahulu dan kemudian partikel tanah akan
bergerak keatas dan saling berdekatan satu sama lain. Pada kondisi pasir dense ini, pasir
yang jenuh air ini berkurang tanpa adanya pengaliran air pori. Yang artinya bahwa


bertambahnya volume suatu massa tanah disebabkan oleh berkurangnya nilai tegangan
air pori dan meningkatnya nilai tegangan efektif dan tegangan geser. Jika suatu contoh
masa tanah pasir dense yang diberikan suatu beban siklik pada tegangan geser yang kecil
pada kondisi undrained, nilai tegangan air pori mungkin dihasilkan pada masing-masing
siklus pembebanan yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat masa tanah menjadi
lebih soft dan terjadi akumulasi nilai deformasi. Sebaliknya, pada kondisi regangan geser
yang lebih besar, pelebaran dapat mengurangi nilai tegangan air pori yang dihasilkan
oleh peningkatan nilai shear resistance.
Pada kondisi tanah yang dapat terjadi liquefaction, tanah dapat berdeformasi
dengan tegangan geser yang kecil. Deformasi yang terjadi tersebut cukup besar
sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan dan banyak kegagalan
struktur bagian bawah lainnya. Ada atau tidaknya kejadian liquefaction ini disebabkan
oleh jenis tanahnya, apakah tanah tersebut termasuk jenis pasir lepas, jenuh air atau
tidak dan beberapa bertimbangan lainnya untuk menentukan apakah tanah tersebut
berpotensi terjadi liquefaction. Penjelasan tentang jenis tanah yang berpotensi terhadap
bahaya liquefaction akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.
Sebagai bahan pertimbangan pada mekanisme kagagalan/keruntuhan bangunan
bawah, Robertson (1994) dan Robertson dkk (1994) menyarankan suatu system
klasifikasi untuk mengartikan “soil liquefaction”. Study terakhir yang dilakukan tentang

system ini adalah oleh Robertson dan Fear (1996) yang dirangkum sebagai berikut :


Flow liquefaction digunakan untuk aliran undrained dari tanah yang jenuh air,
tanah yang constractive pada saat nilai tegangan geser statis melebihi nilai
tegangan residual pada tanah. Keruntuhan yang terjadi disebabkan oleh beban



geser siklik maupun beban geser monoton (cyclic or monotonic shear loading).
Cyclic softening digunakan untuk menjelaskan deformasi besar yang terjadi selama
terjadinya beban siklik disebabkan oleh meningkatnya nilai tegangan air pori
pada tanah yang cukup besar pada kondisi tanah yang undrained dan mengalami
tegangan geser yang monotonic.
o Cyclic liquefaction, terjadi pada saat regangan geser siklik (cyclic shear
stresses) melebihan batas normal yaitu static shear stress yang
menyebabkan pembalikan/perubahan nilai tegangan yang terjadi. Kondisi
pada saat tegangan efektifnya bernilai nol mungkin terjadi selama
terjadinya deformasi yang besar.


o Cyclic mobility, di mana beban siklik tidak menghasilkan pembalikan
tegangan geser dan kondisi stres yang efektif nol tidak berkembang.
deformasi terakumulasi dalam setiap siklus tegangan geser.
Sistem klasifikasi ini digunakan untuk memahami arti liquefaction apabila terjadi
berbagai macam mekanisme pada keruntuhan struktur bangunan bawah di lapangan.
Hingga saat ini, penjelasan umum liquefaction adalah dimana kegagalan struktur
bangunan bawah terjadi pada kondisi tanah nonkohesif yang jenuh air selama terjadinya
gempa bumi.
2. Jenis dan sifat tanah yang mengalami

liquefaction

Tidak semua jenis tanah berpotensi mengalami liquefaction. Association of Bay
Area Government, San-fracisco merumuskan suatu “resep” dimana tanah dapat dikatakan
memiliki potensi terjadinya liquefaction. “resep” pertama adalah tanah tersebut mersifat
Loose/ lepas, tidak terkonsolidasi atau tidak terpadatkan serta berjenis tanah pasir
maupun lanau tanpa adanya banyak material lempung yang terkandung didalamnya.
“resep” kedua adalah, tanah yang berjenis pasir dan lanau tersebut bersifat jenuh air
yang disebabkan oleh tingginya muka air tanah. “resep” ketiga adalah, tanah jenis
tersebut mengalami beban getar yang cukup kuat yang berasal dari gempa bumi

sehingga liquefactionpun dapat terjadi. Penggunaan “resep” pertama dan kedua didasari
pada peta regional (area San Francisco) yang dapat menggambarkan lokasi-lokasi yang
berpotensi terhadap liquefaction. Selain jenis tanah, kekuatan gempa juga sangat
berpengaruh terhadap terjadinya liquefaction. Liquefaction juga dapat terjadi pada tanah
yang mengandung lempung dengan syarat-syarat adalah


Sr = 95% - 100%



LL1



Water content > 0.90xLL

Keempat syarat diatas harus terpenuhi, maka liquefaction dikatakan bisa terjadi
pada jenis tanah lepung diatas.
Liquefaction dapat terjadi apabila 3 syarat utama terjadinya liquefaction terpenuhi

yaitu tanah tersebut berjenis pasir dan jenuh air yang dikenai beban getar yang cukup
kuat. Besar kecilnya kekuatan getar yang terjadi pada tanah sehingga berdampak
terjadinya liquefaction adalah tergantung dari sejauh mana kawasan yang memiliki jenis
tanah pasir lepas yang jenuh air tersebut terhadap sumber getar (gempa bumi) yang

dilihat berdasarkan patahan sumber gempa. Pada area yang letaknya lumayan jauh dari
sumber gempa tetapi memiliki jenis tanah yang berpotensi liquefaction masih dapat
mengalami kejadian liquefaction namun sebaliknya, hal tersebut tidak akan terjadi apabila
jenis tanah tersebut tidak berpotensi liquefaction. Material tanah yang berpotensi tinggi
terhadap liquefaction akan mengalami liquefaction apabila mengalami beban getar yang
setara dengan modified Mercalli intensity (MMI) VII. Sedangkan pada material tanah
yang memiliki potensi terjadi liquefaction rendah akan mengalami liquefaction pada
beban getar yang sangat kuat setara dengan MMI VIII. Liquefaction yang terjadi akibat
beban getar yang lebih kecil dari MMI VII atau pada area yang berpotensi kecil hingga
sangat kecil untuk terjadi liquefaction secara statistic dapat terjadi liquefaction tetapi
prosentasi kejadiannya tergolong kecil.
Tabel 1. Dampak Liquefaction berdasarkan nilai MMI dan material tanah yang
berpotensi terjadinya liquefaction.

(ABAG earthquake program)


Pakar Geologi Nasional menggunakan Seismic Hazards Mapping Act tahun 1991
untuk menggambarkan variasi dari zona dampak seismic termasuk juga zona dampak
liquefaction. Kriteria lain untuk menggambarkan zona liquefaction dikembangkan oleh
Seismic hazards Mapping Act Advisory Committee for the California State Mining and Geology
Board pada tahun 1993 dan kemudian telah diperbarui dan diperbaiki menjadi document
yang berjudul “ Guidelines For Delineating Seismic Hazard Zones (CDMG, 1999).
Berdasarkan criteria yang telah ditetapkan tersebut, zona liquefaction adalah dengan
syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut :

1. Area tersebut merupakan kawasan yang pernah terjadi gempa bumi atau
merupakan kawasan yang berdampak terhadap gempa bumi (dekat dengan
pertemuan lempeng sumber gempa)
2. Area tersebut memiliki material tanah yang tidak terpadatkan atau merupakan
material loose yang bersifat jenuh air, hampir jenuh air maupun akan jenuh air.
3. Area tersebut berpotensi terhadap kejadian liquefaction sesuai dengan data-data
geoteknis yang ada.
4. Pada area yang tidak memilki data geoteknik yang cukup mendukung, zona
tersebut digambarkan dengan beberapa criteria yaitu sebagai berikut:
a. Area tersebut mengandung tanah pada era Holocane Age (berumur

kurang dari 1000 tahun, dan merupakan kawasan aliran sungai yang
bermuara ke laut, pernah berdampak banjir daratan, merupakan kawasan
rawa dan esthuari) dimana muka air tanah kurang dari kedalaman 40 feet
dan nilai Peak Ground Acceleration (PGA) memiliki 10% kemungkinan
mengalami peningkatan dalam 50 tahun terakhir yaitu bernilai lebih dari
0.1 g.
b. Area tersebut memiliki jenis tanah pada era Holocene Age ( berumur
kurang dari 11000 tahun) dimana muka air tanah kurang dari 30 feet
dibawah permukaan tanah dan nilai PGA (10% dalam 50 tahun terakhir)
adalah lebih dari 0.2g.
c. Area tersebut mengandung tanah pada era Pleistocene Age ( berusia
antara 11000 sampai dengan 15000 tahun) dimana muka air tanah kurang
dari 20 feet dibawah permukaan tanah dan nilai PGA (10% dalam 50
tahun terakhir) adalah bernilai lebih besar dari 0.3 g.
Selain investigasi oleh pakar diatas, Special Publication (SP) 117 juga menyatakan
bahwa investigasi pada daerah yang berpotensial terhadap terjadinya liquefaction dapat
dilakukan dengan menggunakan dua step yaitu (1) a screening investigation dan (2)
quantitative evaluation. Screening investigation dilakukan dengan melakukan review
terhadap topografi disuatu kawasan, kondisi geologis dan laporan serta peta kondisi
mekanis tanah, foto aerial, peta kontur muka air tanah, kondisi muka air sumuran, peta

hasil survey kondisi tanah secara agrikultur, sejarah kejadian liquefaction di kawasan
tersebut, dan beberapa laporan investigasi lainnya yang mendukung. Tujuan dari
screening investigation tersebut adalah untuk memudahkan study maupun pekerjaan
dalam mengetahui kawasan mana yang berpotensi terhadap bahaya liquefaction dan
kawasan yang tidak berpotensi.

Screening berdasarkan beberapa point dibawah ini dapat digunakan untuk
melakukan evaluasi secara kuantitatif terhadap daerah yang berpotensi mengalami
liquefaction :


Apabila, estimasi tinggi muka air tanah kondisi lampau, sekarang dan yang akan
datang diprediksi lebih dalam dari 50 feet dibawah permukaan tanah dasar,



liquefaction dianggap tidak mungkin terjadi.
Apabila suatu masa tanah adalah sangat kaku atau bahkan sudah bersifat seperti
batuan, maka material tersebut tidak perlu lagi dicek apakah berpotensi akan
terjadi liquefaction. Jenis tanah batuan ataupun sudah bersifat seperti batu tidak



berpotensi terjadi liquefaction.
Apabila nilai N-SPT terkoreksi (N1)60 adalah lebih besar dan sama dengan 30
pada semua sample tanah yang ditest, maka tidak akan terjadi liquefaction pada
tanah tersebut. Kondisi tersebut setara dengan nila CPT terkoreksi qc1N lebih



besar atau sama dengan 160 pada semua jenis material pasir.
Apabila material tersebut adalah lempung yang murni lempung, maka tanah
tersebut dipastikan tidak akan mengalami liquefaction. Namun, apabila tanah
tersebut adalah jenis tanah yang berkadar lempung (artinya, memiliki clay
content dengan ukuran partikel butiran 0.25 mm) maupun pasir kelanauan.
Prosedur analisa adalah sebagai berikut:
1. Tentukan harga perlawanan ujung sondir yang telah dikoreksi terhadap
tegangan efektif 1 kg/cm2 pada titik kedalaman sondir.
qc1 = C1 qc = (

1.7
’ + .7

) qc (kg/cm2)

dimana C1 adalah fungsi kedalaman dari ’ dalam satuan kg/cm2 pada titik
kedalaman sondir.
2. CSR yang terjadi dilapangan dapat dihitung menggunakan formula
Tokimatsu dan Yoshima 1983 sbb

CSR = av / ’0 = 0.1 (M -1) (a mak /g) (0 / ’0 ) (1-0.015z)

Dimana M adalah besaran gempa a

mak

adalah percepatan maksimum

dipermukaan tanah. 0 dan ’0 tegangan total dan tegangan efektif total
dari kedalam z dari muka tanah.

3. CRR dapat dianalisa menggunakan rumus sebagai berikut:
qc1 = C2 (50 + 200

(/’o) – 0.1
(/’o) + .

CRR = 0.1 + 0.2

(qc1/C2) – 50
(250 – qc1 / C2

Dimana C2 = 1 untuk pasir bersih dengan harga D50 > 0.25 mm dan
C2 = D50/0.25 untuk tanah pasir halus dengan D50

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124