BASIS TEOLOGIS UNTUK PLURALISME BERAGAMA; Menimbang Pandangan Kaum Sufi dalam Memahami Tuhan Imam Hanafi,1 Hasbullah2 Yusuf Ahmad3
BASIS TEOLOGIS UNTUK PLURALISME BERAGAMA;
Menimbang Pandangan Kaum Sufi dalam Memahami Tuhan
Imam Hanafi , 1 Hasbullah 2 & Yusuf Ahmad 3
1 Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia
2 Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia
3 Universitas Islam Riau, Indonesia imam_hanafi@uin-suska.ac.id
Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan tentang tiga yang mendasari proses pemahaman manusia tentang Tuhan ; Pertama, Tuhan yang Transeden dan Tuhan yang Imanen. Tuhan pada satu sisi adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu dengan alam, meskipun keduanya tidak setara, karena Allah melalui asma-asma-Nya menampakkan Diri-Nya dalam alam. Tetapi disisi lain, Tuhan sama sekali berbeda denga alam, karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas, dan berada di luar alam nisbi yang terbatas. Kedua, Tuhan obyektif dan Tuhan subyektif. Tuhan dipahami dalam pengetahuan, konsep, penangkapan atau persepsi manusia. Disini Tuhan dipahami melalui penggambaran manusia, sehingga setiap manusia mempunyai persepsi sendiri- sendiri dalam mendekati, mencintai, dan ber-ibadah kepada-Nya. Ketiga, Tuhan yang Eksoteris dan Tuhan yang Esoteris. Memahami Tuhan, secara baik dan benar tidak akan mungkin bertemu pada jalur, eksoteris. Karena yang tampak di permukaan adalah realitas pluralitas agama, seperti dipresentasikan oleh kehadiran agama Yahudi, Kristen, Islam, dan seterusnya itu. Tetapi, titik temu agama-agama itu hanya mungkin terealisasi pada level esoteris (kata Huston Smith), esensial (kata Baghavan Das), atau transenden (kata Frithjof Schuon)
. Kata kunci: Telogi, Ketuhanan, dan Pluralisme
Pendahuluan
adanya simbol-simbol agama sebagai justifikasi atas aksi-aksi yang dilakukan
Apabila dibuka kembali lembaran (legitimation of violence acts). Fakta ini dapat
sejarah kekerasan di negara kita, maka dilihat, antara lain; Plaza Hayam Wuruk
kita akan melihat kompleksitas kekerasan
Masjid Istiqlal yang melibatkan ranah perbedaan
Kejaksaan Agung pemahaman
1 (4/6/2000), Kedubes Filipina Jakarta keagamaan. Hal ini disebabkan oleh
Bursa
Efek Jakarta
1 Pasca usai perang dingin, jau-jauh hari
(13/9/2000), serangkaian bom natal di
sebanarnya telah prediksi oleh Samuel P.
Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Mataram,
Huntington, yang dikenal dengan “The Clash of Civilization ”. Ia menyatakan bahwasanya dunia
Pematangsiantar, Medan, Batam dan
akan datang akan terjadi konflik antar peradaban
Pekanbaru (24/12/2000 ), Gereja Santa
yang tidak terjadi sebelumnya. Fenomena
Anna dan Huria Kristen Batak Protestan
tersebut dipicu oleh gesekan antar kebudayaan dan peradaban. Misalnya, Barat dengan Islam,
(HKBP) Jakarta (22/7/2001), Gereja
Islam dengan Hindu, dan lain sebagainya (lebih
Bethel Tabernakel Kristus Alfa Omega
lengkapnya baca: Samuel P. Huntington, “Konflik Peradaban?”, dalam Francis Fukuyama
Semarang (31/7/2001), Plaza Atrium
dan Samuel P. Huntington, (2005: 83).
Jakarta (23/9/2001),
lain, kebutuhan akan status, rasa aman International School (AIS) Jakarta
Australian
atau harga diri. Orang-orang seperti ini, (6/11/2001), Restoran KFC Makassar
sering melaksanakan sisi luar dari agama; (12/10/2001) (Bambang Abimanyu,
shalat, puasa, haji, dan lainnya, tetapi 2006: 83-90; Tempo, April 2011: 32).
pada sisi makna dari semua itu tidak Kasus-kasus ini mempunyai akar sangat
pernah disentuhnya. Oleh karena itu, kuat terhadap adanya perbedaan
Allport, orang yang pemahaman (baca; keyakinan) ke-
menurut
melaksanakan agama seperti ini, adalah Tuhanan. 2 Hal ini, tentu mengancam
orang-orang yang berpenyakit mental keselamatan publik, karena telah masuk
Rahmat, 1995: 26). pada kejahatan terhadap nilai-nilai
(Jalaluddin
Implikasinya, iri hati, saling cemburu, kemanusiaan (crime against humanity) dan
rasa benci, saling fitnah selalu mewarnai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
model beragama seperti ini. Sementara model beragama yang intrinsik, agama
Pada posisi ini, agama sepertinya
sebagai comprehensive tidak lagi menjadi sebuah kesatuan
dipandang
commitment, dan driving integrating motive, entitas (entities integrity ), kekuatan
yang mengatur seluruh hidup seseorang. pendorong (driving force) bagi terciptanya
Agama dijadikan sebagai pemandu sebuah tatanan yang rahmatan lil alamin.
(hudan). Sehingga para pemeluk agama Agama juga bukan lagi sebuah entitas
model yang kedua ini, mampu yang mampu memberikan kedamaian,
menciptakan nuansa kasih sayang dan kesejukan,
dan
keramahan bagi
saling menghargai.
terciptanya keharmonisan
sosial
beragama (Rubaidi, 2005: 14-15).
demikian, agama biasanya dipandang sebagai salah satu hal
Meskipun
Memahami agama hanya melalui yang paling agung yang ada pada setiap
institusi formal agama yang ada saat ini individu, karena biasanya ia bersifat
hanya akan melahirkan pemahaman yang sacral dan suci. Hal ini, dilatarbelakangi
terbatas, untuk tidak mengatakan keliru. adanya kesadaran di masyarakat bahwa
Ada dua bentuk cara beragama menurut
seperangkat nilai Gordon W. Allport, seperti dikutip transcendental dan bukanlah “produk” Jalaluddin Rahmat (1995: 26); Ekstrinsik
agama
adalah
manusia (Aminullah Elhadi, 2002: 37). dan Intrinsik. Cara beragama yang
Dalam tataran empirik, agama kemudian ekstrinsik cenderung pada penggunaan
menjadi lebih sensitif dalam kehidupan agama sebagai penunjang motif-motif
di masyarakat, sehingga tidak jarang agama
mampu
membangkitkan
2 Temuan Prof. Wilkinson dari The Terorism Research Center CSIS (1995), dari hasil
kecemburuan yang seringkali tidak
study di beberapa daerah tentang motivasi dan
rasional.
penyebab terorisme menyebutkan bahwasanya terorisme bersumber dan berakar dari kelompok-
Hal ini, berangkat dari adanya
kelompok Islam fundamental yang hampir pasti
sebuah legitimasi atas nama Tuhan.
ada disetiap Negara-negara Islam. Dikutip dari H. Witdarmono, Kompas, Senin Desember 2002.
Misalnya ketika
seseorang ingin seseorang ingin
sebuah agama sangat komitmen dengan manusia akan dimasukkan ke neraka.
anti-kekerasan yang pada dasarnya Akan tetapi, legitimasi ini juga dapat
merupakan tujuan luhur manusia. Siapa dipakai oleh para pemeluk agama sebagai
yang ingin ada pertumpahan darah, "pembenar" untuk membunuh orang
pembantaian wanita, dan anak-anak yang lain karena panggilan-Nya. Sehingga,
tak berdosa, hidup dalam ancaman? para pemeluk agama begitu mudah
(Hanafi, 2001: 35). Tujuan luhur manusia melakukan tindakan-tindakan kejahatan
itu sejajar dengan ajaran semua agama genocide maupun kejahatan kemanusiaan
juga memiliki tujuan yang sama: dalam bentuk-bentuk yang lain. Dan
kedamaian dan anti-kekerasan. Semua yang lebih parah, proses kejahatan
agama yang ada di muka bumi ini tersebut telah dilakukan oleh semua
mengajarkan kebaikan dan kedamaian agama besar Dunia (Juergensenmeyer,
hidup manusia. Buddha mengajarkan 2002: 23). Kondisi ini, seolah-olah
kesederhanaan, Kristen mengajarkan menjadi sebuah gambaran, di mana
cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan Tuhan (pemeluk yang satu) bermusuhan
kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan dengan Tuhan (pemeluk agama yang
kasih sayang bagi seluruh alam. lainnya) saling bermusuhan. Masing-
Pluralitas sebagai Sebuah Kenisca-
masing saling merebutkan posisi sebagai
yaan dalam Ber-Tuhan
"pemenang". Ketika
kemenangan
secara filosofis diperoleh oleh satu agama, maka para
Manusia
merupakan makhluq homo religious, yakni pemeluknya menganggap Tuhan telah
meniscayakan agama sebagai sesuatu membela dan membenarkan atas
yang given, niscaya, dan kebutuhan tindakan itu. Sementara yang mendapat
mendasar setiap manusia. Manusia secara kekalahan para pemeluknya beralasan
eksistensial memiliki kecenderungan bahwa Tuhan sedang menguji mereka
ganda; jasmaniah dan rohaniah, fisikal- dan Tuhan tetap berada di antara mereka
empiris dan supra-empiris, dunia dan akhirat (Abdul Munir Mulkhan, 2005: 5-18).
(Ahmad Barizi, 45). Keberadaan sebuah Legitimasi-legitimasi seperti ini salalu
dapat memiliki muncul dalam setiap agama. Padahal
agama
diyakini
kemampuan unt uk “memfasilitasi” menurut Arnold Toynbee (1975-1989),
aspirasi, inspirasi, dan harapan-harapan seperti dikutip Khamami Zada (200: 2-3)
yang tidak mampu dijangkau oleh bahwa “tidak seorangpun dapat menyatakan kemampuan manusia. 3 dengan pasti, bahwa sebuah agama lebih benar
dari agama lain ”. Atau dengan kata lain, bahwa tidak ada jaminan kepada 3 Kebutuhan manusia akan Realitas
Tertinggi (The Ultimate Reality), sebagai Wujud
seseorang untuk melegitimasi tindakan
dari Kausa Prima penciptaan, memunculkan
kekerasan terhadap agama orang lain
bebagai bentuk “kepercayaan”. Bentuk-bentuk “kepercayaan” ini, yang oleh Nurcholish Madjid
tersebut, sebagai sebuah kebenaran dari
(1992:xxii) disebut dengan “Deva”, “Theo”, “Dieu”, “Dos”, “Do” , “Khoda”, dan “God”
Ketika agama lahir dan turun, Nafis, dalam Komaruddin Hidayat dan maka ia tidak lepas dari konteks ruang
Ahmad Gaus AF (ed.), 1998: 79-80). dan waktu, sekaligus sangat terkait
Oleh karena itu, setiap manusia dengan kualitas individu dan mayarakat
sejatinya mempunyai otoritas yang sama dalam memahami setiap pesan yang
(same outhority) untuk menerjemahkan diajarkan setiap agama. Setiap orang atau
kepercayaan dan keyakinannya akan masyarakat tertentu akan menggunakan
Tuhan, sesuai dengan pengalaman simbol-simbol
tertentu
dalam
dimilikinya. Setiap mengekspresikan
spritual yang
nilai
keagamaan
penafsiran dan penterjemahan ini, tersebut. Karena setiap individu dan
melembaga, menkristal, kelompok masyarakat, mempunyai
kemudian
menjadi sebuah “tata nilai” yang kultur yang beragam, maka ekspresi
dianggap “paling benar” dibanding sebuah agama pun secara cultural dan
penafsiran dan penterjemahan kelompok simbolik, akan beragam pula. Contoh
lain. Intitusionalisasi inilah kemudian yang sangat sederhana adalah perbedaan
disebut sebagai agama. bahasa. Sehingga meskipun pesan
Keesaan Tuhan pada substansinya sama, Persoalannya kemudian adalah tetapi formula bahasanya berbeda.
“bagaimana menjadikan agama tersebut berfungsi secara positif bagi kehidupan
Setiap bentuk kepercayaan ini, sehari- hari” yang secara eksistensial memuat nilai-nilai yang mengharuskan
berhubungan langsung dengan gejala- manusia untuk menerjemahkan “firman-
gejala nyata di sekitarnya. Lahirlah Nya” kedalam tradisi yang mengitarinya.
berbagai Legenda dan Mitos, sebagai Proses penerjemahan inilah yang
formativisme agama dalam bentuknya kemudian
melahirkan
berbagai
yang subjektif. 4
pandangan dan
penafsiran
dari
“keinginan-Nya” tersebut. Akan tetapi, Ketika manusia hidup dalam manusia kebanyakan tidak mampu
lingkaran mitos, maka mitologi agama menangkap kehadiran-Nya. Sehingga,
menjadi cara pandang yang menarik dalam sejarahnya, Tuhan yang diyakini
untuk memahami Realitas yang lebih manusia sebagai serba Maha Kuasa itu,
relevan. Oleh sebab itu, cara pandang tidak diterima secara tunggal, yang pada
manusia tersebut perlu – dalam istilah gilirannya melahirkan cara berkeyakinan
Dawam Rahardjo (dalam Muhammad yang tidak tunggal (politheisme). Tidak
Wahyuni Nafis (ed.), 1996: 191) – heran jika kemudian, Tuhan ditemukan
“ditelanjangi” melalui penelitian sejarah oleh manusia dalam berbagai bentuk
nama dan istilah (Muhammad Wahyuni manusia,
4 Pengalaman
religiusitas
menurut Karen Amstrong, selalu berbenturan dengan istilah “mitos”, “mistisisme”, dan “misteri”. Ketiganya berasal dari kata kerja Yunani “musterion” yang berarti menutup mata
dalam istilah-istilah bahasa Indo-Eropa, dan atau mulut. Ketiga istilah tersebut berakar dari “Ilah”, “Ill”, “El”, “Al”, dan “Yahweh” dalam
pengalaman tentang kegelapan dan kesunyian. istilah-istilah bahasa Semitik.
(Karen Amstrong, 2000:200- 233).
untuk mencari kebenaran sejarah dari simbol dari agama bukanlah tujuan akhir mitos bahkan
diapresiasi secara dalam beragama, melainkan sebagai transformatif, dinamis, dan harmonis
sarana atau media menuju Realitas bagi keberlangsungan keberagamaan
Tertinggi.
manusia (Khalafullah, 1999). Artinya, Kedua, sistem simbol dalam
mitos mestinya tidak saja menjadi sebuah beragama mempunyai keberni-laiannya
sistem ilmu dan menjadi orientasi sendiri bagi orang yang mempunyai
keberagamaan manusia an sich, melainkan watak dan sikap mental yang sepadan
menjadikan mitos sebagai sistem makna dengannya. Akan menjadi persoalan,
(meaning system) yang secara intelektual ketika simbolisme agama tersebut
merupakan bagian dari pengalaman kemudian dipaksakan kepada orang yang
eksistensialnya dan mempunyai daya tidak memiliki watak dan sikap sama
sentuh emosional yang kreatif. Hasil dengan simbol agama yang dimaksud.
kreasi intelektual manusia atas mitos ini, kemudian memunculkan sistem simbol,
al- Qur‟an, proses yaitu suatu kreasi dialektik antara nilai-
Dalam
penemuan “Sesuatu yang Maha Kuasa” nilai agama
dan budaya yang yang kemudian dimaknai dengan melingkupinya, dan berfungsi untuk
seperangkat simbol yang menyertainya, menyederhanakan
dihadirkan dengan nama Allah. Selain kompleks sehingga mudah untuk
sesuatu
yang
itu, terdapat nama-nama lain yang dipahami.
disebutkan dalam al-Q ur‟an (QS. al-Isra: 110), dengan sebutan al-Asma al-Husna
Eksistensi simbol dalam sistem (Nama-Nama yang Indah). Sebagian
keyakinan ini, meniscayakan berbagai besar Ulama sepakat bahwa “Nama- penafsiran lagi, karena otentisitas dan
Nama yang Indah” ini sebanyak 99 rasionalitas kebenaran suatu bahasa
nama. Namun sebenarnya nama-nama simbol tersebut, sangat terikat oleh
Allah tersebut tidak terbatas pada situasi dan kondisi tertentu. Ada dua hal
sejumlah itu (al-Ghazali, 1996: 205-208). yang patut menjadi cacatan terkait
dengan simbol agama ini. Pertama, Nama Allah itu sendiri seringkali seringkali pemeluk sebuah agama
disebut dengan ism al-Jalalah atau ism al- terjebak pada penafsiran terhadap sistem
Jam‟, yaitu nama yang mencakup atau simbol tersebut pada sisi harfiahnya.
mewadahi semua nama Tuhan yang lain Sementara eksistensi agama pada
(untuk lebih jelas lihat Komaruddin dasarnya adalah perpaduan antara form
Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, dan substance yang tidak bisa dipisahkan.
1995: 23-48). Karena itu, kata Allah Justru pada makna esensi dari sebuah
mengacu pada Tuhan yang absolut, suatu simbol agamalah, seseorang dapat
Dzat Yang Maha Akbar dan Ghaib, yang menembus nilai-nilai universal yang ada
hakikat kualitasnya tidak mungkin lagi dibalik pengungkapan bahasa ritual
dideskripsikan dan ditangkap oleh daya keagamaan. Dengan kata lain, simbol-
nalar manusia.
Istilah “Allah” itu sendiri sudah the dialectic of the name of God. Selanjutnya dikenal oleh masyarakat Arab Pra-Islam.
Pannikar, merumuskan Akan
Raimundo
sembilan kategori dialektika yang disebut sebagaimana yang dikutip oleh al-Faruqi,
tetapi menurut
Winner,
dengan kairological moment, lima di istilah Allah bagi mereka dikenal sebagai
antaranya adalah;
dewa yang mengairi bumi, sehingga Pertama, jauh sebelum adanya
mampu memberikan kesuburan bagi sistem keberagamaan yang mengajarkan
pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta ke-Esaan Tuhan, setiap Tuhan dipahami
memberi minum ternak-ternak mereka sebagai tuhan yang lokal, dengan
(Ismail Raji al-Faruqi and Lois Lamya al- berbagai namanya yang lokal pula.
Faruqi, 1986: 65). Ketika Islam datang, Artinya, mengetahui Tuhan berarti
istilah Allah ini dirubah dan dipahami mengetahui nama-Nya, sebaliknya tidak
sebagai Tuhan yang Maha Esa, tempat mengetahui nama-Nya berarti tidak
berlindung bagi segala yang ada, tidak mengetahui Tuhan. Kedua, pengertian
beranak dan tidak diperanakkan. Juga pluralitas Tuhan tersebut,
mesti tidak ada satupun yang menyerupai-Nya
dipahami sebagai nama. Karena setiap (QS. al-Ikhlash: 1-4).
nama Tuhan, meskipun menunjuk pada Menurut Ibn Arabi, Allah sebagai
satu Tuhan, tetapi tidak dalam Dzat yang Absolut dan Maha Ghaib
pengertian politheisme. Ketiga, pluralitas tidak memerlukan nama. Dan jikalau
nama Tuhan hanya bisa dipahami yang Absolut itu diberi nama, maka
sebagai manifestasinya. Sehingga setiap nama-nama itu tidaklah ada yang tepat,
nama Tuhan tidak membuat lemah sifat demikian kata Lao-Tzu (Muhammad
ketuhanannya, karena semua nama itu Wahyuni Nafis (ed.), 1996: 85). Hal ini
merujuk pada sifat tuhan. Keempat, wajar, karena definisi itu memberikan
pluralitas nama-nama Tuhan tersebut, penciutan dan penyempitan dari sebuah
bukanlah nama Tuhan dalam pengertian realitas (Komaruddin Hidayat dan
yang sebenarnya. Karena nama Tuhan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 33).
yang sebenarnya justru berada atau Maka, ketika Allah yang Absolut
tersembunyi dan rahasia. Kelima, esensi didefinisikan, maka Ia tidak lagi menjadi
dari nama rahasia Tuhan itu tidak bisa Absolut.
ditangkap oleh manusia, akan tetapi karena manusia mampu menangkap dan
Oleh karena itu, pluralitas atas menyaksikan sesuatu tanda kekuatan
nama-nama Tuhan dalam bentangan Tuhan pada yang tampak, maka muncul
sejarah panjang manusia harus dipahami kesadaran untuk mengetahui-Nya. Lebih
menjadi sebuah kemestian. Akan tetapi, jauh, Pannikar (1979: 267) menulis :
bahwa semua nama itu hanya dapat dijadikan jastifikasi bagi nama dan sifat,
Each name of God does not exchaust the tidak dalam pengertian esensi. Dalam
divinity, since there are other names that ungkapan Raimundo Pannikar (1979: also refer to the divinity. The essence of the secret name is that it us unknown. God is
266), perjalanan tersebut disebut sebagai 266), perjalanan tersebut disebut sebagai
seterusnya.
know him (to name him means to invoke him as an unknown God with an
Pemahaman akan eksistensi Tuhan unknown name), for his name is the
ini, berimplikasi pada perilaku sosial bagi question, pure, and simple. God is not
yang meyakini dan mengimani-Nya, subtance and has no name, but he is a
dengan tingkat pemikiran yang berbeda- question, a simple pronoun, an interrogative: Who? beda. Tuhan-nya orang-orang sufi tentu
berbeda denga Tuhan yang dipahami Mengenai Tuhan ini, secara oleh kaum filosuf. Begitu juga ketika filosofis telah diungkapkan dalam al- Qur‟an dengan menyebutnya Huwa Tuhan dipahami oleh seorang Teolog,
Mufassir, dan Mufaqqih. Belum lagi ketika (Dia), yang kemudian disebut dengan kaum Saintis, yang memiliki metodologi Allah atau nama-nama yang indah (al- yang berbeda, sudah pasti memiliki asma al-husna ) lainnya. Dalam salah satu pemahaman yang berbeda pula dalam firman-Nya, Allah mengatakan dalam al- Qur‟an, “Katakanlah (ya Muhammad), memandang Tuhan. Bahkan satu Sufi
lainnya, ketika Huwa (Dia) yaitu (yang kamu dan orang- mengungkapkan atau berbicara tentang orang Arab biasa menyebutnya) Allah itu, Tuhan memiliki perbedaan. Hal ini, adalah Maha Esa, Tempat Bergantung (bagi semakin menandaskan bahwa pluralitas segala yang ada). Dia tidak beranak dan dalam memahami dan meyakini Tuhan tidak diperanakkan. Dan tidak ada satupun itu pasti menjadi sebuah keniscayaan, yang menyerupai-Nya (QS. al-Ikhlas: 1-4). karena ia benar-benar merupakan realitas
dengan
Sufi
Penjelasan tentang perjalanan yang tidak bisa dielakkan. pemikiran manusia tentang Tuhan diatas,
Al-Qur'an dan hadits sendiri menunjukkan bahwa Tuhan bagi sebagai sebuah teks yang mengandung manusia merupakan suatu hal yang berbagai pesan, ajaran, dan amanat, sangat
dimaknai dan aktualisasikan oleh umat Pemahamanan manusia akan Tuhan Islam secara berbeda-beda. Realitas dari muncul dari kesadaran diri manusia kemajmukan penafsiran ini, menurut bahwa pada dasarnya manusia sangat Munzir Hitami merupakan sebuah lemah, lebih-lebih ketika dihadapkan tuntutan bagi umat Islam untuk bersikap pada berbagai peristiwa alam yang tidak moderat. Lebih jauh Munzir Hitami dijangkaunya. Oleh karenanya, Tuhan dipahami dengan berbagai “sosok” yang (2005: 220-221) mengatakan;
beragam. Ada yang meyakini-Nya Pluralitas pemahaman ajaran agama sebagai yang memberi Azab, ada yang
dan kitab suci seperti al-Qur'an adalah sebuah realitas yang tidak
mengimani-Nya sebagai yang memberi dapat dipungkiri. Hal tersebut terjadi
rahmat dan kebaikan, dan ada pula yang karena dalam Islam sendiri memang meyakini-Nya
sebagai
yang
tidak ada lembaga yang mempunyai otoritas
untuk menyatukan untuk menyatukan
Term-term dalam Memahami Tuhan
; Sebuah Basis Teologis
dikalangan Nasrani pada umumnya,
1. Tuhan Transenden dan Tuhan
dimana Gereja menjadi satu-satunya
Imanen
lembaga yang memegang otoritas untuk menafsirkan kitab sucinya.
Di satu sisi, Tuhan adalah Meskipun demikian, hal itu tidak
transenden, yang tak terbatas atas berarti
semua wujud yang ada, di sini Tuhan dikalangan mereka tidak ada. Disini
pluralitas
penafsiran
merupakan Dzat Yang Mutlak. kesadaran akan Kemajmukan perlu
ditumbuhkan.
Artinya, dalam ke-Maha Esa-an-Nya kesadaran yang menyatakan bahwa
Umpamanya,
secara mutlak adalah di atas segala realitas pluralitas dari sudut agama
sifat-sifat keseluruhannya, karenanya bukanlah suatu kebetulan, karena tak
Ia tidak menerima pembagian. ada satupun entitas didalam ala mini
Dengan demikian Ia adalah diatas yang monolitik sifatnya. Semuanya
beragam, termasuk agama. Dengan dari setiap sifat-sifat yang disifatkan demikian, klaim monolitik, termasuk
kepada-Nya. Tetapi, di sisi lain ia dalam konteks agama, sekurang-
adalah imanen, yang “menyatu” kurangnya
dengan wujud ciptaan-Nya. Dengan pengalaman nyata, layak untuk
dari
keniscayaan
demikian keberadaan segala yang dipertanyakan.
ada, tidak terlepas dari keberadaan Oleh sebab itu, munculnya
Wujud yang mengadakannya. keragaman
pandangan
dalam
mengekspresikan setiap pesan, amanat,
Mutlak Tuhan dan ajaran Tuhan merupakan sebuah
Wujud
merupakan sumber hakiki dari segala keniscayaan. Karena bagaimana mungkin
kejadian. Ia merupakan Hakikat atau seseorang mampu memahami pesan,
wujud yang kepribadiannya serupa amanat, dan ajaran Tuhan tersebut
dengan esensinya dan mutlak sebagaimana yang tertuang dalam teks-
diperlukan. Sehingga jika Ia tidak ada teks agama dengan benar sesuai dengan
maka wujud yang lain pun tidak ada. keinginan Tuhan, sementara ia sendiri
Namun bukan berarti dengan tidak tidak mampu berhadapan langsung
adanya wujud yang lain, kemudian dengan-Nya? Sehingga dalam menyikapi
Wujud Mutlak sebagai wajib al-wujud artikulasi keberagamaan tersebut, para
tidak ada, sebab Ia ada bukanlah dari ulama biasanya bersikap tawadhu', yaitu
wujud yang lain, melainkan dari Diri- dengan mengakhiri hasil interpretasinya
Nya sendiri. Pandangan ini, menurut dengan ungkapan wallahu a'lam bi al-
Ibn „Arabi berdasarkan sebuah
hadits qudsi; “Aku adalah khazanah hakikatnya, hanya Allah-lah yang tahu
shawab. Karena
memang
pada
dengan apa yang dikehendaki-Nya. 5 Menurut Ibn „Arabi Hadits Qudsi adalah
hadits di mana Nabi Muhammad menyampaikan kalimat-kalimat yang disebutkan berasal dari Allah, yang biasanya oleh Ibn „Arabi di sebut sebagai hadits Ilahiyat. Lihat Abd al- „Azis ad- Dabbagh. “Komentara Atas Hadits Qudsi” hadits di mana Nabi Muhammad menyampaikan kalimat-kalimat yang disebutkan berasal dari Allah, yang biasanya oleh Ibn „Arabi di sebut sebagai hadits Ilahiyat. Lihat Abd al- „Azis ad- Dabbagh. “Komentara Atas Hadits Qudsi”
wahdaniyyah (keesaan tak berhingga). sehingga mereka mengenalku” (Ibn
Hubungan antara al-Ahâdiyah 'Arabi, t.th: 322). Berdasarkan hadits
dan al-Wahdâniyyah merupakan ini, Ibn „Arabi berpendapat bahwa hubungan sesuatu yang potensial dan ketika Tuhan akan melihat esensi-
aktual. Akan tetapi peralihan yang Nya yang universal, mutlak, maka
pertama kepada yang berikutnya, melalui nama-nama-Nya, Allah
berlangsung diluar ruang dan waktu, menciptakan Kosmos.
karena tajalli Ilahi sebagai suatu Hakikat-Nya
proses eternal yang tiada henti- sedangkan tanda-tanda-Nya banyak
hanyalah
satu,
hentinya. Hal ini, menurut Ibn sekali. Jika hakikat itu terpisah dari
„Arabi merupakan pengenalan Tuhan kita semua- Nya ialah “Yang Tunggal Mutlak” dan jika lewat asma dan sifat-Nya yang ber-
dimanifestasikan sifat-sifat dan asma- tajalli kepada alam semesta. Namun asma-Nya, ia menjadi Yang Tunggal
demikian bukan berarti bahwa Dzat dalam aneka ragam. Semua iotu
Ilahi adalah alam, dan alam adalah tercakup dalam satu nama “Ahad”,
identik dengan tuhan, sebab kenyataan kita adalah bayang-bayang
atau sinar yang dicerminkan kepada- penampakan Diri Ilahi lewat tajalli-
nya. Jika dianggap sebagai hakikat, Nya merupakan tanda akan ke- Dia adalah kenyataan kita dan jika
sebagaimana yang dianggap sebagai keterbatasan, ia
Esaan-Nya,
dikatakan oleh Ibn „Arabi (t.th: 290); bukanlah kenyataan kita (Moulvi
“Dan di dalam segala sesuatu bagi-Nya SAQ. Husaini, 1913: 60). adalah tanda, yang menunjukkan bahwa
Dengan demikian, realitas sesungguhnya Ia adalah Esa". alam dan manusia merupakan
penampakan Diri Ilahi lewat asma- Realitas alam dan manusia, menjadi gambaran dari keberadaan
Nya dan sifat-Nya, sebab Dzat Ilahi
tidak mungkin dapat diketahui “Manusia adalah sebuah mata
Ilahi,
kecuali melalui asma da sifat-Nya. rantai yang menghubungkan Nama Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut Ketuhanan yang tidak dinyatakan dan dibedakan dari tidaklah memiliki perbedaan dalam sesuatu ”. Bahwa
manusia itu adalah merupakan eksistensinya di dalam Diri tuhan.
Tetapi menurut Ibn „Arabi, ada refleksi dari “Gambaran Tuhan”
perbedaan antara keesaan Dzat dan (David Emmanuel Singh, 1996). Hal keesaan Asma Tuhan, keesaan dalam
ini, bukanlah berarti penyamaan Dzat
, sering disebut oleh Ibn „Arabi antara Tuhan dengan realitas alam dan manusia. Sebab realitas alam dan
sebagai al-ahâdiyyah (keesaan absolut), manusia adalah penampakan bagi
sementara keesaan Tuhan dalam asma dan sifat-Nya, sebagaimana yang sampaikan oleh Ibn „Arabi,
dalam Ibn Arabi Misykat al-Anwar (terjemahan) (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1988), 157-165.
seperti dikutip oleh Afandi (1990);
Dia Tuhan Yang Maha Suci lagi
dengan Dzat-Nya, Maha
bukanlah
melainkan melalui sifat-sifat-Nya. mewujudkan
Tinggi,
sesungguhnya
al- „Arsy
kerena
Tuhan adalah tunggal dari realitas menyatakan akan kekuasaan-Nya,
bukanlah tempat bagi Dzatnya. Dan alam dan realitas manusia, sedangkan mengadakan yang ada, bukan karena
realitas alam dan manusia hanyalah ia berhajat pada wujud dengan
dalil (keterangan) dari ke-Esa-an keberadaannya. Sesunguhnya wujud
Tuhan, sebagaimana yang dikatakan adalah kenyataan bagi nama dan
Ibn 'Arabi selanjutnya; “Tidak ada sifat-Nya. Karena sesunguhnya
diantara asma-Nya al-Ghafur, dari pelaku (pelaksana) dalam (penciptaan) sifatnya
alam kecuali Yang Satu (Yang Esa), Pengampun), dan namanya al-Rahim
al-Maghfirah
(Maha
karena sesungguhnya alam raya dari segi sifat-Nya al-Rahman, dan
merupakan keterangan atas ke-Esaan dari nama-Nya al-Karim dan dari
Ilahi, sebagaimana sesunguhnya Ia adalah sifat-Nya al-Karim . Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
Jadi, dalam meng-Esa-kan mengerjakan sesuatu” (Ibn „Arabi, t.th: Tuhan ini, Ibn „Arabi sangat
menekankan bahwa segala yang ada Karena Tuhan berada pada
itu tidak ada, sebab baginya segala yang ada itu hanyalah milik Yang
reailatas yang tak terbatas, berada Mutlak, yaitu Allah. Dalam kitab al-
pada ke-esaan-Nya, maka menurut âlif, Ibn 'Arabi mengatakan "pada
Ibn „Arabi, Tuhan menampakkan tiap-tiap tanda, terdapat tanda yang
Diri-Nya, sehingga Tuhan dapat menunjukkan bahwa Dia itu adalah
dikenal oleh realitas alam dan Esa " (Ibn 'Arabi, 2000: 111). Maka,
manusia.
tanda ke-Esaan Allah itu kelihatan Ketahuilah bahwa sesungguhnya Yang pada sifat ke-Esaan-Nya itu sendiri,
Haq Suci lagi Maha Tinggi, dalam yaitu pada kalimah "Allah" (Ibn ber-Musyahadah melalui dua cara; dengan mentransendensikan Diri
'Arabi, 2000: 110). Oleh karena itu, (tanzih) dan dengan turun pada
tauhid (ilmu tentang pengesaan bayangan dengan cara imanensi Tuhan), bagi Ibn „Arabi (t.th: 193)
(tasybih). Adapun dengan Tanzih, adalah: Tidak benar pendefinisian dari
Tuhan bertajalli seperti yang ilmu Tauhid, kecuali menafikan segala
firmankan oleh Allah “tidak ada yang serupa dengan Dia”, sedangkan
apa yang ada selain Tuhan Yang Maha dengan tasybih, Tuhan bertajalli
Suci. Dan karenanya, Allah berfirman seperti sabda Nabi “sembahlah “Tidak ada sesuatupun yang serupa
Tuhanmu seakan-akan engkau dengan Dia”. Dan “Maha Suci
melihat-Nya ” (Ibn „Arabi, t.th: 3). Tuhanmu, yang mempunyai keperkasaan
Jadi, Ibn „Arabi sebenarnya dari apa yang mereka sifatkan”.
tidak mengidentikkan Tuhan dengan Maka jelaslah bahwa Tuhan
alam atau manusia, yang sering menampakkan diri-Nya pada realitas
disebut sebagai paham pantheisme. Karena pandangan Ibn „Arabi disebut sebagai paham pantheisme. Karena pandangan Ibn „Arabi
and
Tuhan. Sebab
pantheisme
You see Him in the essences of thing both boundless and limited
menghilangkan perbedaan antara (Ibn 'Arabi, 1980: 75). Tuhan dan manusia, sementara Ibn
(jika kamu hanya menegaskan „Arabi mengakui perbedaan atas
transendensi-Nya, kamu membatasi- keduanya, dan pantheisme tidak
Nya
mengakui akan transendensi Tuhan, Dan jika kamu hanya menegaskan sedangkan imanensi-Nya, kamu membatasi-Nya Ibn „Arabi
Jika kamu memelihara kedua aspek mempertahankan akan transendensi
ini, kamu benar Tuhan (Kautsar Azhari Noer, dalam
Seorang imam dan guru dalam bidang Edi A. Efendi, 1999: 64). Jika dilihat
ilmu spritual
dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik, Barang siapa yang menyatakan Dia adalah dua hal, adalah seorang musyrik,
atau lebih tepat serupa dan satu Sementara yang mengucilkan-Nya, dengan alam, meskipun keduanya
coba untuk mengatur-Nya. tidak setara, karena Allah melalui
Hati-hati dalam membandingkan-Nya, asma-asma-Nya menampakkan Diri-
jika kamu menggabungkan dualitas Nya dalam alam. Tetapi jika dilihat (Tuhan dan Alam) Dan jika kesatuan, berhati-hatilah
dari sisi tanzih, Tuhan sama sekali menjadikan-Nya transenden. berbeda denga alam, karena Dia
Kamu bukan Dia, dan Kamu adalah adalah Dzat Mutlak yang tidak
Dia dan Kamu melihat-Nya dalam esensi terbatas, dan berada di luar alam
sesuatu yang terikat dan terbatas ). nisbi yang terbatas. Seluruh sikap
Kesatuan transendensi dan mental Ibn „Arabi terhadap dua hal
imanensi Tuhan adalah prinsip ini (transendensi dan imanensi
coincidentia oppositorum atau al- jam‟ Tuhan) tersimpul dalam sajak-
bayna al-addad dalm sistem Ibn Arabi, sajaknya berikut ini:
yang secara paralel terwujud pula dalam kesatuan ontologis antara
If you insist only on His transcendence, you restrict Him,
Yang Tersembunyi (al-Batin) dan And if you insit only on His
Yang Tampak (al-Zahir), antara Yang immanence, you limit Him.
Satu (al-Wahid) dan Yang Banyak (al- If you maintain both aspects you
Katsir ). Dilihat dari segi Zat-Nya, are right, Tuhan adalah transenden, munazzah
an Imam and master in the spritual sciences.
(tidak dapat dibandingkan dengan Whoso would say He is two
alam), dan dilihat dari segi asma- things is polytheist,
asma-Nya, Tuhan adalah imanen, While the one who isolates Him
musyabbah (serupa dengan alam), tries to regulate Him. yang Tampak dan Yang Banyak.
Beware of comparing Him if you profess duality,
Tuhan sebagai satu-satunya Wujud And, if unity, beware of making
Hakiki, Zat Mutlak yang munazah, Him transcendent.
Yang Tersembunyi dan Yang Satu, antara Tuhan dengan makhluk. menampakkan Diri-Nya melalui
Hubungan antara wujud alam dan asma-asma-Nya
Tuhan oleh Hamzah Fansuri bentuk yang tidak terbatas dalam
dalam
banyak
dilambangkan seperti berikut: alam.
Pertama missal emas dan asyrafi Pandangan
Keduanya bulan dan matahari ditegaskan
serupa
juga
Jami‟ al-amthal ombak dan laut Keduanya itu sedia bertaut
oleh
Syamsuddin
Sumatrani, bahwa Keesaan Wujud Batinnya nyiur zahirnya sabut
Tuhan berarti tidak ada sesuatu pun Itu tamsil ketiganya patut yang memiliki wujud hakiki kecuali
Haqa‟iq al-ashya‟ itu juga diketahui Tuhan. Sementara alam atau segala
Beroleh asma‟ dan i‟tibari sesuatu selain Tuhan keberadaannya
(Haji Muhammad Bukhari Lubis, 1993: 284).
adalah karena diwujudkan (maujud)
oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari 2. Tuhan Subjektif dan Tuhan
segi keberadaannya dengan dirinya Objektif sendiri, alam itu tidak ada ( ma‟dum);
Dari uraian di atas, dapat kita tetapi jika dilihat dari segi
ketahui bahwa Dzat Tuhan “keberadaannya
merupakan Substansi Universal Tuhan” maka jelaslah bahwa alam
karena
wujud
tunggal, yang merupakan realitas itu ada (maujud). Dengan demikian
absolut, al-Haq. Bentuk Realitas martabat Tuhan sangat berbeda
Absolut ini, tidak mempunyai dengan martabat alam. Hal ini
pengetahuan dan tidak dapat diuraikan dalam ajarannya mengenai
mendefinisikan atas-Nya. Sehingga martabat tujuh, yakni satu wujud
hanya Dialah yang tahu tentang Diri- dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
Nya. Di sini manusia harus I‟lam, ketahui olehmu bahwa menginsafi bahwa Tuhan adalah
(se)sungguhnya martabat wujud Allah Wujud Mutlak, yang berarti tidak itu tujuh martabat; pertama martabat
terjangkau oleh wujud nisbi seperti ahadiyyah, kedua martabat wahdah,
manusia dan seluruh alam raya ketiga martabat wahidiyyah, keempat
ciptaan-Nya. Maka jika seseorang martabat alam arwah, kelima
martabat alam mitsal, keenam paham dan tahu tentang Tuhan, martabt alam ajsam dan ketujuh
maka pada dasarnya dia tidak tahu martabat
insan tentang Tuhan itu sendiri (Nurcholis (http://www.sufinews.com).
alam
Madjid, dalam Budhy Munawar Hamzah Fansuri, seorang tokoh
(ed), 1995: 118). Sufi di Negeri ini, yang di anggap
Rahman
Sebagaimana yang ditulis oleh Ibn sesat oleh
diantaranya ar-Raniri,
karena
Barang siapa mengaku dengan pasti pandangannya tentang alam dan
bahwa Allah bergaul dengan dirinya, Tuhan, juga tidak ingin menyamakan
dan ia tidak mengelak (dari dan ia tidak mengelak (dari
Azhari Noer, 2003: 96). Tidak ada yang tahu Allah, kecuali
Allah sendiri. Maka waspadalah Kata i‟taqad atau mu‟taqad sendiri
sebab yang sadar diantara kamu berarti “kepercayaan”, yang berasal tentulah tidak seperti yang alpa.
dari kata „a-qa-da yang berarti Ketiadaan kemampuan menangkap
merajut, membuhul, pengertian adalah ma‟rifat. Begitulah mengikat. memang pandangan akan hal itu bagi
Sementara secara literal (harfiyah) yang berakal sehat. Dia adalah
i‟taqad berarti menjadi terikat atau Tuhan yang sebenarnya, yang pujian
tersusun dengan kuat. Maka i‟taqad, kepada-Nya tidak terbilang. Dia
“kepercayaan”, berarti suatu “ikatan” adalah Maha Suci, maka jauhilah
yang diikat dengan kuat dalam kalbu bagi-Nya buat perbandingan (Ibn
'Arabi, t.th: 270). atau pikiran, sebuah keyakinan keyakinan bahwa sesuatu itu adalah
benar. Bagi Ibn Arabi “kepercayaan” memanifestasikan Diri-Nya kepada adalah sebuah pengikatan dan segala ciptaan-Nya, melalui asma- pembatasan (delimitation) Wujud asma-Nya, yang ditangkap dan Yang Tidak Terbatas, Wujud dipahami oleh manusia, adalah Absolut (al-wujud al-mutlaq) yang bentuk Tuhan yang Plural. Tiap-tiap
oleh subyektivitas manusia akan mengakui Tuhan
dilakukan
manusia.
secara berbeda-beda, sesuai dengan hasil pemahaman mereka tentang
Wujud Yang Tidak Terbatas ini, Tuhan. Sebagaimana yang di
mengejawantah dalam diri manusia, sampaikan Nabi dalam sebuah hadits
sangat ditentukan oleh kesiapan bahwa pada hari kiamat nanti, Tuhan
partikular (al- isti‟dad al-juz‟i), yaitu akan menampakkan Diri-Nya sesuai
untuk bertindak dengan konsepsi hamba-Nya tentang
kesanggupan
sebagai wadah penerima (al-qabil) Dia (Imam Muslim, 1916: 114-117).
mewadahi kesempurnaan Secara teoretis, Ibn „Arabi Wujud Absolut ketika Dia ber-tajalli.
yang
“semua menjadi menyebut Tuhan yang dipercayai
Sehingga
(menjelma) sesuai oleh manuisa seperti ini adalah “Tuhan Kepercayaan” (ilah al- dengan tiap-tiap eksisten, maka
terentifikasi
entifikasi ( ta‟ayyun) itu merupakan mu‟taqad), “Tuhan yang dipercayai” Tuan bagi makhluk tersebut” (Ibn (al-ilah al- mu‟taqad), Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al- 'Arabi, 1980: 106). i‟tiqad),
“Tuhan kepercayaan” (al-haq al- Tuhan menampakkan Diri-Nya i‟tiqad), “Tuhan yang dalam
kepada setiap hamba-Nya, sesuai kepercayaan” (al-haq al-ladzi fi al-
dengan kesiapan dan kemampuan mu‟taqad), dan “Tuhan yang
sang hamba dalam menangkap diciptakan dalam kepercayaan” (al-
pengetahuan tentang Tuhan (melalui pengetahuan tentang Tuhan (melalui
yang menjadi) Yang Unik, Maha penangkapan tersebut “diikat” dan Pengasih memiliki bentuk-bentuk, “batasi” apakah tersembunyi atau tampak. olehnya dalam
Jika kamu berkata “ini adalah kepercayaannya. Dengan demikian,
realitas” maka kamu telah berbicara Tuhan diketahui oleh sang hamba
benar. Dan jika kamu berkata adalah identik dengan Tuhan dalam
“sesuatu yang lain”, maka kamu kepercayaannya. Oleh karena itu, sedang menafsirkan. Tuhan betul-
betul menyingkap Realitas-Nya pada perbedaan antara Nabi dan Wali
makhluq. Ketika Dia menampakkan disatu sisi, dan manusia biasa disisi
Diri-Nya dalam penglihatan, alasan lain, adalah terletak pada kenyataan
bergegas membawakan bukti untuk bahwa para Nabi dan para Wali
menentangnya (Dia). Tuhan diterima merupakan lokus pengejawantahan seperti yang tampak pada taraf intelektual, seperti juga dalam
(Mazhar, Majla) bagi nama-nama imajinasi (Ibn 'Arabi, 1980: 101). universal Tuhan, sedangkan manusia
Tuhan yang seperti ini bukanlah biasa mengejawantahkan nama-nama
Tuhan yang sebenarnya, Tuhan pada partikular Tuhan. Jika yang pertama
diri Dzat-Nya, tetapi Tuhan yang menampilkan kesempurnaan nama-
diciptakan oleh manusia yang sesuai nama Wujud Mutlak yang tidak dengan pengetahuan manusia atas- terhingga jumlahnya, sedangkan yang Nya. Tuhan yang seperti itu adalah kedua hanya mampu menunjukkan Tuhan yang ditempatkan oleh beberapa saja (Chittick, dalam S.H. manusia dalam “alam” konsep, ide, Nasr (ed.), 2003: 84).
gagasannya. Sehingga “bentuk” Tuhan memberikan kesiapan (al-
Tuhan akan sangat diwarnai dan isti‟dad) sesuai dengan firman-Nya
oleh pengetahuan, “Dia memberi segala sesuatu ciptaannya”
ditentukan
penangkapan, dan persepsi manusia (QS. Thaha: 50), maka Dia
yang mempunyai kepercayaan atas- mengangkat hijab antara Dia dan
Nya. Dengan mengutip al-Junayd, hamba-Nya. Seorang hamba akan
Ibn Arabi mengatakan “warna air melihat Tuhan dalam bentuk
adalah warna bejana yang di tempatinya” kepercayaan, sehingga Tuhan identik
(Lawn al- ma‟ lawn ina‟ihi). Itulah dengan kepercayaan itu sendiri. Baik
sebabnya mengapa Tuhan melalui kalbu maupun mata tidak pernah
hadits qudsi berfirman “Aku adalah melihat sesuatu kecuali bentuk
dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku , kepercayaannya tentang Tuhan.
( Ana „inda zhann „abdi bi)” (Ibn “Tuhan kepercayaan” adalah
„Arabi, 1988: 32). gambar atau bentuk Tuhan, atau
Sementara itu Tuhan yang pemikiran, konsep, ide, atau
sebenarnya, Tuhan Absolut, adalah imajinasi tentang Tuhan yang
Tuhan pada Diri-Nya, Dzat Tuhan diciptakan oleh akal manusia.
yang tidak diketahui. Tuhan yang Maha Penyayang, jika Dia hanya seperti ini oleh Ibn „Arabi disebut
membimbing bangsa-bangsa semitik, sebagai Tuhan Yang Sebenarnya (al-
dan meninggalkan bangsa-bangsa ilah al-haq ), Tuhan Absolut (al-ilah al-
India, Cina, Indian, Negro, dan lain- muthlaq ), dan Tuhan Yang Tidak
lain dalam keesatan. Diketahui (al-ilah al-majhul). Tuhan
Oleh karena itu, bagi Ibn „Arabi dalam pengertian ini adalah Tuhan
Tuhan yang sebenarnya adalah yang munazzal, Tuhan yang tidak
Tuhan “yang tidak terdefinisikan” diperbandingkan dengan alam, dan
atau “Tuhan Yang Tidak Diketahui”. sama sekali berbeda dengan alam.
Hal ini juga dipertegas oleh Karen “Tidak ada serupa bagi-Nya” (QS.
Armstrong (2001: 300) bahwa tidak al- Syura: 11), “Penglihatan tidak ada gunanya kita berusaha mencari dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia
atau mendefinisikan Tuhan yang mempersepsi semua penglihatan” sebenarnya, karena Dia di luar kata- (QS. al- An‟am: 103). kata dan diskripsi manusia. Karena
Itulah Tuhan yang tidak bisa Dia adalah Mutlak, Transenden, jauh dipahami dan dihampiri secara
melampau realitas atau wujud alam absolut, yang sering disebut dengan
dan manusia. Dia berada pada Dzat Tuhan. Dalam keabsolutan-
limitasi yang tidak terbatas oleh Nya, Dia terlepas dari semua sifat
pengetahuan alam dan manusia. dan relasi yang dapat dipahami oleh
Dari sini kita dapat memahami manusia. Dia ini oleh Ibn „Arabi
Tuhan dengan dua hal ; memahami disebut sebagai Misteri Yang Absolut
Tuhan dengan persepsi kita sendiri, (al-ghayb al-muthlaq). Jika kita lihat
melalui penampakan Diri Tuhan dari peampakan Diri (tajalli) Tuhan,
lewat asma-asma-Nya. Maka yang maka dapat dikataka bahwa Yang
kedua “melepaskan” keterbatasan Absolut dalam keabsolutan-Nya
persepsi tentang Tuhan. Artinya, ada adalah pada tingkat ke-Esaan (al-
wilayah yang mengharuskan kita ahadiyyah ).
bersedia memasrahkan Sulit rasanya, untuk menerima
untuk
pengetahuan kita tentang Tuhan, kenyataan bahwa Tuhan Maha Adil,
pada Tuhan itu sendiri. Karena “tak Maha Pengasih, Maha Penyayang,
ada Tuhan yang bisa mengenal Allah, jika Dia hanya membimbing bangsa-
kecuali Allah sendiri” (Bandingkan bangsa tertentu saja, di belahan bumi
dengan Sachiko Murata, 2000: 80- kearah kebahagiaan dan kenikmatan,
81). Atau Dia bukanlah seperti sementara membiarkan bangsa
apapun (laisa kamitslihi syai) (QS. al- lainnya dalam kesesatan dan
Syura: 11), sebuah pendekatan dalam kesengsaraan. Juga sangat sulit,
memahami Tuhan yang dalam untuk menerima kenyataan bahwa
terminologi filafat agama biasa Tuhan Maha Adil, Maha Pengasih,
disebut via negativa atau teologi disebut via negativa atau teologi
yang Mutlak, tanpa adanya pretensi dari imajinasi manusia tentang
Kalau pada bagian pertama, Tuhan. Sehingga kebenaran tentang
terjadi perbedaan pemahaman ke-
hanya Tuhan yang Tuhanan di antara manusia. Karena
Tuhan,
mempunyai otoritas tentang Diri- tingkat pemahaman dan pengalaman
Nya, bukan hasil dari pemahaman mereka tentang Tuhan berbeda satu
sesorang tentang Tuhan. Maka, pada dengan yang lainnya, sehingga
posisi ini, kita dituntut untuk sedapat muncul dalam realitas sosial
mungkin menghindari truth claims. keberagaman (pluralitas) dalam
beragama. Apabila masing-masing Pengetahuan subjektif manusia mempertahankan akan perbedaan
tentang Tuhan, dihasilkan dari tentang pemahamannya tentang
seseorang dalam Tuhan
pengalaman
pola hidup dan dimungkinkan akan terjadi truth
menghayati kehadiran Tuhan dalam claims, klaim-klaim kebenaran, yang
kehidupannya. Sebagaimana seorang berujung pada posisi menyalahkan
pengembala yang menggunakan pemahaman orang lain tentang
pengalaman hidupnya, Tuhan. Padahal secara metafisis,
seluruh
sebagai seorang pengembala untuk pemahaman dari masing-masing
berhubungan dengan Tuhan. Yang mereka tentang Tuhan, merupakan
seringkali menjadi persoalan adalah salah satu bentuk tajalli Tuhan pada
ketika pengalaman subjektif ini setiap manusia. Karena secara
sebagai sebuah historis-sosiologis, keragaman dalam
dijastifikasi
pengalaman objektif, sehingga semua memahami Tuhan ini pasti berbeda-
orang mesti memiliki pengalaman beda, yang pada gilirannya masing-
yang sama dengannya. Dari sini masing komunitas di ikuti oleh
benturan-benturan kelompoknya. Misalnya, Yahudi
muncul
atau penafsiran dengan pengikutnya, Nasrani dengan
“perspektif”
terhadap pengamalan ber-Tuhan. pengikutnya, Hindu, Budha, dan
Lebih-lebih ketika pengalaman lain-lain. Maka, eksklusivitas terjadi
subjektif tentang Tuhan tersebut ketika pemahaman yang berbeda-
(karena dianggap beda tersebut, dipaksakan kepada
dipaksakan
objektif) kepada orang lain, yang yang lainnya. Di sinilah muncul “The
jelas-jelas memiliki pemahaman dan Problem of Truth Claim ” (Nurcholish
pengalaman yang berbeda tentang Madjid, 1999: 59).
Tuhan.
Maka pada bagian kedua, kita Oleh karena itu, diperlukan perlu mamandang Tuhan sebagai
inter-subjektif sesuatu
pendekatan
dengan Amin dideskripsikan
Abdullah, 2002: 53-54) yang mampu Abdullah, 2002: 53-54) yang mampu
bahwa semua agama (sebagai 'jalan' Tuhan tersebut. Karena ketika
menuju Tuhan) adalah relatif (all masing-masing individu mempunyai
religions are relative ) – yakni terbatas konsepsi subyektif tentang Tuhan,
(limited), parsial (partial) dan incomplete yang kemudian dianggap sebagai
– tetapi sekaligus all are essentially pemahaman yang “objektif”. Maka
same , yakni sama-sama sebagai 'jalan' komunalitas
penyelamatan kehidupan rohani kehilangan deep insight, “hati nurani”
sebuah
agama
manusia menuju Tuhan, meskipun kemanusiaan yang paling dalam.
ditempuh melalui 'jalan' yang Keadaan ini, oleh Quraish Shihab,
berbeda-beda.
disebut sebagai upaya manusia yang Seperti Yesus Kristus sebagai
bersikap melebihi Tuhan, misalnya bentuk perwujudan dari 'Kehadiran'
dengan menginginkan agar seluruh Yang Ilahi, merupakan jalan
manusia satu pendapat, satu aliran,
bagi orang-orang dan satu agama. Semangat ini pula
keselamatan
Kristen, atau Buddha bagi para yang mengantarkan mereka untuk
pemeluk agama Buddha, atau Rama memaksakan
“pandangan
sebagai jalan keselamatan bagi umat subyektif”-nya untuk dianut oleh Hindu, atau juga al-Qur'an yang oleh orang lain (M. Quraish Shihab, 1992:
Frithjof Schuon dinilai sebagai 153-222).
wujud dari
'Kebenaran dan
3. Tuhan Eksoterik dan Tuhan
kehadiran' sekaligus, merupakan
Esoterik
petunjuk keselamatan bagi umat Islam, dan seterusnya. Maka, sangat
Secara metaforis. bahwa jalan wajar sekiranya 'jalan' itu luas, tetapi
kehidupan itu sangat luas dan plural. juga lurus. Jalan itu 'luas', berarti
Ia bukan sebagai tujuan, tetapi hanya dapat menampung semua pejalan
sekedar 'jalan' menuju Tuhan. dan semua aliran (mazhab) yang
Meskipun secara lahiriah, jalan itu berbeda-beda, tetapi juga 'lurus'
amat beragam dan nampak sekali menuju Tuhan, selama bercirikan
terjadinya perbedaan,
bahkan
keamanan dan pertentangan sekalipun, tetapi secara
'kedamaian,
keselamatan'. Semua jalan yang 'esoterik' (kata Huston Smith), atau
mencirikan hal tersebut pasti 'esensial' (kata Bhagavan Das), atau
bermuara pada jalan yang 'lurus', 'transenden' (kata Seyyed Hossein
yang dalam bahasa al-Qur'an Nasr, kaum perennialis, dan tentu
diistilahkan al-Shirath al-Mustaqim saja menjadi jalan pilihan di kalangan
(jalan yang 'luas', lagi 'lurus'). New Agers), semua itu akan
Meskipun jalan yang ditempuh luas, mencapai 'kesatuan transendental
beragam, sekaligus plural, tetapi (agama-agama) yang sama' (the
semuanya (umat beragama) akan
transcendent unity
of
religions